Anda di halaman 1dari 6

SUMARRY PERJANJIAN PT.

HYPPE TEKNOLOGI INDONESIA

Para Pihak Pihak Pertama: • PT. RightsLedger Global Indonesia (Penjual)


Pihak Kedua: • Tiang Hau Zhou d/a Lee Chin Lai Mewakili
PT. IDS Kapital Berjangka yang sekarang
berganti Nama PT. Hyppe Teknologi
Indonesia.
Maksud dan Maksud dan Tujuan: Perjanjian ini dibuat oleh kedua belah pihak atas
Tujuan dasar pembeli yang bersedia, penjual yang
Perjanjian bersedia.
Hak Para Pihak Pertama: • PT. RightsLedger Global Indonesia (Penjual)
Pihak berhak untuk menerima pembayaraan dari
pembeli sebesar 3.500.000 USD selama 12
bulan.
• PT. RightsLedger Global Indonesia (Penjual)
berhak untuk mengakhiri perjanjian ini, jika
diketahui bahwa dompet kripto pembeli atau
informasi identifikasi mengungkapkan adanya
kejahatan, penipuan, pencucian uang atau
masalah ilegal atau material lainnya atau
bahwa ada kesalahan penyajian yang dibuat
oleh pembeli.
Pihak Kedua: • Pembeli berhak menerima 200.000
RightsTokens atau RTK dari PT. RightsLedger
Global Indonesia (Penjual).
• Pembeli berhak menjual kembali RightsTokens
atau RTK kepada PT. RightsLedger Global
Indonesia (Penjual) senilai 1.75 USD/Token.
• Pembeli berhak mendapatkan jaminan
pelaksanaan dengan nilai 10 % dari total nilai
proyek sebesar 3.500.000 USD.
Kewajiban Pihak Pertama: • PT. RightsLedger Global Indonesia (Penjual)
Para Pihak wajib memberikan 200.000 RightsTokens atau
RTK kepada pembeli.
• PT. RightsLedger Global Indonesia (Penjual)
wajib memberikan 100 % RightsTokens atau
RTK kepada pembeli melalui E-Wallet paling
lambat pada hari kerja berikutnya.
Pihak Kedua: • Pembeli wajib menyerahkan nilai sebesar
3.500.000 USD selama 12 bulan sejak
perjanjian ini disepakati.
• Pembeli wajib mengikuti syarat dan ketentuan
dari perjanjian jual-beli ini.
Jangka 12 Bulan
Waktu
Perjanjian
Dispute Mengacu pada Peraturan yang belaku di
Resolution Indonesia (Hukum Positif)
ANALISA

• Bahwa Pihak pertama dan pihak kedua merupakan subyek hukum yang dimana
berdasarkan Pasal 1330 Kuhperdata tentang Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
Setiap orang cakap untuk melakukan perjanjian kecuali orang yang ditentukan dalam pasal
1330 KUHP sebagai orang yang tidak cakap melakukan perjanjian, yaitu:
1. Orang-orang yang belum dewasa, yaitu belum berusia 21 tahun; dan
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, seperti orang cacat mental, gila, orang
yang mempunyai sifat boros, dll.
Bahwa berdasarkan perjanjian ini, para pihak baik pihak pertama dan pihak kedua
merupakan subyek hukum dari perjanjian ini dan kedua belah pihak, Pihak pertama yaitu
PT. Hyppe Teknologi Indonesia yang diwakili oleh Hondo Widjaja berusia 51 tahun dan
pihak kedua yaitu, Tiang Hau Zhou pemegang paspor A36877759. Dengan demikian,
kedua belah pihak dapat dikatakan orang yang sudah cakap untuk melakukan suatu
perjanjian.
• Maksud dan tujuan dari Perjanjian ini dibuat oleh kedua belah pihak atas dasar pembeli
yang bersedia, penjual yang bersedia. Dimana menurut Ketentuan Pasal 1457 KUHPerdata
yang menyatakan sebagai berikut: “Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak
yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain
untuk membayar harga yang telah dijanjikan.”Dengan demikian menurut KUHPerdata,
jual beli adalah suatu perjanjian timbal balik antara pihak yang satu (penjual) berjanji
untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak yang lain (pembeli) berjanji
untuk membayar harga yang terdiri dari sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak
milik suatu barang tersebut.
Dalam hal ini, Pihak pertama (penjual) melakukan jual-beli dengan pihak kedua
(pembeli) yang dimana pihak pertama menyerahkan hak milik atas suatu barang yaitu
berupa RightsTokens atau RTK kepada pihak yang lain yaitu disini berarti pihak kedua
sebagaimana sebagai pembeli yang dimana membayar harga sebesar USD. 3.500.000
(Tiga juta lima ratus ribu Dollar Amerika Serikat) dengan Token Purchase senilai 200.000
RTK (dua ratus ribu).
Dengan demikian, maksud dan tujuan dari perjanjian jual-beli tersebut yaitu pihak
kedua (pembeli) membayar kepada pihak pertama (penjual) dengan harga sebesar USD.
3.500.000 (Tiga juta lima ratus ribu Dollar Amerika Serikat) dan pihak pertama (penjual)
menyerahkan Token Purchase kepada pihak kedua (pembeli) sebesar 200.000 RTK (dua
ratus ribu).
• Mengenai hak dan kewajiban kedua belah pihak sebagaimana dalam perjanjian ini,
diantaranya:
a. Hak dan Kewajiban Pihak pertama (Penjual), yaitu:
1) PT. RightsLedger Global Indonesia (Penjual) berhak untuk menerima pembayaraan
dari pembeli sebesar 3.500.000 USD selama 12 bulan.
2) PT. RightsLedger Global Indonesia (Penjual) berhak untuk mengakhiri perjanjian
ini, jika diketahui bahwa dompet kripto pembeli atau informasi identifikasi
mengungkapkan adanya kejahatan, penipuan, pencucian uang atau masalah ilegal
atau material lainnya atau bahwa ada kesalahan penyajian yang dibuat oleh pembeli.
3) PT. RightsLedger Global Indonesia (Penjual) wajib memberikan 200.000
RightsTokens atau RTK kepada pembeli.
4) PT. RightsLedger Global Indonesia (Penjual) wajib memberikan 100 %
RightsTokens atau RTK kepada pembeli melalui E-Wallet paling lambat pada hari
kerja berikutnya.

b. Hak dan Kewajiban pihak kedua (Pembeli), yaitu:


1) Pembeli berhak menerima 200.000 RightsTokens atau RTK dari PT. RightsLedger
Global Indonesia (Penjual).
2) Pembeli berhak menjual kembali RightsTokens atau RTK kepada PT. RightsLedger
Global Indonesia (Penjual) senilai 1.75 USD/Token.
3) Pembeli berhak mendapatkan jaminan pelaksanaan dengan nilai 10 % dari total
nilai proyek sebesar 3.500.000 USD.
4) Pembeli wajib menyerahkan nilai sebesar 3.500.000 USD selama 12 bulan sejak
perjanjian ini disepakati.
5) Pembeli wajib mengikuti syarat dan ketentuan dari perjanjian jual-beli ini.

Dengan begitu, berdasarkan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian ini,
terdapat dua kewajiban utama pihak pertama (penjual) sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 1473 KUHPerdata, yang menyatakan sebagai berikut:
a. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan.
b. Menanggung kenikmatan tentram atas barang tersebut dan menanggung terhadap cacat-
cacat yang tersembunyi.
Kewajiban pertama pihak pertama (penjual) adalah menyerahkan hak milik barang
yang dijual yaitu Token Purchase sebesar 200.000 kepada pembeli. Penyerahan barang
dalam jual beli merupakan tindakan pemindahan barang yang dijual ke dalam kekuasaan
dan pemilikan si pembeli (pihak kedua). Penyerahan atau levering merupakan suatu
perbuatan yuridis guna memindahkan hak milik (transfer of ownership).
Sedangkan kewajiban kedua dari pihak pertama (penjual) adalah menanggung
kenikmatan tenteram dan menanggung terhadap cacat tersembunyi (vrijwaring). Dimana
pihak pertama menjamin 100 % RightsTokens atau RTK kepada pembeli melalui E-Wallet
paling lambat pada hari kerja berikutnya. Disini dapat diartikan bahwa barang yang dijual
kepada pihak kedua 100% telah aman dari gangguan para pihak lainnya. Mengenai
kewajiban ini diatur dalam Pasal 1491 KUHPerdata. Bahwa pihak pertama (penjual)
menjamin/menanggung barang yang dijual dalam keadaan:
a. Tenteram dan damai dalam kekuasaan pemilikan pembeli, tanpa ganggu gugat dari
siapapun juga.
b. Menjamin, bahwa barang yang dijual tidak mempunyai cacat tersembunyi dan cacat
nyata.
Dalam hal tersebut apabila Token Purchase tidak dijamin oleh penjual, maka
pembeli dapat meminta pembatalan. Oleh karenanya adanya gangguan dan cacat bawaan
dapat menjadi alasan bagi pembeli untuk melakukan tuntutan pembatalan atasa dasar salah
sangka (dwaling) atau untuk menuntut wanprestasi atas dasar tidak melaksanakan prestasi
menurut sepatutnya. Sehingga menjadi alasan untuk menuntut ganti rugi.
• Kewajiban pihak kedua (pembeli) adalah membayar harga pembelian pada waktu dan di
tempat sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian ini yaitu dengan total harga senilai
3.500.000 USD selama 12 bulan . Harga tersebut harus berupa uang meskipun mengenai
hal ini tidak ditetapkan dalam undang-undang, akan tetapi sesungguhnya sudah termaktub
dalam pengertian jual beli. Harga harus ditetapkan oleh kedua belah pihak, sehingga
apabila harga harus ditetapkan oleh pihak ketiga dan pihak ketiga tersebut tidak dapat
memberikan perkiraan harga maka tidak terjadi perjanjian jual beli tersebut. dalam hal ini
perjanjian jual beli dilakukan dengan syarat tangguh.
• Mengenai Dispute Resolution jika mengacu pada perjanjian ini maka, dalam perjanjian ini
tidak diatur secara eksplisit mengenai Dispute Resolution itu sendiri akan tetapi, dalam
perjanjian ini sendiri mengatur bahwa dikatakan bahwa perjanjian ini diatur berdasarkan
hukum yang berlaku di Indonesia (hukum positif). Dengan kata lain, dapat dimaknai
bahwa perjanjian ini merujuk pada peraturan hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal
ini, berarti untuk penyelesaian jika terjadi suatu perselisihan, maka pada kebiasaan dalam
perjanjian-perjanjian yang dibuat di Indonesia yaitu penyelesaian melalui Tahap mediasi
namun, jika mediasi yang ditempuh tidak menyelesaikan perselisihan tersebut maka,
ditempuh penyelesaian melalui jalur litigasi yakni dapat mengajukan keberatan atau
permohonan di Pengadilan Negeri dimana wilayah hukum baik pihak pertama dan pihak
kedua dan penyelesaian melalui abitrase sebagaimana berdasarkan Pasal 6 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa yang menyatakan sebagai berikut: Sengketa atau beda pendapat perdata dapat
diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan
pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan
Negeri.
• Kemudian perihal keadaan kahar dimana hal ini didasarkan pada Keppres Nomor 11
Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease
2019 (Covid-19). Hal ini yang dijadikan acuan dasar pihak pertama (penjual) untuk
mengembalikan dana kepada pihak kedua (pembeli) yang sebagaimana telah disepakati
dalam purchase agreement yang dimana pihak kedua (pembeli) seharusnya mendapatkan
keuntungan 75% dari buy back guarantee akan tetapi, pihak pertama (penjual) hanya
melakukan pengembalian dana kompensasi sebesar 15% dari jumlah dana USD. 200.000
(dua ratus ribu dollar) sesuai dengan Token Purchase dengan nomor order
RTK/11/287/RL/107/2019 tertanggal 18 November 2019 setara dengan IDR.
2.814.400.000 (Dua miliar delapan ratus empat belas juta empat ratus ribu rupiah).
Sehingga total pengembalian dana dimaksud menjadi IDR. 3.236.560.000 (Tiga miliar dua
ratus tiga puluh enam juta lima ratus enam puluh ribu rupiah). Dimana pihak pertama
dalam hal ini, melakukan pengembalian dana tersebut mengacu pada Kepres Nomor 11
Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease
2019 (Covid-19).
Namun, dalam kaitannya bahwa jika pihak pertama berlandaskan pada alasan force
majeure maka, terlebih dahulu menjelaskan apa yang dimaksud dengan force majeure itu
sendiri yang dimana dalam pengertiannya Keadaan memaksa atau force majeur adalah
suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian yang menghalangi debitur untuk
memenuhi prestasinya. Dalam hal ini debitur tidak dapat diperalahkan dan tidak harus
menanggung resiko dan tidak dapat menduga terjadinya suatu tersebut pada waktu akad
perjajian dibuat.
Mengenai unsur-unsur force majeur itu sendiri tertuang dalam Pasal 1244
KUHPerdata, dimana menyatakan sebagai berikut:
a. Ada peristiwa yang riil yang dapat dibuktikan menghalangi debitur berprestasi
yang mana halangan tersebut membenarkan debitur untuk tidak dapat
berprestasi atau tidak berprestasi sebagaimana diperjanjikan;
b. Debitur harus bisa membuktikan dirinya tidak ada unsur bersalah atas peristiwa
yang menghalangi ia berprestasi;
c. Debitur harus bisa membuktikan bahwa halangan tersebut sebelumnya tidak
dapat diduga pada saat pembuatan perjanjian.

Force majeure menurut sifatnya dibagi dalam dua jenis, yaitu bersifat absolut dan
bersifat relatif, yang masing-masing memiliki dampak berbeda. Force majeure yang
bersifat absolut adalah suatu keadaan memaksa yang secara mutlak mengakibatkan suatu
prestasi tidak dapat dipenuhi. Perikatan ini tidak dapat dipenuhi akibat hal-hal yang tidak
memungkinkan lagi bagi pihak untuk memenuhinya, seperti adanya suatu bencana alam
atau kecelakaan yang berdampak secara langsung terhadap objek yang diperjanjikan.
Force majeure yang bersifat relatif diartikan sebagai keadaan memaksa yang tidak
memiliki dampak mutlak tidak dapat dilaksanakannya suatu perjanjian. Dalam konteks ini,
dapat dikemukakan misalnya pertama keadaan memkasa itu ada, debitur masih tetap
melaksanakan namun terdapat pengorbanan yang besar.
Dalam situasi yang berbeda, keadaan memaksa itu ada, dari keadaan memaksa itu
menyebabkan debitur tidak dapat melaksanakan perjanjian sementara waktu, dan setelah
keadaan memaksa itu hilang, debitur dapat kembali melaksanakan perjanjian tersebut.
Pembebasan terhadap biaya, rugi dan bunga juga tetap dapat diperoleh bagi pihak yang
dihadapkan pada situasi force majeure yang bersifat relatif, namun tidak sampai pada
batalnya perjanjian. Dalam force majeure yang bersifat relatif, dapat dipahami bahwa
pembebasan hanya bersifat sementara dan selama keadaan force majeure menghalangi
debitur melakukan prestasi. Bila keadaan force majeure hilang, maka kreditur dapat
menuntut pemenuhan prestasi. Akibat dari force majeure yang bersifat relatif adalah tidak
dapat dilaksanakannya prestasi sementara waktu. Penetapan Pandemi COVID-19 sebagai
bencana nasional, kiranya dari perspektif force majeure dapat diklasifikasikan bersifat
relatif, karena meskipun para pihak dalam perjanjian komersial dihadapkan pada situasi
ketidakmampuan untuk melakukan pemenuhan prestasi, namun manakala pandemi corona
berakhir, kiranya mereka masih dapat melanjutkan aktivitas bisnisnya, sehingga dapat
kembali melakukan pemenuhan prestasi perjanjiannya.
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan mengenai force majeure pada saat ini
yang sebagaimana tertuang pada Keppres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Maka, dapat
dikatakan pihak pertama masih dapat melaksanakan prestasinya dan pihak kedua
(pembeli) masih dapat menuntut haknya yaitu untuk mendapatkan nilai keuntungan
sebesar 75%. Hal ini didasarkan, bahwa force majeure pada saat ini merupakan force
majeure yang bersifat relatif dimana dalam perjanjian ini para pihak dapat memenuhi
prestasinya didalam perjanjian tersebut.
• Selanjutnya mengenai pengembalian kompensasi dana yang dilakukan pihak pertama
kepada pihak kedua dengan total sebesar 15% yang dimana seharusnya pihak kedua
mendapatkan keuntungan sebesar 75% maka, pengembalian kompensasi dana sebesar
USD. 200.000 (dua ratus ribu dollar) sesuai dengan Token Purchase dengan nomor order
RTK/11/287/RL/107/2019 tertanggal 18 November 2019 setara dengan IDR.
2.814.400.000 (Dua miliar delapan ratus empat belas juta empat ratus ribu rupiah).
Sehingga total pengembalian dana dimaksud menjadi IDR. 3.236.560.000 (Tiga miliar dua
ratus tiga puluh enam juta lima ratus enam puluh ribu rupiah). Hal tersebut tidaklah sesuai
dengan apa yang dalam perjanjian ini, karena jika mengacu pada perjanjian ini maka, tidak
ada klausul yang mengatur untuk melakukan konversi mata uang dari dollar ke nilai tukar
rupiah. Dengan begitu, seyogya pihak pertama sebagai (penjual) haruslah taat dengan
perjanjian yang sudah disepakati antara kedua belah pihak.

Anda mungkin juga menyukai