Anda di halaman 1dari 39

PERATURAN PERUNDANGAN KEFARMASIAN

Pedoman dan Tantangannya Penerapannya

BAB I
PENDAHULUAN

Peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah aturan tertulis yang


dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat berwenang yang mengikat secara umum.
Hirarkis atau tata urutan tingkat peraturan perundang-undangan tersebut diatur oleh
Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Hirarkis yang dimaksud adalah bahwa peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah tidak dapat membuat pengaturan terhadap sesuatu hal
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang urutan hirarkisnya
lebih tinggi.
Pada Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, jenis dan hirarkis peraturan
perundang-undangan tersebut di Negara Kesatuaan Republik Indonesia, terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pada Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) dari UU ini disebutkan bahwa jenis peraturan
perundang-undangan selain yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) di atas yaitu
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Agung
(MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Yudisial
(KY), Bank Indonesia (BI), Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang
dibentuk dengan UU atau Pemerintah atas perintah UU, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi (DPRD Tingkat I), Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota (DPRD Tingkat II), Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat,
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan. Dengan demikian peraturan tertulis lainnya yang dibentuk
oleh lembaga Negara atau pejabat berwenang, dikelompokkan sebagai produk
administratif. Sebagai contoh Surat Edaran (SE), Surat Keputusan (SK) Kepala
Dinas/Badan atau SK Direksi Badan Usaha Miilik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD).
Keseluruhan peraturan di Negara Republik Indonesia tentu berkaitan dengan
hak-hak warga Negara, sebab itu manakala hak-hak dari setiap warga Negara yang
dijamin oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dilanggar oleh peraturan
perundangan, maka ketentuan dalam peraturan perundangan yang bersangkutan dapat
diajukan permohonan pengujian/gugatan, dengan pengaturan sebagai berikut:
1
a. Pengujian UU terhadap UUD 1945 ke MK;
b. Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU kepada MA; dan
c. Gugatan terhadap produk administratif pemerintah atau pejabatnya ke
Peradilan Tata Usaha Negara (Pratun).
Dalam bidang praktik kefarmasian, maka setiap warga Negara kiranya adalah
sangat baik jika dapat memahami berbagai ketentuan dalam peraturan perundangan
yang berkaitan dengan dunia kefarmasian, baik yang terkait dengan produk farmasi
(obat, obat tradisional dan bahan obat), fasilitas dan tenaga kefarmasian. Dengan bekal
pengetahuan itu akan dapat memastikan hak-haknya ketika memperoleh pelayanan
yang diberikan baik oleh Apoteker, maupun oleh Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK).
Dalam bab-bab selajutnya dari buku ini akan disajikan berbagai ketentuan dari
perundangan dan peraturan tentang kefarmasian beserta penerapannya dalam
pelaksanaan praktik kefarmasian dan tantangan yang dihadapi oleh
pemangkukebijakan dan tenaga kefarmasian.

BAB II
LANDASAN PRAKTIK KEFARMASIAN DI INDONESIA

2
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai rujukan hukum tertinggi di Negara
Kesatuan Republik Indonesia haruslah diyakini oleh setiap warga Negara, akan mampu
menjadi payung perlindungan bagi setiap persoalan yang telah dan akan diatur oleh
berbagai peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya, termasuk diantaranya
pengaturan masalah kesehatan bidang kefarmasian. Berdasar pada pemikiran
demikian, maka setiap perbuatan kefarmasian dilapangan yang dilandasi niat baik bagi
tujuan penyelamatan jiwa dan nyawa manusia yang dilakukan oleh setiap tenaga
kefarmasian seyogiyanya dikembalikan kepada kandungan niat, semangat, amanah
dan tujuan dari UUD 1945 ini, tidak terkecuali dalam menilai dan menguji ketepatan dari
segala peraturan perundang-undangan kefarmasian di bawahnya.
Dalam Pembukaan UUD 1945 dapat dibaca adanya 4 (empat) tujuan dari
founding father sewaktu mendeklarasikan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
salah satu diantaranya adalah “Memajukan kesejahteraan umum”. Inilah hakikat
kehendak dari pendiri Negara ini terhadap warga bangsa Indonesia dari Sabang hingga
Merauke, yaitu masyarakat yang sejahtera. Termasuk dalam unsur kesejahteraan
masyarakat itu adalah masyarakat Indonesia yang sehat. Amahah pembukaan ini di
eksplisitkan dalam batang tubuh UUD 1945 pada Pasal 28H ayat (1), yang
menyebutkan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan”.
Akses layanan kesehatan di bidang kefarmasian, mencakup Akses Tenaga
Kefarmasian, sediaan farmasi (Narkotika, Psikotropika, Obat Keras, Obat Bebas
Terbatas, Obat Bebas, Jamu, Herbal Terstandar, & Psikofarmaka), Sarana-Prasarana
kefarmasian (Pabrik Farmasi, PBF, Apotek, & Praktek Apoteker), dan Akses pembinaan
dan perlindungan pelaksanaan pelayanan berupa UU, PP, Permekes, Pergub, Perbup,
SPM, SPO, dan Kode Etik. Pemerintah berkewajiban MEMASTIKAN AKSES YANG
BERMUTU terhadap layanan kefarmasian tersebut.
Sebagai tindak lanjut pemenuhan hak-hak warga Negara dalam
mengakses/menjangkau pelayanan kesehatan, maka DPR RI sebagai representasi
seluruh rakyat Indonesia membentuk beberapa UU yang berkaitan dengan upaya
kesehatan.
1. Undang-Undang No. 36 tahun 2009 Tenang Kesehatan
2. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
3. Peraturan Menteri Kesehatan No. 889/…… Tahun 2011 Tentang Registrasi
dan Surat Izin Kerja Tenaga Kefarmasian yang telah diubah dengan
Peraturan Menteri Kesehatan No. 31 Tahun 2016
4.

2.1.1 Beberapa Pengertian Penting dan Penjelasannya


Beberapa pengertian yang perlu diketahui untuk memahami berbagai
pengaturan yang menjadi substansi peraturan perundangan dalam bidang
kesehatan, sebagai berikut:
3
1. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang
digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik
promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Fasilitas pelayanan kesehatan dalam kata lain adalah hal yang yang
mencakup sebagai sarana dan prasarana kesehatan.

2. Teknologi kesehatan adalah segala bentuk alat dan/atau metode yang


ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosa, pencegahan, dan
penanganan permasalahan kesehatan manusia.

BAB III
SUMBER DAYA DAN UPAYA KESEHATAN

4
3.1 Definisi
Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun
sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomis
(Butir 1 dari Pasal 1, UU No. 36/2009)

Definisi sehat tersebut di atas bermakna bahwa sehat itu tidak hanya mengait pada fisik
semata, karena itu pengertian ini sejalan dengan teori dari Bapak Kedokteran Modern,
Ibnu Sina (980-1037) yang menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk multi-
dimensi, bukan hanya seonggok daging seperti mesin yang dapat diperlakukan
seenaknya secara teknis, oleh para montir (tenaga kesehatan). Sebab itulah dia
mempostulatkan bahwa manusia itu memiliki kekuatan fitrah (imunitas) yang
bergantung kepada empat faktor yaitu spiritual (50%), mental (20%), emosional (20%),
dan fisikal (10%).

3.2 Sumber Daya Kesehatan


Sumber Daya di bidang Kesehatan adalah segala bentuk tenaga, dana,
perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan
kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan
yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
(Butir 2 dari Pasal 1, UU No. 36/2009)

3.3 Upaya dan Pelayanan Kesehatan


Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit
(preventif), peningkatan kesehatan (promotif), pengobatan penyakit (kuratif), dan
pemulihan kesehatan (rehabilitatif) oleh pemerintah dan/atau masyarakat.
(Butir 11 dari Pasal 1, UU No. 36/2009)

Beberapa upaya kesehatan, yang mencakup sbb:


1. Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang
bersifat promosi kesehatan.
(Butir 12 dari Pasal 1, UU No. 36/2009)

2. Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap


suatu masalah kesehatan/penyakit.
(Butir 13 dari Pasal 1, UU No. 36/2009)

3. Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian


kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit,
pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau
pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal
mungkin.
5
(Butir 14 dari Pasal 1, UU No. 36/2009)

4. Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian


kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat
sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna
untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuannya.
(Butir 15 dari Pasal 1, UU No. 36/2009)

(1) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


47 dilaksanakan melalui kegiatan:
a. pelayanan kesehatan;
b. pelayanan kesehatan tradisional;
c. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;
d. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan;
e. kesehatan reproduksi;
f. keluarga berencana;
g. kesehatan sekolah;
h. kesehatan olahraga;
i. pelayanan kesehatan pada bencana;
j. pelayanan darah;
k. kesehatan gigi dan mulut;
l. penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan
pendengaran;
m. kesehatan matra;
n. pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan;
o. pengamanan makanan dan minuman;
p. pengamanan zat adiktif; dan/atau
q. bedah mayat.
(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didukung oleh sumber daya kesehatan.
{Pasal 48, UU 36/2009}

(1) Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan


penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga.
(2) Pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan
masyarakat.
(3) Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding
kepentingan lainnya
{Pasal 53, UU 36/2009}

6
Empat upaya kesehatan yang disebut di atas, secara khusus juga disebut
sebagai kelompok pelayanan kesehatan konvensional. Dilain pihak juga
dikembangkan upaya pelayanan kesehatan tradisional.

Pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan


dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun
temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan
sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
(Butir 16 dari Pasal 1, UU No. 36/2009)

(1) Berdasarkan cara pengobatannya, pelayanan kesehatan tradisional terbagi


menjadi:
a. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan; dan
b. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan ramuan.
(2) Pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibina dan diawasi oleh Pemerintah agar dapat dipertanggungjawabkan
manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan jenis pelayanan kesehatan
tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
{Pasal 59, UU No. 36/2009}

3.4 Praktik Kefarmasian di Indonesia


Dalam Undang-undang Kesehatan disebutkan, bahwa:
(1) Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian
obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
{Pasal 108, UU No. 36/2009}

Sementara itu dalam Peraturan Pemerintah tentang Pekerjaan Kefarmasian,


menyebut praktik kefarmasian sebagai pekerjaan kefarmasian, sebagaimana berikut ini.

Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu


Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau
penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional.
{Pasal 1 butir 1, PP No. 51/2009}

7
Lebih lanjut praktik/pekerjaan kefarmasian itu pada pasal berikutnya diuraikan,
sebagai berikut:
Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian meliputi:
1) Pekerjaan Kefarmasian dalam Pengadaan Sediaan Farmasi;
2) Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi;
3) Pekerjaan Kefarmasian dalam Distribusi atau Penyaluran Sediaan
Farmasi; dan
4) Pekerjaan Kefarmasian dalam Pelayanan Sediaan Farmasi.
{Pasal 59, PP No. 51/2009}

Pekerjaan kefarmasian dalam bentuk kegiatan pengadaan, dalam Permenkes


dikelompokan ke dalam pekerjaan mengelola, yaitu sebagaimana berikut ini:
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. pemilihan;
b. perencanaan kebutuhan;
c. pengadaan;
d. penerimaan;
e. penyimpanan;
f. pendistribusian;
g. pemusnahan dan penarikan;
h. pengendalian; dan
i. adminstrasi
{Pasal 3 butir 2, Permenkes No. 72/2016}

Uraian teknis pasal dan ayat:


Secara teknis ditemukan ketidakkonsistenan nomenklatur pada pasal 108 dari UU
No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan yang menuliskan kata “Praktik Kefarmasian”,
sedangkan Pasal 1 butir 1 dari PP No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian
menuliskan kata “Pekerjaan Kefarmasian”, untuk definisi yang nyaris sama. Karena
itu dalam buku ini penulisan nomenklatur ini, selanjutnya dianggap suatu hal tidak
berbeda. Selain itu dalam buku ini nantinya juga akan muncul kata “Praktik Apoteker”,
maka kata Apoteker pada nomenklatur ini juga bermakna sama dengan kata
“Kefarmasian”. Sehingga akhirnya penulisan prasa “Praktik Kefarmasian, Pekerjaan
Kefarmasian dan Praktik Apoteker” dalam buku ini, dianggap memiliki maksud atau
definisi yang sama.

Berdasarkan terhadap pasal 108 UU No. 36/2009 dan Pasl 1 butir 1 PP No.
51/2009) di atas, praktik kefarmasian di Indonesia mencakup:
1) Praktik Pembuatan Sediaan Farmasi (obat, bahan obat dan obat tradisional);
2) Praktik Pengelolaan Sediaan Farmasi, yang mencakup pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat;
3) Praktik Pelayaan obat atas resep dokter dan pelayanan informasi obat; serta
4) Praktik Pengembangan Sediaan Farmasi.

3.4.1 Praktik Pembuatan Sediaan Farmasi

8
Kegiatan-kegiatan pembuatan sediaan farmasi ini di Indonesia dapat
ditemukan dalam Permenkes, yaitu:

(1) Proses pembuatan obat dan/atau bahan obat hanya dapat dilakukan
oleh industri farmasi
(2) Selaian industri farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instalasi
Farmasi Rumah Sakit dapat melakukan proses pembuatan untuk
keperluan pelaksanaan pelayanan kesehatan di rumah sakit yang
bersangkutan
(3) Instalasi Farmasi Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan CPOB yang dibuktikan
dengan sertifikat CPOB.
(Pasal 2, PMK 1799/Menkes/Per/XII/2010)

“Apoteker“: Mereka yang sesuai dengan peraturan yang berlaku


mempunyai wewenang untuk menjalankan praktek peracikan obat di
Indonesia sebagai seorang Apoteker sambil memimpin sebuah Apotek.
(Pasal 1 Huruf b, St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949)

Demikian pula dalam beberapa Permenkes Tentang Standar Pelayanan


Kefarmasian di Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas dan Apotek,
pada kegiatan dispensing disebutkan bahwa setelah melakukan pengkajian
resep dapat dilakukan: “…… Melakukan peracikan Obat bila diperlukan”

Uraian teknis pasal dan ayat:


Merujuk kepada Staatblath Tahun 1949 dan PMK 1799 Tahun 2010 di atas,
maka praktik pembuatan sediaan farmasi di Indonesia yang dilakukan oleh Apoteker
yang memiliki kompetensi bidang formulasi dan farmakokinetika, dikategorikan atas:
1) Praktik produksi obat
Kegiatan pembuatan sediaan obat dalam kategori produksi hanya dapat
dilaksanakan pada industri farmasi, dan untuk memenuhi kebutuhan tertentu
dapat oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit sesuai ketentuan yang berlaku.
Sediaan farmasi hasil produksi industri yang dimaksudkan untuk diedarkan,
harus memiliki izin edar, nomor register, dikemas dan dilengkapi brosur
deskripsi obat lengkap berdasarkan referensi ilmiah yang diakui, serta
kegiatan penyerahannya ketika diedarkan hanya ke fasilitas pelayanan
kefarmasian yang memiliki Apoteker penanggungjawab. Sedangkan sediaan
hasil produksi Instalasi Farmasi Rumah Sakit, yang hanya diedarkan dan
digunakan terbatas dalam lingkungan rumah sakit yang bersangkutan, tidak
perlu memiliki izin edar.

(1) Obat yang diedarkan di wilayah Indonesia, sebelumnya harus dilakukan


registrasi untuk memperoleh Izin Edar;
(2) Izin Edar diberikan oleh Menteri;

9
(3) Menteri melimpahkan pemberian Izin Edar kepada Kepala Badan
(Badan POM);
(4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk:
a. Obat penggunaan khusus atas permintaan dokter;
b. Obat Donasi;
c. Obat untuk Uji Klinik;
d. Obat Sampel untuk Registrasi.
(Pasal 2, Permenkes RI No. 1010/MENKES/PER/XI/2008)

2) Praktik peracikan obat


Berbeda dari pembuatan sediaan obat di industri farmasi, pembuatan sediaan
obat di fasilitas pelayanan kefarmasian seperti Apotek atau di Instalasi
Farmasi hanya dapat dilakukan atas permintaan/rekomendasi dokter
berdasarkan resep. Pembuatan sediaan di sini harus atas permintaan dokter
untuk terapi pasien sesuai diagnosisnya, yang ketika penyerahannya kepada
pasien harus disertai etiket dan konseling oleh Apoteker.

3.4.2 Praktik Pengelolaan Sediaan Farmasi

Industri Farmasi yang menghasilkan obat dapat mendistribusikan atau


menyalurkan hasil produksinya langsung kepada PBF, Apotek, IFRS,
Puskesmas, Kilnik, dan toko obat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(Pasal 20 Ayat (1), PMK 1799/Menkes/Per/XII/2010)

PBF dan PBF Cabang hanya dapat mengadakan, menyimpan dan


menyalurkan obat dan/atau bahan obat yang memenuhi persyaratan mutu
yang ditetapkan oleh Menteri.
(Pasal 13 Ayat (1), PMK 1148 / Menkes / Per / VI / 2011)

Setiap PBF dan PBF Cabang harus memiliki apoteker penanggung jawab
yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan ketentuan pengadaan,
penyimpanan dan penyaluran obat dan/atau bahan obat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13”
(Pasal 14 Ayat (1), PMK 1148 / Menkes / Per / VI / 2011)

Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis


Pakai (di Rumah Sakit) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi: a. pemilihan; b. perencanaan kebutuhan; c. pengadaan; d.
penerimaan; e. penyimpanan; f. pendistribusian; g. pemusnahan dan
penarikan; h. pengendalian; dan i. administrasi.
(Pasal 3 Ayat (2), PMK 72 Th. 20016)

Pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai (di Puskesmas)


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. perencanaan
10
kebutuhan; b. permintaan; c. penerimaan; d. penyimpanan: e.
pendistribusian; f. pengendalian; g. pencatatan, pelaporan, dan
pengarsipan; dan h. pemantauan dan evaluasi pengelolaan.
(Pasal 3 Ayat (2), PMK 30 Th. 2014)

Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis


Pakai (di Apotek) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a.
perencanaan; b. pengadaan; c. penerimaan; d. penyimpanan; e.
pemusnahan; f. pengendalian; dan g. pencatatan dan pelaporan.
(Pasal 3 Ayat (2), PMK 73 Th. 2016)

Uraian teknis pasal dan ayat:


Praktik pengelolaan sediaan farmasi cakupan kegiatannya beragam menurut jenis
fasilitas pelayanan kefarmasiannya. Semua fasilitas kefarmasian melakukan aktivitas
pengelolaan sediaan farmasi, yang antara lain adalah industri farmasi, pedaang besar
farmasi (distributor), instalasi farmasi pada unit distribusi pemerintah (pusat, daerah dan
kabupaten), apotek, instalasi farmasi kilinik (IF-Klinik)/puskesmas (IF-Pkm)/rumah sakit
(IF-RS), juga toko obat berizin (TO). Aktivitas pengelolaan itu sebagai contoh di
instalasi farmasi rumah sakit dapat mencakup kegiatan pemilihan, perencanaan
kebutuhan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan
penarikan, pengendalian, dan adminstrasi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai. Kegiatan pengelolaan ini sejatinya hanya dalam
tanggungjawab profesi Apoteker, meski demikian pada toko obat berizin sementara ini
masih diperkenankan oleh seorang Tenaga Teknis Kefarmasian, kewenangan ini
dengan sendirinya sudah tidak sesuai dengan ketentuan pasal 65 ayat (2), UU No. 36
tahun 2014 tentang tenaga kesehatan.

3.4.3 Praktik Pelayanan Sediaan Farmasi

Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan


bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi
dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu
kehidupan pasien.
(Pasal 1 Nomor 3, PMK 73 Th. 2016)

Uraian teknis pasal dan ayat:


Praktik pelayanan sediaan farmasi dilakukan di berbagai fasilitas pelayanan
kefarmasian, yaitu di Apotek, IF-RS, IF-Pkm, IF-Klinik dan TO. Bentuk dari pekerjaan
pelayanan sediaan farmasi ini adalah penyerahan sediaan farmasi dari tenaga
kefarmasian, baik Apoteker maupun TTK secara langsung kepada pasien atau
masyarakat. Kegiatan menyerahkan itu dengan kata lain adalah bentuk kegiatan
memindahtangankan sediaan farmasi, sehinggga sediaan itu dikuasai sepenuhnya dan
kemudian dapat dibawa/diangkut oleh pasien/masyarakat tersebut. Hal ini berbeda
dengan kata penyerahan pada kegiatan distribusi, yang dalam konteks ini adalah

11
penyerahan kepada fasilitas pelayanan kefarmasian, bukan penyerahan kepada orang
pribadi.

3.4.4 Praktik Pengembangan Sediaan Farmasi

(1) Industri farmasi dapat melakukan kegiatan proses pembuatan obat


dan/atau bahan obat untuk:
a. Semua tahapan; dan/atau
b. Sebagian tahapan.
(2) Industri farmasi yang melakukan kegiatan proses pembuatan obat
dan/atau bahan obat untuk sebagian tahapan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b harus berdasarkan penelitian dan
pengembangan yang menyangkut produk sebagai hasil kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
(3) Produk hasil penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat dilakukan proses pembuatan sebagian tahapan
oleh industri farmasi di Indonesia.
(Pasal 3, PMK 1799/Menkes/Per/XII/2010)

Uraian teknis pasal dan ayat:


Pengembangan bentuk-bentuk dan jenis sediaan farmasi dalam bentuk riset
ilmiah (penelitian), khsususnya dari aspek farmasetika dan farmakokinetika
adalah bagian dari praktik kefarmasian. Praktik pembuatan (formulasi) obat oleh
Apoteker di Industri Farmasi secara mutlak harus berdasarkan atas hasil
penelitian/riset ilmiah dalam melahirkan produk/sediaan farmasi.

BAB IV
TENAGA KESEHATAN

4.1 Tenaga di Bidang Kesehatan


Tenaga di bidang kesehatan terdiri atas:
12
a. Tenaga Kesehatan; dan
b. Asisten Tenaga Kesehatan.
{Pasal 8, UU No. 36/2014}

A. Tenaga Kesehatan

Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di
bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan
{Pasal 1, UU No. 36/2009 & Pasal 1, UU No. 36/2014}

Tenaga Kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum Diploma III, kecuali tenaga
medis.
{Pasal 9 UU 36/2014}

Uraian teknis pasal dan ayat:


Merujuk pada beberapa ketentuan di atas, maka setiap tenaga kesehatan minimal
harus lulusan perguruan tinggi Diploma III bidang kesehatan, kecuali tenaga
medis/kedokteran minimal adalah lulusan pendidikan tinggi program sarjana (S-1)
bidang kedokteran.
Seseorang disebut sebagai tenaga kesehatan manakala yang bersangkutan telah
lulus dan telah memiliki ijazah dari suatu pendidikan tinggi kesehatan sebagai
pengakuan telah memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu, kemudian telah
terdaftar di kementerian kesehatan dengan bukti memiliki Surat Tanda Registrasi (STR)
sebagai tenaga kesehatan tertentu.

Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kefarmasian terdiri
atas apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK).
{Pasal 11 (6), UU 36/2014 & Pasal 33, PP 51/2009}

1. Apoteker

“Apoteker“: Mereka yang sesuai dengan peraturan yang berlaku mempunyai


wewenang untuk menjalankan praktek peracikan obat di Indonesia sebagai
seorang Apoteker sambil memimpin sebuah Apotek.
{Pasal 1 Ayat (1b); (St. No. 419/1949)}

Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.
{Pasal 1 butir 5, PP 51/2009}

Pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang


mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan
keahlian khusus.
{penjelasan Pasal 15, UU No. 20/2003}

Uraian teknis pasal dan ayat:


13
Mencermati secara seksama terhadap ketentuan pada St. 419/1949, PP 51/2009
dan Permendiknas 8/2009, maka Apoteker secara fungsional di Indonesia memiliki
pengertian, sebagai berikut:
a. Seseorang yang berpendidikan sarjana farmasi, yang kemudian
lulus dari pendidikan profesi apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan
apoteker; dan
b. Apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker yang
berwewenang menjalankan praktek peracikan obat di Indonesia sebagai seorang
Apoteker adalah yang memimpin sebuah Apotek.

Dalam lingkup pengertian ini, dengan diperbolehkannya kehadiran satu Apoteker


atau lebih di sebuah fasilitas pelayanan kefarmasian, maka tanggungjawab praktik
peracikan obat ada di pundak Apoteker pemegang/pemilik Surat Izin Apotek (SIA) atau
pada setiap Apoteker yang ditunjuk/ditugaskan oleh pimpinan fasilitas pelayanan
kesehatan bersangkutan sebagai penanggungjawab fasilitas/instalasi/unit pelayanan
farmasi, bukan pada Apoteker praktik semata (hanya memilik SIPA).

2. Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK)

Tenaga Teknis Kefarmasian itu terdiri dari sarjana farmasi, ahli madya farmasi,
dan analis farmasi.
{penjelasan Pasal 11 (6), UU 36/2014}

Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta


didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara
dengan program sarjana.
{penjelasan Pasal 15, UU No. 20/2003}

Uraian teknis pasal dan ayat:


Persyaratan tenaga kesehatan yang harus minimal berpendidikan Diploma III (D-
III) kesehatan, sementara pendidikan vokasi maksimal berpendidikan setara program
sarjana, maka artinya setiap TTK itu harus berpendidikan mulai dari D-III hingga
Sarjana Kefarmasian (S-1). Karena tenaga vokasi itu didik agar terampil untuk
melakukan pekerjaan dengan keahlian tertentu (terapan), yang saat ini di Indonesia
terdiri atas:
a. TTK berpendidikan S-1 farmasi, dengan kompetensi umum mencakup keahlian
penyiapan sediaan farmasi dan analis farmasi (analisa fisiko kimia sediaan farmasi);
b. TTK berpendidikan D-III ahli madya farmasi; dan
c. TTK berpendidikan D-III analis farmasi

B. Asisten Tenaga Kesehatan (Asnakes)

Asisten Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui
pendidikan bidang kesehatan di bawah jenjang Diploma III .
14
{Pasal 1 dan Pasal 10 (1), UU No. 36/2014}

Uraian teknis pasal dan ayat:


Definisi untuk setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan,
dengan pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bawah jenjang DIII,
di Indonesia tidak dapat dikategorikan sebagai tenaga kesehatan, karena itu mungkin
dapat dikelompokan sebagai “caregiver” di bidang kesehatan.

Pada bidang kesehatan “Caregiver” adalah seseorang yang memiliki profesi


melayani (merawat) kebutuhan fisik orang tua/orang sakit (aktivitas mulai dari bangun
tidur sampai tidur seperti kebutuhan personal hygiene, eliminasi, mobilisasi), kebutuhan
medis seperti minum obat, terapi fisik, kebutuhan sosial (menjadi teman bicara), atau
kebutuhan spiritual (berdoa bersama). Berbeda dengan tenaga kesehatan, “caregiver”
pada bidang kefarmasian tidak boleh menangani tindakan yang menjadi kewenangan
tenaga farmasi, seperti meracik, menyerahkan atau melakukan pemberian informasi
obat yang biasa dilakukan oleh tenaga kefarmasian.
“Caregiver” yang menjadii bagian dari institusi kesehatan, namun tidak beperan
sebagai tenaga yang memiliki kewenangan pada praktik kesehatan. Mereka mengisi
posisi-posisi sebagai tenaga teknis umum dan administrasi. Karena itu pengetahuan
kesehatan yang mereka miliki akan sangat membantu pada pelaksanaan pekerjaan
teknis dan administrasi tersebut. Secara khusus jika berkaitan dengan pelayanan
pasien “caregiver” sangat membantu mendampingi pasien dalam melakukan aktivitas
pribadi yang biasa dilakukan sendiri oleh pasien, yang dalam kondisi tidak normal tidak
dapat mereka lakukan secara mandiri.

4.2 Kompetensi dan Kewenangan Tenaga Kefarmasian


(1) Mahasiswa bidang kesehatan pada akhir masa pendidikan vokasi dan profesi
harus mengikuti Uji Kompetensi secara nasional.
(2) Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh
Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Organisasi Profesi, lembaga
pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi.
(3) Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditujukan untuk
mencapai standar kompetensi lulusan yang memenuhi standar kompetensi
kerja.
(4) Standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun oleh
Organisasi Profesi dan konsil masing-masing Tenaga Kesehatan dan
ditetapkan oleh Menteri.
(5) Mahasiswa pendidikan vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
lulus Uji Kompetensi memperoleh Sertifikat Kompetensi yang diterbitkan oleh
Perguruan Tinggi.
(6) Mahasiswa pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
lulus Uji Kompetensi memperoleh Sertifikat Profesi yang diterbitkan oleh
Perguruan Tinggi.

15
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Uji Kompetensi diatur
dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pendidikan.
{Pasal 21, UU No. 36/2014}

5. Kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang Tenaga Kesehatan


berdasarkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan sikap profesional untuk
dapat menjalankan praktik.
6. Uji Kompetensi adalah proses pengukuran pengetahuan, keterampilan, dan
perilaku peserta didik pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan
pendidikan tinggi bidang Kesehatan.
7. Sertifikat Kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap Kompetensi
Tenaga Kesehatan untuk dapat menjalankan praktik di seluruh Indonesia
setelah lulus uji Kompetensi.
8. Sertifikat Profesi adalah surat tanda pengakuan untuk melakukan praktik
profesi yang diperoleh lulusan pendidikan profesi.
9. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap Tenaga Kesehatan yang telah
memiliki Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi dan telah mempunyai
kualifikasi tertentu lain serta mempunyai pengakuan secara hukum untuk
menjalankan praktik.
10. Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis
yang diberikan oleh konsil masing-masing Tenaga Kesehatan kepada Tenaga
Kesehatan yang telah diregistrasi.
11. Surat Izin Praktik yang selanjutnya disingkat SIP adalah bukti tertulis yang
diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota kepada Tenaga Kesehatan
sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik.
{Pasal 1 butir 5 s/d 11, UU No. 36/2014}

(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik wajib memiliki STR.
(2) STR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh konsil masing-
masing Tenaga Kesehatan setelah memenuhi persyaratan.
{Pasal 44 (1) dan (2), UU No. 36/2014}

(1) Setiap tenaga kefarmasian yang menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib


memiliki surat tanda registrasi.
(2) Surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. STRA
bagi Apoteker; dan b. STRTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian.
{Pasal 2 (1) dan (2), Permenkes No. 889/Menkes/Per/V/2011 }

(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik di bidang pelayanan


kesehatan wajib memiliki izin.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk SIP.

16
(3) SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota atas rekomendasi pejabat kesehatan yang berwenang di
kabupaten/kota tempat Tenaga Kesehatan menjalankan praktiknya.
{Pasal 46 (1) dan (2), UU No. 36/2014}

Uraian teknis pasal dan ayat:


Seseorang disebut tenaga kesehatan dalam hal ini tenaga kefarmasian (Apoteker
dan TTK), jika memenuhi kriteria, yaitu:
a. Lulusan pendidikan tinggi farmasi minimal D-III, dibuktikan dengan memiliki ijazah
(Apoteker atau TTK);
b. Telah mengucapkan sumpah jabatan sebagai tenaga kefarmasian (Apoteker dan
TTK), dibuktikan dengan memiliki sertifikat surat sumpah;
c. Telah lulus uji kompetensi, yang mencakup unsur pengetahuan (knowledge),
keterampilan (skill), dan sikap professional (attitude), dibuktikan dengan memiliki
sertifikat kompetensi untuk TTK atau sertifikat profesi untuk Apoteker;
d. Telah terdaftar di Kementerian Kesehatan sebagai tenaga kesehatan, dibuktikan
dengan memiliki surat tanda registrasi (STRA untuk Apoteker atau STR TTK untuk
TTK); dan
e. Mengabdikan diri kepada dunia kesehatan, dibuktikan dengan memiliki Surat Izin
Praktik (SIPA untuk Apoteker atau SIP TTK untuk TTK).

4.3 Jenis dan Tingkat Kewenangan Tenaga Kefarmasian


(1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan
kesehatan.
(2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang
dimiliki.
(3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib
memiliki izin dari pemerintah.
(4) Selama memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai materi.
(5) Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dalam Peraturan Menteri.
{Pasal 23, UU No. 36/2009}

Uraian teknis pasal dan ayat:


Ayat (1) dan (2): setiap tenaga kesehatan sesuai dengan keahliannya berwenang
menyelenggarakan salah satu atau lebih kegiatan pelayanan kesehatan yang dirincikan
pada pasal 48, UU No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan. Sebagai contoh tenaga
kefarmasian berwenang menyelenggarakan kegiatan pelayanan praktik kefarmasian
pada pelayanan kesehatan perorangan dan kesehatan masyarakat, baik dalam upaya
kesehatan promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif.
Ayat (3): penyelenggaraan pelayanan kesehatan oleh setiap tenaga kesehatan
wajib memiliki Surat Izin Praktik (SIP) dan Surat Izin Operasional, bilamana pelayanan

17
kesehatan dilaksanakan atas nama institusi tertentu, seperti rumah sakit, klinik,
puskesmas, apotek, atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.

Berdasarkan ketentuan ayat (1), (2) dan (3) pasal 23 UU No. 36 Tahun 2009,
maka tenaga Apoteker memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan
(praktik) kefarmasian, setelah memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) yang
diterbitkan oleh Kabupaten/Kota setempat.

Dalam melakukan pekerjaan (praktik) kefarmasian, TTK dapat menerima pelimpahan


pekerjaan kefarmasian dari tenaga apoteker.
{Pasal 65 (2), UU 36/2014}

Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki STR (STRTTK) mempunyai


wewenang untuk melakukan Pekerjaan Kefarmasian di bawah bimbingan dan
pengawasan Apoteker yang telah memiliki STR (STRA) sesuai dengan pendidikan
dan keterampilan yang dimilikinya.
{Pasal 50 (2), PP 51/2009}

Fasilitas Pelayanan Kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e


(maksudnya: TOKO OBAT) dilaksanakan oleh TTK yang memiliki STR (STRTTK) sesuai
dengan tugas dan fungsinya.
{Pasal 26, PP 51/2009}

Uraian teknis pasal dan ayat:


Pengaturan kewenangan tenaga kefarmasian pada penyelenggaraan praktik
kefarmasian, sebagaimana pada pasal 65 ayat (2) ditentukan bahwa TTK dapat
melaksanakan praktik kefarmasian setelah menerima pelimpahan pekerjaan (praktik)
kefarmasian dari apoteker. Dengan ungkapan lain bahwa TTK tidak dapat
melaksanakan praktik kefarmasian, apabila tidak memperoleh pelimpahan praktik dari
apoteker.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pelimpahan berasal dari kata
dasar limpah. Limpah memiliki arti proses, cara, atau perbuatan melimpahkan
(memindahkan) hak, wewenang, dan sebaginya. Sebab itu pelimpahan pekerjaan
(praktik) kefarmasian dari tenaga apoteker dapat dimaknai sebagai melimpahkan
proses, cara, atau perbuatan (pekerjaan/praktik) kefarmasian oleh tenaga apoteker
kepada TTK.
Dalam bahasa yang lebih sederhana, adalah apoteker memberi pekerjaan-
pekerjaan teknis kefarmasian kepada TTK, yang tidak dapat/mungkin dilaksanakan
seorang diri oleh apoteker sehingga perlu bantuan dari tenaga lain sebagai pelaksana
teknis/proses. Dengan batasan ini praktik kefarmasian oleh TTK di Indonesia tidaklah
bersifat mandiri, akan tetapi harus dalam pengawasan seorang tenaga apoteker.

Bertitik tolak dari ketentuan pasal 65 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2014 Tentang
Tenaga Kesehatan, maka penyelengaraan praktik TTK di Toko Obat sebagaimana
diatur pada pasal 26 dari PP No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian,
sudah tidak memiliki kekuatan hukum.

18
4.4 Pelimpahan dan Pendelegasian Praktik Kefarmasian
A. Pelimpahan Praktik Kefarmasian
Pelimpahan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pasal
65 dilakukan dengan ketentuan:
a. tindakan yang dilimpahkan termasuk dalam kemampuan dan
keterampilan yang telah dimiliki oleh penerima pelimpahan;
b. pelaksanaan tindakan yang dilimpahkan tetap di bawah
pengawasan pemberi pelimpahan;
c. pemberi pelimpahan tetap bertanggung jawab atas tindakan yang
dilimpahkan sepanjang pelaksanaan tindakan sesuai dengan pelimpahan
yang diberikan; dan
d. tindakan yang dilimpahkan tidak termasuk pengambilan keputusan
sebagai dasar pelaksanaan tindakan.
{Pasal 65 (3), UU No. 36/2014}

Uraian teknis pasal dan ayat:


Huruf a dan b: tindakan atau pelaksanaan teknis pekerjaan (praktik) kefarmasian
kepada TTK harus sesuai kemampuan dan keterampilan yang telah dimiliki, melalui
pendidikan tinggi farmasi, serta pelaksanaan teknis pekerjaan tersebut di bawah
pengawasan dari Apoteker yang memberi pelimpahan praktik kefarmasian.
Huruf c: pelaksanaan praktik yang dilimpahkan kepada TTK, selain
dipertanggjawabkan oleh TTK sendiri, Apoteker sebagai pemberi pelimpahan juga tetap
ikut bertanggungjawab.
Huruf d: bagian pekerjaan yang dilimpahkan tidak termasuk hal-hal yang terkait
dengan pengambilan keputusan, sebagai contoh yaitu:
1) praktik konsultasi dengan dokter penulis resep;
2) praktik pengkajian resep;
3) praktik penggantian merk dagang obat;
4) praktik penyerahan obat atas resep dokter;
5) praktik konseling pasien;
6) praktik penandatanganan pesanan obat keras, psikotropika dan narkotika.

B. Praktik Kefarmasian Bukan Oleh Tenaga Apoteker


a. Praktik Kefarmasian oleh Dokter/Dokter Gigi

1) Praktik Kefarmasian pada Praktik Mandiri Dokter/Dokter Gigi

Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi
mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan
pendidikan dan kompetensi yang dimiliki, yang terdiri atas:
i. menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan; dan
{Pasal 35 (1) huruf i, UU No. 29/2004}
19
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kewenangan bagi dokter
dan dokter gigi untuk menyimpan obat selain obat suntik sebagai
upaya untuk menyelamatkan pasien. Obat tersebut diperoleh dokter
atau dokter gigi dari apoteker yang memiliki izin untuk mengelola
apotek. Jumlah obat yang disediakan terbatas pada kebutuhan
pelayanan.
{penjelasan Pasal 35 (1) huruf i, UU No. 29/2004}

Uraian teknis pasal dan ayat:


Praktik menyimpan obat, sejatinya adalah praktik kefarmasian yang merupakan
kompetensi dari Apoteker, namun karena atas pertimbangan nilai-nilai kemanusian
yang tidak jarang dihadapi oleh tenaga medik dikala dihadapkan pada kondisi gawat
darurat pasien, maka dokter/dokter gigi diberi (didelegasikan) menyimpan obat melalui
undang-undang. Jenis bahan berkhasiat dalam jumlah dan jenis sediaan yang
diizinkan, yang mencakup sediaan obat suntik dan sediaan selain obat suntik tertentu,
ditetapkan dalam Kepmenkes No. HK.01.07/Menkes/263/2018 Tentang Daftar Obat
Keadaan darurat Medis pada Praktik mandiri Dokter, sebagai berikut:

KESATU : Daftar obat keadaan darurat medis pada praktik mandiri dokter
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini.
KEDUA : Daftar obat keadaan darurat medis pada praktik mandiri dokter
sebagaimana dimaksud dalam dictum kesatu merupakan daftar
jenis obat yang diperlukan untuk penanganan kasus pasien dalam
keadaan darurat medis.
KETIGA : Jenis dan jumlah obat sebagaimana dimaksud dalam dictum kedua
diperoleh berdasarkan surat permintaan obat dari Dokter kepada
apotek dan memperhatikan pengelolaan obat yang dapat
menjamin mutu, keamanan dan khasiat/manfaat.
KEEMPAT : Jenis dan jumlah obat sebagaimana dimaksud dalam dictum kedua
dapat disimpan sesuai kebutuhan.
Lampiran : DAFTAR OBAT KEADAAN DARURAT MEDIS PADA PRAKTIK
MANDIRI DOKTER
1. Adrenalin (Epinefrin) inj. 01,% (iv/sk/im)
2. Lidokain inj 2% (infilt/pv)
3. Atropin inj 0,25mg/ml (iv/im/sk)
4. Isosorbidinitrat tab 5mg dan 10mg
5. Oksigen
6. NaCl inf
7. Deksametason inj 5mg/ml (iv/im)
8. Salbutamol cairan ih 30mcg dan 50mcg
9. Ringer Lactat inf

20
10. Glukosa 40%
11. Diazepam inj 5mg/ml (iv), enema 5mg/2,5mL, dan enema 10mg/2,5mL
12. Klorpromazin inj 5mg/ml (im)
13. Difenhidramin inj 10mg/ml
14. Domperidon tab 10mg, sir 5mg/5ml, dan drops 5mg/ml
15. Ketoprofen supp 100mg
{Kepmenkes No. HK.01.07/Menkes/263/2018}

2) Praktik Kefarmasian Dokter/Dokter Gigi di Daerah Terpencil

Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi
mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan
pendidikan dan kompetensi yang dimiliki, yang terdiri atas:
j. meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di
daerah terpencil yang tidak ada apotek.
{Pasal 35 (1) huruf j, UU No. 29/2004}

b. Praktik Kefarmasian oleh Bidan

1) Praktik Kefarmasian oleh Bidan pada Praktik Mandiri

Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


berwenang untuk:
d. pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum;
{Pasal 10 (3) huruf g, Permenkes No. 1464/Menkes/Per/X/2010}

Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan anak sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk:
d. pemberian imunisasi rutin sesuai program pemerintah
{Pasal 11 (2) huruf d, Permenkes No. 1464/Menkes/Per/X/2010}

(1) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11,
dan Pasal 12 Bidan yang menjalankan program pemerintah berwenang
melakukan pelayanan kesehatan meliputi:
a. pemberian alat kontrasepsi suntikan, alat kontrasepsi dalam rahim,
dan memberikan pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit;
e. pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif
lainnya (NAPZA) melalui informasi dan edukasi; dan
(2) Pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit, asuhan antenatal terintegrasi,
penanganan bayi dan anak balita sakit, dan pelaksanaan deteksi dini,
merujuk, dan memberikan penyuluhan terhadap Infeksi Menular Seksual
(IMS) dan penyakit lainnya, serta pencegahan penyalahgunaan
Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) hanya dapat
dilakukan oleh bidan yang dilatih untuk itu.
{Pasal 13 ayat (1) huruf a dan h dan ayat (2), Permenkes No. 1464/Menkes/Per/X/2010}

21
Bidan dalam menjalankan praktik mandiri harus memenuhi persyaratan
meliputi:
c. memiliki sarana, peralatan dan obat sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
{Pasal 17 ayat (1) huruf c, Permenkes No. 1464/Menkes/Per/X/2010}

Uraian teknis pasal dan ayat:


Sesuai ketentuan Permenkes No. 1464/Menkes/Per/X/2010 di atas, profesi bidan
diperkenankan melakukan pelayanan kefarmasian tertentu secara terbatas pada pada
Praktik Mandiri Bidan. Kata “pemberian”, dalam Permenkes di atas tidaklah bisa berdiri
sendiri, karena harus diawali dengan praktik kefarmasian yang mencakup kegiatan
memesan/mengadakan, menerima dan menyimpan sediaan farmasi. Profesi bidan
memiliki kewenangan menyelenggarakan praktik kefarmasian tertentu tersebut adalah
berdasarkan pada Permenkes tersebut di atas, namun karena tidak memiliki rujukan
pada ketentuan undang-undang, maka belumlah memiliki kekuatan hukum yang
memadai. Akan tetapi kebijakan ini dapatlah dipahami untuk sukses program
pemerintah, khususnya program keluarga berencana dan imunisasi rutin dan bias.
Kewenangan “pemberian” sediaan farmasi sebenarnya kegiatan ini merupakan
bagian dari praktik kedokteran. Kata “pemberian” dalam hal ini bermakna memakai,
menelan atau mengkonsumsi sediaan farmasi. Praktik kefarmasian secara terbatas
yang dapat diselenggarakan oleh profesi bidan pada praktik mandiri, mencakup:
a. memesan, menerima dan menyimpan sediaan uterotonika, vaksin untuk imunisasi
rutin sesuai program pemerintah, alat kontrasepsi suntikan, alat kontrasepsi dalam
rahim, dan alat kontrasepsi bawah kulit; dan
b. memberikan informasi dan edukasi tentang pencegahan penyalahgunaan Narkotika,
Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA)
Mendukung penyelenggaraan praktik kefarmasian secara terbatas ini, maka
senapas dengan ketentuan dari beberapa peraturan perundangan terkait, Bidan hanya
dapat memperoleh sediaan farmasi yang diperlukan untuk praktik mandiri yaitu dari
Apotek terdekat di wilayah praktiknya.

2) Praktik Kefarmasian oleh Bidan di Daerah terpencil

(1) Dalam keadaan tertentu Tenaga Kesehatan dapat memberikan


pelayanan di luar kewenangannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai menjalankan keprofesian di luar
kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri
{Pasal 63 (1) dan (2), UU No. 36/2014}

Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah suatu kondisi tidak


adanya Tenaga Kesehatan yang memiliki kewenangan untuk melakukan
tindakan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan serta tidak dimungkinkan

22
untuk dirujuk. Tenaga Kesehatan yang dapat memberikan pelayanan di luar
kewenangannya, antara lain adalah:
a. perawat atau bidan yang memberikan pelayanan kedokteran dan/atau
kefarmasian dalam batas tertentu; atau
b. tenaga teknis kefarmasian yang memberikan pelayanan kefarmasian
yang menjadi kewenangan apoteker dalam batas tertentu.
{Penjelasan pasal 63 (1), UU No. 36/2014}

Uraian teknis pasal dan ayat:


Meskipun profesi bidan dapat melaksanakan praktik kefarmasian secara terbatas
berdasarkan ketentuan penjelasan dari pasal 63 ayat (1) UU No. 36 tahun 2014, akan
tetapi hingga terbitnya buku ini belum ada Peraturan Menteri yang mengatur tindak
lanjutnya.

c. Praktik Kefarmasian oleh Perawat


Meskipun pasal 63 ayat (1) dan penjelasan dari UU No. 36 Tahun 2014 (lihat
sub bagian Praktik Kefarmasian oleh Bidan di Daerah terpencil), mengatur
bahwa perawat dapat menyelenggarakan praktik kefarmasian di daerah
terpencil, namun hingga buku ini diterbitkan belumlah diterbitkan Peraturan
Menteri untuk mengatur tindak lanjut pengaturannya.

d. Praktik Kefarmasian oleh TTK Secara Mandiri

Dalam hal di daerah terpencil tidak terdapat Apoteker, Menteri dapat


menempatkan Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki STRTTK pada
sarana pelayanan kesehatan dasar yang diberi wewenang untuk meracik dan
menyerahkan obat kepada pasien.
{Pasal 21 (3), PP 51/2009}

Uraian teknis pasal dan ayat:


Merujuk pada pasal 63 ayat (1) dan penjelasannya dari UU No. 36 Tahun 2014
(lihat sub bagian Praktik Kefarmasian oleh Bidan di Daerah terpencil), di daerah
terpencil profesi tenaga kefarmasian selain Apoteker yaitu TTK, pun diperkenankan
untuk melakukan pelayanan kefarmasian yang pada dasarnya bukan bagian dari
kompetensinya sebagai TTK, namun hingga buku ini diterbitkan belum ada Permenkes
yang mengatur tindak lanjutnya. Sementara itu dalam pasal 21 ayat (3) khusus di
fasilitas pelayanan kesehatan dasar saja (contohnya di Puskesmas) TTK telah diberi
kewewenangan untuk meracik dan menyerahkan obat secara mandiri, tanpa
pengawasan Apoteker.
Pemahaman kata “meracik dan menyerahkan” sebagaimana diatur pada pasal
21 ayat (3) dari PP No. 51 Tahun 2009 ini, berbeda hakikatnya dengan kegiatan
meracik yang dilaksanakan di fasilitas pelayanan kefarmasian yang ada dalam

23
tanggungjawab seorang Apoteker. Meracik dan menyerahkan obat di fasilitas
kesehatan yang tidak ada Apotekernya, sepenuhnya menjadi tanggungjawab dari TTK.
Mendukung penyelenggaraan praktik kefarmasian secara terbatas ini, maka
senapas dengan ketentuan dari beberapa peraturan perundangan terkait, Dokter/Dokter
Gigi, Bidan, Perawat dan TTK hanya dapat memperoleh sediaan farmasi yang
diperlukan dari Apotek terdekat di wilayah praktiknya.

C. Pemilihan, Penulisan Resep dan Penggunaan Obat untuk Terapi


a. Praktik Kedokteran Terkait Penggunaan Obat
Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi
mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan
pendidikan dan kompetensi yang dimiliki, yang terdiri atas:
f. menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien;
g. melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi;
h. menulis resep obat dan alat kesehatan;
{Pasal 35 (1) huruf d, e dan f, UU No. 29/2004}

Uraian teknis pasal dan ayat:


Huruf d: dokter/dokter gigi memiliki kewenangan memilih tindakan
medik/kedokteran dan memilih obat yang sesuai dengan diagnosis/penyakit pasien. Di
Indonesia, profesi kesehatan lain tidak memiliki kewenangan melakukan tindakan
kedokteran ini.
Huruf e: praktik/tindakan medik yang berkaitan dengan tatalaksana penggunaan
obat antara lain pemasangan dan pencabutan infus, memberikan injeksi, pemasangan
IUD dan pelepasan IUD dengan penyulit, pemasangan implant dan pelepasan implant,
memberikan obat-obat KB (injeksi/oral), imunisasi (rutin+bias).
Huruf f: untuk memperoleh obat dan alat kesehatan yang diperlukan bagi
penyembuhan pasien, maka dokter/dokter gigi menuliskan rekomendasi (resep/instruksi
pada rekam medis pasien) kepada apoteker, untuk menyediakan obat bagi pasien
melalui praktik kefarmasian.

Merujuk pada pasal 35 ayat (1) huruf d, e dan f ini, dapat dipahami bahwa kewenangan
menentukan pilihan zat berkhasiat obat, menentukan pilihan tatalaksana penggunaan
obat, dan kewenangan menulis rekomendasi obat kepada Apoteker, hanya menjadi
otorisasi profesi kedokteran/kedokteran gigi.

b. Praktik Bidan Terkait Penggunaan Obat


Lihat Pemenkes No. 1464/Menkes/Per/X/2010 pada subbagian praktik
kefarmasian oleh Bidan pada Praktik mandiri.

Uraian teknis pasal dan ayat:


24
Berdasarkan pada Permekes di atas praktik kedokteran yang diselenggarakan
oleh profesi bidan secara terbatas yang berkaitan dengan sediaan farmasi yaitu
melakukan tindakan medik dengan intervensi langsung pada tubuh pasien berupa
penggunaan uterotonika, vaksin untuk imunisasi rutin sesuai program pemerintah, alat
kontrasepsi suntikan, alat kontrasepsi dalam rahim, dan alat kontrasepsi bawah kulit.

c. Praktik Perawat Terkait Penggunaan Obat


Dalam menjalankan tugas sebagai pemberi Asuhan Keperawatan di bidang
upaya kesehatan perorangan, Perawat berwenang:
j. melakukan penatalaksanaan pemberian obat kepada Klien sesuai
dengan resep tenaga medis atau obat bebas dan obat bebas terbatas.
{Pasal 30 (1) huruf j, UU No. 38/2014}

Dalam menyelenggarakan Praktik Keperawatan, Perawat bertugas sebagai:


e. pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang; dan/atau
f. pelaksana tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu
{Pasal 29 (1) huruf e dan f, UU No. 38/2014}

Pelaksanaan tugas berdasarkan pelimpahan wewenang sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e hanya dapat diberikan secara
tertulis oleh tenaga medis kepada Perawat untuk melakukan sesuatu
tindakan medis dan melakukan evaluasi pelaksanaannya.
{Pasal 32 (1), UU No. 38/2014}

Uraian teknis pasal dan ayat:


Pasal 30 ayat (1) huruf j dari UU No. 38 Tahun 2014, maka Perawat memiliki
kewenangan untuk menyelenggarakan tatalaksana penggunaan atau konsumsi obat
bagi pasien. Tatalaksana yang dimaksud:
a. membantu pasien dalam memakaikan/meminumkan obat bebas dan obat bebas
terbatas; dan
b. menjalankan pelimpahan wewenang melakukan sesuatu tindakan medis berupa
dengan intervensi langsung pada tubuh pasien yaitu penggunaan obat sesuai resep
dokter.
Merujuk pada UU No. 38 Tahun 2014 ini, maka profesi perawat tidak memiliki
kewenangan apapun dalam menyelenggarakan praktik kefarmasian di tempat
praktiknya, semisal menyimpan, meracik atau menyerahkan obat, kecuali pada
daerah/wilayah terpencil sebagaimana diatur pada pasal 63 ayat (1), UU No. 36 tahun
2014.

D. Penggunaan Obat Terhadap Pasien


(1) Penyerahan persediaan untuk penyerahan dan penawaran untuk penjualan
dari bahan-bahan G, demikian pula memiliki bahan-bahan ini dalam jumlah
sedemikian rupa sehingga secara normal tidak dapat diterima bahwa
bahan-bahan ini hanya diperuntukkan pemakaian pribadi, adalah dilarang.
25
Larangan ini tidak berlaku untuk pedagang-pedagang besar yang diakui,
Apoteker-apoteker yang memimpin Apotek dan Dokter Hewan.
(2) Penyerahan dari bahan-bahan G, yang menyimpang dari resep Dokter,
Dokter Gigi, Dokter Hewan dilarang, larangan ini tidak berlaku bagi
penyerahan-penyerahan kepada Pedagang – pedagang Besar yang diakui,
Apoteker-apoteker, Dokter-dokter Gigi dan Dokter-dokter Hewan demikian
juga tidak terhadap penyerahan-penyerahan menurut ketentuan pada Pasal
7 ayat 5.
{Pasal 3 (1) dan (2), St. 419/1949}

Penyerahan, persediaan untuk penyerahan dan penawaran untuk penjualan


dan bahan-bahan W, demikian pula memiliki bahan-bahan ini dalam jumlah
sedemikian rupa sehingga secara normal tidak dapat diterima bahwa bahan-
bahan ini hanya diperuntukan pemakaian pribadi, adalah dilarang, larangan ini
tidak berlaku untuk Pedagang-pedagang Besar yang diakui, Apoteker-apoteker,
Dokter-dokter, yang memimpin Apotek, Dokter hewan dan Pedagang kecil yang
diakui di dalam daerah mereka yang resmi.
{Pasal 4 (1), Stbl. 419/1949}

Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh


Apoteker.
{Pasal 21 (2), PP 51/2009}

Uraian teknis pasal dan ayat:


Pasal 3 ayat (1) dan (2) Stbl. 419 Tahun 1949, bahwa penyerahan dan memiliki
sediaan farmasi Daftar G:
a. Dapat dilakukan dalam jumlah yang diyakini hanya kebutuhan pribadi (pengobatan)
berdasarkan atas resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan oleh Apoteker yang
memiliki kewenangan; dan
b. Dapat dilakukan dalam jumlah besar (misal untuk dijual atau dibagi-bagikan) kepada
pedagang-pedagang besar yang diakui, Apoteker-apoteker yang memimpin Apotek
dan Dokter Hewan oleh Apoteker yang memiliki kewenangan.

Kata “penyerahan” pada kalimat penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan


resep dokter, harus dimaknai bahwa obat atas resep tersebut diserahkan kepada
pasien yang namanya tertulis dalam lembaran resep tersebut. Kegiatan seperti ini di
Apotek harus dipastikan secara tepat untuk menghindari risiko diserahterimakannya
obat kepada orang yang salah, apalagi jika itu terkait dengan obat-obat yang sering
disalahgunakan seperti psikotropika, narkotika dan obat-obat keras lainnya. Lain halnya
jika dilaksanakan di suatu unit instalasi farmasi seperti di RS, Klinik atau Puskesmas
terutama bagi pasien rawat inap, risiko kesalahan itu dapat diminimalisir dengan cara
tanpa lembar resep (nir-resep), tetapi obat terapi langsung dituliskan dokter di rekam
medic pasien.
Bertitik tolak atas pemahaman kata “penyerahan” tersebut secara tepat,
maksudnya adalah bahwa obat resep tersebut harus diserahkan kepada pasien oleh
apoteker. Dengan kata lain obat harus dipastikan berpindah tangan dari Apoteker
kepada pasien atas rekomendasi (perintah) dokter. Lebih tegas lagi dapat ditekankan

26
bahwa obat tidak dapat diserahkan oleh Apoteker kepada dokter, perawat, bidang dan
atau orang lain, kecuali mereka sedang berstatus sebagai pasien. Jika demikian
bagaimanakah dengan posisi keluarga sebagai pendamping/mewakili atau
perawat/”caregiver” yang sedang bertugas. Untuk kelompok mereka yang disebut
terakhir ini, semestinya dibuat prosedur pengaturan secara khusus, agar terjamin
keamanan dalam penyerahan obat pasien tersebut.

Di RS untuk menjamin keamanan, mutu dan khasiat obat yang diterima pasien
sudah ada ketentuan yang mengatur hal tersebut yaitu:

Pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan habis pakai di RS harus
dilakukan oleh Instalasi farmasi sistem satu pintu.
{Pasal 15 (3), UU No. 44/2009}

Penerapan sistem satu pintu dapat meminimalisir kesalahan dalam penyerahan


obat kepada mereka yang tidak berhak. Karena dengan sistem ini obat hanya dapat
diterima dari dan/atau melalui Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Obat-obat di RS dapat
diserahkan langsung oleh tenaga kefarmasian kepada pasien, atau melalui perantara
perawat ruangan yang bertugas untuk itu.

Pasal 4 ayat (1) Stbl. 419 Tahun 1949, bahwa penyerahan dan memiliki sediaan
farmasi Daftar W:
a. Dapat dilakukan dalam jumlah yang diyakini hanya kebutuhan pribadi (pengobatan)
oleh Apoteker yang memiliki kewenangan; dan
b. Dapat dilakukan dalam jumlah besar (misal untuk dijual atau dibagi-bagikan) kepada
Pedagang-pedagang Besar yang diakui, Apoteker-apoteker, Dokter-dokter, yang
memimpin Apotek, Dokter hewan dan Pedagang kecil yang diakui di dalam daerah
mereka yang resmi oleh Apoteker yang memiliki kewenangan.

Setiap Pedagang Eceran Obat wajib mempekerjakan seorang Asisten Apoteker


sebagai penanggung jawab teknis farmasi.
{Pasal 4, SK Menkes No. 1331/MENKES/SK/X/2002}

Fasilitas Pelayanan Kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf


e (maksudnya: Pedagang Eceran Obat) dilaksanakan oleh TTK yang memiliki STR
(STRTTK) sesuai dengan tugas dan fungsinya.
{Pasal 26, PP 51/2009}

Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki STR (STRTTK) mempunyai


wewenang untuk melakukan Pekerjaan Kefarmasian di bawah bimbingan dan
pengawasan Apoteker yang telah memiliki STR (STRA) sesuai dengan
pendidikan dan keterampilan yang dimilikinya.
{Pasal 50 (2), PP 51/2009}

Dalam melakukan pekerjaan (praktik) kefarmasian, TTK dapat menerima


pelimpahan pekerjaan kefarmasian dari tenaga apoteker.
{Pasal 65 (2), UU 36/2014}
27
Uraian teknis pasal dan ayat:
Tatalaksana penggunaan/konsumsi obat itu sendiri adalah menjadi hak pasien,
dan pasien dapat memakai, menelan atau mengkonsumsinya sendiri setiap obat yang
diterimanya baik obat resep maupun obat non resep dokter, terutama obat-obat oral
dan obat-obat luar yang mudah penggunaannya sesuai petunjuk brosur, etiket,
informasi dan konseling yang diberikan oleh tenaga kefarmasian. Sedangkan untuk
jenis-jenis obat yang sulit dan memiliki teknik khusus dalam penggunaannya harus
dilakukan oleh seorang dokter, karena hal itu merupakan bagian dari tindakan/praktik
kedokteran.
Penyerahan obat pada dasarnya harus dilakukan oleh seorang Apoteker, dan
juga dapat dilakukan oleh seorang TTK atas pelimpahan praktik yang diberikan dan
dalam pengawasan Apoteker. Namun sampai sekarang (pada tanggal penerbitan buku
ini) di lapangan masih berlangsung praktik penyerahan obat-obat Daftar W (obat bebas
dan bebas terbatas) oleh tenaga asisten apoteker dan TTK di Toko Obat Berizin, tanpa
pengawasan oleh seorang Apoteker atas dasar izin yang diterbitkan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota setempat. Seharusnya sejak diberlakukannya ketentuan
pasal 65 ayat (2) UU No. 36 tahun 2014, maka ketentuan pasal 26 PP No. 51 tahun
2009 dan pasal 4 SK Menkes No. 1331/MENKES/SK/X/2002, sudah tidak memiliki
kekuatan hukum lagi untuk dilaksanakan.
Masih diperkenankannya TTK sebagai penanggungjawab teknis pelayanan
kefarmasian di Toko Obat Berizin, dapat dipandang sebagai kebijakan pemerintah
dalam menjaga akses penyediaan obat untuk kebutuhan swamedikasi masyarakat,
dalam menyikapi kekurangan jumlah dan/atau ketidakmerataan penyebaran Apoteker di
seluruh kabupaten/kota. Namun demikian hal ini harus tetap menjadi perhatian
pemerintah, karena kebijakan yang berbenturan dengan peraturan perundangan yang
berlaku, berpotensi menimbulkan persoalan hukum.

28
BAB V
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN

5.1 Standar Pelayanan Kefarmasian

Pendidikan tinggi bidang kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


diarahkan untuk menghasilkan Tenaga Kesehatan yang bermutu sesuai dengan
Standar Profesi dan Standar Pelayanan Profesi.
{Pasal 17 (8), UU 36/2014}

(1) Setiap Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berkewajiban untuk


mematuhi Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur
Operasional.
(2) Standar Profesi dan Standar Pelayanan Profesi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk masingmasing jenis Tenaga Kesehatan ditetapkan oleh
organisasi profesi bidang kesehatan dan disahkan oleh Menteri.
(3) Standar Pelayanan Profesi yang berlaku universal ditetapkan dengan
Peraturan Menteri.
(4) Standar Prosedur Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan Standar Profesi, Standar
Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional diatur dengan
Peraturan Menteri.
{Pasal 66, UU 36/2014}

29
12. Standar Profesi adalah batasan kemampuan minimal berupa pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku profesional yang harus dikuasai dan dimiliki oleh
seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada
masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi bidang
kesehatan.
13. Standar Pelayanan Profesi adalah pedoman yang diikuti oleh Tenaga
Kesehatan dalam melakukan pelayanan kesehatan.
14. Standar Prosedur Operasional adalah suatu perangkat instruksi/langkah-
langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan proses kerja rutin tertentu
dengan memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus
bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang
dibuat oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan berdasarkan Standar Profesi.
{Pasal 1, UU 36/2014}

Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak:


a. memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional;
b. memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari Penerima Pelayanan
Kesehatan atau keluarganya;
c. menerima imbalan jasa;
d. memperoleh pelindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlakuan
yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-
nilai agama;
e. mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan profesinya;
f. menolak keinginan Penerima Pelayanan Kesehatan atau pihak lain yang
bertentangan dengan Standar Profesi, kode etik, standar pelayanan, Standar
Prosedur Operasional, atau ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
g. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
{Pasal 57, UU 36/2014}

(1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik wajib:


a. memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi,
Standar Pelayanan Profesi, Standar Prosedur Operasional, dan etika profesi
serta kebutuhan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan;
b. memperoleh persetujuan dari Penerima Pelayanan Kesehatan atau
keluarganya atas tindakan yang akan diberikan;
c. menjaga kerahasiaan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan;
d. membuat dan menyimpan catatan dan/atau dokumen tentang
pemeriksaan, asuhan, dan tindakan yang dilakukan; dan
e. merujuk Penerima Pelayanan Kesehatan ke Tenaga Kesehatan lain yang
mempunyai Kompetensi dan kewenangan yang sesuai.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf d hanya
berlaku bagi Tenaga Kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan
perseorangan.
{Pasal 58, UU 36/2014}

30
5.2 Norma Pelayanan Kefarmasian

(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan
pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami
informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.
(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku pada:
a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam
masyarakat yang lebih luas;
b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c. gangguan mental berat.
(3) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
{Pasal 56, UU 36/209}

1) Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik pada Fasilitas Pelayanan


Kesehatan wajib memberikan pertolongan pertama kepada Penerima Pelayanan
Kesehatan dalam keadaan gawat darurat dan/atau pada bencana untuk
penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan.
2) Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak
Penerima Pelayanan Kesehatan dan/atau dilarang meminta uang muka terlebih
dahulu.
{Pasal 59, UU 36/209}
Tenaga Kesehatan bertanggung jawab untuk:
a. mengabdikan diri sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki;
b. meningkatkan Kompetensi;
c. bersikap dan berperilaku sesuai dengan etika profesi;
d. mendahulukan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi atau
kelompok; dan
e. melakukan kendali mutu pelayanan dan kendali biaya dalam menyelenggarakan
upaya kesehatan.
{Pasal 60, UU 36/209}

Dalam menjalankan praktik, Tenaga Kesehatan yang memberikan pelayanan


langsung kepada Penerima Pelayanan Kesehatan harus melaksanakan upaya
terbaik untuk kepentingan Penerima Pelayanan Kesehatan dengan tidak
menjanjikan hasil.
{Pasal 61, UU 36/209}

5.3 …..
31
(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi
ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar
pelayanan, dan standar prosedur operasional.
(2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.
(3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan
standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
{Pasal 24, UU No. 36/2009}

Kewenangan yang dimiliki oleh setiap tenaga kesehatan dalam melakukan praktik
pelayanan kesehatan, harus dilaksanakan sesuai ketentuan-ketentuan berikut ini:
 kode etik tenaga kefarmasian (Apoteker/TTK), yaitu mencakup pokok-pokok perilaku
yang menuntun tenaga kesehatan dalam memberikan layanan bagi setiap
konsumen/pelanggan yang dapat terdiri dari pasien, masyarakat, sejawat farmasi
dan sejawat tenaga kesehatan lainnya
 standar profesi kefarmasian, yaitu mencakup hal-hal yang menjadi kewenangan
tenaga kefarmasian sesuai keahlian/kompetensinya
 hak pengguna pelayanan kefarmasian, yaitu hak-hak pasien / masyarakat yang
harus dihormati oleh tenaga kefarmasian
 standar pelayanan kefarmasian, yaitu mencakup ukuran minimal dari setiap
pelayanan kefarmasian yang harus diberikan oleh setiap tenaga kefarmasian yang
telah ditetapkan oleh setiap pimpinan fasilitas pelayanan kefarmasian
 standar prosedur operasional (SPO/SOP/Protap), yaitu langkah-langkah teknis dalam
melaksanakan setiap item pelayanan kefarmasian yang telah ditetapkan oleh setiap
pimpinan pelayanan kefarmasian, yang harus dilaksanakan oleh setiap tenaga
kefarmasian.

Asisten Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
bekerja di bawah supervisi Tenaga Kesehatan. (Pasal 10 ayat (2), UU
36/2014)

supervisi/su·per·vi·si/ n pengawasan utama; pengontrolan tertinggi; penyeliaan


(dalam KBBI)

Pengertian menurut para ahli, diantaranya:

Supervisi adalah jika dilihat dari sudut etimologi, supervisi berasal dari kata
“super” dan kata “vision” yang dimana masing-masing kata itu berarti atas dan
juga penglihatan Kiasan yang menggambarkan suatu posisi yang melihat,
berkedudukan lebih tinggi, dari pada yang dilihat.

32
Pasal 23 di atas mengatur bahwa setiap orang yang memiliki ijazah
pendidikan tinggi kesehatan dan terdaftar di Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai bidang
keahliannya atau kompetensinya yang mencakup pengetahuan, keterampilan
dan perilakunya (knowledge, skill dan attitude) setelah mendapat izin dari
pemerintah kabupaten/kota setempat berupa Surat Izin Praktik (SIP). Pada ayat
(4) ditekankan bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan itu dilarang
mengutamakan kepentingan yang bernilai materi. Makna kata “mengutamakan”
adalah dalam kebutuhan penyelamatan jiwa/nyawa (kepentingan kemanusiaan),
maka pemberian pelayanan dilarang memberi syarat yang bernilai materi.
Dalam kasus ini di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia dilarang
meminta uang muka sebagai syarat untuk memberi pelayanan kedaruran medik yang
mengancam keselamatan fisik, jiwa dan nyawa seseorang, contohnya pelayanan di
suatu Instalasi Rawat Darurat Rumah Sakit atau Klinik. Jika ini terjadi, maka tenaga
kesehatan dan/atau manajemen fasilitas pelayanan kesehatan teracam terhadap
tuntutan pidana di bidang kesehatan

3.4.5

3.5 Undang-Undang Tenaga Kesehatan


Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan, dibentuk dan
diberlakukan agar tenaga kesehatan secara terus-menerus harus ditingkatkan mutunya
melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, perizinan, serta
pembinaan, pengawasan, dan pemantauan agar penyelenggaraan upaya kesehatan
memenuhi rasa keadilan dan perikemanusiaan serta sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan;

33
BAB VI
PENGELOLAAN SEDIAAN FARMASI

Perbekalan Kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan.
(Butir 3 dari Pasal 1, UU No. 36/2009)

6.1 Bahan Kesehatan

Semua bahan yang diperlukan untuk penyelenggaraan upaya kesehatan baik


preventif, promotif, kuraif maupun rehabilitative, adalah termasuk ke dalam pengertian
bahan sebagaimana disebut di atas, dan salah satu diantaranya adalah sediaan
farmasi.

Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika.
(Butir 4 dari Pasal 1, UU No. 36/2009)

Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan
untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi
dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.
(Butir 8 dari Pasal 1, UU No. 36/2009)

Obat Bahan Alam adalah produk mengandung bahan yang berasal dari bahan
tumbuhan, bahan hewan, dan/atau bahan mineral alam yang dapat dalam bentuk
tunggal atau campuran.
{…………………..}

Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan
tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat
diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
(Butir 9 dari Pasal 1, UU No. 36/2009)

34
6.2 Alat Kesehatan

Alat Kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak
mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis,
menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan
kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi
tubuh.
(Butir 5 dari Pasal 1, UU No. 36/2009)

Instrumen adalah suatu alat yang memenuhi persyaratan akademis, sehingga


dapat dipergunakan sebagai alat untuk mengukur suatu objek ukur atau mengumpulkan
data mengenai suatu variable. Aparatus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
berarti alat. Sementara itu pengertian mesin adalah alat mekanik atau elektrik yang
mengirim atau mengubah energy untuk melakukan atau membantu mempermudah
pekerjaan manusia. Sedangkan implant adalah suatu peralatan medis yang dibuat
untuk menggantikan struktur dan fungsi suatu bagian biologis.
Jika instrument, apparatus, mesin dan/atau implant itu mengandung obat, maka
pengertian instrument itu dikategorikan sebagai obat, merujuk pada kata “yang tidak
mengandung obat” dari butir 1 Pasal 1, UU 36/2009)

6.3 Prioritas Pengembangan Bahan dan Alat Kesehatan

1) Pemerintah mendorong dan mengarahkan pengembangan perbekalan


kesehatan dengan memanfaatkan potensi nasional yang tersedia.
2) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan
terutama untuk obat dan vaksin baru serta bahan alam yang berkhasiat
obat.
3) Pengembangan perbekalan kesehatan dilakukan dengan memperhatikan
kelestarian lingkungan hidup, termasuk sumber daya alam dan sosial budaya.
{Pasal 38, UU No. 36/2009}

6.4 Pengelolaan Sediaan Farmasi

(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat,


bermutu, dan terjangkau.
(2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang
mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan
obat dan bahan yang berkhasiat obat.
(3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi,
pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar
mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

35
(4) Pemerintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan, dan
mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
{Pasal 98, UU No. 36/2009}

(1) Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika hanya
dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk
disalahgunakan.
(2) Ketentuan mengenai narkotika dan psikotropika dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
{Pasal 102, UU No. 36/2009}

(1) Setiap orang yang memproduksi, menyimpan, mengedarkan, dan


menggunakan narkotika dan psikotropika wajib memenuhi standar dan/atau
persyaratan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai produksi, penyimpanan, peredaran, serta penggunaan
narkotika dan psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
{Pasal 103, UU No. 36/2009}

(1) Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan untuk


melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan
sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu
dan/atau keamanan dan/atau khasiat/kemanfaatan.
(2) Penggunaan obat dan obat tradisional harus dilakukan secara rasional.
{Pasal 104, UU No. 36/2009}

(1) Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus memenuhi
syarat farmakope Indonesia atau buku standar lainnya.
(2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat
kesehatan harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditentukan.
{Pasal 105, UU No. 36/2009}

(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah
mendapat izin edar.
(2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus
memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak
menyesatkan.
(3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan
dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh
izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau
keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
{Pasal 106, UU No. 36/2009}

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
36
{Pasal 107, UU No. 36/2009}

Pengadaan Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus


dilakukan oleh Tenaga kefarmasian.
{Pasal 6 (2), PP 51/2009}

Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi harus memiliki


Apoteker penanggung jawab.
{Pasal 7 (1), PP 51/2009}

Setiap Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi berupa obat harus
memiliki seorang Apoteker sebagai penanggung jawab.
{Pasal 14 (1), PP 51/2009}

Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi adalah sarana yang digunakan untuk


memproduksi obat, bahan baku obat, obat tradisional, dan kosmetika.
{Pasal 1, angka 9, PP 51/2009}

Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi adalah sarana yang


digunakan untuk mendistribusikan atau menyalurkan Sediaan Farmasi, yaitu
Pedagang Besar Farmasi dan Instalasi Sediaan Farmasi.
{Pasal 1, angka 10, PP 51/2009}

Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang


memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran perbekalan farmasi
dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
{PP 51/2009}

6.5 Pembinaan Praktik

(1) Untuk terselenggaranya praktik tenaga kesehatan yang bermutu dan


pelindungan kepada masyarakat, perlu dilakukan pembinaan praktik terhadap
tenaga kesehatan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri
bersama-sama dengan Pemerintah Daerah, konsil masing-masing Tenaga
Kesehatan, dan Organisasi Profesi sesuai dengan kewenangannya
{Pasal 48, UU No. 36/2014}
(1) Untuk menegakkan disiplin Tenaga Kesehatan dalam penyelenggaraan
praktik, konsil masing-masing Tenaga Kesehatan menerima pengaduan,
memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin Tenaga
Kesehatan.

37
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), konsil
masing-masing Tenaga Kesehatan dapat memberikan sanksi disiplin
berupa:
a. pemberian peringatan tertulis;
b. rekomendasi pencabutan STR atau SIP; dan/atau
c. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi
pendidikan kesehatan.
(3) Tenaga Kesehatan dapat mengajukan keberatan atas putusan sanksi
disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri.
{Pasal 49, UU No. 36/2014}

(1) Tenaga Kesehatan harus membentuk Organisasi Profesi sebagai wadah


untuk meningkatkan dan/atau mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan, martabat, dan etika profesi Tenaga Kesehatan.
(2) Setiap jenis Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk 1 (satu)
Organisasi Profesi.
(3) Pembentukan Organisasi Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
{Pasal 50, UU No. 36/2014}

(1) Untuk mengembangkan cabang disiplin ilmu dan standar pendidikan


Tenaga Kesehatan, setiap Organisasi Profesi dapat membentuk Kolegium
masing-masing Tenaga Kesehatan.
(2) Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan badan otonom di dalam Organisasi Profesi.
(3) Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Organisasi Profesi.
{Pasal 51, UU No. 36/2014}

6.6 ,,,

BAB VII
KESEHATAN TRADISIONAL

7.1 Pelayanan Kesehatan Tradisional

Pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan


cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun

38
secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat.
{Pasal 1 butir 16, UU No. 36/2009}

(1) Berdasarkan cara pengobatannya, pelayanan kesehatan tradisional terbagi


menjadi:
a. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan; dan
b. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan ramuan.
(2) Pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibina
dan diawasi oleh Pemerintah agar dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan
keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan jenis pelayanan kesehatan
tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
{Pasal 59 (1) huruf a dan b, UU No. 36/2009}

7.2 Tenaga Kesehatan Tradisional

Tenaga Kesehatan dikelompokkan ke dalam:


l. tenaga kesehatan tradisional; dan
{Pasal 11 (1) huruf l, UU No. 36/2014}

Tenaga kesehatan tradisional yang termasuk ke dalam Tenaga Kesehatan adalah


yang telah memiliki body of knowledge, pendidikan formal yang setara minimum
Diploma Tiga dan bekerja di bidang kesehatan tradisional
{Penjelasan pasal 11 (1) huruf l, UU No. 36/2014}

Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok Tenaga Kesehatan


tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l terdiri atas tenaga
kesehatan tradisional ramuan dan tenaga kesehatan tradisional keterampilan.
{Pasal 11 (13), UU No. 36/2014}

7.3 …….

39

Anda mungkin juga menyukai