Anda di halaman 1dari 8

MENJADI GURU SEJATI

Murwati Widiani

Pendahuluan
”... Engkau sebagai pelita dalam kegelapan. Engkau laksana embun penyejuk dalam
kehausan. Engkau patriot pahlawan bangsa ... tanpa tanda jasa.”
Begitulah sepenggal pujian dalam lagu ”Hymne Guru” yang sering dilantunkan
oleh siswa pada acara perpisahan, pada peringatan Hardiknas, atau hari Guru. Lagu
bernada andante dengan lirik yang mengharukan dan membuat guru menjadi
”tersanjung” saat dikumandangkan sebenarnya memiliki dua mata pisau yang
berlainan. Di satu sisi, lagu itu dapat membuat guru berbangga hati dan terharu
karena guru didudukkan dalam posisi yang sangat berperan bagi siswa. Guru adalah
pelita dalam kegelapan, embun penyejuk dalam kehausan. Itulah guru, menerangi
dengan ilmunya sekaligus menyejukkan dengan perannya sebagai pembimbing,
pengayom, dan penolong siswa dalam menghadapi berbagai permasalahan yang
dihadapinya. Namun, di sisi lain lagu itu juga menuntut guru yang memiliki kepekaan
hati untuk mawas diri, merefleksi diri, dan merenungkan ”Sudahkah saya seperti
pelita sekaligus embun?”
Dua kiasan itu sebenarnya dapat dimaknai bahwa seorang guru haruslah
”cerdas dan kreatif” serta ”berhati emas”. Jika dikaitkan dengan tuntutan formal,
dalam menjalankan tugasnya, guru harus memiliki berbagai kompetensi. Seperti yang
diamanatkan dalam Permendiknas No 14 tahun 2007, ada 4 kompetensi yang harus
dikuasai guru: kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Saya
menerjemahkan, guru sebagai ”pelita” terkait dengan penguasaan kompetensi
pedagogik dan profesional. Adapun guru sebagai ”embun” terkait dengan
penguasaan kompetensi kepribadian dan sosial. Untuk menjadi guru sejati, peran dan
kompetensi tersebut haruslah dikuasai secara utuh.
Bagaimanakah upaya menjadi guru sejati? Inilah beberapa tips yang ditulis
berdasarkan pengalaman empiris, ditambah teori yang dikaji dari beberapa sumber.
Semoga dapat menjadi bahan diskusi sehingga dapat disempurnakan, lalu dapat
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai guru.
Bangga dan Bersyukur menjadi Guru
Hal pertama kali yang harus ditumbuhkan dalam hati guru adalah rasa bangga
menjadi guru. Banyak guru yang ”terpaksa” menjadi guru karena tuntutan orang tua
yang kurang mampu atau karena (dulu) tidak diterima di perguruan tinggi lain yang
bukan keguruan. Adanya cibiran bagi guru dengan menggambarkannya sebagai
”Oemar Bakri” yang ke mana-mana mengendarai sepeda butut dengan gaji kecil,
turut memberikan andil dalam membuat guru menjadi rendah diri. Selain itu, banyak
anak kecil yang ketika ditanya, ”Apa cita-citamu?”, menjawab bukan menjadi guru,
melainkan dokter, arsitek, dan profesi lain. Itu menunjukkan bahwa profesi guru
kurang diminati.
Di sisi lain, sebenarnya guru merupakan sosok yang disegani dan dihormati.
Dia tidak hanya menyampaikan materi yang diamanatkan kurikulum, tetapi juga
menjadi suri teladan yang menjadi panutan. Rustamaji (2002:7) mengatakan bahwa
guru di beberapa tempat dipanggil dengan ”Mas Guru”, sebutan untuk seseorang
yang dianggap memiliki banyak pengetahuan dan dapat menggunakan ilmu tersebut
untuk kebaikan orang lain. Sering pula dipanggil dengan ”Mas Mantri”, sebutan yang
lebih sering diberikan kepada petugas kesehatan desa yang dapat menyuntik untuk
mengobati orang lain.
Itulah guru, gambaran sosok serba bisa, bisa digugu dan ditiru. Maka
banggalah dan bersyukurlah menjadi guru. Dengan kebanggaan (bukan
kesombongan) seorang guru akan mantap dalam bekerja, percaya diri, dan suka
belajar untuk mengembangkan dirinya sebagai guru. Dengan bersyukur, banyak
kenikmatan yang akan diraih. Sebagaimana firman Allah dalam QS Ibrahim ayat 7:
‫َلَش ِديٌد َع َذاِبي ِإَّن َكَفْرُتْم َوَلِئْن َأَلِزيَدَّنُك ْم َش َك ْرُتْم َلِئْن‬
"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku
sangat pedih".
Rasa syukur seorang guru dapat diwujudkan dengan sikap sabar, telaten, dan
ikhlas. Sebaliknya, tidak dapat dikatakan bersyukur guru banyak mengeluh dan tidak
sabar ketika menghadapi anak-anak yang ”agak kurang”, sering menunda pekerjaan,
sering terlambat, dan meninggalkan pekerjaan tanpa alasan. Muhammad Furqon
Hidayatullah menjelaskan bahwa perwujudan bersyukur sebagai pendidik adalah:
(1) menerima secara positif profesi guru, (2) tidak dhalim terhadap profesi guru, dan
(3) mengembangkan profesi guru.
Menyapa Para Siswa
Salah satu kompetensi yang harus dikembangkan guru adalah kompetensi
sosial. Inti dari kompetensi sosial adalah mampu berkomunikasi. Komunikasi utama
yang pertama harus dijalin adalah dengan siswa. Bersikap ramah, penyabar, penuh
perhatian, murah pujian adalah beberapa contoh sifat yang mendukung komunikasi
secara efektif dengan para siswa.
Ramah dan sabar adalah sifat guru yang didambakan para siswa. Guru tidak
perlu merasa harus disapa terlebih dahulu. Salam dan sapalah mereka ketika kita
memang datang lebih akhir. Jawablah salam mereka juga dengan ramah. Hadapi
siswa dengan sabar. Jangan sampai guru melontarkan kata-kata yang menyakiti
siswa (dalam istilah psikologi disebut sebagai kekerasan psikis). Apalagi bertindak
menyakiti badan dengan menjewer, mencubit, atau memukul, atau melakukan
kekerasan fisik lainnya.
Rasa penuh perhatian terhadap siswa terwujud dari bentuk komunikasi sehari-
hari. Kenali dan hafalkan nama-nama mereka sampai nama-nama panggilannya.
Guru dapat menanyakan dan menuliskan nama panggilan mereka di belakang daftar
presensi ketika pertama kali mengajar. Siswa atau siapa pun yang dipanggil dengan
nama panggilannya, nama akrabnya, akan merasa lebih dekat. Syukur-syukur kenali
latar belakang keluarganya, alamat rumahnya, dan hobi atau kesukaannya.
Memberi pujian merupakan cara yang sangat murah untuk menghargai pada
siswa. Walaupun tanpa modal, masih banyak guru yang ’pelit’ pujian. Pada
umumnya, guru-guru di PAUD atau taman kanak-kanak lebih sering memberikan
pujian pada siswanya. Mereka sangat sering mengeluarkan kalimat ”Iya, bagus.”,
”Pinter.”, atau ”Tepuk tangan, anak-anak...”. Dalam sehari mungkin bisa ratusan kali
kalimat-kalimat itu dilontarkan. Di sekolah dasar, pujian itu sudah berkurang. Di SMP
lalu SMA pujian semakin berkurang. Ada guru yang beranggapan bahwa pujian hanya
pantas diberikan kepada anak kecil, atau beranggapan bahwa pujian bersifat
kekanak-kanakan. Padahal sebenarnya, orang dewasa, bahkan orang tua pun
memerlukan pujian untuk membangun motivasi diri.
Jadilah Guru Kreatif
Sebelum membantu siswa untuk menjadi pribadi yang kreatif, jadilah guru
yang kreatif terlebih dahulu. Mengapa guru harus kreatif? Hernowo (2007:7) menulis:
Apabila seorang guru tidak kreatif, kehidupan itu akan ”mati” - tidak ada lagi yang
baru. Bayangkan jika kehidupan yang mati itu menular ke kehidupan yang lain yang
mengglobal? Guru harus kreatif karena guru yang kreatif akan menjadikan kehidupan
itu sangat kaya dan bervariasi. Guru yang tidak kreatif akan menjadikan kehidupan
ini membosankan, monoton, dan tidak bermakna.
Dalam ungkapan Hernowo tersirat makna bahwa guru yang kreatif akan
membangkitkan kehidupan atau secara lebih khusus iklim pembelajaran di kelas yang
kondusif. Sebaliknya, jika kelas menjadi mati, siswa menjadi bosan, itu adalah karena
gurunya kurang kreatif. Guru kreatif akan selalu mengubah-ubah ”penampilannya” di
kelas. Jika hari ini, jam ini, materi ini, dia menggunakan teknik cooperative
learning misalnya, dia akan menggunakan teknik lain pada hari lain dengan materi
lain. Guru kreatif bukan guru biasa yang tiap masuk kelas hanya membawa buku
pelajaran, buku kerja guru, dan seperangkat alat tulis. Dia akan memanfaatkan
berbagai media, bahkan barang-barang bekas, seperti tali rafia, kardus, atau lainnya,
apa pun pelajarannya. Lihatlah ekspresi siswa ketika guru masuk kelas dengan
”tampilan dan benda” yang berbeda dengan biasanya. Pasti semua mata akan tertuju
kepada sang guru layaknya menonton artis panggung yang menjadi idola.
Guru kreatif akan menggunakan metode dan model pembelajaran yang
sesuai. Dalam Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses,
dikemukakan bahwa metode pembelajaran digunakan oleh guru untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mencapai kompetensi
dasar atau seperangkat indikator yang telah ditetapkan. Pemilihan metode
pembelajaran disesuaikan dengan situasi dan kondisi peserta didik serta karakteristik
dari setiap indikator dan kompetensi yang hendak dicapai pada setiap mata
pelajaran.
Adapun model pembelajaran adalah bentuk pembelajaran yang
menggambarkan kegiatan dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh
guru. (http://www.psb- psma.org). Model pembelajaran juga dapat diartikan sebagai
rencana yang memperlihatkan pola pembelajaran tertentu (terlihat kegiatan guru-
siswa), dan sumber belajar yang digunakan kondisi belajar atau sistem lingkungan
yang menyebabkan terjadinya belajar pada peserta didik. Dalam model pembelajaran
terdapat strategi pencapaian kompetensi peserta didik dengan pendekatan, metode,
dan teknik pembelajaran tertentu. Guru dapat menggunakan model pembelajaran
ciptaannya sendiri atau menerapkan model pembelajaran yang sudah ada teorinya.
Berbagai model pembelajaran misalnya: jigsaw (model tim ahli), problem based
instruction (pembelajaran berdasarkan masalah), mind mapping, make - a
match (mencari pasangan), role playing, tebak kata.
Guru adalah kreator proses pembelajaran (Zamroni, 2003: 74). Artinya, akan
menjadi pertunjukan apa pun sebuah proses pembelajaran di kelas, tergantung pada
guru. Guru kreatif akan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Bobbi
DePorter dan Mike Hernacki (1999:24) mengemukakan teori Quantum Learning.
Mulanya, quantum learning berakar dari upaya Georgi Lozanov yang bereksperimen
tentang ”suggestology”. Prinsipnya, sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil
situasi belajar. Berbagai teknik dapat digunakan untuk memberikan sugesti positif
seperti mendudukkan siswa secara nyaman, pemberian penghargaan, atau
pemunculan suasana kegembiraan.
Dalam menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, guru juga dapat
memanfaatkan berbagai potensi yang dimilikinya dan dimiliki sekolah. Guru yang
memiliki kelebihan dalam bercerita secara menarik misalnya, dapat menggunakannya
untuk memotivasi siswa atau membantu pencapaian kompetensi, dengan cerita-
cerita yang relevan tentunya. Manfaatkan juga fasilitas yang dimiliki sekolah, seperti
fasilitas TIK, alat peraga, dan sebagainya.
Guru kreatif juga peduli dengan hal-hal yang disukai siswa. Dia peka terhadap
perubahan yang dialami siswa, juga mengetahui hal-hal yang sedang menjadi ”tren”
bagi siswa. Jika ingin menjadi guru yang disukai siswa, jangan paksakan siswa untuk
memasuki dunia guru, tetapi masuklah kita ke dunia mereka. Pada era global seperti
sekarang, siswa sangat akrab dengan berbagai fasilitas teknologi informasi dan
komunikasi yang canggih, seperti hand phone dan internet dengan berbagai fasilitas
yang dapat diakses. Bagaimanakah sikap guru sebaiknya? Guru tidak perlu ketakutan
dengan kekhawatiran-kekhawatiran yang belum tentu terjadi. Jika guru mampu
mengarahkan, mengelola, atau memanfaatkannya dengan baik, jadilah fasilitas
tersebut sebagai media belajar yang menyenangkan. Penulis pernah mencoba
memanfaatkan HP, face book, dan e-mail untuk pembelajaran. Sebagai contoh dalam
pembelajaran berbalas pantun, guru memberi tugas siswa untuk menulis dan
mengirimkan tugas menulis pantun lebaran. Hasilnya sungguh menggembirakan.
Siswa tidak hanya memenuhi tugas dan perintah guru demi nilai, tetapi mereka
menikmati tugas itu sebagai alat bersilaturahmi, bercanda, sekaligus berkreasi.
Berikut ini salah satu pantun yang dikirim melalui SMS.
Ekananda Asmara, XII IPA (HP 085238871444):
Ke Lamongan bareng Nanda
Naik mobil berbahan bakar bensin
Ini pantun lebaran, Bunda...
Mohon maaf lahir dan batin

Balasan dari guru:


Dari Lamongan naik kuda
Bertopi biru berkalung sorban
Terima kasih Ekananda
Pantun kamu sungguh menawan

Tugas menulis pantun yang sebenarnya ditargetkan hanya satu bait, ternyata
dibalas lagi oleh siswa setelah menerima balasan SMS dari guru.
Naik pesawat melewati awan
Dari kaca terlihat hamparan
Tidaklah terlalu menawan
Serangkaian kata keluar dari pikiran

Menulislah
Langkah selanjutnya setelah menjadi guru yang kreatif adalah menulis.
Menulis bagi guru pada hakikatnya adalah mendokumentasikan berbagai peristiwa
pembelajaran yang diperankannya. Sangat disayangkan, seorang guru yang telah
melaksanakan pembelajaran dengan kreatif dan inovatif, tetapi tidak
mendokumentasikannya dalam tulisan. Dengan menulis guru akan memperoleh
manfaat dan keuntungan ganda, yakni: (1) Segala hal yang telah dirancang dan
dilaksanakan dapat diabadikan sehingga guru memiliki bukti nyata dari kegiatan
pengembangan profesinya, (2) Guru dapat berbagi pengalaman dengan teman
sejawat, baik di lingkungan sekolahnya maupun di sekolah lainnya, (3) Dengan
tulisan, guru dapat menyumbangkan ilmu kepada siapa pun yang nantinya akan
memanfaatkannya secara teoretis maupun praktis, (4) Guru dapat memperoleh kredit
point dalam proses sertifikasi, imphasing sertifikasi, atau kenaikan pangkat bagi yang
berstatus PNS, (5) Jika tulisan dimuat di media massa atau dilombakan dan
mendapat juara, akan menambah koin yang insya Allah dapat turut mengangkat
harkat dan martabat guru.
Betapa banyaknya manfaat yang dapat diraih jika kita mau dan mampu
menulis. Namun, dalam kenyataan guru memang sering berbenturan dengan
berbagai kendala yang cukup serius sehingga menghambat terwujudnya keinginan.
Kendala itu antara lain adanya anggapan bahwa menulis karya tulis ilmiah sulit.
Zubaidi, 2000 (dalam Sukidin, 2008) mengemukakan lima kendala yang dihadapi
guru dalam melaksanakan kegiatan karya tulis, khususnya PTK: (1) lemahnya
pemahaman konsep dan prinsip-prinsip PTK, (2) kurang adanya program dan
anggaran dari pihak-pihak yang terkait untuk melaksanakan PTK bagi para guru, (3)
belum membudayanya reflecting thinking melalui portfolio, (4) tidak adanya
pembimbing penelitian di sekolah, dan (5) mentalitas suka pada kemapanan daripada
mengikuti perkembangan (keluhan tidak memiliki waktu, menambah beban,
lingkungan tidak mendukung, tidak ada dana, dsb.)

Penutup
Menjadi guru sejati pada hakikatnya sama dengan menjalankan tugas guru
secara utuh dan sebaik-baiknya. Dapat juga hal itu dianalogikan dengan berupaya
menjadi ”embun penyejuk” sekaligus menjadi ”pelita dalam kegelapan”. Untuk
menjadi embun, guru haruslah bangga dan mensyukuri profesinya, bersikap ramah
pada siswa, penyabar, penuh perhatian, dan murah pujian. Untuk menjadi ”pelita
dalam kegelapan”, seorang guru haruslah cerdas, kreatif dalam merancang dan
melaksanakan pembelajaran yang menyenangkan. Langkah selanjutnya, untuk
menjadi guru profesional, seorang guru dituntut untuk mau dan mampu menulis.
Luangkan waktu, belajarlah tanpa batas waktu, lawan kemalasan, dan pantang
menyerah!
Jadilah guru sejati dengan sikap yang mampu menyejukkan anak didik. Jadilah
guru sejati yang mampu mengelola berbagai kelebihan dan kekurangan yang dimiliki
anak didik dengan berbagai kreativitas dan inovasi dalam pembelajaran. Ingat, jika
anak didik sukses meraih masa depan, itu adalah sebagian dari kesuksesan guru
dalam mengajar. Sebaliknya, jika anak didik gagal dalam meraih cita-citanya, itu juga
sebagian dari kegagalan guru dalam mengajar.

DAFTAR PUSTAKA

DePorter, Bobbi & Hernacki, Mike. (1999). Quantum Learning. Diterjemahkan oleh Alwiyah
Abdurrahman, Bandung: Kaifa.
Hernowo. 2007. Menjadi Guru yang Mau dan Mampu Mengajar secara Kreatif . Bandung: LMC
http://www.psb-psma.org diakses tanggal 25 Maret 2011.
Mendiknas. 2007. Permendiknas No 14 tahun 2007
Mendiknas. 2007. Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses
Muhammad Furqon Hidayatullah. 2009. Guru Sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat dan
Cerdas. Surakarta: Yuma Pustaka.
Rustamaji. 2002. Guru yang Menggairahkan. Yogyakarta: Gama Media.
Sukidin dkk. 2008. Manajemen Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Insan Cendekia.
Zamroni. 2003. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: BIGRAF Publishing.

Anda mungkin juga menyukai