Anda di halaman 1dari 13

KOMPONEN KIMIA KAYU

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Komponen kimia kayu sangat bervariasi, hal ini dipengaruhi oleh faktor tempat tumbuh,

iklim dan letaknya di dalam batang atau cabang. Pada komponen kimia kayu terdiri dari selulosa,

hemiselulosa, lignin dan zat eksraktif masing-masing sangat dbutuhkan oleh tumbuhan. Tumbuh-

tumbuhan yang mengandung selulosa cukup melimpah di Indonesia dan merupakan sumber alam

yang dapat diperbaharui dengan pembudidayaan.Selulosa merupakan komponen yang

mendominasi karbohidrat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan hampir mencapai 50%, karena

selulosa merupakan unsur struktural dan komponen utama bagian yang terpenting dari dinding

sel tumbuh-tumbuhan. Selulosa merupakan β-1,4 poli glukosa, dengan berat molekul sangat

besar. Unit ulangan dari polimer selulosa terikat melalui ikatan glikosida yang mengakibatkan

struktur selulosa linier. Keteraturan struktur tersebut juga menimbulkan ikatan hidrogen secara

intra dan intermolekul.

Hemiselulosa merupakan suatu polisakarida lain yang terdapat dalam tanaman dan

tergolong senyawa organik. Casey (1960) menyatakan bahwa hemiselulosa bersifat non-kristalin

dan tidak bersifat serat, mudah mengembang karena itu hemiselulosa sangat berpengaruh

terhadap bentuknya jalinan antara serat pada saat pembentukan lembaran, lebih mudah larut

dalam pelarut alkali dan lebih mudah dihidrolisis dengan asam.

Lignin adalah komponen penyusun utama dari dinding sel tumbuhan dan beberapa algae.

Lignin juga masih berikatan erat dengan selulosa dan hemiselulosa. Komponen ini merupakan
komponen rantai atau cabang panjang yang terbentuk di dalam dinding sel. Keberadaan lignin

sangat melimpah di alam yang mana merupakan komponen polimer organic kedua terbanyak di

bumi setelah selulosa. Struktur dari lignin adalah kompleks, tidak teratur, acak, dan penyusun

utamanya dari senyawa aromatic, yang mana menambah elastisitas matrik selulosa dan

hemiselulosa. Akibat dari kekompleksan inilah lignin merupakan komponen linoselulosa yang

sulit untuk dipecah. Hal ini dikarenakan struktur kristal pada lignin lebih tinggi daripada selulosa

dan hemiselulosa.

Zat ekstraktif adalah zat yang mudah larut dalam pelarut seperti: eter, alcohol, bensin dan

air. Jumlah zat ekstraktif rata-rata 3 – 8%, dari berat kayu karing tanur. Termasuk di dalamnya

minyak-minyakan,resin,lilin,lemak,tannin,gula,pati dan zat warna. Zat ekstraktif tidak

merupakan bagian struktur dinding sel, tetapi terdapat dalam rongga sel.

B. Rumusan masalah

1. Apakah pengertian dari selulosa, hemiselulosa, lignin dan eksraktif ?

2. Bagaimanakah struktur dari selulosa, hemiselulosa, lignin dan eksraktif ?

3. Bagaimana fungsi dari selulosa, hemiselulosa, lignin dan eksraktif ?

C. Tujuan penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman kepada

mahasiswa tentang pengertian selulosa, hemiselulosa, lignin dan eksraktif, mengetahui struktur

dari selulosa, hemiselulosa,lignin dan eksraktif, dan memahami fungsi dari selulosa,

hemiselulosa, lignin dan eksraktif.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Dari

Selulosa

Selulosa adalah zat penyusun tanaman yang jumlahnya banyak, sebagai material struktur

dinding sel semua tanaman.Selulosa adalah karbohidrat utama yang disintesis oleh tanaman dan

menempati hampir 60% komponen penyusun struktur kayu. Selulosa merupakan serat-serat

panjang yang bersama-sama hemiselulosa, pektin, dan protein membentuk struktur jaringan yang

memperkuat dinding sel tanaman. Jumlah selulosa di alam sangat berlimpah sebagai sisa

tanaman atau dalam bentuk sisa pertanian seperti jerami padi, kulit jagung, gandum,kulit tebu

dan lain-lain tumbuhan.

Secara kimia, selulosa merupakan senyawa polisakarida yang terdapat banyak di

alam.Bobot molekulnya tinggi, strukturnya teratur berupa polimer yang linear terdiri dari unit

ulangan β-D-Glukopiranosa. Karakteristik selulosa antara lain muncul karena adanya struktur

kristalin dan amorf serta pembentukan mikro fibril dan fibril yang pada akhirnya menjadi serat

selulosa. Sifat selulosa sebagai polimer tercermin dari bobot molekul rata-rata, polidispersitas

dan konfigurasi rantainya. Sebagai sumber serat, batang pisang cukup potensial untuk di

kembangkan menjadi pulp karena memiliki kandungan selulosa yang cukup tinggi

Selulosa hampir sama dengan amilosa yaitu sama-sama polimer berantai lurus hanya

saja berbeda pada jenis ikatan glukosidanya. Selulosa bila dihidrolisis oleh enzim selobiase yang

cara kerjanya serupa denga beta- amilase akan menghasilkan dua molekul glukosa dari ujung

rantai sehingga dihasilkan selobiosa beta-1,4 - G-G.


Beberapa molekul selulosa akan membentuk mikrofibril dengan diameter 2-20 nm dan

panjang 100-40000 nm yang sebagian berupa daerah teratur (kristalin) dan diselingi daerah

amorf yang kurang teratur. Beberapa mikrofibril membentuk fibril yang akhirnya menjadi serat

selulosa. Selulosa memiliki kekuatan tarik yang tinggi dan tidak larut dalam kebanyakan pelarut.

Hal ini berkaitan dengan struktur serat dan kuatnya ikatan hidrogen.

Hemiselulosa

Hemiselulosa adalah polisakarida pada dinding sel tanaman yang larut dalam alkali dan

menyatu dengan selulosa. Hemiselulosa terdiri atas unit D-glukosa, D-galaktosa,D-manosa, D-

xylosa, dan L-arabinosa yang terbentuk bersamaan dalam kombinasi dan ikatan glikosilik yang

bermacam-macam. Hemiselulosa terdapat bersama-sama dengan selulosa dalam struktur daun

dan kayu dari semua bagian tanaman dan juga dalam biji tanaman tertentu. Hemiselulosa yang

terhidrolisis akan menghasilkan heksosa, pentosa dan asam uronat. Hemiselulosa dihidrolisa oleh

jasad renik dalam saluran pencernaan dengan enzim hemiselulase, hasil akhir fermentasinya

adalah VFA.

Jumlah hemiselulosa biasanya antara 15-30% dari berat kering bahan lignoselulosa.

Hemiselulosa mengikat lembaran serat selulosa membentuk mikrofibril yang meningkatkan

stabilitas dinding sel. Hemiselulosa juga berikatan silang dengan lignin membentuk jaringan

kompleks dan memberikan struktur yang kuat.

Lignin

Lignin merupakan salah satu komponen kimia penyusun kayu selain dari selulosa,

hemiselulosa dan ekstraktif. Lignin adalah gabungan beberapa senyawa yang hubungannya erat satu

sama lain, mengandung karbon, hidrogen dan oksigen, namun proporsi karbonnya lebih tinggi

dibanding senyawa karbohidrat.Sifat kimia lignin yang penting untuk diketahui diantaranya adalah

kadar lignin dan reaktifitasnya. Metode Klason merupakan prosedur umum yang digunakan
dalam penentuan kadar lignin. Prosedur ini memisahkan lignin sebagai material yang tidak larut

dengan depolimerisasi selulosa dan hemiselulosa dalam asam sulfat 72% yang diikuti oleh

hidrolisis polisakarida terlarut dalam asam sulfat 3% yang dipanaskan. Bagian dari lignin yang

larut menjadi filtrat disebut lignin terlarut asam.

Lignin terlarut asam merupakan parameter yang dapat menunjukkan tingkat reaktivitas

monomer penyusun polimer lignin. Lignin terlarut asam juga sangat penting untuk dianalisis

mengingat hubungannya dengan kandungan lignin dan proses pulping. Lignin terlarut asam

merupakan bagian dari kandungan total lignin dalam kayu, akan tetapi seringkali diabaikan

karena jumlahnya yang relative kecil khususnya pada jenis softwood.

Lignin adalah salah satu komponen utama sel tanaman, karena itu lignin juga memiliki

dampak langsung terhadap karakteristik tanaman. Misalnya saja, lignin sangat berpengaruh pada

proses pembuatan pulp dan kertas. Kebutuhan bahan kimia untuk ‘memasak’ kayu dihitung

berdasarkan kandungan ligninnya. Kandungan lignin pada pakan ternak ruminansia sangat

perpengaruh pada kemudahan pakan itu untuk dicerna. Pakan yang rendah kandungan ligninnya

mudah dicerna oleh binantang. Tapi, kalau pakan yang diberikan terlalu banyak kandungan

ligninnya, ternak bisa ‘mencret’.

Di alam keberadaan lignin pada kayu berkisar antara 25-30%, tergantung pada jenis kayu

atau faktor lain yang mempengaruhi perkembangan kayu. Pada kayu, lignin umumnya terdapat

di daerah lamela tengah dan berfungsi pengikat antar sel serta menguatkan dinding sel kayu.

Kulit kayu, biji, bagian serabut kasar, batang dan daun mengandung lignin yang berupa substansi

kompleks oleh adanya lignin dan polisakarida yang lain. Kadar lignin akan bertambah dengan

bertambahnya umur tanaman.


REVIEW SERAT ALAM : KOMPOSISI, STRUKTUR, DAN
SIFAT MEKANIS
Heru Suryanto
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Malang
Jl. Semarang 5 Malang
Email: heru.suryanto.ft@um.ac.id
1. PENDAHULUAN
Tanaman pertanian, pohon-pohon hutan, dan jenis tanaman lainnya memiliki banyak
kegunaan untuk komunitas pertanian. Bahan yang berasal dari tanaman telah digunakan
secara tradisional untuk makanan dan pakan. Produk polimer berbasis bahan hijau seperti
tanaman pertanian merupakan dasar untuk membentuk produk yang eco-efisien dan
berkelanjutan, dan bersaing dengan bahan-bahan sintesis (Suryanto et al., 2016). Serat alami
telah menunjukkan keunggulan dalam beberapa tahun terakhir. Keunggulan dari serat alami
dibandingkan dengan serat sintetis adalah harganya murah, densitas rendah, mudah lepas,
bahan terbarukan dan terbiodegradasi dan tidak berbahaya bagi kesehatan. Akibatnya, ada
peningkatan upaya untuk mengeksplorasi serat alam baru dan penggunaan serat tanaman oleh
sektor industri yang berbeda, seperti komposit untuk aplikasi otomotif dan untuk
menggantikan serat sintetis (Suryanto et al., 2014a). Beberapa alternatif serat alam dari
tanaman yang sudah dieksplorasi antara lain serat jerami, jerami padi, serat rerumputan
seperti rumput switch, rumput India, rumput napier, dan rumput mendong. Beberapa serat
tersebut telah diterapkan sebagai penguat komposit polimer (Suryanto et al., 2015).
Serat-serat alam dapat dikelompokan berdasarkan pada sumbernya yaitu berasal dari
tanaman, binatang atau mineral. Serat tanaman terdiri atas selulosa, sementara serat hewan
(rambut, sutera, dan wol) terdiri atas protein-protein. Serat tanaman meliputi serat kulit pohon
(atau stem atau sklerenkima halus), daun atau serat-serat keras, benih, buah, kayu, sereal
gandum, dan serat-serat rumput lain. Banyak diantara serat-serat alam ini, telah
dikembangkan sebagai penguat dalam bahan komposit. Bahan-bahan komposit serat alam
telah meningkat penggunaan karena harganya relatif murah, mampu untuk didaur ulang dan
dapat bersaing dengan baik berdasarkan kekuatan per berat dari material.
Serat yang berasal dari tanaman, pada umumnya dikelompokkan menjadi 2 kelompok,
yaitu serat non-kayu dan serat kayu. Serat non-kayu dibagi menjadi (Suryanto et al., 2012):
1. Jerami, contoh: jagung, gandum, dan padi;
2. Kulit pohon, contoh: kenaf (Hibiscus cannabicus), flax (Linum usitatissimum), jute
(Corchorus), rami (Boehmeira nivea), dan hemp (Cannabis sativa);
3. Daun, contoh: sisal (Agave sisalana), daun nanas (Ananas comosus), dan serat henequen
(Agave fourcroydes);
4. Serat rumput/grass, contoh: serat bambu, rumput, rotan, switch grass (Panicum
virgatum), dan rumput gajah (Erianthus elephantinus);
Karakteristik serat alam sangatlah bervariasi. Beberapa karakteristik serat alam
diantaranya seperti kandungan selulosa dalam serat, derajat polimerisasi selulosa dan sudut
mikrofibril serat akan mempengaruhi kekuatan tarik dan modulus (Mohanty et al., 2005).
2. KOMPOSISI SERAT
Komponen kimia utama dari tanaman hidup adalah air. Berdasarkan atas berat kering
maka dinding sel semua tanaman terdiri dari polimer berbasis gula (karbohidrat) yang
berkombinasi dengan lignin, bahan ekstraktif, protein, pati, dan bahan anorganik dengan
jumlah yang lebih rendah. Komponen kimia didistribusikan melalui dinding luar sel yang
terdiri dari lapisan dinding primer dan sekunder. Komposisi kimia bervariasi pada tiap
tanaman bahkan pada berbagai bagian didalam tanaman yang sama. Komposisi kimia juga
bervariasi dalam tanaman tergantung pada lokasi geografis, umur, iklim dan kondisi tanah
yang berbeda (Rowell et al., 2000). Komposisi dari beberapa serat yang umum digunakan,
ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa mayoritas kandungan serat adalah
selulosa selanjutnya hemiselulosa, lignin dan sejumlah kecil lilin dan pektin.
Tabel 1 Komposisi beberapa biofiber (Suryanto et al., 2014b)
Untuk menentukan kuantitas dari komponen penyusun serat alam umumnya
digunakan metode analisa secara kimia dengan metode Klasson sedangkan secara kualitatif
dan semikuantitatif dengan mengenali gugus fungsi tertentu sebagai bagian dari komponen
serat dengan menggunakan teknik spektroskopi infra merah. Adapun spektrum dari gugus
fungsi komponen serat ditunjukkan pada Tabel 2.
Adapun struktur kimia dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin ditunjukkan pada
Gambar 1.
Holoselulosa
Kombinasi dari selulosa dan hemiselulosa disebut holoselulosa dan jumlahnya
berkisar 65-70% berat kering tanaman. Polimer ini terbuat dari gula sederhana, terutama, D-
glukosa, D-mannosa, D-galaktosa, D-xylosa, L-arabinosa, asam D-glukuronat, dan jumlah
yang lebih kecil dari gula-gula lain seperti L-rhamnosa dan D-fukosa. Polimer ini kaya akan
kelompok hidroksil yang berperan untuk penyerapan air melalui ikatan hidrogen.
Tabel 2 Spektrum serapan dari komponen serat (Moran et al., 2008)
Selulosa
Selulosa merupakan komponen struktural yang paling penting dari hampir semua
dinding sel tanaman hijau, terutama di banyak serat alam seperti rami, goni, rami, kapas, dll.
Polimer selulosa terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen, dengan gambaran struktur
selulosa ditunjukkan pada Gambar 1. Selulosa adalah senyawa polisakarida (C
6
H
10
O
5
)
n
yang
dapat diturunkan menghasilkan glukosa (C
6
H
12
O
6
). Unit terkecil yang berulang adalah
selobiosa (C
6
H
11
O
5
)
2
O dibentuk oleh kondensasi dua unit glukosa dan oleh karena itu juga
dikenal sebagai anhydroglucose (glukosa minus air). Masing-masing satuan berulang berisi
tiga kelompok hidroksil. Kelompok hidroksil ini dan kemampuannya untuk mengikat
hidrogen memainkan peran yang utama di dalam mengarahkan struktur kristalin dan juga
mengembangkan sifat fisika dari selulosa (Summerscales et al., 2010).
Kebanyakan tanaman tersusun atas selulosa berkristal tinggi dan mungkin berisi
sebanyak 80 persen daerah kristal. Bagian yang tersisa memiliki densitas yang lebih rendah
dan disebut sebagai selulosa amorf. Selulosa merupakan polimer dengan derajat polimerisasi
(DP) sekitar 10,000, bersifat kuat, berkristal molekul tanpa percabangan. Selulosa padat
membentuk suatu struktur mikrokristal dengan daerah amorf pada orde yang rendah. Selulosa
juga terbuat dari batang kristal mikrofibril dan terbagi menjadi 4 kelompok yaitu selulosa I,
selulosa II, selulosa III, dan selulosa IV. Selulosa I merupakan bentuk alami dari selulosa
yang terdiri atas 2 jenis yaitu selulosa Iα dan selulosa Iβ tergantung pada sumber selulosanya.
Yang membedakan antara selulosa Iα dan selulosa Iβ adalah bentuk kristalnya dimana
selulosa Iα memiliki struktur triklinik dan selulosa Iβ memiliki struktur monoklinik, seperti
ditunjukkan pada Gambar 2. Kelompok selulosa yang lain merupakan bentukan dari selulosa
I dengan berbagai cara (Pérez & Samain, 2010).
Sifat kimia selulosa adalah tahan terhadap alkali kuat (17.5% berat) tetapi dengan
mudah terhidrolisis oleh asam menjadi gula yang larut air dan selulosa relatif tahan terhadap
agen pengoksida dengan ketahanan panas serat selulosa adalah mencapai temperatur 211 -
280°C tergantung pada jenis seratnya (Suryanto, 2015).
Selulosa
Hemiselulosa
Lignin
Gambar 1 Struktur kimia selulosa, hemiselulosa, dan lignin (Park et al., 2008)
Gambar 2. Struktur selulosa Iα dan selulosa Iβ (Pérez & Samain, 2010)
Hemiselulosa
Hemiselulosa adalah polisakarida dengan berat molekul rendah, sering mengalami
kopolimer dengan glukosa, asam glukuronat, mannosa, arabinosa dan xilosa, dapat berbentuk
acak, bercabang amorf atau struktur nonlinier dengan kekuatan rendah. Hemiselulosa mudah
dihidrolisis oleh asam atau basa encer, atau enzim hidrolisis (Summerscales et al., 2010).
Pada tanaman serat, hemiselulosa berfungsi sebagai matrik dari selulosa (Bergander
& Salmen, 2002). Secara umum, fraksi hemiselulosa tanaman terdiri dari kumpulan polimer
polisakarida dengan derajat polimerisasi lebih rendah dibandingkan dengan selulosa dan
mengandung terutama gula D-xylopyranose, D-glukopiranosa, D-galactopyranose, L-
arabinofuranose, D-mannopyranose, dan asam D-glucopyranosyluronic dengan sejumlah
kecil gula lainnya. Polisakarida tersebut biasanya berisi rantai utama yang terdiri dari satu
unit gula berulang terkait dengan titik cabang (1-2), (1-3), dan / atau (1-6) (1-4) (Rowell et
al., 2000).
Lignin
Lignin dibentuk dengan penghilangan non-reversibel air dari gula (terutama xilosa)
untuk membuat struktur aromatik. Lignifikasi berlangsung pada tanaman dewasa untuk
kestabilan mekanik tanaman. Lignin berfungsi memberi kekakuan kepada tanaman,
terlokalisasi pada permukaan lumen dan daerah dinding berpori untuk mempertahankan
kekuatan dinding, permeabilitas dan membantu transport air. Lignin tahan serangan
mikroorganisme dan kebanyakan dalam bentuk cincin aromatik yang tahan terhadap proses
anaerobik sehingga kerusakan akibat proses anaerobik pada lignin adalah lambat (Bismarck
et al., 2005).
Lignin bersifat hydrophobic secara alami dan mengandung tiga ko-polimer
dimensional dari unsur-unsur aromatik dan alifatik dengan bobot molekul yang sangat tinggi
yaitu hidroksil, metoksil dan gugus karbonil. Lignin diketahui mengandung lima hidroksil
dan lima metoksil per unit bangun. Diyakini bahwa satuan struktural dari molekul lignin
diturunkan dari 4-hydroxy-3-methoxy phenylpropane. Kesulitan utama di dalam kimia lignin
adalah tidak ada metoda yang mapan untuk mengisolasikan lignin dalam kondisi asli dari
serat. Lignin dianggap sebagai suatu polimer termoplastik yang memperlihatkan adanya
temperatur transisi glass di sekitar 90°C dan meleleh pada temperatur sekitar 170°C (Olesen
& Plackett, 1999). Lignin tidak terhidrolisis oleh asam, hanya dapat larut di dalam alkali
panas, dapat teroksidasi, dan dengan mudah terkondensasi dengan fenol (Bismarck et al.,
2005).
3. STRUKTUR SERAT
Biofiber dapat dianggap sebagai komposit dari fibril selulosa yang berongga terbentuk
bersama matrik lignin dan hemiselulosa (Jayaraman, 2003). Dinding sel serat bukan
merupakan suatu membran yang homogen (Gambar 3). Struktur lapisan terdiri dari suatu
dinding primer yang tipis dimana lapisan pertama tersimpan selama lingkaran pertumbuhan
sel melingkari dinding sekunder. Dinding sekunder itu terdiri dari tiga lapisan. Lapisan
tengah terdiri dari satu rangkaian gulungan helik dari mikrofibril selular yang disebut sudut
mikrofibril. Lapisan S1 agak homogen yang berkaitan dengan orientasi mikrofibril,
merupakan bagian utama yang berisi mikrofibril berorientasi tegak lurus dengan sumbu sel.
Transisi dari orientasi mikrofibril dari lapisan S1 ke S2 nampak sangat jelas dan perubahan
secara bertahap pada sudut mikrofibril terjadi lapisan transisi yang merupakan bagian luar
dari lapisan S2. Ketebalan lapisan S2 adalah jauh lebih besar daripada lapisan S1 dan S3. Ini
berarti bahwa untuk setiap pengukuran sudut mikrofibril yang melibatkan seluruh ketebalan
dinding satu sel, atau yang rata-rata sudut di sebuah sampel dari kayu beberapa sel, hasilnya
merupakan perkiraan untuk sudut lapisan S2. Secara umum bahwa sudut mikrofibril lapisan
S2 merupakan penentu utama kekakuan pada kayu, dan penyusutan saat pengeringan (Barnett
& Bonham, 2004).
Gambar 3. Struktur biofiber (John & Thomas, 2008; Bismarck et al., 2002)
Nilai karakteristik untuk sudut mikrofibril bervariasi dari serat satu ke yang lain.
Mikrofibril tersebut mempunyai diameter sekitar 1030 nm dan terdiri dari 30-100 molekul
selulosa yang memanjang dan memberikan kekuatan mekanis kepada serat. Kandungan dari
kristal selulosa sangat bervariasi tergantung pada jenis, umur tanaman dan tempat tumbuh,
seperti ditunjukkan pada Tabel 3. Secara umum, kekuatan tarik dan modulus kekakuan serat
meningkat dengan meningkatnya kandungan selulosa. Sudut mikrofibril menentukan
kekakuan dari serat-serat. Serat-serat tanaman lebih liat jika mikrofibril-mikrofibril
mempunyai suatu orientasi spiral pada sumbu serat. Jika mikrofibril-mikrofibril itu
terorientasi paralel pada sumbu serat maka serat-serat itu akan kaku, kurang fleksibel dan
mempunyai kekuatan-tarik tinggi (Mukherjee & Satyanarayana, 1986). Umumnya semakin
kecil sudut mikrofibril akan memberikan modulus kekakuan yang lebih tinggi (Barnett &
Bonham, 2004).
Sudut mikrofibril dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan berikut
(Mwaikambo & Ansell, 2006):
‫ܯܨܣ = ܥ݋ݏ‬
ିଵ
ට(


ି(ଵି௏

)ா
೙೎




)
dengan E
f
: modulus serat
E
c
: modulus bagian kristal serat (diwakili selulosa daerah kristalin serat sayuran 45
GPa) (Mwaikambo & Ansell, 2006)
E
nc
: modulus bagian non-kristal, 3 GPa (Mwaikambo & Ansell, 2006)
V
c
: fraksi volume bagian kristal
Sifat serat dan struktur serat dipengaruhi oleh beberapa kondisi dan bervariasi
tergantung pada tempat pertumbuhan, iklim dan usia dari tanaman. Lebih lanjut, teknis
pemrosesan serat adalah faktor penting lain yang menentukan struktur dan sifat dari serat.
Seperti pada kasus dengan serat glass, kekuatan tarik dari serat alam juga bergantung pada
panjang spesimen uji yang berperan pada efisiensi penguatan. Kekuatan tarik dari suatu serat
tunggal adalah spesifik dan semakin panjang spesimen uji maka kekuatan tariknya semakin
menurun. Fakta ini dapat menjadi satu penjelasan adanya perbedaan-perbedaan kekuatan
pada berbagai jenis serat alam. Kekuatan serat flax adalah lebih tergantung pada panjang serat
dibanding pada serat glass sedangkan kekuatan tarik dari serat nanas lebih sedikit
ketergantungannya pada panjang spesimen (Bledzki & Gassan, 1999). Ketergantungan antara
kekuatan dengan panjang spesimen dapat dilihat sebagai derajat homogenitas atau jumlah
cacat dari suatu serat atau material secara umum. Selain itu, kekuatan tarik dari serat juga
dipengaruhi oleh kehalusan/pengecilan dari diameter serat. Penurunan diameter serat
menghasilkan kekuatan serat yang lebih tinggi.
Tabel 3. Struktur kristal selulosa dari beberapa sumber serat (Suryanto et al., 2014b)
Sifat hidrofilik adalah masalah utama untuk semua serat selulosa jika digunakan
sebagai penguatan di dalam polimer hidrophobik. Kandungan kelembaban dari serat-serat,
tergantung pada bagian non-kristalin dan kandungan void/kekosongan dengan jumlah sampai
dengan 10 wt% di bawah kondisi standar. Sifat hidrofilik dari serat-serat alam mempengaruhi
sifat mekanis secara keseluruhan dan juga sifat fisika lain dari serat (Bledzki & Gassan,
1999).
4. SIFAT MEKANIS SERAT ALAM
Fase matrik amorf dalam dinding sel adalah sangat kompleks dan terdiri dari
hemiselulosa, lignin, dan dalam beberapa serat terdapat pektin. Molekul hemiselulosa adalah
hidrogen yang terikat kepada selulosa dan bertindak sebagai pengikat diantara mikrofibril-
mikrofibril selulosa, membentuk jaringan selulosa-hemiselulosa, dan merupakan komponen
struktural utama dari sel serat. Jaringan lignin yang hidrofobik mempengaruhi sifat dari
jaringan lain, bertindak sebagai suatu kopel agen dan meningkatkan kekakuan dari komposit
selulosa/hemiselulosa. Struktur, sudut mikrofibril, ukuran sel, cacat-cacat, dan komposisi
kimia serat-serat adalah variabel-variabel penting yang paling menentukan sifat menyeluruh
dari serat (Mukherjee & Satyanarayana, 1986). Pektin merupakan molekul kompleks
karbohidrat yang memiliki rantai utama yang tersusun dari rantai (1→4)-α-D-galacturonan
yang diinterupsi oleh segmen (1→2)-α-L-rhamnan. Pektin bertanggung jawab atas kapasitas
pertukaran ion dari dinding sel dan pengendalian lingkungan ionik dan pH di dalam sel
(Pérez & Samain, 2010).
Masing-masing komponen penyusun serat memiliki kekuatan sendiri. Secara umum,
modulus elastisitas (E) rantai selulosa I mencapai 140 GPa (El Oudiani et al., 2011) dan
selulosa II mencapai 90 GPa (Northolt et al., 2001). Selulosa serat rami pada kisi kristalnya
memiliki modulus elastisitas (E) sebesar 134 GPa (Sakurada & Nubushina, 1962). Poisson
rasionya tergantung pada bidang kristal dan jenis selulosanya. Pada bidang [200]/[004], nilai
poisson rasio untuk selulosa Iβ sebesar 0.38 dan pada selulosa II sebesar 0.3 (Nakamura et
al., 2004). Modulus elastisitas dari hemiselulosa dari pohon Pinus mencapai 8 GPa dan
menurun dengan bertambahnya kandungan air (Cousins, 1978) sedangkan modulus lignin
mencapai 3,1 – 6,7 GPa, dengan modulus geser berkisar 1,2 – 2,1 GPa dengan koefisien rasio
0,3 (Cousins, 1976). Untuk serat-serat yang berasal dari sayuran, nilai modulus daerah
kristalin dan non-kristalin berturut-turut adalah 45 dan 3 GPa (Mwaikambo & Ansell, 2006).
Serat-serat alam cukup baik untuk menguatkan polimer (termoset dan juga
termoplastik) karena memiliki kekuatan dan kekakuan yang relatif tinggi dengan densitas
yang rendah (Tabel 4).
Tabel 4 Karakteristik serat alam (Suryanto et al., 2014b)
Nilai karakteristik untuk rami dan soft-wood-kraft-fiber mencapai tingkatan yang
mendekati nilai untuk serat glass tipe E. Meskipun demikian, rentang nilai karakteristik yang
lebih tinggi dibanding serat glass merupakan salah satu dari kelemahan-kelemahan semua
serat alam. Rentangan yang luas ini disebabkan oleh perbedaan-perbedaan di dalam struktur
serat karena kondisi-kondisi lingkungan secara menyeluruh selama pertumbuhan. Serat-serat
alam dapat diproses dengan berbagai cara untuk menghasilkan unsur-unsur penguat yang
mempunyai sifat mekanis yang berbeda.
Modulus elastisitas dari serat alam seperti kayu adalah sekitar 10 GPa. Serat selulosa
memiliki modulus sampai dengan 40 GPa dapat diperoleh dari kayu melalui proses kimia
pulping. Serat-serat seperti itu, dapat dibagi lagi lebih lanjut melalui hidrolisis yang diikuti
oleh disintegrasi mekanis menjadi mikrofibril dengan modulus elastis mencapai 70 GPa.
Kalkulasi teoritis modulus elastis dari rantai selulosa sudah mencapai nilai sampai dengan
250 GPa (Bledzki & Gassan, 1999).
5. KESIMPULAN
Serat alam merupakan komposit dari fibril selulosa dengan struktur fisik berongga terbentuk
bersama matrik lignin dan hemiselulosa. Selulosa pembentuk memiliki struktur selulosa I dan
selulosa II dengan modulus elastisitas berturut-turut mencapai 140 GPa dan 90 GPa. Dalam
ukuran nano, kristal selulosa memiliki kekuatan melebihi baja hingga mencapai 250 GPa
yang sangat potensial untuk dikembangkan dalam bentuk komposit.
DAFTAR RUJUKAN
Barnett, J.R., Bonham, V. a, 2004. Cellulose microfibril angle in the cell wall of wood fibres.
Biol. Rev. Camb. Philos. Soc. 79, 461–72.
Bergander, A., Salmen, L., 2002. Cell wall properties and their effects on the mechanical
properties of fibers. J. Mater. Sci. 37, 151–156.
Bismarck, A., Aranberri-Askargorta, I., Springer, J., Lampke, T., Wielage, B., Stamboulis,
A., Shenderovich, I., Limbach, H.-H., 2002. Surface characterization of flax, hemp and
cellulose fibers; Surface properties and the water uptake behavior. Polym. Compos. 23,
872–894.
Bismarck, A., Mishra, S., Lampke, T., 2005. Plant Fibers as Reinforcement for Green
Composites. In: Mohanty, A.K., Misra, M., and Drzal, L.T. (Ed.), Natural Fibers,
Biopolymer, and Biocomposites. CRC Press Tailor and Francis group, Boca Raton.
Bledzki, A.K., Gassan, J., 1999. Composites reinforced with cellulose based fibres. Carbon
N. Y. 24, 221–274.
Cousins, W.J., 1976. Elastic Modulus of Lignin as Related to Moisture Content. Wood Sci.
Technol. 10, 9–17.
Cousins, W.J., 1978. Young’s Modulus of Hemicellulose as Related to Moisture Content.
Wood Sci. Technol. 12, 161–167.
Jayaraman, K., 2003. Manufacturing sisal–polypropylene composites with minimum fibre
degradation. Compos. Sci. Technol. 63, 367–374.
John, M.J., Thomas, S., 2008. Biofibres and biocomposites. Carbohydr. Polym. 71, 343–364.
Mohanty, Misra, M., Drzal, L.T., 2005. Natural fibers, biopolymers, and biocomposites: an
introduction. In: Natural Fibers, Biopolymers, and Biocomposites. pp. 1–36.
Moran, J.I., Alvarez, V.A., Cyras, V.P., Vazquez, A., 2008. Extraction of cellulose and
preparation of nanocellulose from sisal fibers. Cellulose 15, 149–159.
Mukherjee, P.S., Satyanarayana, K.G., 1986. Structure and properties of some vegetable
fibres. J. Mater. Sci. 21, 51–56.
Mwaikambo, L.Y., Ansell, M.P., 2006. Mechanical properties of alkali treated plant fibres
and their potential as reinforcement materials . I . hemp fibres. J Mater Sci 2483–2496.
Nakamura, K.E.N.I., Wada, M., Kuga, S., Okano, T., 2004. Poisson ’ s Ratio of Cellulose I ␤
and Cellulose II. Polym. Phys. 42, 1206–1211.
Northolt, M.G., Boerstoel, H., Maatman, H., Huisman, R., Veurink, J., Elzerman, H., 2001.
The structure and properties of cellulose Fibres spun from an anisotropic phosphoric
acid solution. Polymer (Guildf). 42, 8249–8264.
Olesen, P.., Plackett, D.., 1999. Perspectives on the Performance of Natural Plant Fibres. In:
Natural Fibres Performance Forum, Copenhagen. p. Copenhagen 27th-28th May 1999.
Oudiani, a. El, Chaabouni, Y., Msahli, S., Sakli, F., 2011. Crystal transition from cellulose I
to cellulose II in NaOH treated Agave americana L. fibre. Carbohydr. Polym. 86, 1221–
1229.
Park, J., Kim, P., Jang, J., Wang, Z., Hwang, B., Devries, K., 2008. Interfacial evaluation and
durability of modified Jute fibers/polypropylene (PP) composites using micromechanical
test and acoustic emission. Compos. Part B Eng. 39, 1042–1061.
Pérez, S., Samain, D., 2010. Structure and engineering of celluloses. Adv. Carbohydr. Chem.
Biochem. 64, 25–116.
Rowell, Han, J.S., Rowell, J.S., 2000. Characterization and Factors Effecting Fiber
Properties. In: Natural Polymer and Agrofibre Based Composites. Embrapa
Instrumentação Agropecuária, Sao Carlos, Brazil, pp. 115–134.
Sakurada, I., Nubushina, Y., 1962. Experimental Determination of the Elastic Modulus of
Crystalline Regions in Oriented Polymere. J. Polym. Sci. 57, 651–660.
Summerscales;, Dissanayake, N., Virk, A.S., Hall, W., 2010. A review of bast fibres and their
composites. Part 1 – Fibres as reinforcements. Compos. Part A Appl. Sci. Manuf. 41,
1329–1335.
Suryanto, H., 2015. Thermal degradation of mendong fiber. In: 6th International Conference
on Green Technology. Universitas Islam Negeri Malang, Malang, pp. 306–309.
Suryanto, H., Irawan, Y.S., Marsyahyo, E., Soenoko, R., 2012. Karakteristik Serat Mendong
(Fimbristylis globulosa): Upaya Menggali Potensi Sebagai Penguat Komposit Matriks
Polimer. In: Seminar Nasional Green Technology 3. pp. 49–53.
Suryanto, H., Irawan, Y.S., Marsyahyo, E., Soenoko, R., 2014a. Effect of Alkali Treatment
on Crystalline Structure of Cellulose Fiber From Mendong (Fimbristylis globulosa)
Straw. Key Eng. Mater. 594–595, 720–724.
Suryanto, H., Marsyahyo, E., Irawan, Y.S., Soenoko, R., 2014b. Morphology, Structure, and
Mechanical Properties of Natural Cellulose Fiber from Mendong Grass (Fimbristylis
globulosa). J. Nat. Fibers 11.
Suryanto, H., Marsyahyo, E., Surya Irawan, Y., Soenoko, R., Aminudin, 2015. Improvement
of interfacial shear strength of Mendong fiber (Fimbristylis globulosa) reinforced epoxy
composite using the AC electric fields. Int. J. Polym. Sci. 2015, 1–10.
Suryanto, H., Solichin, S., Yanuhar, U., 2016. Natural Cellulose Fiber from Mendong Grass
(Fimbristylis globulosa). In: Ramawat, K.G., Ahuja, M.R. (Eds.), Fiber Plants - Biology,
Biotechnology and Applications. Springer, pp. 1–17.

 Citations0
 References27

Anda mungkin juga menyukai