Anda di halaman 1dari 187

Kata Pengantar

Puji syukur kami persembahkan hanya kepada Tuhan karena perkenanNya


penyusunan buku ajar ini selesai dilakukan. Buku ini dimaksudkan untuk diberikan
sebagai salah satu buku pegangan pada mata kuliah berbasis teknologi enzim seperti mata
kuliah Teknik Biokimia, Reaktor Biokimia dan Teknologi Enzim, baik pada tingkat
sarjana atau pasca sarjana.
Enzim-enzim lignoselulolitik seperti enzim xilanase dan enzim ligninolitik sudah
lama dikenal orang dalam perannya pada industri pulp yang ramah lingkungan. Akan
tetapi peran enzim ini dalam pengadaan energi terbarukan belum terlalu lama dikenal
masyarakat. Buku ini ditulis berdasarkan pengalaman penulis melakukan riset pada
bidang ini dan mengulas tentang peran enzim-enzim ini dalam pembuatan pulp ramah
lingkungan serta dalam pengadaan energi terbarukan.
Akhir kata, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian buku ini. Termasuk dukungan secara moril yang sangat
membantu dari istriku tercinta Sari Pratidina dan anak-anakku Aletheia Threskeia dan
Samuel Arista.

Surabaya, Nopember 2013


Arief Widjaja

i
Daftar Isi

Kata Pengantar ii
Bab 1 Lignoselulosa dan Komponen Penyusunnya 1
Bab 2 Enzim Ligninolitik dan Aplikasinya Pada Degradasi Lignin 18
Bab 3 Enzim Selulase dan Xilanase dan Perannya Dalam Pendegradasian
Lignoselulosa 29
Bab 4 Biodelignifikasi Kayu Sengon Menggunakan Jamur Pelapuk Putih Secara
in vitro 43
Bab 5 Produksi Enzim Xilanase dan Strategi Purifikasinya 70
Bab 6 Produksi Enzim Selulase Dan Aplikasinya Pada Hidrolisis Jerami Padi 90
Bab 7 Produksi Hidrogen Dari Jerami Padi 100
Bab 8 Produksi Bioetanol dari Jerami Padi 123
Bab 9 Produksi Hidrogen dari Bagas Tebu 137
Lampiran
Prosedur Kerja Pembuatan Enzim, analisa enzim dan analisa lignoselulosa 170

ii
Bab 1
Lignoselulosa dan Komponen Penyusunnya

Indonesia merupakan salah satu produsen pulp dan kertas yang besar di dunia.
Hal ini ditunjang dengan wilayah Indonesia yang kaya akan sumber daya alam hutan
yang sangat potensial sebagai bahan baku lignoselulosa dalam industri pulp dan kertas.
Industri pulp dan kertas biasanya menggunakan kayu sebagai bahan baku, baik
dari jenis kayu keras maupun kayu lunak. Bahan baku bukan kayu seperti bagas tebu,
bambu, jerami dan lain-lain juga mulai banyak digunakan sebagai bahan pembuat pulp.
Tabel 1.1 memberikan contoh jenis-jenis kayu keras dan kayu lunak serta komposisi
kimianya.

Tabel 1.1. Beberapa contoh kayu keras dan kayu lunak serta komposisi kimianya (Fengel
dan Wegener, 1984)

(Polisakarida)

Hemiselulosa
Holoselulosa

Pentosan
selulosa
Nama Ilmiah Nama umum

Lignin
% % % % %
A. kayu lunak
Abies balsamea Balsam fir 70,0 49,4 15,4 7,0 27,7
Picea abies European spruce 80,9 46,0 15,3 8,3 27,3
Pinus sylvestris Scots pine 74,3 52,2 13,5 8,2 26,3
B. kayu keras
Fagus sylvatica European beech 85,8 44,5 30,2 22,0 22,2
Populus tremuloides Trembing aspen 80,3 49,4 21,2 17,2 18,1
Quercus spec. Oak 73,2 40,5 23,3 17,5 22,2

Trakeid merupakan sel-sel penyusun kayu yang panjang dan tipis dengan ujung-
ujung tertutup yang pipih atau meruncing. Kayu lunak terdiri dari 90-95 % trakeid,
sedangkan pada kayu keras jumlahnya lebih kecil. Trakeid tersusun dalam baris radial
dan perpanjangan longitudinalnya terorientasi dalam arah sumbu batang. Gambar 1.1
memberikan morfologi dari trakeid, lapisan dinding sekunder dan hubungan antara lignin,
hemiselulosa dan selulosa dalam dinding sekunder dari trakeid.
Komponen kimia kayu dapat dibedakan antara komponen-komponen makro
molekul dan komponen mikro dengan berat molekul kecil. Perbedaan jenis kayu
dipengaruhi komposisi kimianya. Secara umum komponen kimia kayu ditunjukkan pada
Gambar 1.2 (Fengel dan Wegener,1984).

1
Arah serat
selulosa
hemiselulosa
Matriks lignin-
hemiselulosa

Gambar 1.1. Morfologi dari trakeid, lapisan dinding sekunder dan hubungan antara
lignin, hemiselulosa dan selulosa dalam dinding sekunder dari trakeid. Diameter sel kira-
kira sebesar 25 m. S1-S3, lapisan dinding sel sekunder, P, dinding primer, M.L, lamela
tengah (middle lamela) (Maijala, 2000).

Kayu

Senyawa berat molekul kecil Senyawa makromolekul

Bahan organik Bahan anorganik Polisakarida Lignin

Ekstraktif Abu Selulosa Hemiselulosa

Gambar 1.2. Bagan umum komponen kimia kayu (Fengel dan Wegener, 1984)

Seperti terlihat pada Tabel 1.1, biasanya kayu mengandung sekitar 40-50 %
selulosa, 15-30% hemiselulosa dan 20-30 % lignin. Jumlah holoselulosa atau polisakarida
pada kayu umumnya lebih dari 65% dan bisa mencapai lebih dari 80%.
Selulosa merupakan komponen kayu yang terbesar, yang jumlahnya hampir
setengah dari total berat kayu, baik untuk kayu keras maupun kayu lunak. Selulosa
berfungsi memberikan kekuatan serta fleksibilitas pada kayu, sementara lignin

2
menyokong dan melindungi selulosa dari serangan secara kimia maupun biologi.
Sedangkan hemiselulosa berfungsi mengikat lignin dan selulosa.

1.1. Komponen-komponen makro molekul kimia kayu


Komponen-komponen makro molekul utama dinding sel terdiri dari :
• Selulosa
• Hemiselulosa
• Lignin

1.1.A. Selulosa
Beberapa istilah menyangkut selulosa yang umum digunakan adalah:
1. -selulosa: adalah selulosa kayu yang tidak larut dalam larutan NaOH kuat. Untuk
tujuan ekperimen atau penelitian, biasanya yang perlu ditentukan adalah -selulosa.
Untuk memperoleh selulosa murni 100%, -selulosa harus mengalami perlakuan
intensif lebih lanjut, seperti hidrolisis parsial, pelarutan dan pengendapan, dimana
produk yang dihasilkan terdiri atas rantai molekul yang sangat pendek (Fengel dan
Wegener, 1984).
2. -selulosa: adalah selulosa kayu yang larut dalam larutan NaOH kuat tapi mengendap
dalam larutan yang dinetralkan
3. -selulosa: adalah selulosa kayu yang larut dalam larutan NaOH kuat dan tetap larut
dalam larutan yang dinetralkan
4. Holoselulosa: adalah istilah untuk polisakarida di dalam kayu

Struktur selulosa diberikan pada Gambar 1.3. Selulosa merupakan


homopolisakarida yang tersusun atas unit-unit anhidroglukopiranosa yang bersambungan
membentuk rantai molekul. Karena itu selulosa dapat dinyatakan sebagai polimer linier
glukan dengan struktur rantai yang seragam, dimana unit-unitnya terikat dengan ikatan
glikosidik-β-(1,4).
Pada pembuatan pulp, selulosa merupakan senyawa yang diharapkan dalam
komponen kimia kayu akan dapat mempengaruhi kekuatan dan jalinan antar serat serta
sifat permukaan lembaran pulp dan kertas (Panshin, 1964).

selobiosa glukosa
Gambar 1.3. Struktur molekul selulosa

3
Secara umum rumus empiris selulosa dapat ditulis sebagai (C6H10O5)n dengan n
adalah jumlah satuan glukosa yang berikatan atau menyatakan derajat polimerisasinya.
Derajat polimerisasi untuk selulosa tumbuhan berada pada kisaran 305 hingga 15300
(Fengel dan Wergener,1984).
Kedudukan  dari gugus OH pada atom C nomor 1 (C1) membutuhkan pemutaran
unit glukosa berikutnya melalui sumbu C1-C4 cincin piranosa. Unit ulang dari rantai
selulosa adalah unit selobiosa dengan panjang 1,03 nm.
Keberadaan dari gugus-gugus OH yang terdapat pada ujung-ujung rantai selulosa
menentukan sifat dari monomer gula penyusun selulosa. Demikian juga posisi ikatan 
atau  akan menentukan sifat dari senyawa yang dihasilkan. Beberapa terminologi yang
berhubungan dengan konfigurasi molekul penyusun selulosa serta sifat yang dimilikinya
diberikan sebagai berikut:

1. Konfigurasi D dan L
A. Proyeksi Fischer
Proyeksi Fischer untuk D dan L-glukosa diberikan pada Gambar 1.4, dengan
ketentuan sebagai berikut:
- Konfigurasi D ditunjukkan dengan gugus OH pada atom karbon kiral yang
terjauh dari atom C nomor 1 (dalam hal ini yaitu atom C nomor 5) berada pada
sebelah kanan.
- Jika gugus OH pada atom C kiral yang terjauh dari C1 berada di sebelah kiri
bidang, maka termasuk dalam konfigurasi L.

1 CHO 1 CHO
2 2
OH HO
3 3
HO OH
4 4
OH HO
5 5
OH HO
6 6
CH2OH CH2OH

D-glukosa L-glukosa

Gambar 1.4. Proyeksi Fischer untuk D dan L-Glukosa

B. Proyeksi Haworth.
Monomer gula dalam selulosa dapat digambarkan dengan proyeksi Haworth pada
Gambar 1.5 dengan ketentuan sebagai berikut:
- Konfigurasi D digambarkan dengan posisi gugus CH2OH, yaitu pada
kedudukan atom C nomer 6, berada di atas bidang.
- Konfigurasi L ditunjukkan dengan gugus CH2OH yang berada di bawah bidang.
4
- Setiap grup yang berada di sebelah kanan pada proyeksi Fischer diletakkan
pada sebelah bawah dalam proyeksi Haworth.
- Setiap grup yang berada di sebelah kiri pada proyeksi Fischer diletakkan pada
sebelah atas dalam rumus Haworth.
Hubungan pemaparan D-glukosa dengan proyeksi Fischer dan Haworth
ditunjukkan pada Gambar 1.6. Tampak pada gambar ini bahwa gugus OH pada
atom C1 yang dituliskan dengan proyeksi Haworth bisa berada di bawah bidang
atau di atas bidang. Hal ini berhubungan dengan konfigurasi  dan  seperti
dijelaskan pada bagian penjelasan konfigurasi  dan  di bawah ini.

di atas bidang = D
6 CH2OH di bawah bidang = L

5 5
O O
HO OH
4
CH2OH
1 6 1
OH 4 OH
2 3
HO OH
3 2
OH OH

D-Glukosa L-Glukosa

Gambar 1.5. Proyeksi Haworth untuk D dan L-glukosa

1 CHO
2
OH 6 CH2OH 6 CH2OH
3
HO 5 5
O OH
4 O
OH 4 atau 4 1
1 OH
5
OH OH
2 2
HO OH HO
6 3 3
CH2OH OH OH

Fischer Haworth

Gambar 1.6. Konversi penggambaran untuk D-glukosa dengan proyeksi Fischer dan
Haworth

5
2. Konfigurasi  (alfa) dan  (beta)
A. Proyeksi Haworth
Konfigurasi alfa dan beta untuk monomer D-glukosa diberikan pada gambar
1.7 untuk proyeksi Haworth, dengan ketentuan sebagai berikut:
- Untuk suatu D-gula, struktur dalam mana gugus OH anomerik (gugus OH pada
atom C anomerik, yaitu atom C nomor 1, yang merupakan karbon karbonil,
dimana atom karbon ini adalah karbon yang menjadi kiral dalam reaksi
siklisasi), diproyeksikan ke bawah, yaitu pada posisi trans terhadap CH2OH
ujung, disebut -anomer
- Struktur dalam mana gugus OH anomerik diproyeksikan ke atas, yaitu pada
posisi cis terhadap CH2OH ujung, disebut -anomerik

CH2OH CH2OH

O O OH
OH OH
HO OH HO
OH OH

ke bawah =  ke atas = 
(trans terhadap (cis terhadap
CH2OH) CH2OH)

-D-Glukosa -D-Glukosa

Gambar 1.7. Konfigurasi  dan -D-glukosa dengan proyeksi Haworth

B. Rumus konformasi (bentuk kursi)


Meskipun proyeksi Haworth memberikan penggambaran yang lebih baik
dibanding proyeksi Fischer, akan tetapi proyeksi Haworth tetap tidak memberikan
gambaran yang benar secara keseluruhan. Penggambaran yang lebih baik diberikan
dengan rumus konformasi.
Perbandingan -D-glukosa dengan menggunakan proyeksi Haworth dan
rumus konformasi diberikan pada Gambar 1.8, dengan ketentuan sebagai berikut:
- Jika suatu gugus OH berada di sebelah bawah dalam suatu rumus Haworth,
maka gugus ini juga berada di sebelah bawah (di bawah bidang cincin) dalam
rumus konformasi.
- Demikian juga gugus OH yang berada di sebelah atas dalam rumus Haworth,
maka gugus ini juga berada di sebelah atas dalam rumus konformasi.
- Sebagaimana dengan setiap cincin yang terdiri dari 6 atom C, cincin mengambil
konformasi dalam mana sebagian besar gugusnya bersikap ekuatorial. Hal ini
dikarenakan pada posisi ekuatorial ini molekul lebih stabil, sehingga posisi
ekuatorial ini lebih disukai.

6
CH2OH
CH2OH
O O
HO
OH
HO OH HO
OH
OH OH

Gambar 1.8. -D-glukosa dalam proyeksi Haworth dan rumus konformasi. Dalam
rumus konformasi, gugus CH2OH serta gugus-gugus OH dengan warna yang
lebih gelap berada pada posisi ekuatorial

Konfigurasi  dan  dalam rumus konformasi diberikan pada Gambar 1.9, dengan
ketentuan sebagai berikut:
- Seperti proyeksi Haworth, konfigurasi  digambarkan dengan gugus OH
anomerik diproyeksikan kebawah cincin, umumnya pada posisi aksial
- Demikian juga konfigurasi  digambarkan dengan gugus OH anomerik
diproyeksikan ke atas, umumnya pada posisi ekuatorial.

CH2OH CH2OH
O O
HO HO
OH
HO HO
OH OH
OH
aksial Ekuatorial dan lebih
disukai/ stabil

-D-Glukosa -D-Glukosa

Gambar 1.9. Konfigurasi  dan -D-glukosa dengan Rumus Konformasi

3. Gula pereduksi
Gula mengandung gugus aldehida, dimana gugus aldehida merupakan gugus
yang sangat mudah dioksidasi menjadi suatu gugus karboksil. Uji kimiawi dari
aldehida tergantung dari mudahnya oksidasi ini dilakukan. Gula yang dapat dioksidasi
oleh suatu zat pengoksidasi lembut seperti reagensia Tollens, suatu larutan basa dan

7
Ag(NH3)2+, disebut gula pereduksi (reducing sugar), karena zat pengoksidasi
anorganik direduksi dalam reaksi itu (Fessenden dan Fessenden, 1986).
Glukosa mudah dioksidasi karena mereka berada dalam kesetimbangan dengan
bentuk aldehida rantai terbukanya, seperti diberikan dalam Gambar 1.10. Gugus OH
pada atom C1 dinyatakan dengan garis berombak yang menyatakan bahwa stuktur itu
bisa , atau , atau campuran dari keduanya. Hal ini dikarenakan mudahnya
pengubahan dalam air antara gugus OH hemiasetal (gugus OH pada atom C1)  dan 
dalam suatu D-glukosa.

CH2OH CH2OH CH2OH


O OH O Ag(NH3)2+
H2O OH
OH
OH CH COO- + Ag
OH OH- OH
HO HO HO cermin
OH OH OH perak

Gambar 1.10. Kesetimbangan D-glukosa (suatu gula pereduksi) dengan bentuk


aldehida rantai terbukanya serta reaksi oksidasinya

Berdasarkan keterangan di atas, molekul selulosa dapat digambarkan pada


Gambar 1.11.

CH2OH HO OH CH2OH OH
O O HO
O O O
O O
HO O HO O
OH CH2OH OH CH2OH

Ujung bukan Ikatan -1,4 Ujung pereduksi


pereduksi

Gambar 1.11. Struktur selulosa dan ikatan -1,4 serta gugus pereduksi yang dimilikinya

1.1.B. Hemiselulosa (Poliosa)


Hemiselulosa merupakan salah satu polisakarida penyusun kayu selain selulosa.
Seperti halnya selulosa, kebanyakan hemiselulosa berfungsi sebagai pendukung dalam
dinding-dinding sel. Secara strukural, hemiselulosa mempunyai sifat reaksi yang sama
dengan selulosa tetapi komponen-komponen penyusun hemiselulosa berbeda dengan
komponen-komponen penyusun selulosa. Beberapa karakteristik dari hemiselulosa yang
membedakannya dari selulosa dapat diberikan antara lain:

8
- Hemiselulosa merupakan heteropolisakarida, sedangkan selulosa merupakan
homopolisakarida.
- Hemiselulosa relatif mudah dihidrolisis oleh asam menjadi komponen-komponen
monomernya yang terdiri dari D-glukosa, D-mannosa, D-galaktosa, D-xylosa, L-
arabinosa dan sejumlah kecil L-ramnosa disamping menjadi asam D-galakturonat dan
asam 4-0-metil-D-glukoronat.
- Hemiselulosa mempunyai derajat polimerisasi hanya 200 (Sjostrom,1995).
- Hemiselulosa akan mengalami reaksi oksidasi dan degradasi terlebih dahulu daripada
selulosa, karena rantai molekul hemiselulosa lebih pendek dan bercabang.
- Hemiselulosa tidak larut dalam air tetapi larut dalam larutan alkali encer dan lebih
mudah dihidrolisa oleh asam daripada selulosa.
- Hemiselulosa lebih bersifat hidrofilik dimana sifat ini banyak mempengaruhi sifat
fisik pulp dan kertas.
- Hemiselulosa berfungsi sebagai perekat dan dapat mempercepat terjadinya fibrasi
(pembentukan serat). Sifat inilah yang memperkuat fisik lembaran pulp kertas.
Hilangnya hemiselulosa akan mengakibatkan adanya lubang diantara fibril dan
berkurangnya ikatan antar serat, namun kadar hemiselulosa yang terlalu tinggi akan
menyebabkan kertas tembus cahaya, kaku dan rapuh.

Komposisi utama penyusun hemiselulosa pada kayu keras dan kayu lunak
diberikan pada Tabel 1.2. Dari tabel ini terlihat beberapa perbedaan antara kayu keras dan
kayu lunak sebagai berikut:
- Jumlah hemiselulosa total di dalam kayu keras umumnya lebih besar dibanding kayu
lunak
- Kayu lunak memiliki unit manosa dan galaktosa yang lebih tinggi dibanding kayu
keras
- Kayu keras memiliki unit xilosa dan asetil yang lebih tinggi dibanding kayu lunak
- Bila data pada Tabel 1.2 dibandingkan dengan data pada Tabel 1.1, tampak bahwa
komponen xilan pada kayu keras bisa mencapai hampir 100% dari kandungan
hemiselulosa, sedangkan pada kayu lunak kandungan xilan sekitar 30% dari
hemiselulosa.
- Demikian juga dari Tabel 1.1 dan 1.2 tampak bahwa untuk kayu lunak, kandungan
manan sekitar 70% dari hemiselulosa, sedangkan pada kyu keras, kandungan manan
rata-rata kurang dari 10% hemiselulosa.

Tabel 1.2. Komposisi utama penyusun hemiselulosa pada kayu keras dan kayu lunak
Spesies Polisakarida Jumlah Komposisi (molar ratio)
Kayu (%) Xil GluA Ara Man Glu Gal As
Kayu Glukuronoxilan 15-30 10 1 7
keras Glukomannan 2-5 1-2 1

Kayu Arabinoglukuronoxilan 7-10 10 2 1,3


lunak (Galakto)glukomannan 10-15 4 1 0,1 1
Galaktoglukomannan 5-8 3 1 1 1
Singkatan: Xil = xilosa, GluA = Asam 4-O-methyl--D-glukuronat, Ara = arabinosa,
Man = mannosa, Glu = glukosa, Gal = galaktosa, As = grup asetil

9
(a) Kelompok pentosa

O HO O O OH
OH OH
OH OH OH
HO HOH2C
OH OH OH
-D-xilosa -L-arabinopiranosa -L-arabinofuranosa

(b) Kelompok heksosa

CH2OH CH2OH CH2OH

O O OH O
OH HO
OH OH HO OH
HO HO OH
OH OH
-D-glukosa -D-manosa -D-galaktosa

(c) Kelompok asam heksuronat

COOH COOH COOH

O O O
OH OH
OH OH OH
HO H3CO OH HO
OH OH OH
Asam -D-glukoronat Asam -D-4-O-metil Asam -D-galakturonat
glukuronat
(d) Kelompok deoksiheksosa

HO O OH O
CH3 OH
CH3
HO
HO
OH OH OH
-L-rhamnosa -L-fukosa

Gambar 1.12. Beberapa kelompok penyusun hemiselulosa

10
Rumus struktur dari komponen-komponen penyusun hemiselulosa diberikan
dalam Gambar 1.12 a, b, c dan d, masing-masing untuk kelompok pentosa, heksosa, asam
heksuronat, dan deoksi heksosa.

Xilan
Xilan merupakan komponen utama dari hemiselulosa pada dinding sel kayu keras,
yang terikat pada selulosa, pektin, lignin dan polisakarida lainnya untuk membentuk
dinding sel. Pada umumnya xilan mempunyai cabang dan berasosiasi kuat dengan
biopolimer lain. Struktur polimer xilan diberikan dalam Gambar 1.13. Dari gambar ini
serta informasi lain dari literatur kita dapatkan beberapa keterangan mengenai xilan
antara lain:
- Xilan merupakan hemiselulosa dengan rantai utama homopolimer yang tersusun atas
unit-unit gula xilosa yang terikat dengan ikatan glikosidik -1,4.
- Banyak gugus-gugus OH pada atom-atom C2 dan C3 dari unit-unit xilosa disubstitusi
dengan gugus-gugus O-asetil atau gugus asam O-metil glukoronat.

Ikatan -1,4-D-xilopiranosa

Cincin
D-xilopiranosa
Ikatan asam -1,2,4-O-
metil-D-glukoronat
Ikatan -1,3-L-
arabinofuranosa

cincin asam -O-


metil-D-glukuronat

Gambar 1.13. Struktur polimer xilan. Ac merupakan grup asetil

11
Xilan kayu keras
Beberapa keterangan dari literatur menyangkut xilan kayu keras dapat diberikan antara
lain sebagai berikut:
- Kebanyakan xilan kayu keras mempunyai ratio xilan:metil glukuronat sekitar 10:1,
yaitu rata-rata pada setiap unit xilosa kesepuluh terikat dengan gugus samping asam 4-
O-metil glukuronat.
- Telah ditemukan bahwa xilan kayu keras mempunyai dua atau tiga titik percabangan
dengan rantai-rantai samping sangat pendek yang terikat pada atom C3 rantai utama
(Fengel dan Wegener, 1984).
- Derajat polimerisasi rata-rata rantai utama xilan kayu keras bervariasi sekitar 100
sampai 200 tergantung jenis kayu dan cara isolasi.
- Disamping rantai utama, xilan kayu keras mengandung sejumlah kecil rhamnosa dan
asam galakturonat.
- Ujung pereduksi xilan kayu keras mengandung kombinasi unit xilosa, rhamnosa dan
asam galakturonat dengan urutan -D-Xilp-1→ 4--D-Xilp-1→ 3--Rhap-1→ 2--D-
GalpU-1→ 4--D-Xil.
Dimana:
Xilp, Rhap dan GalpU masing-masing menyatakan cincin xilopiranosa (xilosa),
rhamnopiranosa (rhamnosa) dan galakturonat.
Angka 1, 2, 3 dan 4 menyatakan posisi masing-masing pada atom C1, C2, C3 dan C4.

Xilan kayu lunak


Beberapa keterangan dari literatur menyangkut xilan kayu lunak dapat diberikan antara
lain sebagai berikut:
- Seperti terlihat pada Tabel 1.2, pada umumnya xilan kayu lunak tidak mempunyai
gugus asetil tetapi memiliki gugus arabinofuranosa yang terikat dengan ikatan
glikosidik -1,13 dengan rantai utama xilan.
- Jadi xilan kayu lunak adalah arabino-4-O-metilglukuronoxilan.
- Bagian asam-4-O-metilglukuronat dalam kayu lunak lebih tinggi dari kayu keras.
- Ratio xilan:Metilglukuronat pada xilan kayu lunak adalah sekitar 3:1 sampai 6:1.
- Derajat polimerisasi xilan kayu lunak adalah sekitar 70 hingga 130.

Aplikasi bioteknologi pada industri pulp dan kertas khususnya pada proses
degradasi lignin, yaitu degradasi lignin secara tidak langsung, banyak melibatkan xilan.
Hal ini dikarenakan xilan merupakan komponen penting penyusun hemiselulosa, dimana
hemiselulosa merupakan perekat antara lignin dan selulosa. Dengan mendegradasi
hemiselulosa, degradasi lignin dapat dilakukan dengan lebih mudah yaitu dengan
menggunakan lebih sedikit bahan kimia pendegradasi lignin yang umumnya sangat
polusif.
Degradasi xilan dilakukan oleh enzim. Salah satu enzim yang mempunyai peran
dalam mendegradasi xilan adalah endo – 1,4- xilanase. Penggunaan xilanase baik untuk
menggantikan atau mengurangi jumlah klorin yang digunakan dalam proses pemutihan
bubur kertas memberikan dampak yang baik terhadap pelestarian lingkungan (Viikari
dkk., 1994).

Manan

12
Seperti terlihat dalam Tabel 1.2, pada kayu keras, komponen manan sangat kecil
yaitu hanya sekitar 2-5% sehingga peranannya tidak begitu penting sehbingga tidak
banyak dipelajari.
Akan tetapi dalam kayu lunak, manan merupakan komponen hemiseluosa utama,
dimana jumlahnya bisa mencapai 20-25%. Beberapa keterangan penting mengenai manan
dari literatur dapat disarikan sebagai berikut:
- Manan dalam kayu lunak terdiri dari rantai utama glukomanan yang mengikat gugus
asetil dan sisa galaktosa, sehingga bisa disebut O-asetil-galakto-glukomanan.
- Perbandingan unit manosa dan glukosa adalah sekitar 3:1

Pektin
Yang dimaksud dengan senyawa pektin adalah mencakup galakturonan (senyawa
yang terdiri dari galakturonat, galaktan (senyawa yang terdiri dari galaktosa), dan
arabinan (senyawa yang terdiri dari arabinosa).

1.1.C. Lignin
Seperti halnya selulosa dan hemiselulosa, lignin merupakan polimer penyusun
kayu dengan kadar yang besar. Akan tetapi, berbeda dengan selulosa dan hemiselulosa,
yang keduanya memiliki kemiripan struktur dimana keduanya termasuk dalam
polisakarida, struktur molekul lignin sama sekali berbeda. Lignin merupakan salah satu
polimer alami yang memiliki kompleksitas yang tinggi baik menyangkut struktur maupun
heterogenitasnya. Beberapa informasi dari literatur menyangkut lignin dapat diberikan
sebagai berikut:
- Lignin merupakan polimer amorf dengan berat molekul yang besar yang sulit untuk
ditetapkan karena heterogenitas lignin yang sangat tinggi dan strukturnya yang
kompleks.
- Seperti bisa dilihat pada Tabel 1.1, kandungan lignin dalam kayu lunak lebih banyak
bila dibandingkan dalam kayu keras.
- Selain perbedaan kadarnya, terdapat juga perbedaan struktur lignin dalam kayu lunak
dan dalam kayu keras.
- Lignin terdiri dari senyawa aromatik yang tersusun atas unit fenilpropana. Sifat
senyawa ini sangat stabil, sulit dipisahkan dan mempunyai bentuk yang
bermacam-macam.
- Unit-unit dasar pembentuk lignin terdiri dari 3 unit yaitu:
1. Unit p-hidroksifenil (H)
2. Unit guaiasil (G)
3. Unit siringil (S)
Gambar 1.14 (a) memberikan struktur dari ketiga unit penyusun lignin ini.
- Unit-unit H, G, dan S ini membentuk 3 senyawa dasar penyusun polimer lignin, yaitu
unit fenil propana, masing-masing adalah:
1. p-koumaril alkohol
2. koniferil alkohol
3. sinapil alkohol

13
Gambar 1.14 (b) memberikan struktur dari ketiga senyawa fenil propana yang
merupakan senyawa dasar penyusun lignin.
- Lignin kayu lunak, kayu keras dan rerumputan berbeda dalam hal kandungan unit-unit
p-hidroksifenil (H), guaiasil (G), dan siringil (S) tersebut. Ketiga senyawa ini
merupakan senyawa induk primer dan merupakan unit pembentuk semua lignin
(Fengel dan Wegener, 1984).

R R R

OCH3 H3CO OCH3


OH OH OH

p-Hidroksifenil (H) Guaiasil (G) Siringil (S)


(a)

CH2OH CH2OH CH2OH


CH CH CH
CH CH CH

OCH3 H3CO OCH3


OH OH OH
p-koumaril alkohol koniferil alkohol sinapil alkohol
(b)

Gambar 1.14. Struktur dari (i) unit-unit dasar pembentuk lignin dan (ii) 3 senyawa fenil
propana bentukannya

- Lignin diproduksi melalui reaksi lignifikasi dalam dinding sel tumbuhan yang vital
untuk penyatuan struktur dari tumbuhan, untuk pertahanan terhadap patogen dan
serangan dari bahan kimia. Dalam tumbuh-tumbuhan lignin merupakan produk akhir
metabolisme. Hal ini menunjukkan bahwa lignin merupakan senyawa yang sangat
stabil.
- Dibandingkan dengan selulosa, atau hemiselulosa, lignin dipecah amat lambat oleh
jamur dan bakteri (Schlegel dan Hans, 1994).
- Lignin bersifat hidrofobik. Adanya lignin mengakibatkan sifat kaku dan ketahanan
tarik pada serat.
- Lignin dapat dioksidasi oleh larutan alkali dan bahan oksidator lain.

14
- Lignin tahan terhadap proses hidrolisis oleh asam-asam mineral tetapi mudah larut
dalam larutan sulfit dalam keadaan biasa.
- Pulp yang dihasilkan akan mempunyai sifat fisik yang baik apabila mengandung
sedikit lignin. Hal ini disebabkan sifat lignin yang hidrofobik dan kaku yang
menyulitkan dalam penggilingan. Banyaknya lignin akan mempengaruhi bahan kimia
pemasak dan pemutih (Casey, 1980)
- Dalam lignin, komponen fenilproprana teranyam sebagai jala oleh lkatan C – C atau
eter dalam berbagai bentuk. Ikatan-ikatan ini resisten terhadap pengaruh enzim
pendegradasi selulosa atau hemiselulosa.
- Tidak seperti selulosa atau hemiselulosa, struktur makromolekul lignin tidak dapat
dilukiskan dengan penggabungan satu atau beberapa unit monomer atau dengan
penggabungan satu atau beberapa jenis ikatan. Struktur molekul lignin masih
merupakan model-model. Gambar 1.15 memberikan model struktur molekul lignin.

Gambar 1.15. Salah satu model struktur molekul lignin

15
- Pada umumnya hemiselulosa diperkirakan terikat dengan lignin meskipun ada juga
kemungkinan terjadinya ikatan antara selulosa dengan lignin.
- Gambar 1.16 memberikan beberapa jenis ikatan antara lignin dengan hemiselulosa
yang sering diusulkan, yaitu:
(a) ikatan antara molekul lignin dengan molekul xilan di dalam hemiselulosa melalui
senyawa asam -4-O-metil glukuronat, ditunjukkan pada Gambar 1.16 (a)
(b) ikatan antara molekul lignin dengan molekul xilan melalui senyawa -L-
arabinofuranosa, ditunjukkan pada Gambar 1.16 (b)
(c) ikatan antara molekul lignin dengan molekul manan melalui senyawa -D-
manosa., ditunjukkan pada Gambar 1.16 (c).

CH2OH
CH2OH
O CH
O CH OH
HC O C O H2
O HC O C
OH
OH
O O
H3CO
H3CO OH O
O Xil-Xil-Xil H3CO Xil-Xil-Xil
O

(a) (b)

CH2OH
O CH
HCOH

CH2OH OCH3
O O
M
OH HO
a
Man-Glu-Man O
n

(c)

Gambar 1.16. Beberapa ikatan antara lignin dengan hemiselulosa (keterangan lihat teks)

16
DAFTAR PUSTAKA

Fengel, D dan Wegerner, G., (1984), “Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi”, Gajah
Mada University Press, Yogyakarta, hal. 30-34, 155-176.
Fessenden, R.J. dan Fessenden, J.S., Organic Chemistry, third edition, Brooks/Cole
Publishing Company, California, USA, 1986.
Phansin, A.J., Zeuw, C.D., (1964) ,” Wood Technology”, Text Book of Wood
Technology, 1, Mac Graw Hill Book Company, New York.
Schlegel and Hans, G., (1994) ,” Mikrobiologi Umum”, Edisi VI, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 484-487.
Viikari. L., Kantelinen, A., Sundquist, J. dan Linko, M. (1994) Xylanases in bleaching:
From an Idea to Industry. FEMS Microb. Rev. 13: 335-350.

17
Bab 2
Enzim Ligninolitik dan Aplikasinya Pada Degradasi Lignin

Pelapukan pada kayu terutama disebabkan oleh jamur yang dapat mendegradasi
komponen-komponen utama dalam kayu seperti lignin, selulosa dan hemiselulosa.
Menurut Bratasida (1982), ada 3 jenis jamur yang dapat mendegradasi satu macam
komponen atau lebih dalam kayu yaitu :
• Jamur pelapuk putih (white rot fungi)
• Jamur pelapuk coklat (brown rot fungi)
• Jamur pelapuk lunak (soft rot fungi)

a. Jamur pelapuk putih


Jamur tingkat tinggi dari kelas Basidiomycetes ini dapat menyerang baik lignin
maupun selulosa. Dibandingkan jenis lainnya, jamur pelapuk putih merupakan jenis yang
paling aktif mendegradasi lignin, menyebabkan warna kayu lebih muda. Agar kandungan
polisakarida dalam kayu tidak didegradasi, maka jamur pelapuk putih memerlukan
sumber C sebagai energi tambahan atau nutrisinya. Salah satu contoh jamur pelapuk
putih yaitu Phanerochaete chrysosporium

Menurut Burdsall (1998), P.chrysosporium termasuk dalam:


Divisi : Eumycota
Sub Divisi : Basidiomycotania
Class : Hymenomycetes
Sub Class : Holobasidiomycetidae
Genus : Sporotrichum ( Phanerochaete )
Species : Chrysosporium

P.chrysosporium merupakan salah satu kelompok besar jamur pelapuk putih yang
berperan sebagai perusak kayu, pendegradasi sampah dan pendegradasi utama lignin.
P.chrysosporium merupakan jamur dari kelas Basidiomycetes mempunyai suhu
pertumbuhan optimum 40 oC, pH : 4 – 7, aerob. Enzim LiP, MnP dan Lakase diproduksi
oleh kultur P.chrysosporium dan digunakan untuk mendegradasi lignin.

b. Jamur pelapuk coklat


Jenis jamur Basidiomycetes ini akan mendekomposisi polisakarida dalam kayu,
mengakibatkan terjadinya kerusakan pada serat dan meninggalkan residu lignin yang
berwarna kecoklat-coklatan.

c. Jamur pelapuk lunak


Jamur dari kelas Ascomycetes ini menyerang selulosa dan komponen dinding sel.
Akibat serangan jamur ini permukaan kayu jadi lebih lunak.

3.1. Sistem Enzimatik Pada Proses Degradasi Lignin

18
Hasil dari banyak penelitian menunjukkan bahwa jamur pelapuk putih (white-rot
fungi) merupakan satu-satunya organisme yang mampu melakukan degradasi lignin
secara efisien (Akhtar dkk., 1998). Karena hal ini, sistem enzim di dalam
mikroorganisme ini telah dipelajari secara ekstensif. Struktur polimer dari lignin telah
diberikan pada BAB I buku ini. Dari struktur lignin ini ada beberapa informasi yang bisa
diambil dan dianalisa:
1. Berat molekul lignin sangat besar. Hal ini mengindikasikan bahwa
pendegradasian lignin yang dilakukan secara in vivo oleh enzim-enzim di dalam
sel-sel jamur pelapuk putih pasti berlangsung secara ekstraseluler.
2. Struktur stereo lignin memiliki sifat yang tidak teratur (stereoirregular). Dari
informasi ini dapat diperkirakan bahwa enzim yang terlibat dalam proses
degradasi lignin tidak membutuhkan sifat spesifik yang terlalu tinggi seperti
misalnya dibandingkan sifat spesifik enzim yang dibutuhkan untuk mendegradasi
komponen selulosa atau hemiselulosa yang strukturnya jauh lebih teratur dari
struktur lignin.
3. Lignin banyak terdiri dari ikatan karbon-karbon dan eter antar unit-unit molekul
lignin. Dari informasi ini dapat diperkirakan bahwa sistem kerja enzim dalam
jamur pelapuk putih seharusnya bekerja secara oksidatif dan bukannya reaksi
hidrolisis.
Dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, telah ditunjukkan bahwa jamur
pelapuk putih memproduksi enzim-enzim ekstraseluler peroksidase dan phenoloksidase,
dimana enzim-enzim ini bekerja secara tidak spesifik dengan cara melepaskan senyawa
radikal bebas. Radikal bebas ini tidak stabil dan mengalami bermacam-macam reaksi
pemaksapisahan spontan (spontaneous cleavage reaction) dengan menyerang unit-unit
yang ada di dalam struktur lignin. Reaksi utama yang terjadi pada oksidasi enzimatik
lignin dan unit-unit fenol di dalam lignin adalah reaksi penggabungan atau polimerisasi
oksidatif (Lewis dan Yamamoto, 1990). Dalam hal ini, reaksi polimerisasi lignin tidak
pernah terjadi selama proses delignifikasi oleh jamur secara in vivo (Kirk dan Farrel,
1987; Kurek dkk., 1998).
Ada tiga macam enzim yang mempengaruhi struktur lignin baik secara langsung
atau tidak langsung, yaitu:
- Lignin Peroksidase (LiP)
- Mangan Peroksidase (MnP)
- Lakase

Untuk melakukan oksidasi lignin, ketiga enzim ini bekerja dengan bantuan
senyawa mediator yang memiliki berat molekul rendah. Mediator ini merupakan suatu
radikal bebas yang diaktifkan oleh enzim yang kemudian bereaksi dengan lignin. Banyak
senyawa dan radikal dengan berat molekul rendah telah dianjurkan sebagai senyawa yang
mampu bergerak menembus kayu untuk mulai mendegradasi lignin. Diantaranya adalah
veratryl alcohol (VA), H2O2, hydroxy benzotriazol (HBT), ABTS (2 – 2’-azino-bis ( 3
ethyl thiazoline 6-sulfonat), dan anysil alcohol (Hatakka, 1994).
Jamur-jamur pelapuk putih tidak memproduksi semua ketiga jenis enzim tersebut
di atas, tetapi hanya satu atau dua jenis (Hatakka, 1994). Belum ada laporan mengenai
ditemukannya enzim peroksidase pendegradasi lignin dari jamur pelapuk lunak (soft-rot
fungi). Akan tetapi telah dilaporkan bahwa spesies jamur pelapuk lunak Fusarium

19
oxysporum memiliki gen yang sangat mirip dengan gen yang terdapat di dalam enzim
lignin peroksidase dari P. chrysosporium (Monkmann dkk., 1996).
Untuk kerjanya, enzim peroksidase membutuhkan hidrogen peroksida
ekstraseluler, yang disuplai melalui reaksi enzimatik misalnya oleh enzim glyoxal
oksidase dan glucose-2-oxidase atau melalui reaksi non enzimatik melalui reaksi Fenton
(Goodell dkk., 1997).

3.1.A. Lignin Peroksidase (E.C. 1.11.1.14)


Enzim lignin peroksidase (LiP) merupakan enzim pendegradasi lignin yang
pertama kali dikarakterisasi oleh Tien dan Kirk (1983) sebagai ligninase. Enzim ini telah
diekstrak dari bermacam-macam jamur pelapuk putih (Orth dkk., 1993; Hatakka, 1994).
Beberapa karakteristik enzim ini adalah:
1. Memiliki berat molekul sekitar 40 kDa
2. Terglikosilasi (dimuati oleh gugus glukosa)
3. Nilai pI (titik isoelektrik) dan pH optimumnya berada pada range pH asam
4. Beroperasi secara khas melalui siklus katalitik peroksidase

Enzim pendegradasi kayu, termasuk LiP memiliki ukuran yang terlalu besar untuk
bisa masuk ke dalam pori-pori dari dinding sel kayu. Jika enzim LiP bekerja langsung
pada polimer lignin, maka polimer lignin ini haruslah merupakan bagian yang ada pada
permukaan kayu. Pendegradasian lignin dengan cara seperti ini memang dijumpai pada
peristiwa degradasi lignin oleh jamur yang terjadi secara kontinyu (Kirk dan Cullen,
1998), akan tetapi hal ini bukanlah model pendegradasian yang terjadi secara selektif.
Pada model pendegradasian lignin secara selektif, hasil-hasil penelitian dengan
menggunakan mikroskop elektron menunjukkan bahwa jamur pelapuk putih
menghilangkan lignin yang terdapat di dalam dinding sel sebelum enzim melakukan
penetrasi ke dalam dinding sel. Beberapa asumsi yang dikemukakan adalah sebagai
berikut (Harvey dkk., 1986):
1. LiP bekerja secara tidak langsung dengan mengoksidasi substrat dengan berat
molekul yang rendah.
2. Substrat yang teroksidasi kemudian melakukan penetrasi ke dalam dinding sel
kayu dan melakukan oksidasi polimer lignin.

Contoh spesifik untuk mendukung asumsi di atas adalah penggunaan veratryl


alcohol (VA) yang disintesa dan disekresi oleh jamur P. chrysosporium. VA ini
dioksidasi oleh LiP membentuk suatu radikal kation (Harvey dkk., 1986). Struktur VA
dan hasil oksidasi oleh enzim LiP diberikan pada Gambar 3.1.
Gambar 3.2 menggambarkan peranan enzim lignin peroksidase dan mediator
veratryl alcohol dalam pendegradasian lignin. Terbentuknya radikal kation
memungkinkan terbentuknya banyak produk degradasi lignin melalui oksidasi enzimatik
ini.
Kemampuan enzim LiP dalam mengoksidasi berbagai unit dalam struktur lignin
adalah karena terjadinya perubahan dalam enzim LiP melalui suatu siklus seperti
diilustrasikan dalam Gambar 3.3. Siklus ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

20
OH OH

+ LiP
+
OCH3 OCH3
OCH3 OCH3
Veratryl alcohol radikal kation VA
(VA) (VA+)

Gambar 3.1 Rumus bangun dari veratryl alcohol (3,4-Dimethoxy benzilalcohol, C9H12O3,
berat molekul 168) dan radikal kationnya setelah dioksidasi oleh enzim LiP

HO
O glyoxial oxidase O

O O
O2 H2O2
OH OH

HO L HO L
O O
Lignin peroksidase + H2O2 Banyak
+ O2
+ produk
+ H2O degradasi
OCH3 veratryl alcohol OCH3
O O
L L
Lignin radikal kation lignin

Gambar 3.2. Skema pendegradasian lignin oleh enzim lignin peroksidase dengan bantuan
veratryl alcohol sebagai mediator

1. Enzim lignin peroksidase LiP mula-mula dalam kondisi tidak aktif (resting
enzyme).
2. Kemudian LiP ini dioksidasi oleh H2O2 menjadi suatu senyawa antara LiP I.
Senyawa LiP I ini dalam kondisi kekurangan dua elektron sehingga merupakan
senyawa yang aktif.
3. LiP I ini kemudian mengoksidasi substrat donor, yaitu veratryl alcohol (VA),
dengan menarik satu elektron dari VA. Dengan demikian terbentuklah senyawa
antara LiP II yang hanya kekurangan satu elektron saja. Senyawa ini lebih aktif
dari LiP I.

21
4. LiP II kemudian mengoksidasi lagi VA dengan menarik satu elektron dari VA.
Dengan demikian senyawa antara LiP II kembali lagi ke bentuk asalnya yaitu
enzim lignin peroksidase yang tidak aktif (resting enzyme), LiP.
5. Veratryl alcohol yang teroksidasi (VA+) kemudian mengoksidasi komponen
lignin sehingga terbentuklah radikal kation dari lignin.
6. Radikal kation ini kemudian bereaksi, baik sebagai sebuah radikal ataupun
sebagai sebuah kation, sehingga terbentuk berbagai macam produk degradasi
lignin (Kirk dan Cullen, 1998).

Radikal kation lignin


H2O2
FeIII

VA+ H2O
Lignin LiP, tidak
aktif
O
VA
FeIV + 
O

FeIV +  VA+ VA LiP I, aktif

LiP II,
Sangat aktif

Lignin
Radikal kation lignin

Gambar 3.3. Siklus katalitik dari enzim lignin peroksidase.

Dengan terbentuknya LiP II ini, enzim LiP menjadi senyawa oksidator yang lebih
kuat dibanding enzim peroksidase yang lain. LiP tidak hanya mampu mengoksidasi
senyawa fenol dan amina aromatis yang merupakan substrat-substrat yang umum bagi
enzim peroksidase, tetapi juga mampu mengoksidasi berbagai senyawa eter aromatis
maupun senyawa polisiklik aromatis dengan potensial ionisasi yang sesuai (Kersten dkk.,
1990). Senyawa aromatik paling sederhana yang merupakan substrat dari LiP adalah
senyawa benzene bermuatan gugus metoksil dan benzil alkohol.
Gambar 3.4 menunjukkan salah satu model degradasi lignin pada senyawa model
dimer lignin 1,2-diarylpropane-1,3-diol atau senyawa -O-4 yang menghasilkan berbagai
produk degradasi lignin. Tampak pada skema ini terjadi pemaksapisahan unit C-C
yang merupakan model yang khas bagi pendegradasian lignin oleh enzim LiP (Kirk,
1987).
Model degradasi lignin melalui pembentukan radikal kation veratryl alcohol ini
tidak berlaku umum untuk semua kasus. Beberapa hal yang tidak mendukung model ini
dapat dijelaskan sebagai berikut:

22
1. Radikal kation veratryl alcohol memiliki kemampuan hidup yang terlalu pendek
untuk menjalankan fungsinya sebagai mediator yang harus mendifusi ke dalam
pori-pori dinding sel kayu (Khindaria dkk., 1995).
2. Veratryl alcohol tidak dijumpai pada banyak jamur yang mampu melakukan
degradasi lignin dengan baik (Orth dkk., 1993; Hatakka, 1994), termasuk
Ceriporiopsis subvemispora (Jensen dkk., 1996) yang merupakan jamur yang
paling banyak diteliti dalam rangka proses biopulping.

Meskipun demikian tidak bisa dipungkiri bahwa enzim lignin peroksidase LiP
merupakan satu-satunya enzim yang secara in vitro (di luar sel hidup) mampu meniru
secara efisien proses degradasi lignin secara in vivo oleh jamur pelapuk putih, termasuk
meniru proses pemaksapisahan C-C serta pemaksapisahan cincin aromatik yang
merupakan ciri khas dari pendegradasian lignin oleh jamur pelapuk putih (Kirk dan
Cullen, 1998).

C OH
H O
HO
O
OH
C OCH3
+
OCH3 HO O
OCH3
OCH3 OCH3
OCH3

OH
OH
+
HO O
HO O H
OCH3 OCH3

Gambar 3.4. Pemaksapisahan unit C-C pada model dimer lignin 1,2-diarylpropane-
1,3-diol atau unit -O-4 menghasilkan berbagai produk degradasi lignin oleh LiP

3.1.B. Mangan Peroksidase (E.C. 1.11.1.13)


Mangan peroksidase merupakan enzim peroksidase pendegradasi lignin yang juga
termasuk dalam kelompok ligninase. Enzim ini membutuhkan senyawa mangan Mn(II)
sebagai substrat (Tien dan Kirk, 1984; Kuwahara dkk., 1984). Beberapa informasi dari
hasil penelitian yang telah dilakukan menyangkut enzim ini adalah:

23
1. Terdapat pada hampir seluruh jamur pelapuk putih (Orth dkk., 1993; Hatakka,
1994) termasuk C. subvemispora (Ruttiman dkk., 1992).
2. Mungkin menghasilkan oksidator dengan berat molekul rendah yang mendifusi
masuk ke dalam pori-pori dinding sel kayu (Glenn dkk., 1986; Paszczynski dkk.,
1986).
3. Memiliki berat molekul yang sedikit lebih besar dari enzim LiP yaitu sekitar 50-
60 kDa.
4. Seperti halnya LiP, strukturnya terglikosilasi (dimuati oleh gugus glukosa).
5. Nilai pI (titik isoelektrik) dan pH optimumnya berada pada range pH asam.
6. Memiliki siklus katalitik peroksidase yang konvensional seperti halnya enzim
LiP, tetapi membutuhkan substrat Mn2+.

Proses degradasi lignin oleh enzim MnP dapat terjadi melalui mekanisme
pendegradasian gugus bukan fenol di dalam struktur lignin (Jensen dkk., 1996) yang
ditunjukkan pada Gambar 3.5. Mekanismenya dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Dengan bantuan Mn2+, enzim MnP melakukan peroksidasi senyawa lemak tak
jenuh di dalam struktur lignin.
2. Hasil peroksidasi lemak tak jenuh akan menghasilkan senyawa antara yang
merupakan radikal lipoksi (lipoxyradical intermediate).
3. Radikal lipoksi ini kemudian mengoksidasi gugus-gugus bukan fenol di dalam
struktur lignin, termasuk gugus methoksi (O-CH3).

OH OH

HO L HO L
O O
H
+ O2
MnP + Mn2+ Banyak produk
+ lemak tak jenuh degradasi
OCH3 OCH3
O O
L L

Lignin radikal benzilik

Gambar 3.5. Skema pendegradasian lignin oleh enzim mangan peroksidase pada gugus
bukan fenol

Selain itu pendegradasian lignin oleh MnP juga terjadi pada gugus-gugus fenol di
dalam struktur lignin. Gambar 3.6 dan 3.7 menunjukkan pendegradasian lignin oleh
enzim mangan peroksidase dengan bantuan Mn2+ melalui pembentukan radikal fenoksi.
Mn2+ ini dihasilkan melalui proses penyepitan (chelate) oleh penyepit asam organik
bergigi dua (bidentate organic acid chelator) seperti glikolat (HOCH2COOH) atau
oksalat (asam dikarboksilat, HOOCCOOH). Chelator ini menstabilkan produk oksidasi
Mn2+, yaitu Mn3+, serta melepaskannya dari enzim. Proses degradasi ini dibarengi dengan
24
suatu siklus katalitik MnP yang mirip dengan siklus katalitik LiP pada Gambar 3.3 yang
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Enzim MnP yang tidak aktif dioksidasi oleh H2O2 membentuk MnP I. Senyawa
MnP I ini dalam kondisi kekurangan dua elektron sehingga merupakan senyawa
yang aktif.
2. MnP I ini kemudian mengoksidasi substrat fenol di dalam struktur lignin dan juga
mengoksidasi Mn2+ menjadi Mn3+. Reduksi MnP I menghasilkan enzim yang
hanya kekurangan satu elektron saja yaitu MnP II.
3. MnP II akan kembali ke bentuk asalnya yaitu MnP setelah direduksi oleh Mn2+.
Mn2+ teroksidasi menjadi Mn3+.
4. Senyawa Mn3+ merupakan radikal aktif yang mampu mendifusi ke dalam struktur
fenol di dalam lignin. Jumlah struktur fenol kira-kira sebesar 10% dari unit-unit
yang ada di dalam lignin.
5. Oksidasi gugus fenol oleh Mn3+ menghasilkan radikal fenoksi.
6. Radikal fenoksi membentuk berbagai produk degradasi lignin melalui reaksi
pemaksapisahan (cleavage) cincin aromatik dan ikatan C dalam unit-unit
polimer di dalam lignin (Tuor dkk., 1992; Warishi dkk., 1992).

Radikal
fenoksi H2O2
Fenol MnP
dalam Mn3+
Lignin H2O
Radikal
Fenol dalam
2+
fenoksi
Mn Lignin
MnP I
MnP II
Mn3+ Mn2+

Gambar 3.6. Siklus katalitik dari enzim MnP melalui pembentukan chelate Mn3+

3.1.C. Lakase (E.C. 1.10.3.1)


Lakase merupakan pengoksidasi yang mengandung Cu yang mengkatalisa reaksi
oksidasi dengan melakukan abstraksi satu elektron dari senyawa fenol, amina aromatik
dan substrat-substrat lain yang banyak mengandung elektron.
Mekanisme pendegradasian unit-unit fenol di dalam lignin oleh enzim lakase
diberikan pada Gambar 3.8. Mekanisme ini mirip dengan mekanisme pendegradasian unit
fenol di dalam lignin oleh enzim MnP:
1. Enzim lakase mengoksidasi unit-unit fenol dalam lignin menjadi radikal fenoksi
2. Radikal fenoksi kemudian membentuk berbagai produk degradasi lignin melalui
pemutusan atau pemaksapisahan ikatan aril-C (Kawai dkk., 1989).

25
3. Enzim lakase mengkatalisa empat reaksi oksidasi 1 elektron secara berturut-turut.
4. Elektron dari senyawa yang dioksidasi ditransfer ke oksigen membentuk molekul
air.

Karakteristik enzim lakase adalah sebagai berikut:


1. Banyak didapatkan pada jamur pelapuk putih termasuk P. chrysosporium
(Srinivasan dkk., 1995).
2. Memiliki berat molekul 60 – 80 kDa
3. Titik isoelektrik (pI) serta pH optimumnya pada daerah asam.
4. Strukturnya terglikosilasi (dimuati oleh gugus glukosa).
5. Selain mampu mengoksidasi unit-unit fenol dalam lignin, lakase juga dapat
mengoksidasi unit-unit lignin bukan fenol dengan penambahan substrat seperti
ABTS (2,2,-azinobis-3ethylthiazoline-6-sulfonate) (Bourbonnais dan Paice, 1990)
dan HBT (hydroxybenzotriazole) (Srebotnik dan Hammel, 2000).

OH OH

HO L HO L
O O
MnP + Mn2+ Banyak
H2O2 produk
OCH3 OCH3 degradasi
OH O
Fenol dalam lignin Radikal fenoksi

Gambar 3.7. Struktur radikal fenoksi yang dihasilkan pada proses degradasi lignin oleh
enzim MnP

Fenol dalam Radikal


Lignin fenoksi

Lakase

O2 H2O

Gambar 3.8. Skema pendegradasian unit fenol dalam lignin oleh enzim lakase

DAFTAR PUSTAKA
Akhtar, M., Blanchette, R.A., Myers, G., dan Kirk, T.K. (1998). An overview of
Biomechanical Pulping Research. Dalam: Young, R.A. & Akhtar, M. (eds.):

26
Environmentally Friendly Technologies for the Pulp and Paper Industry, John
Wiley & Sons, New York, hal. 309-340.
Atmosuseno, B.S; ” Budi Daya, Kegunaan dan Prospek Sengon,” edisi IV., Jakarta :
Penebar Swadaya ( 1994 ).
Bourbonnais, R. dan Paice, M.G. (1990). Oxidation of non-phenolis substrates. An
expanded role for laccase in lignin biodegradation. FEBS Lett 267, 99-102.
Bratasida, L; ” Substrat Jamur Pelapuk pada penyimpanan Kayu Bahan Baku Pulp,”
Berita Selulosa., XVIII, 33 – 34 ( 1982 ).
Burdsall, J.R; “Environmental Friendly Technologies for pulp and paper Industry” , 1st
ed., New York : John Wiley and Son Inc (1998).
Call, H.P ; “Process for modifying, breaking down or bleaching lignin, materials
containing lignin or like subtances,” PCT Internationale Patentklassifikation,
WO 94/29510, 1-26 (1994).
Glenn, J.K., Akileswaran, L. dan Gold, M.H. (1986). Mn(II) oxidation is the principal
function of the extracellular Mn-peroxidase from Phanerochaete
chrysosporium. Arch Biochem Biophys 251, 688-696.
Goodell, B., Jellison, J., Liu, J., Daniel, G., Paszczyñski, A., Fekete, F., Krishnamurthy,
S., Jun, L. dan Xu, G. (1997). Low molecular weight chelators and phenolic
compounds isolated from wood decay fungi and their role in the fungal
biodegradation of wood. J Biotechnol 53, 133-162.
Harvey, P.J., Schoemaker, H.E. dan Palmer, J.M. (1986). Veratryl alcohol as a mediator
and the role of radical cations in lignin biodegradation by Phanerochaete
chrysosporium. FEBS Lett 195, 242-246.
Hatakka, A. (1994). Lignin-modifying enzymes from selected white-rot fungi: production
and role in lignin degradation. FEMS Microbiol Rev 13, 125-135.
Jensen, K.A. Jr., Bao, W., Kawai, S., Srebotnik, E. & Hammel, K.E. (1996).
Manganese-dependent cleavage of nonphenolic lignin structures by
Ceriporiopsis subvermispora in the absence of lignin peroxidase. Appl Environ
Microbiol 62, 3679-3686.
Kawai, S., Umezawa, T. dan Higuchi, T. (1989). Oxidation of methoxylated benzyl
alcohols by laccase of Coriolus versicolor in the presence of syringaldehyde.
Wood Res 76, 10-16.
Kersten, P.J., Kalyanaraman, B., Hammel, K.E., Reinhammar, B. & Kirk, T.K. (1990).
Comparison of lignin peroxidase, horseradish peroxidase and laccase in the
oxidation of methoxybenzenes. Biochem J 268, 475-480.
Khindaria, A., Yamazaki, I. dan Aust, S.D. (1995). Veratryl alcohol oxidation by
lignin peroxidase, Biochemistry 34, 16860-16869.
Kirk, T.K. (1987) Lignin Degrading Enzymes, Phil Trans R Soc Lond A, 321, 461-474.
Kirk, T.K. dan Cullen D. (1998). Enzymology and molecular genetics of wood
degradation by wooddegrading fungi. In: Young, R.A. & Akhtar, M. (eds.):
Environmentally Friendly Technologies for the Pulp and Paper Industry, John
Wiley & Sons, New York, pp. 273-307.
Kirk, T.K. dan Farrell, R.L. (1987). Enzymatic “combustion”: the microbial degradation
of lignin. Ann. Rev Microbiol 41, 465-505.
Koduri, R. S. and M. Tien: ”Oxidation of Guaiacol by Lignin Peroxidase,” J. Biol.
Chem., 270, 2254 – 2258 (1995).

27
Kurek, B., Martinez-Inigo, M.J., Artaud, I., Hames, B.R., Lequart, C. dan Monties,
B. (1998). Structural features of lignin determining its biodegradation by
oxidative enzymes and related systems. Polymer Degr Stability 59, 359-364.
Kuwahara, M, Glenn, J.K., Morgan, M.A. dan Gold, M.H. (1984). Separation and
characterization of two extracellular H2O2-dependent oxidases from
ligninolytic cultures of Phanerochaete chrysosporium. FEBS Lett 169, 247-
250.
Lewis, N.G. dan Yamamoto, E. (1990). Lignin: occurrence, biogenesis and
biodegradation. Ann Rev. Plant Physiol Mol Biol 41, 455-496.
Mönkmann, H., Hölker, V., Golubnitchaya-Labudova, O., Lichtenberg-Frate, H. dan
Höfer, M. (1996). Molecular evidence of a lignin peroxidase H8 homologue in
Fusarium oxysporum. Folia Microbiol 41, 445-448.
Nakamura, Y. and T. Sawada; ”Lignin peroxidase production by Phanerochaete
chrysosporium Immobilized on Polyurethane Foam ,” J.Chem. Eng. Japan., 30,
1 – 6 (1997).
Orth, A.B., Royse, D.J. dan Tien, M. (1993). Ubiquity of lignin-degrading peroxidases
among various wood degrading fungi. Appl Environ Microbiol 59, 4017-4023.
Paszczyñski, A., Huynh, V.-B. dan Crawford, R. (1986). Comparison of ligninase-1 and
peroxidase-M2 from the white-rot fungus Phanerochaete chrysosporium. Arch
Biochem Biophys 244, 750-765.
Rüttimann, C., Schwember, E., Salas, L., Cullen, D. dan Vicuna, R. (1992).
Ligninolytic enzymes of the white rot basidiomycetes Phlebia brevispora and
Ceriporiopsis subvermispora. Biotechnol Appl Biochem 16, 64-76.
Sretbonik, E. and K. E. Hammel; ” Degradation of nonphenolic lignin by the Laccase / 1-
hydroxybenzotriazole system,” J. Biotechnol., 81, 179 – 188 (2000).
Srinivasan, C., D'Souza, T.M., Boominathan, K. dan Reddy, C.A. (1995). Demonstration
of laccase in the white rot basidiomycete Phanerochaete chrysosporium BKM-
F1767. Appl Env Microbiol 61, 4274-4277.
Tien, M. dan Kirk, T.K. (1983). Lignin-degrading enzyme from the hymenomycete
Phanerochaete chrysosporium Burds. Science 221, 661-663.
Tien, M. dan Kirk, T.K. (1984). Lignin-degrading enzyme from Phanerochaete
chrysosporium: purification, characterization, and catalytic properties of a
unique H2O2-requiring oxygenase. Proc Natl Acad Sci USA 81, 2280-2284.
Tien, M. and T.K. Kirk; ” Lignin Peroxidase of Phanerochaete chrysosporium,” Meth.
Enzymol., 161, 238 – 244 (1988).
Tuor, U., Wariishi, H., Schoemaker, H.E. dan Gold, M.H. (1992). Oxidation of phenolic
arylglycerol ß-aryl ether lignn model compounds by manganese peroxidase from
Phanerochaete chrysosporium: oxidative cleavage of an alpha α-carbonyl model
compound. Biochemistry 31, 4986-4995.
Wariishi, H., Valli, K. dan Gold, M.H. (1991). In vitro depolymerization of lignin
by manganese peroxidase of Phanerochaete chrysosporium. Biochem Biophys
Res Commun 176, 269-275.
Wong, Y. and J. Yu; ” Laccase- catalyzed Decolourisation of Synthetic Dyes,” Water
Res., 33, 3512 – 3520 ( 1999 ).

28
Bab 3
Enzim Selulase dan Xilanase dan Perannya Dalam
Pendegradasian Lignoselulosa

Jumlah industri pulp dan kertas di dunia sangat banyak. Hal ini dikarenakan terus
naiknya kebutuhan dunia akan berbagai macam produk kertas yang digunakan baik untuk
percetakan, tulis menulis, pembungkus (packaging) maupun banyak kebutuhan-
kebutuhan khusus yang lain.
Sebagian besar pabrik pulp dan kertas di dunia mengadopsi proses kraft untuk
pembuatan pulpnya karena proses ini diperhitungkan sebagai proses yang paling hemat
biaya (Bajpai, 2004). Dalam proses kraft serpihan kayu dimasak dalam larutan sodium
sulfida (Na2S) dan sodium hidroksida (NaOH). Kira-kira 90% dari lignin dan 35% dari
karbohidrat kayu (selulosa dan hemiselulosa) terlarut selama proses pemasakan.
Sangatlah sulit untuk menghilangkan lignin secara sempurna tanpa penurunan yield dan
kekuatan pulp. Pada proses pemasakan ini, lignin yang mengikat serat-serat kayu akan
dilarutkan. Dengan demikian serat-serta kayu akan terpisah antara satu dan lainnya.
Proses kraft memberikan kekuatan serat yang lebih tinggi dibanding proses pembuatan
pulp yang lain. Selain dari pada itu, pada proses kraft, larutan bekas proses pemasakan
yang mengandung lignin terlarut dan karbohidrat dapat dipekatkan dan dibakar pada
dapur proses pemulihan pulp sehingga menghasilkan senyawa inorganik yang bisa
dipergunakan kembali (lihat skema proses pemulihan pulp kraft pada Bab 2). Ini adalah
beberapa kelebihan dari proses kraft.
Akan tetapi, seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, pulp yang
dihasilkan dari proses kraft memiliki kelemahan yaitu warnanya yang gelap. Hal ini
disebabkan karena sisa lignin yang ada di dalam serat-serat kayu mengalami modifikasi
secara kimia selama proses pemasakan sehingga menghasilkan warna coklat gelap. Pulp
yang berwarna coklat ini bisa digunakan apa adanya jika digunakan sebagai pembungkus.
Akan tetapi jika pulp tersebut akan digunakan sebagai kertas cetak atau untuk keperluan
sanitasi, pulp tersebut biasanya perlu diputihkan atau dikelantang terlebih dahulu.
Proses pemutihan pulp kraft biasanya dilakukan dalam beberapa tahap:
1. Tahap pertama adalah tahap delignifikasi yang merupakan tahap penghilangan
sisa lignin dari dalam pulp.
Tahap pertama ini terdiri dari dua bagian:
1.a. Mengoksidasi dan mensubstitusi gugus-gugus lignin yang memberikan
warna gelap pada pulp menggunakan larutan klorin.
1.b. Ekstraksi pada suasana basa dengan penambahan NaOH dengan tujuan:
- menghilangkan senyawa hasil substitusi klorin yang mengandung gugus
hidroksil (OH)
- mengionisasi senyawa hasil substitusi klorin yang mengandung gugus
fenol (C6H5OH)
- melarutkan senyawa lignin yang telah terdegradasi
2. Tahap kedua adalah tahap pemutihan atau pencerahan (brightness) pulp atau
kertas.

29
Tahap ini umumnya dilakukan dengan klorin dioksida (ClO2) sehingga terjadi hal-
hal sebagai berikut:
- mendegradasi dengan cara mengoksidasi sisa lignin yang masih tertinggal
dalam pulp
- menghancurkan kromofor-kromofor yang memberikan warna gelap pada
pulp
Produk samping yang terlarut yang diperoleh dari proses pengelantangan lignin
tidak bisa dikirimkan ke dapur proses pemulihan pulp kraft karena kadar kloridanya yang
tinggi. Produk samping ini harus dibuang menuju bagian proses pengolahan air limbah.
Produk samping ini memberikan masalah pada proses pengolahan limbah karena dua hal:
- Warnanya yang sangat gelap
- Kadar senyawa organik terklorinasinya yang tinggi.
Sebagian dari senyawa klorin yang masuk ke dalam molekul lignin selama proses
klorinasi tidak bisa digantikan oleh gugus hidroksil selama proses ekstraksi dengan
NaOH. Sekitar 75 % dari senyawa organik dengan kandungan klorin ini ditemukan pada
polimer klorolignin dan sisanya pada senyawa dengan berat molekul rendah termasuk
senyawa klorofenol.
Karena bahaya yang ditimbulkan oleh senyawa organik terklorinasi ini baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang, banyak negara di dunia memberikan batasan
yang ketat terhadap ambang batas kadar klorin yang diperbolehkan pada air limbah.
Proses pengelantangan secara biologis merupakan salah satu alternatif yang sangat
menjanjikan untuk mengeliminasi penggunaan senyawa kimia berbasis klorin pada
proses pengelantangan pulp.
Ada dua proses biologis yang umumnya digunakan untuk melakukan proses
pengelantangan:
1. Proses biologis dengan menggunakan enzim hemiselulase
2. Proses biologis dengan menggunakan jamur pelapuk putih maupun enzim yang
disekresi dari jamur ini.

4.1. Enzim hemiselulase


Aplikasi bioteknologi pada industri pulp dan kertas khususnya pada proses
degradasi lignin dapat dilakukan secara tidak langsung. Hal ini dilakukan dengan
mendegradasi hemiselulosa. Gambar 4.1 memberikan model interaksi antara selulosa,
hemiselulosa dan lignin yang merupakan komponen makromolekul penyusun kayu dan
bahan lignoselulosa lain (Lee, 1992).
Dari Gambar 4.1, terlihat bahwa hemiselulosa merupakan perekat antara lignin
dan selulosa. Dengan mendegradasi hemiselulosa, degradasi lignin dapat dilakukan
dengan lebih mudah yaitu dengan menggunakan lebih sedikit bahan kimia pendegradasi
lignin yang umumnya sangat polusif.
Penggunaan enzim xilanase untuk membantu proses pengelantangan pulp pertama
kali dilaporkan pada tahun 1986 (Viikari dkk., 1986). Penggunaan enzim xilanase sering
kali disebut sebagai proses prebleaching atau bleach boosting karena pada dasarnya
enzim ini bekerja dengan membantu senyawa kimia dalam melakukan proses
pengelantangan, dan bukan melakukan proses pendegradasian lignin secara langsung
(Viikari dkk., 1994; Bajpai dan Bajpai, 1997). Enzim xilanase tidak menyerang struktur
kromofor di dalam lignin tetapi menyerang jaringan penyusun xilan yang melingkupi dan

30
mengurung partikel-partikel lignin. Hidrolisa enzimatik yang dilakukan xilanase terhadap
sebagian jaringan penyusun xilan seringkali sudah cukup untuk memfasilitasi kerja dari
senyawa kimia yang dipergunakan pada proses pengelantangan, tanpa menurunkan yield
dari pulp yang didapatkan. Dari beberapa eksperimen yang telah dilakukan, aplikasi
enzim xilanase mampu menghemat penggunaan senyawa kimia pengelantang sekitar 20
- 25 %, sekaligus mengurangi emisi pulutan yang ditimbulkannya (Tolan dkk., 1996;
Turner dkk., 1992).

selulosa
hemiselulosa
lignin

Gambar 4.1. Model interaksi selulosa, hemiselulosa dan lignin (Lee, 1992)

Polimer xilan memiliki struktur yang kompleks seperti telah diberikan dalam
Gambar 1.13. Pendegradasian secara sempurna struktur xilan ini membutuhkan
serangkaian enzim hemiselulase. Enzim-enzim yang termasuk dalam enzim hemiselulase
adalah:
1. Enzim endo-1,4--D-xylanase.
2. Enzim endo-1,4--D-mannanase
3. Enzim endo-1,4--D-xylosidase
4. Enzim endo-1,4--D-mannosidase
5. Enzim endo-1,4--D-glucosidase
6. Enzim -L-arabinosidase
7. Enzim -D-glucuronidase
8. Enzim -D-galactosidase
9. Enzim acetyl xylan esterase
10. Enzim acetyl galactoglucomanan esterase

31
Enzim endo-1,4--D-xylanase dan endo-1,4--D-mannanase melakukan proses
depolimerasi pada rantai utama hemiselulosa. Enzim endo--xylanase merupakan enzim
utama dalam membantu proses delignifikasi pulp kraft.
Enzim endo-1,4--D-xylosidase, endo-1,4--D-mannosidase dan endo-1,4--D-
glucosidase melakukan proses hidrolisa pada gugus oligosakarida kecil pada
hemiselulosa.
Enzim -L-arabinosidase, -D-glucuronidase dan -D-galactosidase melakukan
proses pemutusan pada gugus gugus di sisi samping dari hemiselulosa.
Enzim acetyl xylan esterase dan acetyl galactoglucomanan esterase memutuskan
grup grup pada sisi samping yang teresterifikasi (Bielly, 1985).

Pengukuran aktifitas enzim yang merupakan kinerja enzim pada proses


pengelantangan pulp dapat dilakukan dengan berbagai metode:
1. Penentuan nilai aktifitas enzim menggunakan substrat murni dan spesifik. Metode ini
adalah yang paling umum dilakukan. Akan tetapi metode ini memiliki beberapa
kelemahan, antara lain:
- Substrat yang bisa dipergunakan sangat bervariasi tergantung dari mana substrat
tersebut diperoleh serta komposisi substrat. Seperti misalnya spesifikasi substrat
xylan yang diperoleh dari kayu birch akan berbeda dengan xylan yang diisolasi
dari kayu oatspelt. Demikian juga jenis kayu yang sama bisa memberikan
komposisi yang berbeda jika berasal dari daerah dengan iklim atau lingkungan
yang berbeda. Dengan demikian akan sulit melakukan komparasi terhadap nilai
aktifitas enzim yang didapatkan.
- Sulit melakukan komparasi nilai aktifitas enzim yang didapatkan karena
penggunaan metode penentuan aktifitas yang berbeda. Perbedaan metode
dimaksud bisa meliputi:
a. perbedaan temperatur pengukururan
b. perbedaan konsentrasi substrat atau reaktan yang dipergunakan
c. perbedaan waktu reaksi yang dipergunakan untuk pengukuran laju reaksi awal
(initial reaction rate).
2. Penentuan aktifitas enzim menggunakan pulp sebagai substrat. Pulp merupakan
substrat yang secara aktual dipergunakan dalam aplikasi enzim. Pada metode ini,
parameter kuncinya adalah konsentrasi gula yang dihasilkan dari degradasi
enzimatik.
Demikian juga dapat dilakukan komparasi dengan melakukan pengujian terhadap
keberadaan dan konsentrasi produk-produk degradasi enzimatik yang dihasilkan. Hal
ini bisa dilakukan pada dua titik yang berbeda:
- Konsentrasi produk setelah degradasi enzimatik (Yang dan Eriksson,
1992)
- Konsentrasi produk setelah dilakukan pengelantangan dengan
menggunakan senyawa kimia yaitu setelah proses ekstraksi dengan NaOH
(Hortling dkk., 1994).
3. Penentuan nilai aktifitas enzim dilakukan setelah berbagai proses pengelantangan
yang berbeda. Karena analisa kinerja enzim yang dilakukan mencakup perpaduan
proses degradasi enzimatik dengan berbagai proses pengelantangan, maka metode ini

32
bisa dianggap sebagai metode yang paling bisa memberikan gambaran langsung dan
praktis mengenai kinerja enzim dalam suatu proses pengelantangan.
Metode ini dilakukan oleh Viikari dkk. (1986) menggunakan enzim hemiselulase
yang belum dimurnikan yaitu filtrat yang diperoleh dari ekstraksi sel-sel
mikroorganisme. Enzim yang belum dimurnikan tersebut mengandung aktifitas
xilanase sebagai enzim utama. Enzim yang lain umumnya adalah enzim hemiselulase
yang lain serta enzim selulase.

Beberapa hasil penting yang diperoleh dari penelitian menyangkut aplikasi enzim
xilanase dalam proses pengelantangan pulp dapat diberikan sebagai berikut:
1. Enzim xilanase yang dihasilkan dari mikroorganisme yang berbeda-beda
memberikan penurunan bilangan kappa yang kurang lebih sama sejauh dosis
enzim yang dipergunakan sama.
2. Reduksi hemiselulosa oleh enzim xilanase sebaiknya dibuat minimal untuk
mempertahankan yield pulp tetap tinggi serta mempertahankan sifat-sifat baik
pada pulp.
3. Enzim yang berbeda memberikan jumlah serta komposisi gula yang berbeda pada
produk hasil degradasi enzim.
4. pH optimum bisa mengalami perubahan dari pH optimum 5.0 pada pengujian
menggunakan xilan murni menjadi pH optimum 6-7 ketika enzim yang sama
diterapkan pada pengolahan pulp (Buchert dkk., 1992).
5. Penggunaan enzim xilanase yang tidak murni bisa memberikan keuntungan jika
enzim-enzim lain yang terkandung memiliki kemampuan untuk menghidrolisa
bagian atau grup tertentu dalam struktur xilan. Jika ikatan antara xilan dan lignin
terjadi melalui grup samping, hidrolisa grup samping akan membantu atau
mempercepat proses delignifikasi yang terjadi.
6. Enzim-enzim lain selain enzim xilanase umumnya tidak efektif dalam melakukan
degradasi xilan jika bekerja sendiri, tetapi jika bekerja bersama-sama dengan
enzim lain, khususnya enzim xilanase, maka proses degradasi atau hidrolisa xilan
dapat berlangsung dengan baik (Kantelinen dkk., 1988; Kantelinen, 1992; Bajpai,
2004).

4.2. Pengelantangan pulp dari kayu lunak


Penggunaan enzim xilanase dalam proses pengelantangan seperti diuraikan di atas
pada umumnya dilakukan pada pulp yang berasal dari kayu keras. Seperti diberikan pada
Tabel 1.1. komposisi utama penyusun hemiselulosa pada kayu keras adalah xilan.
Dengan demikian penggunaan enzim xilanase dimaksudkan untuk mendegradasi
komponen xilan yang merupakan penyusun terbesar dari hemiselulosa kayu keras.
Seperti diberikan juga pada Tabel 1.1, komposisi utama penyusun hemiselulosa
pada kayu lunak adalah glukomannan. Selama proses pulping dengan proses kraft,
sejumlah besar glukomannan akan terlarut dan terdegradasi. Pengendapan kembali dari
komponen mannan yang terlarut belum bisa dilakukan sebaik pengendapan kembali
komponen xilan. Dengan demikian, jumlah xilan dan mannan relatif hampir sama besar
dalam pulp kraft yang diperoleh dari kayu lunak (Sjostrom, 1977). Penelitian penggunaan
enzim endo -mannanase bersama-sama dengan enzim xilanase hanya sedikit menaikkan
derajat delignifikasi dibanding dengan menggunakan enzim xilanase saja. Dengan

33
demikian aplikasi enzim xilanase tidak terbatas pada pulp yang berasal dari kayu keras,
tetapi juga untuk pulp yang berasal dari kayu lunak.

4.3. Keberadaan enzim selulase dalam proses pengelantangan pulp


Secara umum keberadaan enzim selulase dalam proses pengelantangan tidak
diharapkan. Degradasi selulosa oleh sistem enzim selulase diberikan dalam Gambar 4.2.
Beberapa hasil penelitian menyangkut hal ini dapat diberikan sebagai berikut:
1. Sistem enzim selulase akan menyebabkan terdepolimerisasinya komponen
selulosa yang seharusnya dipertahankan dalam proses pembuatan pulp.
2. Enzim-enzim yang memberikan pengaruh paling buruk dalam sistem enzim
selulase adalah enzim endoglucanase dan cellobiohydrolase. Enzim
endoglucanase adalah yang memberikan pengaruh paling buruk terhadap kualitas
pulp yang dihasilkan, karena enzim ini mendegradasi bagian amorf dari selulosa
(Bajpai, 2004).

Enzim selulase merupakan enzim yang menyerang ikatan glikosida dengan


menghidrolisa selulosa menjadi glukosa. Enzim selulase yang diproduksi oleh
mikroorganisme merupakan enzim yang di induksi dan hanya diproduksi jika
mikroorganisme tumbuh pada substrat selulosa dan glukan lain dengan ikatan -1,4,
seperti selobiosa. Tingginya aktivitas enzim selulase dilihat dari aktivitas selulase yang
menghidrolisa ikatan -1,4-glikosida pada ujung-ujung non pereduksi rantai selulosa
kristalin.
Ada beberapa jamur penghasil utama enzim selulase (cellulolytic fungi),
diantaranya Trichorderma reesei, Trichorderma viride. Jamur Aspergillus niger
merupakan spesies jamur penghasil enzim xylanase tetapi masih dimungkinkan terdapat
sejumlah kandungan enzim selulase di dalam cairan enzim yang dihasilkan melalui
proses fermentasi dengan substrat sebagai sumber karbon. Substrat yang spesifik sangat
berperan dalam produksi metabolit yang diinginkan dari suatu mikroorganisme. Salah
satu contoh adalah dedak gandum merupakan substrat hemiselulosa untuk memproduksi
enzim hemiselulase, sedangkan glukosa merupakan substrat selulosa untuk memproduksi
enzim selulase.
Keberadaan sejumlah aktivitas enzim selulase di dalam proses bleaching dengan
menggunakan enzim xylanase pada industri pulp dan kertas adalah sangat tidak
diharapkan. Hal ini disebabkan enzim selulase dapat mendegradasi selulosa pulp fiber
yang merupakan komponen utama yang dibutuhkan dalam industri pulp dan kertas,
sehingga mengakibatkan ketahanan dan kekuatan kertas menjadi berkurang karena
menurunkannya viskositas pada pulp (Panshin, 1964).
Enzim selulase adalah enzim yang dibutuhkan untuk proses hidrolisa enzimatik
pada selulosa. Enzim ini merupakan suatu campuran kompleks yang terdiri dari paling
tidak tiga enzim yaitu :
a. Endo--1,4-glukanase.
Endo--1,4-glukanase adalah glycoprotein dengan berat molekul 5300-145000. Enzim
ini menyerang rantai bagian dalam dari selulosa amorphous menghasilkan selodextrin,
sellobiosa atau glukosa. Enzim ini tidak dapat menghidrolisa selulosa kristal secara

34
sendirian, tetapi ketika bersamaan dengan Exo--1,4 glukanase enzim ini dapat
mendegradasi selulosa kristal secara intensif.
b.Exo--1,4 glukanase.
Exo--1,4 glukanase adalah glycoprotein dengan berat molekul 42000-65000. Ada dua
jenis yaitu Exo--1,4-cellobiohidrolase dan Exo--1,4 glucan glukohidrolase. Enzim ini
menyerang Crystalline Cellulose. Kerja enzim ini dihambat dengan adanya produk
yaitu selobiosa atau glukosa
c. -1,4-glukosidase.
-1,4-glukosidase atau selobiosa adalah glycoprotein dengan berat molekul 50000-
410000. enzim ini dapat menghidrolisa selobiosa menjadi glukosa dan juga dapat
mendegradasi seloligosakarida. Kerja enzim ini dihambat oleh produk reaksi yaitu
glukosa.

Crystaline
cellulose
Exo -1,4-cellobiohydrolase
(CBH)

CBH +
Endo -1,4-
glucanase
-glucosidase
Cellobiose Glucose

Endo -1,4-
glucanase
Amorphous
cellulose,
swollen
cellulose, Exo -1,4-glucan glucohydrolase
soluble
derivative of
cellulose,
cellodextrin

Reaksi utama Reaksi samping

Gambar 4.2. Degradasi selulosa oleh sistem enzim selulase

4.4. Produksi dan sifat-sifat enzim hemiselulase


Beberapa informasi penting dari hasil penelitian menyangkut enzim hemiselulase
khususnya enzim xilanase yang telah dilakukan selama ini dapat diberikan dalam
ringkasan sebagai berikut:

35
1. Jenis strain yang biasanya digunakan untuk produksi enzim xilanase secara
komersial adalah Trichoderma reesei, Thermomyces lanuginosus, Aureobasidium
pullulans dan Streptomyces lividans (Bajpai, 2004).
2. Produktifitas enzim xilanase bisa ditingkatkan dengan dua cara yaitu:
a. Penggunaan strain yang menghasilkan produktifitas yang lebih tinggi.
b. Optimasi metode yang dipergunakan untuk menghasilkan enzim.
3. Kloning terhadap enzim xilanase telah dilakukan untuk menghasilkan enzim xilanase
yang tidak mengandung enzim selulase.
4. Induksi dan regulasi terhadap enzim xilanase berbeda tergantung dari jenis strain
yang dipergunakan.
5. Beberapa penelitian melaporkan bahwa enzim xilanase dapat diinduksi dengan
penambahan induser, dimana induksi terjadi secara spesifik terhadap enzim xilanase
tanpa menginduksi enzim selulase.
6. Strain jamur yang banyak diteliti untuk menghasilkan enzim xilanase adalah strain
Aspergillus dan Trichoderma, sedangkan strain bakteri yang banyak diteliti adalah
strain Bacillus, Streptomyces dan Clostridium.
7. Spesifikasi enzim xilanase pada umumnya yaitu:
- Berat molekul agak kecil (kurang dari 20 kDa)
- Merupakan protein monomer
- Titik isoelektrik pada daerah basa (pI 8-9,5)
- pH optimum enzim xilanase dari jamur biasanya adalah 5
- Umumnya stabil pada daerah pH 2 sampai 9
- pH optimum enzim xilanase dari bakteri biasanya sedikit lebih tinggi dibanding
dari jamur
- Spesies Bacillus dan Actinomicetes alkalophilic dilaporkan mampu memproduksi
enzim xilanase yang memiliki pH optimum pada daerah alkali
- Produk utama hidrolisa xilan oleh enzim xilanase adalah xilobiosa, xilotriosa dan
oligomer dari 2 sampai 4 residu dari xilosa
- Enzim xilanase tidak menghidrolisa xilobiosa
- Produk xilotriosa merupakan inhibitor bagi proses hidrolisa xilan
- Pada enzim xilanase dari T. Reesei, terdapat 2 grup utama enzim xilanase yang
berbeda titik isoelektriknya.

4.5. Unjuk Kerja Enzim Xilanase Dalam Proses Pengelantangan


Beberapa informasi penting dari hasil penelitian menyangkut unjuk kerja enzim
xilanase dapat diberikan sebagai berikut:
1. Dilaporkan bahwa faktor-faktor berikut ini menentukan keberhasilan proses
pengelantangan dengan menggunakan enzim xilanase:
a. Jenis pulp yang diolah
- Pada umumnya pulp yang digunakan berasal dari jenis kayu keras atau kayu
lunak. Aplikasi enzim xilanase pada bahan bukan kayu juga sudah dilakukan
misalnya pada bambu, rami (jerami), jerami jagung, dll.
b. Metode pengelantangan kimia yang digunakan (chemical bleaching sequence)
c. Target derajat putih akhir yang dituju
d. Target tingkat pencemaran lingkungan yang diterapkan oleh pabrik
2. Beberapa manfaat yang didapatkan dengan penggunaan enzim xilanase:

36
a. Mereduksi konsumsi senyawa klorin
- Sekitar 35-41% reduksi klorin pada tahap klorinasiuntuk kayu keras dan 10-20
% untuk kayu lunak. Reduksi klorin total adalah 20-25% untuk kayu keras dan
10-15% untuk kayu lunak (Bajpai, 2004). Untuk bahan bukan kayu reduksi
senyawa klorin dilaporkan sekitar 20%.
- Penurunan penggunaan klorin akan menurunkan tingkat AOX (Adsorbable
Organic Halide) serta dioxin dalam limbah. Pengurangan 15% ClO2 akan
mengurangi AOX sebesar 15%.
b. Memperbaiki derajat putih pulp
- Telah dibandingkan dua macam tahap proses pengelantangan pendahuluan
(prebleaching) yaitu XEOPDEPD (enzim / tanpa klorin) dan EOPDEPD (tanpa
enzim/tanpa klorin). Kedua macam proses prebleaching ini memiliki
keuntungan yaitu tanpa penggunaan klorin. Akan tetapi dilaporkan bahwa
proses pertama mampu menghasilkan kertas dengan derajat putih yang lebih
tinggi (Bajpai, 2004).
- Dilaporkan kenaikan brightness sebesar 4,3% pada OXZP (Oksigen-Xilanase-
Ozon-Peroksida) bleaching sequence
c. Memperbaiki sifat-sifat pulp yang lain antara lain:
- Kekuatan
- Viskositas menurun, kemungkinan karena degradasi xilan sehingga viskositas
pulp menjadi lebih kecil
- pulp menjadi lebih mudah diolah
d. Menurunkan biaya proses pengelantangan
- Dilaporkan bahwa aplikasi xilanase dalam TCF (Totally Chlorine Free)
Bleching sequence dengan menambahkan proses enzimatik pada QPP
(chelation-Peroksida-Peroksida) menjadi XQPP (Xilanase-chelation-Peroksida-
Peroksida), didapatkan keuntungan penghematan penggunaan H2O2 sebesar 5-
10 kg per ton pulp (Bajpai, 2004).

3. Contoh aplikasi enzim xilanase dalam proses pengelantangan ECF (Elemental


Chlorine Free) bleaching sequence adalah mengubah tahapan pengelantangan dari
C/D EOPDEPD (lihat definisi simbol di Bab 2), menjadi XEOPDEPD. Perubahan ini
memberikan keuntungan sebagai berikut:
a. Mereduksi senyawa klorin dengan perubahan dari C/D menjadi X
b. Memungkinkan resirkulasi filtrat yang dihasilkan dari tahap EOP ke dalam sistem
pemulihan (recovery) tanpa resiko terjadinya korosi karena adanya senyawa
klorin
c. Membantu penutupan sistem sirkulasi air
d. Meminimasi limbah
4. Penggunaan enzim xilanase akan menaikkan nilai BOD. Hal ini disebabkan karena
adanya enzim xilanase yang terlepas dari pulp. Penggunaan enzim xilanase juga akan
menaikkan ratio BOD/COD. Hal ini berarti limbah lebih mudah untuk diolah secara
biologis.

Enzim xilanase membantu proses bleaching dengan cara:

37
1. Xylanase membebaskan kromofor dan lignin pada matriks pulp dengan memecah
ikatan kovalen antara hemiselulosa dan lignin (Viikari, 1986).
2. Xylanase digunakan untuk menghilangkan xylan dengan meningkatkan akses dari
bahan kimia pada pulp fiber dan meningkatkan proses bleaching. Fiber atau serat
yang tidak terlindungi akan lebih memudahkan bahan kimia untuk melakukan
bleaching dan ekstraksi dari lignin (Jeffries, 1996).

Beberapa keunggulan dalam mengaplikasikan teknologi prebleaching dengan xylanase


dibanding dengan aplikasi yang lain antara lain:
1. Aplikasi enzim xilanase pada proses yang sudah ada (existing process) tidak terlalu
banyak memerlukan capital investment untuk operasi.
2. Xylanase mengurangi polutan dalam proses bleaching.
3. Xylanase dapat membantu menaikan kapasitas karena klorin yang dibutuhkan sedikit.
4. Hasil kertas yang didapat lebih terang.

4.6. Mekanisme Reaksi oleh Enzim Xilanase


Beberapa informasi penting menyangkut mekanisme reaksi oleh enzim xilanase
dapat diberikan sebagai berikut:
1. Enzim xilanase bekerja secara spesifik terhadap xilan dengan menghidrolisa ikatan
xilosa-xilosa di dalam rantai xilan.
2. Depolimerisasi terhadap xilan tidak berarti melarutkan komponen xilan hasil
degradasi enzim. Enzim xilanase hanya melarutkan sebagian saja dari xilan yang
terdegradasi.
3. Sampai saat ini mekanisme reaksi degradasi xilan oleh enzim xilanase belum
sepenuhnya diklarifikasi.
4. Ada beberapa hipotesa menyangkut mekanisme degradasi xilan oleh xilanase, antara
lain:
a. Pada proses pulping, xilan akan terpresipitasi dan menutupi permukaan luar dari
serat. Enzim xilanase bekerja dengan mendegradasi xilan sehingga meningkatkan
accessibility atau membuka jalan masuk ke dalam struktur / molekul pulp
(Kantelinen dkk., 1993).
Model ini didasarkan pada hasil penelitian oleh Yllner dkk. (1957) yang
menyatakan bahwa setelah proses pulping, xilan akan mengendap lagi pada
permukaan serat.
Akan tetapi model atau hipotesa ini diragukan karena hasil penelitian oleh
Suurnakki dkk. (1997) yang menyatakan bahwa tidak terdapat relokasi xilan
dalam jumlah yang besar pada permukaan luar dari serat selama proses pulping.
b. Degradasi xilan oleh enzim xilanase menyebabkan melemahnya ikatan lignin-
karbohidrat, sehingga memudahkan senyawa kimia pengelantang masuk ke dalam
pulp. Hal ini mempermudah penghilangan lignin dalam proses pengelantangan
(Paice dkk., 1992).

4.7. Aplikasi Enzim Xilanase dalam Proses Pulping


Beberapa metode penambahan enzim xilanase yang dilakukan antara lain:

38
1. Metode yang paling konvensional dalam aplikasi enzim xilanase pada proses
pengelantangan yaitu:
- enzim xilanase ditambahkan pada tangki penyimpan pulp yang belum dikelantang
(pulp yang berwarna coklat) sebelum dimasukkan ke dalam tangki penyimpan
pulp akhir sebelum dikelantang (High Density (HD) tower).
- Reaksi degradasi xilan oleh enzim xilanase kemudian terjadi di dalam tower.
- Untuk selanjutnya pulp yang dihasilkan dialirkan masuk ke unit pengelantangan.

Cara penambahan enzim dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:
- Disemprotkan pada bagian tangki pengentalan pulp (decker pulp mat)
- Ditambahkan pada bagian keluar dari tangki penyimpan pulp (bagian decker
repulper atau discharge chute)
- Ditambahkan pada tangki penyimpan pulp dengan densitas sedang (medium
consistency pulp) yang akan dimasukkan ke HD tower
- Dimasukkan langsung pada HD tower

2. Menambahkan enzim xilanase pada tahapan proses pengelantangan (bleaching


sequence) dan bukan pada tangki penyimpan pulp sebelum dikelantang.

Jika digunakan enzim xilanase yang memiliki pH optimum asam, maka


dibutuhkan penambahan asam pada tangki penyimpan pulp. Dalam hal ini dibutuhkan
prosedur yang hati-hati agar tidak terjadi korosi pada tangki dan peralatan lain yang
digunakan.
Enzim xilanase dengan pH optimum pada daerah basa lebih menguntungkan
karena tidak membutuhkan penambahan asam selama proses degradasi enzimatik pada
pulp sebelum dimasukkan ke unit pengelantangan.
Gambar 4.3 memberikan skema aplikasi enzim xilanase sebelum proses
pengelantangan menggunakan senyawa klor dioksida (ClO2). Penambahan asam sebelum
proses pengelantangan dengan klor dioksida memiliki beberapa keuntungan, antara lain:
a. Kadar asam yang lebih tinggi dapat mencegah perubahan klor dioksida menjadi asam
klorat (HClO3).
b. Suasana asam lebih diinginkan pada reaksi delignifikasi oleh klor dioksida.

39
Opsi penambahan asam
A untuk pengaturan pH

E Opsi untuk penambahan


enzim

A
E

E
D
Pulp untuk
A X bleaching akhir

Pulp yang belum dibleaching


dari pencucian atau
penyaringan

ClO2

Gambar 4.3. Skema aplikasi enzim xilanase (tangki X) dan pengasamannya


sebelum pengelantangan oleh klor dioksida (tangki D)

40
DAFTAR PUSTAKA

Bajpai, P. Biological bleaching of chemical pulps, Critical Reviews in Biotechnology, 24


(1), 1-58, 2004.
Bajpai, P. dan Bajpai, P.K. (1997) Microbial xylanolytic enzyme system. Dalam Advance
in Applied Microbiology. Vol. 43, hal. 141-194. S. Nidelmandan A. Laskin
(Ed.) Academic Press, New York.
Bielly, P (1985) Microbial xylanolytic systems. Trends Biotechnol. 3. hal. 286-290.
Buchert, J., Ranua, M., Kantelinen, A. dan Viikari, L., (1992) The role of two
Trichoderma reesei xylanases in the bleaching of pine kraft pulp, Appl.
Microbiol. Biotechnol. 37, hal. 825-829.
Hortling, B., Korhonen, M., Buchert, J., Sundquist, J., dan Viikari, L. (1994). The
bleachability of lignin from Kraft pulps after xylanase treatment. Holzforschung
48 (5): 441-446.
Kantelinen, A (1992) Enzymes in bleaching of kraft pulp. VTT. Publications 114, Espp,
Finland, Technical Research Centre of Finland.
Kantelinen, A., Ratto, M., Sundquist, J., Ranua, M., Viikari, L., dan Linko, M. (1988).
Hemicellulases and their potential role in bleaching, Proc. Tappi Int. Pulp
Bleaching Conf. hal 1.5-9. Juni, Orlando.
Kantelinen, A., Horling, B., Sundquist, J., Linko, M., dan Viikari, L., 1993. Proposed
mechanism of the enzymatic bleaching of kraft pulp with xylanases.
Holzforschung 47: 318-324.
Lee, J.M. Biochemical Engineering, Prentice Hall International, New Jersey, 1992.
Paice, M.G., Gurnagul, N., Page, D.H., dan Jurasek, L. 1992. Mechanism of
hemmicellulose directed prebleaching of kraft pulp. Enz. Microb. Technol. 14:
272-276.
Sjostrom, E., (1977) , “The behavior of wood polysaccharides during alkaline pulping
processes, Tappi J., 60, hal. 151-154.
Subramaniyan, S. dan Prema, P. Biotechnology of Microbial Xylanases: Enzymology,
Molecular biology, and Application, Critical Reviews in Biotechnology, 22 (1),
33-64, 2002.
Suurnakki, A., Tenkanen, M., Buchert, J., dan Viikari, L. 1997. Hemmicellulases in the
bleaching of chemical pulps. In: Advance in Biochemical Engineering /
Biotechnology , vol. 57. hal 261-287. Scheper, T. Ed. Springer-Verlag, Berlin.
Turner, J.C., Skerker, P.S., Burns, B.J., Howard, J.C., Alonso, M.A. dan Andres, J.L.
(1992) Bleaching with enzymes instead of chlorine: Mill trials. Tappi J. 75 (12):
83-89.
Viikari. L., Ranua, M, Kantelinen, A., Sundquist, J. dan Linko, M. (1986) Bleaching with
enzymes. Proc. Int. Conf. On biotechnol. In the pulp and paper industry. 3rd.,
hal. 67-69, Stockholm, Sweden
Viikari. L., Kantelinen, A., Sundquist, J. dan Linko, M. (1994) Xylanases in bleaching:
From an Idea to Industry. FEMS Microb. Rev. 13: 335-350.
Yang, J.L dan Eriksson, K.El. (1992) Use of hemicellulolytic enzymes as one stage in
bleaching of Kraft Pulp, Holzforschung, 46 (6): 481-488.

41
Yee, Y. dan Tolan, J.S. (1997) Three years experience running enzymes continuously to
enhance bleaching at Weyerhaeuser Prince Albert, Pulp and Paper Can. 98 (10),
T370-T375.
Yllner, S., Ostberg, K., dan Stockmann, L. 1957 A study of the removal of the
constituents of pine wood in the sulphate process using a continuous liquor flow
method. Svensk. Papperstid. 60: 795-802.

42
Bab 4
Biodelignifikasi Kayu Sengon Menggunakan Jamur Pelapuk
Putih Secara in vitro
ABSTRAK

Telah dilakukan proses biodelignifikasi kayu Sengon menggunakan enzim kasar


yang dihasilkan oleh jamur pelapuk putih. Enzim yang diproduksi antara lain Lignin
Peroksida (LiP) dan Lakase dimana dibutuhkan penambahan mediator sebagai kofaktor
bagi kerja enzim secara in vitro.
Penambahan mediator yang dipakai untuk LiP adalah veratryl alcohol (VA) dan
H2O2, konsentrasinya digunakan sebagai variabel. Sedangkan untuk Lakase digunakan
mediator hydroxybenzotriazole (HBT) dengan variabel konsentrasi HBT dan enzim.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan enzim kasar dari
jamur pelapuk putih Phanerochaete chrysosporium , degradasi lignin terbesar pada kayu
Sengon 23,90 %, diikuti dengan degradasi selulosa 8,67 % yang diperoleh pada LiP
652 x 10-3 Uml-1, konsentrasi VA 3 mM dan H2O2 3 mM, dalam waktu 12 jam.
Sedangkan dengan menggunakan enzim kasar dari Trametes versicolor, degradasi lignin
terbesarnya 18,7 %, diikuti dengan degradasi selulosa 8,76 % pada konsentrasi HBT
1,5 mM dan Lakase 15 U ( 39,64 x 10-3 Uml-1, 378,4 ml ), dalam waktu 15 jam.

Latar Belakang
Kegiatan utama dalam industri pulp dan kertas adalah proses pulping
(pembuatan pulp) dan bleaching (pemutihan kertas). Proses tersebut bertujuan untuk
menghilangkan lignin bahan baku, sehingga dikenal dengan sebutan delignifikasi.
Sampai saat ini industri pulp dan kertas menggunakan salah satu bahan baku yang
dikenal dengan wood pulp (serat kayu) untuk meningkatkan kekuatan kertas.
Pada proses pulping biasanya digunakan bahan-bahan antara lain NaOH, Na2S,
Sulfit, Bisulfit. Sedangkan pada proses bleaching digunakan bahan-bahan kimia sebagai
oksidator antara lain khlorin, kalsium hipoklorit, khlorin dioksida, peroksida. Pemakaian
bahan-bahan kimia dan energi yang cukup besar pada industri pulp dan kertas tidak dapat
dihindari untuk menghasilkan produk kertas yang baik.
Adanya produk akhir yang bebas klor, membuat banyak peneliti mencari alternatif
baru. Diupayakan menerapkan aspek bioteknologi pada industri pulp dan kertas dengan
memanfaatkan peran mikroba untuk proses delignifikasi Untuk mendapatkan alternatif
baru tersebut, banyak peneliti memanfaatkan jamur yang dapat memproduksi enzim
tertentu. Enzim sebagai biokatalisator ini diharapkan mampu menurunkan kadar lignin
kayu sehingga didapat selulosa yang digunakan sebagai bahan serat kayu. Jamur
Phanerochaete chrysosporium dan Trametes versicolor diharapkan dapat menggantikan
peran bahan kimia yang digunakan pada proses tersebut, sehingga dapat mendegradasi
lignin yang menyebabkan warna gelap.
Untuk lebih meningkatkan kemampuan enzim pendegradasi lignin perlu
diupayakan penggunaan mediator bersama-sama enzim yang akan berperan sebagai

43
bleaching agent yang sebenarnya. Untuk itulah penelitian ini, berorientasi pada aspek
bioteknologi diharapkan dapat mengurangi pemakaian bahan kimia yang digunakan.

Tujuan penelitian
▪ Memperoleh enzim kasar Lignin Peroksidase dan Lakase sebagai pendegradasi lignin
masing – masing dari jamur pelapuk putih P. chrysosporium dan T. versicolor.
▪ Mempelajari proses biodelignifikasi pada kayu secara in vitro
▪ Mencari jumlah enzim dan mediator yang digunakan pada proses biodelignifikasi.

TINJAUAN PUSTAKA

Pada industri pulp dan kertas, bahan baku utama selulosa dari kayu diperoleh
dengan cara mengurangi kandungan ligninnya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara kimia
maupun memanfaatkan peran mikroorganisme. Mikroorganisme yang digunakan yaitu
jamur pelapuk putih sebagai produsen enzim Lakase, Mangan Peroksida (MnP), Lignin
peroksida (LiP) diharapkan mampu mendegradasi lignin, sehingga diperoleh selulosa
pada kondisi tertentu.

Sengon
Sengon mempunyai dua nama latin yaitu Albizia falcataria dan Paraserianthes
falcataria. Sengon merupakan pohon yang termasuk anggota famili Mimosaceae
(keluarga petai-petaian ) dan merupakan salah satu jenis pohon yang pertumbuhannya
sangat cepat. Pertumbuhannya selama 25 tahun dapat mencapai tinggi 45 m dengan
diameter batang mencapai 100 cm. Kayu sengon memiliki warna yang terang sehingga
dalam proses pemutihannya tidak memerlukan bahan pemutih yang banyak. Dari hasil
pengamatan, sifat kayu sengon berumur 5 – 7 tahun yang mempunyai sifat serat yang
baik untuk bahan baku kertas. Kayu sengon mempunyai panjang serat rata-rata 1,12 mm.
Hal ini sudah tergolong cukup panjang untuk jenis kayu daun sehingga menguntungkan
sebagai bahan pulp (Atmosuseno, 1994 ). Kadar selulosa sengon rata-rata sebesar 45,2 %
dan kadar lignin rata-rata sebesar 23,81 %. Prosentase selulosa yang tinggi dalam kayu
sengon menyebabkan kayu ini cukup potensial untuk dijadikan bahan baku pulp kertas
dan produk selulosa lainnya.

Mediator
Pada umumnya mediator mempunyai berat molekul rendah. Dalam proses
delignifikasi mediator ini diperkirakan menjadi suatu radikal yang diaktifkan oleh enzim
kemudian bereaksi dengan lignin. Banyak senyawa dan radikal dengan berat molekul
rendah telah dianjurkan sebagai faktor yang bergerak akan menembus kayu untuk mulai
mendegradasi lignin. Diantaranya adalah VA, H2O2 , HBT, ABTS (2 – 2’-azino-bis ( 3
ethyl thiazoline 6 sulfonat) , Anysil Alcohol (Hatakka, 1994 ).

NLM ( Nitrogen Limited Media )


Merupakan media pertumbuhan yang baik bagi jamur pelapuk putih untuk menghasilkan
enzim ekstraselulernya yaitu LiP, MnP dan Lakase. NLM terdiri dari media basal, larutan
thiamin dan trace element, glukosa, ammmunium tartrat, buffer sodium suksinat pH 4,5

44
(Tien dan Kirk, 1988). Komposisi NLM lengkap diberikan menurut Tien dan Kirk
(1988).
Per liter aquades :
▪ 100 ml media basal III
▪ 60 ml larutan trace element
▪ 10 ml larutan 10 mg/ thiamin
▪ 10 gr glukosa
▪ 0,2 gr ammonium tartrat (NH4)2C4H4O6
▪ Buffer 20 mM sodium 2,2 dimetilsuksinat pH 4,5
Media Basal III (per liter aquades)
▪ 20 gr KH2PO4
▪ 1 gr CaCl2.2H2O (CaSO4)
▪ 5 gr MgSO4.7H2O
Trace Element (per liter aquades)
▪ 3 gr MgSO4
▪ 0,5 gr MnSO4
▪ 1 gr NaCl
▪ 0,1 gr FeSO4.7H2O
▪ 0,1 gr CoCl2
▪ 0,1 gr ZnSO4.7H2O
▪ 10 mg CuSO4
▪ 10 mg AlK(SO4)2.12H2O
▪ 10 mg Na2MoO4.2H2O
▪ 1,5 gr nitrilotriasetat yang dilarutkan di dalam 800 ml aquades, pH 6,5 dengan KOH 1
N, kemudian dilarutkan hingga volume 1 L

Peneliti Terdahulu
Pemakaian mediator pada enzim Lakase yang diproduksi Coriolus versicolor
dipelajari oleh Call (1994). Adanya mediator alami Hydroxybenzotriazole dan LMS
(Laccase Mediator System) dapat menurunkan bilangan  sebesar 50 – 70 %. Hydroxy
benzotriazole dengan berat molekul rendah digunakan karena aman bagi lingkungan.
Koduri dan Tien (1995) menggunakan P.chrysosporium sebagai penelitiannya
untuk dilihat kemampuannya mengoksidasi guaiacol. Diperoleh hasil bahwa enzim LiP
yang disekresi oleh P.chrysosporium pada metabolisme sekunder mampu mengoksidasi
lignin dalam bentuk phenol maupun bukan phenol.
Nakamura dan Sawada (1997) dari hasil penelitiannya memperoleh LiP dari
P.chrysosporium dengan menggunakan busa polyurethane sebagai carrier dari miselium
jamur amobil. Dengan penambahan 0,05 % Tween 80, 1mM Veratryl alkohol dan 1mM
FeSO4.7H2O, maka aktivitas LiP meningkat 3 kali lebih besar jika dibandingkan tanpa
penambahan bahan-bahan tersebut. Produksi tersebut dihasilkan pada suhu 30 – 37 oC,
waktu inkubasi diatas 3 hari.
Wong dan Yu (1999) meneliti jamur pelapuk putih T.versicolor untuk mereduksi
warna sintetis seperti anthraquinon, azo dan indigo. Warna sintetis tersebut dapat
direduksi warnanya oleh enzim Lakase yang dihasilkan oleh jamur tersebut. Lakase
merupakan enzim oksidase ekstraseluler yang dihasilkan pada phase stasioner. ABTS
dapat juga dipakai untuk mereduksi warna azo dan indigo. Media cair untuk
45
pertumbuhan T.versicolor dalam 1 liter mengandung 4-6 gram glukosa, 0,2 gram
diammonium tartrat dan mineral – mineral lain seperti yang yang digunakan Tien dan
Kirk (1988).

Rancangan Percobaan
Sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka percobaan dilakukan melalui beberapa
tahapan:
• Tahap Persiapan
• Produksi enzim kasar dari P.chrysosporium dan T.versicolor
• Penentuan kondisi optimum P.chrysosporium dan T.versicolor
• Proses biodelignifikasi secara in vitro.

Tahap Persiapan
Dibuat media pengembang biakan untuk P.chrysosporium dan T.versicolor yaitu
Potato Dextrose Agar (PDA). Masing-masing 5 ml larutan PDA tersebut dimasukkan
tabung reaksi dan disterilkan dalam autoclave 121oC selama 15 menit. Setelah selesai
didiamkan pada posisi miring sampai menjadi padat. Biakan jamur kemudian
diinokulasikan pada media agar padat dan selanjutnya diinkubasikan pada suhu kamar,
sekitar 4 - 7 hari, hingga semua permukaan media dipenuhi jamur seperti yang dilaporkan
Nakamura dan Sawada (1997).

Produksi Enzim Kasar


Biakan jamur setelah 7 hari pada agar miring NLM dari tahap persiapan diambil 4
ose dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 150 ml NLM cair dan
diinkubasikan 4 hari sehingga terbentuk inokulum baru. 10 % inokulum yang terbentuk
diinokulasikan pada NLM cair dengan volume tertentu dan diinkubasikan dengan
pengocokan. Untuk P.chrysosporium pada setiap 250 cc NLM cair ditambahkan Tween
80 1 gram dan veratryl alcohol 0,25 gram sebelum inkubasi. Larutan inokulum hasil
inkubasi dicentrifugasi dengan kecepatan 3100 rpm, 1 jam, sehingga diperoleh
supernatant yang merupakan enzim kasar seperti yang dilakukan oleh Wong dan Yu
(1999). Dilakukan analisa aktivitas enzim Lakase pada 415 nm, LiP 310nm.

Penentuan Kondisi Optimum


Dilakukan dengan mencoba kisaran pH 3,5 – 5 dan suhu 30 – 45ºC pada enzim
kasar P.chrysosporium dan T.versicolor untuk diketahui % degradasi lignin terbesarnya.
Masing – masing enzim kasar sebanyak 50 cc direaksikan dengan 2 gram kayu Sengon
40/60 mesh dalam beaker glass. Setiap interval waktu biodelignifikasi tertentu, dianalisa
untuk diketahui % degradasinya pada kisaran pH dan suhu tersebut di atas. Kondisi
dengan % degradasi terbesar merupakan kondisi optimum jamur tersebut berdasarkan
aplikasinya pada kayu Sengon.

Proses Biodelignifikasi
Dibuat campuran enzim dan mediator dengan jumlah tertentu pada beaker glass.
Kayu sengon 2 gram yang merupakan substrat direaksikan dengan campuran tersebut.
Untuk P.chrysosporium digunakan enzim kasar LiP dengan variabel konsentrasi mediator
veratryl alcohol dan H2O2. Pada T.versicolor digunakan enzim kasar Lakase (U) dan

46
konsentrasi HBT sebagai variabel. Proses biodelignifikasi ini dilakukan sekitar 24 jam
pada kondisi optimumnya. Pada bahan baku dan produk dilakukan analisa kadar lignin
dan selulosa, sehingga diperoleh % degradasinya.

Alat dan Bahan Yang Digunakan


Digunakan autoclave untuk sterilisasi alat dan media, inkubator sebagai tempat
perkembang biakan dan pertumbuhkan jamur pada suhu 30ºC, shaker untuk pengocokan
media serta centrifuge untuk memisahkan supernatant dan biomassa.
Digunakan VA, H2O2, HBT sebagai mediator yang ditambahkan pada enzim
kasar. Untuk analisa digunakan alkohol ,benzene, H2SO4 72%.

Variabel Percobaan
▪ P.chrysosporium
* Konsentrasi veratryl alcohol : 1 mM; 2mM; 3mM
* Konsentrasi H2O2 : 1 mM; 2mM; 3mM
▪ T.versicolor
* Jumlah enzim Lakase : 5 U; 10 U; 15U
* Konsentrasi mediator HBT : 0,5 mM; 1mM; 1,5mM

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penelitian dilakukan dengan menggunakan jamur P.chrysosporium dan T.
versicolor masing – masing melalui 3 tahap yaitu :
- Pembuatan enzim kasar
- Penentuan kondisi optimum enzim
- Biodelignifikasi

Pembuatan enzim kasar


Jamur P.chrysosporium dan T. versicolor masing –masing dikembang biakkan
pada media PDA pada 30oC selama 4 – 7 hari. Selanjutnya diinokulasikan di media
pertumbuhan NLM pada 30oC dan pH 4,5. Enzim kasar diperoleh dari supernatant yang
telah dipisahkan dari massa selnya dengan centrifuge.
Hubungan berat sel kering , aktivitas enzim terhadap waktu inkubasi masing-
masing untuk P.chrysosporium dan T. versicolor ditunjukkan dalam Gambar 4.1 dan 4.2.
Untuk P.chrysosporium (Gambar 4.1) fase pertumbuhan cepat terlihat pada waktu
inkubasi hari ke 2 sampai 3, fase pertumbuhan lambat hari ke 3 sampai 4. Fase
pertumbuhan konstan pada hari ke 4 sampai 5 yang diikuti fase kematian dengan
berkurangmya berat sel kering setelah hari ke 5. Setelah fase pertumbuhan cepat,
tepatnya pada fase pertumbuhan konstan diperoleh aktivitas enzim Li P terbesar 782,18 x
10-3 Uml-1 pada hari ke 4.

47
900 1.6
800
1.5

(gram/100 cc NLM)
700
Aktivitas enzim

Berat sel kering


x 10 (Uml )
-1

600 1.4
500 Aktivitas enzim 1.3
400
3

Berat sel kering


300 T = 30ºC, pH = 4,5 1.2
200
1.1
100
0 1
1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu inkubasi (hari)

Gambar 4.1. Hubungan berat sel kering dan aktivitas enzim kasar LiP dari
P.chrysosporium terhadap waktu inkubasi

45 0.6
40
0.5
35
(gram/100 cc NLM)
Aktivitas enzim
x10 (U ml )

30 0.4
Berat sel kering
-1

25
0.3
20 Aktivitas enzim
3

Berat sel kering


15 0.2
10 T = 30ºC, pH = 4,5
0.1
5
0 0
1 2 3 4 5 6 7 8

Waktu inkubasi (hari)

Gambar 4.2. Hubungan berat sel kering dan aktivitas enzim kasar Lakase dari T.
versicolor terhadap waktu inkubasi.

Untuk T.versicolor (Gambar 4.2), fase pertumbuhan cepat terlihat pada waktu
inkubasi hari ke 2 – 4, dan konstan pada hari ke 4 sampai 5. Sama halnya dengan
P.chrysosporium, setelah fase pertumbuhan cepat aktivitas terbesar enzim Lakase pada
T.versicolor diperoleh pada waktu inkubasi hari ke 4 yaitu 39,64 x 10-3 Uml-1. Kondisi
kedua jamur tersebut sesuai dengan Nakamura dan Sawada (1997) yang menyatakan
48
bahwa pertumbuhan cepat jamur pelapuk putih P.chrysosporium terjadi pada waktu
inkubasi hari ke 2 sampai 3.
Aktivitas terbesar LiP dan Lakase semuanya diperoleh setelah melewati
pertumbuhan cepatnya. Fenomena ini terjadi ketika nutrien mulai habis ketersediaannya
dalam media yang menyebabkan pertumbuhannya lambat. NLM yang digunakan mulai
terbatas, seperti yang dinyatakan oleh Said (1987) bahwa setelah pertumbuhan cepat
komponen yang habis nampaknya gula, nitrogen atau fosfat. Komponen-komponen
tersebut semuanya ada pada NLM.
Metabolit-metabolit yang umumnya tidak diproduksi selama fase pertumbuhan
cepat , tetapi disekresi setelah itu diperlihatkan oleh adanya aktivitas LiP dan Lakase
yang terbesar. Kondisi tersebut oleh Wong dan Yu (1999) dikemukakan sebagai suatu
ciri metabolisme sekunder pada jamur P.chrysosporium dan T.versicolor.
Aktivitas LiP dengan menggunakan Tween 80 danVA ( 782,18 x 10-3 Uml-1 ) lebih
besar dari pada tanpa penambahan kedua bahan tersebut ( 136,366 x 10-3 Uml-1), pertama
karena pada saat inkubasi P.chrysosporium pada media pertumbuhan ditambahkan VA .
Senyawa tersebut oleh Pelczar (1986) dinyatakan sebagai suatu inducer yang strukturnya
menyerupai substrat yang dapat menyebabkan pembentukan enzim. Enzim LiP yang
dihasilkan P.chrysosporium merupakan senyawa yang menyerupai substratnya (VA).
Substrat yang dimaksudkan disini adalah lignin dan VA merupakan salah satu komponen
penyusun lignin. Dengan penambahan inducer (VA) maka enzim yang diproduksi akan
semakin banyak sehingga aktivitasnya besar. Hal ini sesuai dengan Nakamura dan
Sawada (1997) yang menyatakan bahwa VA sebagai inducer.
Kedua, pada saat inkubasi pada P.chrysosporium juga ditambahkan Tween 80
(Polyoxyethylene Soorbitan Monooleate) sehingga pada waktu inkubasi hari ke 4
aktivitas LiP mencapai maksimum.
Hal ini terjadi karena fungsi Tween 80 sebagai surface active agent seperti yang
dinyatakan oleh Nakamura dan Sawada (1997). Dengan penambahan Tween 80 tegangan
permukaan sel turun, sehingga sel mampu mengeluarkan cairan metabolit yang ada di
dalamnya . Kondisi ini sesuai dengan Wong dan Yu (1999) yang menyatakan bahwa
enzim LiP dan Lakase dikeluarkan oleh jamur pelapuk putih sebagai enzim ekstraseluler.
Hal ini juga sesuai dengan Pelczar (1986) yang menyatakan bahwa enzim ekstraseluler
/eksoenzim disekresikan melalui dinding sel dan dapat berfungsi di luar sel. Jadi dengan
penambahan Tween 80, maka makin banyak enzim yang dikeluarkan. Menurut
Nakamura dan Sawada (1997), VA dan Tween 80 juga berperan sebagai supplement.

Pengaruh suhu dan pH pada degradasi lignin


Enzim dipengaruhi oleh oleh beberapa faktor antara lain pH, suhu, waktu reaksi.
Pada penelitian ini dicoba dicari kondisi optimum enzim berdasarkan aplikasinya pada
kayu sengon. Kondisi optimum ditentukan berdasarkan % degradasi lignin
terbesarnya.Untuk menentukan suhu optimum dicoba pada kisaran 30º- 500C pada pH
4,5. Hasil suhu optimum ini digunakan untuk mencari pH optimum yang dicari dari
kisaran pH 3,5 – 5. Suhu dan pH optimum yang telah ditemukan, digunakan sebagai
kondisi pada proses biodelignifikasi kayu sengon .

49
Pengaruh suhu dan pH pada enzim kasar P.chrysosporium
Untuk melihat pengaruh suhu dan pH dalam penentukan kondisi optimum , kayu
direaksikan dengan enzim kasar yang diproduksi P.chrysosporium.

Pengaruh suhu pada enzim kasar P. chrysosporium


Hubungan % degradasi lignin pada berbagai suhu terhadap waktu biodelignifikasi
ditunjukkan oleh Gambar 4.3a. Terlihat bahwa enzim kasar P.chrysosporium mempunyai
kemampuan terbesar pada suhu 40oC dengan waktu biodelignifikasi 18 jam.

20

T = 30ºC
Degradasi lignin (%)

16 T = 35ºC
T = 40ºC
T = 45ºC
12

8
pH = 4,5

4
0 3 6 9 12 15 18 21 24

Waktu (jam)

Gambar 4.3a. Hubungan % degradasi lignin oleh enzim kasar LiP dari P.chrysosporium
pada berbagai suhu terhadap waktu biodelignifikasi

Sehingga untuk aplikasinya pada proses biodelignifikasi selanjutnya


diperkirakan waktunya mencapai 18 jam dengan interval 3 jam . Degradasi lignin
meningkat seiring dengan naiknya suhu mulai 30 – 40oC. Kondisi ini sesuai dengan
rumus Arrhenius yang dinyatakan dalam persamaan :
-E 1
log k   log A (4.1)
2,303R T
dimana log k = konstanta kecepatan reaksi spesifik
A = konstanta proporsional
E = energi aktivasi. Menurut Conn dan Stumf (1976) untuk reaksi katalisa
enzimatik pada 37oC harga E ada pada kisaran 2.000 – 8.000
R = konstantata gas
T = suhu
Kenaikan suhu menyebabkan naiknya konstanta kecepatan reaksi, sehingga
kecepatan reaksinya meningkat yang dinyatakan dengan meningkatnya degradasi lignin,
berarti semakin banyak lignin yang bereaksi dengan enzim. Dari hasil penelitian
didapatkan degradasi lignin terbesar pada suhu optimum 40oC yaitu 15,987 %, 18 jam.

50
Di atas suhu 40oC degradasi lignin mulai turun, hal ini menunjukkan bahwa
kemampuan enzim untuk mengubah substrat makin kecil, karena enzim sensintif
terhadap kenaikan suhu. Kondisi ini sesuai dengan Conn dan Stumpf (1976) yang
menyatakan adanya kenaikan suhu menyebabkan effektifitas enzim turun, sehingga
kecepatan reaksinya turun Selanjutnya dinyatakan bahwa enzim yang merupakan protein
mudah terdenaturasi pada suhu yang tinggi, umumnya mulai disekitar suhu 45oC. Seperti
yang ditunjukkan dalam Gambar 4.3b. suhu optimum diperoleh pada 40oC. Suhu
optimum 40oC digunakan untuk menentukan pH optimum dengan berbagai variasi pH.

20
Degradasi lignin (%)

16

12 pH = 4,5
t = 15 jam

8
25 30 35 40 45 50
o
Suhu ( C )

Gambar 4.3b. Hubungan % degradasi lignin oleh enzim kasar LiP dari P.chysosporium
terhadap suhu

Pengaruh pH pada enzim kasar P. chrysosporium


Hubungan % degradasi lignin pada berbagai pH terhadap waktu biodelignifikasi
ditunjukkan oleh Gambar 4.4b. Terlihat bahwa enzim kasar P.chrysosporium mempunyai
kemampuan mendegradasi lignin terbesar yaitu 15.692 % pada pH optimum 4,5 , waktu
biodelignifikasi 15 jam. Pada pH ini jamur P.chrysosporium juga bekerja dengan baik
menggunakan NLM sebagai media pertumbuhan. Sekresi jamur yaitu LiP yang
dikeluarkan pada metabolisme sekunder tetap konstan pada pH 4,5. Sehingga dapat
dikatakan bahwa pH optimum 4,5 termasuk dalam kisaran kestabilan mantap.
Jika terlalu asam atau basa kuat maka struktur protein enzim akan terpecah,
sehingga kehilangan daya katalitiknya dan berada pada kisaran inaktifasi. Hal ini sesuai
dengan Conn dan Stumf (1976), yang menyatakan perubahan pH berpengaruh pada
karakter gugus amino dan asam karboksilat yang menyusun protein sehingga
berpengaruh pada pada enzim. Selanjutnya dinyatakan bahwa untuk campuran reaksi
pengontrolan pH harus dilakukan teliti dengan penambahan larutan penyangga. Pada

51
percobaan ini, telah ditambahkan larutan penyangga pH 4,5 yang ditambahkan pada
NLM. Dari data Gambar 4.4a. dengan berbagai harga pH diperoleh harga optimum pada
4,5 seperti yang ditunjukkan dalm Gambar 4.4b.

20

T = 40ºC

16
Degradasi lignin (%)

12

pH 3.5
pH 4
8
pH 4.5
pH 5

4
0 3 6 9 12 15 18
Waktu (jam)

Gambar 4.4a. Hubungan % degradasi lignin oleh enzim kasar LiP dari P.chrysosporium
terhadap waktu pada berbagai pH

16.5

16.0

15.5
Degradasi lignin (%)

15.0

14.5

14.0

13.5

13.0
T = 40ºC
12.5 t = 15 jam

12.0
3 3.5 4 4.5 5 5.5
pH

Gambar 4.4b. Hubungan % degradasi lignin oleh enzim kasar LiP dari P.chrysosporium terhadap
pH

52
Pengaruh suhu pada enzim kasar T. versicolor
Hubungan % degradasi lignin pada berbagai suhu terhadap waktu biodelignifikasi
ditunjukkan oleh Gambar 4.5a. Terlihat degradasi lignin terbesar 8.73 % diperoleh pada
suhu optimumnya 35oC. Dengan uraian yang sama dengan sub bab 4.2.1 dapat dilihat
bahwa setiap enzim mempunyai sifat yang spesifik,sehingga untuk Lakase di atas suhu
35oC sudah mulai terjadi inaktifasi seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 4.5.b yang
menyebabkan degradasi lignin sebagai substratnya akan turun pula.

pH = 4,5
Degradasi lignin (%)

T = 35ºC
7 T = 30ºC
T = 40ºC
T = 45ºC

6
0 5 10 15 20 25 30

Waktu (jam)

Gambar 4.5a. Hubungan % degradasi lignin oleh enzim kasar Lakase dari T. versicolor
pada berbagai suhu terhadap waktu biodelignifikasi

53
10.0
Degradasi lignin (%) 9.5

9.0

8.5

8.0

7.5

7.0 pH = 4,5
6.5 t = 25 jam

6.0
25 30 35 40 45 50

Suhu (o C)

Gambar 4.5b. Hubungan % degradasi lignin oleh enzim kasar Lakase dari T.versicolor
terhadap suhu

Suhu optimum Lakase 35oC diperoleh dengan waktu biodelignifikasi 25 jam. Jika
dibandingkan dengan LiP, waktu biodelignifikasi oleh Lakase lebih lama karena
aktivitasnya lebih kecil sehingga kecepatan degradasinya kecil yang menyebabkan
membutuhkan waktu lama untuk bereaksi. Sehingga untuk aplikasinya pada proses
biodelignifikasi selanjutnya diperkirakan waktunya mencapai 25 jam dengan interval 5
jam.

Pengaruh pH terhadap enzim kasar T. versicolor


Uraian yang sama dengan sub bab 4.2.1.b. diberikan untuk penentuan pH
optimum seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 4.6.a. dan 4.6.b. Diperoleh pH optimum
pada degradasi lignin terbesarnya 8,73%.

54
9.0

8.5
T = 35ºC
Degradasi lignin (%)

8.0

7.5
pH 3.5
pH 4
7.0
pH 4.5
6.5 pH 5

6.0
0 5 10 15 20 25 30

Waktu (jam )

Gambar 4.6a. Hubungan % degradasi lignin oleh enzim kasar Lakase dari T.versicolor
pada berbagai pH terhadap waktu biodelignifikasi

9.00

8.75
Degradasi lignin (%)

8.50

8.25 T = 35ºC
t = 25 jam

8.00
3 3.5 4 4.5 5 5.5
pH

Gambar 4.6b. Hubungan % degradasi lignin oleh enzim kasar Lakase dari T.versicolor
terhadap pH

Biodelignifikasi
Dalam aplikasinya, enzim kasar LiP dan Lakase (aktivitas terbesar) digunakan
untuk mendegradasi lignin pada kayu. Kayu dengan ukuran 40/60 mesh direaksikan
dengan enzim tanpa mediator sebagai pengontrol atau enzim ditambah mediator dalam
berbagai variasi. Waktu biodelignifikasi yang digunakan tergantung pada sisa lignin pada
akhir proses. Jika dari interval waktu biodelignifikasi (3 jam untuk P.chrysosporium, 5

55
jam untuk T. versicolor), sisa ligninnya hampir sama (dianggap konstan), maka proses
dihentikan dan waktu dicatat. Pada waktu tersebut dicari degradasi lignin yang
merupakan selisih lignin kayu awal terhadap sisa lignin hasil biodelignifikasi (%).

Biodelignifikasi kayu sengon dengan enzim kasar P.chrysosporium


Enzim kasar diperoleh dari supernatant P.chrysosporium direaksikan dengan
kayu sengon untuk dipelajari proses biodelignifikasinya. Digunakan berbagai konsentrasi
VA dan H2O2 yang berperan sebagai mediator.

Pengaruh VA pada biodelignifikasi


VA ditambahkan pada LiP karena perannya sebagai mediator seperti yang
disebutkan sebelumnya. Digunakan konsentrasi VA = 1 mM; 2mM; 3mM untuk diamati
pengaruhnya terhadap degradasi lignin.
Hubungan % degradasi lignin terhadap waktu biodelignifikasi pada berbagai
konsentrasi H2O2 ditunjukkan oleh Gambar 4.7 a-b-c. Pada Gambar 4.7a. , VA= 1mM
terlihat bahwa penambahan H2O2 sebesar 1 mM akan menghasilkan degradasi lignin
terbesar. Hal ini terlihat pula pada Gambar 4.7b-c., untuk VA 2mM degradasi lignin
terbesar diperoleh pada penambahan H2O2 2 mM. Untuk VA 3 mM degradasi terbesar
pada penambahan H2O2 = 3 mM.

18
16 T = 40ºC , pH = 4,5
Degradasi lignin (%)

14
12

10
8
Kontrol
6
[H2O2] = 1 mM
4 [H2O2] = 2 mM

2 [H2O2] = 3 mM

0
0 3 6 9 12 15 18 21 24
Waktu (jam)

Gambar 4.7a. Hubungan % degradasi lignin oleh enzim kasar LiP dari P.chrysosporium
terhadap waktu biodelignifikasi pada berbagai konsentrasi H2O2 untuk VA 1 mM
berbagai konsentrasi H2O2 untuk VA 1 mM

56
20

16
Degradasi lignin (%)

T = 40ºC, pH = 4,5
12

8
Kontrol
[H2O2] = 1 mM
4 [H2O2] = 2 mM
[H2O2] = 3 mM

0
0 3 6 9 12 15 18 21 24

W aktu (jam)

Gambar 4.7b. Hubungan % degradasi lignin oleh enzim kasar LiP dari P.chrysosporium
terhadap waktu biodelignifikasi pada berbagai konsentrasi H2O2 untuk VA 2 mM
konsentrasi H2O2 untuk VA 2 mM

30

25 Kontrol
Degradasi lignin (%)

[H2O2] = 1 mM
20 [H2O2] = 2 mM
[H2O2] = 3 mM
15

10

5
T = 40ºC. pH = 4,5
0
0 3 6 9 12 15 18 21 24

Waktu (jam)

Gambar 4.7c. Hubungan % degradasi lignin oleh enzim kasar LiP dari P.chrysosporium
terhadap waktu biodelignifikasi pada berbagai konsentrasi H2O2 untuk VA 3 mM

Terlihat bahwa perbandingan VA dan H2O2 yang setara akan menghasilkan


degradasi yang tinggi. Dari percobaan terlihat perbandingan maksimal yang setara antara
VA dan H2O2 3 : 3 akan menghasilkan degradasi lignin yang besar yaitu 23,90 % selama
biodelignifikasi 12 jam. Hal ini sesuai dengan Shimada (1997) yang menyatakan bahwa
VA berfungsi memproteksi enzim dari H2O2 yang menyebabkan inaktifasi dan juga
berlaku sebagai substrat enzim. VA sebagai mediator oleh Pelczar (1986) dinyatakan

57
sebagai koenzim yang mampu mengaktifkan kerja enzim. Jika hanya dilakukan
penambahan LiP saja tanpa mediator (sebagai kontrol) , pada Gambar 4.7a-b-c terlihat
bahwa waktu biodelignifikasinya lebih lama jika dibandingkan dengan penambahan
mediator. Kondisi tersebut sesuai dengan Koduri dan Tien (1995) yang menyatakan
bahwa VA sebagai mediator akan memacu LiP untuk mengoksidasi substratnya melalui
radikal kation VA. Reaksi enzimatik LiP merupakan siklus katalitik tertutup. Menurut
Koduri dan Tien ( 1995) , H2O2 digunakan sebagai oksidator yang dapat membangkitkan
elektron untuk mengoksidasi LiP yang mengandung Fe++ menjadi komponen LiP I.
Komponen LiP I , akan mengubah VA menjadi kation radikal VA+ yang mampu
mengoksidasi IEA (Isoeugenyl acetate, salah satu komponen lignin) menjadi IEA+.
Seperti yang ditunjukkan skema di bawah ini pada Gambar 4.8.

IEA+ H2O2

LiP
+
IEA VA

VA
LiP II LiP I
+
VA VA

IEA+ IEA

Gambar 4.8. Siklus katalitik LiP dengan VA sebagai mediator

Adanya H2O2 tanpa substrat pereduksi yang cukup seperti VA akan menyebabkan
enzim bereaksi dengan H2O2 menjadi komponen III, superperoksida menyebabkan enzim
tidak aktif. Dari skema di atas H2O2 hanya dibutuhkan sedikit sebagai inisiator saja,
berbeda dengan VA yang selalu dibutuhkan untuk degradasi lignin. Hal ini diperjelas
dengan adanya penambahan H2O2 3 mM yang menjadi tidak signifikan dengan 1mM dan
2 mM. Karena pada penambahan H2O2 3 mM dengan VA 1mM dan 2 mM, enzim
menjadi tidak aktif yang disebabkan VA tidak dapat memproteksi kelebihan H2O2 untuk
menjadi komponen III. Sedang penambahan VA dalam batas 3mM akan mampu
meningkatkan degradasi lignin karena VA terus digunakan sehingga siklus katalitik
tertutup kembali menjadi LiP sebagai biokatalis.

Pengaruh H2O2

58
H2O2 ditambahkan pada LiP karena perannya sebagai mediator seperti yang
disebutkan pada sub bab 2.4.3. Digunakan konsentrasi H2O2 1 mM; 2mM 3mM untuk
diamati pengaruhnya terhadap degradasi lignin. Hubungan % degradasi lignin terhadap
waktu biodelignifikasi pada berbagai konsentrasi VA ditunjukkan dalan Gambar 4.9. a-b-
c.
Pada Gambar 4.9.a, dengan konsentrasi H2O2 konstan 1mM dan VA dalam
berbagai variasi 1 ; 2 ; 3 mM , degradasi lignin terbesar ditunjukkan oleh 3mM. Begitu
juga pada Gambar 4.9. b-c., degradasi terbesar ditunjukkan oleh VA 3mM.

25
Kontrol
[VA] = 1 mM
20
[VA] = 2 mM
Degradasi lignin (%)

[VA] = 3 mM
15

10

5 T= 40ºC, pH = 4,5

0
0 3 6 9 12 15 18 21 24

Waktu (jam)

Gambar 4.9.a. Hubungan % degradasi lignin oleh enzim kasar LiP dari
P.chrysosporium terhadap waktu biodelignifikasi pada berbagai konsentrasi VA untuk
H2O2 1 mM

59
20

16
Degradasi lignin (%)

12

8
Kontrol
[VA] = 1 mM
4 T = 40ºC, pH = 4,5 [VA] = 2 mM
[VA] = 3 mM
0
0 3 6 9 12 15 18 21 24
Waktu (jam)

Gambar 4.9.b. Hubungan % degradasi lignin oleh enzim kasar LiP dari P.chrysosporium
terhadap waktu biodelignifikasi pada berbagai konsentrasi VA untuk H2O2 2 mM

30
Kontrol
25
[VA] = 1 m M
Degradasi lignin (%)

[VA] = 2 m M
20
[VA] = 3 m M

15

10

5 T = 40ºC, pH = 4,5

0
0 3 6 9 12 15 18 21 24

Waktu (jam)

Gambar 4.9.c. Hubungan % degradasi lignin oleh enzim kasar LiP dari P.chrysosporium
terhadap waktu biodelignifikasi pada berbagai konsentrasi VA untuk H2O2 3 mM

Pada Gambar 4.9. a.b.c..untuk konsentrasi H2O2 1 mM, 2mM, 3mM, pada
berbagai konsentrasi VA jika dibandingkan dengan kontrol maka waktu
biodelignifikasinya lebih singkat dan degradasi ligninnya lebih besar. Hal ini sesuai
dengan Hattaka (1994) yang menyatakan bahwa H2O2 sebagai mediator bagi LiP melalui
kation radikal bebasnya. Radikal akan lebih reaktif dalam bereaksi dengan substratnya.
VA 1mM dengan H2O2 lebih dari 1mM maka akan terjadi inaktifasi enzim sehingga

60
degradasi ligninnya turun yang diakibatkan adanya kelebihan H2O2. Hal ini sesuai dengan
Koduri dan Tien (1995) yang menyatakan bahwa kelebihan H2O2 terhadap VA akan
menyebabkan kerja enzim terhambat. Selanjutnya juga dinyatakan bahwa dengan
cukupnya substrat pereduksi seperti VA maka H2O2 akan berubah menjadi peroxidase
yang menyebabkan enzim menjadi inaktif.

Biodelignifikasi kayu sengon oleh enzim kasar T.versicolor


Lakase diperoleh dari supernatant T.versicolor direaksikan dengan kayu sengon
untuk dipelajari proses biodelignifikasinya. Digunakan berbagai unit lakase dan
konsentrasi HBT sebagai mediator pada proses biodelignifikasi ini.

Pengaruh penambahan Lakase (unit)


Lakase merupakan enzim ekstraseluler yang diproduksi oleh jamur pelapuk putih
khususnya T.versicolor. Dengan penambahan Lakase (U) diharapkan mampu
mengoksidasi komponen – komponen lignin. Hubungan % degradasi liginin terhadap
waktu pada berbagai unit dapat dilihat pada Gambar. 4.10. a-b-c.

13

12
T = 35ºC, pH = 4,5
Degradasi lignin (%)

11

10

8
Aktivitas Lakase = 5 U
7 Aktivitas Lakase =10 U
Aktivitas Lakase =15 U
6

5
0 5 10 15 20 25 30

Waktu (jam)

Gambar 4.10.a. Hubungan degradasi lignin oleh enzim kasar Lakase dari T.versicolor
terhadap waktu biodelignifikasi pada berbagai unit untuk konsentrasi HBT 0,5 mM

61
17

15 T = 35ºC, pH = 4,5
Degradasi lignin (%)

13

11

9 Aktivitas Lakase = 5 U
Aktivitas Lakase = 10 U
7
Aktivitas Lakase = 15 U

5
0 5 10 15 20 25 30

Waktu (jam )

Gambar 4.10.b. Hubungan degradasi lignin oleh enzim kasar Lakase dari T.versicolor
terhadap waktu biodelignifikasi pada berbagai unit untuk konsentrasi HBT 1 mM

21

19
Aktivitas Lakase = 5 U
Degradasi lignin (%)

17 Aktivitas Lakase = 10 U
15 Aktivitas Lakase = 15 U
13

11

9 T = 35ºC, pH = 4,5

5
0 5 10 15 20 25 30

Waktu (jam)

Gambar 4.10.c. Hubungan degradasi lignin oleh enzim kasar Lakase dari T.versicolor
terhadap waktu biodelignifikasi pada berbagai unit untuk konsentrasi HBT 1,5 mM

Pada Gambar. 4.10.a. dengan penambahan HBT 0,5 mM terlihat bahwa %


degradasi terbesar diperoleh pada penambahan Lakase dengan unit terbesar yaitu 15 U.
Hal ini juga terlihat pada Gambar 4.10. b – c. Ini berarti bahwa semakin besar unit
lakasenya maka makin besar lignin yang terdegradasi. Hal ini sesuai dengan Wong dan
Yu (1999) yang menyatakan bahwa unit Lakase merupakan banyaknya mol substrat

62
yang berubah jadi produk per menit. Terlihat dari Gambar.4.10.a. waktu biodelignifikasi
yang sama 20 jam, maka banyak substrat yang berubah (% degradasi lignin) pada
penambahan Lakase masing – masing 5 U; 10 U; 15 U yaitu 8,73 %, 10,97 %, 11,67 %.
Jika Lakase yang ditambahkan pada substrat besar, maka produk yang terjadi semakin
banyak sehingga sisa substratnya kecil, berarti % degradasi ligninnya semakin besar.
Hal ini sesuai dengan Conn dan Stumpf (1976) yang menyatakan bahwa semakin
besar konsentrasi enzim yang diberikan , maka laju reaksinya semakin meningkat. Berarti
produk yang terjadi atau substrat yang bereaksi semakin banyak dengan kata lain
degradasi ligninnya semakin meningkat.
Dari data diperoleh kadar lignin awal 23,77%. Setelah biodelignifikasi selama 20
jam, diperoleh kadar lignin akhir masing masing untuk 5U; 10U; 15U yaitu 21,71%;
21,16%; 21%. Dengan basis 100 gram kayu kering, berarti jumlah lignin awalnya 23,77
gram dan untuk penambahan Lakase 5U lignin akhir 21,71 gram. Pada reaksi enzimatik
dianggap tidak ada reaksi samping, maka produknya merupakan selisih kadar lignin
tersebut yaitu sebesar 2,06 gram. Dengan cara yang sama diperoleh produk untuk masing
– masing penambahan 10 U dan 15 U yaitu 2,61 gram ; 2,77 gram. Dari data 2,06 gram;
2,61 gram, 2,77 gram untuk masing -masing 5U, 10U, 15U ternyata tidak diperoleh
kenaikan produk atau substrat terkonversi yang signifikan. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena stabilitas enzim yang semakin menurun pada saat biodelignifikasi.
Pengaruh penambahan konsentrasi HBT
Lignin merupakan polimer yang tersusun dari sub unit phenol dan bukan phenol,
yang diharapkan terdegradasi menjadi bentuk yang lebih sederhana. Lakase diharapkan
mampu mengoksidasi menjadi bentuk yang lebih sederhana. Penambahan mediator pada
Lakase yang dikenal dengan LMS (Laccase Mediator System) juga dicoba pada
penelitian ini. Salah satu mediator yang digunakan adalah HBT.

10

9
Aktivitas Lakase = 5 U
Degradasi lignin (%)

8 Aktivitas Lakase = 10 U

7 Aktivitas Lakase = 15 U

T = 35ºC, pH = 4,5
5

4
0 5 10 15 20 25 30

Waktu (jam )

Gambar 4.11. Hubungan degradasi lignin oleh enzim kasar Lakase dari T.versicolor
terhadap waktu biodelignifikasi tanpa penambahan HBT pada berbagai unit

63
Hubungan % degradasi lignin terhadap waktu biodelignifikasi tanpa penambahan
HBT dan dengan penambahan HBT dapat dilihat pada Gambar 4.11. dan 4.12.a. Untuk
penambahan Lakase 5U, tanpa penambahan HBT ( Gambar 4.11 ) diperoleh degradasi
lignin 6,23%; sedang dengan penambahan HBT 0,5 mM ( Gambar 4. 12.a ) diperoleh
8,73 %. Hal ini menunjukkan jika hanya Lakase saja yang ditambahkan tanpa HBT,
maka lignin yang bereaksi dengan enzim lebih sedikit jika dibandingkan dengan
penambahan HBT. Ini terjadi karena Lakase merupakan molekul yang mencapai 70.000,
oleh karena itu tidak dapat masuk ke dinding kayu kedua untuk bereaksi dengan substrat
lignin secara langsung (Boubonnais dan Yaguchi, 1995). Hal ini juga sesuai dengan
Pelczar ( 1986) yang menyatakan seperti semua protein, enzim tidak dapat melewati
membran semipermiabel atau membran selektif dengan perkataan lain , tak terdialisis,
karena protein enzim merupakan molekul yang amat besar, BMnya berkisar  10.000 –
1.000.000. Dengan penambahan HBT yang mempunyai BM rendah, ada kenaikan
degradasi lignin yang cukup signifikan.Kondisi tersebut oleh Pelczar (1986)
dikemukakan sebagai adanya penggabungan protein enzim dan molekul organik dengan
BM rendah yang dinamakan koenzim, bagian proteinnya disebut apoenzim .
Selanjutnya dinyatakan apabila bergabung, kedua bagian itu disebut holoenzim. Seperti
yang ditunjukkan pada reaksi di bawah ini.
Apoenzim + Koenzim Holoenzim
Tidak aktif Tidak aktif Aktif
Protein Molekul organik
BM tinggi BM rendah
Tak terdialisis Terdialisis
Penambahan Lakase saja tanpa HBT hanya mampu mendegradasi lignin hanya
sampai 6,23 %. Hal ini terjadi karena penambahan Lakase saja hanya mempunyai
pengaruh terbatas pada sub unit lignin phenol (Bourbonnais dan Borneman, 1997).
Penambahan HBT 0,5 mM pada lakase, mampu mendegradasi lignin 8,73 %
kondisi ini sesuai dengan Bourbonis dan Yaguchi (1995) yang menyatakan bahwa
dengan penambahan mediator maka akan juga akan menyerang sub unit bukan phenol.
Sehingga sub unit phenol dan bukan phenol akan terdegradasi karena terdepolimerisasi,
sehingga degradasi ligninnya semakin meningkat.
Dengan hasil seperti di atas di atas , maka konsentrasi HBT dicoba untuk dapat
dilihat pengaruhnya. Hubungan % degradasi lignin terhadap waktu biodelignifikasi pada
berbagai konsentrasi HBT dapat dilihat pada Gambar. 4. 12.a-b-c.

64
13
12 Kontrol
Degradasi lignin (%)
[HBT] = 0,5 mM T = 35ºC, pH = 4,5
11
[HBT] = 1 mM
10 [HBT] = 1,5 mM
9
8

7
6

5
4
0 5 10 15 20 25 30

Waktu (jam)

Gambar 4.12.a. Hubungan degradasi lignin oleh enzim kasar Lakase dari T.versicolor
terhadap waktu biodelignifikasi pada berbagai konsentrasi HBT untuk penambahan
Lakase 5 Unit
17
Kontrol
15 [HBT] = 0,5 mM
Degradasi lignin (%)

[HBT] = 1 mM
13
[HBT] = 1,5 mM

11

T = 35ºC, pH = 4,5
7

5
0 5 10 15 20 25 30

Waktu (jam)

Gambar 4.12.b. Hubungan degradasi lignin oleh enzim kasar Lakase dari T.versicolor
terhadap waktu biodelignifikasi pada berbagai konsentrasi HBT untuk penambahan
Lakase 10 Unit

65
21
Kontrol
19
[HBT] = 0,5 mM
17 [HBT] = 1 mM
Degradasi lignin (%)

[HBT] = 1,5 mM
15

13

11

7 T = 35ºC, pH = 4,5

5
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (jam )

Gambar 4.12.c. Hubungan degradasi lignin oleh enzim kasar Lakase dari T.versicolor
terhadap waktu biodelignifikasi pada berbagai konsentrasi HBT untuk penambahan
Lakase 15 Unit

HBT dalam batas konsentrasi tertentu mampu membantu peran Lakase. Kondisi
ini sesuai dengan Sretbotnik dan Hammel ( 2000 )yang menyatakan bahwa HBT akan
dioksidasi menjadi radikal nitroxide oleh Lakase,karena radikal ini mampu
mengoksidasiu komponen – komponen aromatis. Penambahan HBT 0,5 mM, 1 mM, 1,5
mM yang relatif rendah masih mampu membantu peran Lakase, tidak sampai inaktifasi.
Dengan semakin tingginya konsentrasi HBT pada penelitian ini maka radikal yang
terbentuk akan semakin banyak sehingga banyak substrat yang terikat melalui reaksi
oksidasi .Hal ini sesuai dengn Soares (2001) menyatakan bahwa konsentrasi HBT yang
terlalu tinggi menyebabkan radikal HBT akan bereaksi dengan Lakase dan berlaku
sebagai inhibitor sehingga enzim menjadi tidak aktif. Pada penelitian ini konsentrasi HBT
yang digunakan masih relatif rendah sehingga enzim masih aktif.
Diperoleh degradasi lignin terbesar pada konsentrasi HBT 1,5 mM untuk masing
masing unit. Dari biodelignifikasi oleh T.versicolor, maka degradasi terbesar diperoleh
pada penambahan Lakase 15 U dan konsentrasi HBT 1,5 mM yaitu 18,7 % pada waktu
15 jam.
Sebagai pembanding Young dan Akhtar ( 1998 ) melakukan fungal pretreatment
pada chip kayu untuk mengurangi kadar ligninnya . Dipilih metode ini yaitu secara
biomechanical pulping karena dampak lingkungan yang terjadi lebih rendah dari kimia.
Chip diinokulasikan dengan jamur pelapuk putih, diinkubasikan pada suhu 27 – 39oC
selama 2 -4 minggu dengan aerasi kontinyu. Degradasi ligninnya sekitar 21 – 50 %.

Degradasi selulosa
Rata – rata degradasi selulosa pada P.chrysosporium dan T.versicolor di bawah
10%, hal ini menunjukkan bahwa enzim – enzim LiP dan Lakase bekerja secara spesifik,

66
hanya menyerang lignin seperti yang dinyatakan oleh Bajpai (1999). Jadi kehilangan
selulosa di bawah 10% masih dalam batas toleransi.

Reaksi enzimatik LiP merupakan siklus katalitik tertutup. Menurut Koduri dan
Tien ( 1995 ) , H2O2 digunakan sebagai oksidator yang dapat membangkitkan elektron
untuk mengoksidasi LiP yang mengandung Fe++ menjadi komponen LiP I. Komponen
LiP I , akan mengubah VA menjadi kation radikal VA+ yang mampu mengoksidasi IEA (
Isoeugenyl acetate, salah satu komponen lignin ) menjadi IEA+. Seperti yang ditunjukkan
skema di bawah ini pada Gambar 4.9 ( ten Have, 1999 ).
Adanya H2O2 tanpa substrat pereduksi yang cukup seperti VA akan menyebabkan
enzim bereaksi dengan H2O2 menjadi komponen III, superperoksida menyebabkan enzim
tidak aktif. Dari skema di atas H2O2 hanya dibutuhkan sedikit sebagai inisiator saja,
berbeda dengan VA yang selalu dibutuhkan untuk degradasi lignin. Hal ini diperjelas
dengan Gambar 4.8 bahwa penambahan H2O2 3 mM menjadi tidak signifikan dengan
1mM dan 2 mM. Karena pada penambahan H2O2 3 mM dengan VA 1mM dan 2 mM,
enzim menjadi tidak aktif yang disebabkan VA tidak dapat memproteksi kelebihan H2O2
untuk menjadi komponen III. Sedang penambahan VA dalam batas 3mM akan mampu
meningkatkan degradasi lignin karena VA terus digunakan sehingga siklus katalitik
tertutup kembali menjadi LiP sebagai biokatalis.

IEA+ H2O2

LiP
+
IEA VA

VA
LiP II LiP I
+
VA VA

IEA+ IEA

Gambar 4.9. Siklus katalitik LiP dengan VA sebagai mediator

DAFTAR PUSTAKA

1. Atmosuseno, B.S; ” Budi Daya, Kegunaan dan Prospek Sengon,” edisi IV., Jakarta :
Penebar Swadaya ( 1994 ).

67
2. Bajpai, P; ” Appplication of Enzymes in The Pulp and Paper Industry,” Biotechnol
.Prog., 15, 147 – 155 ( 1999 ).
3. Bourbonnais, R. and S. Borneman; ” Reactivities of various Mediators and Laccase
with Kraft pulp and Lignin Model Compound,” Appl. Environ. Microbiol., 63, 4627 –
4632 ( 1997 ).
4. Bourbonnais, R. and M. Yaguchi; ” Lignin oxidation by Laccase Isozymes from
Trametes versicolor and role of the mediator 2,2’- Azinobis ( 3 – Ethylbenthiazoline-
6 – sulfonat ) in Kraft lignin Depolymerization,” Appl. Environ. Microbiol., 61, 1876
– 1880 (1995).
5. Bratasida, L; ” Substrat Jamur Pelapuk pada penyimpanan Kayu Bahan Baku Pulp,”
Berita Selulosa., XVIII, 33 – 34 ( 1982 ).
6. Burdsall, J.R; “Environmental Friendly Technologies for pulp and paper Industry” ,
1st ed., New York : John Wiley and Son Inc (1998).
7. Call, H.P ; “Process for modifying, breaking down or bleaching lignin, materials
containing lignin or like subtances,” PCT Internationale Patentklassifikation, WO
94/29510, 1-26 (1994).
8. Conn, E. E. and P.K. Stumpf; ” Outline of Biochemistry,” 4th ed., New York : John
Wiley and Sons Inc ( 1976 ).
9. Fengel, D. and G. Wegener; ” Kayu, Kimia, Ultrastruktur, Reaksi – reaksi,”edisi 1,
Yogyakarta : Gajah Mada University Press ( 1995 ).
10. Hastowo, S; ” Mikrobiologi,” edisi 1., Jakarta : Rajawali Pers ( 1992 ).
11. Hatakka, A ; ” Biopolimers,” 1st ed., Helsinki : University of Helsinki Press (1994).

12. Katagiri, N. and Nisida; ” Correlation of Brightening with cumulative Enzyme


Activity Related to Lignin Biodegradation during Biobleaching of Kraft Pulp by
White Rot Fungi in the solid – state fermentation system,” Appl. Environ. Microbiol.,
61, 617 – 622 (1995).
13. Koduri, R. S. and M. Tien ; ” Oxidation of Guaiacol by Lignin Peroxidase,”
J. Biol. Chem., 270, 2254 – 2258 (1995).
14. Kawai, S. , T.Umezawa and T. Higuchi; ” Metabolism of a Non – phenolic - O- 4
Lignin Substructrure Model Compound by Coriolus versicolor,” Agric. Biol. Chem.,
49, 2325 – 2330 (1985 ).
15. Nakamura, Y. and T. Sawada; ” Lignin peroxidase production by Phanerochaete
chrysosporium Immobilized on Polyurethane Foam ,” J.Chem. Eng. Japan., 30, 1 – 6
(1997).
16. Pelczar; ” Microbiology ,” 5 th ed., New York : Mc Graw Hill (1986 ).
17. Sa’id, G.E; ” Bioindustri,” edisi 1., Jakarta : Mediyatama Sarana Perkasa (1987)
18. Shimada, M; ” Regiospesific oxygenations during ring cleavage of secondry
metabolite, 3,4- dimethoxybenzyl alcohol catalyzed by lignin peroxidase,” FEBS
Lett., 221, 327 – 331 ( 1987)
19. Soares, G. M; ” Use of Laccase together with redox mediators to decolourize
Remazol Brilliant Blue,” J. Biotechnol., 23, 2 – 3 ( 2001 ).
20. Sretbonik, E. and K. E. Hammel; ” Degradation of nonphenolic lignin by the Laccase
/ 1- hydroxybenzotriazole system,” J. Biotechnol., 81, 179 – 188 (2000).
21. Tien, M. and T.K. Kirk; ” Lignin Peroxidase of Phanerochaete chrysosporium,”
Meth. Enzymol., 161, 238 – 244 (1988).

68
22. Winarno, F. G; ” Enzim Pangan,” edisi 1.,” Jakarta : Gramedia ( 1983).
23. Wong, Y. and J. Yu; ” Laccase- catalyzed Decolourisation of Synthetic Dyes,” Water
Res., 33, 3512 – 3520 ( 1999 ).
24. Young, R. A. and M. Akhtar; ” Environmentally friendly Technologies for the pulp
and paper Industry, 1st ed., USA : John Wiley and Sons, Inc ( 1998 ).

69
Bab 5
Produksi Enzim Xilanase dan Strategi Purifikasinya

ABSTRAK

Telah dilakukan studi untuk optimasi aktifitas dan produktifitas enzim xilanase dari
strain jamur penghasil xilanase Aspergillus niger dan Trichoderma reesei. Demikian juga
strategi purifikasi enzim xilanase yang dihasilkan. Beberapa parameter penting yang
diinvestigasi agar diperoleh aktifitas serta produktifitas enzim yang tinggi adalah waktu
inkubasi, kadar air dari medium pertumbuhan jamur, jenis dan konsentrasi induser, dan
konsentrasi surfaktan.
Berdasarkan aktifitas xilanasa serta rasio aktifitas xilanase terhadap enzim selulase,
waktu inkubasi terbaik adalah 4 hari dan 7 hari, masing-masing untuk A. niger dan T.
reesei. Akan tetapi, produktifitas tertinggi untuk kedua strain ini masing-masing dihasilkan pada
hari ke-3 dan ke-6. Secara umum, fermentasi media padat (solid state fermentation, SSF), dimana
perbandingan dedak gandum dan air adalah 1 : 7 (konsentrasi padatan 12.5% w/v), memberikan
aktifitas yang lebih tinggi dibanding fermentasi terendam (submerged fermentation, konsentrasi
padatan 1% w/v). Aktifitas xilanase tertinggi dari T. reesei diperoleh tanpa menggunakan Tween-
80 dengan menggunakan xilan sebagai induser, sementara aktifitas xilanase dari A. niger yang
tertinggi didapatkan tanpa menggunakan Tween-80 maupun induser. Pada umumnya, aktifitas
xilanase dari T. reesei lebih tinggi akan tetapi xilanase dari A. niger memberikan produktifitas
yang lebih tinggi karena waktu inkubasinya lebih pendek. Pada seluruh kondisi inkubasi,
walaupun aktifitas selulase didapatkan pada enzim kasar (crude cell extract), akan tetapi nilai
aktifitasnya jauh lebih kecil dari aktifitas xilanase.
pH memberikan pengaruh yang sangat besar dalam pemurnian enzim menggunakan metode
kromatografi penukar ion. Penggunaan CM-Toyopearl, suatu penukar kation yang lemah,
memberikan hampir 100 % adsorpsi pada range pH 4 sampai 5, dengan adsorpsi maksimum
diperoleh pada pH 4.5. Dengan menggunakan kolom kromatografi ini diperoleh kenaikan
aktifitas spesifik sebesar 10 kali dengan perolehan (recovery) total sebesar 81%. Dengan
menggunakan SDS-PAGE, didapatkan berat molekul enzim xilanase adalah 27 kDa. Pada fraksi
enzim yang telah dimurnikan tidak didapatkan aktifitas enzim selulase.

Kata kunci: xilanase, strain jamur, produksi optimal, strategi purifikasi.

70
Pengantar
Proses penghilangan lignin dari kayu pada industri pulp dan kertas menghadap
persoalan yang serius karena penggunaan senyawa berbasis klor sebagai agen
pengelantang karena senyawa ini sangat mencemari lingkungan. Indonesia sebagai salah
satu negara penghasil pulp dan kertas yang besar di dunia juga tidak luput dari persoalan
ini. Metode alternatif menggunakan enzim xilanase untuk mendelignifikasi lignin
merupakan metode yang menjanjikan karena, disamping merupakan teknologi ramah
lingkungan, metode ini mudah diaplikasikan dan tidak membutuhkan banyak modifikasi
pada proses pulping atau bleaching yang sudah ada.
Produksi xilanase telah dilakukan oleh banyak peneliti seperti telah dilaporkan pada
banyak review (Subramaniyan dan Prema, 2002; Sa-Pereira, dkk., 2003; Collins, dkk.,
2005). Enzim xilanase umumnya diproduksi dari strain jamur dan bakteri. Walaupun
xilanase dari bakteri dilaporkan memiliki nilai pH optimum yang tinggi yang merupakan
keuntungan pada aplikasi pada proses biobleaching, xilanase dari jamur biasanya
memiliki aktifitas yang lebih tinggi (Subramaniyan dan Prema, 2002). Aktifitas yang
tinggi merupakan faktor yang penting khususnya pada aplikasi menggunakan enzim yang
tidak murni (crude enzyme). Jenis strain mikroorganisme sangat berhubungan dengan
jenis media untuk kultivasinya. Strain jamur biasanya lebih menyukai media padat karena
memiliki kadar air yang rendah. Sebaliknya strain bakteri lebih menyukai media dengan
kadar air yang tinggi. Jenis media ini merupakan salah satu faktor paling penting untuk
menghasilkan enzim dengan aktifitas yang tinggi dari strain jamur. Walaupun telah
laporan menyangkut pemurnian xilanase aplikasinya pada proses biobleaching, maupun
studi molekular enzim xilanase, akan tetapi tidak ada laporan mengenai strategi optimasi
untuk menghasilkan aktifitas maupun produktifitas enzim xilanase yang tinggi dari strain
jamur maupun strategi purifikasinya. Karena itu sangat diperlukan suatu investigasi yang
menyeluruh untuk menaikkan aktifitas dan produktifitas xilanase yang
mempertimbangkan seluruh variabel yang diperlukan. Khususnya untuk menghasilkan
enzim dalam kondisi yang belum dimurnikan, strategi ini sangat penting karena
aplikasinya pada skala industri umumnya dilakukan pada kondisi enzim tidak murni.
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan enzim xilanase dengan aktifitas dan
produktifitas yang tinggi dari strain mikroorganisme penghasil enzim A. niger dan T.
reesei, serta mengembangkan strategi pemurnian enzim yang sistematis. Dua strain jamur
yang berbeda dipilih untuk memberikan perbandingan dalam strategi optimasi yang
dilakukan. Dilakukan penelitian untuk melihat pengaruh beberapa parameter penting
seperti jenis dan konsentrasi induser, konsentrasi surfaktan, kadar air dari medium
fermentasi, serta waktu inkubasi untuk menghasilkan enzim xilanase dengan aktifitas dan
produktifitas yang tinggi khususnya dalam kondisi yang tidak dimurnikan.

Metodologi
Mikroorganisme
Biakan jamur A. niger diperoleh dari Jurusan Biologi Universitas Brawijaya
Malang, sedangkan strain jamur T. reesei diperoleh dari Jurusan Biologi Universitas
Airlangga Surabaya, Indonesia. Biakan murni dipelihara pada suhu ruangan dalam media
agar dengan potato dextrose agar (PDA) yang telah disterilisasi, dan setiap 3 minggu
dilakukan regenerasi. Media agar miring PDA dapat diganti dengan media berikut:

71
MgSO47H2O (1 g/l), KH2PO4 (1.5 g/l), CaCl22H2O (0.2 g/l), FeSO47 H2O (0.4 g/l),
MnSO45 H2O (0.3 g/l), yeast extract (2 g/l), dan bubuk agar (1.5% w/v). Koloni jamur
yang sedang mengalami pertumbuhan aktif (koloni berumur 4-5 hari dalam agar miring)
sebesar dua cm2 blok agar digunakan untuk inokulasi dalam medium pertumbuhan.
Dengan menggunakan hemocytometer, jumlah spora pada blok agar ini adalah sebesar
1107 – 1108 spora baik untuk A. niger maupun T. reesei.

Substrat
Dedak gandum digunakan sebagai substrat dalam semua percobaan. Dedak gandum
didapatkan dari PT Bogasari Flour, Tbk. Indonesia dan Okumoto Flour Milling Co. Ltd.,
Osaka, Japan. Substrat kering ini dihaluskan sampai sekitar 40 mesh sebelum digunakan
sebagai substrat.

Kondisi Eksperimen Untuk Produksi Enzim


Larutan yang digunakan dalam fermentasi media padat (Solid state fermentation,
SSF) maupun fermentasi terendam mengandung komponen sebagai berikut::
MgSO47H2O (1 g/l), KH2PO4 (1,5 g/l), CaCl22H2O (0,2 g/l), FeSO47 H2O (0,4 g/l),
MnSO45 H2O (0,3 g/l), yeast extract (2 g/l), Tween 80 (0, 0.1, 0.5% and 1%), dan
induser (0, 0.5% and 1%). Xilan dari birchwood (Sigma Aldrich, USA) atau xilosa
digunakan sebagai induser. pH diatur pada 5.5 dengan menambahkan 1 N NaOH. Labu
erlenmeyer (500 ml) yang mengandung 5 g dedak gandum diberi air dimana rasio berat
substrat terhadap volume larutan (w/v) adalah 1:7 ( kadar padatan 12.5%), kemudian
disterilisasi dalam autoclave pada 120oC selama 15 menit. Setelah dingin, dilakukan
inokulasi biakan dan diinkubasi pada 35oC untuk A. niger dan 30oC untuk T. reesei tanpa
menggunakan pengadukan.

Ekstraksi enzim
Ekstraksi enzim ekstraseluler dilakukan setelah waktu inkubasi tertentu. Untuk
SSF, 100 ml 50 mmolL-1 bufer sodium asetat pH 5.5 yang mengandung 0.1 % Tween-80
ditambahkan ke dalam labu berisi media dedak gandum yang telah diinkubasikan tadi,
dan inkubasi dilanjutkan selama dua jam dengan pengadukan pada 150 rpm. Slurry yang
tersuspensi kemudian disentrifugasi pada 8,000 rpm selama 30 min. Setelah filtrasi
menggunakan kertas saring Whatman no. 2, supernatan jernih diukur aktifitas enzim yagn
ada di dalamnya. Untuk fermentasi terendam, ekstraksi enzim dilakukan langsung dengan
mensentrifugasi kultur biakan tanpa penambahan larutan bufer. Prosedur selanjutnya
sama dengan yang dilakukan pada SSF.

Analisa Enzim
Analisa aktifitas enzim xilanase menggunakan metode dinitrosalicylic acid (DNS)
yang merupakan modifikasi dari metode oleh Gawande dan Kamat (1998) dengan xilosa
sebagai standar. Satu gram xilan birchwood dilarutkan dengan pengadukan dalam 100
mL 50 mM bufer sodium asetat, pH 5.5 pada 60oC. Setelah dididihkan selama beberapa
menit pengadukan dilakukan selama 3 jam pada temperatur ruang. Kedalam 1.8 mL
larutan xilan ini ditambahkan 200 L larutan enzim dan dilakukan inkubasi pada 35oC
selama 10 menit. 3 mL larutan DNS (dibuat dengan mencampurkan 16 g NaOH, 10 g
DNS, 300 g sodium potassium tartrate dan 8 g sodium metabisulfite dalam 1 L air)

72
ditambahkan untuk menghentikan reaksi, kemudian larutan dididihkan selama 5 menit
dan didinginkan dengan cepat menggunakan air es atau air yang mengalir sampai
mencapai suhu ruangan. Xilosa yang diproduksi diukur konsentrasinya dengan mengukur
absorbansinya pada 540 nm. Karena xilan atau xilosa ditambahkan sebagai induser
selama proses pembentukan enzim, maka senyawa ini ada di dalam larutan enzim yang
akan diukur aktifitasnya sehingga akan mempengaruhi pengukuran. Untuk itu pada setiap
pengukuran harus dikonversikan terhadap aktifitas larutan blanko dimana reaksi
enzimatik tidak terjadi yaitu dengan menghentikan reaksi enzimatik segera setelah enzim
ditambahkan ke dalam larutan xilan. Satu unit aktifitas xilanase didefinisikan sebagai
jumlah enzim yang menghasilkan 1 mol xylosa per menit pada kondisi pengujian.
Aktifitas enzim selulase diukur menggunakan metode DNS dengan glukosa sebagai
standar. Kondisi pengukuran mirip dengan kondisi pengukuran enzim xilanase kecuali
penggunaan 1% carboxymethyl cellulose (Nacalai, Osaka, Japan) yang menggantikan
xilan sebagai substrat. Satu unit aktifitas selulase didefinisikan sebagai jumlah enzim
yang menghasilkan 1 mol glukosa per menit pada kondisi pengujian.
Konsentrasi protein ekstraseluler total diukur menggunakan metode Bradford
(Bradford, 1976) dengan bovine serum albumin (BSA) sebagai standar.

Pemurnian dengan Pengendapan menggunakan Ammonium Sulfate


Ammonium sulfate padat ditambahkan pada supernatan hasil ekstraksi enzim
sampai 80% jenuh. Endapan yang terjadi kemudian dikumpulkan dengan sentrifugasi
pada 16,000 rpm selama 30 menit pada 4oC. Endapan yang diperoleh dilarutkan lagi
dalam 50 mM sodium acetate buffer (pH 5.5).

Pemurnian dengan pengendapan menggunakan aseton


Aseton yang sudah didinginkan pada 0oC ditambahkan pada supernatan hasil
ekstraksi dengan perbandingan 1 volume supernatan dengan satu atau lebih volume
aseton dalam sebuah ice bath bercampur garam dengan pengadukan. Endapan yang
dihasilkan kemudian dikumpulkan dengan sentrifugasi pada 16,000 rpm selama 30 menit
pada suhu 4oC. Endapan yang diperoleh dilarutkan kembali dalam 50 mM bufer sodium
acetate (pH 5.5) dan didialisa menggunakan bufer yang sama sebelum dilakukan
pengukuran aktifitas enzim.

Pemurnian dengan Pengendapan Menggunakan Etanol


Etanol yang sudah didinginkan pada 0oC ditambahkan pada supernatan hasil
ekstraksi dengan perbandingan 1 volume supernatan dengan satu atau lebih volume
etanol dalam sebuah ice bath bercampur garam dengan pengadukan. Endapan yang
dihasilkan kemudian dikumpulkan dengan sentrifugasi pada 16,000 rpm selama 30 menit
pada suhu 4oC. Endapan yang diperoleh dilarutkan kembali dalam 50 mM bufer sodium
acetate (pH 5.5) dan didialisa menggunakan bufer yang sama sebelum dilakukan
pengukuran aktifitas enzim.

Dialisa
Dialisa dilakukan menggunakan kantung cellophane yang memiliki cut-off
molecular weight 14,000 Da (Wako size no. 8). Bufer yang digunakan diganti tiga kali

73
yaitu setelah 2, 14 dan 19 jam untuk memastikan hilangnya ammonium sulfate yang
dapat mengganggu proses pemurnian menggunakan ion exchange chromatography.

Pemurnian menggunakan Kromatografi Penukar Ion (Ion Exchange


Chromatography)
Untuk mendapatkan kondisi pH terbaik maupun tipe dari resin penukar ion yang
paling sesuai, pemurnian dengan kromatografi penukar ion dilakukan terlebih dulu
menggunakan system batch dalam 1.5 mL mikrotube. Mikrotube ini berfungsi sebagai
kolom kromatografi skala kecil dengan DEAE-Toyopearl dan Carboxymethyl (CM)-
Toyopearl sebagai resin penukar ion.
Volume purifikasi yang lebih besar dilakukan menggunakan 2.8  23 cm CM-
Toyopearl column yang telah disetimbangkan dengan 10 mM sodium acetate buffer (pH
4.5) dan dielusi dengan gradient liner menggunakan 0 – 1 M NaCl (600 mL) dalam bufer
yang sama.

Electrophoresis dan zymogram


Sodium dodecyl sulfate-polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE)
dilakukan menggunakan 15% acrylamide gels dengan prosedur yang dikembangkan oleh
Laemmli (1970). Gel diaplikasikan pada aliran listrik konstan 15 mA selama kira-kira 2
jam. Dua buah sampel dijalankan secara bersamaan untuk menganalisa secara bersamaan
konstrasi protein (menggunakan Coomassie brilliant blue R-250) dan aktifitas enzim
(dengan 0.25% Congo red).

Hasil dan Diskusi


Pengaruh waktu inkubasi
Pengaruh waktu inkubasi pada aktifitas enzim xilanase dari A. niger dan T. reesei
dalam SSF masing-masing diberikan pada Gambar 1 dan 2. Untuk A. niger, dapat dilihat
pada Gambar 1 bahwa aktifitas xilanase naik secara signifikan ketika waktu inkubasi
dinaikkan dari 2 ke 3 hari dan naik sedikit pada hari ke-4. Walaupun aktifitas enzim
selulase, yang merupakan enzim yang tidak diinginkan dalam aplikasi pada industri pulp
dan kertas, juga naik selam periode waktu ini, nilai aktifitas enzim ini sangat kecil
disbanding enzim xilanase. Demikian juga perbandingan aktifitas xilanase terhadap
selulase naik dari 3.1 menjadi sekitar 6 :1 selama kenaikan waktu inkubasi dari 2 ke 4
hari. Dengan mempertimbangkan factor aktifitas xilanase serta rasio aktifitas enzim
xilanase terhadap selulase, maka waktu inkubasi terbaik adalah 4 hari.
Gambar 2 dan 3 menunjukkan pengaruh waktu inkubasi pada aktifitas enzim
xilanase dari T. reesei masing-masing menggunakan xilan dan xilosa sebagai induser.
Kedua gambar tersebut menunjukkan bahwa aktifitas xilanase naik secara signifikan
ketika waktu inkubasi dinaikkan dari 4 ke 6 hari dan kemudian naik sedikit setelah waktu
inkubasi 6 hari. Aktifitas enzim selulase juga naik selama periode waktu ini dan
perbandingan aktifitas xilanase terhadap selulase relative tetap selam periode kenaikan
waktu inkubasi ini. Berdasarkan kenaikan aktifitas xilanase serta rasio aktifitas xilanase
terhadap selulase maka 7 hari merupakan waktu inkubasi terbaik untuk jamur T. reesei
baik menggunakan xilan maupun xilosa sebagai induser.

74
Produktifitas xilanase dapat dihitung sebagai jumlah atau aktifitas xilanase yang
dihasilkan per satuan volume per satuan waktu. Dari Gambar 1, 2 dan 3, nilai
produktifitas dapat dihasilkan dimana hasilnya diberikan sebagai diagram batang di
masing-masing gambar. Untuk A. niger, mula-mula produktifitas meningkat dengan
naiknya waktu inkubasi. Akan tetapi pada hari ke-4, yaitu ketika aktifitas enzim xilanase
hanya naik sedikit, produktifitasnya turun. Waktu inkubasi 3 hari memberikan
produktifitas tertinggi untuk xilanase dari A. niger. Hasil yang serupa didapatkan untuk
xilanase dari T. reesei. Mula-mula produktifitas xilanase dari T. reesei naik dengan
kenaikan waktu inkubasi sampai hari ke-6. Tetapi pada hari ke-7, ketika kenaikan
aktifitas xilanase tidak setinggi seperti hari-hari sebelumnya, produktifitas xilanase turun.
Waktu inkubasi 6 hari memberikan produktifitas tertinggi untuk xilanse daru T. reesei
baik menggunakan xilan ataupun xilosa sebagai indusernya.

1.6 5.0
1.4
Productivity (U/mL/d)

4.0
1.2
Activity (U/mL)
1.0 3.0
0.8
0.6 2.0

0.4
1.0
0.2
0.0 0.0
2 3 4
Incubation time (d)

Gambar 1. Pengaruh waktu inkubasi terhadap aktifitas enzim xilanase () dan selulase
() dari A. niger menggunakan medium SSF. Produkifitas dari enzim xilanase
ditunjukkan dengan diagram batang.

75
1.4 5.0
Productivity (U/mL/d) 1.2
4.0

Activity (U/mL)
1
0.8 3.0

0.6 2.0
0.4
1.0
0.2
0 0.0
4 5 6 7
Incubation time (d)

Gambar 2. Pengaruh waktu inkubasi terhadap aktifitas enzim xilanase () dan selulase
() dari A. niger dengan xilan sebagai induser menggunakan medium SSF. Produkifitas
dari enzim xilanase ditunjukkan dengan diagram batang.

0.8 5.0
0.7
Productivity (U/mL/d)

4.0
0.6
Activity (U/mL)

0.5 3.0
0.4
0.3 2.0
0.2
1.0
0.1
0 0.0
4 5 6 7
Incubation time (d)

Gambar 3. Pengaruh waktu inkubasi terhadap aktifitas enzim xilanase () dan selulase
() dari A. niger dengan xilosa sebagai induser menggunakan medium SSF. Produkifitas
dari enzim xilanase ditunjukkan dengan diagram batang.

Pengaruh Kadar Air


Fermentasi terendam dan SSF

76
Gambar 4 menunjukkan hasil percobaan untuk membandingkan aktifitas xilanase
dalam fermentasi terendam dan SSF tanpa menggunakan induser. Seperti telah dijelaskan
pada bagian Metodologi, perbandingan berat padatan (g) dan volume likuida (mL) yang
digunakan pada fermentasi terendam yaitu 1 : 100, sedangkan pada SSF adalah 1 : 7.
Aktifitas xilanase dari A. niger pada SSF jauh lebih tinggi dibanding aktifitasnya pada
fermentasi terendam. Untuk T. reesei, kedua jenis fermentasi ini tidak memberikan
perbedaan aktifitas xilanase yang berarti.

5.00
Xylanase activity (U/mL)

4.00

3.00

2.00

1.00

0.00
A. niger T. reesei

Fungal Strains

Gambar 4. Perbandingan aktifitas xilanase antara fermentasi terendam () dan SSF ()
tanpa menggunakan induser menggunakan dua jenis strain jamur yang berbeda.

Pengaruh Jenis Induser


Pengaruh jenis induser pada fermentasi terendam diberikan pada Gambar 5 dan 6
masing-masing dari strain jamur A. niger dan T. reesei. Kedua gambar menunjukkan
bahwa aktifitas xilanase tertinggi didapatkan tanpa menggunakan induser. Induser xilan
maupun xilosa memberikan hasil yang tidak diinginkan dimana aktifitas xilanase yang
dihasilkan malah menjadi turun ketika kedua bahan ini ditambahkan ke dalam media
pertumbuhan. Lebih-lebih, 0.5% xilan menginduksi terbentuknya enzim selulase lebih
dari enzim xilanase. Hasil ini juga tidak diinginkan karena enzim selulase tidak
diharapkan keberadaannya dalam aplikasi pada industri pulp dan kertas. Aktifitas
xilanase yang tertinggi dari A. niger adalah 2.0 U/mL yang merupakan nilai aktifitas yang
jauh lebih tinggi dari aktifitas xilanase dari T. reesei yaitu sekitar 0.9 U/mL.

77
Activity (U/mL) 2.5

2.0

1.5

1.0

0.5

0.0
0.5%xylan 0.5%xylose none

Inducers

Gambar 5. Pengaruh jenis induser pada aktifitas xilanase () dan selulasae () dari A.
niger dalam fermentasi terendam.

1.0
Activity (U/mL)

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0
0.5%xylan 0.5%xylose none

Inducers

Gambar 6. Pengaruh jenis induser pada aktifitas xilanase () dan selulasae () dari T.
reesei dalam fermentasi terendam.

Pengaruh jenis induser terhadap aktifitas xilanase pada SSF ditunjukkan pada
Gambar 7 dan 8 masing-masing menggunakan strain jamur A. niger dan T. reesei. Dari
Gambar 7 dapat dilihat bahwa xilan maupun xilosa tidak memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap aktifitas xilanse dari A. niger. Akan tetapi, seperti ditunjukkan pada
Gambar 8, kedua induser ini menginduksi aktifitas xilanase dari T. reesei secara
signifikan. Aktifitas enzim xilanase naik lebih dari tiga kali dibanding tanpa
menggunakan induser. Walaupun aktifitas enzim selulase juga dijumpai dalam enzim

78
kasar, nilai aktifitasnya jauh lebih rendah dari aktifitas xilanase. T. reesei juga
memberikan rasio aktifitas xilanse terhadap selulase yang lebih besar dari A. niger.
Hasil penelitian yang diberikan pada gambar-gambar di atas menunjukkan bahwa
aktifitas enzim xilanase yang didapatkan dengan metode SSF umumny jauh lebih tinggi
dari aktifitas yang diperoleh dengan metode fermentasi terendam. Hal ini sangat jelas
terutama jika digunakan strain jamur A. niger dengan atau tanpa menggunakan induser
dalam inkubasinya, serta jika digunakan strain jamur T. reesei dengan xilan ataupun
xilosa sebagai indusernya. Kedua strain jamur lebih menyukai media fermentasi padat
dari pada media dengan terlalu banyak air di dalamnya.

5.0

4.0
Activity (U/mL)

3.0

2.0

1.0

0.0
0.5%xylan 0.5%xylose none
Inducers

Gambar 7. Pengaruh jenis induser pada aktifitas xylanase () dan selulase ()dari A.
niger dalam media SSF

79
5.0

Activity (U/mL)
4.0

3.0

2.0

1.0

0.0
0.5%xylan 0.5%xylose none

Inducers

Gambar 8. Pengaruh jenis induser pada aktifitas xylanase () dan selulase ()dari T.
reesei dalam media SSF

Pengaruh konsentrasi induser pada aktifitas enzim xilanase dari T. reesei


Gambar 9 dan 10 masing-masing menunjukkan pengaruh kenaikan konsentrasi
xilan dan xilosa pada aktifitas xilanase dari T. reesei. Kedua gambar menunjukkan bahwa
aktifitas xilanase naik dengan kenaikan konsentrasi xilan ataupun xilosa. Perbandingan
aktifitas xilanase terhadap selulase juga naik seiring dengan kenaikan konsentrasi kedua
induser ini.

6.0

5.0
Activity (U/mL)

4.0

3.0

2.0

1.0

0.0
none 0.5%xylan 1%xylan

Concentration of xylan (%)

Gambar 9. Pengaruh konsentrasi xilan pada aktifitas enzim xilanase () dan selulase ()
dari T. reesei pada media SSF.
80
6.0

5.0
Activity (U/mL)

4.0

3.0

2.0

1.0

0.0
none 0.5%xylose 1%xylose

Concentration of xylose (%)

Gambar 10. Pengaruh konsentrasi xilosa pada aktifitas enzim xilanase () dan selulase
() dari T. reesei dalam SSF

Pengaruh Tween-80 pada aktifitas xilanase


Pengaruh Tween-80 pada aktifitas xilanase dari A. niger dan T. reesei dalam media
SSF diberikan pada Gambar 11 dan 12. Seperti ditunjukkan pada Gambar 11, Tween-80
tidak memberikan pengaruh yang berarti pada kenaikan aktifitas enzim xilanase dari A.
niger. Konsentrasi induser yang lebih tinggi bahkan berakibat buruk dimana aktifitas
enzim xilanase malah turun secara signifikan. Untuk T. reesei, Gambar 12 dengan jelas
menunjukkan bahwa keberadaan Tween-80 menurunkan aktifitas enzim xilanase dan
konsentrasi Tween-80 yang semakin tinggi akan memperbesar pengaruh penurunan
aktifitas enzim xilanase yang dihasilkan. Hasil ini berbeda dengan beberapa hasil yang
didapatkan sebelumnya (Bertrand dkk., 1989; Liu dkk., 1998; Goes, 1999; Ding dkk.,
2004). Dalam laporan yang merekan sampaikan, konsentrasi Tween-80 sampai dengan
1.5% menginduksi aktifitas xilanase secara cukup signinfikan.

81
5.0

4.0
Activity (U/mL)

3.0

2.0

1.0

0.0
0 0.1 0.5 1

Concentration of Tween-80 (%)

Gambar 11. Pengaruh konsentrasi Tween-80 dalam medium terhadap aktifitas enzim
xilanase () dan selulase () dari A. niger dalam media SSF

6.0

5.0
Activity (U/mL)

4.0

3.0

2.0

1.0

0.0
0 0.1 0.5 1

Concentration of Tween-80 (%)

Gambar 12. Pengaruh konsentrasi Tween-80 dalam medium terhadap aktifitas enzim
xilanase () dan selulase () dari T. reesei dalam media SSF menggunakan 0.5% xilan
sebagai induser.

Kondisi kultur terbaik


Dari hasil studi untuk melihat pengaruh berbagai parameter penting yang berperan
dalam peningkatan aktifitas enzim xilanase seperti telah diberikan di atas, telah

82
didapatkan kondisi kultur terbaik untuk kedua jenis strain jamur yang digunakan. Gambar
13 menunjukkan hasil terbaik yang memberikan aktifitas enzim yang tertinggi. Dengan
menggunakan 1% xilan sebagai induser tanpa penambahan Tween-80, diperoleh aktifitas
xilanase tertinggi yaitu sekitar 7 U/mL dengan menggunakan T. reesei. Konsentrasi xilan
yang lebih tinggi sangat mungkin akan menghasilkan nilai aktifitas yang lebih tinggi,
tetapi dengan pertimbangan harga xilan yang mahal, hal ini tidak ekonomis terlebih jika
akan diproduksi enzim xilanase dalam jumlah yang besar. Sebagai perbandingan, dengan
menggunakan induser yang harganya lebih murah yaitu xilosa, aktifitas xilanase yang
juga tinggi yaitu sebesar 6 U/mL berhasil dihasilkan dengan menggunakan konsentrasi
xilosa sebesar 1%. Dengan menggunakan strain jamur A. niger, aktifitas xilanase
tertinggi yaitu sebesar 4.7 U/mL yang diperoleh tanpa menggunakan induser maupun
Tween-80 dalam medium pertumbuhannya. Walaupun aktifitas xilanase yang tertinggi
yang dihasilkan dari jamur A. niger lebih kecil dari aktifitas xilanase yang dihasilkan dari
T. reesei, akan tetapi karena aktifitas tertinggi dengan A. niger diperoleh tanpa
menggunakan induser apapun, produksi enzim xilanase dari jamur A. niger masih
merupakan pilihan yang menarik dari sudut pandang ekonomi.

8.0

7.0

6.0
Activity (U/mL)

5.0

4.0

3.0

2.0

1.0

0.0
A B C

Gambar 13. Kondisi terbasik pada media SSF menggunakan jamur T. reesei
menggunakan (A) 1% xylan dan 0% Tween-80, (B) 1% xilosa dan 0% Tween-80, dan
juga (C) menggunakan jamur A. niger tanpa induser dan tanpa Tween-80. () mewakili
aktifitas enzim xilanase sedangkan () mewakili enzim selulase.

Purifikasi dengan pengendapan


Eksperimen berikutnya dilakukan untuk memurnikan enzim kasar yang memiliki
aktifitas tertinggi yang dihasilkan dari prosedur di atas. Karena T. reesei memberikan

83
aktifitas xilanase yang labih tinggi, maka enzim kasar dari T. reesei dipilih sebagai model
untuk melakukan strategi pemurnian bertingkat. Dengan metode pengendapan
menggunakan ammonium sulfate, aktifitas spesifik naik setelah ditambahkan sampai
dengan 80% saturasi ammonium sulfate dan naik lagi setelah dilakukan dialisa.
Didapatkan perolehan (recovery) sebesar 87% seperti ditunjukkan pada Tabel 1.
Pengendapan dengan aseton dan etanol juga dilakukan akan tetapi kedua metode ini tidak
memberikan hasil yang lebih baik dibanding pengendapan dengan ammonium sulfate
(datanya tidak ditunjukkan).

Pemurnian dengan Kromatografi Penukar Ion


Gambar 14 menunjukkan pengaruh pH pada adsorpsi enzim menggunakan DEAE-
Toyopearl, suatu resin penukar ion yang lemah. Seperti ditunjukkan pada gambar ini,
adsorpsi tertinggi menggunakan jenis ion ini hanya sebesar 30 % saja yang diperoleh
pada pH 5. Jumlah enzim yang diadsorp pada pH yang lebih rendah ataupun lebih tinggi
dari pH optimal ini cenderung lebih kecil nilainya.

35

30
Enzyme adsorbed (%)

25

20

15

10

0
3 4 5 6 7 8 9
pH

Gambar 14. Pengaruh pH pada prosentase adsorpsi xilanase pada kolom kromatografi
DEAE-Toyopearl secara batch dalam sebuah microtube.

Untuk melakukan klarifikasi terhadap fenomena dalam Gambar 14, maka dilakukan
eksperimen untuk mengetahui pH optimum dan stabilitas pH. Dimana hasilnya
ditunjukkan masing-masing pada Gambar 15 dan 16. Kedua gambar menunjukkan
bahwa enzim xilanase yang dihasilkan dalam percobaan ini aktif dan stabil pada rentang
pH 4 – 8.1. Oleh karena itu jelas bahwa penurunan jumlah adsorpsi dalam Gambar 14
bukan disebabkan karena inaktifasi enzim tetapi karena berkurangnya kemampuan resin
untuk melakukan adsorpsi pada pH tertentu.

84
3

Xylanase activity (U/mL)


2

0
3 4 5 6 7 8 9
pH

Gambar 15. Hasil eksperiment untuk nilai pH optimum untuk xylanase

100
Remaining activity (U/mL)

98
96
94
92
90
88
86
84
82
80
0 5 10 15 20 25 30
Tim e (h)

Gambar 16. Hasil eksperimen untuk melihat stabilitas enzim xilanase pada 30oC pada
berbagai nilai pH yaitu pH () 4, () 4.5, () 5, () 5.5, () 6, () 6.6, () 7, ()
7.6, dan () 8.1.

Eksperimen berikutnya dilakukan menggunakan jenis resin yang lain yaitu


Carboxymethyl (CM)-Toyopearl, suatu resin penukar kation yang lemah, dan hasilnya
ditunjukkan pada Gambar 17. Pada rentang pH 4 sampai 5, hampir 100 % enzim mampu
diadsorp menggunakan jenis resin ini. Pada pH yang lebih tinggi adsorpsi yang terjadi
lebih sedikit.

85
100
90
80
Enzyme adsorbed (%)

70
60
50
40
30
20
10
0
3 4 5 6 7 8 9
pH

Gambar 17. Pengaruh pH pada prosentase xilanase yang diadsorp menggunakan kolom
kromatografi CM-Toyopearl yang dilakukan secara batch dalam sebuah microtube.

Dari Gambar 15 tampak bahwa nilai pH optimum untuk enzim xilanase adalah
sekitar 8. Nilai pI dari enzim pada umumnya berada sekitar nilai pH optimumnya.
Dengan demikian dengan mengaplikasikan bufer yang memiliki nilai pH kurang dari pI,
maka enzim akan berfungsi sebagai protein basa atau protein bermuatan positif. Hal
inilah yang mungkin menyebabkan resin penukar kation memberikan hasil yang jauh
lebih baik pada adsorpsi enzim xilanase pada pH rendah.
Eksperimen berikutnya menggunakan 2.8  23 cm CM-Toyopearl pada pH 4.5 dan
hasilnya diberikan pada Gambar 18. Metode ini memberikan hampir 100 % perolehan
xilanase relatif terhadap jumlah enzim xilanase yang diaplikasikan pada kolom. Hasil
seluruh proses pemurnian enzim diberikan pada Tabel 1.
Hasil eksperimen menggunakan SDS-PAGE ditunjukkan pada Gambar 19. Berat
molekul xilanase murni didapatkan sebesar 27 kDa. Pada enzim xilanase murni ini tidak
dijumpai aktifitas enzim selulase dimana hal ini merupakan hasil yang sangat penting
untuk aplikasi pada skala industri maupun untuk melakukan penelitian lanjut yang
membutuhkan derajat kemurnian enzim xilanase yang tinggi.

Kesimpulan
Beberapa hasil penting dari percobaan yang telah dilakukan dapat diringkaskan
sebagai berikut:
1. Berdasarkan tingginya aktifitas enzim xilanase serta perbandingan aktifitas xilanase
terhadap enzim selulase yang tinggi, maka 4 dan 7 hari merupakan waktu inkubasi
terbaik masing-masing untuk A. niger dan T. reesei. Akan tetapi hari ke-3 dan ke-6
memberikan produktifitas xilanase yang tertinggi masing-masing untuk A. niger dan
T. reesei.
2. Aktifitas xilanase dari A. niger pada fermentasi media padat atau solid state
fermentation (SSF) pada mana perbandingan dedak gandum padat (gr) terhadap air
(mL) adalah 1 : 7 (12.5% w/v padatan) jauh lebih tinggi dari pada aktifitas xilanase

86
menggunakan fermentasi terendam (1% w/v padatan). Untuk T. reesei, tanpa
menggunakan induser, kedua jenis fermentasi ini tidak memberikan perbedaan yang
signifikan.
3. Pada fermentasi terendam, aktifitas xilanase tertinggi yaitu sebesar 2.0 U/mL dan 0.9
U/mL masing-masing dihasilkan dari A. niger dan T. reesei. Kedua jenis strain jamur
ini memberikan aktifitas xilanase yang tertinggi tanpa menggunakan induser jika
dikultivasi pada kondisi fermentasi terendam.
4. Pada SSF, didapatkan bahwa xilan dan xilosa tidak memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap aktifitas enzim xilanase yang dihasilkan dari A. niger. Akan
tetapi, kedua induser ini menginduksi aktifitas xilanase secara cukup signifikan jika
digunakan strain jamur T. reesei. Dalam hal ini xilan memberikan efek induksi yang
lebih tinggi dari pada xilosa. Aktifitas enzim xilanase naik lebih dari 3 kali lipat
dibanding tanpa menggunakan induser. Dengan menaikkan konsentrasi induser,
maka aktifitas enzim xilanase akan lebih tinggi.
5. Penambahan Tween-80 selama inkubasi tidak memberikan pengaruh yang berarti
terhadap kenaikan aktifitas enzim xilanase.
6. Pada seluruh kondisi fermentasi, walapun aktifitas enzim selulase juga didapatkan,
akan tetapi aktifitasnya jauh lebih rendah dari aktifitas enzim xilanasenya. Hal ini
merupakan faktor yang menguntungkan untuk pengaplikasian enzim ini pada skal
industri.
7. T. reesei memberikan perbandingan aktifitas xilanase terhadap selulase yang lebih
tinggi dibanding A. niger. Aktifitas xilanase tertinggi didapatkan sebesar 7.0 U/mL
yang diperoleh dari T. reesei tanpa menggunakan Tween-80 dan menggankan 1%
xilan. Hal ini setara dengan produktifitas sebesar 1200 U/L/d. Jika digunakan xilosa
sebagai indusernya, aktifitas xilanase yang tertinggi yaitu sebesar 6.2 U/mL yang
diperoleh pada kondisi 0% Tween-80 dan 1% xilosa. Hal ini setara dengan
produktifitas sebesar 1000 U/L/d. Aktifitas xilanase dari A. niger yang tertinggi yaitu
sebesar 4.7 U/mL yang didapatkan pada kondisi 0% Tween-80 serta tanpa
menggunakan induser. Hal ini setara dengan produktifitas sebesar 1570 U/L/d.
Secara umum, aktifitas yang diperoleh dari T. reesei lebih tinggi dibanding A. niger,
akan tetapi karena A. niger memiliki waktu inkubasi yang lebih rendah, produktifitas
enzimnya lebih tinggi.
8. Pemurnian enzim dengan pengendapan menggunakan ammonium sulfate
memberikan hasil yang lebih baik dibanding dengan menggunakan aseton dan
etanol.
9. Dari hasil eksperimen menggunakan kromatografi penukar ion yang dilakukan
menggunakan 1,5 mL microtube pada berbagai nilai pH, didapatkan bahwa adsorpsi
menggunakan DEAE-Toyopearl, sebuah resin penukar anion yang lemah, hanya
menghasilkan adsorpsi sebesar 30 % saja yang didapatkan pada pH 5. Dengan
menggunakan CM-Toyopearl, resin penukar kation yang lemah, diperoleh hampir
100 % adsorpsi pada pH 4 sampai 5, dengan adsorpsi makimum pada pH 4.5.
10. Nilai pH optimum enzim xilanase yang dihasilkan dari penelitian ini yaitu sekitar 8.
Enzim stabil pada rentang pH 4 - 8.1. Hampir tidak didapatkan kehilangan aktifitas
enzim ini setelah 28 jam inkubasi pada 30oC pada rentang pH yang lebar ini.

87
11. Dari penelitian menggunakan 2.8  23 cm kolom CM-Toyopearl pada pH 4.5,
didapatkan kenaikan aktifitas spesifik dari 3.5 U/mg menjadi 36 U/mg dengan
perolehan total sebesar 81%.
12. Berdasarkan penelitian menggunakan SDS-PAGE, didapatkan bahwa berat molekul
enzim xilanase ini adalah 27 kDa. Tidak didapatkan aktifitas enzim selulase pada
enzim xilanase yang telah dimurnikan ini.

Tabel 1. Langkah pemurnian enzim xilanase dari T. reesei dan hasilnya.


Cellulase Spesific
Xylanase activity Proteins activity of Purification
Purification steps Yield
activity (IU) (IU) (mg) xylanase fold
(IU/mg)
Crude xylanase 93 9.1 26 3.5 1 100
(NH4)2SO4
81 7.6 10 8.1 2 87
precipitation
CM-Toyopearl 75 0 2 36 10 81

Xylanase activity Abs at 280 nM --- NaCl

4 0.1 1.0
Xylanase activity (U/mL)

3
0.08 0.8

NaCl (M)
Abs. At 280 nm
3
2 0.06 0.6
2 0.04 0.4
1
0.02 0.2
1

0 0 0
0 10 20 30 40
Fraction no.

Gambar 18. Hasil pemurnian menggunakan kromatografi penukar ion CM-Toyopearl

88
(kDa)
200
114
89
61
47
35.5

29.5

20.5

a b c

Gambar 19. Analisa SDS-PAGE pada (a) enzim xilanase kasar dan (b) enzim xilanase
murni menggunakan 15% acrylamide. (c) adalah protein marker.

Daftar Pustaka
Bertrand, J.L., Morosoli, R., Shareck, F. & Kluepfel, D. 1989 Expression of the xylanase
gene of Streptomyces lividans and production of the enzyme on natural
substrates. Biotechnology and Bioengineering 33, 791–794.
Bradford, M.M., A Rapid and Sensitive Method for The Quantitation of Microgram
Quantities of Protein Utilizing The Principles of Protein Dye Binding,
Analytical Biochemistry, 72, 248-254, 1976
Collins, T., Gerday, C., dan Feller, G., Xylanases, xylanase families and extremophilic
xylanases, FEMS Microbiology reviews, 29 3-23, 2005.
C.H. Ding, Z.Q. Jiang, X.T. Li, L.T. Li, and I. Kusakabe: High activity xylanase
production by Streptomyces olivaceoviridis E-86, World Journal of
Microbiology & Biotechnology 20: 7–10, 2004.
Gawande, P.V. and Kamat, M.Y. Immobilization of Aspergillus sp. On nylon bolting
cloth for production of xylanase, J. Ferment. Bioeng., 86 (2), 243-246 (1998).
Goes, A.P. 1999 The efects of surfactants on the solid substrate fermentation of potato
starch. PhD thesis, McGill University, Montreal, Canada.
Laemmli, U.K. 1970. Cleavage of structural proteins during the assembly of the head of
bacteriophage T4. Nature 277: 680-685
Liu, W., Zhu, W., Lu Y., Kong, J. & Ma, G. 1998 Production, partial purifcation and
characterization of xylanase from Trichosporon cutaneum SL409. Process
Biochemistry 33, 331–336.
Sa-Pereira, P., Paveia, H., Costa-Ferreira, M., and Aires-Barros, M.R., Review: A look at
xylanases, an everview of purification strategies, Molecular Biotechnology, 24,
257-281 (2003).
Subramaniyan, S. and Prema, P. Biotechnology of Microbial Xylanases: Enzymology,
Molecular biology, and Application, Critical Reviews in Biotechnology, 22 (1),
33-64, 2002.

89
Bab 6
Produksi Enzim Selulase Dan Aplikasinya Pada Hidrolisis
Jerami Padi
Pendahuluan
Hidrolisis lignoselulosa telah banyak dipelajari. Dewi (2002b) mem-pelajari
hidrolisis berbagai macam limbah pertanian menggunakan selulase dari Neurospora
sitophila yang dibuat dalam substrat campuran sabut kelapa dengan tandan kosong
sawit dengan perbandingan 1 : 1. Hasilnya menunjukkan bahwa jerami padi lebih sulit
dihidrolisis dibandingkan dengan serbuk gergaji maupun sabut kelapa. Raghavendra
dkk. (2007) juga mempelajari hidrolisis berbagai limbah pertanian yang
didelignifikasi dengan NaOH 3% menggunakan selulase murni. Hasilnya
menunjukkan bahwa perolehan gula reduksi tertinggi dihasilkan dari bagas tebu yaitu
71,3 mg/g bagas diikuti oleh jerami gandum yaitu 49,8 mg/g jerami dan yang
terrendah adalah dari jerami padi yaitu 40,9 mg/g jerami. Perolehan yang dicapai oleh
kedua peneliti tersebut masih rendah karena untuk menghidrolisis lignoselulosa
diperlukan lebih dari satu jenis enzim.
Selulase dapat dihasilkan dari berbagai macam mikroorganisme, tetapi hanya
sedikit yang memproduksi selulase yang cukup untuk menghidrolisis selulosa
kristalin secara sempurna. T. reesei mampu memproduksi selulase dengan komposisi
60–80% ekso-1,4-β-D-glucanase, 20–36 % endo-1,4-β-D-glucanases and 1% 1,4-β-D-
glucosidases (Ahamed dan Vermette, 2008). Jumlah 1,4-β-D-glucosidases tersebut
lebih rendah dari yang diperlukan untuk memecah selobiosa menjadi glukosa secara
efisien. Akibatnya produk utama hidrolisisnya adalah selobiosa (Juhasz dkk., 2003;
Martins dkk., 2008; Ahamed dan Vermette, 2008), yang merupakan inhibitor kuat
terhadap aktivitas ekso dan endoglukanase sehingga dapat menurunkan laju hidrolisis
secara signifikan. Efek inhibisi selobiosa dapat dikurangi dengan cara menambahkan
β-glucosidase dari luar atau memproduksi selulase dengan cara mengkombinasikan
mikroorganisme yang memilki kemampuan tinggi dalam memproduksi endo dan
eksoglukanase seperti T. reesei dengan mikroorganisme yang memiliki kemampuan
tinggi dalam memproduksi -glucosidase seperti A. niger (Ahamed dan Vermette,
2008). Produksi selulase menggunakan biakan campuran 24 bagian spora A. niger
MSK–7 dengan 1 bagian spora T. viride MSK–10 dalam substrat hidrolisat kapas
menghasilkan aktivitas selulase 59–66% lebih tinggi dari biakan tunggal (Haq dkk.,
2005). Produksi selulase menggunakan biakan campuran T. reesei RUT–C30 dengan
A. niger ATCC–10535 dalam substrat selulosa yeast-extract menghasilkan enzim
yang memiliki aktivitas CMCase 4,2 U/mL, satu setengah kali enzim yang dihasilkan
menggunakan kultur tunggal A. niger (Ahamed dan Vermette, 2008).
Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi enzim yang efektif untuk
menghidrolisis jerami padi. Secara khusus dipelajari pengaruh rasio spora T. reesei
dengan spora A. niger dan waktu inkubasi terhadap aktivitas selulase yang dihasilkan
pada substrat jerami padi dan substrat pohon jagung. Perubahan konsentrasi nutrisi
dan penambahan surfaktan juga dipelajari. Kondisi kerja optimum enzim yang
dihasilkan ditentukan melalui dua tahap untuk menguji aktivitas enzim dan
stabilitasnya.

Metodologi
Bahan Baku

90
Jerami padi yang digunakan sebagai substrat diperoleh dari sekitar kampus
Institut Teknologi Sepuluh Nopember–Surabaya dan pohon jagung dari Jombang.
Mikroorganisme yang digunakan untuk memproduksi selulase adalah T. reesei yang
dari Laboratorium Mikrobiologi–Jurusan Biologi–Fakultas Sain dan Teknologi–
Universitas Airlangga–Surabaya dan A. niger ITBCC F74 yang diperoleh dari
Laboratorium Mikrobiologi–Departemen Teknik Kimia–Fakultas Teknologi Industri–
Institut Teknologi Bandung. Kedua strain dikembangbiakkan pada media potato
dextrose agar (PDA) miring, setelah tujuh hari disimpan dalam lemari pendingin pada
suhu 4C sebagai biakan persediaan dan diperbaharui setiap satu bulan.

Penyiapan Bahan Baku


Jerami padi dan pohon jagung dijemur sebagai pengeringan pendahuluan.
Jerami yang telah dikeringkan tersebut dipotong kurang lebih 5 mm kemudian
digiling menggunakan penggiling sereal, diayak 149 m dan 105 m, dikeringkan
pada suhu 80C selama 8 jam kemudian disimpan dalam kemasan tertutup agar
kandungan air tidak berubah.

Pengolahan Awal Jerami


Serbuk jerami didelignifikasi menggunakan larutan NaOH 2% dan 4% pada
temperatur 80 oC selama 6 jam. Untuk menjaga konsentrasi NaOH pada konsentrasi
yang ditetapkan, uap air dikondensasi menggunakan kondensor refluks. Bubur jerami
dicuci menggunakan air, kemudian dipanaskan pada suhu 70 oC selama 8 jam dalam
oven. Bubur jerami kering dianalisa kandungan selulosa, hemiselulosa dan ligninnya
menggunakan metoda Chesson (Datta. Perubahan morfologi jerami sebelum dan
sesudah didelignifikasi diamati menggunakan scanning electron microscope (SEM)
(Zeiss EVO MA 10, British).

Pembuatan Enzim
Enzim selulase dibuat dengan cara fermentasi padat dalam labu Erlenmeyer
250 mL. Substrat untuk produksi enzim digunakan dua macam yaitu serbuk jerami
padi dan serbuk pohon jagung dengan ukuran partikel 149 m. Lima gram substrat
dimasukkan kedalam labu Erlenmeyer kemudian ditambahkan 30 mL larutan nutrisi
yang dalam tiap liternya mengandung 1,0 g ekstrak ragi (Oxoid-England); 1,5 g
bacteriogical peptone (Oxoid-England); 1,4 g (NH4)2SO4; 2,0 g KH2PO4; 5 mg
FeSO4·7H2O; 5 mL CMC 1% (Merck-Germany) dalam bufer asetat 0,1 M dengan pH
5,5. Substrat kemudian disterilisasi pada 121 °C selama 15 menit.
Biakan T. reesei dan A. niger dalam agar miring disuspensikan menggunakan
10 mL larutan salin 0,85% yang mengandung surfaktan Tween 80 dengan konsentrasi
0,1%. Enam mililiter campuran suspesi jamur T. reesei dan A. niger yang
mengandung 107 – 108 spora/mL diinokulasikan secara aseptik ke dalam labu
Erlenmeyer yang telah berisi substrat dan nutrisi yang telah disterilisasi. Inokulasi
dilakukan di dalam laminar flow kemudian diinkubasi selama 4, 6 dan 8 hari.
Enzim dipanen menggunakan 100 mL larutan yang mengandung Tween 80
0,1% dalam buffer asetat 0,1 M atau buffer sitrat 0,1 dengan pH 5,5. Larutan enzim
dikocok menggunakan orbital shaker pada 175 rpm kemudian disentrifugasi pada
5.000 rpm selama 1 jam dan disaring untuk mendapatkan cairan enzim (supernatan).

Pengaruh Perubahan Konsentrasi Nutrisi dan Penambahan Surfaktan


Pengaruh perubahan konsentrasi nutrisi diamati setelah diperoleh kondisi
optimum untuk produksi enzim, dilakukan dengan cara menggandakan konsentrasi

91
nutrisi, menambahkan surfaktan Tween 80 0,1% kedalam larutan nutrisi serta
menggandakan konsentrasi nutrisi dan juga menambahkan Tween 80 0,1%.

Pengukuran Aktivitas Enzim


Aktivitas enzim ditentukan berdasarkan CMCase. Dua ratus L enzim
dicampur dengan 1,8 mL larutan carboxymetil cellulose (CMC) 1% kemudian
diinkubasi selama 10 menit pada temperatur pengujian 35 C. Satu unit aktivitas (U)
didefinisikan sebagai jumlah aktivitas enzim yang diperlukan untuk menghasilkan 1
mol glukosa tiap menit. Konsentrasi glukosa ditentukan menggunakan metoda
dinitrosalicylic acid (DNS) (Miller, 1959) dan absorbansi diukur menggunakan
spektofotometer CECIL CE 1011 seri 1000.

Penentuan Temperatur dan pH Kerja Optimum Enzim


Penentuan kondisi kerja optimum enzim pada dasarnya adalah penentuan
aktivitas enzim, perbedaannya adalah inkubasi enzim dilakukan pada temperatur dan
pH yang divariasikan.

Penentuan Stabilitas Enzim


Kondisi paling stabil ditentukan dengan cara diinkubasi pada berbagai pH
dan temperatur selama 10 jam tanpa penambahan CMC. Dua ratus mikroliter enzim
kemudin ditentukan aktivitasnya seperti pada sub-bab 3.2.6.

Hasil dan Pembahasan


Pembuatan Enzim
a. Aktivitas Enzim
Hasil pengamatan pengaruh waktu inkubasi dan rasio spora T. reesei
terhadap spora A. niger diperlihatkan pada Gambar 3.2a dan 3.2b masing-masing
untuk substrat serbuk jerami padi dan serbuk pohon jagung. Perbandingan jumlah
spora T. reesei dengan spora A. niger dinyatakan sebagai Tr/An dengan total spora
107–108 spora/ mililiter. Aktivitas enzim tertinggi diperoleh menggunakan A. niger
tunggal (Tr/An = 0/1) adalah 1,69 U/mL yang dicapai dengan waktu inkubasi 8 hari.
Aktivitas tersebut hampir sama dengan yang dihasilkan menggunakan T. reesei
tunggal (Tr/An = 1/0) yaitu 1,66 U/mL yang diperoleh pada waktu inkubasi 6 hari.
Hal ini menunjukkan bahwa strain A. niger dan T. reesei menghasilkan selulase
dengan aktivitas yang sama jika menggunakan jerami padi sebagai substrat, akan
tetapi T. reesei menghasilkan enzim tertinggi dalam waktu yang lebih singkat.
Gambar 3.2b menunjukkan kesamaan dengan Gambar 3.2a, yaitu aktivitas
enzim tertinggi dihasilkan oleh A. niger tunggal (Tr/An = 0/1) dan T. reesei tunggal
(Tr/An = 1/0) masing-masing pada waktu inkubasi 8 dan 6 hari. Akan tetapi aktivitas
enzim yang dihasilkan baik oleh A. niger maupun T. reesei menggunakan substrat
pohon jagung lebih rendah dari yang dihasilkan menggunakan substrat jerami padi.
Aktivitas yang dihasilkan oleh T. reesei pada substrat pohon jagung adalah 1,30
U/mL, sedikit lebih tinggi dari yang dihasilkan oleh A. niger yaitu 1,15 U/mL.
Aktivitas selulase yang dihasilkan menggunakan substrat jerami padi pada penelitian
ini, 23–47% lebih tinggi dari yang dihasilkan menggunakan substrat pohon jagung.
Hal ini karena jerami padi merupakan sumber selulosa sulit dirombak (Raghavendra
dkk., 2007; Dewi 2002b) dan enzim yang dihasilkan dari substrat yang lebih sukar
dirombak, aktivitasnya lebih tinggi (Chen dan Waymen, 1992). Aktivitas enzim yang

92
dihasilkan masih lebih rendah dari yang dihasilkan oleh Ahamed dan Vermentte
(2008) yaitu 4,2 U/mL yang produksinya menggunakan T. reesei RUT-C30 dan
substrat selulase yeast extract dalam reaktor tangki berpengaduk.

2.0

1.5
Aktivitas (U/mL)

1.0

(a)
0.5

0.0
4 6 8
(a) Waktu inkubasi (hari)
2.0

1.5
Aktivitas (U/mL)

1.0

0.5

0.0
4 6 8
(b)
Waktu inkubasi (hari)
Tr/An = 0/1 Tr/An = 0/1 Tr/An = 0/1 Tr/An = 0/1

Gambar 3.2 Pengaruh waktu inkubasi dan perbandingan spora T. reesei dengan A. niger
terhadap aktivitas selulase, (a) pada substrat jerami padi dan (b) pada substrat pohon jagung.
Tr/An adalah rasio spora T. reesei dengan A. niger.

Aktivitas enzim yang dihasilkan oleh biakan campuran seluruhnya lebih


rendah dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh biakan tunggal, tidak sesuai dengan

93
hasil yang diperoleh Haq dkk. (2005) maupun Ahamed dan Vermette (2008) yaitu
biakan campuran menghasilkan selulase dengan aktivitas lebih tinggi. Perbedaan
tersebut dimungkinkan karena Haq dkk. (2005) serta Ahamed dan Vermette (2008)
memproduksi enzim dengan cara fermentasi tersuspensi (submerged) sedangkan pada
penelitian ini dilakukan dengan cara fermentasi permukaan (padat). Perbedaan juga
dimungkinkan karena adanya interaksi antara kedua jenis mikroorganisme sehingga
terjadi gangguan metabolisma.
Enzim kasar yang dihasilkan memiliki aktivitas selulase dan xilanase.
Sampel enzim dari A. niger yang memiliki aktivitas selulase 0,73 U/mL memiliki
aktivitas xilanase sebesar 2,37 U/mL dan sampel enzim dari T. reesei yang memiliki
aktivitas selulase sebesar 1,29 U/mL, memiliki aktivitas xilanase sebesar 4,45 U/mL.
Hal ini dikarenakan T. reesei maupun A. niger memiliki kemampuan untuk
menghasilkan kedua jenis enzim tersebut. Xiong dkk. (2005) memproduksi xilanase
dari berbagai macam hidrolisat yang banyak mengandung L-arabinosa menggunakan
T. reesei Rut C-30. Aktivitas xilanase yang dihasilkan 1,5–2,8 U/mL. Setiap jenis
substrat yang digunakan, menghasilkan selulase dengan aktivitas rata-rata 0,5 U/mL.
Ncube dkk. (2012) memproduksi xilanase dan selulase menggunakan A. niger
FGSCA733 dari biji jarak. Aktivitas selulase yang dihasilkan pada inkubasi selama 6
hari kurang lebih 30% dari aktivitas xilanase.
Makin tinggi aktivitas enzim yang dihasilkan memberikan keleluasaan
pengaturan tingkat aktivitas pada saat aplikasinya, akan tetapi perlu juga
memperhatikan waktu yang diperlukan untuk memperoleh aktivitas enzim yang tinggi
tersebut. Waktu yang diperlukan untuk memperoleh aktivitas yang sama semakin
singkat, makin tinggi produktivitasnya dan makin menguntungkan. Gambar 3.3a
menunjukkan bahwa produktivitas T. reesei pada substrat serbuk jerami padi maupun
substrat serbuk pohon jagung lebih besar dibandingkan dengan produktivitas A. niger.
Produkstivitas T. reesei monoton turun dari 0,337 U/mL.hari dengan waktu inkubasi 4
hari menjadi 0,140 U/mL.hari dengan waktu inkubasi 8 hari sedangkan produktivitas
A. niger mengalami sedikit kenaikan dari 0,189 U/mL.hari pada inkubasi 4 hari
menjadi 0,211 U/mL.hari pada inkubasi 8 hari. Produktivitas T. reesei pada substrat
pohon jagung (Gambar 3.3b) juga monoton turun dari 0,308 U/mL. hari pada
inkubasi 4 hari menjadi 0,162 U/mL.hari. Produktivitas A. niger pada substrat
pohon jagung juga monoton turun tetapi tidak terlalu besar yaitu 0,175 U/mL.hari
pada hari ke 4 menjadi 0,162 U/mL.hari pada hari ke 8.

94
0.4
produktivitas (U/mL/hari)

0.3

0.2

0.1

0.0
4 6 8
(a)
Waktu inkubasi (hari)

0.4
produktivitas (U/mL/hari)

0.3

0.2

0.1

0.0
4 6 8
(b)
Waktu inkubasi (hari)

Tr/An = 0/1 Tr/An = 0/1 Tr/An = 0/1 Tr/An = 0/1


Gambar 3.3 Pengaruh waktu inkubasi dan perbandingan spora T. reesei dengan A. niger
terhadap produktivitas selulase, (a) substrat jerami padi dan (b) substrat pohon jagung. Tr/An
adalah rasio spora T. reesei dengan A. niger.

95
b. Pengaruh Konsentrasi Nutrisi dan Penambahan Surfaktan
Pengaruh perubahan nutrisi diamati pada kondisi dan strain dimana pada
percobaan sebelumnya menghasilkan aktivitas enzim tertinggi, yaitu pada substrat
serbuk jerami padi menggunakan A. niger. Tabel 3.1 menunjukkan bahwa pada
peningkatan konsentrasi nutrisi sebesar dua kali konsentrasi sebelumnya tanpa disertai
penambahan surfaktan, aktivitas enzim yang dihasilkan turun dari 1,69 U/mL menjadi
1,36 U/mL. Hal ini berarti bahwa konsentrasi nutrisi sebelum digandakan sudah
optimum untuk produksi selulase menggunakan A. niger. Peningkatan konsentrasi
nutrisi sampai konsentrasi tertentu dapat menstimulasi metabolisme sel, akan tetapi
pada konsentrasi yang terlalu tinggi dapat menjadi inhibitor (Grady dkk., 1999).
Aktivitas enzim yang dihasilkan pada penambahan surfaktan Tween 80 0,1%
tanpa penggandaan konsentrasi nutrisi adalah 0,91 U/mL, juga lebih kecil
dibandingkan dengan aktivitas enzim yang dihasilkan tanpa penambahan surfaktan
Tween 80. Penambahan surfaktan Tween 80 disertai penggandaan konsentrasi nutrisi
memberikan efek negatif ganda. Penambahan surfaktan dapat memperbaiki
permukaan sel sehingga memungkinkan difusi substrat lebih baik, tetapi karena
substrat yang berdifusi lebih banyak dari yang diperlukan, mengakibatkan gangguan
metabolisme dalam sel. Reese dan Maguire (1969) melaporkan bahwa aktivitas
selulase yang dihasilkan pada penambahan larutan 0,1% Tween 80 pada umumnya
meningkat, akan tetapi untuk T. viride QM6a, Penicillium brazilianum QM 6947 dan
Penicillium parvum QM 1878, penambahan surfaktan Tween 80 0,1% mengakibatkan
penurunan aktivitas glukanase 30–50%.

Tabel 3.1 Pengaruh perubahan nutrisi terhadap aktivitas selulase


Aktivitas (U/mL)
nutrisi awal 2 x nutrisi awal
Penambahan tidak 1,69 1,36
Tween 80 (0,1%) ya 0,91 0,59

c. Temperatur dan pH Kerja Optimum Enzim


Temperatur dan pH optimum selulase kasar ditentukan dengan cara
mengukur aktivitas CMCase pada berbagai pH dan temperatur inkubasi. Gambar 3.4a
dan 3.4b adalah aktivitas selulase pada berbagai temperatur dan pH, masing-masing
untuk selulase kasar dari T. reesei dan A. niger. Kedua gambar tersebut
memperlihatkan bahwa pada pH yang sama, makin tinggi temperatur makin tinggi
aktivitas selulase kasar dari T. reesei. Hal ini karena pada penentuan aktivitas selulase
berlangsung hidrolisis karboksimetil selulase (CMC), dimana kenaikan temperatur
sampai rentang tertentu akan menaikkan kecepatan reaksi. Pada rentang pH = 3,0–5,0
dan temperatur 35–50 °C, aktivitas selulase kasar dari A. niger secara umum lebih
tinggi dari aktivitas selulase dari T. reesei, akan tetapi pada peningkatan temperatur ke
60 °C, aktivitas selulase dari T. reesei masih meningkat sedangkan aktivitas selulase
A. niger menurun. Hal ini memperlihatkan bahwa pada rentang pH 3–5, selulase T.
reesei lebih stabil terhadap perubahan temperatur. Pada pH = 6, untuk kedua jenis
enzim di atas, pengaruh temperatur terhadap aktivitas relatif lebih kecil dibandingkan
dengan pada pH = 3 – 5.
Demikian juga pada temperatur yang tetap, secara umum semakin kecil pH,
semakin tinggi aktivitas enzim. Hal ini dimungkinkan karena pada pH yang rendah,
konsentrasi ion hidrogen di dalam larutan semakin tingngi dan memungkinkan

96
terjadinya interaksi yang menghasilkan pengaruh positif terhadap reaksi antara enzim
dengan CMC. Pengaruh perubahan pH terhadap aktivitas selulase dari A. niger relatif
lebih besar dibandingkan dengan terhadap selulase dari T. reesei yang berarti bahwa
selulase dari T. reesei lebih stabil terhadap perubahan pH dibandingkan dengan
selulase dari A. niger. Aktivitas selulase kasar dari T. reesei tertinggi diperoleh pada
pH= 3 dan temperatur 60 °C yaitu 1,82 U/mL, sedangkan untuk selulase A. niger
dicapai pada 50 °C yaitu 1,96 U/mL. Aktivitas enzim pada pH 6 paling rendah,
kenaikan temperatur juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
selulase kasar dari A. niger bahkan untuk selulase kasar dari T. reesei mengalami
penurunan aktivitas sejak temperatur 50 oC.

d. Stabilitas Enzim
Temperatur dan pH optimum telah ditentukan berdasarkan waktu reaksi yang
cukup singkat (10 menit) sedangkan penggunaan enzim pada hidrolisis jerami
berlangsung dalam waktu yang lebih lama yang memungkinkan terjadinya deaktivasi,
oleh karena itu perlu dilakukan pengujian stabilitas enzim dalam selang waktu yang
cukup. Tabel 3.2 memperlihatkan aktivitas relatif enzim setelah diinkubasi pada
berbagai temperatur dan pH selama 10 jam. Secara umum aktivitas selulase turun jika
pH diturunkan atau temperatur dinaikkan.

Tabel 3.2. Stabilitas enzim setelah diinkubasi pada berbagai pH dan temperatur
temperatur aktivitas relatif selulase *)
pH inkubasi o
inkubasi ( C) T. reesei A. niger
40 82 86
5,5 50 80 85
60 82 78
4,0 76 79
5,5 40 82 86
7,0 100 91
*) ditentukan sebagai rasio aktivitas enzim setelah diinkubasi selama 10 jam pada
pH dan temperatur tertentu dibandingkan terhadap aktivitas awal pada pH dan temperatur
yang bersesuaian

97
2.0

1.5
Aktivitas (U/mL)

1.0

(a)
(a) (b) (b)
0.5

0.0
35 40 50 60
(a)
Temperatur (°C)
pH = 3 pH = 4 pH = 5 pH = 6

2.0

1.5
Aktivitas (U/mL)

1.0

0.5

0.0
35 40 50 60
(b) Temperatur (°C)
pH = 3 pH = 4 pH = 5 pH = 6

Gambar 3.4 Pengaruh temperatur dan pH terhadap aktivitas selulase kasar dari
(a) T. reesei dan (b) A. niger.

98
Aktivitas relatif selulase kasar dari T. reesei pada pH = 5,5 dan rentang
temperatur 40–60 °C hampir sama yaitu 80–82%, sedangkan aktivitas relatif selulase
kasar dari A. niger menurun terhadap kenaikan temperatur dari aktivitas relatif 86%
pada temperatur 40 °C menjadi 78% pada temperatur 60 °C. Aktivitas enzim pada
rentang pH = 4,0–7,0 dan temperatur 40 °C, paling stabil pada pH 7,0 dengan
aktivitas relatif selulase kasar dari T. reesei 100% dan aktivitas relatif selulase kasar
dari A. niger 91%. Hasil ini sesuai dengan hasil pengujian aktivitas enzim sebelumnya
yaitu pada temperatur tetap, semakin besar pH semakin kecil aktivitas enzim baik
untuk selulase kasar dari T. reesei maupun selulase kasar dari A. niger seperti yang
diperlihatkan pada Gambar 3.4. Hasil tersebut dapat dijadikan dasar untuk
menentukan temperatur dan pH pada hidrolisis jerami padi.

Kesimpulan

Dari eksperimen ini dapat disimpulkan bahwa:


1. Jerami padi lebih baik dari batang jagung untuk dijadikan substrat pada produksi
selulase. Aktivitas selulase enzim yang dibuat dari substrat jerami padi adalah 1,66
U/mL menggunakan T. reesei dan 1,69 U/mL jika menggunakan A. niger,
sedangkan aktivitas selulase enzim yang dibuat dari substrat pohon jagung adalah
1,35 U/mL menggunakan T. reesei dan 1,15 U/mL menggunakan A. niger.
2. Enzim yang dihasilkan oleh T. reesei maupun A. niger terdiri dari beberapa jenis
enzim (crude enyme). Sampel enzim dari T. reesei memiliki aktivitas selulase 1,29
U/mL dan xilanase 4,45 U/mL dari A. niger memiliki aktivitas selulase 0,73 U/mL
dan xilanase 2,37 U/mL. Enzim-enzim tersebut dibutuhkan untuk menghasilkan
gula reduksi.
3. Enzim yang dihasilkan memiliki aktivitas tertinggi pada pH 3,0 dan temperatur 50–
60 oC, tetapi paling stabil pada pH 5,5 dan temperatur 40 oC.

Daftar Pustaka

1. Ahamed, A., P. and Vermette (2008), “Culture-based Strategies to Enhance


Cellulase Enzyme Production from Trichoderma reesei RUT–C30 in Bioreactor
Culture Conditions”, Biochemical Engineering Journal, 40, 399–407.
2. Chen, S. and M. Wayman (1992), “Novel Inducers Derived from Starch for
Cellulase Production by Trichoderma reesei”, Process Biochemistry 27, 327–334.
3. Grady, C.P.L., G.T. Daigger, H.C. Lim (1999), “Biological Wastewater
Treatment”, 2nd Ed., Marcel Dekker, Inc., New York, 637-638.
4. Haq, I., M. M. Javed, T. S. Khan and Z. Siddiq (2005), “Cotton Saccharifying
Activity of Cellulases Produced by Co-culture of Aspergillus niger and
Trichoderma viride”, Research Journal of Agriculture and Biological Sciences
1(3): 241-245.
5. Juhasz, T., K. Kozma, Z. Szengyel, K. Reczey (2003), “Production of -
Glucosidase in Mixed Culture of Aspergillus niger BKMF 1305 and Trichoderma
reesei RUT C30”, Food Technol. Biotechnol. 41 (1) 49–53.
6. Martins, L.F., D. Kolling, M. Camassola, A.J.P. Dillon, L.P. Ramos (2008),
“Comparison of Penicillium echinulatum and Trichoderma reesei Cellulases in
Relation to Their Activity Against Various Cellulosic Substrates”, Bioresource
Technology, 99, 1417–1424.

99
7. Miller, G.L. (1959), “Use of Dinitrosalicylic Acid Reagent for Determination of
Reducing Sugar” , Analytical Chemistry 31, 426-428.
8. Ncube, T., R.L. Howard, E.K. Abotsi, E.L. J. van Rensburg, I. Ncube (2012),
“Jatropha curcas seed cake as substrate for production of xylanase and
cellulase by Aspergillus niger FGSCA733 in solid-state fermentation”,
9. Raghavendra, B., Havnnavar, G.S., Geeta (2007), “Pre-treatment of Agroresidues
for Release of Maximum Reducing Sugar”, Karnataka J. Agric. Sci., 20, 771-772.
10. Resse, E.T., A. Maguire (1969), “Surfactants as Stimulants of Enzyme
Production by Microorganisms”, Applied Microbiology, 17, 242-245.
11. Xiong, H., N. von Weymarn, O. Turunen, M. Leisola, O. Pastinen (2005),
“Xylanase production by Trichoderma reesei Rut C-30 grown on L-arabinose-
rich plant hydrolysates”, Bioresource Technology, 96, 753–75.

100
Bab 7
Produksi Hidrogen Dari Jerami Padi
Pendahuluan
Hidrolisis lignoselulosa telah banyak dipelajari. Dewi (2002b) mem-pelajari
hidrolisis berbagai macam limbah pertanian menggunakan selulase dari Neurospora
sitophila yang dibuat dalam substrat campuran sabut kelapa dengan tandan kosong
sawit dengan perbandingan 1 : 1. Hasilnya menunjukkan bahwa jerami padi lebih sulit
dihidrolisis dibandingkan dengan serbuk gergaji maupun sabut kelapa. Raghavendra
dkk. (2007) juga mempelajari hidrolisis berbagai limbah pertanian yang
didelignifikasi dengan NaOH 3% menggunakan selulase murni. Hasilnya
menunjukkan bahwa perolehan gula reduksi tertinggi dihasilkan dari bagas tebu yaitu
71,3 mg/g bagas diikuti oleh jerami gandum yaitu 49,8 mg/g jerami dan yang
terrendah adalah dari jerami padi yaitu 40,9 mg/g jerami. Perolehan yang dicapai oleh
kedua peneliti tersebut masih rendah karena untuk menghidrolisis lignoselulosa
diperlukan lebih dari satu jenis enzim.
Selulase dapat dihasilkan dari berbagai macam mikroorganisme, tetapi hanya
sedikit yang memproduksi selulase yang cukup untuk menghidrolisis selulosa
kristalin secara sempurna. T. reesei mampu memproduksi selulase dengan komposisi
60–80% ekso-1,4-β-D-glucanase, 20–36 % endo-1,4-β-D-glucanases and 1% 1,4-β-D-
glucosidases (Ahamed dan Vermette, 2008). Jumlah 1,4-β-D-glucosidases tersebut
lebih rendah dari yang diperlukan untuk memecah selobiosa menjadi glukosa secara
efisien. Akibatnya produk utama hidrolisisnya adalah selobiosa (Juhasz dkk., 2003;
Martins dkk., 2008; Ahamed dan Vermette, 2008), yang merupakan inhibitor kuat
terhadap aktivitas ekso dan endoglukanase sehingga dapat menurunkan laju hidrolisis
secara signifikan. Efek inhibisi selobiosa dapat dikurangi dengan cara menambahkan
β-glucosidase dari luar atau memproduksi selulase dengan cara mengkombinasikan
mikroorganisme yang memilki kemampuan tinggi dalam memproduksi endo dan
eksoglukanase seperti T. reesei dengan mikroorganisme yang memiliki kemampuan
tinggi dalam memproduksi -glucosidase seperti A. niger (Ahamed dan Vermette,
2008). Produksi selulase menggunakan biakan campuran 24 bagian spora A. niger
MSK–7 dengan 1 bagian spora T. viride MSK–10 dalam substrat hidrolisat kapas
menghasilkan aktivitas selulase 59–66% lebih tinggi dari biakan tunggal (Haq dkk.,
2005). Produksi selulase menggunakan biakan campuran T. reesei RUT–C30 dengan
A. niger ATCC–10535 dalam substrat selulosa yeast-extract menghasilkan enzim
yang memiliki aktivitas CMCase 4,2 U/mL, satu setengah kali enzim yang dihasilkan
menggunakan kultur tunggal A. niger (Ahamed dan Vermette, 2008).
Penelitian ini bertujuan untuk menghidrolisis jerami padi secara enzimatik
dan menghasilkan hydrogen dari hidrolisat jerami padi. Secara khusus dipelajari
pengaruh rasio spora T. reesei dengan spora A. niger dan waktu inkubasi terhadap
aktivitas selulase yang dihasilkan pada substrat jerami padi dan substrat pohon
jagung. Perubahan konsentrasi nutrisi dan penambahan surfaktan juga dipelajari.
Kondisi kerja optimum enzim yang dihasilkan ditentukan melalui dua tahap untuk
menguji aktivitas enzim dan stabilitasnya.
Hidrolisis enzimatik dipelajari dengan mengamati pengaruh komposisi dan
konsentrasi enzim terhadap gula reduksi yang dihasilkan baik menggunakan buffer
asetat maupun buffer sitrat, setelah itu dipelajari ukuran partikel, pH, temperatur dan
kecepatan pengadukan terhadap kinerja hidrolisis menggunakan enzim murni dan

101
terakhir mengamati pengaruh surfaktan terhadap kinerja hidrolisis menggunakan
enzim kasar.

Metodologi
Bahan Baku
Jerami padi yang digunakan sebagai substrat diperoleh dari sekitar kampus
Institut Teknologi Sepuluh Nopember–Surabaya dan pohon jagung dari Jombang.
Mikroorganisme yang digunakan untuk memproduksi selulase adalah T. reesei yang
dari Laboratorium Mikrobiologi–Jurusan Biologi–Fakultas Sain dan Teknologi–
Universitas Airlangga–Surabaya dan A. niger ITBCC F74 yang diperoleh dari
Laboratorium Mikrobiologi–Departemen Teknik Kimia–Fakultas Teknologi Industri–
Institut Teknologi Bandung. Kedua strain dikembangbiakkan pada media potato
dextrose agar (PDA) miring, setelah tujuh hari disimpan dalam lemari pendingin pada
suhu 4C sebagai biakan persediaan dan diperbaharui setiap satu bulan.

Penyiapan Bahan Baku


Jerami padi dan pohon jagung dijemur sebagai pengeringan pendahuluan.
Jerami yang telah dikeringkan tersebut dipotong kurang lebih 5 mm kemudian
digiling menggunakan penggiling sereal, diayak 149 m dan 105 m, dikeringkan
pada suhu 80C selama 8 jam kemudian disimpan dalam kemasan tertutup agar
kandungan air tidak berubah.

Pengolahan Awal Jerami


Serbuk jerami didelignifikasi menggunakan larutan NaOH 2% dan 4% pada
temperatur 80 oC selama 6 jam. Untuk menjaga konsentrasi NaOH pada konsentrasi
yang ditetapkan, uap air dikondensasi menggunakan kondensor refluks. Bubur jerami
dicuci menggunakan air, kemudian dipanaskan pada suhu 70 oC selama 8 jam dalam
oven. Bubur jerami kering dianalisa kandungan selulosa, hemiselulosa dan ligninnya
menggunakan metoda Chesson (Datta. Perubahan morfologi jerami sebelum dan
sesudah didelignifikasi diamati menggunakan scanning electron microscope (SEM)
(Zeiss EVO MA 10, British).

Hidrolisis
Hidrolisis dilakukan dalam beaker glass 300 mL yang dilengkapi dengan
pemanas dan pengaduk bermotor seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1. Lima
gram jerami padi yang telah didelignifikasi dan 150 mL larutan enzim dipanaskan
perlahan-lahan secara terpisah sampai temperatur yang diinginkan kemudian
dicampur dan diaduk. Sampel diambil setiap selang waktu tertentu dan kandungan
gula reduksinya diukur menggunakan metoda DNS. Analisis gula reduksi dilakukan
secara duplo. Enzim yang digunakan tiga jenis enzim yaitu enzim kasar dari A. niger,
enzim murni dari A. niger (Fluka Biochemika) dan enzim kasar dari T. reesei.
Selulase kasar dari A. niger dan T. reesei sebelum digunakan untuk hidrolisis,
dicampur dengan perbandingan tertentu. Variabel respon yang diamati pada studi
hidrolisis enzimatik jerami padi adalah konsentrasi gula reduksi yang dihasilkan
setiap selang waktu tertentu. Hidrolisis diamati selama 7 jam. Hal ini dilakukan untuk
menghindari penguapan pelarut karena hidrolisis dilakukan menggunakan beaker
glass terbuka.

102
4

Keterangan gambar:
(1) Beaker glass tempat hidrolisis
5
(2) Hot plate untuk pemanas
(3) Batang pengaduk

3 (4) Motor pengaduk


(5) Statif

Gambar 1 Skema rangkaian peralatan hidrolisis jerami padi.

Fermentasi hidrogen
Bakteri penghasil hidrogen yang digunakan adalah E.aerogenes NBRC 13534
yang diperoleh dari Prof. Hirayasu Ogino, Osaka Perfecture University, Jepang. Bibit
dipelihara dalam agar miring dan disimpan pada temperatur 4oC dan diregenerasi
setiap 1 bulan. Bibit yang akan digunakan, ditumbuhkan kembali dalam agar miring
selama 1 hari. E. aerogenes diaklimatisasi dua tahap dengan volume media cair
masing masing 50 mL dan 200 mL.
Medium yang digunakan mengandung 5 g/L ekstrak ragi dan gula reduksi
yang merupakan hidrolisat sintetik yaitu campuran glukosa dan xilosa dengan rasio 3 :
2. Rasio tersebut didasarkan pada hasil analisa HPLC hidrolisat yang diperoleh
menggunakan campuran enzim pada TAn = 2/1. Oksigen dalam media dikurangi
dengan cara mengalirkan nitrogen kedalam larutan. Media kemudian disterilisasi
selama 15 menit pada 121 °C. Media yang sudah dingin ditambahi dengan ferosulfat
(FeSO4.7H2O) yang disterilisasi menggunakan sinar UV dalam laminar flow,
kemudian inokulasi biakan yang telah diaklimatisasi. Pemindahan biakan dilakukan
dalam laminar flow. Fermentasi hidrogen dilakukan dalam 4 reaktor batch secara
paralel dengan volume masing–masing 500 mL yang dilengkapi dengan pemanas dan
pengaduk. Biakan sebanyak 50 mL diinokulasi-kan ke dalam keempat reaktor yang
masing–masing berisi 450 mL substrat steril. Gas yang dihasilkan ditampung dalam
hydrogen bag (CEL Scientific Tedlar gas sampling bags). Reaktor dihubungkan

103
dengan indikator gas seperti yang diperlihatkan pada Gambar 7.1. Proses fermentasi
dilakukan pada konsentrasi gula reduksi 8,3; 16,7; 33,3; 60,9 dan 85,7 g/L dengan
temperatur fermentasi 30, 40 dan 50 °C. pH dijaga pada rentang 5,5–6,0
menggunakan NaOH 4M. Peng-ambilan sampel dilakukan setiap selang waktu 6 jam.
Analisis kadar gula menggunakan metode DNS (Miller, 1959), jumlah sel dianalisa
menggunakan spektrofotometer dan hidrogen dianalisis menggunakan gas
chromatography, Simadzu dengan kolom Q-bond dan detektor konduktivitas panas
(TCD).

Keterangan gambar: 4
1. hot plate stirrer
2
2. fermentor
3. batang magnet
4. indikator gas 32
5. penampung gas
 aliran gas
1

Gambar 7.1 Skema rangkaiaan peralatan fermentasi hidrogen dari campuran glukosa dengan
xilosa oleh E. aerogenes NBRC 13534.

Hasil dan Pembahasan


Hidrolisis
a. Pengolahan Awal Jerami
Jerami padi yang akan dihidrolisis terlebih dahulu diolah menggunakan
NaOH untuk melarutkan ligninnya. Pengolahan awal tersebut bertujuan untuk
merusak jaringan pelindung yaitu lignin, agar enzim yang digunakan untuk
menghidrolisis dapat mencapai rantai yang diinginkan yaitu hemiselulosa dan
selulosa. Hasil analisis kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin sebelum dan
sesudah pengolahan awal diperlihatkan pada Tabel 3 dan foto SEM-nya diperlihatkan
pada Gambar 5. Jerami padi sebelum pengolahan awal yang foto SEMnya
diperlihatkan pada Gambar 5a, mengandung 34,6 % hemiselulosa, 47,0% selulosa dan
13,6% lignin. Rantai selulosa tampak masih diselimuti oleh hemiselulosa dan lignin.
Kandungan lignin pada jerami yang telah mengalami pengolahan awal menggunakan
NaOH 2% turun menjadi 2,87%. Gambar 5b menunjukkan bahwa rantai selulosa
tampak lebih jelas karena sebagian hemiselulosa dan sebagian besar lignin telah larut.
Penurunan kandungan lignin dan hemiselulosa tersebut, mengakibatkan kandungan
selulosa meningkat menjadi 69,1%.

104
Tabel 3 Hasil pengolahan awal dengan NaOH pada jerami padi
Komposisi ( % berat )
komponen tanpa dengan pengolahan awal
pengolahan awal NaOH 2% NaOH 4%
selulosa 47,0 69,1 71,0
hemiselulosa 34,6 25,6 15,0
lignin 13,6 2,9 6,4

Delignifikasi menggunakan NaOH 4%, hanya menghasilkan kenaikan


kandungan selulosa dari 69,1% menjadi 71% tetapi terjadi penurunan hemiselulosa
yang terjadi cukup besar yaitu dari 25,6% menjadi 15,0%. Penurunan kandungan
hemiselulosa yang besar tidak sebanding dengan penurunan lignin. Hal ini
menunjukkan bahwa NaOH lebih mudah bereaksi dengan hemiselulosa dibandingkan
dengan lignin.

b. Pengaruh Komposisi Campuran Enzim


Pengaruh komposisi campuran enzim pada pH 5,5 dan suhu 40 °C
ditunjukkan pada Gambar 6 dan 7 masing-masing untuk hidrolisis dalam buffer asetat
dan dalam buffer sitrat. Temperatur dan pH hidrolisis disesuaikan dengan hasil
pengujian stabilitas enzim. Enzim yang digunakan adalah enzim selulase murni dari
A. niger, enzim kasar dari T. reesei dan enzim kasar dari A. niger.
Gambar 6 menunjukkan bahwa konsentrasi gula reduksi yang dihasil-kan
oleh enzim murni dari A. niger, enzim kasar dari A. niger dan enzim kasar dari T.
reesei masing-masing adalah 4,2 g/L, 3,2 g/L dan 5,5 g/L. Konsentrasi gula reduksi
yang dihasilkan menggunakan enzim kasar dari T. reesei lebih tinggi daripada yang
dihasilkan enzim selulase murni dari A. niger maupun enzim kasar dari A. niger.
Selulase kasar dari A. niger paling efektif untuk menghidrolisis jerami padi. Hal ini
dimungkinkan karena enzim kasar dari T. reesei mengandung selulase dan xilanase
yang bekerja sinergis. Xilanase mendegradasi xilan dalam hemiselulosa terlebih
dahulu sehingga selulosa menjadi lebih mudah dicapai oleh selulase dan
memungkinkan konversi selulosa menjadi glukosa lebih mudah. Konsentrasi gula
reduksi yang dihasilkan oleh enzim kasar dari A. niger lebih rendah dari yang
dihasilkan oleh enzim murni dari A. niger meskipun enzim tersebut mengandung
xilanase. Hal ini dimungkinkan karena xilanase yang terdapat dalam enzim kasar dari
A. niger cukup rendah sehingga xilosa yang dihasilkan masih cukup kecil. Hal lain
yang dapat berpengaruh adalah komposisi ekso--1,4-glukanase, endo--1,4-
glukanase dan -1,4-glukosidase dalam enzim kasar dari A. niger tidak lebih baik
dibandingkan dalam selulase murni sehingga glukosa yang dihasilkannya juga lebih
kecil.

105
a

Gambar 5 Foto SEM jerami padi, (a) sebelum delignifikasi, (b) setelah delignifikasi dengan
NaOH 2%, (c) setelah didelignifikasi dengan NaOH 4%.

Gambar 6 juga memperlihatkan bahwa konsentrasi gula reduksi yang


dihasilkan pada penambahan 2 unit aktivitas selulase kasar dar A. niger ke dalam tiap
1 unit aktivitas selulase kasar dari T. reesei (T/A = 1/2) lebih kecil dari yang
dihasilkan oleh enzim kasar dari T. reesei. Hal ini terjadi karena pengaruh kinerja

106
selulase kasar dari A. niger yang lebih rendah. Gula reduksi yang dihasilkan pada T/A
= 1/1 hampir sama dengan yang dihasilkan oleh selulase kasar dari T. reesei tunggal
(T/A = 1/0), sedangkan yang dihasilkan pada pencampuran enzim dengan T/A = 2/1
meningkatkan konsentrasi gula reduksi yang dihasilkan oleh T. reesei tunggal (T/A =
1/0). Hasil tersebut dapat terjadi karena pencampuran selulase kasar dari A. niger ke
selulase kasar dari T. reesei telah memperbaiki komposisi endo-1,4--glukanase,
ekso-1,4--glukanase dan -glukosidase dalam selulase.
Gambar 7 menunjukkan bahwa untuk hidrolisis jerami dalam buffer sitrat,
konsentrasi gula reduksi yang dihasilkan pada rasio T/A = 1/0 hampir sama dengan
yang dihasilkan pada rasio T/A = 0/1, sedangkan pada rasio T/A = 2/1 terjadi
peningkatan konsentrasi gula reduksi yang signifikan dibandingkan dengan yang
dihasilkan menggunakan enzim dengan T/A = 1/0 maupun T/A = 0/1. Hasil ini
bersesuaian dengan hidrolisis jerami dalam buffer asetat, yaitu pada campuran
selulase kasar dengan rasio T/A = 2/1 dihasilkan performa yang lebih baik
dibandingkan dengan performa hidrolisis menggunakan enzim kasar tunggal.
Hidrolisis menggunakan campuran enzim kasar (T/A = 2/1) pada konsentrasi
campuran enzim kasar total 0,47 U/mL dengan waktu hidrolisis 10 jam, meningkatkan
konsentrasi gula reduksi sekitar 66% dari konsentrasi gula reduksi yang dihasilkan
oleh enzim kasar tunggal. Hal ini menunjukkan bahwa efek pencampuran enzim kasar
dalam buffer sitrat sama dengan efek pencampuran dalam buffer asetat yaitu
memperbaiki komposisi ekso--1,4-glukanase, endo--1,4-glukanase dan -1,4-
glukosidase.

107
7

5
Konsentrasi gula rduksi (g/L)

2
 enzim kasar dari A. niger
 enzim murni
 enzim kasar dari T. reesei
1  T/A = 1/2
 T/A = 1/1
 T/A = 2/1
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu hidrolisis (jam)
Gambar 6 Pengaruh jenis dan komposisi enzim pada hidrolisis dalam buffer asetat untuk
temperatur 40 ºC, pH 5,5, konsentrasi enzim 0,47 U/mL, berat jerami padi 5,0 g, kecepatan
pengadukan 160 rpm dan ukuran partikel jerami 105 m. T/A adalah rasio enzim kasar T.
reesei dengan enzim kasar A. niger.

108
10

8
Konsentrasi gula reduksi (g/L)

2
 T/A = 1/0
1  T/A = 0/1
 T/A = 2/1
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Waktu hidrolisis (jam)
Gambar 7 Pengaruh jenis dan komposisi enzim pada hidrolisis dalam buffer sitrat untuk
temperatur 40 ºC, pH 5,5, konsentrasi enzim 0,47 U/mL, berat jerami padi 5,0 g, kecepatan
pengadukan 160 rpm dan ukuran partikel jerami 105 m.

c. Pengaruh Konsentrasi Enzim


Pengaruh konsentrasi enzim terhadap perolehan gula reduksi pada T/A =
2/1 diperlihatkan pada Gambar 8 dan 9 masing-masing untuk buffer asetat dan untuk
buffer sitrat. Gambar 8 memperlihatkan bahwa semakin tinggi aktivitas enzim
semakin tinggi konsentrasi gula reduksi yang dihasilkan. Hal ini dimungkinkan karena
dengan makin banyak enzim yang digunakan, makin banyak sisi aktif yang dapat
mendegradasi selulosa maupun hemiselulosa sehingga hidrolisis makin cepat.
Kenaikan konsentrasi gula reduksi yang dihasilkan tidak proporsional dengan
kenaikan enzim yang digunakan. Kenaikan enzim yang digunakan menjadi dua
kalinya yaitu dari 0,47 U/mL menjadi 0,93 U/mL hanya menghasilkan kenaikan
konsentrasi gula reduksi sebesar 36% yaitu dari 6,4 menjadi 8,7 g/L.
Gambar 9 memperlihatkan bahwa pada peningkatan konsentrasi selulase dari
0,47 U/mL menjadi 0,62 U/mL pada hidrolisis selama 10 jam, dihasilkan
peningkatkan konsentrasi gula reduksi sebesar 77,5% yaitu dari 8,7 g/L menjadi 15,4

109
g/L. Peningkatan konsentrasi selulase dari 0,62 U/mL ke 0,78 U/mL tidak
menghasilkan kenaikan gula reduksi yang signifikan.
Gambar 8 dan 9 memperlihatkan bahwa kenaikan konsentrsi enzim yang
lebih tinggi lagi sampai batas konsentrasi tertentu diperkirakan tidak akan lagi
memberikan kenaikan gula reduksi yang dihasilkan. Vlasenko dkk. (1996)
melaporkan bahwa peningkatan rasio enzim terhadap substrat lebih besar 100 FPU/g
substrat tidak memberikan kenaikan gula reduksi yang dihasilkan. Hal ini dapat
terjadi karena enzim hanya katalis yang secara teoritis jumlahnya tidak mempengaruhi
hasil akhir. Penggunaan enzim yang lebih banyak hanya mempercepat hidrolisis
terutama pada awal reaksi tetapi jika telah dihasilkan produk pada konsentrasi tertentu
akan terjadi inhibisi oleh produk tersebut. Semakin besar konsentrasi produk semakin
besar pula pengaruh inhibisinya.

10

8
Konsentrasi gula reduksi (g/L)

2
 0,47 U/mL
 0,62 U/mL
1  0,78 U/mL
 0,93 U/mL.
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu Hidrolisis (jam)
Gambar 8 Pengaruh konsentrasi enzim pada hidrolisis dalam buffer asetat untuk ratio enzim
kasar T/A = 2/1. Volume cairan 150 mL, berat jerami 5 g, kecepatan pengaduk 160 rpm,
ukuran partikel 105 m dan pH 5.5.

110
18

16

14

12
Konsentrasi gula reduksi (g/L)

10

4
 0,47 U/mL
2  0,62 U/mL
 0,78 U/mL
0
0 2 4 6 8 10 12

Waktu hidrolisis (jam)

Gambar 9 Pengaruh konsentrasi enzim pada hidrolisis dalam buffer sitrat untuk ratio enzim
kasar T/A = 2/1. Volume cairan 150 mL, berat jerami 5 g, kecepatan pengaduk 160 rpm,
ukuran partikel 105 m dan pH 5.5.

Gambar 8 maupun 9 juga memperlihatkan bahwa kecepatan hidrolisis


semakin menurun dengan bertambahnya waktu. Hal ini terjadi karena pada awal
hidrolisis, enzim belum mengalami deaktivasi dan inhibisi oleh produk masih sangat
kecil sedangkan pada waktu hidrolisis yang semakin lama, deaktivasi dan inhibisi
oleh produk sudah semakin besar.
Konsentrasi gula reduksi yang dihasilkan pada hidrolisis dengan buffer sitrat,
kurang lebih dua kali konsentrasi gula reduksi yang dihasilkan pada hidrolisis dalam
buffer asetat seperti yang diperlihatkan pada Gambar 10 untuk T/A = 2/1 dan
konsentrasi enzim 0,78 U/mL. Hal ini dapat terjadi karena ada perbedaan sifat-sifat
kimia dari kedua jenis buffer tersebut. Keasaman asetat maupun sitrat ditentukan oleh
gugus –COOH (karboksil). Asetat hanya memiliki satu gugus karboksil sedangkan
sitrat memiliki tiga gugus karboksil. Konsentrasi gula reduksi yang diperoleh pada
hidrolisis selama 3 jam dalam buffer sitrat adalah 12,1 g/L dengan yield 0,36 g gula

111
reduksi/g jerami. Hasil ini masih dapat ditingkatkan dengan cara memperbaiki
pretreatment karenakan pada awal hidrolisis, selulosa masih tertutup oleh
hemiselulosa dan sedikit lignin seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5b, sehingga
selulase belum dapat mencapai selulosa dengan baik.
Analisa gula reduksi menggunakan DNS tidak dapat membedakan jenis gula
reduksi yang terukur. Jenis dan komposisi gula reduksi yang dihasilkan ditentukan
menggunakan high performance liquid chromatography (HPLC). Gambar 11 adalah
kromatogram HPLC untuk hasil hidrolisis menggunakan campuran enzim kasar (T/A
= 2/1) dengan buffer asetat. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa komponen
utama hidrolisat adalah glukosa dan xilosa dengan konsentrasi masing-masing 5,56
g/L dan 3,86 g/L atau jumlah keduanya 9,42 g/L. Hasil tersebut mendekati hasil
pengukuran menggunakan metoda DNS yaitu 8,7 g/L.

14

12

10
Konsentrasi gula reduksi (g/L)

2
 buffer asetat
 buffer sitrat
0
0 1 2 3 4

Waktu hidrolisis (jam)


Gambar 10 Perbandingan kecepatan hidrolisis dalam buffer sitrat dan buffer asetat untuk
ratio enzim kasar T/A = 2/1, pada konsentrasi selulase 0,78 U/mL, temperatur 40 oC, pH =
5,5, ukuran partikel 105 m dan kecepatan pengadukan 160 rpm.

112
(a)

(b)

No RT Area Conc 1 BC
1 7.57 88483 1.214 BB
2 8.46 188418 2.568 BB
3 GLUKOSA 12.13 4164554 57.152 BV
4 XILOSA 13.07 2640813 36.241 VB
5 14.33 36511 0.51 BB
6 17.21 71971 0.998 BB
7 19.80 96107 1.319 BB
7286857 100.000

Gambar 11 Kromatogram HPLC hidrolisat pada T/A = 2/1 dalam buffer asetat, ukuran
partikel 105 m, konsentrasi enzim 0,93 U/mL, temperatur 40 °C, pH = 5,5. a. standar
campuran glukosa-xilosa, b. sampel hidrolisat.

113
d. Pengaruh Surfaktan
Surfaktan yang digunakan pada percobaan ini adalah Tween 80 dengan
konsentrasi 0,5% (v/v). Enzim yang digunakan adalah selulase kasar dari A. niger
dengan konsentrasi 0,36 U/mL. Konsentrasi gula reduksi yang dihasilkan
diperlihatkan pada Gambar 12. Konsentrasi gula reduksi yang dihasilkan pada
hidrolisis selama 12 jam pertama oleh enzim yang ditambahi larutan Tween 80, dua
kali konsentrasi gula yang dihasilkan oleh enzim tanpa penambahan Tween 80. Hal
ini berarti bahwa pada rentang waktu hidrolisis tersebut, penambahan larutan 0,5%
Tween 80 sangat berpengaruh terhadap unjuk kerja enzim. Hasil ini hampir sama
dengan yang dihasilkan oleh Eriksson dkk. (2002) yaitu penambahan larutan Tween
20 sampai 5 g/L menghasilkan kenaikan perolehan konversi selulosa dari 40%
menjadi 60%. Konsentrasi gula reduksi tertinggi yang diperoleh tanpa penambahan
Tween 80 adalah 1,63 g/L sedangkan dengan adanya penambahan Tween 80 adalah
2,79 g/L. Hasil ini terjadi karena surfaktan Tween 80 memperbaiki struktur substrat
sehingga mudah dicapai oleh enzim dan dapat memperbaiki interaksi substrat dengan
enzim (Eriksson dkk, 2002). Hal ini dapat terjadi karena Tween 80 yang memiliki
HLB 20 dapat berfungisi sebagai cleaning agent pada permukaan jerami padi (Porter,
1994).
Gambar 12 juga menunjukkan bahwa setelah waktu hidrolisis 12 jam,
konsentrasi gula reduksi tidak lagi mengalami peningkatan. Hal ini dapat disebabkan
oleh adanya inhibisi oleh substrat, dimana pada konsentrasi tertentu, selobiosa dan
glukosa yang dihasilkan dapat menginhibisi proses hidrolisis selanjutnya, seperti yang
diperlihatkan pada Gambar 2.4.

114
3.5

3.0
Konsentrasi gula reduksi (g/L)

2.5

2.0

1.5

1.0

0.5
 tanpa surfaktan
 dengan surfaktan
0.0
0 6 12 18 24 30

Waktu hidrolisis (jam)


Gambar 12 Pengaruh penambahan larutan 0,5% Tween 80 terhadap konsentrasi gula reduksi
yang dihasilkan menggunakan selulase kasar dari A. niger pada temperatur 50 °C,
konsentrasi enzim 0,36 U/mL dan pH 3,0.

e. Pengaruh Ukuran Partikel


Pengaruh ukuran partikel diamati pada hidrolisis jerami padi untuk ukuran
partikel 149 m dan 105 m (sebelum dilakukan pengolahan awal) meng-gunakan
enzim murni dari A. niger (produk Fluka Biochemika), hasilnya diperlihatkan pada
Gambar 13.
Konsentrasi glukosa yang lebih tinggi dihasilkan pada hidrolisis jerami
dengan ukuran partikel 105 m, seluruhnya menghasilkan konsentrasi glukosa yang
lebih tinggi dari yang dihasilkan dari jerami padi dengan ukuran partikel 149 m pada
konsentrasi enzim bersesuaian. Pengecilan ukuran partikel jerami dari 149 m
menjadi 105 m pada rentang waktu hidrolisis 7 jam, dapat meningkatkan perolehan
gula reduksi berkisar 54–140% untuk konsentrasi enzim 0,47–0,93 U/mL. Pengecilan
ukuran partikel berarti memperbesar luas permukaan partikel persatuan massa
sehingga memungkinkan kontak antara enzim dengan substrat menjadi lebih mudah
dan semakin banyak pula ikatan pada selulosa yang dapat dipotong oleh enzim.
Konsentrasi glukosa tertinggi diperoleh pada ukuran partikel 105 m dan konsentrasi
enzim 0,93 U/mL.

115
f. Pengaruh pH
Konsentrasi gula reduksi maksimum yang diperoleh sebelumnya seperti yang
diperlihatkan pada Gambar 1.3 adalah 5,55 g/L. Pengaruh perubahan pH diamati pada
kondisi tersebut kecuali pH yang berubah, hasilnya diperlihatkan pada Gambar 14.
Penurunan pH dari 5,5 menjadi 4,7 tidak berpengaruh terhadap konsentrasi gula
reduksi yang dihasilkan. Penurunan sampai pH 3,9 dapat menghasilkan kenaikan gula
reduksi yang sama dalam waktu 3 jam lebih singkat dibandingkan pada pH = 5,5. Hal
ini berarti bahwa enzim bekerja lebih optimal pada pH lebih rendah dan sesuai dengan
hasil sebelumnya yaitu pada penentuan aktivitas enzim, yaitu makin kecil pH inkubasi
makin besar aktivitas enzim. Kecenderungan perolehan gula reduksi pada pH 5,5 terus
mengalami peningkatan dibanding dengan perolehan pada pH 3,9 yang sudah
cenderung konstan. Hal ini menunjukkan enzim lebih stabil pada pH 5,5 yang sesuai
dengan hasil penentuan stabilitas enzim kasar.

6
 0,47 U/mL, 105 m
 0,62 U/mL, 105 m
 0,78 U/mL, 105 m
5  0,93 U/mL, 105 m
Konsentrasi gula reduksi (g/L)

1  0,47 U/mL, 145 m


 0,62 U/mL, 145 m
 0,78 U/mL, 145 m
 0,93 U/mL, 145 m
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu hidrolisis (jam)

Gambar 13 Pengaruh ukuran partikel dan konsentrasi enzim terhadap konsentrasi gula
reduksi yang dihasilkan pada temperatur 40 °C, pH 5,5 dan kecepatan pengadukan 160
rpm.

116
7.0

6.0
Konsentrasi gula reduksi (g/L)

5.0

4.0

3.0

2.0

1.0  pH = 3,9
 pH = 4,7
 pH = 5,5
0.0
0 1 2 3 4 5 6 7
Waktu hidrolisis (jam)
Gambar 14 Pengaruh pH terhadap konsentrasi gula reduksi pada konsentrasi enzim terhadap
substrat 0,93 U/mL, ukuran partikel 120–140 mesh, temperatur 40 °C dan kecepatan
pengadukan 160 rpm.

g. Pengaruh Kecepatan Pengadukan


Pengaruh kecepatan pengadukan terhadap hidrolisis ditunjukkan pada Gambar
15. Peningkatan kecepatan pengadukan tidak memberikan pengaruh terhadap
konsentrasi gula reduksi yang dihasilkan, karena diameter bejana yang relatif kecil
sehingga derajat homogenitas di dalam sistem reaksi hampir sama pada rentang 160–
250 rpm. Hal ini berarti bahwa pada rentang 160–250 rpm, hidrolisis enzimatik tidak
dikendalikan oleh perpindahan massa dan enzim masih aktif serta tidak mengalami
kerusakan sampai kecepatan pengadukan 250 rpm.

h. Pengaruh Temperatur
Hidrolisis enzimatik seperti reaksi kimia yang lain, dipengaruhi oleh
temperatur. Temperatur semakin tinggi, kecepatan reaksi semakin tinggi pula, tetapi
pada batas temperatur tertentu dapat terjadi deaktivasi. Gambar 16 menunjukkan
117
bahwa dengan menaikkan temperatur dari 40 °C menjadi 46 °C, waktu yang
diperlukan untuk mencapai konsentrasi gula reduksi yang sama dapat dipersingkat
sekitar satu jam. Dengan kata lain semakin tinggi temperatur semakin cepat reaksi
hidrolisis. Hal ini sesuai dengan hasil sebelumnya tentang penentuan aktivitas enzim.
Semakin tinggi temperatur inkubasi, semakin tinggi aktivitas enzim yang berarti
semakin banyak gula reduksi yang dihasilkan selama selang waktu yang sama.
Hidrolisis tidak dilanjutkan pada temperatur yang lebih tinggi dari 46 °C karena
sesuai dengan hasil yang ditunjukkan sebelumnya pada temperatur yang lebih tinggi
enzim tidak stabil.

6
Konsentrasi gula reduksi (g/L)

1
 160 rpm
 250 rpm
0
0 1 2 3 4 5
Waktu hidrolisis (jam)
Gambar 15 Pengaruh kecepatan pengadukan terhadap konsentrasi gula reduksi pada
temperatur 40 °C, pH 3,9 dan konsentrasi enzim 0,93 U/mL.

118
7

6
Konsentrasi gula reduksi (g/L)

1
 40 oC
 46 oC
0
0 1 2 3 4 5

Waktu hidrolisis (jam)


Gambar 16 Pengaruh temperatur terhadap konsentrasi gula reduksi pada kecepatan
pengadukan 160 rpm, konsentrasi enzim 0,93 U/mL, pH = 3,92 dan ukuran partikel
120–140 mesh.

b. Pertumbuhan Sel
Gambar 7.7 menunjukkan pengaruh konsentrasi substrat awal terhadap
pertumbuhan sel pada suhu 30. Pertum-buhan sel pada awal fermentasi sangat cepat
(eksponensial). Hal ini menunjukkan bahwa pada awal fermentasi belum terjadi
inhibisi oleh produk dan persediaan makanan masih cukup. Pertumbuhan pada
temperatur 30 °C dan So = 16,7 g/L berlangsung lebih lama (18 jam dengan
konsentrasi sel tertinggi 6,07×108 sel/mL) dibandingkan pada So = 8,3 g/L (12 jam
konsentrasi sel tertinggi 5,38 × 108 sel/mL) dengan konsentrasi sel yang lebih tinggi.
Hal ini terjadi karena makanan yang tersedia pada So = 16,7 g/L lebih besar dari pada
8,7 g/L serta efek inhibisi belumsignifikan.

119
8

6
Jumlah sel (108 sel/mL)

 So = 8,3 g/L  So = 16,7 g/L


1  So = 33,3 g/L  So = 60,9 g/L
 So = 85,7 g/L
0
0 6 12 18 24 30 36 42 48

Waktu fermentasi (jam)

Gambar 7.7 Pengaruh konsentrasi substrat awal terhadap konsentrasi sel pada pH = 5–6 dan
temperatur 30 °C

c. Produksi Hidrogen
Gambar 7.11 menunjukkan pengaruh konsentrasi substrat awal So terhadap
jumlah hidrogen yang dihasilkan pada temperatur 30 °C. Peningkatan So dari 8,3 g/L
menjadi 33,3 g/L pada temperatur 30 oC, dihasilkan kenaikan produk hidrogen dari
7,4 mmol menjadi 20,9 mmol. Peningkatan So selanjutnya mengakibatkan produksi
hidrogen menurun. Kumar dan Das (2000) melaporkan bahwa pada fermentasi
menggunakan E. cloacea IIT-BT08, laju produksi hidrogen meningkat pada rentang
temperatur 15–36 oC dan menurun pada temperatur yang lebih tinggi. Hal tersebut
menunjukkan adanya inhibisi oleh substrat atau produk. Kotay dan Das (2006) yang
mempelajari pengaruh konsentrasi glukosa murni pada fermentasi hidrogen
menggunakan Bacillus coagulans IIT-BT S1 menyatakan bahwa pada temperatur
37oC, laju pembentukan hidrogen meningkat dengan meningkatnya konsentrasi
glukosa 0,5–2,5% w/v dan selanjutnya menurun. Selain itu pada saat konsentrasi gula
yang tinggi terjadi pergeseran metabolisme sel membentuk produk lain (Chong dkk.,
2009). Semakin tinggi konsentrasi substrat, kekuatan ionik di dalam larutan semakin
tinggi sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran antara produksi hidrogen
menjadi produksi asam. Konsentrasi asam dalam larutan yang semakin tinggi

120

 So = 8,3 g/L  So = 16,7 g/L


menghambat produksi hidrogen. Penghambatan terjadi ketika asam masuk ke dalam
dinding sel dan mempengaruhi peningkatan energi yang digunakan oleh sel sehingga
menghambat proses glikolisis dan pembentukan hidrogen.

25
 So = 8,3 g/L
 So = 16,7 g/L
 So = 33,3 g/L
 So = 60,9 g/L
20
 So = 85,7 g/L
H2 terakumulatif (mmol)

15

10

0
0 6 12 18 24 30 36 42 48

waktu fermentasi (jam)


Gambar 7.11 Pengaruh konsentrasi substrat awal terhadap gas hidrogen yang dihasilkan pada
temperatur 30 °C

Fermentasi Hidrogen dari Hidrolisat Jerami Padi


Hidrolisat yang difermentasi dihasilkan dari hidrolisis jerami padi
menggunakan campuran enzim kasar dari T. reesei dan A. niger dengan T/A = 2/1
dalam buffer sitrat. Tabel 7.2 memperlihatkan bahwa performa pada fermentasi
hidrogen menggunakan substrat hidrolisat alami, secara keseluruhan sedikit di bawah
performa menggunakan hidrolisat sintetis. Penurunan konsentrasi substrat pada

121
hidrolisat alami sedikit lebih cepat dari hidrolisat sintetis, akan tetapi kenaikan
konsentrasi selnya. Hidrogen yang dihasilkan, juga sedikit lebih rendah yang berarti
konsisten dengan penambahan jumlah sel, dimana pertambahan jumlah sel pada
hidrolisat sintetik 1,2 kali pertambahan pada hidrolisat alami dan hidrogen yang
dihasilkan pada hidrolisat sintetik 1,22 kali hidrogen yang dihasilkan pada hidrolisat
alami.
Yield hidrogen dari hidrolisat sintetis 0,255 mol H2/mol gula reduksi, 15%
lebih rendah dibandingkan dengan yield dari hidrolisat sintetis yaitu 0,295 mol
H2/mol gula reduksi. Perbedaan tersebut dimungkinkan karena adanya perbedaan
senyawa-senyawa kimia yang terdapat dalam kedua jenis substrat tersebut. Hidrolisat
sintetik hidrolisat sintetik terdiri dari glulosa, xilosa, yeast extract dan FeSO4,
sedangkan hidrolisat sintetik selain mengandung keempat senyawa tersebut, juga
mengandung senyawa senyawa yang terbawa dari nurtisi pada proses produksi enzim
seperti: (NH4)2SO4, MgSO4, KH2PO4, Tween 80 dan sebagainya. Tween 80 0,1%.

Tabel 7.2 Perbandingan performa fermentasi hidrolisat sintetik dengan alami.


Kons. gula Kons.i sel
reduksi (g/L) V. gas (mmol
Jenis ( 108 sel/mL ) % 𝑚𝑜𝑙 𝐻2
total per 𝑚𝑜𝑙 𝑔𝑢𝑙𝑎
hidrolisat H2
12 12 (mL/L) liter)
awal awal
jam jam

sintetik 8,3 3,23 0,59 5,38 1600 22,9 14,7 0,295

alami 7,9 2,04 1,43 5,42 877 34,1 12,0 0,255

Tabel 7.2 juga memperlihatkan bahwa volume gas total yang dihasilkan dari
hidrolisat alami kurang lebih setengah volume total gas yang dihasilkan dari hidrolisat
alami. Hal ini terjadi karena pada hidrolisat alami pelepasan gas tidak lancar, akibat
dari adanya larutan Tween 80 dimana larutan Tween tersebut dapat menstabilkan busa
yang terbentuk di permukaan liquida. Tekanan gas di dalam larutan dapat menjadi
penghambat pelepasan gas dari dalam sel ke badan liquid (Tanisho dkk, 1997).

3.4 Kesimpulan
Dari eksperimen ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Campuran enzim menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan
enzim dari T. reesei maupun A. niger termasuk enzim murni terutama pada rasio
T/A = 2/1. Peningkatan konsentrasi campuran enzim dari konsentrasi selulase 0,47
U/mL menjadi 0,93 U/mL menghasilkan peningkatan konsentrasi gula reduksi
37,5% yaitu dari 6,4 menjadi 8,7 g/L untuk hidrolisis selama 7 jam.
2. Penggunaan buffer sitrat untuk campuran enzim kasar untuk konsentrasi enzim
0,78 U/mL pada rentang waktu hidrolisis 2–3 jam dapat meningkatkan perolehan
gula reduksi 100% dibanding dalam buffer asetat, yaitu dari 5,9 g/L menjadi 12,0
g/L.
3. Penambahan larutan 0,5% Tween 80 dalam buffer sitrat dapat meningkatkan
perolehan gula reduksi.
4. Ukuran partikel semakin kecil (dari 145 m menjadi 105 m) meningkatkan
konsentrasi gula reduksi yang dihasilkan sampai  100%.

122
5. Fermentasi hidrogen dari campuran glukosa dengan xilosa dipengaruhi oleh
konsentrasi awal substrat dan temperatur yang optimum pada konsentrasi substrat
awal 16,7 g/L dan temperatur 30 oC dengan yield tertinggi 0,356 mol H2/mol gula
reduksi.
6. Pada fermentasi hidrogen dari campuran glukosa xilosa menggunakan E.
aerogenes menunjukkan adanya inhibisi oleh substrat dan produk samping.
7. Fermentasi hidrogen dari hidrolisat alami, secara keseluruhan mendekati performa
menggunakan hidrolisat sintetis.

Daftar Pustaka
1. Ahamed, A., P. and Vermette (2008), “Culture-based Strategies to Enhance
Cellulase Enzyme Production from Trichoderma reesei RUT–C30 in Bioreactor
Culture Conditions”, Biochemical Engineering Journal, 40, 399–407.
2. Dewi K.H.(2002b), “Hidrolisis Limbah Hasil Pertanian Secara Enzimatik”, Akta
Agrosia, 5, 67–71.
3. Eriksson, T., J. Börjesson, F. Tjerneld (2002), “Mechanism of Surfactant Effect
in Enzymatic Hydrolysis of Lignocellulose”, Enzyme and Microbial Technology,
31, 353–364.
4. Haq, I., M. M. Javed, T. S. Khan and Z. Siddiq (2005), “Cotton Saccharifying
Activity of Cellulases Produced by Co-culture of Aspergillus niger and
Trichoderma viride”, Research Journal of Agriculture and Biological Sciences
1(3): 241-245.
5. Juhasz, T., K. Kozma, Z. Szengyel, K. Reczey (2003), “Production of -
Glucosidase in Mixed Culture of Aspergillus niger BKMF 1305 and Trichoderma
reesei RUT C30”, Food Technol. Biotechnol. 41 (1) 49–53.
6. Kumar, N. and D. Das (2000), “Enhancement of Hydrogen Production by
Enterobacter cloacae IIT-BT 08”, Process Biochemistry, 35[6], 589-593.
7. Kotay, S.M. and D. Das (2006), “Microbial hydrogen production with Bacillus
coagulans IIT-BT S1 isolated from anaerobic sewage sludge”, Bioresource
Technology, Elsevier.
8. Martins, L.F., D. Kolling, M. Camassola, A.J.P. Dillon, L.P. Ramos (2008),
“Comparison of Penicillium echinulatum and Trichoderma reesei Cellulases in
Relation to Their Activity Against Various Cellulosic Substrates”, Bioresource
Technology, 99, 1417–1424.
9. Porter, M.R., Handbook of Surfactants, second ed., Blackie Academic &
Professional, Melbourne, 1994.
10. Raghavendra, B., Havnnavar, G.S., Geeta (2007), “Pre-treatment of Agroresidues
for Release of Maximum Reducing Sugar”, Karnataka J. Agric. Sci., 20, 771-772.
11. Tanisho, S., M. Kuromotot, N. Kadokurat (1997), “Effect of CO2 Removal on
Hydrogen Production by Fermentation“, J. Hydrogen Energy, 23, 559–563.
12. Vlasenko, E.Y., H. Ding, J.M. Labavitch, S.P. Shoemaker (1996), “Enzymatic
Hydrolysis of Pretreated Rice Straw”, Bioresource Technology, 59, 109-119.

123
Bab 8
Produksi Bioetanol dari Jerami Padi
Pada penelitian ini mempelajari produksi etanol dari jerami padi melalui
hidrolisa enzimatik dan fermentasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae dan
Pichia stipitis. Dalam mencapai tujuan tersebut dilakukan empat tahapan yaitu
pretreatment jerami padi, pembuatan crude enzim dari Trichoderma reesei dan
Aspergillus niger, membandingkan hasil hidrolisa enzimatik dengan menggunakan
crude enzim dan enzim murni dari Aspergillus niger dan Trichoderma reesei serta
melakukan fermentasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae dan Pichia stipitis.

Pretreatment jerami padi.


Pada proses pretreatment jerami padi dilakukan dengan beberapa cara :
1. Pretreatment jerami padi dengan cara mekanik.
2. Pretreatment jerami padi dengan cara kimiawi.
Pada pretreatment mekanik, jerami padi dikeringkan terlebih dahulu
menggunakan sinar matahari selama 12 jam. Hal ini dilakukan untuk menghindari
pembusukan jerami padi, sehingga jerami padi tahan untuk waktu yang lama. Selain
itu, untuk mempermudah proses penggilingan.
Sedangkan pada pretreatment kimiawi, jerami padi yang akan dihidrolisis
terlebih dahulu diolah menggunakan NaOH untuk melarutkan ligninnya. Pengolahan
awal tersebut bertujuan untuk merusak jaringan pelindung yaitu lignin, karena struktur
lignin pada jerami padi bersifat kokoh sehingga menghalangi kinerja enzim dalam
mendegradasi selulosa dan hemiselulosa. Sehingga perlu dilakukan pengolahan
menggunakan NaOH agar enzim yang digunakan untuk menghidrolisis dapat
mencapai rantai yang diinginkan yaitu hemiselulosa dan selulosa.
Kondisi pretreatment pada penelitian ini menggunakan NaOH 1%
pada suhu 60C selama 8 jam ini berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah
melakukan optimasi proses pretreatment dan hidrolisa. Pemilihan kondisi
pretreatment tersebut didasarkan pada konsentrasi gula reduksi tertinggi pada
hidrolisat (Lutfiana,2011).
Hasil analisis kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin sebelum dan
sesudah pretreatment diperlihatkan pada table 1. Setelah ditreatment menggunakan
NaOH 1%, jerami tersebut dicuci dengan air panas dengan tujuan untuk melarutkan
lignin bersama NaOH sekaligus menetralkan jerami yang terdegradasi tersebut hingga
pH 7. Setelah itu dilakukan analisa kandungan lignin dalam jerami. Terjadi penurunan
kadar lignin menjadi 9,43%. Hal ini menunjukkan bahwa komponen lignin ini bersifat
kokoh dan kompleks. Akibat penurunan lignin tersebut, kandungan selulosa dan
hemiselulosa menjadi 54,13% dan 36,23%. Hal ini disebabkan karena ikatan lignin
dengan hemiselulosa telah terputus sehingga kadar hemiselulosapun meningkat.
Demikian juga dengan rantai selulosa tampak lebih banyak karena lignin yang
membungkus selulosa telah larut.

Pembuatan crude enzim selulase dan xilanase A.niger dan T.reesei serta
pembuatan enzim murni selulase A.niger
Dalam produksi enzim selulase dapat dibagi dalam beberapa tahap penelitian :
1. Tahap persiapan.
2. Tahap produksi enzim kasar.
123
3. Tahap pengujian

Tabel 1. Hasil Analisa Kadar Selulosa, Hemiselulosa dan Lignin


Kadar (%)
Total
Variabel hemiselulosa selulosa lignin abu
Sebelum
32.69 45.94 16.84 4.53 100
pretreatment
1%; 60°C; 8 jam 36.23 54.13 9.43 0.21 100

Tahap persiapan
Pada tahap persiapan produksi enzim selulase adalah melakukan
perkembangbiakan jamur Aspergillus niger dan Trichoderma reesei dalam media
Potato Dextrose Agar (PDA) yang telah disterilkan. Hal ini bertujuan untuk
membunuh mikroorganisme sehingga tidak terjadi kontaminasi pada saat pembiakan
Aspergillus niger dan Trichoderma reesei.

Produksi enzim kasar


Pada produksi enzim kasar menggunakan media jerami padi yang berfungsi
sebagai sumber karbon dan substrat yang merangsang aktifitas dan produktifitas
enzim. Garam - garam mineral merupakan nutrisi medium fermentasi yang berisi
larutan mineral yang dibutuhkan bagi pertumbuhan jamur. Kebutuhan akan mineral
Mg2+, Ca2+ dan Fe2+ diperlukan untuk meningkatkan aktifitas enzim selulase.
Sedangkan unsur N, P, dan K dapat berfungsi sebagai mineral penginduksi
(Ratanakhanokchai, 1999).
Tween 80 yang digunakan dalam larutan untuk mengekstrak enzim ini
berperan sebagai surfaktan yang fungsinya untuk menurunkan tegangan permukaan
sel, sehingga sel dapat dengan mudah mengeluarkan cairan metabolit yang ada di
dalamnya.

Tahap pengujian enzim selulase dan xilanase


Setelah mendapatkan enzim, maka proses selanjutnya adalah pengujian enzim
selulase dan xilanase. Pengujian enzim selulase ini adalah dengan cara mengukur
aktifitas enzim selulase dan xilanase yang dihasilkan. Tabel 2 menunjukkan data
perhitungan dalam mengukur konsentrasi larutan standart glukosa yang digunakan
untuk menguji aktifitas enzim selulase. Berdasarkan table 2 didapatkan kurva standart
glukosa yang digambarkan pada gambar 1. Demikian juga halnya dengan table 3 yang
diaplikasikan pada gambar 2 menunjukkan perhitungan dan kurva standart xilosa
yang digunakan untuk mengukur aktifitas enzim xilanase.

124
Tabel 2. Data absorbansi dan hasil perhitungan konsentrasi larutan standart glukosa

Konsentrasi Konsentrasi
Lar. Glukosa Buffer Diambil V total
CMC (ml) (µmol/ml) (µmol/ml) Absorbansi
(ml) (ml) (ml) (ml)
Di tabung Di kuvet
0 5 0.2 1.8 5 0.000 0.000 0.000
1 4 0.2 1.8 5 4.078 0.408 0.102
2 3 0.2 1.8 5 8.156 0.816 0.194
3 2 0.2 1.8 5 12.233 1.223 0.259
4 1 0.2 1.8 5 16.311 1.631 0.334
5 0 0.2 1.8 5 20.389 2.039 0.468

Gambar 1 Kurva Standar Glukosa Untuk Menguji Keaktifan Enzim Selulase

Tabel 3. Data absorbansi dan hasil perhitungan konsentrasi larutan standart


xilosa
Konsentrasi Konsentrasi
Lar. Xilosa Buffer Diambil Lar Xilan V total
(µmol/ml) (µmol/ml)) Absorbansi
(ml) (ml) (ml) (ml) (ml)
Di tabung Di kuvet
0 5 0.2 1.8 5 0.000 0.000 0.000
1 4 0.2 1.8 5 5.009 0.501 0.076
2 3 0.2 1.8 5 10.018 1.002 0.202
3 2 0.2 1.8 5 15.027 1.503 0.272
4 1 0.2 1.8 5 20.036 2.004 0.493
5 0 0.2 1.8 5 25.045 2.504 0.604

125
Gambar 2 Kurva Standar Xilosa Untuk Menguji Keaktifan Enzim Xilanase

Berdasarkan kurva standart di atas, maka didapatkan hasil pengukuran enzim


kasar pada table 4 untuk substrat jerami padi, table 5 untuk substrat dedak gandum
serta table 6 untuk enzim murni. Satu Unit (IU) aktifitas enzim didefinisikan sebagai
jumlah enzime yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu µmol gula reduksi per
menit. Tabel-tabel tersebut dapat diperoleh aktifitas enzim selulase dan xilanase
dengan perhitungan sebagai berikut :
1. Enzim selulase dari Trichoderma reesei
Absorbansi enzim selulase dari Trichoderma reesei sebelum dikoreksi (A1) =
0,360
Absorbansi rata - rata enzim selulase dari Trichoderma reesei sebagai faktor
koreksi (A2) = 0,068
Slope dari kurva standar glukosa untuk menguji keaktifan enzim selulase
adalah = 4,522
Aktifitas enzim selulase = (A1 – A2) х Slope kurva standar glukosa
= (0,360 - 0,068) х 4,522
= 1,320 U/ml
2. Enzim xilanase dari Trichoderma reesei
Absorbansi enzim xilanase dari Trichoderma reesei sebelum dikoreksi (A1) =
1,728
Absorbansi rata - rata enzim xilanase dari Trichoderma reesei sebagai faktor
koreksi (A2) = 1,680
Slope dari kurva standar xilosa untuk menguji keaktifan enzim xilanase
adalah = 4,323
Aktifitas enzim xilanase = (A1 – A2) х Slope kurva standar xilosa
= (1,728 - 1,680) х 4,323
= 0,249 U/ml
Dari tabel 4 pengukuran crude enzim dengan substrat jerami padi diperoleh
bahwa aktivitas enzim selulase dari T.reesei mempunyai aktivitas terbesar sebesar
1,320 U/ml sedangkan dari A. niger mempunyai aktivitas enzim selulase terbesar
yaitu 1,338 U/ml. Hal ini menunjukkan bahwa strain T. reesei dan A. niger

126
menghasilkan aktivitas enzim selulase yang sama jika menggunakan jerami padi
sebagai substrat.
Pada tabel 5 dengan substrat dedak gandum, mempunyai aktivitas enzim
xilanase sebesar yaitu 5,31 U/ml dan aktivitas enzim selulase sebesar 2,21U/ml.
Aktivitas enzim selulase dan xilanase menggunakan substrat dedak gandum lebih
tinggi dari yang dihasilkan menggunakan substrat jerami padi. Hal ini dikarenakan
T.reesei memiliki kemampuan untuk menghasilkan kedua jenis enzim tersebut.
Tabel 6 menunjukkan enzim selulase murni dari T.reesei dan A. niger
mempunyai aktivitas masing-masing sebesar 2,60 U/ml dan 2,00 U/ml. Enzim murni
dari T. reesei yang diperoleh dalam bentuk liquid, sedangkan enzim murni dari A.
niger yang diperoleh dalam bentuk serbuk, tetapi pada penggunaannya diencerkan
terlebih dahulu dengan buffer dan diuji aktifitasnya. Dalam penggunaannya
konsentrasi yang dibutuhkan sama dan tidak mempengaruhi bentuk fisik dari enzim
murni tersebut.
Dari ketiga tabel tersebut maka strain T. reesei mempunyai kemampuan untuk
menghasilkan aktivitas enzim selulase lebih tinggi sedangkan A. niger menghasilkan
aktivitas enzim xilanase lebih tinggi. Hal ini tergantung oleh substrat yang
dikonsumsi oleh fungi dan komposisi yang ada di dalam enzim tersebut.

Tabel 4. Data hasil pengukuran enzim kasar dalam substrat jerami padi
Absorbansi(A)
Jenis fungi Enzim Aktivitas (IU/ml)
(A1) (A2) (A1-A2)
selulase 0,360 0,068 0.292 1,320
T.reesei
xilanase 1,728 1,680 0,048 0,249
selulase 0,383 0,087 0,296 1.338
A.niger
xilanase 1,920 1,580 0,340 1,768

Tabel 5. Data hasil pengukuran enzim kasar dari T.reesei dalam substrat dedak
gandum
Absorbansi(A) Aktivitas
Enzim
(A1) (A2) (A1-A2) (U/ml)
xilanase 1,294 0.066 1,228 5,31
selulase 0,595 0,107 0,488 2,21

Tabel 6. Data hasil pengukuran enzim murni dari T.reesei dan A.niger

Enzim Absorbansi(A)
Ditambah Aktivitas
dari jenis Diambil Enzim
fungi
buffer (A1) (A2) (A1-A2) (IU/ml)

selulase 1,018 0,438 0,580 2,60


T.reesei 1 ml 100 ml
xilanase 1,622 1,330 0,292 1,26
selulase 1,432 0,985 0,447 2,00
A.niger 1 gr 100 ml
xilanase 1,484 1,062 0,422 1,80

127
Hidrolisis Jerami Padi
Pengukuran gula reduksi dilakukan dengan menggunakan kurva standart
glukosa tanpa CMC yang ditunjukkan pada gambar 3.
Jerami yang dipakai adalah jerami hasil pretreatment. Hasil hidrolisis
diberikan pada tabel 7 kemudian dapat digambarkan pada gambar 4. Pada gambar 4
menunjukkan bahwa konsentrasi gula reduksi hasil hidrolisis terbaik dengan
menggunakan enzim murni dari Aspergillus niger. Perolehan konsentrasi gula reduksi
mencapai 13 g/L selama 42 jam. Konsentrasi gula reduksi ini lebih baik
dibandingkan dengan konsentrasi gula reduksi yang dihasilkan dari crude enzim
maupun campuran enzim murni. Hal ini disebabkan karena adanya faktor inhibisi
yang kecil pada saat hidrolisis, dimana selobiosa dapat menginhibisi endoglukanase
dan exoglukanase, demikian juga halnya dengan glukosa yang dapat menginhibisi
CBH/Celobiohidrolase dan endo 1,4 β glukanase sehingga degradasi selulosa menjadi
selobiosa terganggu, hal ini berarti bahwa pengaruh inhibisi glukosa terhadap CBH
dan endo 1,4 β glukanase sangat kecil sehingga didapatkan konsentrasi glukosa yang
tinggi. Sedangkan xilooligosakarida dapat menginhibisi endo dan ekso xilanase dan
xilosa merupakan inhibitor bagi 1,4 β xilosidase mempunyai pengaruh kecil sehingga
konsentrasi xilosapun tinggi. Konsentrasi gula reduksi yang tinggi tersebut dapat juga
disebabkan oleh peran xilanase yang dapat mendegradasi komponen hemiselulosa
terlebih dahulu. Dengan adanya degradasi hemiselulosa tersebut, maka dapat
mengefektifkan degradasi selulosa menjadi glukosa.
Sedangkan pada hidrolisis crude enzim dari Trichoderma reesei dan
Aspergillus niger dengan perbandingan 2:1 mempunyai konsentrasi gula yang kecil.
Berbeda dengan penelitian terdahulu yang menghasilkan aktivitas enzim yang lebih
besar daripada enzim murni dari Aspergillus niger (Anwar, dkk., 2012), hal ini
dikarenakan adanya perbedaan strain Trichoderma reesei.
Ditunjukkan pula pada gambar tersebut bahwa konsentrasi gula reduksi yang
dihasilkan pada hidrolisis jerami padi oleh tiap enzim berbeda meskipun konsentrasi
enzim dalam larutan sama, yaitu 93 U/ 5 gram jerami padi. Hal ini menunjukkan
bahwa adanya komposisi ekso--1,4-glukanase, endo--1,4-glukanase dan -1,4-
glukosidase dalam enzim berbeda. Dari perolehan konsentrasi gula reduksi terbaik
yang dihasilkan dari enzim murni Aspergillus niger, maka dibuatlah larutan hidrolisa
dalam jumlah besar yang selanjutnya digunakan untuk fermentasi. Dari pengukuran
dengan metode DNS menghasilkan gula reduksi sebesar 5,4g/L untuk fermentasi, hal
ini berbeda pada perolehan optimasi sebesar 13 g/L, hal ini disebabkan pengadukan
yang kurang sesuai pada saat melakukan hidrolisis dan volume pembuatan hidrolisat
dilakukan dalam jumlah besar, sehingga mempengaruhi konsentrasi gula reduksi.
Dengan demikian maka dilakukan juga pengukuran kandungan gula dengan HPLC
untuk mengetahui kandungan glukosa dan xilosa. Dari HPLC diperoleh kandungan
glukosa sebesar 1.57 g/L dan xilosa sebesar 0.62 g/L. Konsentrasi gula hasil
pengukuran dengan metode DNS dan HPLC berbeda, hal ini dikarenakan metode
DNS digunakan untuk mengukur kandungan gula reduksi secara keseluruhan yang
ada dalam larutan yang diuji sedangkan HPLC digunakan untuk mengukur gula-gula
yang spesifik yang ada dalam larutan yang diuji. Adanya perbedaan hasil pengukuran
konsentrasi gula tersebut dimungkinkan adanya komposisi gula lain yang ada dalam
larutan hasil hidrolisa tersebut. Hal ini mungkin terjadi karena di dalam enzim
xilanase tersebut mengandung banyak enzim yang dapat mendegradasi komponen lain
dari hemiselulosa untuk menghasilkan gula lain selain glukosa dan xilosa. Hal ini
perlu diklarifikasi lebih lanjut.
128
Enzim yang digunakan dalam penelitian adalah enzim kasar dari T.reesei,
enzim kasar dari A. niger, enzim murni dari T.reesei serta enzim murni dari A. niger
dengan perhitungan kebutuhan enzim untuk hidrolisis oleh masing- masing enzim
dengan basis konsentrasi selulase 93 U/5gr jerami padi adalah sebagai berikut:
H1 (enzim kasar dari T.reesei ) :
volume enzim = 93/1,32 = 70,5 ml
H2 (enzim murni T.reesei/A.niger =2:1) :
volume T.reesei = 2/3 * 93 : 2,6 = 24 ml
volume A.niger = 1/3 * 93 : 2 = 16 ml
H3 (enzim murni T.reesei) :
volume enzim = 93/2,6 = 36 ml
H4 (enzim murni A.niger) :
volume enzim = 93/2 = 47 ml
H5 ( enzim kasar T.reesei:A.niger=2/1) :
volume T.reesei = 2/3 * 93 : 1,32 = 47 ml
volume A.niger = 1/3 * 93 : 1,34 = 23 ml
Karena enzim komersial dari A.niger menghasilkan konsentrasi gula reduksi
tertinggi, maka dilakukan hidrolisis menggunakan enzim murni dari A.niger dalam
jumlah yang besar. Hidrolisat jerami padi yang digunakan untuk fermentasi
mengandung 5,4 g/l gula reduksi.
Jadi yield yang diperoleh dihitung sebagai berikut:
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑔𝑢𝑙𝑎 𝑟𝑒𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝑥 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒
𝑌𝑖𝑒𝑙𝑑 = %(ℎ𝑒𝑚𝑖𝑠𝑒𝑙𝑢𝑙𝑜𝑠𝑎+𝑠𝑒𝑙𝑢𝑙𝑜𝑠𝑎)𝑥 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑗𝑒𝑟𝑎𝑚𝑖 𝑝𝑎𝑑𝑖

𝑔𝑟𝑎𝑚
5,4 𝐿 𝑥 0,15 𝐿
=
90,36 % 𝑥 5 𝑔𝑟𝑎𝑚

= 0,18 gram gula reduksi/gram (hemiselulosa+selulosa)

Gambar 3 Kurva standart glukosa untuk hidrolisis

129
Tabel 7. Data hasil pengukuran enzim murni dari T.reesei dan A.niger
Absorbansi Konsentrasi Glukosa (g/l)
jam ke-
h1 h2 h3 h4 h5 h1 h2 h3 h4 h5
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 0.020 0.278 0.120 0.270 0.115 0.177 2.454 1.059 9.354 1.015
3 0.036 0.321 0.106 0.220 0.175 0.318 2.834 0.936 8.263 1.545
6 0.044 0.327 0.095 0.248 0.183 0.388 2.887 0.839 7.405 1.616
12 0.051 0.368 0.135 0.300 0.185 0.450 3.249 1.192 10.523 1.633
18 0.069 0.368 0.139 0.353 0.189 0.609 3.249 1.227 10.835 1.669
24 0.076 0.410 0.158 0.296 0.205 0.671 3.620 1.395 12.316 1.810
30 0.078 0.410 0.155 0.285 0.216 0.689 3.620 1.368 12.082 1.907
36 0.088 0.369 0.156 0.318 0.201 0.777 3.258 1.377 12.160 1.775
42 0.078 0.345 0.167 0.318 0.187 0.689 3.046 1.474 13.018 1.651
48 0.075 0.343 0.164 0.304 0.180 0.662 3.028 1.448 12.784 1.589

Gambar 4 Konsentrasi gula reduksi oleh berbagai jenis enzim pada hidrolisis
jerami padi

Dari yield yang diperoleh di atas, maka dihasilkan yield yang kecil, hal ini
dimungkinkan adanya komponen lain selain selulosa, hemiselulosa yang
dimungkinkan dapat menghambat jalannya hidrolisis dan jerami padi merupakan
material yang sulit dirombak (Raghavendra dkk., 2007; Dewi 2002).

Fermentasi Jerami Padi


Fermentasi dilakukan dengan menggunakan substrat hidrolisat jerami padi
dengan Saccharomyces cerevisiae, Pichia stipitis dan campuran Saccharomyces
cerevisiae dan Pichia stipitis. Konsentrasi substrat awal pada hidrolisat tersebut 2,19
g/L (1,57 g/L glukosa + 0,62 g/L). Hasilnya diberikan pada tabel 7. Dari tabel hasil
fermentasi selama 24 jam dan 48 jam diperoleh bahwa fermentasi dengan campuran
campuran Saccharomyces cerevisiae dan Pichia stipitis menghasilkan yield etanol
terbesar yaitu 0,248 getanol/g gula. Hal ini disebabkan karena semua xilosa dan
glukosa terfermentasi oleh kedua mikroorganisme tersebut. Yield yang dihasilkan
juga lebih kecil dari teoritis. Hal ini disebabkan adanya lignin yang belum terurai
secara sempurna sehingga kandungan selulosa dan hemiselulosapun masih belum
maksimal sehingga gula reduksi yang difermentasi dari hasil hidrolisispun sedikit
serta adanya inhibitor dan enzim-enzim selama proses hidrolisis yang dapat
menghambat fermentasi.

130
Yield etanol yang diperoleh dari fermentasi menggunakan Saccharomyces
cerevisiae sebesar 0,01 g etanol/ g jerami, untuk fermentasi menggunakan Pichia
stipitis diperoleh yield 0,004 g etanol/ g jerami, sedangkan untuk fermentasi
menggunakan strain campuran diperoleh yield 0,016 g etanol/ g jerami. Adanya yield
yang kecil dimungkinkan adanya komponen lain pada jerami padi selain selulosa,
hemiselulosa dan lignin yang dapat menghambat pada fermentasi etanol. Hal ini perlu
diklarifikasi lebih lanjut.

Tabel 8 Hasil Fermentasi Hidrolisat Jerami Padi Menjadi Etanol


yield (g yield (g
jam etanol *) glukosa xylosa
strain etanol/ g etanol / g
ke- (g/L) **) (g/L) **) (g/L) jerami padi) gula)
0 0,00 1,57 0,62 0,000 0,000
saccharomyces
24 0,22 0,45 0,45 0,007 0,099
cerevisiae
48 0,34 0,09 0,44 0,010 0,155
0 0,00 1,57 0,62 0,000 0,000
pichia stipitis 24 0,10 0,62 0,11 0,003 0,044
48 0,15 0,36 0,00 0,004 0,067
saccharomyces 0 0,00 1,57 0,62 0,000 0,000
cerevisiae dan 24 0,26 0,36 0,27 0,008 0,116
pichia stipitis 48 0,54 0,00 0,00 0,016 0,248

*) Hasil analisa GC
**) Hasil analisa HPLC

Gambar 5 Grafik konsentrasi etanol hasil fermentasi

a. Fermentasi dengan Saccharomyces cerevisiae


Fermentasi batch hidrolisat jerami padi dengan kadar glukosa sebesar 1,571 gram / L
dan xilosa sebesar 0,621gram/L menghasilkan kadar etanol pada jam ke-24 sebesar
0,2165 gram/L, seperti ditunjukkan pada gambar 5. Sedangkan etanol yang dihasilkan
pada jam ke-48 sebesar 0,3390 gram / L, seperti ditunjukan dalam gambar 6. Yield
etanol yang dihasilkan sebesar 0,155 g etanol/g glukosa dan xilosa. Yield ini lebih
kecil daripada teoritis tetapi lebih besar daripada yield hasil fermentasi menggunakan

131
glukosa murni 4 gr/L pada table 8. Hal ini dimungkinkan ada gula-gula lain yang
terfermentasi selain glukosa yaitu galaktosa dan manosa. (Meinander, dkk., 1999).
Hal ini perlu diklarifikasi lebih lanjut mengenai kandungan gula yang ada pada
hidrolisat. Dibandingkan dengan yield hasil fermentasi menggunakan glukosa murni
200 gr/L pada table 8, yield hasil fermentasi menggunakan glukosa murni lebih besar
daripada yield hasil fermentasi hidrolisat jerami padi. Hal ini menunjukkan adanya
pengaruh konsentrasi substrat yang difermentasi. Semakin tinggi konsentrasi substrat
maka semakin besar yield yang dihasilkan karena strain Saccharomyces cerevisiae
lebih toleran terhadap inhibisi.
Jumlah etanol yang dihasilkan berbanding terbalik dengan jumlah glukosa,
seperti ditunjukkan dalam gambar 6. Semakin besar jumlah etanol maka penurunan
jumlah glukosa semakin besar pula. Penurunan jumlah xilosa lebih sedikit dibanding
penurunan jumlah glukosa. Hal ini menunjukkan bahwa Saccharomyces cerevisiae
mempunyai kecenderungan menguraikan glukosa menjadi etanol dan kurang reaktif
menguraikan xilosa (Yadav, dkk., 2011).

1.8 0.4
1.6 0.35

Konsentrasi etanol
1.4
Konsentrasi gula

0.3
1.2
0.25
1
gr/L

gr/L
0.2 Glukosa
0.8
0.15 Xilosa
0.6
0.4 0.1 Etanol
0.2 0.05
0 0
0 10 20 30 40 50
waktu (jam)

Gambar 6 Grafik konsentrasi glukosa , xilosa dan etanol dari hasil fermentasi
Saccharomyces cerevisiae

b. Fermentasi dengan Pichia Stipitis


Fermentasi batch hidrolisat jerami padi dengan kadar glukosa sebesar 1,571
gram / L dan xilosa sebesar 0,621gram/L menghasilkan kadar etanol pada jam ke-24
sebesar 0,0967 gram/L, sedangkan etanol yang dihasilkan pada jam ke-48 sebesar
0,156 gram / L, seperti ditunjukan dalam gambar 7. Yield etanol yang dihasilkan
sebesar 0,067getanol/gglukosa dan xilosa. Yield ini lebih besar dibandingkan dengan
yield hasil fermentasi menggunakan xilosa murni 4 gr/L pada table 8. Hal ini terjadi
karena pada fermentasi, hasil hidrolisa yaitu glukosa dan xilosa terfermentasi menjadi
etanol. Dibandingkan dengan yield hasil fermentasi menggunakan xilosa murni
berkonsentrasi 200 gr/L pada table 8 menunjukkan yield yang lebih tinggi daripada
yield hasil fermentasi xilosa murni 4 gr/L dan yield hasil fermentasi hidrolisat jerami
padi. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi xilosa oleh mikroorganisme lebih besar

132
dan inhibisipun menurun pada konsentrasi substrat yang lebih besar sehingga yield
yang diperoleh semakin besar pula.
Dari penjelasan ketiga yield di atas, yield hasil fermentasi menggunakan strain
Pichia stipitis lebih kecil daripada yield hasil fermentasi menggunakan
Saccharomyces cerevisiae. Hal ini disebabkan adanya inhibitor pada fermentasi
menggunakan Pichia stipitis. Dimana perubahan xilosa menjadi xylitol dapat
menghambat jalannya fermentasi jika dalam jumlah berlebih. Sehingga dari xylitol
menuju etanol berjalan lebih lambat. Yield yang kecil tersebut dimungkinkan juga
adanya gula lain yang tidak dapat difermentasi oleh Pichia stipitis yang ada dalam
hidrolisat yang dapat menghambat jalannya fermentasi.
Pada proses fermentasi menggunakan Pichia stipitis jumlah glukosa dan xilosa
mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa Pichia stipitis mempunyai
kemampuan menguraikan glukosa dan xilosa menjadi etanol (Agbogbo dkk, 2008).

1.8 0.16
1.6 0.14

Konsentrasi etanol
Konsentrasi gula

1.4 0.12
1.2
0.1
1
gr/L

gr/L
0.08 glukosa
0.8
0.06 xilosa
0.6
0.4 0.04 etanol
0.2 0.02
0 0
0 10 20 30 40 50
waktu (jam)

Gambar 7 Grafik konsentrasi glukosa , xilosa dan etanol dari hasil fermentasi
Pichia stipitis

c. Fermentasi dengan campuran Saccharomyces cerevisiae dan Pichia Stipitis


Fermentasi batch hidrolisat jerami padi dengan kadar glukosa sebesar 1,571
gram / L dan xilosa sebesar 0,621gram/L menghasilkan kadar etanol pada jam ke-24
sebesar 0,255 gram/L, sedangkan etanol yang dihasilkan pada jam ke-48 sebesar
0,543 gram / L, seperti ditunjukan dalam gambar 8. Yield etanol yang dihasilkan
sebesar 0,248 g etanol/g glukosa dan xilosa.
Jumlah etanol yang dihasilkan berbanding terbalik dengan jumlah glukosa dan
xilosa, seperti ditunjukkan dalam gambar 8. Proses fermentasi menggunakan
campuran Saccharomyces cerevisiae dan Pichia stipitis dapat mengoptimalkan proses
penguraian glukosa dan xilosa sehingga menghasilkan etanol yang lebih banyak. Hal
ini dikarenakan pada proses fermentasi menggunakan Pichia stipitis, xilosa berubah
menjadi xylitol dimana xylitol ini merupakan inhibitor bagi xilosa. Untuk itu dalam
terbentuknya asam piruvat ditambahkan strain Saccharomyces cerevisiae untuk
membantu proses fermentasi menjadi etanol. Di samping itu Saccharomyces
cerevisiae merupakan mikroorganisme yang sangat toleran terhadap inhibitor

133
(Meinander, dkk., 1999) sedangkan Pichia stipitis tidak toleran terhadap inhibitor dan
baik dikerjakan pada kondisi aerob (Yadav, dkk., 2011).
1.8 0.6
1.6
0.5
1.4

Konsentrasi etanol
Konsentrasi gula

1.2 0.4
1
gr/L

gr/L
0.3 glukosa
0.8
xilosa
0.6 0.2
etanol
0.4
0.1
0.2
0 0
0 20 40 60
waktu (jam)

Gambar 8 Grafik konsentrasi glukosa , xilosa dan etanol dari hasil fermentasi
campuran Saccharomyces cerevisiae dan Pichia Stipitis

d. Hubungan antara jumlah bakteri dengan fermentasi hasil hidrolisa menjadi


etanol
Etanol merupakan suatu inhibitor bagi pertumbuhan sel, dimana dengan
menurunnya jumlah sel, maka mengindikasikan bahwa sel tersebut terinhibisi oleh
produk yaitu etanol. Konsentrasi etanol yang dapat menginhibisi sel sebesar 12 %
(v/v) (Bai, dkk., 2008). Kurva pertumbuhan sel pada gambar 9 menunjukkan bahwa
selama proses fermentasi belum terdapat sejumlah sel yang terinhibisi oleh produk
etanol. Hal ini dibuktikan dengan semakin naiknya jumlah sel selama fermentasi.
Dari hasil perhitunganpun didapatkan:
▪ Konsentrasi etanol hasil fermentasi menggunakan Saccharomyces
cerevisiae didapatkan :
0,34
0,34𝑔𝑟 0,789
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑒𝑡𝑎𝑛𝑜𝑙 = = 𝑥 100% = 0,043%
1000𝑚𝑙 1000
▪ Konsentrasi etanol hasil fermentasi menggunakan Pichia stipitis
didapatkan :
0,15
0,15𝑔𝑟 0,789
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑒𝑡𝑎𝑛𝑜𝑙 = = 𝑥 100% = 0,019%
1000𝑚𝑙 1000
▪ Konsentrasi etanol hasil fermentasi menggunakan campuran
Saccharomyces cerevisiae dan Pichia stipitis didapatkan :
0,54
0,54𝑔𝑟 0,789
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑒𝑡𝑎𝑛𝑜𝑙 = = 𝑥 100% = 0,068%
1000𝑚𝑙 1000

134
Dengan konsentrasi ketiga etanol di atas menunjukkan bahwa belum adanya
inhibisi dari etanol dikarenakan konsentrasi etanol kurang dari 12% (v/v). Kurva
konsentrasi sel pada strain campuran Saccharomyces cerevisiae dan Pichia stipitis
menunjukkan arah mendatar pada jam ke-48, hal ini dikarenakan komposisi nutrisi
pada larutan telah mulai habis terkonsumsi oleh strain tersebut.

Gambar 9 Kurva pertumbuhan sel

e. Fermentasi glukosa dan xilosa murni dengan Saccharomyces cerevisiae dan


Pichia Stipitis

Fermentasi dilakukan dengan menggunakan xilosa dan glukosa murni dengan


konsentrasi 4 g/L dan 200 g/L. Hal ini dilakukan untuk mengetahui penyebab kecilnya
yield etanol yang diperolah saat fermentasi dengan substrat hidrolisat jerami padi.
Pada table 8 menunjukkan hasil fermentasi dengan Saccharomyces cerevisiae dengan
konsentrasi glukosa 4 g/L hanya menghasilkan yield sebesar 0,031 g etanol/g glukosa
dan fermentasi dengan Pichia stipitis dengan konsentrasi xilosa 4 g/L hanya
menghasilkan yield sebesar 0,018 g etanol/g xilosa. Hasil tersebut berbeda jika
dibandingkan dengan yield secara teoritis yaitu 0,51 g etanol/ g glukosa atau xilosa.
Sedangkan fermentasi dengan Saccharomyces cerevisiae dengan konsentrasi glukosa
200 g/L menghasilkan yield sebesar 0,399 g etanol/g glukosa dan fermentasi dengan
Pichia stipitis dengan konsentrasi xilosa 200 g/L hanya menghasilkan yield sebesar
0,146 g etanol/g xilosa. Dari pembahasan diatas diketahui bahwa rendahnya
kandungan glukosa dan xilosa pada substrat akan menghasilkan yield etanol yang
kecil dan jauh berbeda dengan yield teoritis. Hal ini dikarenakan pada fermentasi
dengan substrat xilosa murni dan glukosa murni, dimungkinkan terjadi inhibisi di
dalam mikroorganisme sehingga yield yang diperoleh lebih kecil dari teoritis. Untuk
mengantisipasi hal tersebut dapat diantisipasi dengan meningkatkan kadar glukosa
dan xilosa pada substrat.

135
Tabel 9 Hasil Fermentasi glukosa dan xilosa murni menjadi etanol

yield (g etanol/
jam etanol glukosa xylosa
strain g glukosa atau
ke- (g/L) (g/L) (g/L)
xilosa)
0 0,00 4,00 0,00 0,00
saccharomyces
24 0,077 3,16 0,00 0,019
cerevisiae
48 0,123 2,31 0,00 0,031
0 0,00 0,00 4,00 0,00
pichia stipitis 24 0,017 0,00 3,56 0,004
48 0,072 0,00 3,02 0,018
0 0,00 200,00 0,00 0,00
saccharomyces
24 72,03 43,56 0,00 0,360
cerevisiae
48 79,80 13,35 0,00 0,399
0 0,00 0,00 200,00 0,00
pichia stipitis 24 15,45 0,00 149,23 0,077
48 29,17 0,00 97,34 0,146

Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan data analisa yang dilakukan maka diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
1. Pretreatment dengan menggunakan NaOH 1% dengan suhu 60ºC selama 8 jam
dapat menurunkan kadar lignin hingga 7,41%.
2. Hidrolisis enzimatik menggunakan enzim murni dari Aspergillus niger dapat
memperoleh gula reduksi sebesar 13 gr/L.
3. Pada fermentasi etanol dari campuran glukosa xilosa menggunakan Pichia
stipitis menunjukkan adanya inhibisi oleh produk, sedangkan menggunakan
Saccharomyces cerevisiae lebih toleran terhadap inhibitor.
4. Fermentasi etanol dari campuran glukosa dengan xilosa menggunakan
hidrolisat jerami padi dipengaruhi oleh strain, fermentasi etanol dengan
campuran strain Saccharomyces cerevisiae dan Pichia stipitis dengan
konsentrasi glukosa dan xilosa yang sama menghasilkan yield terbesar yaitu
0,248 g/L.
5. Fermentasi etanol dari glukosa murni dan xilosa murni dipengaruhi oleh
konsentrasi awal substrat, optimum pada konsentrasi substrat glukosa awal
200 g/L dan temperatur 30 oC dengan yield tertinggi 0,399g/L sedangkan pada
konsentrasi substrat xilosa awal 200g/L dan temperatur 30 oC dengan yield
tertinggi 0,146 g/L.

Kesimpulan
1. Agbogbo, F.K., Kelly, G.C., Smith, M.T. Wenger, K.S. dan Jeffries, T.W, (2007),
“The Effect of Initial Cell Concentration on Xylose Fermentation by Pichia
stipitis”, Appl. Biochem Biotechnol Vol 136-142
2. Anwar, N., Widjaja, A., Winardi, S. 2011, “Study of The Enzymatic Hydrolysis
of Alkaline Pretrieted Rice Strow Using Cellulase of Various Sources and
Compositions”, International Review of Chemical Engineering Vol. 3.N.2.

136
3. Bai, F. W., Anderson, W. A., Moo-Young, M, (2008), “Ethanol Fermentation
Technologies from Sugar and Starch Feedstocks”, Biotechnology Advances,
26, 89-105
4. Dewi K.H.(2002b), “Hidrolisis Limbah Hasil Pertanian Secara Enzimatik”,
Akta Agrosia, 5, 67–71
5. Meinander, Q. Nina, Boels Ingeborg., (1999), “Fermentation of xylose/glucose
mixtures by metabolically engineered Saccharomyces cerevisiae strains
expressing XYL1 and XYL2 from Pichia stipitis with and without
overexpression of TAL1”, Bioresource Technology 68, 79-87
6. Ratanakhanokchai K, Kyu K.Y., Uttapap D, Tanticharoen M., (1994),
“Induction of xylanase in Bacillus circullans B6” , Biosource Technology 48:
163-167
7. Yadav Srilekha, K., Naseeruddin, S., Prashanthi, S. G., (2011), “Bioethanol
Fermentation of Concentrated Rice Straw Hydrolysate Using Co-Culture of
Saccharomyces cerevisiae and Pichia stipitis”, Bioresource Technology 102,
6473-6478.

137
Bab 9
Produksi Hidrogen dari Bagas Tebu

Pendahuluan
Hidrogen
Hidrogen adalah bahan kimia non logam, tidak berwarna, tidak berbau,
bervalensi tunggal, dan merupakan gas diatomik yang paling ringan. Hidrogen
merupakan salah satu bahan bakar yang ramah lingkungan dan juga dapat
menggantikan bahan bakar fosil sebagai penyedia energi di masa datang karena
pembakaran hidrogen memperkecil resiko terjadinya pemanasan global dan
memperbaiki kualitas udara (Chen dkk, 2006). Ketika terbakar, hidrogen melepaskan
energi berupa panas dan menghasilkan air sebagai produk buangannya (2H2 + O2 =>
2H2O), sama sekali tidak mengeluarkan karbon, sehingga penggunaan hidrogen
sebagai bahan bakar sangat membantu mengurangi polusi karbondioksida dan juga
karbonmonoksida sehingga sekaligus mengurangi efek rumah kaca (Wan W, 2010).
Dibandingkan dengan bahan bakar fosil seperti bensin atau solar, hidrogen dapat
menghasilkan energi yang jauh lebih besar. 1 pound bensin yang dibakar pada suhu
25oC dan tekanan 1 atmosfer akan menghasilkan panas antara 19.000 Btu (44,5 kJ/g)
s/d 20.360 Btu (47,5 kJ/g), sedangkan 1 pound solar bisa menghasilkan panas antara
18.250/lb (42,5 kJ/g) s/d 19,240 Btu (44,8kJ/g). Pada keadaan yang sama, 1 pound
hidrogen bisa menghasilkan panas 51.500 Btu/lb (119,93 kJ/g) sampai 61.000 Btu
(141,86 kJ/g) yang berarti hampir 3 kali lipat dari panas yang bisa dihasilkan oleh
pembakaran bensin dan solar (Wan W, 2010). Berikut merupakan data nilai kalor
beberapa bahan bakar ditunjukkan tabel 1 di bawah ini :

Tabel 1. Kalor Bakar Beberapa Bahan Bakar

Jenis bahan bakar HHV (MJ/kg) LHV (MJ/kg)


Batubara 34,1 33,3
CO 10,9 10,9
Metana 55,5 50,1
Gas Alam 42,5 38,1
Propane 48,9 45,8
Gasoline 46,7 42,5
Solar 45,9 43,0
Hidrogen 141,9 120,1
HHV: higher heating value LHV: lower heating value
(Bossel, 2003)
Bagasse Tebu
Ampas tebu merupakan residu dari proses penggilingan tebu (Saccharum
oficinarum) setelah diekstrak atau dikeluarkan niranya pada industri pemurnian gula
sehingga diperoleh hasil samping sejumlah besar produk biomass yang dikenal
sebagai ampas tebu (bagasse). Ampas tebu ini banyak mengandung serat dan gabus
dan selain dimanfaatkan sendiri oleh pabrik sebagai bahan bakar pemasakan nira, juga
dimanfaatkan oleh pabrik kertas sebagai pulp campuran pembuatan kertas. Ampas

138
tebu ini memiliki aroma yang segar dan mudah dikeringkan sehingga tidak
menimbulkan bau busuk sehingga mudah dalam pengelolaannya.
Salah satu energi alternatif yang relatif murah ditinjau aspek produksinya dan
ramah lingkungan adalah pengembangan hidrogen dari limbah-limbah pertanian
(biomassa) yang mengandung banyak lignoselulosa seperti bagasse (limbah padat
industri gula). Indonesia memiliki potensi limbah biomassa yang sangat melimpah
seperti bagasse. Pada bidang industri gula khususnya di luar Jawa menghasilkan
bagasse yang cukup melimpah. Menurut Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia
(P3GI) tahun 2012, potensi bagasse di Indonesia cukup besar dengan komposisi rata-
rata hasil samping industri gula di Indonesia terdiri dari limbah cair 52,9%, blotong
3,5%, ampas (bagasse) 32,0%, tetes 4,5%, dan gula 7,05% serta abu 0,1%.

Proses Pretreatment Bahan Berlignoselulosa


Lignoselulosa merupakan senyawa gabungan dari selulosa, hemiselulosa, dan
lignin. Pretreatment suatu biomassa biasanya dibutuhkan pada suatu proses operasi
untuk mendapatkan glukosa dengan yield yang tinggi. Pada umumnya, prosedur
pretreatment meliputi pretreatment fisika atau mekanik seperti penggilingan,
pretreatment secara kimia seperti asam kuat atau basa kuat, serta thermal
pretreatment menggunakan ledakan steam. Menurut Hendriks dan Zeeman (2008),
ada beberapa tipe klasifikasi pretreatment yaitu : pretreatment mekanik, pretreatment
thermal, pretreatment asam, pretreatment alkali, pretreatment oksidative, kombinasi
pretreatment ammonia dan karbondioksida. Pretreatment steam, pretreatment kapur,
pretreatment air panas dan pretreatment ammonia dasar merupakan pretreatment
dengan potensial tinggi sehingga efek utama yang terjadi adalah pelarutan
hemiselulosa dan perusakan struktur lignin, yang bertujuan untuk meningkatkan
pencapaian selulosa untuk hidrolisis enzim.

Pretreatment Asam
Pada proses ini hemiselulosa terhidrolisis menjadi gula monomer yang mana
akan ter-recover di fraksi liquid setelah filtrasi. Hasil residu yang berupa padatan akan
mengandung selulosa dan ligin yang akan digunakan lebih lanjut untuk proses
hidrolisa menggunakan selulosa (Taherzadeh and Karimi,2008). Proses pretreatment
ini menghasilkan produk samping seperti furtural (hasil samping gula pentose) dan
hydroxyl methyl furfural (HMF; hasil samping gula hexose), phenolic acid (hasil
samping lignin) dan acetate (diacetylation produk dari hemicellulose). Masing-
masing dari produk samping ini pada konsentrasi kurang lebih 5 mM telah
menunjukan efek penghambatan yang cukup signifikan pada proses fermentasi.
Dengan menggunakan konsentrasi asam yang tinggi dan temperatur yang tinggi maka
didapat konsentrasi gula reduksi yang tinggi, namun dalam kondisi itu gula reduksi
tergradasi pada tingkat yang lebih lanjut.

Pretreatment Alkali
Pretreatment menggunakan alkali adalah proses pretreatment yang paling
umum digunakan dengan menggunakan NaOH dan Ca(OH)2. Proses ini menghasilkan
penghapusan semua lignin dan bagian dari hemiselulosa, dan peningkatan reactivity
dari selulosa.
Penghilangan lignin efektif meminimalkan adsorpsi dari enzim ke lignin dan
dengan demikian dapat membebaskan selulosa. Pretreatment dengan menggunakan

139
NaOH meningkatkan kadar selulosa yang didapat hingga 55 % sementara penurunan
lignin antara 20 sampai 25 %.

Tabel 2. Perbandingan Pretreatment Asam dan Basa


Asam Basa
Menurunkan lignin secara signifikan Tidak menurunkan lignin secara
signifikan
Membutuhkan energi yang besar Berjalan pada temperatur rendah
karena membutuhkan temperatur yang (60-100 oC)
tinggi (100-230 oC)
Penurunan kadar hemiselulosa lebih Penurunan kadar lignin lebih tinggi
tinggi dibandingkan lignin dibandingkan hemiselulosa
Menghasilkan produk samping berupa Tidak menghasilkan produk
asam asetat dan furfural samping
Menyebabkan korosif dan limbah Lebih ramah lingkungan
yang toksik
(Lee S, 2007; Rocha, 2011; Rabelo, 2011; Mussato,2007)

Gambar 1. Skema Proses Pretreatment


(Sumber : Mosier dkk., 2005)

Lignin
Lignin adalah polimer amorf yang memiliki berat molekul yang besar yang sulit
untuk ditetapkan karena heterogenitas lignin yang sangat tinggi dan strukturnya yang
kompleks. Lignin merupakan senyawa polimer aromatik non karbohidrat dalam suatu
biomassa. Bahan pembangun utama lignin terikat secara acak sehingga struktur lignin
menjadi sangat rumit. Lignin juga terikat secara kovalen dengan hemiselulosa,
terutama dengan ikatan ester pada xilan dan membentuk matriks yang kompleks
mengelilingi mikrofibril selulosa. Matriks lignin menbuat dinding sel tanaman kuat
sehingga dinding sel terlindung dari serangan mikroorganisme selulotik. Kelarutan
lignin dalam air hamper sama dengan kelarutan hemiselulosa, yaitu di atas 180 °C
pada kondisi netral (Hendriks dan Zeeman, 2009). Sedangkan kelarutan lignin dalam
lingkungan asam, netral atau basa bergantung kepada prekursor pada lignin yaitu
alkohol-alkohol dari p-kumaril, koniferil, sinapil atau gabungan daripada ketiganya
(Sandgren dkk., 2005). Kandungan lignin pada kayu lunak lebih banyak bila
dibandingkan pada kayu keras. Selain perbedaan kadarnya, struktur lignin dalam kayu
lunak dan dalam kayu keras juga memiliki perbedaan. Lignin diproduksi melalui
reaksi lignifikasi dalam dinding sel tumbuhan yang vital untuk penyatuan struktur dari
tumbuhan, untuk pertahanan terhadap pathogen dan serangan dari bahan kimia.

140
Dalam tumbuh-tumbuhan lignin merupakan produk akhir metabolisme. Hal ini
menunjukkan bahwa lignin merupakan senyawa yang sangat stabil. Dibandingkan
dengan selulosa atau hemiselulosa, pemecahan lignin terjadi sangat lambat oleh jamur
dan bakteri (Schlegel dan Hans,1994).

Gambar 2. Struktur Bangun Lignin


(Sumber : Di Blasi, C dkk, 2001)

Degradasi Enzimatik Selulosa dan Hemiselulosa


Selulosa merupakan komponen utama tanaman dan merupakan polimer
terbanyak di dunia. Jumlah total selulosa yang dihasilkan di seluruh dunia
diperkirakan 7 x 1011 ton/tahun. Selulosa merupakan polimer glukosa linier hidrofilik
yang mana dihubungkan oleh ikatan β–1,4–glikosida seperti yang tertera pada
Gambar II.3 Satuan glukosa pada selulosa bervariasi antara 2000–10.000. Rantai
selulosa bergabung menjadi selulosa kristalin mikrofibril yang kemudian diikat oleh
ikatan hidrogen, oleh interaksi hidrofobik dan oleh gaya van der Waals. Karena
susunan rantai selulosa yang sangat rapi ini membuatnya lebih tahan terhadap
hidrolisis dibandingkan dengan polimer yang memiliki ikatan –1,4 glukan, yaitu
pati. Lebar satuan mikrofibril dalam tanaman sekitar 3 nm yang terdiri dari sekitar 35
rantai selulosa tetapi pada dinding sel sekunder biasanya tergabung selebar 20–100
nm ikatan mikrofibril (Sandgren dkk., 2005).

Gambar 3. Struktur molekul selulosa


(Sumber : Gardner, K.H., and Blackwel, J. 1974. Biopolymers 13(10), 1975-2001)

Hemiselulosa adalah bagian dari dinding sel tanaman yang dapat diekstraksi
menggunakan larutan alkali. Hemiselulosa, selulosa dan lignin membentuk jaringan
yang kaku (Hendriks dan Zeeman, 2009). Hemiselulosa adalah karbohidrat dengan
struktur kompleks yang merupakan gabungan dari polimer-polimer dengan rantai
relatif pendek dan bercabang yang terdiri dari monomer pentosa (seperti xilosa dan
arabinosa) dan heksosa (seperti manosa glukosa dan galaktosa). Komponen utama
hemiselulosa kayu keras dan tanaman pertanian seperti jerami adalah xilan sedangkan
komponen utama hemiselulosa kayu lunak adalah glukomanan.

141
Gambar 4. Struktur Molekul Hemiselulosa
(Sumber : Di Blasi, C dkk, 2001)

Kelarutan pada hemiselulosa bervariasi bergantung kepada jumlah manosa,


xilosa, glukosa, arabinosa dan galaktosa. Kelarutannya pada hemiselulosa berbanding
lurus terhadap kenaikan temperatur (Sandgren dkk., 2005). Hemiselulosa larut dalam
air pada temperatur di atas 180 °C (Hendriks dan Zeeman, 2009). Kelarutan
hemiselulosa selain dipengaruhi oleh temperatur, dipengaruhi juga oleh pH. Xilan
yang terdapat dalam hemiselulosa dapat diekstrak pada lingkungan asam ataupun
basa, sedangkan glukomanan sukar diekstraksi dalam lingkungan asam dan
memerlukan lingkungan basa yang lebih kuat biladibandingkan dengan ekstraksi
xilan. Hemiselulosa sangat sensitif terhadap perlakuan termo-kemis, dimana dalam
perlakuan kimia rantai cabang bereaksi terlebih dahulu, setelah itu baru dilanjutkan
pada rantai utamanya.

Enzim Selulase
Selulase merupakan enzim yang dapat mendegradasi selulosa dan dapat menjadi
katalisator reaksi pendegradasian selulosa. Pada umumnya selulase mendegradasi
selulosa yang memiliki rantai yang lebih pendek dari komponen kayu (selulosa,
hemiselulosa, lignin, ekstraktif dan mineral). Rantai selulosa yang lebih pendek
tersebut dapat ditemukan pada hemiselulosa (glukosa, galaktosa, manosa, xylosa,
arabinosa). Karena komponen hemiselulosa yang memiliki sifat seperti selulosa
adalah glukosa, maka dari itu hemiselulosa terlebih dahulu terdegradasi dibandingkan
dengan selulosa.
Selulase adalah campuran beberapa enzim yang komposisinya bervariasi, dan
tergantung kepada mikroorganisme yang digunakan untuk memproduksi serta
prosesnya. Adapun tiga komponen yang telah teridentifikasi dalam selulase adalah
endoglukanase (endo-β-1,4-D-glukan-4-glukanohidrolase) yang bertugas memecah
ikatan β-1,4-glukanohidrolase pada rantai selulosa secara acak, eksoglukanase (β-1,4-
D-glukanselobiohidrolase,) yang bertugas memecah satuan selobiosa dari ujung rantai
dan β-glukosidase yang bertugas memecah selobiosa menjadi glukosa (Dahot dan
Noomrio, 1996).

142
Gambar 5. Degradasi Selulosa oleh Sistem Enzim Selulase
(Sumber : Dahot dan Noomrio, 1996)

Seperti protein pada umumnya, struktur ion enzim tergantung pada pH


lingkungannya. Enzim dapat berbentuk ion positif, ion negatif, atau ion bermuatan
ganda. Dengan demikian perubahan pH lingkungan akan berpengaruh terhadap
efektivitas bagian aktif enzim dalam membentuk kompleks enzim substrat. Disamping
pengaruh terhadap struktur ion pada enzim, pH rendah, atau pH tinggi dapat pula
menyebabkan terjadinya proses denaturasi dan ini akan mengakibatkan menurunnya
aktifitas enzim. Terdapat suatu nilai pH tertentu atau daerah pH yang dapat
menyebabkan kecepatan reaksi paling tinggi. pH tersebut dinamakan pH optimum.
(Aurel, 2010)

Gambar 7. Grafik Aktivitas Enzim melawan pH


(Sumber : Aurel, 2010)

Aktivitas Enzim selulase diuji dengan menggunakan larutan DNS dan


penambahan CMC. Berikut reaksi yang terjadi setelah penambahan CMC:
CH2OH

O
Enzim Selulase
OH
OH
HO O
H OH
CMC
Glukosa

Gambar 8. Reaksi CMC menjadi Glukosa dalam Pengukuran Aktivitas Enzim


Selulase
(Sumber : Miller, 1959)
Enzim selulase yang diuji aktivitasnya setelah ditambahkan CMC maka dihasilkan
glukosa. Setelah terbentuk glukosa, maka ditambahkan DNS untuk menghentikan
reaksi. Bila DNS tersebut bercampur dengan gula reduksi yaitu glukosa, maka akan
dihasilkan zat warna merah yang selanjutnya akan diukur dengan menggunakan

143
spektrofotometri dengan panjang gelombang 540 nm sehingga didapatkan nilai
aktivitas enzim. Satu unit aktivitas enzim selulase didefinisikan sebagai jumlah enzim
yang memproduksi 1 µmol glukosa per menit.

Gambar.9 Reaksi DNS dan Glukosa Menjadi Zat Warna Merah (3-amino-5-
nitrosalicylate)
(Sumber : Miller, 1959)

Fermentasi Hidrogen
Produksi hidrogen melalui proses fermentasi dapat dibedakan menjadi tiga
kelompok. Yang pertama menggunakan Cyanobacteria yang mana merupakan
autotroph yang langsung mengubah air menjadi hidrogen dengan menggunakan
bantuan cahaya matahari (Hallenbeck PC, Benemann JR., 2002). Yang kedua dan
ketiga adalah heterotroph yang menggunakan substrat organik dalam kondisi anaerob,
baik menggunakan bantuan cahaya matahari atau tanpa cahaya matahari. Produksi
hidrogen dengan menggunakan bantuan cahaya matahari dengan photosynthetic
purple non-sulfur bacteria, sedangkan fermentasi tanpa menggunakan cahaya
matahari yang biasa dikenal fermentasi non-fotosintetik (dark fermentation) dapat
menggunakan Clostridia (Wang dkk., 2003; Evvyernie dkk. 2001; Liu dan Shen,
2004, Lin dan Lay, 2004), Enterobacter dan Bacillus.
Pada produksi hidrogen melalui proses dark fermentation memiliki beberapa
keuntungan antara lain lebih hemat energi, dan dapat dilakukan sepanjang hari karena
tidak membutuhkan cahaya matahari, serta dapat dihasilkan dari berbagai macam
sumber organik, tidak membutuhkan oksigen dan menghasilkan produk yang
bermanfaat. Hidrogen merupakan komponen utama yang dibutuhkan dalam
metabolisme sel anaerobik. Bila di dalam lingkungan tersedia jumlah hidrogen yang
cukup, maka sel akan menggunakannya untuk proses metabolisme dan sebaliknya bila
lingkungan tidak memberikan cukup hidrogen, maka sel dapat menghasilkan hidrogen
dengan cara mereduksi proton – proton yang terdapat di dalam sel (Hallenbeck,
2009).
Dalam proses dark fermentation, substrat akan didegradasi dengan proses
oksidasi untuk memenuhi kebutuhan metabolisme sel yang selanjutnya akan
menghasilkan elektron yang dibutuhkan untuk menjaga kenetralan elektron di dalam
sel. Dalam lingkungan yang kaya akan oksigen, oksigen akan tereduksi dan
membentuk air. Sedangkan dalam lingkungan anoxic, proton akan tereduksi menjadi
hidrogen (Das dkk.,2008). Bila proses fermentasi menggunakan bakteri strict
anaerobic maka glukosa diubah menjadi piruvat dan NADH. Selanjutnya piruvat
diubah menjadi acetyl-CoA dan CO2 menggunakan pyruvate ferredoxin
axidoreductase. Dalam proses ini, oksidasi piruvat menjadi acetyl-CoA membutuhkan
reduksi dari ferredoxin (Fd) yang mana akan teroksidasi oleh enzim hidrogenase dan
menghasilkan Fd-oksidasi dan gas hidrogen. Hidrogen juga dapat diproduksi dari
NADH yang teroksidasi dari Fd-reduksi dan NADH-ferredoxin reductase tetapi hanya
dapat terjadi pada kondisi partial pressure yang rendah. Yield maksimum yang

144
mampu dihasilkan dengan menggunakan strict anaerobic adalah 4 mol H2/mol
glukosa (Mathews dan Wang., 2009).
Dalam proses fermentasi hidrogen mengunakan bakteri fakultatif, terdapat dua
jalur utama produksi hidrogen yaitu NADH pathway dan format pathway. Glukosa
yang terkandung di dalam substrat kemudian diubah menjadi asam piruvat melalui
proses glikolisis. Dari reaksi tersebut dihasilkan 2 NADH dan 2 ATP (Cai dkk.,2011).
Dalam kondisi aerob, piruvat diubah menjadi asetat dengan bantuan enzim piruvate
dehydrogenase (PDH). Namun dalam kondisi anaerob, sebagian piruvat diubah oleh
enzim piruvate format lyase (PFL) menghasilkan asam format dan asetil coenzym-A
(AcCoa). Kemudian AcCoa diubah menjadi asam asetat dan etanol dan sebagian
piruvat yang lainnya diubah menjadi asam laktat. Selain itu, sel juga memproduksi
asam suksinat. Selanjutnya format dapat diubah menjadi gas hidrogen dan CO2. Hal
tersebut dikenal dengan sebutan format pathway. Dalam proses format pathway
terdapat peran enzim hidrogenase yang merupakan bagian dari format hydrogen lyase
complex (FHL-1) (Mathews dan Wang., 2009). Yield maksimum yang bisa diperoleh
dengan bakteri fakultatif adalah 2 mol H2/mol glukosa dari format pathway. Reaksi
menggunakan format pathway adalah sebagai berikut :
2 Format  2 H2 + 2 CO2
Selain itu hidrogen juga dapat diproduksi melalui proses NADH pathway,
hidrogen dapat diubah dari NADH yang telah mengalami proses oksidasi dengan
melepaskan proton H+ . Reaksi dalam NADH pathway adalah sebagai berikut :
2NADH + 4H+ 2NAD+ + 2H2
Skema reaksi produksi hidrogen adalah sebagai berikut (Lu dkk.,2011) :

Gambar 10 Alur metabolisme Enterobacter aerogenes


( Sumber : Lu dkk, 2011)

145
Gambar 11 Alur Reaksi Fermentasi Hidrogen dari Berbagai Gula Reduksi
(Sumber : Colins dkk., 2011)
Produksi hidrogen secara fermentatif adalah proses yang sangat kompleks dan
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti inokulum, substrat, jenis reaktor, temperatur,
pH serta komposisi nitrogen, posfat dan ion logam, (Kapdan dan Kargi, 2006; Hawkes
dkk., 2007; Kraemer dan Bagley, 2008).

Fourier Transform Infra Red


Pada dasarnya Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red (disingkat FTIR)
adalah sama dengan Spektrofotometer Infra Red dispersi, yang membedakannya
adalah pengembangan pada sistem optiknya sebelum berkas sinar infra merah
melewati contoh. Dasar pemikiran dari Spektrofotometer Fourier Transform Infra
Red adalah dari persamaan gelombang yang dirumuskan oleh Jean Baptiste Joseph
Fourier (1768-1830) seorang ahli matematika dari Perancis.
Dari deret Fourier tersebut intensitas gelombang dapat digambarkan sebagai
daerah waktu atau daerah frekuensi. Perubahan gambaran intensitas gelobang radiasi
elektromagnetik dari daerah waktu ke daerah frekuensi atau sebaliknya disebut
Transformasi Fourier (Fourier Transform).
Selanjutnya pada sistem optik peralatan instrumen Fourier Transform Infra Red
dipakai dasar daerah waktu yang non dispersif. Sebagai contoh aplikasi pemakaian
gelombang radiasi elektromagnetik yang berdasarkan daerah waktu adalah
interferometer yang dikemukakan oleh Albert Abraham Michelson (Jerman, 1831).
Sistem optik Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red dilengkapi dengan
cermin yang bergerak tegak lurus dan cermin yang diam. Dengan demikian radiasi
infra merah akan menimbulkan perbedaan jarak yang ditempuh menuju cermin yang
bergerak ( M ) dan jarak cermin yang diam ( F ). Perbedaan jarak tempuh radiasi
tersebut adalah 2 yang selanjutnya disebut sebagai retardasi ( δ ). Hubungan antara
intensitas radiasi IR yang diterima detektor terhadap retardasi disebut sebagai
interferogram. Sedangkan sistem optik dari Spektrofotometer Infra Red yang
didasarkan atas bekerjanya interferometer disebut sebagai sistem optik Fourier
Transform Infra Red.

146
Pada sistem optik Fourier Transform Infra Red digunakan radiasi LASER
(Light Amplification by Stimulated Emmission of Radiation) yang berfungsi sebagai
radiasi yang diinterferensikan dengan radiasi infra merah agar sinyal radiasi infra
merah yang diterima oleh detektor secara utuh dan lebih baik.
Detektor yang digunakan dalam Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red
adalah Tetra Glycerine Sulphate (disingkat TGS) atau Mercury Cadmium Telluride
(disingkat MCT). Detektor MCT lebih banyak digunakan karena memiliki beberapa
kelebihan dibandingkan detektor TGS, yaitu memberikan respon yang lebih baik pada
frekuensi modulasi tinggi, lebih sensitif, lebih cepat, tidak dipengaruhi oleh
temperatur, sangat selektif terhadap energi vibrasi yang diterima dari radiasi infra
merah.
Secara keseluruhan, analisis menggunakan Spektrofotometer ini memiliki dua
kelebihan utama dibandingkan metoda konvensional lainnya, yaitu :
• Dapat digunakan pada semua frekuensi dari sumber cahaya secara simultan
sehingga analisis dapat dilakukan lebih cepat daripada menggunakan cara
sekuensial atau pemindaian.
• Sensitifitas dari metoda Spektrofotometri Fourier Transform Infra Red lebih besar
daripada cara dispersi, sebab radiasi yang masuk ke sistem detektor lebih banyak
karena tanpa harus melalui celah.

Difraksi Sinar-X
XRD merupakan alat yang digunakan untuk mengkarakterisasi struktur kristal,
ukuran kristal dari suatu bahan padat. Semua bahan yang mengandung kristal tertentu
ketika dianalisa menggunakan XRD akan memunculkan puncak – puncak yang
spesifik. Sehingga kelemahan alat ini tidak dapat untuk mengkarakterisasi bahan yang
bersifat amorf.
XRD merupakan metode analisa nondestruktif yang didasarkan pada
pengukuran radiasi sinar-X yang terdifraksi oleh bidang kristal ketika terjadi interaksi
antara suatu materi dengan radiasi elektromagnetik sinar X. Suatu kristal memiliki
kisi kristal tertentu dengan jarak antar bidang kristal (d) spesifik juga sehingga bidang
kristal tersebut akan memantulkan radiasi sinar X dengan sudut-sudut tertentu.
Kegunaan metode difraksi sinar-X adalah untuk analisa penentuan struktur
kristal, seperti bentuk dan ukuran sel satuan kristal (d, sudut, dan panjang ikatan),
pengindeksan bidang kristal, dan jumlah atom per-sel satuan.

Hasil Penelitian dan Pembahasan


Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan teknologi pengadaan hidrogen
generasi kedua dari bagasse tebu dengan memanfaatkan tidak hanya komponen
selulosa tetapi juga hemiselulosa di dalam limbah padat ini. Dalam proses penelitian
akan dipelajari pengaruh variasi pH yang digunakan dalam proses fermentasi bagasse
tebu serta mempelajari dan membandingkan pengaruh jenis enzim yang digunakan
dalam proses hidrolisis bagasse tebu pada produksi gas hidrogen. Selain itu penelitian
ini juga akan mempelajari struktur kristalinitas dari bagas tebu sebelum pretreatment
dan sesudah pretreatment dengan menggunakan analisa FTIR (Fourier Transform
Infra Red) dan XRD (X-Ray Diffraction)
Penelitian untuk menghasilkan gas hidrogen ini, melalui 4 tahapan utama,
yaitu:
1. Tahap pretreatment bagasse tebu secara mekanik dan kimiawi.

147
2. Tahap penyiapan larutan enzim selulase murni dari Aspergillus niger dan xilanase
murni dari Trichoderma longibrachiatum.
3. Tahap hidrolisis bagasse tebu dengan enzim selulase, enzim xilanase, dan
campuran antara enzim selulase dan enzim xilanase.
4. Tahap fermentasi glukosa dan xilosa untuk mendapatkan hidrogen dengan bantuan
bakteri Enterobacter aerogenes.

Pretreatment Bagasse Tebu


Proses pretreatment bagasse tebu pada penelitian ini dilakukan dengan dua
cara, yaitu secara mekanik dan kimiawi dengan menggunakan NaOH 1% dan H2SO4
1,5 %. Tujuan dari pretreatment adalah untuk membuka struktur lignoselulosa agar
selulosa menjadi lebih mudah diakses oleh enzim yang memecah polimer polisakarida
menjadi monomer gula.

Pretreatment Mekanik
Hal pertama yang dilakukan dalam proses pretreatment mekanik ini adalah
bagasse tebu yang diperoleh dari hasil penggilingan gula dicuci dengan air bersih.
Pencucian ini bertujuan untuk membersihkan sisa-sisa gula yang masih menempel
pada bagasse karena bagasse diambil langsung dari tempat penggilingan gula, selain
itu juga membersihkan dari kotoran-kotoran yang menempel pada bagasse tebu
sehingga diharapkan proses selanjutnya akan berjalan lebih efektif dan hasilnya
maksimal. Bagasse tebu yang telah dicuci bersih, dikeringkan di bawah sinar matahari
selama 3 jam. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya pembusukan pada
bagasse tebu, sehingga bagasse tebu menjadi tahan dalam jangka waktu yang lama.
Selanjutnya bagasse tebu yang sudah dijemur, digiling dengan mesin penggiling. Lalu
bagasse tebu dioven pada suhu 100°C selama 8 jam. Langkah terakhir pada proses
pretreatment mekanik ini adalah bagasse tebu diayak sampai diperoleh ukuran
sebesar 100-120 mesh. Proses pengayakan bagasse tebu sampai diperoleh ukuran
100-120 mesh ini bertujuan agar dapat mempermudah pada proses enzimatik oleh
enzim selulase dan xilanase. Ukuran yang kecil (100-120 mesh) akan memperluas
permukaan kontak antara enzim dengan bagasse tebu sehingga enzim dapat dengan
mudah mendegradasi selulosa dan hemiselulosa yang terkandung dalam bagasse tebu
menjadi glukosa. Dalam penelitian sebelumnya ukuran optimum untuk proses
degradasi diperoleh pada ukuran 100-120 mesh. (Anwar dkk, 2011).

Pretreatment Kimiawi
Pretreatment bagasse tebu secara kimiawi bertujuan untuk menghilangkan
kadar lignin karena struktur lignin pada bagasse tebu bersifat kokoh sehingga dapat
menghalangi kinerja enzim dalam mendegradasi selulosa dan hemiselulosa. Oleh
sebab itu, dalam penghilangan lignin diperlukan treatment lanjutan selain treatment
mekanik yaitu menggunakan treatment kimiawi (Sun dan Heng, 2002). Pada
pretreatment ini digunakan NaOH dan H2SO4. NaOH dapat menurunkan derajat
polimerisasi, meningkatkan kristalinitas dan memutus ikatan antara lignin dan
karbohidrat. Pretreatment bagasse tebu secara kimiawi ini selain untuk
menghilangkan lignin juga untuk meningkatkan kereaktifan dari polisakarida yang
masih terkandung di dalam bagasse tebu (Maeda, dkk, 2011).
Dalam pretreatment kimiawi ini, larutan yang digunakan adalah larutan NaOH
1% dan H2SO4 1,5 %. Hal ini berdasarkan penelitian sebelumnya yang menyatakan
bahwa kondisi optimum dari hasil pretreatment dapat dicapai ketika menggunakan
NaOH 1% (Maeda, dkk, 2011). Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan

148
Maeda (2011), pretreatment menggunakan NaOH dapat mempengaruhi efisiensi dari
proses pretreatment pada hidrolisis bagasse tebu. Hal tersebut ditunjukkan dari grafik
9.1.
Dari grafik di atas, dapat dibaca bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH yang
digunakan dalam proses pretreatment, maka efisiensi dari proses pretreatment pada
proses hidrolisis bagasse tebu juga semakin baik. Hal ini ditunjukkan dengan
produksi glukosa dalam satuan gram per liter (g/L) yang dihasilkan juga semakin
tinggi disetiap pertambahan waktu. Begitu juga sebaliknya, jika konsentrasi NaOH
semakin kecil, maka efisiensinya juga menurun, sehingga konsentrasi glukosa juga
lebih sedikit dalam waktu 24 jam. Penghilangan lignin efektif meminimalkan adsorpsi
dari enzim ke lignin dan dengan demikian dapat membebaskan selulosa. Sementara
H2SO4 1,5% digunakan untuk melihat perbandingan hasil pretreatment bagasse tebu
jika dibandingkan dengan NaOH 1%.
50 gram bagasse tebu yang telah mengalami proses pretreatment mekanik
sehingga memiliki ukuran 100-120 mesh, dilarutkan dalam 1000 mL NaOH 1%, lalu
dipanaskan pada temperatur 80C dan diaduk dengan stirrer selama 16 jam.
Sedangkan untuk pretreatment dengan H2SO4 1,5%, 50 gram bagasse tebu yang telah
mengalami proses pretreatment mekanik sehingga memiliki ukuran 100-120 mesh,
dilarutkan dalam 1000 mL H2SO4 1,5%, dipanaskan hingga 100oC dan diaduk dengan
stirrer selama 30 menit. Setelah proses pretreatment selesai, bagasse tebu disaring
dengan kain tipis dan kertas saring dengan bantuan pompa vacum. Pompa vacum
dapat membantu mempercepat proses penyaringan supaya larutan pada bagasse tebu
segera turun ke bawah. Selain proses penyaringan ini dilakukan juga proses pencucian
dengan air panas hingga pH netral (pH 7) dan selanjutnya dikeringkan dengan oven.
Massa akhir bagasse tebu setelah pretreatment ditunjukkan pada tabel 9.1

45
40
35 NaOH 4.0%

30 NaOH 2.0%
Glucose (g/L)

25 NaOH 1.0%

20 NaOH 0.5%

15 NaOH 0.25%

10 NaOH 0.1%

5 Cellulignin

0 Bagasse

0 3 6 9 12 15 18 21 24
Time (h)
Gambar 9.1. Pengaruh Konsentrasi NaOH pada pretreatment terhadap hidrolisis
(Sumber : Maeda dkk, 2011)

Tabel 9.1 Massa Akhir Bagasse Tebu setelah Pretreatment secara Kimiawi
Massa Bagasse Massa yang
No Pretreatment Tebu (gram) Hilang (%)

Awal Hasil

149
1 NaOH 1 % 50 29 42
2 H2SO4 1,5 % 50 45,2 9,6

Kemudian dilakukan analisa dengan Metode Chesson (Datta, 1981) untuk


mendapatkan kadar selulosa, hemiselulosa dan lignin pada bagasse tebu. Dalam
Metode Chesson ini, digunakan H2SO4. H2SO4 1 N untuk melarutkan hemiselulosa
sedangkan H2SO4 72 % + H2SO4 1 N untuk melarutkan selulosa. Pada Metode
Chesson, setelah sampel direflux menggunakan H2O, sampel direflux dalam H2SO4 1
N. Dalam proses ini yang terjadi adalah pelarutan hemiselulosa yang terdapat pada
sampel sehingga berat akhir sampel dari proses ini adalah berat sampel yang telah
kehilangan hemiselulosa. Kemudian proses selanjutnya sampel direndam dalam
H2SO4 72% kemudian ditambah H2SO4 1 N dan direflux kembali, pada proses ini
yang terjadi adalah pelarutan selulosa sehingga berat sampel pada proses ini adalah
berat sampel yang telah kehilangan hemiselulosa dan selulosa. Kadar selulosa,
hemiselulosa dan lignin pada bagasse tebu berdasarkan hasil analisa dengan Metode
Chesson dapat dilihat pada tabel 9.2.
Dari tabel 9.2 dapat diperoleh bahwa konsentrasi selulosa, hemiselulosa dan
lignin mengalami perubahan dari sebelum dipretreatment dengan sesudah
dipretreatment dengan menggunakan NaOH 1% ataupun dengan menggunakan
H2SO4, dimana konsentrasi ini ditunjukkan dalam prosentase berat (%w/w).
Berdasarkan tabel 9.2 diperoleh bahwa konsentrasi selulosa mengalami peningkatan
setelah mengalami pretreatment, sedangkan konsentrasi hemiselulosa dan lignin
mengalami penurunan. Jika digunakan NaOH dengan kadar yang lebih besar, hal ini
akan mengakibatkan selulosa dan hemiselulosa banyak yang terlarut bersama dengan
lignin, sehingga akan mempengaruhi hasil akhir dalam kadar glukosa yang ingin
dicapai, padahal hemiselulosa perlu dipertahankan untuk menghasilkan gula xilosa
yang juga dapat difermentasi menjadi hidrogen (H2).

Tabel 9.2 Kadar Selulosa, Hemiselulosa dan Lignin dalam presentase massa
(%w/w) dengan Metode Chesson dari Bagasse Tebu Sebelum dan
Sesudah Pretreatment
Selulosa Hemiselulosa Lignin Abu Ekstrak Total
No Variabel
%w/w
Sebelum
1 38,37 33,02 12,48 3,52 12,61 100
Pretreatment
2 NaOH 1 % 65,79 18,31 5,47 0,11 10,32 100
3 H2SO4 1,5 % 50 30 14 2 4 100

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ramadhan A.A dan


Hendrawan A.D (2013) yang menggunakan NaOH 1% sebagai bahan pretreatment
bagasse tebu, menunjukkan terjadi peningkatan kadar selulosa yang awalnya sebesar
33% (sebelum pretreatment) menjadi 61,9% (sesudah pretreatment). Adapun nilai
hemiselulosa sebelum pretreatment sebesar 37% dan 25.7% sesudah pretreatment.
Kadar lignin turun dari 26% (sebelum pretreatment) hingga 7% (sesudah
pretreatment). Jika dibandingkan dengan hasil penelitian ini, menunjukkan tidak
terjadi perbedaan yng cukup signifikan diantara kedua penelitian ini. Hal ini
dikarenakan proses sebelum dan sesudah pretreatment tersebut dikondisikan dengan
kondisi operasi yang sama. Jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh

150
Yuwono T dan Rolanda E (2012) menggunakan NaOH dengan konsentrasi 4%, 8%
dan 12% hasil yang paling baik adalah dengan konsentrasi 4% sebesar 8,36%, namun
dengan hasil tersebut masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan konsentrasi 1%
NaOH. Siquera dkk (2013) juga melakukan penelitian mengenai proses delignifikasi
bagasse tebu dengan menggunakan sodium klorida (NaCl) 0,93 % w/v selama 4 jam
pada suhu 70-80oC. Hasil yang diperoleh dari penelitian Siquera dkk (2013) adalah
6,7 ± 0,3 % lignin, 30,5 ± 0,3 % hemiselulosa, dan 59,7 ± 0,5 % selulosa. Adapun
penelitian yang sama juga dilakukan oleh Rocha dkk Rocha dkk yaitu menggunakan
kombinasi steam explosion pre-treatment dan pretreatment NaOH 1%. Hasil dari
penelitian yang dilakukan oleh Rocha adalah 86,8% selulosa, 4% hemiselulosa, dan
6,1% lignin.

Tabel 9.3 Perbandingan Komposisi Lignoselulosa setelah Pretreatment Penelitian ini


dengan Penelitian Orang Lain
N Peneliti Bahan Jenis Kondisi Hasil
o baku Pretreatment Operasi (%)
o
1 Penelitian Bagasse NaOH 1 % Suhu 80 C, Selulosa = 65,5
ini tebu 16 jam Hemiselulosa =
18,31
Lignin = 5,47
2 Siquera dkk Bagasse NaCl 1 % Suhu Selulosa =
2013 tebu 70-80oC, 4 59,7 ± 0,5
jam Hemiselulosa = 30,5
± 0,3
Lignin =
6,7 ± 0,3
1 1
3 Rocha dkk Bagasse Steam Tekanan 1,3 Selulosa = 86,8
2012 tebu Explosion + Mpa 15 Hemiselulosa = 4
2
NaOH 1 % menit Lignin = 6,1
2 o
Suhu 100
C, 1 jam
1 1
4 Maeda R.N Bagasse 1 % H2SO4 Suhu 121o Selulosa =
2
dkk 2011 tebu + 4 % NaOH C, 68.0 ± 1.3
45 menit Hemiselulosa = 12.2
2
Suhu 121o C ± 0.9
30 menit Lignin = 9.3 ± 0.6
5 Ramadhan Bagasse *NaOH 1 % Suhu 80oC, Selulosa = 61,9
A.G.G dan Tebu 16 jam Hemiselulosa = 37
Hedrawan Lignin = 7
A.D., 2013
6 Yuwono T, Bagasse *NaOH 4 % Suhu 80oC, Selulosa = 65,97
dan Tebu 16 jam Hemiselulosa =
Rolanda E 16,09
2012 Lignin = 15,17
*Keterangan : hasil pretreatment yang terbaik

Analisa X-Ray Diffraction


XRD adalah salah satu metode paling sederhana dan paling banyak digunakan
untuk mengukur Cristalinity Index. Cristalinity Index (CrI) digunakan untuk

151
mengetahui lebih jauh kristaliniti selulosa. Biasanya hasil CrI dari XRD dibandingkan
hasilnya dengan menggunakan analisa CrI dari FTIR (Park, 2010).

250
Pretreatment NaOH 1 %
200
Pretreatment H2SO4 1,5 %

150
Tanpa Pretreatment
Intensity

100

50

0
5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49
2

Gambar 9.2 Hasil Analisa XRD Bagasse Tebu setelah Pretreatment dan Non-
Pretreatment

Dari grafik 9.2 menunjukkan perbedaan bagasse tebu sebelum pretreatment dan
setelah melalui proses pretreatment dengan NaOH 1 %. Terlihat pada I101 (2 = 16,6o)
pada pretreatment NaOH 1 % terbentuk peak yang cukup tajam jika dibandingkan
dengan pretreatment H2SO4 1.5% atau bagasse tebu tanpa pretreatment, dimana pada
titik yang sama tidak terbentuk peak. Hal ini menunjukkan bahwa pada pretreatment
NaOH 1 %, struktur amorf (lignin dan hemiselulosa) mulai terdegradasi. Jika merujuk
pada nilai Cristalinity Index (CrI), dengan menggunakan persamaan (Zhu Z dkk,
2012)
𝐼002 − 𝐼𝑎𝑚
𝐶𝑟𝐼 = 𝑥 100 %
𝐼002

dimana I002 yang menyatakan intensitas kristaliniti dari selulosa yaitu 2 = 22.7o, dan
yang kedua adalah Iam, peak dari struktur amorf suatu bahan yang berkisar 2 = 16.6o
(Kumar dkk, 2009), maka dapat juga dilihat perbedaan dari kedua perlakuan tersebut.

Tabel 9.4 Nilai Cristalinity Index (CrI) Bagasse Tebu Tanpa dan dengan
Pretreatment
No. Jenis Sampel Nilai Cristalinity
Index (CrI) (%)
1 Bagasse Tebu Tanpa 48,46
Pretreatment
2 Bagasse Tebu 68,38
Pretreatment NaOH 1 %
3 Bagasse Tebu 57,89
Pretreatment H2SO4 1,5 %

Tabel 9.4 menunjukkan bahwa ada peningkatan nilai Cristalinity Index (CrI) sebelum
dan setelah pretreatment. Cristalinity Index (CrI) adalah rasio berat, sehingga
kenaikan kristaliniti dapat dikatakan bahwa hilangnya atau berkurangnya struktur
amorf dari suatu bahan seperti lignin, dan hemiselulosa (Maeda R.N, 2011). Jadi

152
dapat disimpulkan bahwa bagasse tebu yang telah dipretreatment dengan
menggunakan NaOH 1 % mempunyai kristaliniti yang lebih besar jika dibandingkan
dengan bagasse tebu yang telah dipretreatment dengan H2SO4 1,5% ataupun jika
dibandingkan dengan sebelum pretreatment.
Hal yang sama juga diperoleh dalam penelitian yang dilakukan oleh S.Cao dan
G.M Aita (2013), dengan menggunakan kombinasi surfactan dan amonia sebagai
bahan pretreatment bagasse tebu, menunjukkan bahwa nilai Cristalinity Index (CrI)
mengalami peningkatan signifikan sebelum dan sesudah pretreatment. Dengan nilai
CrI sebelum pretreatment adalah 4 % dan setelah pretreatment dengan menggunakan
Tween 80 yang diencerkan dengan amonia sebesar 92 %. Adapun penelitian lain yang
dilakukan oleh R.N Maeda (2011), menunjukkan bahwa nilai CrI semakin naik
dengan penambahan konsentrasi dari NaOH. Pretreatment NaOH 0.1 % mempunyai
nilai CrI 62.9 % ± 2.2, NaOH 0.5 % mempunyai nilai CrI 66.6 ± 3.0, NaOH 1 %
mempunyai nilai CrI 70.5 ± 2.9, dan sedikit penurunan pada pretreatment NaOH 4 %
yaitu 68.6 ±3.4.

Analisa FTIR (Fourier Transform Infra Red)


Analisa FTIR digunakan untuk melihat struktur dari bagas tebu terutama
struktur dari selulosa sebelum pretreatment, pretreatment NaOH 1 %, dan
pretreatment H2SO4 1.5 %. Ada dua rasio infra merah yang digunakan dalam
perhitungan FTIR. Pertama adalah  1430 cm-1 /  897 cm-1, rasio peak area pada 1430
dan 897, disebut sebagai Lateral Order Index (LOI) (S.Cao dan G.M Aita, 2012).
Kedua adalah  1372 cm-1 /  2900 cm-1, rasio peak area pada 1372 dan 2900 cm-1, yang
disebut sebagai Total Crystallinity Index (TCI) (S.Cao dan G.M Aita, 2013). Nilai
absorbansi pada 1430 dan 897 cm-1 sangat sensitif pada struktur kristal di dalam
bahan yang mengandung selulosa tipe I. Absorbansi pada 1430 cm-1 erat kaitannya
dengan scissoring motion dari CH2, dan absorbansi pada 897 cm-1 ditetapkan sebagai
C-O-C stretching, yang mana merupakan karakteristik dari -anomers atau -linked
polymer glukosa (S.Cao dan G.M Aita, 2013). Hal ini menyatakan bahwa jenis
selulosa yang ada pada tanaman tingkat tinggi adalah selulosa. Jumlahnya dapat
dibuktikan dengan fraksi selulosa tipe I yang ada pada bahan berselulosa (Kou dan
Lee, 2009). Dengan kata lain, rendahnya nilai LOI mengindikasikan bahwa sedikitnya
selulosa tipe I. Selulosa tipe I akan berubah menjadi selulosa tipe II selama proses
pretreatment.
Nilai absorbansi pada saat 1372 cm-1 (C – H bending) dan 2900 cm-1 (C – H
streatching) digunakan karena sangat peka untuk mengindikasikannya adanya
selulosa tipe I dan tipe II dalam suatu bahan. Oleh karena itu, tingginya nilai TCI
mengindikasikan bahwa suatu bahan tersebut mempunyai tingkat kristaliniti yang
tinggi dan struktur selulosa yang lebih padat.

153
Gambar 9.3 Grafik Hasil Analisa FTIR pada Bagasse Tebu Sebelum dan Sesudah
Pretreatment

Gambar 9.3 merupakan grafik hasil analisa FTIR pada bagasse tebu sebelum dan
sesudah hasil pretreatment. Berdasarkan grafik tersebut dapat dihitung nilai LOI dan
TCL, seperti yang ditampilkan dalam tabel 9.5.

Tabel 9.5 Nilai LOI dan TCI pada Bagasse Tebu pada Berbagai Variabel
No. Jenis Sampel LOI TCI
1 Bagas Tebu Tanpa 0,96 1,053
Pretreatment
2 Bagas Tebu Pretreatment 0,93 1,030
NaOH 1 %
3 Bagas Tebu Pretreatment 0,95 1,050
H2SO4 1,5 %
Pada tabel 9.5 menunjukkan bahwa terjadi penurunan pada nilai LOI dari bagasse
tebu sebelum dan sesudah pretreatment, yaitu dari 0,96 ke 0,93. Hal ini menunjukkan
bahwa setelah proses pretreatment terjadi perubahan struktur selulosa yang awalnya
berbentuk selulosa tipe I (mempunyai struktur yang tertata) menjadi bentuk selulosa
tipe II, dimana struktur dari tipe ini tidak tertata (lebih amorf). Enzim penghidrolis
(selulase dan xilanase) biasanya lebih cepat 3-30 kali lipat menghidrolisis selulosa
jika dibandingkan dengan selulosa yang masih berbentuk kristal (Maeda R.N, 2011).
Sifat ini tentunya menguntungkan bagi enzim penghidrolisis, dimana lebih mudah
menghidrolisis selulosa menjadi gula.

Penyiapan dan Pembuatan Larutan Enzim Selulase dan Xilanase Murni

Enzim yang digunakan dalam penelitian ini adalah enzim selulase murni dari
Aspergillus niger dan xilanase murni dari Trichoderma longibrachiatum. Enzim
sebanyak 1 gram yang digunakan diencerkan terlebih dahulu dengan menggunakan
100 mL buffer sitrat pH 3 dan kemudian diuji aktifitasnya. Untuk mendapatkan
aktifitas enzim selulase dan xilanase perlu dipersiapkan kurva standar glukosa dan
xilosa. Dari absorbansi yang didapatkan kemudian dibuat kurva kalibrasi antara
absorbansi dengan konsentrasi glukosa dan xilosa, sehingga didapatkan kurva standar
glukosa dan xilosa untuk menguji keaktifan enzim selulase dan xilanse. Hasilnya
ditunjukkan pada tabel 9.6 dan 9.7.

154
Tabel 9.6 Perhitungan Kurva Standar Glukosa (dengan CMC) untuk Menguji
Keaktifan Enzim Selulase
Konsentrasi
Larutan
V (µmol/mL)
Glukosa Buffer Diambil CMC
total Di Di Absorbansi
0.02 M (mL) (mL) (mL)
(mL) tabung kuvet
(mL) 1) 2)

0 5 0,2 1,8 5 0,000 0,000 0


1 4 0,2 1,8 5 4,078 0,408 0,022
2 3 0,2 1,8 5 8,156 0,816 0,187
3 2 0,2 1,8 5 12,233 1,223 0,199
4 1 0,2 1,8 5 16,311 1,631 0,273
5 0 0,2 1,8 5 20,389 2,039 0,347
1)
Konsentrasi larutan glukosa dan buffer sitrat
2)
Konsentrasi larutan setelah penambahan CMC dan DNS

2.500
Konsentrasi glukosa dalam Kuvet

2.000 y = 5.7695x
R² = 0.9456
1.500
(µmol/ml)

1.000

0.500

0.000
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5

Absorbansi

Gambar 9.4 Kurva Standar Glukosa (dengan CMC) untuk Menguji Keaktifan Enzim
Selulase

Tabel 9.7 Perhitungan Kurva Standar Xilosa (dengan Xylan) Untuk Menguji
Keaktifan Enzim Xilanase
Konsentrasi
Larutan
Buffer Diambil Xilan V total (µmol/ml)
xilosa 0.024 Abs
(mL) (mL) (mL) (mL) Di 2)
M (mL) Di kuvet
tabung1)
0 5 0,2 1,8 5 0,000 0,00 0,000
1 4 0,2 1,8 5 4,897 0,49 0,170
2 3 0,2 1,8 5 9,794 0,97 0,237
3 2 0,2 1,8 5 14,69 1,46 0,343
4 1 0,2 1,8 5 19,58 1,95 0,387
5 0 0,2 1,8 5 24,48 2,44 0,486
1)
Konsentrasi larutan glukosa dan buffer sitrat
2)
Konsentrasi larutan setelah penambahan xylan dan DNS

155
3

Konsentrasi Xilosa dalam Kuvet


2.5
y = 4.7009x
2 R² = 0.9569

(μmol/mL)
1.5

0.5

0
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6
Absorbansi

Gambar 9.5 Kurva Standar Xilosa (dengan Xylan) untuk Menguji Keaktifan Enzim
Xilanase

Dari kurva standar glukosa dan xilosa yang telah didapat langkah selanjutnya
adalah menguji keaktifan enzim. Keaktifan enzim diuji dengan metode DNS dan
pengukuran absorbansi dengan panjang gelombang 540 nm. Kedua kurva di atas
(Gambar 9.4 dan Gambar 9.5) diperoleh dari larutan glukosa dan xilosa yang
dicampur masing-masing dengan Carboxymetil Cellulose (CMC) dan xylan. CMC
digunakan karena CMC dapat dihidrolisis oleh enzim selulase sehingga dihasilkan
glukosa, sedangkan xylan dihidrolisis oleh xilanase menjadi xilosa, dari hal tersebut,
dapat diketahui bagaimana dan berapa aktivitas enzim tersebut. Panjang gelombang
yang digunakan untuk mengukur absorbansi dari Enzim Selulosa dan Xilanase adalah
540 nm. Karena pada  tersebut, reaksi gula reduksi dengan reagen Dinitrosalicylic
Acid (DNS), akan menghasilkan warna merah atau jingga setelah dipanaskan dan
didinginkan sehingga dapat terbaca absorbansinya oleh gelombang 540 nm.

Tabel 9.8 Pengukuran Aktivitas Enzim Selulase dan Enzim Xilanase dalam Enzim
Selulase Murni
Absorbansi(A)
Aktivitas
Enzim Slope
(A1) (A2) (A1-A2) (U/mL)
Selulase 0,484 0,154 0,33 5,7695 1,903
Xilanase 1,314 1,226 0.088 4,7009 0.413
Keterangan : A1 : Absorbansi larutan sebelum koreksi
A2 : Absorbansi larutan setelah koreksi
Aktivitas enzim = (A1-A2) x slope kurva standar gula reduksi

Dari tabel 9.8, dapat diperoleh aktifitas enzim selulase dan xilanase murni
dalam enzim selulase Aspergillus niger murni, dengan perhitungan sebagai berikut :

- Aktifitas enzim selulase = (A1 – A2) х Slope kurva standar glukosa


= (0,484 - 0,154) х 5,7695
= 0,33 х 5,7695
= 1,90 U/mL
- Aktifitas enzim xilanase = (A1 – A2) х Slope kurva standar glukosa
= (0,1.314 – 1,226) х 4,7009
= 0,088 х 4,7009
= 0,4136 U/mL

156
Tabel 9.9 Pengukuran Aktivitas Enzim Selulase dan Enzim Xilanase dalam Enzim
Xylanase Murni
Absorbansi(A)
Aktivitas
Enzim Slope
(A1) (A2) (A1-A2) (U/ml)
Selulase 0.6985 0.379 0.3195 5,7695 1,843
Xilanase 1,445 0,664 0,781 4,7009 3,671
Keterangan : A1 : Absorbansi larutan sebelum koreksi
A2 : Absorbansi larutan setelah koreksi
Aktivitas enzim = (A1-A2) x slope kurva standar gula reduksi

Dari tabel 9.9, dapat diperoleh aktifitas enzim selulase dan xilanase murni
dalam enzim Xilanase Trichoderma longibrachiatum murni, dengan perhitungan
sebagai berikut :
- Aktifitas enzim selulase = (A1 – A2) х Slope kurva
standar glukosa
= (0,6985 – 0,379) х 5,7695
= 0,3195 х 5,7695
= 1,843 U/mL
- Aktifitas enzim xilanase = (A1 – A2) х Slope kurva
standar glukosa
= (1,445 – 0,664) х 4,7009
= 0,781 х 4,7009
= 3,671 U/mL

Dari hasil perhitungan aktivitas enzim tersebut, dapat dilakukan perhitungan


untuk kebutuhan enzim dalam penelitian ini dimana dalam penelitian ini akan
digunakan tiga macam variabel enzim untuk proses hidrolisis dan ketiganya memiliki
jumlah kebutuhan yang berbeda-beda. Perhitungan kebutuhan enzim selulase dan
xilanase adalah sebagai berikut :
• Enzim Selulase
Konsentrasi enzim yang digunakan dalam hidrolisis adalah 93 U/ 5 gr bagasse
tebu, sehingga perhitungan enzim yang dibutuhkan adalah sebagai berikut :
Kebutuhan enzim selulase = 93/aktivitas enzim
= 93 U/1.9039 U/mL
= 48,84 mL enzim
• Enzim Xilanase
Konsentrasi enzim yang digunakan dalam hidrolisis adalah 93 U/ 5 gr bagasse
tebu, sehingga perhitungan enzim yang dibutuhkan adalah sebagai berikut :
Kebutuhan enzim xilanase = 93/aktivitas enzim
= 93 U/ 3.6714 U/mL
= 25.33 mL enzim
• Campuran Selulase dan Xilanase
Konsentrasi enzim yang digunakan dalam hidrolisis adalah 93 U enzim selulase
murni dan 93 U enzim xylanase murni / 5 gr bagasse tebu :
Kebutuhan enzim campuran = Kebutuhan ( enzim
xilanase + enzim
selulase)
= 25.33 mL enzim
xilanase + 48,84 mL

157
enzim
= 74,17 mL

Hidrolisis Bagasse Tebu


Dalam hidrolisis bagasse tebu ini yang perlu dipersiapkan pertama kali yaitu
kurva standar glukosa yang berfungsi untuk menguji konsentrasi glukosa pada saat
proses hidrolisis berlangsung. Dalam pembuatan kurva ini, tidak digunakan
Carboxymetil Cellulose (CMC), tetapi hanya menggunakan aquadest. Hal ini
dikarenakan CMC hanya diperlukan untuk mengetahui aktivitas enzim.

Tabel 9.10 Perhitungan Kurva Standar Glukosa (Tanpa CMC) untuk Menguji
Konsentrasi Gula Reduksi dari Hasil Hidrolisis Bagasse Tebu
Larutan Konsentrasi
V
Glukosa (gram/L)
Buffer Diambil Aquadest total
0,024 Di Di Absorbansi
(mL) (mL) (mL) (mL
M tabung kuvet
)
(mL) 1) 2)

0 5 0,2 1,8 5 0 0 0,018


1 4 0,2 1,8 5 0,735 0,074 0,041
2 3 0,2 1,8 5 1,470 0,147 0,067
3 2 0,2 1,8 5 2,206 0,221 0,124
4 1 0,2 1,8 5 2,941 0,294 0,160
5 0 0,2 1,8 5 3,676 0,368 0,208
1)
Konsentrasi larutan glukosa dan buffer sitrat
2)
Konsentrasi larutan setelah penambahan aquadest dan DNS

4
kon. gula reduksi (g/L)

3
y = 18.045x
2
R² = 0.9806
1

0
0.000 0.050 0.100 0.150 0.200 0.250
Absorbansi
Gambar 9.6 Kurva Standar Glukosa untuk Menguji Konsentrasi Gula Reduksi dari
Hasil Hidrolisis Bagasse tebu

Kondisi operasi dari proses hidrolisis ini adalah menggunakan temperatur 60oC
dan pH 3. Kondisi hidrolisis ini ditetapkan berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya bahwa aktivitas enzim akan optimum pada suhu tinggi dengan
pH rendah (Anwar dkk., 2011).
Dalam proses hidrolisis bagasse tebu ini digunakan 3 variabel enzim, yaitu
enzim selulase, enzim xilanase, dan campuran enzim selulase dan xilanase.
Konsentrasi enzim yang digunakan untuk hidrolisis sama, yaitu 93 U per 5 gr bagasse
tebu, tetapi aktivitas antara enzim selulase dan xilanase berbeda, sehingga
kebutuhannya juga menjadi berbeda.

158
Setelah diketahui kebutuhan enzimnya, lalu ditambahkan dengan 150 mL buffer
sitrat 0,1 M pH 3 ke dalam campuran enzim dan 5 gr bagasse tebu ke dalam
Erlenmeyer 250 mL. Setelah tercampur, pH dicek dengan menggunakan kertas
indikator. Setelah itu larutan dipanaskan sampai temperatur 60 oC dan dijaga supaya
temperatur tersebut konstan selama 48 jam. Dalam proses pemanasan ini, digunakan
metode seperti sistem kerja oilbath sederhana dengan menggunakan baskom berisi
minyak. Hal ini dikarenakan minyak memiliki titik didih sekitar 175-350C sehingga
tidak menguap seperti air ketika dipanaskan pada temperatur konstan sebesar 60 oC
selama 48 jam.
Analisa konsentrasi glukosa dalam hidrolisat dengan metode DNS dilakukan
pada setiap sampel pada jam ke-0, 1, 3, 6, 12, 18, 24, 30, 36, 42, dan 48. Untuk
mengukur absorbansi pada jam ke-0, digunakan bagasse tebu hasil pretretment yang
dicampurkan dengan aquadest, tanpa menambahkan enzim dan buffer sitrat pH 3.
Sampel diambil dengan pipet mata, lalu memasukkannya ke dalam microtube dan
dipanaskan dalam air mendidih selama 2 menit. Pemanasan ini bertujuan untuk
merusak enzim masih ada pada sampel sehingga tidak terjadi proses hidrolisis lebih
lanjut. Untuk selanjutnya disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan sebesar
10.000 rpm pada alat sentrifugal. Hal ini bertujuan untuk memisahkan antara padatan
dan cairan pada hidrolisat, karena dibutuhkan hasil sentrifugasi (liquid) yang murni
yang dianalisa dengan menggunakan metode DNS. 0,2 mL larutan setiap sampel hasil
sentrifugasi (liquid) ditambah 1,8 mL aquadest dan DNS sebanyak 3 mL, lalu
divortex supaya larutan menjadi homogen. Selanjutnya, larutan tersebut dipanaskan di
air mendidih selama 10 menit, selanjutnya didinginkan di air es selama 5 menit.
Berdasarkan analisa yang telah dilakukan, diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 9.11 Data Analisa Gula Reduksi Hasil Hidrolisis pada Bagasse Tebu Hasil
Pretreatment NaOH 1 % dengan Suhu Hidrolisis 60C dan pH 3
Variabel
NaOH 1% NaOH 1% NaOH 1%
Jam
Enzim Enzim Enzim
ke-
Selulase Xylanase Selulase+Xylanase
A G A G A G
0 0 0 0 0 0 0
1 0,087 1,570 0,149 2,689 0,317 5,720
3 0,159 2,869 0,281 5,071 0,436 7,868
6 0,164 2,959 0,290 5,233 0,481 8,680
12 0,165 2,977 0,311 5,612 0,485 8,752
18 0,178 3,212 0,320 5,774 0,490 8,842
24 0,180 3,248 0,306 5,522 0,507 9,149
30 0,210 3,789 0,318 5,738 0,511 9,221
36 0,198 3,573 0,334 6,027 0,543 9,798
42 0,162 2,923 0,305 5,504 0,547 9,871
48 0,208 3,753 0,358 6,460 0,561 10,123
*A = Absorbansi
G = Gula Reduksi

159
12.000

konsentrasi gula reduksi


10.000
8.000

(g/L)
6.000
4.000
2.000
0.000
0 10 20 30 40
Jam
Enzim Selulase Enzim Xilanase

Gambar 9.7 Kurva Perbandingan Konsentrasi Gula Reduksi dan Jenis Enzim pada
Bagas Tebu Pretreatment NaOH 1 %
Dari gambar 9.7 terlihat bahwa nilai absorbansi dan glukosa cenderung
mengalami peningkatan sedikit demi sedikit hingga jam ke 48. Pada keseluruhan
variabel enzim, memiliki kecenderungan peningkatan untuk menghasilkan gula
reduksi yang berarti enzim yang digunakan mampu menghidrolisis bagasse tebu. Pada
proses hidrolisis dengan penambahan berupa campuran enzim selulase dan xilanase,
menghasilkan gula reduksi yang lebih tinggi daripada hidrolisis dengan enzim
selulosa saja dan enzim xilanase saja. Hal ini disebabkan karena proses hidrolisis yang
terjadi berjalan lebih maksimal dengan adanya kombinasi antara enzim selulase dalam
memecah selulse menjadi glukosa dan xilanase dalam memecah hemiselulosa menjadi
xilosa dalam bagasse tebu. Tetapi jika dilihat sinergisitas dari kerja enzim campuran,
masih belum terlihat. Ini dikarenakan jumlah gula reduksi enzim tunggal (selulase dan
xilanase) masih lebih besar jika dibandingkan dengan enzim campuran. Untuk
hidrolisis hasil pretreatment H2SO4 1,5 % menghasilkan gula reduksi yang cukup
rendah jika dibandingkan dengan hasil hidrolis NaOH 1 %. Jika dibandingkan dengan
penelitian yang dilakukan anwar (Anwar, dkk.,2012), konsentrasi glukosa yang
didapatkan pada pretreatment H2SO4 1% pada menit ke 45 sebesar 4,19 g/L ,
sedangkan pada penelitian ini pada menit ke 50 sebesar 3,25 g/L , hal ini hampir sama
jika kita bandingkan.
Hasil analisa menggunakan metode DNS tidak dapat membedakan jenis gula
reduksi. Untuk dapat menganalisa gula reduksi yang lebih spesifik yang ada di
bagasse tebu dengan menggunakan High Perfomance Liquid Chromatogrphy
(HPLC). Komposisi gula reduksi hasil hidrolisis dapat dilihat pada tabel 9.12

160
Tabel 9.12 Perbandingan Hasil HPLC dan DNS Kandungan Glukosa pada
Hidrolisat Bagasse Tebu dengan Berbagai Enzim pada Jam ke 48
Konsentrasi (g/L) Yield
Total (gram
Sampel HPL DNS gula/ gram
Nama Sampel
No Glu Xyl Gal Arab C (g/L) bagas tebu
(g/L) pretreatme
nt)

1 Bagas Tebu 0.572 0.025 0.021 0.008 0.616 1.227 0,037


Tanpa Pre-
Treatment (s+x)
2 Bagas Tebu 0.014 0.025 0.022 0.009 0.070 0.649 0,002
Tanpa Pre-
Treatment (s)
3 Bagas Tebu 0.357 0.016 0.017 - 0.390 0.956 0,029
Tanpa Pre-
Treatment (x)
4 Bagas Tebu 1 % 2.684 2.199 0.314 - 5.197 10.123 0,31
NaOH (s+x)
5 Bagas Tebu 1 % 2.197 0.28 0.402 - 2.882 3.753 0.11
NaOH (s)
6 Bagas Tebu 1 % 2.578 1.89 0.605 - 5.079 6.46 0.19
NaOH (x)
(HPLC, ITB Teknik Kimia)
*s : selulase Glu : glukosa Gal : galaktosa
x : xylanase Xyl : xylosa Arab : arabinosa

Pada tabel 9.12 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara total gula reduksi hasil
analisa HPLC dan total gula reduksi hasil pembacaan DNS. Hal ini disebabkan oleh
beberapa puncak yang terdeteksi termasuk gula reduksi pada kromatogram
pembacaan HPLC (Appendiks B.4), tetapi tidak mempunyai jenis standar sehingga
tidak terdeteksi jenis gula reduksi yang dimaksud sehingga dari total gula reduksi
yang terbaca hanya yang mempunyai standar.
Selain itu, untuk konsentrasi glukosa pada hidrolisat bagasse tebu tanpa
pretreatment, hasil analisa HPLC menunjukkan bahwa konsentrasi glukosa paling
tinggi diperoleh pada hidrolisis dengan menggunakan enzim campuran, yaitu sebesar
0,572 g/L, sedangkan dengan menggunakan enzim selulase diperoleh 0,014 g/L
glukosa dan menggunakan enzim xilanase diperoleh 0,357 g/L glukosa. Hal ini
menunjukkan bahwa sinergisitas antara enzim selulase dan enzim xilanase dalam
proses hidrolisis tercapai, dimana dikarenakan adanya enzim xylanase maka
hemiselulosa akan terpecah menjadi xilosa, sehingga mengurangi hambatan untuk
enzim selulase memecah selulosa menjadi glukosa, sehingga jumlah glukosa yang
dihasilkan menjadi lebih besar daripada ketika hidrolisis terjadi hanya dengan satu
enzim tunggal, selulase atau xilanase saja. Pernyataan ini ditunjukkan bahwa jumlah
glukosa yang dihasilkan enzim campuran melebihi jumlah glukosa antara
penjumlahan antara enzim selulase dan xylanase.
Pada hasil hidrolisis bagas tebu dengan menggunakan pretreatment 1 % NaOH,
sinergisitas hanya terlihat pada jumlah xilosa yang dihasilkan. Dimana dengan
menggunakan enzim campuran mempunyai jumlah xilosa lebih besar, jika

161
dibandingkan dengan total xilosa enzim tunggal (selulase + xilanase). Tetapi untuk
jumlah glukosa dan gula reduksi total, sinergisitas tidak terlihat.
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Maeda R.N (2010) dengan
menggunakan alkalin dan enzimatik, yield gula reduksi yang dihasilkan sebesar 0.6
gram gula reduksi / gram bagas tebu pretreatment, lebih tinggi jika dibandingkan
dengan penelitian ini yang hanya mendapatkan yield gula reduksi sebesar 0,31 untuk
pretreatment NaOH 1%. Hal ini dikarenakan Maeda R.N menggunakan proses
pretreatment berantai dimana setelah proses pretreatment menggunakan 1% H2SO4
diikuti dengan proses pretreatment NaOH 4% sehingga menghasilkan konsentrasi
selulosa yang lebih besar. Selain itu enzim yang digunakan juga memiliki aktivitas
lebih besar yaitu 25 FPU/g. Sedangkan untuk penelitian yang dilakukan oleh
Ramadhan A.A dan Hendrawan A.D (2013) yang menggunakan bagasse tebu dengan
pretreatment NaOH 1% dan hidrolisis menggunakan enzim murni selulase dari
Aspergillus niger didapatkan yield gula reduksi sebesar 0,2 gram gula/ gram bagas
tebu pretreatment.

Tabel 9.13 Perbandingan Hasil Hidrolisis Penelitian Ini dengan Penelitian


Sebelumnya
No Peneliti Bahan Jenis Jenis Hidrolisis Hasil
. baku Pretreat
ment
1 Penelitian Bagas NaOH Enzim Selulase dari Yield gula reduksi =
ini tebu 1% A. Niger dan Enzim 0,31 gram gula/
Xilanse dari T. gram bagas tebu
Longibrachiatum pretreatment
2 Ramadhan Bagas NaOH Enzim Selulase dari Yield gula reduksi =
A.A dan Tebu 1% A. Niger 0,2 gram gula/ gram
Hendrawan bagas tebu
A.D, 2013 pretreatment
3 Chen dkk Jerami Basa Enzim selulose dari Gula reduksi= 52
2008 Jagung T.ressei g/L
Tiap 80 g/L sampel
jerami jagung
pretreatment
Yield gula reduksi =
0,65
4 Maeda, R.N Bagas 1% Alkaline-Enzymatic Yield Gula reduksi
(2011) tebu H2SO4 + total = 15,21 g/L
NaOH Tiap 25 gram/L
4% bagas tebu
pretreatment
Yield = 0,6

Pada proses hidrolisis, hemiselulosa dan selulosa didegradasi oleh enzim


selulase dari Aspergillus niger dan xylanase dari Trichoderma longibrachiatum yang
dihasilkan menjadi gula reduksi (glukosa dan xylosa). Pada proses hidrolisis selulosa
terdapat dua tahap, yaitu degradasi selulosa menjadi selobiosa oleh endo--1,4-
glukanase dan ekso--1,4 glukanase kemudian dilanjutkan dengan pemecahan
selobiosa oleh -1,4 glukosidase menjadi glukosa. Pada hidrolisis hemiselulosa,
dalam hal ini xilan, enzim yang berperan adalah enzim xilanase. β-xilosidase

162
menghidrolisis xilo-oligosakarida rantai pendek menjadi xilosa. Eksoxilanase
memutus rantai polimer xilan pada ujung reduksi, maka didapatkan produk utama
yaitu xilosa dan sejumlah oligosakarida rantai pendek. Endoxilanase memutus ikatan
β 1-4 pada bagian dalam rantai xilan secara teratur. Xilanase bekerja pada rantai
hemiselulosa, sehingga dengan perombakan bagian luarnya (hemiselulosa) yang lebih
baik akan lebih efektif pula pemotongan rantai bagian dalamnya, yaitu selulosa.
Selain itu perbedaan hasil hidrolisis dapat juga dipengaruhi komposisi masing-masing
dari 3 komponen enzim, yaitu eksoglukanase, endoglukanase, selobiohidrolase dan -
glukosidase.
Dari hasil hidrolisis yang didapat maka diputuskan untuk menggunakan
hidrolisat hasil pretreatment bagasse tebu dengan NaOH 1% dengan enzim
selulase+xylanase yang dihidrolisis pada suhu 60oC, pH 3 selama 48 jam untuk
selanjutnya digunakan dalam proses fermentasi glukosa menjadi hidrogen.
Dari proses hidrolisis ini dapat dihitung yield gula reduksi berdasarkan nilai
gula reduksi hidrolisat yang akan dipakai untuk proses fermentasi yang nilainya
sebesar 9,4119 g/L. Massa hasil gula reduksi proses hidrolisis akan dibandingkan
dengan massa bagasse tebu awal yang dibutuhkan. Dari jumlah gula yang didapat dari
proses hidrolisis didapatkan jumlah yield dan nilai yield yang didapat sebesar 125,6
mg gula/g bagasse tebu.
700 𝑚𝑙
Kandungan gula dalam hidrolisat = 1000 𝑚𝑙 𝑥 10.123
= 7,081 gram

Maka yield gula reduksi didapat sesuai perhitungan berikut ini:

𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑔𝑢𝑙𝑎 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 ℎ𝑖𝑑𝑟𝑜𝑙𝑖𝑠𝑎𝑡 7,081 𝑔𝑟𝑎𝑚


Yield gula reduksi = 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑝𝑟𝑒−𝑡𝑟𝑒𝑎𝑡𝑚𝑒𝑛𝑡 𝑏𝑎𝑔𝑎𝑠 𝑡𝑒𝑏𝑢 = 23 𝑔𝑟𝑎𝑚

𝑔 𝑔𝑢𝑙𝑎 𝑟𝑒𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖
= 0,31 ⁄𝑔 𝑝𝑟𝑒𝑡𝑟𝑒𝑎𝑡𝑚𝑒𝑛𝑡 𝑏𝑎𝑔𝑎𝑠𝑠𝑒 𝑡𝑒𝑏𝑢

Fermentasi Bagasse Tebu


Setelah melakukan proses hidrolisis maka selanjutnya adalah melakukan
fermentasi hidrolisat yang diperoleh. Hidrolisat yang digunakan untuk proses
fermentasi adalah hidrolisat bagasse tebu hasil pretreatment dengan konsentrasi
NaOH 1 % yang dihidrolisis pada suhu 60oC dan pH 3 selama 48 jam. Pemilihan
hidrolisat didasarkan pada konsentrasi gula reduksi tertinggi pada berbagai hidrolisat.
Sebelum digunakan untuk proses fermentasi konsentrasi gula reduksi dalam hidrolisat
diukur terlebih dahulu menggunakan spektrofotometer. Kemudian absorbansi tersebut
dimasukkan ke dalam persamaan garis kurva standar glukosa sehingga didapatkan
konsentrasi gula reduksi pada hidrolisat yang akan difermentasi.
Di dalam proses fermentasi ini digunakan bakteri Enterobacter aerogenes yang
bersifat anaerob untuk menghasilkan hidrogen dimana glukosa dan xilosa menjadi
bahan baku fermentasi (Lin dkk, 2006). Bakteri yang digunakan adalah Enterobacter
aerogenes NBRC 13534 yang diperoleh dari Osaka Perfecture University, Jepang.
Bibit dipelihara dalam agar miring dan disimpan pada temperatur 4oC. Bibit
Enterobacter aerogenes diregenerasi di dalam agar (PDA) miring selama 1 hari. Hal
ini dilakukan untuk membiakkan bibit dan memperoleh bibit yang siap pakai dalam
proses fermentasi.

163
Pengembangbiakan Enterobacter aerogenes NBRC 13534
Medium yang digunakan untuk proses aklimatisasi ini adalah hidrolisat bagasse
tebu. Dimana pH hidrolisat diatur sesuai variabel yaitu 7 dan 5 dengan menambahkan
NaOH 4 M. Oksigen dalam media dikurangi dengan cara mengalirkan nitrogen ke
dalam larutan. Media kemudian disterilisasi menggunakan autoclave. Bibit
Enterobacter aerogenes yang sudah ditumbuhkan di media agar (PDA) selama 1 hari,
diinokulasi di dalam hidrolisat dengan penambahan ferosulfat (FeSO4.7 H2O)
sebanyak 0,35 g/L yang disterilisasi dengan sinar UV. Penambahan ferosulfat
bertujuan untuk mengaktifkan enzim hidrogenase. Pembentukan hidrogen sangat
dipengaruhi oleh enzim hidrogenase secara intraselular. Fe-hidrogenase adalah besi
yang mengandung enzim berperan untuk mengkatalis proses oksidasi dalam sel
(Chong dkk.,2009). Fermentasi hidrogen dilakukan pada reaktor batch dengan volume
500 mL. Pembiakan dalam media cair dilakukan pada volume 50 mL (10% volume
hidrolisat total) lalu untuk selanjutnya dicampurkan pada sisa hidrolisat 450 mL.
Proses aklimatisasi dilakukan didalam incubator shaker dengan suhu 35oC dengan
kecepatan 125 rpm. Proses adaptasi tersebut biasanya berlangsung selama 14 – 16
jam atau dengan jumlah bakteri lebih besar dari 10 juta sel/mL (Anwar,2011).

Proses Fermentasi menggunakan Enterobacter aerogenes NBRC 13534


Proses fermentasi dilakukan dengan menambahkan ferosulfat pada media yang
sebelumnya telah diflushing dan disterilisasi. Selanjutnya biakan Enterobacter
aerogenes dari proses aklimatisasi dipindahkan sebanyak 50 mL ke dalam media
fermentasi 450 mL. Kemudian penutup karet tabung fermentasi dihubungkan
menggunakan selang ke hydrogen bag (CEL Scientific Tedlar gas sampling bags).
Selama proses fermentasi, kondisi media dijaga pada pH variabel dengan
menggunakan NaOH 4 M dan suhu 35oC. pH merupakan faktor penting dalam proses
fermentasi. pH mempengaruhi proses metabolisme sel dalam memproduksi hidrogen.
Peningkatan pH mampu meningkatkan aktifitas sel dalam memproduksi hidrogen,
namun bila nilai pH terlalu tinggi justru akan menurunkan aktifitasnya (Wang dkk.,
2009). Dengan menurunnya nilai pH dalam larutan fermentasi akan menghambat
pertumbuhan sel dan produksi hidrogen. Dalam proses fermentasi, setiap selang
waktu 6 jam diambil sampel untuk kemudian diukur kadar gula reduksi, jumlah sel
dan pH. Volume hidrogen diukur menggunakan sistem pemindahan air dan kadar
hidrogen diukur menggunakan Gas Chromatograph (GC SHIMADZU 2010).

Pengujian Perubahan Kadar Gula, Jumlah Sel dan Jumlah Hidrogen


Sebelum melakukan pengujian kadar gula dan jumlah sel, maka dibuat terlebih
dahulu kurva standar kadar gula dan jumlah sel. Berdasarkan prosedur yang sudah
dilakukan maka didapatkan kurva standar kadar gula. Sedangkan untuk melakukan
analisa jumlah sel, terlebih dahulu membuat kurva standar jumlah sel untuk
fermentasi sebagai berikut :

164
Tabel 9.14 Data Absorbansi dan Jumlah Sel Enterobacter aerogenes untuk Kurva
Kalibrasi
Jumlah Sel (/mL) Absorbansi
0 0
119.000.000 0,225
162.500.000 0,444
261.739.000 0,655
373.333.000 0,851
523.294.000 1,196

Gambar 9.8 Kurva Kalibrasi Jumlah Sel Enterobacter aerogenes

Sampel yang sudah diambil disentrifuge untuk memisahkan endapan sel dengan
supernatan yang mengandung gula. Gula dianalisa menggunakan metode DNS lalu
diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 540
nm sedangkan endapan sel diencerkan menggunakan aquadest, lalu diukur
menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 600 nm.
Pengukuran volume gas hidrogen yang dihasilkan menggunakan alat Gas
Chromatograph (GC). Sebelum sampel gas di-inject ke dalam GC maka terlebih
dahulu dibuat kurva kalibrasi hidrogen. Kurva kalibrasi hidrogen dibuat dengan cara
meng-inject-kan berbagai volume gas hidrogen murni pada GC kemudian dicatat luas
area peak yang dihasilkan setiap volumenya. Selain itu dibuat juga kurva kalibrasi gas
CO2 dengan prosedur yang sama dengan kurva kalibrasi H2. Dari prosedur tersebut
didapatkan kurva kalibrasi hidrogen dan CO2 yang ditunjukkan pada gambar 9.9 dan
9.10:

165
400000
350000 y = 3E+06x
R² = 0.9929
300000
250000

Area
200000
150000
100000
50000
0
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12
Volume H2 (mL)

Gambar 9.9 Grafik Kurva Kalibrasi Hidrogen untuk Analisa Gas Chromatograph

30000
y = 278910x
25000
R² = 0.962
20000
Area

15000
10000
5000
0
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12
Volume CO2 (mL)

Gambar 9.10 Grafik Kurva Kalibrasi CO2 untuk Analisa Gas Chromatograph
Tabel 9.15 Data Konsentrasi Gula Reduksi dan Jumlah Sel Hasil Fermentasi
Variabel NaOH 1 % pH 7
Glukosa (λ = 540 nm) Bakteri (λ = 600 nm)
Jam CG Jumlah Sel
A CG (mol/L) A
(g/L) (1 juta sel/mL)
6 0.353 6,369 0.03538825 0.32 137.1961592
12 0.34 6,135 0.034085 0.348 149.2008231
18 0.32 5,774 0.03208 0.572 245.2381345
24 0,138 2,49 0.0138345 0.731 313.4074761
30 0,13 2,345 0.0130325 0.698 299.2591222
36 0,115 2,075 0.01152875 0.684 293.2567902
42 0,101 1,822 0.01012525 0.563 241.3794925
48 0,1 1,804 0.010025 0.55 235.8058986

166
350 12

Jumlah Sel ( 1 juta sel/ml)

Konsentrasi Gula Reduksi


300 10
250 8
200
6

(g/L)
150
100 4
50 2
0 0
0 10 20 30 40
Waktu (jam)

Jumlah Sel (1 juta sel/mL) Konsentrasi Gula Reduksi (mol/L)

Gambar 9.11 Perubahan Konsentrasi Gula Reduksi dan Jumlah Sel terhadap Waktu
Fermentasi pada Pretreatment NaOH 1% pH 7

Tabel 9.16 Data Konsentrasi Gula Reduksi Dan Jumlah Sel Fermentasi Variable
NaOH 1 % pH 5
Glukosa (λ = 540 nm) Bakteri (λ = 600 nm)
Jam CG jml Sel (1 juta
A CG (g/L) A
(mol/L) sel/mL)
6 0.487 8.787915 0.048822 0.24 102.8971
18 0.326 5.876655 0.032648 0.45 192.9321
24 0.284 5.12478 0.028471 0.51 218.6564
30 0.238 4.29471 0.02386 0.56 240.0933
42 0.186 3.35637 0.018647 0.572 245.2381
48 0.143 2.57442 0.014302 0.55 235.8059

300 12
Konsentrasi Gula Reduksi (g/L)
Jumlah Sel ( 1 juta sel/ml)

250 10

200 8

150 6

100 4

50 2

0 0
0 10 20 30 40
Waktu (jam)
Jumlah Sel (1juta sel/ml) Konsentrasi Gula Reduksi (g/L)

Gambar 9.12 Perubahan Konsentrasi Gula Reduksi dan Jumlah Sel terhadap Waktu
Fermentasi Pada Pretreatment NaOH 1% pH 5

Gambar 9.11 dan 9.12 menunjukkan terjadinya penurunan konsentrasi gula


reduksi seiring dengan penambahan jumlah sel. Metabolisme sel menyebabkan
penurunan konsentrasi substrat. Dalam 4 fase pertumbuhan bakteri Enterobacter

167
aerogenes, hidrogen dihasilkan pada fasa logaritmik pertumbuhan bakteri. Laju
penurunan konsentrasi gula terjadi secara cepat hingga jam ke 24 dan mulai melambat
hingga jam ke 48. Hal ini menunjukkan adanya akumulasi produk di dalam media
yang berperan sebagai produk inhibitor sehingga menghambat proses degradasi gula
dan menyebabkan metabolisme sel tidak berjalan dengan baik (Argun dkk.,2008).
Hidrogen dihasilkan dari metabolisme sel selama fermentasi anaerob. Gas yang
dihasilkan selama fermentasi dianalisa menggunakan GC. Data yang didapat dari
analisa GC berupa luas area kromatogram kemudian dihitung lebih lanjut dengan
kalibrasi gas hidrogen. Kurva kalibrasi H2 ditunjukkan pada gambar 9.11.

30 0.06

Kinsentrasi Gula reduksi (mol/L)


Kumulatif H2 (mmol)

25 0.05
20 0.04
15 0.03
10 0.02
5 0.01
0 0
0 10 20 30 40
Waktu (jam)
Kumulatif H2 (mmol) Konsentrasi Gula Reduksi (mol/l)

Gambar 9.13 Produksi Hidrogen dan Konsumsi Gula Reduksi terhadap Waktu
Fermentasi Variabel 1% NaOH pada pH 7
5 0.06
Konsentrasi Gula Reduksi (mol/L)

0.055
4.5
Kumulatif H2 (mmol/L)

0.05
4 0.045
0.04
3.5 0.035
0.03
3 0.025
2.5 0.02
0.015
2 0.01
0 10 20 30 40
Waktu ( Jam )

Konsentrasi Gula Reduksi (mol/L) Kumulatif H2 (mmol)

Gambar 9.14 Produksi Hidrogen dan Konsumsi Gula Reduksi terhadap Waktu
Fermentasi Variable NaOH 1% pada pH 5

Dari hasil analisa GC dan perhitungan volume hidrogen dipeloleh yield


hidrogen hasil fermentasi untuk variabel 1% NaOH pH 7 sebesar 0,53 mol H2/mol
gula reduksi terkonsumsi, untuk variabel 1% NaOH pH 5 sebesar 0,137 mol H2/mol
gula reduksi terkonsumsi. Penurunan kadar gula reduksi menandakan bahwa gula

168
yang terkandung telah terkonversi menjadi hidrogen karena adanya bakteri
Enterobacter aerogenes. Perbandingan Fermentasi hasil penelitian ini jika
dibandingkan dengan penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel 9.19

Tabel 9.19 Perbandingan Fermentasi Penelitian ini dengan Penelitian Orang Lain
No. Peneliti Jenis strain dan Jenis Hasil
kondisi proses substrat
1 Penelitian ini Strain: E. Hidrolisat Mol H2
aerogenes, bagas tebu / mol
T = 30 hasil glukosa
pH = 7 hidrolisis = 0,53
enzimatik mol /
mol
2 Panagiotopoul Strain: Hidrolisat Mol H2 /
os.I.A C.Saccharolytic bagas tebu mol
2010 us hasil glukosa
hidrolisis = 3,2
enzimatik mol /
mol
3 Manikkandan. Strain Hidrolisat Mol H2
T.R 2009 Bacillus.Sp bagas tebu / mol
T = 32 C dengan glukosa
pH = 7 mengguna = 0,23
Waktu = 48 -kan mol /
jam H2SO4 mol
4 Anwar, 2011 E.aerogenes Ekstrak Mol H2
NBRC 13534 ragi dan / mol
gula glukosa
reduksi = 0,356
dari mol /
hidrolisat mol
sintetik

Pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Panagiotopus


(Panagiotopolos.I.A., 2010) dengan menggunakan strain C.Saccharolyticus dan
substrat yang digunakan yaitu bagasse tebu dengan hasil hidrolisis enzimatik
didapatkan molH2/mol glukosa sebesar 3,2 mmolH2/mmol. Sedangkan untuk
penelitian ini yang sama-sama dengan enzimatik hasil yang paling besar adalah untuk
variabel NaOH 1% dengan enzim campuran (selulase dan xylanase) yaitu sebesar
0,53 mol H2 / mol gula terkonsumsi. Sedangkan untuk penelitian yang sebelumnya
dengan menggunakan substrat lain yaitu Manikkandan (Manikkandan.T.R.,2009)
dengan strain Bacillus.Sp menggunakan hidrolisat bagasse tebu dengan H2SO4
didapatkan hasil Mol H2/mol glukosa sebesar 0,23 mmolH2/mmol gula terkonsumsi.

169
Tabel 9.20 Data Hasil Analisa HPLC pada Hidrolisat Bagas Tebu Sebelum dan
Sesudah Fermentasi
Konsentrasi (g/L)
Total
DNS
No Nama Sampel HPLC
Glu Xyl Gal Arab (g/L) (g/L)

1 Bagas Tebu 1 2.684 2.199 0.314 - 5.197 10.123


% NaOH
(s+x)
2 Fermentasi pH 0 0.09 0 - 0.104 2.57
5 (s+x)
3 Fermentasi pH 0 0.994 0 - 1.09 1.805
7 (s+x)

Pada tabel 9.10 menerangkan bahwa jumlah glukosa xilosa dan galaktosa mengalami
penurunan setelah proses fermentasi baik pada pH 7 ataupun pH 5. Ini menunjukkan
bahwa bukan hanya glukosa yang terfermentasi menjadi hidrogen oleh bakteri
Enterobacter aerogenes, tetapi juga xilosa dan galaktosa. Hal yang sama terjadi pada
penelitian yang dilakukan oleh Ren, dkk (2009). Didalam penelitiannya Ren dkk
(2009) menerangkan bahwa bakteri Enterobacter aerogenes bukan hanya mereduksi
gula reduksi jenis glukosa tetapi juga jenis xilosa, arabinosa, rhamnosa, manosa.

Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan hasil analisa yang dilakukan maka diperoleh
kesimpulan sebagai berikut :

1. Bagasse tebu yang digunakan memiliki konsentrasi selulosa, hemiselulosa, dan


lignin berturut turut sebesar 38.37 %; 33.02 %; 12.48 %.
2. Kondisi pretreatment yang menunjukkan hasil kadar selulosa tertinggi sebesar
65,9% dan kadar lignin terendah sebesar 5,47 % adalah konsentrasi NaOH 1%,
pada suhu 80oC, dan selama 16 jam.
3. Dari hasil analisa XRD didapatkan nilai CrI tertinggi adalah bagasse tebu yang
telah dipretreatment dengan NaOH 1% yaitu sebesar 68,38 %. Hal ini
menunjukkan jumlah selulosa kristal yang tertinggi, dibandingkan dengan
bagasse tebu yang tanpa pretreatment dan pretreatment H2SO4.
4. Dari hasil analisa FTIR, nilai LOI terendah dihasilkan pada pretreatment NaOH
1%, yaitu sebesar 1,13. Hal ini menunjukkan bahwa bagasse tebu yang telah di
pretreatment dengan NaOH 1%, mengandung sedikit selulosa tipe I karena
selama proses pretreatment selulosa tipe I berubah menjadi selulosa tipe II.
5. Hasil hidrolisis terbaik adalah pada pretreatment dengan konsentrasi NaOH 1%
suhu 8o C selama 16 jam dengan suhu hidrolisa 60 C dan pH 3 dan menggunakan
campuran enzim selulase dan xylanase yaitu didapatkan gula reduksi sebesar
10,123 g/L dengan yield gula reduksi sebesar 0,31 g gula/g bagasse tebu
pretreatment.
6. Yield hidrogen yang dihasilkan berdasarkan konsentrasi gula reduksi hidrolisat
awal 10,123 g/L adalah 0,53 mol H2/mol gula reduksi yang terkonsumsi.

170
Daftar Pustaka

1. Anwar, N., Widjaja, A., Winardi, S. 2011, “Study of The Enzymatic Hydrolysis
of Alkaline Pretrieted Rice Strow Using Cellulase of Various Sources and
Compositions”, International Review of Chemical Engineering Vol. 3.N.2.
2. Argun Hidayet., F,Kargi., I.K. Kapdan., R,Oztekin (2009), “Batch dark
fermentation of powdered wheat starch to hydrogen gas: Effects of the initial
substrate and biomass concentrations”, International Journal of Hydrogen Energy,
Vol.XXX, pp. 1-7
3. Bossel, U. 2003, “Well-to-Wheel Studies, Heating Values, and the Energy
Conservation Principle”, European Fuel Cell Forum.
4. Chao, Su. G.M Aita. 2012. “Enzymatic hydrolysis and ethanol yields of
combined surfactant and dilute ammonia treated sugarcane bagasse”, Bioresource
Technology 131 (2013) 357-364.
5. Chen Ming, Zhao Jing, Xia Liming. 2008. “Enzymatic hydrolysis of maize straw
polysaccharides for the production of reducing sugars”, Carbohydrate Polymers
71 (2008) 411–415.
6. Chong, M.L., N.A. Rahman., P.L. Yee, S.A. Azis, R.A. Rahim, Y,Shirai, M.A.
Hassan (2009), “Effects of pH, Glucose and Iron Sulfate Concentration on the
Yield of Biohydrogen by Clostridium Butyricum EB6”, International Journal of
Hydrogen energy, Vol. 34, pp. 8859 - 8865.
7. Dahot, M.U., dan M.H. Noomrio. 1996, “Microbial Production of Cellulases by
Aspergillus Fumigatus Using Wheat Straw as A Carbon Source”, Journal of
Islamic Academy of Sciences 9:4, 119-124.
8. Das, D. and T.N.Veziroglu. 2008, “Advances in biological hydrogen production
processes”, International Journal of Hydrogen Energy, 1-12.
9. Datta, R. 1981, “Acidogenic Fermentation of Lignocellulose”, Biotechnology and
Bioengineering, 23, 2167-2170.
10. Hawkes, F.R., I. Hussy, G. Kyazze, R. Dinsdale, D.L. Hawkes (2007),
“Continuous dark fermentative hydrogen production by mesophilic microflora:
Principles and progress”, International Journal of Hydrogen Energy, 32, 172 –
184.
11. Hendriks, A.T.W.M. and Zeeman, G., Review. Pretreatments to enhance the
digestibility of lignocellulosic biomass, Bioresource Technology xxx, xxx–xxx,
2008.
12. Kapdan, I.K. and F. Kargi (2006), “Biohydrogen Production from Waste
Materials”, Enzym and Microbial Technology, 38(5), 569-582.
13. Kraemer, J.T and D.M. Bagley (2008), “Optimisation and Design of Nitrogen-
sparged Fermentative Hydrogen Production Bioreactors, international journal of
hydrogen energy 33, 6558–6565.
14. Kumar, R., Mago, G., Balan, V., Wyman, C.E., 2009. “Physical and chemical
characterizations of corn stover and poplar solids resulting from leading
pretreatment technologies”. Bioresour. Technol. 100, 3948–3962.
15. Lee, J.M. 1992, “Biochemical Engineering”, Prantice Hall, Englewood Cliffs,
New Jersey, hal. 83 – 94.
16. Lin, C.Y, C.H. Lay (2004), “Carbon-Nitrogen Ratio Effect on Fermentative
Hydrogen Production by Mixed Microflora”, International Journal of Hydrogen
Energy, 29, 41 – 45.

171
17. Manikkandan,T.R ., Dhanasekar,R ., Thirumavalan, K ,” Microbial Production of
Hydrogen from Surgacane Bagasse using Bacillus Sp” , International Journal of
ChemTech Research.
18. Park, S., Baker, J.O., Himmel, M.E., Parilla, P.A., Johnson, D.K., 2010.
“Cellulose crystallinity index: measurement techniques and their impact on
interpreting cellulase performance”. Biotechnol. Biofuels 3, 10
19. Ramadhan, A.G.G, Hendrawan A.D 2013. “Perbandingan Pretreatment Degradasi
Enzimatik Bagas Tebu Untuk Produksi Hidrogen “. Teknik Kimia ITS. Surabaya
20. Ren Y, Jianji W, Zhen L, Yunlai R, Guozhi Li. 2009. “Hydrogen production from
the monomeric sugars hydrolyzed from hemicellulose by Enterobacter
aerogenes”. International Journal Renewable Energy 34 (2009) 2774-2779.
21. Rocha, George J.M, dkk. 2011. “Mass Balance of Pilot-Scale Pretreatment of
Sugarcane Bagasse by Steam Explosion Followed by Alkaline Delignification”.
Bioresource Technology, 111, 447-452
22. Schlegel Hans G. 1994. Mikrobiologi Umum. Penterjemah Tedjo Baskoro. Edisi
keenam. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
23. Siquera G, Varnai A, Ferraz A, Milagres M.F.A. 2013. “Enhancement of
Cellulose Hydrolysis in Sugarcane Bagasse by The Selective Removal of Lignin
with Sodium Chlorite”. Applied Energy, 102, 399-402
24. U.S. DOE. 2001, “Hydrogen Fuel Cell Engines and Related Technologies.
Module 1: Hydrogen Properties.”
25. Wang, Jianlong., Wei Wan (2009), “Kinetic models for fermentative hydrogen
production:A review”, International Journal of hydrogen energy, Vol. 30, pp . 1
– 1 1.
26. Widjaja, Arief. 2009, “Aplikasi Bioteknologi pada Industri Pulp dan Kertas”,
itspress, Surabaya.
27. Yuwono T, Rolanda E. 2012. “Fermentasi Hidrolisat Bagas Tebu Menjadi
Hidrogen”. Teknik Kimia ITS Surabaya

172
LAMPIRAN
Prosedur Kerja Pembuatan Enzim, analisa enzim dan analisa lignoselulosa

A. Pembuatan Enzim
Tahap Persiapan
a. Pembiakan strain jamur dalam media agar miring.
Strain mikroorganisme dikembangbiakkan pada media potato dextrose agar
miring. Masing-masing 5 ml larutan PDA dituangkan ke dalam tabung reaksi dan
disterilkan dalam autoclave pada suhu 120 oC selama 15 menit. Selanjutnya
tabung-tabung reaksi tersebut diletakkan dalam posisi miring hingga agar menjadi
padat. Biakan jamur kemudian di inokulasikan pada media agar padat dan di
inkubasi 35oC selama 4 hari untuk Aspergillus niger dan 30oC selama 7 hari
unutk Trichoderma reesei.
b. Persiapan substrat untuk pertumbuhan jamur.
Digunakan dedak gandum sebagai substrat. Dedak gandum merupakan substrat
terbaik untuk pertumbuhan seperti yang dilaporkan oleh Gawande dan Kamat
(1999). Substrat yang sudah dikeringkan kemudian digiling sampai ukuran
partikel sebesar 40 mesh. Banyaknya substrat dedak gandum yang digunakan
dalam media fermentasi yaitu sebesar 30% (w/v) untuk Solid Fermentation, dan
1% (w/v) untuk Submerged Fermentation.
c. Persiapan Media fermentasi
Media fermentasi yang digunakan terdiri dari larutan garam mineral dan yeast
ekstrak sumber nitrogen organik. Serta ditambahkan pula induser (xylan ,xylose)
untuk meningkatkan produksi enzim xylanase.
Komposisi media fermentasi :
MgSO4.7H2O 1 gr/l
KH2PO4 1,5 gr/l
CaCl2.2H2O 0,2 gr/l
FeSO4 0,2 gr/l
MnSO4 0,2 gr/l
Yeast Extract 2 gr/l
Tween 80 0,1 %.
Induser (xylan / xylose) 5% substrat
pH dari medium di set 5,5 dengan menggunakan larutan NaOH. Medium
fermentasi beserta substrat untuk pertumbuhan jamur dimasukkan ke dalam
erlenmeyer 250 ml, kemudian disterilkan dalam autoclave pada suhu 1210C
selama 15 menit.

Tahap produksi enzim kasar


a. Membuat suspensi jamur dari biakan jamur pada media agar miring. Hal ini
dilakukan dengan cara :
• Membuat larutan 0,85% reagen saline yang mengandung 0,1% tween 80.
• Memasukkan 10 ml larutan tersebut ke dalam media agar miring yang berisi
jamur.
• Vorteks hingga homogen
• Menghitung jumlah spora dalam kisaran 1x107-1x108 spora/ml.

173
b. Menginokulasi suspensi jamur sebanyak 2 ml yang didapat dari prosedur Tahap
Produksi Enzim Kasar ke dalam labu erlemeyer 250 ml yang berisi substrat dan
media fermentasi yang steril.
c. Menginkubasi media fermentasi yang berisi suspensi jamur dengan kecepatan 150
rpm pada 35oC selama 4 hari untuk A.niger dan pada 30oC selama 7 hari untuk
T.reesei.
d. Untuk Solid State Fermentation : Media fermentasi yang telah ditumbuhi jamur
ditambahkan dengan 100 ml larutan Sodium Asetat Buffer pH 5,5 yang
mengandung 0,1 % Tween-80 kemudian mengocok pada orbital shaker pada 175
rpm selama 135 menit.
e. Melakukan centrifugasi pada kecepatan 5000 rpm selama 1 jam untuk
mendapatkan supernatant crude enzim.
f. Melakukan filtrasi dengan menggunakan kain kering bersih untuk memisahkan
filtrat dengan mycelia beserta endapan media di dalamnya.

Tahap purifikasi
Prosedur Purifikasi Enzim dengan Ammonium Sulfate Precipitation
1. Menyiapkan 100 ml crude enzim yang ingin dimurnikan
2. Menghitung berat ammonium sulfat yan digunakan untuk percent saturation
range 0 - 20 %.
Berat Ammonium Sulfat = 533 ( S2 – S1)
100-0.3 S2
S1 = persen saturasi awal
S2 = persen saturasi akhir
3. Menambahkan berat ammonium sulfat yang didapatkan (10.6 gram) dalam 100
ml crude enzim
4. Menambah kan ammonium sulfat secara perlahan-lahan dan mengaduk dengan
stirrer selama 1 jam pada suhu 4oC.
5. Mendiamkan dalam kondisi tersebut selama semalam (12 jam).
6. Melakukan sentrifugasi dengan cool sentrifuge dengan kecepatan 3000 G selama
40 menit pada suhu 4oC.
7. Menghitung volume supernatan dan volume endapan + larutan buffer.
8. Menguji aktifitas xylanase dan uji protein pada supernatant dan endapan + larutan
buffer.
9. Melanjutkan dengan percent saturation range 20 – 40 % pada supernatant yang
dihasilkan dari sentrifugasi.
10. Melakukan hal yang sama dengan percent saturation range yang sama sampai
konsentrasi protein di supernatant 0 atau tidak ada.

Prosedur Dialisis
1. Mengambil endapan yang didapatkan dari proses ammonium sulfate
2. Memasukkan endapan dalam kantung dialysis dan menambahkan larutan buffer
asetat 2 ml.
3. Merendam kantung dialisis yang telah diisi endapan dan buffer asetat dalam
buffer asetat selama 6 jam
4. Mengganti larutan buffer perendam setiap 2 jam.

Spect kantung dialysis


a. Merk : SIGMA D-9777 , 50 ft lot 10B049777
b. Bahan : Membran selulose

174
c. Ukuran pori : 12.000 mol wt protein
d. Diameter rata-rata : 16 mm (0.6 inchi)
e. Kapasitas rata-rata : 60 ml/ft
Keterangan :
1. Simpan pada temperatur ruang
2. Penghilangan gliseryn dengan mengalirkan air selama 3-4 jam
3. Penghilangan komponen sulfur dengan larutan sodium sulfit 0.3%(v/v) pada 80 oC
selama 1 menit kemudian bilas dengan air panas 60oC selama 2 menit, lalu diikuti
dengan pengasaman menggunakan 0.2% (v/v) asam sulfat dan bilas untuk
menghilangkan asam.

B. Analisa Protein/Enzim
Prosedur Uji Protein (metode Bradford)
Sebagai larutan standar digunakan larutan Serum Albumin Bovine (BSA).
Prosedur analisisnya adalah sebagai berikut
1. Menambahkan 5 ml reagen Bradford untuk 100 µl crude enzim, vortex.
2. Menginkubasikan dalam suhu ruangan selama 20 menit
3. Menera Absorbansinya pada 595 nm dengan spektrofotometer
4. Hasil absorbansi diplotkan dengan persamaan yang didapatkan dari kurva standar
BSA.

Uji aktifitas enzim xylanase


Aktifitas enzim xylanase di uji dengan menggunakan metode Dinitrosalicylic Acid
(DNS) dengan xylose sebagai standart.
B- 1 Prosedur uji aktifitas enzim xilanase sebelum dikoreksi:
1. Mencampurkan 1,8 ml larutan substrat xylan dengan 200 µl larutan enzim.
2. Menginkubasikan pada suhu pengujian (35 oC) selama 10 menit
3. Menambahkan larutan DNS 3 ml
4. Memanaskan campuran dalam air mendidih selama 10 menit
5. Mendinginkan dengan menggunakan es atau air mengalir
6. Mengencerkan dengan menggunakan aquadest sebanyak satu ml
7. Mengukur absorbansinya pada panjang gelombang 540 nm terhadap larutan
blanko
8. Hasil absorbansi diplotkan dengan persamaan yang didapatkan dari kurva
standar xylose

B- 2 Prosedur pembuatan untuk larutan blanko:


1. Memasukkan 2 ml larutan buffer ke dalam tabung reaksi.
2. Menginkubasikan pada suhu pengujian (35 oC) selama 10 menit
3. Menambahkan larutan DNS 3 ml
4. Memanaskan campuran dalam air mendidih selama 10 menit
5. Mendinginkan dengan menggunakan es atau air mengalir
6. Mengencerkan dengan menggunakan aquadest sebanyak satu ml
7. Mengukur absorbansinya pada panjang gelombang 540 nm

B- 3 Prosedur analisis untuk larutan koreksi:


1. Mencampurkan 1,8 ml larutan substrat xylan
2. Menginkubasikan pada suhu pengujian (35 oC) selama 10 menit
3. Menambahkan larutan DNS 3 ml
4. Menambahkan 200 µl larutan enzim.
175
5. Memanaskan campuran dalam air mendidih selama 10 menit
6. Mendinginkan dengan menggunakan es atau air mengalir
7. Mengencerkan dengan menggunakan aquadest sebanyak satu ml
8. Mengukur absorbansinya pada panjang gelombang 540 nm terhadap larutan
blanko
Perhitungan Absorbansi, A = Absorbansi B1 – Absorbansi B3

Uji aktifitas enzim selulase


Aktifitas enzim selulase di uji dengan menggunakan metode dinitrosalicylic acid
(DNS) dengan glukosa sebagai standart.

A- 1 Prosedur analisisnya adalah sebagai berikut :


1. Mencampurkan 1,8 ml larutan CMC dengan 200 µl larutan enzim
2. Menginkubasikan pada suhu pengujian (35 oC) selama 5 menit
3. Menambahkan larutan DNS 3 ml
4. Memanaskan campuran dalam air mendidih selama 5 menit
5. Mendinginkan dengan menggunakan es atau air mengalir
6. Mengencerkan dengan menggunakan aquadest sebanyak satu ml
7. Mengukur absorbansinya pada panjang gelombang 540 nm
8. Hasil absorbansi diplotkan dengan persamaan yang didapatkan dari kurva standar
glukosa.

Prosedur analisisnya untuk blanko adalah sebagai berikut :


1. Memasukkan 2 ml larutan buffer ke dalam tabung reaksi.
2. Menginkubasikan pada suhu pengujian (35 oC) selama 10 menit
3. Menambahkan larutan DNS 3 ml
4. Memanaskan campuran dalam air mendidih selama 10 menit
5. Mendinginkan dengan menggunakan es atau air mengalir
6. Mengencerkan dengan menggunakan aquadest sebanyak satu ml
7. Mengukur absorbansinya pada panjang gelombang 540 nm

A- 2 Prosedur analisisnya untuk tanpa enzim adalah sebagai berikut :


1. Mencampurkan 1,8 ml larutan CMC
2. Menginkubasikan pada suhu pengujian (35 oC) selama 10 menit
3. Menambahkan larutan DNS 3 ml
4. Menambahkan 200 µl larutan enzim.
5. Memanaskan campuran dalam air mendidih selama 10 menit
6. Mendinginkan dengan menggunakan es atau air mengalir
7. Mengencerkan dengan menggunakan aquadest sebanyak satu ml
8. Mengukur absorbansinya pada panjang gelombang 540 nm terhadap blanko

Perhitungan Absorbansi, A = A1 – A2

Prosedur pembuatan media PDA


1. Menyiapkan media agar dengan melarutkan 3,9 gr PDA dalam 100 ml aquades lalu
diaduk sambil dipanaskan..
2. Menuangkan ke dalam tabung reaksi 5 ml.

176
3. Mensterilisasi dalam autoclave, lalu dinginkan dengan posisi miring.

Prosedur pembuatan suspensi jamur


1. Menyiapkan tabung reaksi yang berisi biakan jamur dalam agar miring.
2. Menambahkan 0,85% reagen saline yang mengandung 0,1% tween 80 sebanyak 10 ml
ke dalam tabung reaksi yang berisi spora jamur, kemudian vortex.
3. Melakukan pengenceran dengan mengambil 1 ml biakan pada no 2 dan menambahkan 9
ml akuades, vortex
4. Mengulangi lagi pengenceran sampai didapatkan jumlah spora antara 107 – 108
spora/ml dengan menggunakan haemocytometer

Pembuatan Kurva Standar (BSA) Metode Bradford


a. Membuat deret konsentrasi standar BSA di dalam larutan 50 mM buffer asetat (pH 5.5)
200 µg/ml, 400 µg/l, 600 µg/ml, 800 µg/ml dan 1000 µg/ml.
b. Menambahkan 5 ml reagen Bradford untuk 100 µl tiap konsentrasi BSA, vortex.
c. Menginkubasikan dalam suhu ruangan selama 20 menit
d. Menera absorbansinya pada 595 nm dengan spektrofotometer.
e. Mengeplot Absorbansi vs konsentrasi BSA

Prosedure pembuatan larutan xylan


1. Melarutkan xylan oat spelt sebanyak satu gram dalam 80 mL larutan buffer pada suhu
60o C
2. Menghomogenkan dengan pengaduk magnet dan memanaskannya hingga mendidih
pada hot plate.
3. Mendinginkan dan mengaduk terus hingga satu malam (12 jam) dan mengencerkan
sampai 100 ml dengan buffer asetat.

Prosedur pembuatan larutan standar xylose


1. Membuat larutan stok 0,05 M dengan cara mencampurkan 0,375 g /50 ml larutan 50
mM buffer asetat pH 5.5.
2. Membuat kurva kalibrasi dari larutan standart dengan pengenceran 1:1 (tanpa
pengenceran), 1:2, 1:3, 1:4, 1:5 )

Membuat kurva standar xylose


1. Mencampurkan 1,8 ml larutan substrat xylan dengan 200 µl larutan xylose dengan
berbagai konsentrasi.
2. Menginkubasikan pada suhu pengujian (35oC) selama 10 menit
3. Menambahkan larutan DNS 3 ml
4. Memanaskan campuran dalam air mendidih selama 5 menit
5. Mendinginkan dengan menggunakan es atau air mengalir
6. Mengencerkan dengan menggunakan aquadest sebanyak 1 ml
7. Mengukur absorbansinya pada panjang gelombang 540 nm
8. Memplot absorbansi dengan konsentrasi

Prosedur pembuatan larutan CMC


1 gr CMC dilarutkan dalam 100 ml 50 mM buffer asetat, pH 5,5 dan di stirrer selama
14-16 jam

Prosedur pembuatan larutan standar glukosa


1. Membuat larutan stok 0,05 M dengan cara mencampurkan 0,45 g /50 ml 50 mM buffer
asetat pH 5.5.
2. Membuat kurva kalibrasi dari larutan standart dengan pengenceran 1:1 (tanpa
pengenceran), 1:2, 1:3, 1:4, 1:5 )

177
Membuat kurva standar glukosa
1. Mencampurkan 1,8 ml larutan CMC dengan 200 µl larutan glukosa dengan berbagai
konsentrasi.
2. Menginkubasikan pada suhu pengujian (35 oC) selama 5 menit
3. Menambahkan larutan DNS 3 ml
4. Memanaskan campuran dalam air mendidih selama 5 menit
5. Mendinginkan dengan menggunakan es atau air mengalir
6. Mengencerkan dengan menggunakan aquadest sebanyak 1 ml
7. Mengukur absorbansinya pada panjang gelombang 540 nm
8. Memplot absorbansi dengan konsentrasi

Prosedur pembuatan reagen DNS: (O2N)2C6H2-2-(OH)CO2H


1. Larutkan 16 gr NaOH dalam 200 ml aquades, lalu tambahkan 10 gr DNS dan stirrer.
2. Larutkan 300 gr sodium potassium tartrate dan 8 gr sodium metabisulfit (Na 2S2O5) ke
dalam 500 ml aquades.
3. Campurkan kedua larutan dan tambahkan aquades hingga 1 Liter.
4. Lanjutkan pengadukan hingga benar-benar terlarut sempurna.

Prosedur pembuatan reagen Salin


i. Melarutkan 0.85 gr NaCl dalam 100 ml aquades.
ii. Menambahkan 0.1% tween 80

Prosedur pembuatan larutan Buffer Asetat


2. Membuat Larutan A : 0,2 M Larutan Asam Asetat (11,55ml asam asetat dalam 1000
ml)
3. Membuat Larutan B : 0,2 M larutan Na-Asetat (27,2 g C2H3Na.3H2O dalam 1000 ml)
4. Untuk membuat larutan 0.2 M Buffer Asetat pH 5,5, mencampurkan:
6,8 ml A dan 43,2 ml B = 50 mL
13.6 mL A + 86.4 mL B = 100 mL
40.8 mL A + 259.2 mL B = 300 mL
136 mL A + 864 B = 1000 mL
5. Untuk membuat konsentrasi 50 mM, maka dilakukan pengenceran 200/50= 4 kali dari
0.2 M (300 mL 0.2 M + 900 mL H2O). Cek pH 5.5. Didapatkan larutan buffer acetate
50 mM pH 5.5.

Prosedur pengamatan Jumlah spora


1. Menyiapkan tabung reaksi yang berisi biakan jamur dalam agar miring.
2. Menambahkan 0,85% reagen saline yang mengandung 0,1% tween 80
sebanyak 10 ml ke dalam tabung reaksi yang berisi spora Aspergillus niger,
vortex.
3. Melakukan pengenceran dengan mengambil 1 ml biakan pada no 2 dan
menambahkan 9 ml aquades, vortex
4. Melakukan pengenceran lagi dengan mengambil 1 ml dari biakan no 3 dan
menambahkan 9 ml aquades, vortex
5. Mengulangi lagi pengenceran sampai didapatkan jumlah konsentrasi spora yang
bias dihitung dengan menggunakan haemocytometer.

Preparation of Bradford reagent


1. Add 100 mg Coomassie Brilliant Blue G-250 to 50 mL 95% ethanol.
2. Add 100 mL 85% (w/v) H3PO4
3. Dilute with H2O until 1 L.

178
4. Filter and store at 4oC in a dark colored bottle.
5. Put at room temperature prior to use.

C. Analisa selulosa, hemiselulosa dan lignin

C.1. Metode TAPPI


Analisa Kadar Lignin (Acid insoluble Lignin TAPPI 222 om-88) :
1. Menimbang dry weight spesimen tes, untuk kayu 1.0 + 0.1 gr dan untuk pulp
2.0 + 0.1 gr dan masukkan ke dalam beakerglass 100 ml.
2. Menambahkan spesimen tes dingin (10 – 15 oC) yang mengandung H2SO4
72% ke dalam beaker glass, 15 ml untuk kayu dan 40 ml untuk pulp.
Penambahan asam dilakukan secara bertahap sedikit demi sedikit dan diaduk
dengan pengaduk kaca. Menjaga kondisi beaker pada suhu 2 + 1 oC selama
dispersi material.
3. Setelah spesimen terdispersi, tutuplah beaker glass dengan geals arloji,
menjaga suhunya 20 + 1 oC dan mengaduknya secara berkala selama 2 jam.
4. Menambahkan 300 – 400 ml aquadest dan memindahkan sampel ke
erlenmeyer 2000 ml. Membilas dan mengencerkan dengan aquadest sehingga
konsentrasi H2SO4 menjadi 3% (total volume menjadi 575 ml untuk wood dan
1540 ml untuk pulp.
5. Mendidihkan larutan selama 4 jam dan menjaga agar volume tetap dengan
menggunakan reflux condensor.
6. Membiarkan material yang tidak larut (lignin) mengendap, menjaga
erlenmeyer pada posisi miring semalam atau lebih.
7. Tanpa mengaduk endapan menuangkan larutan supernatan ke filtering crucible
dan memindahkannya dengan menggunakan batak penagaduk dan air panas.
8. Mencuci lignin yang bebas asam dengan air panas.
9. Mengeringkan crucible bersama lignin dalam oven pada suhu 105 + 3 oC
hingga berat konstan. Mendinginkan dalam desikator dan timbang.
A
%Lignin  100 
Dimana : W
A = Berat lignin (gram)
W = Berat kering spesimen tes yang telah di oven (gram)

Analisa Kadar Selulosa (TAPPI metod T 203 om 88) :


1. Menimbang sebanyak 1,5 gram pulp dan memasukkan dalam beakerglass 300ml.
2. Menambahakan 75 ml larutan NaOH 17,5%, catat waktu penambahan NaOH
17,5% tersebut.
3. Mengaduk dengan stirrer hingga pulp terdispersi dalam larutan.
4. Ketika pulp telah terdispersi, mengangkat stirrer lalu membilas dengan 17,5%
NaOH sehingga reagen NaOH yang ditambahkan tepat 100ml.
5. Setelah 30 menit dari waktu penambahan 17,5% NaOH awal,menambahkan
100ml aquades lalu mengaduk dengan batang pengaduk.
6. Membiarkan larutan dalam beakerglass selama 30menit, sehingga didapat total
waktu ekstraksi adalah 60 menit.
7. Di akhir waktu 60 menit ,mengaduk larutan lalu menyaring dengan kertas saring,
membuang 10-20ml filtrat awal, mengummpulkan kira-kira 100ml filtrat dalam
erlenmeyer, dan jangan membilas pulp dengan air.

179
8. Memipet 25ml filtrat pulp dan menambahkan 10ml potassium dikromat 0,1N ke
dalam erlenmeyer 250ml, lalu menambahkan dengan hati-hati 50ml H2SO4 98%.
9. Membiarkan larutan tersebut dalam keadaan panas selama 15 menit kemudian
menambahkan 50ml aquades dan mendinginkan hingga mencapai temperatur
ruangan. Menambahkan 2-4 tetes indikator ferroin lalu mentitrasi dengan larutan
ferrous ammonium sulfat hingga larutan berubah warna menjadi ungu kecoklatan.
10. Melalukan titrasi blanko dengan mengganti filtrat dengan 12,5 ml NaOH 17,5%
dan 12,5 ml aquades.
11. Menghitung Kadar selulosa dengan rumus :
6.85 (V2  V1 ) x N x 20
% Selulosa  100 
A xW
Dimana :
V1 : volume titrasi dari filtrat pulp (ml).
V2 : volume titrasi blanko (ml)
N : normalitas dari larutan ferrous amonium sulfat.
A : volume filtrat pulp yang digunakan (ml).
W : berat dari pulp yang digunakan (gram)

Analisa Kadar Hemiselulosa (TAPPI metod T 203 om 88) :


1. Memipet 50ml filtrat pulp dari prosedur selulosa diatas, dan menambahkan 50 ml
H2SO4 3 N.
2. Memanaskan larutan dalam waterbath bersuhu 70-90 oC selama beberapa menit
untuk mengkoagulasikan beta-selulosa, lalu biarkan endapan dalam larutan
mengendap selama selama semalam ( 24 jam).
3. Memipet 50 ml larutan yang jernih hasil presipitasi pada langkah 2, dan
menambahkan 10 ml K2Cr2O7 0,5N lalu menambahkan secara hati-hati 90 ml
H2SO4 98%. Membiarkan larutan menjadi panas selama 15 menit.
4. Menambahkan 50ml aquades dan mendinginkan hingga mencapai temperatur
ruangan. Menambahkan 2-4 tetes indikator ferroin lalu mentitrasi dengan larutan
ferrous ammonium sulfat hingga larutan berubah warna menjadi ungu kecoklatan.
5. Melalukan titrasi blanko dengan mengganti filtrat dengan 12,5 ml NaOH 17,5% ;
12,5 ml aquades dan 25ml H2SO4 3N.
6. Menghitung Kadar Hemiselulosa dengan rumus :
6.85 (V3  V4 ) x N x 20
% Hemiselulo sa 
A xW
Dimana :
V4 : volume titrasi dari filtrat pulp (ml).
V3 : volume titrasi blanko setelah presipitasi (ml)
N : normalitas dari larutan ferrous amonium sulfat.
W : berat dari pulp yang digunakan (gram)

Analisa kadar selulosa dan hemiselulosa juga dapat dilakukan melalui prosedur
analisa kadar holoselulosa seperti diberikan di bawah ini.

Prosedur analisa kadar holoselulosa


1. Menimbang 0,7 gr pulp ke dalam Erlenmeyer.

180
2. Menambah 10 ml larutan A (60 ml asam asetat glacial dan 20 gr NaOH
perliter aquades) dan secara hati-hati masukkan 1 ml larutan B (200 gr
NaClO2 per liter aquades).
3. Masukkan Erlenmeyer ke dalam water bath yang suhunya diatur  70C,
lalu goyangkan Erlenmeyer itu tiap 30 menit.
4. Sesudah 45, 90 dan 150 menit tambahkan pada masing-masing waktu
tersebut 1 ml larutan B.
5. Setelah 4 jam masukkan erlenmeyer itu ke dalam penangas air es dan
masukkan 15 ml akuades es dalam erlenmeyer itu.
6. Masukkan isi seluruh Erlenmeyer ke dalam cawan saring yang sudah
ditimbang lalu cuci isi Erlenmeyer dengan 100 ml larutan asam asetat 1%
agar sisa-sisa yang masih ada dapat dipindahkan ke cawan saring.
7. Hisap cawan saring dengan pompa vakum kemudian cuci dengan 2-5 ml
acetone yang dibiarkan menetes ke luar karena beratnya, lalu hisap lagi
selama 3 menit.
8. Biarkan holoselulosa itu seimbang dengan udara kamar (kering angin)
selama minimum 4 hari.
9. Cawan saring dan isinya ditimbang untuk mengetahui berat hemiselulosa
kering angin lalu dikeringkan dalam tanur dengan temperature 105C
sampai beratnya konstan. (Bht)
10. Kadar holoselulosa dihitung dengan rumus:
Bkt (1 + Ka) x 100%
Bp
Dimana :
Bkt : berat holoselulosa kering oven
Bp : Berat sampel setelah dikeringkan dalam oven
Ka : Kadar air sampel awal kering oven

Prosedur analisa kadar -selulosa


1. -selulosa ditentukan dengan tidak memindahkan holoselulosa dalam
prosedur A.12.
2. Menambah 3 ml NaOH 17,5% dalam cawan saring.
3. Masukkan cawan saring ke dalam Erlenmeyer yang berisi air hingga
holoselulosa terendam  1 cm, aduk selama 1 menit dengan gelas pengaduk
agar holoselulosa basah seluruhnya.
4. Sesudah 5 menit tambahkan lagi 3 ml NaOH 17,5% dan aduk lagi selama 1
menit, kemudian diamkan selama 35 menit.
5. Tambahkan 6 ml aquades kemudian keluarkan cawan saring dari
Erlenmeyer dan hisap dengan pompa vakum.
6. Hentikan pengisapan dan tambahkan 10 ml larutan asam asetat 10%.
7. Aduk kemudian hisap sampai kering dan cucilah dengan 60 ml aquades.
8. Lalu cucilah dengan 10 ml acetone, keringkan dalam tanur sampai berat
konstan dan timbang.
9. Kadar α selulosa dihitung dengan rumus:
Bkt (1 + Ka) x 100%
Bp
Dimana :
Bkt : berat α selulosa kering oven
Bp : Berat sampel kering oven pada analisa holoselulosa

181
Ka : Kadar air sampel awal kering oven

Prosedur analisa kadar hemiselulosa


Penentuan kadar hemiselulosa ditentukan dengan mengurangi kadar
holoselulosa dengan kadar -selulosa.

C.2. Metode Chesson (Datta, 1981)


1. 1 gram bagasse tebu (berat a) ditambah H2O sebanyak 150 mL dan direflux dengan
suhu 100°C selama 1 jam
2. Setelah 1 jam, campuran tersebut disaring dengan kertas saring dan dicuci dengan air
panas
3. Residu dioven pada suhu 60°C dan ditimbang hingga berat konstan (berat b).
4. Ditambah 150 mL H2SO4 1N dan direflux selama 1 jam dengan suhu 100°C.
5. Disaring dan dicuci hingga pH 7
6. Residu dioven dengan suhu 60°C dan ditimbang hingga berat konstan (berat c)
7. Ditambahkan H2SO4 72% sebanyak 150°C dan didiamkan pada suhu kamar selama 4
jam.
8. Ditambahkan H2SO4 1N dan direflux selama 1 jam dengan suhu 100°C.
9. Disaring dan dibilas dengan H2O hingga pH netral dan dioven dengan suhu 60°C, dan
ditimbang hingga berat konstan (berat d)
10. Residu diabukan dengan bantuan furnace (berat e)
11. Perhitungan kadar Selulosa, Hemiselulosa dan Lignin dengan menggunakan rumus
berikut ini :
c−d
Kadar Selulosa =[ ] × 100%
a
b−c
Kadar Hemiselulosa =[ ] x 100%
a
d−e
Kadar Lignin =[ ] x 100%
a

182
CURRICULUM VITAE

Prof. Dr. Arief Widjaja, lahir di Surabaya pada tanggal 23 Mei 1966. Setelah
menyelesaikan studi S1 di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya di Jurusan
Teknik Kimia pada tahun 1990, penulis menjadi staf pengajar di almamaternya kembali
dan menyelesaikan S2 nya di Department of Chemical Engineering, Osaka Prefecture
University tahun 1996 serta S3 nya di tempat yang sama pada 1999. Selama studi S2 dan
S3 nya, sampai sekarang penulis tetap konsisten melakukan penelitian di bidang teknik
biokimia khususnya bidang enzim dan fermentasi. Beberapa hasil penelitiannya yang
dipublikasikan pada jurnal-jurnal bereputasi internasional dan nasional yaitu:

Dalam Jurnal Internasional:


1. Nadiem Anwar, Arief Widjaja, Sugeng Winardi, “Study of the Enzymatic
Hydrolysis of Alkaline-Pretreated Rice Straw Using Cellulase of Various Sources
and Compositions”, International Review of Chemical Engineering (I.RE.CH.E.),
Vol. 3, N. 2 March 2011, halaman 272-278
2. Arief Widjaja, Evi Lestari, Akbar Tanjung, Widiawan, Alfian, and Hiroyasu
Ogino, “Optimized Production of Xylanase from Fungal Strains and Its
Purification Strategies”, Journal of Applied Sciences in Environmental Sanitation
(ISSN 0126-2807), Vol. 4, Number 3 hal. 219-232, Edisi : September - Desember
2009.
3. Widjaja, A., Chien, C.C., and Ju, Y.H.: Study of Increasing Lipid Production
From Fresh Water Microalgae Chlorella vulgaris, Journal of the Chinese Institute
of Chemical Engineers 40 (2009) 13-20
4. Widjaja, A., Yeh, T.H., and Ju, Y.H., Enzymatic Synthesis of Caffeic Acid
Phenethyl Ester, Journal of the Chinese Institute of Chemical Engineers 39 (2008)
413–418
5. Aisyah E. Palupi, Ali Altway and Arief widjaja: The Application of membrane
Bio-reactor for East Java Domestic waste water treatment, Songklanakarin
J.Sci.Technol., 30(1), 131-134, Jan-Feb 2008
6. Yu-Hsuan Chuang, Yi-Hsu Ju and Arief Widjaja, Kinetic Studies of Phytosterol
Adsorption on Zeolite, Separation Science and Technology, 42: 611–624, 2007
7. Yu-Hsuan Chuang, Yi-Hsu Ju and Arief Widjaja, Separation of Campesterol and
b-Sitosterol from a Sterol Mixture, Separation Science and Technology, 41:
3027–3038, 2006
8. Lee, G.S., Widjaja, A., Ju, YH.: Enzymatic synthesis of cinnamic acid
derivatives, Biotechnology letter, 28, p. 581-585, 2006
9. Widjaja, A., H. Nakajima, M. Yasuda, H. Ogino and H. Ishikawa: Enzymatic
Production of Fructose 1,6-Diphosphate with ATP Regeneration in a Batch
Reactor and Semi-Batch Reactor Using Crude Cell Extract of Bacillus
Stearothermophilus, J. Biosci. Bioeng., 87, 693-696, 1999
10. Widjaja, A., H.Ogino, M. Yasuda, K.Ishimi, H. Ishikawa: Experimental
Investigation of FDP Production and Simultaneous ATP regeration by Conjugated
Enzymes in an Ultrafiltration Hollow-Fiber Reactor, J. Biosci. Bioeng., 88 (6),
640-645, 1999

183
11. Widjaja, A., M. Shiroshima, H. Nakajima, H. Ogino, M. Yasuda and H. Ishikawa:
Enzymatic Synthesis of Fructose 1,6-Diphosphate with ATP Regeneration in a
Batch Reactor and Semi-Batch Reactor Using Purified Enzymes of Bacillus
Stearothermophilus J. Biosci. Bioeng., 87, 611-618, 1999.
12. M. Shiroshima, Widjaja, A., M.Yasuda, H. Ogino, K. Ishimi, H. Ishikawa:
Theoretical Investigation of FDP Production and Simulatieous ATP regeneration
by Conjugated Enzymes in an Ultrafiltration Hollow-Fiber Reactor, J. Biosci.
Bioeng., 88 (6), 632-639, 1999
13. Widjaja, A., M. Shiroshima, H. Ogino, M. Yasuda, K. Miyatake and H. Ishikawa,
T. Oka, and H. Nakajima: The Kinetics and Mechanism of a Reaction Catalysed
by Bacillus Stearothermophilus Phosphoglucose Isomerase, J. Ferment. Bioeng,
86, 324-331, 1998.
14. Ishikawa, H.,. M. Shiroshima, A. Widjaja, H. Nakajima and R. Tsurutani:
Kinetics and Mechanism of Acetate Kinase from Bacillus Stearothermophilus, J.
Chem. Eng. Japan., 28, 517-524, 1995.

Dalam Jurnal Nasional:


1. Nadiem Anwar, Arief Widjaja, Sugeng Winardi, “Comparation of Commercial
Cellulase From A.Niger And Mixed Crude Cellulase in The Enzymatic
Production of Glucose From Rice Straw”, Jurnal Industri FTI-ITS, vol. 10 no. 1
hal 1-7, 2011
2. Nadiem Anwar, Arief Widjaja, Sugeng Winardi, “Peningkatan Unjuk Kerja
Hidrolisis Enzimatik Jerami Padi Menggunakan Campuran Selulase Kasar Dari
T. Reesei Dan A. Niger”, Makara, sains, vol. 14, no. 2, november 2010: 113-116.
3. Widjaja, A. dan Gia-Sheu Lee: Study On the Enzymatic Synthesis of Octyl
Methoxycinnamate From p-Methoxycinnamic Acid and 2-Ethyl Hexanol, Jurnal
ilmiah sains dan teknologi INDUSTRI, vol. 5, no. 3, hal. 137 – 144, 2006
4. Widjaja, A and Yu-Hsuan Chuang, Effect Of Stirring And Temperature On The
Separation Of Phytosterols Using Zeolite, Jurnal IPTEK vol. 17, nomor 4, hal.
103-109, 2006
5. Widjaja, A. and Yu-Hsuan Chuang, Effect of Solvents on the Selective Separation
of Phytosterols Using Zeolite, Jurnal Reaktor vol. 10, No. 1, hal. 31 – 36, 2006
6. Widjaja, A., Iswandari, D., Natalia, K., Sanjaya, A.R.: Pengaruh Waktu Inkubasi,
Konsentarsi Subtrat, Jumlah Spora dan Sumber Nitrogen pada Proses Fermentasi
Terendam terhadap Aktivitas Enzim Xilanase, Jurnal Ilmiah Teknik &
Rekayasa : SAINTEK, Vol. 9, No.2, Desember 2005, hal. 101-200, 2005.
7. Widjaja, A., Fery, dan Musmariadi: “Pengaruh Berbagai Konsentrasi Mediator
pada Biodelignifikasi Menggunakan Enzim Kasar Lignin Peroksidase", Jurnal
teknik kimia Indonesia, Vol. 3, No.2, Desember 2004, hal. 71-79, 2004.

Selain itu, penulis banyak mempublikasikan hasil-hasil penelitiannya pada seminar


bertaraf internasional maupun nasional, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Demikian juga penulis mendapatkan beberapa hibah penelitian baik dari DP2M Dikti,
Kemenristek serta dari ITS sendiri.

184

Anda mungkin juga menyukai