Anda di halaman 1dari 14

Alfindo Andry Saputra

alfindoandry03@gmail.com

Menelisik Tanggung Jawab Negara Dalam Rangka Pemenuhan Hak Atas


Kesehatan Mental (Mental Health Rights) Berdasarkan Prinsif Negara
Kesejahteraan (Walfare State)

UNIVERSITAS BENGKULU

BENGKULU
2023

i
Pendahuluan
Saat ini kesehatan mental merupakan persoalan yang tidak bisa
dikesampingkan. Berdasarkan data hasil temuan Mental Health America pada
tahun 20191 menemukan bahwa hampir sembilan dari sepuluh pekerja global
melaporkan bahwa stres dan tekanan di tempat kerja memengaruhi kesehatan
mental mereka2. Studi lebih lanjut oleh Rojas dkk (2019) menunjukkan bahwa
faktor-faktor yang dapat mengganggu kesehatan mental di tempat kerja meliputi
beban kerja yang berat, tenggat waktu dan target yang ketat, pembagian peran dan
tanggung jawab antar pekerja yang tidak jelas, kontrol (monitoring) yang longgar,
jam kerja yang panjang, tuntutan emosional mental yang tinggi, kurangnya
apresiasi dan feedback, serta adanya intimidasi atau diskriminasi dari atasan.
Disisi lain dalam dua tahun terakhir kasus kesehatan mental pun juga
meningkat akibat imbas dari pandemi covid -19. Pada bulan Oktober tahun 2021
lalu, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian
Kesehatan mengungkapkan bahwa pandemi COVID-19 menyebabkan peningkatan
pada kasus gangguan jiwa dan depresi hingga 6,5% di Indonesia. Sejalan dengan
hal itu, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis
Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) pada tahun 2020 menemukan bahwa
sebanyak 63% responden mengalami cemas dan 66% responden mengalami
depresi.
Pada dasarnya kesehatan mental juga dinilai dapat merugikan perekonomian
3
secara menyeluruh. World Health Organization (2022) menyebutkan bahwa
terdapat potensi kerugian sebesar satu triliun USD per tahun akibat hilangnya
produktivitas pekerja karena Kesehatan Mental pekerja yang buruk. Temuan
temuan ini membuktikan bahwa persoalan kesehatan mental harus segara
diselesaikan dengan memberikan perhatian khusus dan penanganan terhadap
penanganan kesehatan mental pekerja.

1
Mental Health America (2021). Mind the Workplace – MHA Workplace Health
Survey. Diakses pada 6 Juni 2023.
2
Deloitte. (2017). At a Tipping Point? Workplace Mental Health and Wellbeing.
Deloitte Center for Health Solutions.
3
https://microdashboard.feb.ugm.ac.id/kajian-vol-1-menilik-isu-dan-urgensi-
kesehatan-mental pekerja-indonesia/ di akses 6 Juni 2023.

1
Kesehatan mental atau kesehatan jiwa merupakan aspek penting dalam
mewujudkan kesehatan secara menyeluruh. Kesehatan mental juga penting
diperhatikan selayaknya kesehatan fisik. There is no health without mental
health4 , sebagaimana definisi sehat yang dikemukakan oleh World Health
Organization (WHO)5 bahwa “health as a state of complete physical, mental and
social well being and not merely the absence of disease or infirmity.” Kesehatan
mental merupakan komponen mendasar dari definisi kesehatan. Kesehatan mental
yang baik memungkinkan orang untuk dapat menyadari potensi mereka,
mengatasi tekanan kehidupan yang normal, bekerja secara produktif, dan
berkontribusi pada komunitas mereka6.
Berangkat dari permasalahan yang dijelaskan di atas, penulis mencoba untuk
menganalisis dan mendiskripsikan bagaimana pengaturan kesehatan mental di
Indonesia serta bagaimana implementasi dari pengaturan tersebut, mengingat
tujuan Negara Indonesia yaitu untuk mewujudkan Negara Kesejahteraan (walfare
state). Substansi pada konsep negara kesejahteraan adalah negara berkewajiban
memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya melalui peningkatan kualitas
pelayanan publik yang dilakukan untuk membanguan kepercayaan masyarakat
terhadap penyelenggaraan pelayanan dalam rangka peningkatan kesejahteraan.7

Pembahasan
Regulasi Kesehatan Mental
Pengaturan atau regulasi terkait kesehatan mental di Indonesia berpintu pada
masuknya hak atas kesehatan sebagai salah satu hak asasi manusia yang dimuat
dalam konstitusi, yaitu pada Pasal 28H ayat (1) yang menegaskan bahwa “setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.8

4
WHO. Mental Health Action Plan 2013 – 2020. Geneva: World Health
Organization. 2013. 5 WHO. Basic Documents. 43rd Edition. Geneva: World
Health Organization. 2001. 6 WHO. Prevention of Mental Disorders, Effective
Intervention and Policy Options (Summary Report). Geneva: World Health
Organization collaboration with The Prevention Research Centre of the
Universities of Nijmegen and Maastricht. 2004.
7
Lukman, S, Suwanda, D, & Santoso,Y, P 2021, Penyusunan Standar Pelayanan
Publik, Remaja Rosdakarya, Bandung.
8
Pasal 28H ayat (1), Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesai Tahun
1945, 1945.
2
Oleh karena itu negara dalam menjamin dan memenuhi hak warga negaranya
berkewajiban penuh untuk memberikan pelayanan dan fasilitas kesehatan yang
sebaik-baiknya kepada setiap warga negara sebagaimana amanat konstitusi Pasal
34 ayat (3) UUD NRI 1945 bahwasanya “Negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas pelayaaan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang
layak.” Sehingga untuk menjalankan amanat konstitusi tersebut diatur lebih lanjut
dalam beberapa undang-undang organik, diantaranya adalah UU Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan
UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.
Berikut tabel Pengaturan Hak Atas Kesehatan Mental di Indonesia

No. Regulasi Keterangan Substansi Yuridis

1. UUD NRI 1945 Pasal 28H ayat (1) Yang pada pokoknya
Jo Pasal 34 ayat menegaskan bahwa Negara
(3) bertanggung-jawab atas
penyediaan fasilitas
kesehatan dan setiap orang
berhak memperoleh
pelayanan kesehatan.

2. UU No. 39 Pasal 42 Yang pada pokoknya


Tahun 1999 menegaskan bahwa setiap
tentang HAM orang berhak memperoleh
hak nya untuk menjamin
kehidupan yang layak.

3. UU No. 36 Pasal 1 angka (1), Yang pada pokoknya


Tahun 2009 Pasal 15, dan Pasal menguraikan definisi
tentang 151 Kesehatan dan
Kesehatan mengamanatkan untuk
mengatur lebih lajut
mengenai Kesehatan Jiwa
melalui Peraturan
Pemerintah.

4. UU No. 18 Pasal 1 angka (1) Yang pada pokoknya


Tahun 2014 menguraikan definisi
Tentang Kesehatan Jiwa.
Kesehatan Jiwa

5. PP No. 47 Pasal 4 angka (1) Yang pada pokoknya


Tahun 2016 dan Pasal 8 angka menjabarkan jenis-jenis
tentang Fasilitas (1) Fasilitas Pelayanan
Pelayanan Kesehatan dan kewenangan
Kesehatan Pemerintah Daerah dalam
menentukan jumlah dan jenis
Fasilitas Pelayanan
Kesehatan.

Permasalahan Pemenuhan Hak Atas Kesehatan Mental oleh Negara


Masalah yang timbul tidak hanya masalah jumlah regulasi saja namun
menyangkut masalah ego sektoral, regulasi yang tumpang tindih dan multi
interpretasi. Fenomena seperti inilah yang dirasa menghambat pengambilan
keputusan karena terlalu rumitnya regulasi, sehingga berdampak pada kepastian
hukum akan jaminan kesehatan mental. Berdasarkan pengamatan dan penelitian
pustaka yang penulis lakukan, terdapat berbagai penelitian hukum yang
sebelumnya juga relevan dengan perlindungan dan pemenuhan hak asasi atas
kesehatan jiwa. Pertama, penelitian mengenai jaminan atas kesehatan yang yang
diteliti oleh Mikho Ardinata dengan judul “Tanggung Jawab Negara Terhadap
Jaminan Kesehatan Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”. Hasil dari penelitian
tersebut menemukan bahwa negara bertanggung jawab atas jaminan kesehatan
melalui program BPJS sebagai bagian dari jaminan kesehatan nasional, namun
masih terdapat kendala yaitu dari aspek penyediaan fasilitas dan tenaga kesehatan.
Kedua, penelitian mengenai politik hukum Indonesia tentang hak asasi atas
kesehatan yang diteliti oleh Rico Mardiansyah dengan judul “Dinamika Politik
Hukum Dalam Pemenuhan Hak Atas Kesehatan diIndonesia.” Berdasarkan hasil
penelitian tersebut juga menunjukkan hak atas kesehatan sebagai hak dasar
sejatinya telah direkognisi dalam hukum nasional, sehingga salah satu upaya
pemenuhannya yaitu melalui sistem jaminan kesehatan nasional. Dengan demikian
persoalan kesehatan mental merupakan suatu masalah yang harus cepat
diselesaikan demi keberlangsungan generasi penerus bangsa. Sejatinya pengakuan
dan penjaminan atas hak asasi manusia di Indonesia sendiri telah dimulai pada
masa reformasi yang ditandai dengan hadirnya keinginan untuk melakukan
amandemen

4
terhadap UUD 1945, khususnya amandemen kedua yang telah membawa
perubahan terhadap persoalan perlindungan HAM di Indonesia yaitu Pasal 28A
sampai dengan Pasal 28J.
Tanggung Jawab Negara dalam Menjamin Hak Atas Kesehatan Mental
Berkenaan dengan tujuan negara untuk memajukan kesejahteraan umum, UUD
1945 telah meletakkan kesejahteraan atas kesehatan tersebut menjadi bagian dari
Hak Asasi Manusia, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 42 UU Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa:
“Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat
mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan
khusus atas baiya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai
dengan martabat kemanusiaanya...”
Disamping itu dipertegas pula dalam Pasal 71 a quo bahwasanya:“
Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan,
dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini,
peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi
manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia. Selain itu, Pasal 1 angka
(1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juga telah mendefinisikan bahwa:
“Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual
maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomis.”
Kemudian dipertegas lebih lanjut dalam Pasal 5 angka (1) a quo bahwasanya
setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber
9
daya dibidang kesehatan. Sejatinya pemerintah bertanggung jawab atas
ketersediaan lingkungan, tatanan, fasilitas kesehatan baik fisik maupun sosial bagi
masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya
sebagaimana amanat Pasal 15 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Selain
itu pada dasar pemerintah dan pemerintah daerah telah diberikan tanggung jawab
atas penyediaan dan pemerataan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa dengan
melibatkan peran serta aktif masyarakat.10

9
Pasal 5 angka (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, 2009.
10
Pasal 149 angka (3) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

5
Pasal 151 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menjelaskan
bahwasanya:
“ketentuan lebih lanjut mengenai upaya kesehatan jiwa diatur dengan
peraturan pemerintah.”
Adapun yang dimaksud dengan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yaitu suatu
alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan
kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan
11
oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Pasal 4 angka
(1) PP No. 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan
mengklasifikasikan bahwa:
“Jenis Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 3 terdiri atas: a. tempat praktik mandiri Tenaga Kesehatan; b. Pusat
kesehatan masyarakat; c. Klinik; d. Rumah sakit...”
Pemerintah Daerah sejatinya memiliki kewenangan dalam menentukan
jumlah dan jenis Fasilitas Pelayanan Kesehatan serta pemberian izin beroperasi di
daerahnya.12 Jika mencermati lebih dalam lagi bahwasanya Pasal 1 angka (1) UU
Nomor 18 Tahun 2014 tantang Kesehatan Jiwa mendefinisi kesehatan jiwa sebagai
berikut:
“Kesehatan Jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat
berkembang secara fisik, mental, spiritual dan sosial sehingga individu
tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat
bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontibusi untuk
komunitasnya” .
Kemudian dijelaskan lebih dalam lagi pada Pasal 1 angka (2) a quo bahwa
Orang Dengan Masalah Kejiwaan yang selanjutnya disingkat ODMK adalah orang
yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan,
dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki resiko mengalami gangguan jiwa”13
Hadirnya UU Kesehatan Jiwa, dapat menjadi acuan grand design
penanganan kasus Gangguan kejiwaan. Skema upaya kesehatan Jiwa di Indonesia
yaitu serangkaian upaya mengaktualkan kadar sehat jiwa yang ideal untuk diakui
pada saat ini, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 (1) ICESCR. Kewajiban
tersebut

11
Pasal 1 angka (1) PP No. 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan
Kesehatan, 2016 12 Pasal 8 angka (1) PP No. 47 Tahun 2016 tentang
Fasilitas Pelayanan Kesehatan, 2016 13 Pasal 1 angka (2) UU Nomor 18
Tahun 2014 tantang Kesehatan Jiwa, 2014

6
juga berlaku pada masa pandemi yang lalu, dimana melalui UN Committee on
Economic, Social and Cultural Rights menyatakan statement-nya pada 17 April
2020, dengan tetap harus menghormati dan melindungi martabat yang melekat
14
pada semua orang. Amanat konstitusi meletakkan upaya perlindungan,
penegakan, pemajuan, dan pemenuhan hak asasi manusia ke dalam tanggung
Jawab negara.
Kewajiban mengikat negara yang meratifikasi suatu perjanjian HAM, yang
biasa dikenal dengan Generic obligation dalam konteks pemenuhan hak kesehatan
jiwa dapat diinterpretasikan sebagai berikut 15:
a. Obligation to Respect, upaya negara dengan tidak Melarang atau tidak
membatasi warga negara yang memerlukan akses untuk pengobatan
kesehatan jiwa.
b. Obligation to Protect, upaya negara untuk memastikan tidak adanya larangan,
pembatasan, maupun bentuk upaya diskriminasi dari pihak lain terhadap
akses perawatan kesehatan jiwa.
c. Obligation to Fulfill, Upaya negara yang ditempuh dari sisi hukum dan
kebijakan, seperti telah adanya legislasi Undang-Undang Kesehatan Jiwa
beserta peraturan turunannya.
Dalam menjalankan peran-peran tersebut, penting bagi negara untuk
memastikan bahwa hak-hak individu dalam hal kesehatan mental dihormati dan
dipromosikan. Hal ini merupakan bentuk perlindungan dari diskriminasi, privasi
yang dijaga, dan akses yang merata untuk seluruh masyarakat. Dengan
diundangkannya UU No. 18 Tahun 2014 tentang kesehatan jiwa, menjadi pedoman
bagi pemerintah untuk melaksanakan segala hal yang berkaitan dengan
peningkatan kesehatan jiwa masyarakat sebagai implementasi dari salah satu
tujuan negara yaitu meningkatkan kesejahteraan umum yang dipertegas di dalam
Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun
2014 Tentang Kesehatan Jiwa, bentuk atau upaya pemerintah dalam hal kesehatan
jiwa adalah sebagai berikut:

14
Lefri Mikhael, “Covid-19 Vaccination as Part of The Basic Right to
Health, Should It Be Mandatory During The Covid-19 Pandemic,” SASI
27, no. 4 (2021): 425
15
in Karita Sakharina, Kewajiban Negara Terhadap Pemenuhan Hak Atas
Kecukupan Pangan Yang Layak Di Indonesia, Makassar: Pustaka Pena, 2016.

7
1. Promotif;
2. Preventif;
3. Kuratif; dan
4. Rehabilitasi
Upaya Promotif
Upaya promotif merupakan suatu kegiatan dan/atau rangkaian Kegiatan
penyelenggaraan pelayanan Kesehatan Jiwa yang bersifat promosi Kesehatan Jiwa.
Upaya promotif Kesehatan Jiwa ditujukan untuk mempertahankan dan
meningkatkan derajat Kesehatan Jiwa masyarakat secara optimal; Menghilangkan
stigma, diskriminasi, pelanggaran Hak asasi ODGJ sebagai bagian dari
masyarakat; Meningkatkan pemahaman dan peran serta Masyarakat terhadap
Kesehatan Jiwa; dan Meningkatkan penerimaan dan peran serta Masyarakat
terhadap Kesehatan Jiwa. Upaya promotif dapat dilakukan secara terintegrasi,
komprehensif, dan berkesinambungan dengan upaya promotif kesehatan lain.16
Upaya Preventif
Upaya preventif merupakan suatu kegiatan untuk mencegah Terjadinya
masalah kejiwaan dan gangguan jiwa. 17Upaya preventif Kesehatan Jiwa ditujukan
untuk Mencegah terjadinya masalah kejiwaan; Mencegah timbulnya dan/atau
kambuhnya gangguan Jiwa; Mengurangi faktor risiko akibat gangguan jiwa pada
masyarakat secara umum atau perorangan; dan/atau mencegah timbulnya dampak
masalah psikososial (Pasal 11).
Upaya Kuratif
Upaya kuratif adalah kegiatan pemberian pelayanan kesehatan terhadap
ODGJ yang mencakup proses diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat sehingga
ODGJ dapat berfungsi kembali secara wajar di lingkungan keluarga, lembaga, dan
masyarakat.
Upaya Rehabilitasi
Upaya rehabilitatif Kesehatan Jiwa merupakan kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan pelayanan Kesehatan Jiwa yang ditujukan untuk: Mencegah
atau mengendalikan disabilitas; Memulihkan fungsi sosial; Memulihkan fungsi

16
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 Tentang
Kesehatan Jiwa, 2014. 17 Pasal 10 Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2014 Tentang Kesehatan Jiwa, 2014.

8
okupasional; dan mempersiapkan dan memberi kemampuan ODGJ agar mandiri di
18
masyarakat. Rehabilitasi sosial dilaksanakan di panti sosial milik: Pemerintah;
Pemerintah Daerah; atau swasta (Pasal 29).

Komparasi Sistem Hukum Kesehatan di Indonesia dengan Beberapa Negara


Maju
1. Amerika Serikat:
Undang-Undang Mental Health Parity and Addiction Equity Act
(MHPAEA) memastikan bahwa manfaat kesehatan mental dan penyalahgunaan
zat harus setara dengan manfaat kesehatan fisik dalam hal akses, cakupan, dan
pembayaran. Disisi lain, The Affordable Care Act (ACA) telah memperluas akses
ke layanan kesehatan mental dan penyalahgunaan zat dengan memerintahkan
perusahaan asuransi kesehatan untuk menyediakan perlindungan kesehatan mental
yang sebanding dengan perlindungan kesehatan fisik
2. Inggris:
Undang-Undang Mental Health Act 1983 pada dasarnya mengatur
perawatan, pengobatan, dan perlindungan hukum bagi individu dengan gangguan
mental di Inggris. Ini termasuk prosedur untuk penahanan paksa jika seseorang
dianggap memerlukan perawatan di bawah pengawasan. Tidak hanya itu, Mental
Capacity Act 2005 juga memberikan kerangka hukum bagi orang dewasa yang
mungkin tidak mampu membuat keputusan sendiri tentang perawatan dan
perawatan kesehatan mental mereka. Hal ini sejatinya telah melindungi hak-hak
individu dan mempromosikan kemandiriannya

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dalam pembahasan maka dapat disimpulkan bahwasanya
pertama, terkait regulasi mengenai kesehatan mental yang ada saat ini belum
mampu mengakomodir pemenuhan hak atas kesehatan mental sebagaimana yang
dijamin oleh hukum internasional dan UUD 1945. Kedua, belum adanya
keseriusan negara (pemerintah) untuk melaksanakan tanggung jawab negara
terhadap

18
Pasal 25 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa, 2014.

9
pemenuhan hak atas kesehatan mental warga negaranya. Regulasi kesehatan
mental yang seadanya dan belum adanya peraturan pemerintah sebagai pelaksana
UU No. 18 Tahun 2014 tentang kesehatan mental serta minimnya fasilitas, sarana
dan prasarana khusus mengenai kesehatan mental menjadi ketidakseriusan
pemerintah dalam melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi hak atas
kesehatan mental setiap warga negara. Kondisi demikian ini jauh dari semangat
dan tujuan negara untuk memajukan kesejahteraan umum sebagai negara
kesejahteraan serta jauh dari prinsip prinsip perlindungan dan pemenuhan hak
asasi manusia yang dijamin oleh hukum internasional dan UUD 1945.
Saran
Adapun saran atau solusi terkait permasalahan Pemenuhan Hak Atas Kesehatan
Mental di atas adalah, pertama upaya yang dapat pemerintah laksanakan
diantaranya membuat peraturan turunan dari UU Kesehatan Jiwa sampe ke tingkat
peraturan menteri agar dapat mewujudkan upaya penyelenggaraan kesehatan Jiwa
yang maksimal. Selain itu, Pemerintah juga bertanggung jawab untuk penyediaan
sarana dan prasarana fasilitas pelayanan kesehatan jiwa sesuai yang diamanatkan
UU kesehatan Jiwa serta mendorong Pemerintah untuk proaktif dalam
mengupayakan pemenuhan sumber daya manusia, berupa akademisi maupun
profesi kesehatan dengan memperkuat regulasi mengenai profesi
psikologi/psikiater. Pemerintah pusat juga dapat mendelegasikan wewenang
pemenuhan hak atas kesehatan mental di tiap-tiap daerah agar semakin
terjangkaunya program-program pemenuhan hak atas kesehatan mental.
10
DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Lukman, S, Suwanda, D, & Santoso,Y, P 2021, Penyusunan Standar
Pelayanan Publik, Remaja Rosdakarya, Bandung.
JURNAL
Marsudi Dedi Putra, Negara Kesejahteraan (Welfare State) dalam Perspektif
Pancasila Jurnal Ilmiah, Volume 23, Nomor 2, September 2021.
I Nyoman Surata, “Sejarah Perkembangan Konsep Hak Asasi Manusia,” Kertha
Widya 2, no. 1 (2014): 117
Virginia A Leary, “The Right to Health in International Human Rights Law,”
Health and Human Rights 1, no. 1 (1994): 32.
Lefri Mikhael, “Covid-19 Vaccination as Part of The Basic Right to Health,
Should It Be Mandatory During The Covid-19 Pandemic,” SASI 27, no. 4
(2021): 425
in Karita Sakharina, Kewajiban Negara Terhadap Pemenuhan Hak Atas
Kecukupan Pangan Yang Layak Di Indonesia (Suatu Tinjauan Terhadap
Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, Dan Budaya) (Makassar:
Pustaka Pena, 2016), 47.
INTERNET
United Nation Human Rights, “Text of Universal Declaration of Human
Rights,” accessed December
5,2021,https://www.ohchr.org/EN/UDHR/Pages/Language. aspx?LangID=eng.
WHO TEAM, “COVID-19 Public Health Emergency of International
Concern (PHEIC) Global Research and Innovation Forum,” WHO, 2020,
https://www.who.int/publications/m/item/covid-19-publichealth-emergency of
international-concern-(pheic)-global-research-and-innovation-forum.
United Nation Human Rights, “Text of International Covenant on Economic,
Social and Cultural Rights,” accessed December 7, 2021, https://www.ohchr.org/
EN/ProfessionalInterest/Pages/CESCR.aspx.
WHO. Mental Health Action Plan 2013 – 2020. Geneva: World Health
Organization. 2013.
11
WHO. Prevention of Mental Disorders, Effective Intervention and Policy
Options (Summary Report). Geneva: World Health Organization collaboration
with The Prevention Research Centre of the Universities of Nijmegen and
Maastricht. 2004. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan
Undang-Undnag Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan
12

Anda mungkin juga menyukai