BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
LANDASAN PRAKTIK KEFARMASIAN DI INDONESIA
2
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai rujukan hukum tertinggi di Negara
Kesatuan Republik Indonesia haruslah diyakini oleh setiap warga Negara, akan mampu
menjadi payung perlindungan bagi setiap persoalan yang telah dan akan diatur oleh
berbagai peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya, termasuk diantaranya
pengaturan masalah kesehatan bidang kefarmasian. Berdasar pada pemikiran
demikian, maka setiap perbuatan kefarmasian dilapangan yang dilandasi niat baik bagi
tujuan penyelamatan jiwa dan nyawa manusia yang dilakukan oleh setiap tenaga
kefarmasian seyogiyanya dikembalikan kepada kandungan niat, semangat, amanah
dan tujuan dari UUD 1945 ini, tidak terkecuali dalam menilai dan menguji ketepatan dari
segala peraturan perundang-undangan kefarmasian di bawahnya.
Dalam Pembukaan UUD 1945 dapat dibaca adanya 4 (empat) tujuan dari
founding father sewaktu mendeklarasikan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
salah satu diantaranya adalah “Memajukan kesejahteraan umum”. Inilah hakikat
kehendak dari pendiri Negara ini terhadap warga bangsa Indonesia dari Sabang hingga
Merauke, yaitu masyarakat yang sejahtera. Termasuk dalam unsur kesejahteraan
masyarakat itu adalah masyarakat Indonesia yang sehat. Amahah pembukaan ini di
eksplisitkan dalam batang tubuh UUD 1945 pada Pasal 28H ayat (1), yang
menyebutkan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan”.
Akses layanan kesehatan di bidang kefarmasian, mencakup Akses Tenaga
Kefarmasian, sediaan farmasi (Narkotika, Psikotropika, Obat Keras, Obat Bebas
Terbatas, Obat Bebas, Jamu, Herbal Terstandar, & Psikofarmaka), Sarana-Prasarana
kefarmasian (Pabrik Farmasi, PBF, Apotek, & Praktek Apoteker), dan Akses pembinaan
dan perlindungan pelaksanaan pelayanan berupa UU, PP, Permekes, Pergub, Perbup,
SPM, SPO, dan Kode Etik. Pemerintah berkewajiban MEMASTIKAN AKSES YANG
BERMUTU terhadap layanan kefarmasian tersebut.
Sebagai tindak lanjut pemenuhan hak-hak warga Negara dalam
mengakses/menjangkau pelayanan kesehatan, maka DPR RI sebagai representasi
seluruh rakyat Indonesia membentuk beberapa UU yang berkaitan dengan upaya
kesehatan.
1. Undang-Undang No. 36 tahun 2009 Tenang Kesehatan
2. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
3. Peraturan Menteri Kesehatan No. 889/…… Tahun 2011 Tentang Registrasi
dan Surat Izin Kerja Tenaga Kefarmasian yang telah diubah dengan
Peraturan Menteri Kesehatan No. 31 Tahun 2016
4.
BAB III
SUMBER DAYA DAN UPAYA KESEHATAN
4
3.1 Definisi
Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun
sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomis
(Butir 1 dari Pasal 1, UU No. 36/2009)
Definisi sehat tersebut di atas bermakna bahwa sehat itu tidak hanya mengait pada fisik
semata, karena itu pengertian ini sejalan dengan teori dari Bapak Kedokteran Modern,
Ibnu Sina (980-1037) yang menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk multi-
dimensi, bukan hanya seonggok daging seperti mesin yang dapat diperlakukan
seenaknya secara teknis, oleh para montir (tenaga kesehatan). Sebab itulah dia
mempostulatkan bahwa manusia itu memiliki kekuatan fitrah (imunitas) yang
bergantung kepada empat faktor yaitu spiritual (50%), mental (20%), emosional (20%),
dan fisikal (10%).
6
Empat upaya kesehatan yang disebut di atas, secara khusus juga disebut
sebagai kelompok pelayanan kesehatan konvensional. Dilain pihak juga
dikembangkan upaya pelayanan kesehatan tradisional.
7
Lebih lanjut praktik/pekerjaan kefarmasian itu pada pasal berikutnya diuraikan,
sebagai berikut:
Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian meliputi:
1) Pekerjaan Kefarmasian dalam Pengadaan Sediaan Farmasi;
2) Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi;
3) Pekerjaan Kefarmasian dalam Distribusi atau Penyaluran Sediaan
Farmasi; dan
4) Pekerjaan Kefarmasian dalam Pelayanan Sediaan Farmasi.
{Pasal 59, PP No. 51/2009}
Berdasarkan terhadap pasal 108 UU No. 36/2009 dan Pasl 1 butir 1 PP No.
51/2009) di atas, praktik kefarmasian di Indonesia mencakup:
1) Praktik Pembuatan Sediaan Farmasi (obat, bahan obat dan obat tradisional);
2) Praktik Pengelolaan Sediaan Farmasi, yang mencakup pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat;
3) Praktik Pelayaan obat atas resep dokter dan pelayanan informasi obat; serta
4) Praktik Pengembangan Sediaan Farmasi.
8
Kegiatan-kegiatan pembuatan sediaan farmasi ini di Indonesia dapat
ditemukan dalam Permenkes, yaitu:
(1) Proses pembuatan obat dan/atau bahan obat hanya dapat dilakukan
oleh industri farmasi
(2) Selaian industri farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instalasi
Farmasi Rumah Sakit dapat melakukan proses pembuatan untuk
keperluan pelaksanaan pelayanan kesehatan di rumah sakit yang
bersangkutan
(3) Instalasi Farmasi Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan CPOB yang dibuktikan
dengan sertifikat CPOB.
(Pasal 2, PMK 1799/Menkes/Per/XII/2010)
9
(3) Menteri melimpahkan pemberian Izin Edar kepada Kepala Badan
(Badan POM);
(4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk:
a. Obat penggunaan khusus atas permintaan dokter;
b. Obat Donasi;
c. Obat untuk Uji Klinik;
d. Obat Sampel untuk Registrasi.
(Pasal 2, Permenkes RI No. 1010/MENKES/PER/XI/2008)
Setiap PBF dan PBF Cabang harus memiliki apoteker penanggung jawab
yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan ketentuan pengadaan,
penyimpanan dan penyaluran obat dan/atau bahan obat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13”
(Pasal 14 Ayat (1), PMK 1148 / Menkes / Per / VI / 2011)
11
penyerahan kepada fasilitas pelayanan kefarmasian, bukan penyerahan kepada orang
pribadi.
BAB IV
TENAGA KESEHATAN
A. Tenaga Kesehatan
Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di
bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan
{Pasal 1, UU No. 36/2009 & Pasal 1, UU No. 36/2014}
Tenaga Kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum Diploma III, kecuali tenaga
medis.
{Pasal 9 UU 36/2014}
Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kefarmasian terdiri
atas apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK).
{Pasal 11 (6), UU 36/2014 & Pasal 33, PP 51/2009}
1. Apoteker
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.
{Pasal 1 butir 5, PP 51/2009}
Tenaga Teknis Kefarmasian itu terdiri dari sarjana farmasi, ahli madya farmasi,
dan analis farmasi.
{penjelasan Pasal 11 (6), UU 36/2014}
Asisten Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui
pendidikan bidang kesehatan di bawah jenjang Diploma III .
14
{Pasal 1 dan Pasal 10 (1), UU No. 36/2014}
15
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Uji Kompetensi diatur
dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pendidikan.
{Pasal 21, UU No. 36/2014}
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik wajib memiliki STR.
(2) STR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh konsil masing-
masing Tenaga Kesehatan setelah memenuhi persyaratan.
{Pasal 44 (1) dan (2), UU No. 36/2014}
16
(3) SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota atas rekomendasi pejabat kesehatan yang berwenang di
kabupaten/kota tempat Tenaga Kesehatan menjalankan praktiknya.
{Pasal 46 (1) dan (2), UU No. 36/2014}
17
kesehatan dilaksanakan atas nama institusi tertentu, seperti rumah sakit, klinik,
puskesmas, apotek, atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
Berdasarkan ketentuan ayat (1), (2) dan (3) pasal 23 UU No. 36 Tahun 2009,
maka tenaga Apoteker memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan
(praktik) kefarmasian, setelah memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) yang
diterbitkan oleh Kabupaten/Kota setempat.
Bertitik tolak dari ketentuan pasal 65 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2014 Tentang
Tenaga Kesehatan, maka penyelengaraan praktik TTK di Toko Obat sebagaimana
diatur pada pasal 26 dari PP No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian,
sudah tidak memiliki kekuatan hukum.
18
4.4 Pelimpahan dan Pendelegasian Praktik Kefarmasian
A. Pelimpahan Praktik Kefarmasian
Pelimpahan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pasal
65 dilakukan dengan ketentuan:
a. tindakan yang dilimpahkan termasuk dalam kemampuan dan
keterampilan yang telah dimiliki oleh penerima pelimpahan;
b. pelaksanaan tindakan yang dilimpahkan tetap di bawah
pengawasan pemberi pelimpahan;
c. pemberi pelimpahan tetap bertanggung jawab atas tindakan yang
dilimpahkan sepanjang pelaksanaan tindakan sesuai dengan pelimpahan
yang diberikan; dan
d. tindakan yang dilimpahkan tidak termasuk pengambilan keputusan
sebagai dasar pelaksanaan tindakan.
{Pasal 65 (3), UU No. 36/2014}
Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi
mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan
pendidikan dan kompetensi yang dimiliki, yang terdiri atas:
i. menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan; dan
{Pasal 35 (1) huruf i, UU No. 29/2004}
19
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kewenangan bagi dokter
dan dokter gigi untuk menyimpan obat selain obat suntik sebagai
upaya untuk menyelamatkan pasien. Obat tersebut diperoleh dokter
atau dokter gigi dari apoteker yang memiliki izin untuk mengelola
apotek. Jumlah obat yang disediakan terbatas pada kebutuhan
pelayanan.
{penjelasan Pasal 35 (1) huruf i, UU No. 29/2004}
KESATU : Daftar obat keadaan darurat medis pada praktik mandiri dokter
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini.
KEDUA : Daftar obat keadaan darurat medis pada praktik mandiri dokter
sebagaimana dimaksud dalam dictum kesatu merupakan daftar
jenis obat yang diperlukan untuk penanganan kasus pasien dalam
keadaan darurat medis.
KETIGA : Jenis dan jumlah obat sebagaimana dimaksud dalam dictum kedua
diperoleh berdasarkan surat permintaan obat dari Dokter kepada
apotek dan memperhatikan pengelolaan obat yang dapat
menjamin mutu, keamanan dan khasiat/manfaat.
KEEMPAT : Jenis dan jumlah obat sebagaimana dimaksud dalam dictum kedua
dapat disimpan sesuai kebutuhan.
Lampiran : DAFTAR OBAT KEADAAN DARURAT MEDIS PADA PRAKTIK
MANDIRI DOKTER
1. Adrenalin (Epinefrin) inj. 01,% (iv/sk/im)
2. Lidokain inj 2% (infilt/pv)
3. Atropin inj 0,25mg/ml (iv/im/sk)
4. Isosorbidinitrat tab 5mg dan 10mg
5. Oksigen
6. NaCl inf
7. Deksametason inj 5mg/ml (iv/im)
8. Salbutamol cairan ih 30mcg dan 50mcg
9. Ringer Lactat inf
20
10. Glukosa 40%
11. Diazepam inj 5mg/ml (iv), enema 5mg/2,5mL, dan enema 10mg/2,5mL
12. Klorpromazin inj 5mg/ml (im)
13. Difenhidramin inj 10mg/ml
14. Domperidon tab 10mg, sir 5mg/5ml, dan drops 5mg/ml
15. Ketoprofen supp 100mg
{Kepmenkes No. HK.01.07/Menkes/263/2018}
Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi
mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan
pendidikan dan kompetensi yang dimiliki, yang terdiri atas:
j. meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di
daerah terpencil yang tidak ada apotek.
{Pasal 35 (1) huruf j, UU No. 29/2004}
(1) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11,
dan Pasal 12 Bidan yang menjalankan program pemerintah berwenang
melakukan pelayanan kesehatan meliputi:
a. pemberian alat kontrasepsi suntikan, alat kontrasepsi dalam rahim,
dan memberikan pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit;
e. pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif
lainnya (NAPZA) melalui informasi dan edukasi; dan
(2) Pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit, asuhan antenatal terintegrasi,
penanganan bayi dan anak balita sakit, dan pelaksanaan deteksi dini,
merujuk, dan memberikan penyuluhan terhadap Infeksi Menular Seksual
(IMS) dan penyakit lainnya, serta pencegahan penyalahgunaan
Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) hanya dapat
dilakukan oleh bidan yang dilatih untuk itu.
{Pasal 13 ayat (1) huruf a dan h dan ayat (2), Permenkes No. 1464/Menkes/Per/X/2010}
21
Bidan dalam menjalankan praktik mandiri harus memenuhi persyaratan
meliputi:
c. memiliki sarana, peralatan dan obat sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
{Pasal 17 ayat (1) huruf c, Permenkes No. 1464/Menkes/Per/X/2010}
22
untuk dirujuk. Tenaga Kesehatan yang dapat memberikan pelayanan di luar
kewenangannya, antara lain adalah:
a. perawat atau bidan yang memberikan pelayanan kedokteran dan/atau
kefarmasian dalam batas tertentu; atau
b. tenaga teknis kefarmasian yang memberikan pelayanan kefarmasian
yang menjadi kewenangan apoteker dalam batas tertentu.
{Penjelasan pasal 63 (1), UU No. 36/2014}
23
tanggungjawab seorang Apoteker. Meracik dan menyerahkan obat di fasilitas
kesehatan yang tidak ada Apotekernya, sepenuhnya menjadi tanggungjawab dari TTK.
Mendukung penyelenggaraan praktik kefarmasian secara terbatas ini, maka
senapas dengan ketentuan dari beberapa peraturan perundangan terkait, Dokter/Dokter
Gigi, Bidan, Perawat dan TTK hanya dapat memperoleh sediaan farmasi yang
diperlukan dari Apotek terdekat di wilayah praktiknya.
Merujuk pada pasal 35 ayat (1) huruf d, e dan f ini, dapat dipahami bahwa kewenangan
menentukan pilihan zat berkhasiat obat, menentukan pilihan tatalaksana penggunaan
obat, dan kewenangan menulis rekomendasi obat kepada Apoteker, hanya menjadi
otorisasi profesi kedokteran/kedokteran gigi.
26
bahwa obat tidak dapat diserahkan oleh Apoteker kepada dokter, perawat, bidang dan
atau orang lain, kecuali mereka sedang berstatus sebagai pasien. Jika demikian
bagaimanakah dengan posisi keluarga sebagai pendamping/mewakili atau
perawat/”caregiver” yang sedang bertugas. Untuk kelompok mereka yang disebut
terakhir ini, semestinya dibuat prosedur pengaturan secara khusus, agar terjamin
keamanan dalam penyerahan obat pasien tersebut.
Di RS untuk menjamin keamanan, mutu dan khasiat obat yang diterima pasien
sudah ada ketentuan yang mengatur hal tersebut yaitu:
Pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan habis pakai di RS harus
dilakukan oleh Instalasi farmasi sistem satu pintu.
{Pasal 15 (3), UU No. 44/2009}
Pasal 4 ayat (1) Stbl. 419 Tahun 1949, bahwa penyerahan dan memiliki sediaan
farmasi Daftar W:
a. Dapat dilakukan dalam jumlah yang diyakini hanya kebutuhan pribadi (pengobatan)
oleh Apoteker yang memiliki kewenangan; dan
b. Dapat dilakukan dalam jumlah besar (misal untuk dijual atau dibagi-bagikan) kepada
Pedagang-pedagang Besar yang diakui, Apoteker-apoteker, Dokter-dokter, yang
memimpin Apotek, Dokter hewan dan Pedagang kecil yang diakui di dalam daerah
mereka yang resmi oleh Apoteker yang memiliki kewenangan.
28
BAB V
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN
29
12. Standar Profesi adalah batasan kemampuan minimal berupa pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku profesional yang harus dikuasai dan dimiliki oleh
seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada
masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi bidang
kesehatan.
13. Standar Pelayanan Profesi adalah pedoman yang diikuti oleh Tenaga
Kesehatan dalam melakukan pelayanan kesehatan.
14. Standar Prosedur Operasional adalah suatu perangkat instruksi/langkah-
langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan proses kerja rutin tertentu
dengan memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus
bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang
dibuat oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan berdasarkan Standar Profesi.
{Pasal 1, UU 36/2014}
30
5.2 Norma Pelayanan Kefarmasian
(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan
pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami
informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.
(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku pada:
a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam
masyarakat yang lebih luas;
b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c. gangguan mental berat.
(3) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
{Pasal 56, UU 36/209}
5.3 …..
31
(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi
ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar
pelayanan, dan standar prosedur operasional.
(2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.
(3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan
standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
{Pasal 24, UU No. 36/2009}
Kewenangan yang dimiliki oleh setiap tenaga kesehatan dalam melakukan praktik
pelayanan kesehatan, harus dilaksanakan sesuai ketentuan-ketentuan berikut ini:
kode etik tenaga kefarmasian (Apoteker/TTK), yaitu mencakup pokok-pokok perilaku
yang menuntun tenaga kesehatan dalam memberikan layanan bagi setiap
konsumen/pelanggan yang dapat terdiri dari pasien, masyarakat, sejawat farmasi
dan sejawat tenaga kesehatan lainnya
standar profesi kefarmasian, yaitu mencakup hal-hal yang menjadi kewenangan
tenaga kefarmasian sesuai keahlian/kompetensinya
hak pengguna pelayanan kefarmasian, yaitu hak-hak pasien / masyarakat yang
harus dihormati oleh tenaga kefarmasian
standar pelayanan kefarmasian, yaitu mencakup ukuran minimal dari setiap
pelayanan kefarmasian yang harus diberikan oleh setiap tenaga kefarmasian yang
telah ditetapkan oleh setiap pimpinan fasilitas pelayanan kefarmasian
standar prosedur operasional (SPO/SOP/Protap), yaitu langkah-langkah teknis dalam
melaksanakan setiap item pelayanan kefarmasian yang telah ditetapkan oleh setiap
pimpinan pelayanan kefarmasian, yang harus dilaksanakan oleh setiap tenaga
kefarmasian.
Asisten Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
bekerja di bawah supervisi Tenaga Kesehatan. (Pasal 10 ayat (2), UU
36/2014)
Supervisi adalah jika dilihat dari sudut etimologi, supervisi berasal dari kata
“super” dan kata “vision” yang dimana masing-masing kata itu berarti atas dan
juga penglihatan Kiasan yang menggambarkan suatu posisi yang melihat,
berkedudukan lebih tinggi, dari pada yang dilihat.
32
Pasal 23 di atas mengatur bahwa setiap orang yang memiliki ijazah
pendidikan tinggi kesehatan dan terdaftar di Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai bidang
keahliannya atau kompetensinya yang mencakup pengetahuan, keterampilan
dan perilakunya (knowledge, skill dan attitude) setelah mendapat izin dari
pemerintah kabupaten/kota setempat berupa Surat Izin Praktik (SIP). Pada ayat
(4) ditekankan bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan itu dilarang
mengutamakan kepentingan yang bernilai materi. Makna kata “mengutamakan”
adalah dalam kebutuhan penyelamatan jiwa/nyawa (kepentingan kemanusiaan),
maka pemberian pelayanan dilarang memberi syarat yang bernilai materi.
Dalam kasus ini di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia dilarang
meminta uang muka sebagai syarat untuk memberi pelayanan kedaruran medik yang
mengancam keselamatan fisik, jiwa dan nyawa seseorang, contohnya pelayanan di
suatu Instalasi Rawat Darurat Rumah Sakit atau Klinik. Jika ini terjadi, maka tenaga
kesehatan dan/atau manajemen fasilitas pelayanan kesehatan teracam terhadap
tuntutan pidana di bidang kesehatan
3.4.5
33
BAB VI
PENGELOLAAN SEDIAAN FARMASI
Perbekalan Kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan.
(Butir 3 dari Pasal 1, UU No. 36/2009)
Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika.
(Butir 4 dari Pasal 1, UU No. 36/2009)
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan
untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi
dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.
(Butir 8 dari Pasal 1, UU No. 36/2009)
Obat Bahan Alam adalah produk mengandung bahan yang berasal dari bahan
tumbuhan, bahan hewan, dan/atau bahan mineral alam yang dapat dalam bentuk
tunggal atau campuran.
{…………………..}
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan
tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat
diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
(Butir 9 dari Pasal 1, UU No. 36/2009)
34
6.2 Alat Kesehatan
Alat Kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak
mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis,
menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan
kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi
tubuh.
(Butir 5 dari Pasal 1, UU No. 36/2009)
35
(4) Pemerintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan, dan
mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
{Pasal 98, UU No. 36/2009}
(1) Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika hanya
dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk
disalahgunakan.
(2) Ketentuan mengenai narkotika dan psikotropika dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
{Pasal 102, UU No. 36/2009}
(1) Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus memenuhi
syarat farmakope Indonesia atau buku standar lainnya.
(2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat
kesehatan harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditentukan.
{Pasal 105, UU No. 36/2009}
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah
mendapat izin edar.
(2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus
memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak
menyesatkan.
(3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan
dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh
izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau
keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
{Pasal 106, UU No. 36/2009}
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
36
{Pasal 107, UU No. 36/2009}
Setiap Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi berupa obat harus
memiliki seorang Apoteker sebagai penanggung jawab.
{Pasal 14 (1), PP 51/2009}
37
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), konsil
masing-masing Tenaga Kesehatan dapat memberikan sanksi disiplin
berupa:
a. pemberian peringatan tertulis;
b. rekomendasi pencabutan STR atau SIP; dan/atau
c. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi
pendidikan kesehatan.
(3) Tenaga Kesehatan dapat mengajukan keberatan atas putusan sanksi
disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri.
{Pasal 49, UU No. 36/2014}
6.6 ,,,
BAB VII
KESEHATAN TRADISIONAL
38
secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat.
{Pasal 1 butir 16, UU No. 36/2009}
7.3 …….
39