Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Penerapan Tafsir Maqosidi Pada Ayat Al-Qur’an


Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hadis Ahkam
Dosen Pengampu: Dr. H. Moch. Toriquddin, Lc., M.HI

Disusun oleh:
Ahmad Imanuddin Baharsyah (220204110047)
Dini Ifadah Maulidah (220204110049)
Alya Amalia (220204110081)

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM


MALANG

2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-
Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Penerapan Tafsir
Maqosidi Pada Ayat Al-Qur’an" dengan tepat waktu. Makalah disusun untuk
memenuhi tugas Mata Kuliah Tafsir Maqashidi. Selain itu, makalah ini bertujuan
menambah wawasan mengenai tafsir maqashidi bagi para pembaca dan tentunya
juga bagi penulis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ustadzah Zaim
Kholilatul Ummi S.Th.I., M.Ag dengan arahannya selaku dosen dari mata kuliah
tersebut. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu untuk menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun
diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Malang, 26 November 2023

i
Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I................................................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................................1

C. Tujuan..............................................................................................................1

BAB II...............................................................................................................................2
A. Paradigma Tafsir Maqashidi dalam Permasalahan Salat Jumat Online di
Masa Pandemi.................................................................................................2

1. Tafsir Ayat tentang Kewajiban Salat Jumat......................................2

4. Implementasi Tafsir Maqasidi Pada Masa Covid..............................5

B. Keluarga Berencana Perspektif Tafsir Maqosidi Ibnu ‘Ashur........................7

1. Tafsir Ibn ‘Ashur terhadap Ayat-Ayat Keluarga Berencana...........7

2. Implementasi Tafsir Maqasidi Terhadap Keluarga Berencana.....11

C. Perbandingan.................................................................................................13

BAB III...........................................................................................................................14
PENUTUP.......................................................................................................................14
A. Kesimpulan....................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada makalah ini


adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana Paradigma Tafsir Maqashidi dalam Permasalahan


Salat Jumat Online di Masa Pandemi?
2. Bagaimana Keluarga Berencana Perspektif Tafsir Maqosidi
Ibnu ‘Ashur?
3. Bagaimana Perbandingan?

C. Tujuan

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada makalah ini


adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui paradigma tafsir maqashidi dalam


permasalahan salat jumat online di masa pandemi
2. Untuk mengetahui keluarga berencana perspektif tafsir
maqosidi ibnu ‘ashur
3. Untuk mengetahui perbandingan
4.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Paradigma Tafsir Maqashidi dalam Permasalahan Salat Jumat Online di

Masa Pandemi

1. Tafsir Ayat tentang Kewajiban Salat Jumat

Salat Jumat adalah ibadah wajib berlandaskan Al-Quran, yakni


surat al-Jumu'ah ayat 9-10.

‫َۗع ٰذ ِل‬ ‫ِا ِذ ّٰل ِه‬ ‫ِا ِد ِل ِة ِم ِم ِة‬ ‫ٰٓي َّلِذ‬


‫َاُّيَه ا ا ْيَن ٰاَمُنْٓو ا َذا ُنْو َي لَّص ٰل و ْن َّيْو اُجْلُم َع َفاْس َعْو ا ىٰل ْك ِر ال َو َذُر وا اْلَبْي ُك ْم‬
‫َخ ْيٌر َّلُك ْم ِاْن ُك ْنُتْم َتْع َلُم ْو َن ۝ َف ِإَذا ُقِض َيِت ٱلَّص َلٰو ُة َفٱنَتِش ُر و۟ا ىِف ٱَأْلْر ِض َو ٱْبَتُغ و۟ا ِم ن‬
1
‫َفْض ِل ٱلَّلِه َو ٱْذُك ُر و۟ا ٱلَّلَه َك ِثًريا َّلَعَّلُك ْم ُتْف ِلُح وَن ۝‬

Hari Jumat mendapatkan perhatian khusus dalam Islam. Sejumlah


hadis menjelaskan makna penting hari tersebut. Nabi Muhammad Saw
bersabda, “Allah Swt melipatgandakan perbuatan-perbuatan baik dan
menghapus perbuatan-perbuatan jahat pada hari Jumat dan mengangkat
derajat kaum mukmin, menghilangkan kesulitan-kesulitan dan menjawab
doa kaum mukmin pada hari Jumat. Siapa pun yang mengunjungi akan
kedua orang tuanya atau salah satu dari mereka (pada hari Jumat) maka
dosa-dosanya akan diampuni dan namanya akan tercatat bersama orang-
orang saleh.”2

Thahir Ibn ‘Asyur menggarisbawahi bahwa ayat-ayat diatas


menjadi tujuan utama surat ini. Hai orang-orang yang beriman, apabila
diseru yakni dikumandangkan azan oleh siapa pun untuk salat pada waktu
Zuhur hari Jumat, maka bersegeralah kuatkan tekad dan jangan

1
Q. S. Al-Jumu’ah/ 62: 9-10.
2
Ayatullah Alamah Kamal Faqih Imani dan Tim Ulama, Tafsir Nurul Qur’an: Sebuah Tafsir
Sederana Menuju Cahaya Al-Qur’an, jilid 17, (Jakarta: Nur Al-Huda, 2013), 209-210.

2
bermalasmalasan apalagi mengabaikan untuk menuju dzikirullah dengan
menghadiri salat, berkhotbah Jumat, dan tinggalkanlah jual beli.
Maksudnya segala macam interaksi dalam bentuk dan kepentingan apapun
bahkan semua yang dapat mengurangi perhatian terhadap upacara Jumat.
Demikian itulah menghadiri acara Jumat yang baik buat kamu, jika kamu
mengetahui kebaikannya pastilah kamu mengindahkan perintah ini.3

Seruan untuk salat yang dimaksudkan ialah keharusan


menghentikan segala kegiatan ketika azan dikumandangkan saat khatib
naik ke mimbar. Awalnya masa Nabi Muhammad Saw, hanya dikenal
sekali azan. Lalu pada masa Utsami, ketika tersebar kaum muslimin di
penjuru kota, beliau memerintahkan melakukan dua kali azan. Azan
pertama berfungsi mengingatkan, khususnya yang berada ditempat yang
jauh bahwa sebentar lagi salat Jumat akan dimulai dan agar mereka
bersiap-siap menghentikan aktivitas mereka.

Salat Jumat dinilai sebagai pengganti salat Zuhur sehingga tidak


lagi wajib atau dianjurkan kepada orang yang telah salat Jumat untuk
melakukan salat Zuhur. Dua kali khutbah pada salat Jumat dinilai
menggantikan dua rakaat Zuhur. Namun bagi yang tidak sempat
menghadiri khutbah, ia tidak diharuskan untuk salat Zuhur. Jika dia hanya
sempat mengikuti satu rakaat, maka ia harus menyempurnakan menjadi
empat rakaat, walau niatnya saat berdiri untuk salat itu adalah salat Jumat.
Inilah yang dinamai salat tanpa niat dan niat tanpa salat.

Kata (‫ٰاَمُنْٓو ا‬ ‫َّل ِذ‬ ‫ٰٓي‬


‫) َاُّيَه ا ا ْيَن‬ mencakup pria dan wanita, baik yang

bermukim di negeri tempat tinggalnya maupun yang Musaffir. Nabi


Muhammad Saw menjelaskan siapa yang dimaksud oleh ayat ini. Beliau
bersabda “(Salat) Jumat adalah keharusan yang wajib bagi setiap muslim
(dilaksanakan dengan) berjamaah, kecuali terhadap empat (kelompok),

3
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera
Hati, 2003), 229.

3
yaitu hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang sakit)" (Diriwayatkan
oleh Abu daud melalui Thariq Ibn Syihab).4

Kata (‫ )َفاْس َعْو ا‬terambil dari kata (‫ )سعوا‬yang pada mulanya berarti

berjalan cepat tetapi bukan berlari. Tentunya yang dimaksud di sini,


adanya perintah agar menuju ke masjid dan berjalan dengan penuh
wibawa. Beliau bersabda: “Apabila salat telah segera akan dilaksanakan
(Qamat), maka janganlah menuju kesana dengan berjalan cepat (sa’i)
tetapi hadirilah dengan sakinah (ketenangan dan penuh wibawa). Bagian
salat yang kamu dapati, maka lakukanlah dan yang tertinggal
sempurnakanlah.” (H.R Bukhari, Muslim dan lain-lain melalui Abu
Hurairah). Ada juga yang memahami kata tersebut dalam arti berjalan kaki
dan mereka memaknai sebagai anjuran bukan syarat.5

Kata ( ‫الّٰل ِه‬ ‫)ِذ ْك ِر‬ yang dimaksud adalah salat dan khutbah, karena

itulah agaknya sehingga ayat diatas menggunakan dzikr Allah. Ayat ini
bermakna bahwa manusia seharusnya mengingat Allah Swt atas limpahan
nikmat yang dianugerahkanNya. Beberapa mufassir berpendapat bahwa
kata “mengingat” (dzikir) di sini bermakna “pemikiran refleksi” (fikr),
sebagaimana diriwayatkan bahwa satu jam berfikir adalah lebih baik
dibandingkan dengan satu tahun beribadah. Ada beberapa mufassir juga
berpendapat bahwa perintah tersebut menjelaskan kewajiban untuk
mengingat Allah sewaktu berdagang dan menjauhkan diri dari melanggar
prinsip kebenaran dan keadilan.6

“Itulah yang baik buat kamu jika kamu mengetahui.” Dan pergi ke
masjid dan meninggalkan pekerjaan adalah manfaat yang besar. Ayat
tersebut bermakna bahwa mendirikan salat Jumat dan meninggalkan bisnis
di waktu itu membawa manfaat penting bagi kaum muslim, jika mereka

4
Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera
Hati, 2003), 231.
5
Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera
Hati, 2003), 231.
6
Ayatullah Alamah Kamal Faqih Imani dan Tim Ulama, Tafsir Nurul Qur’an: Sebuah Tafsir
Sederana Menuju Cahaya Al-Qur’an, Jilid 17, (Jakarta: Nur Al-Huda, 2013), 212.

4
benar-benar merenungkannya, karena Allah itu Maha Kaya dan Maha
Pemurah terhadap semua manusia. Ayat tersebut juga menyinggung
hikmah dan manfaat-manfaat dari salat Jumat. Pada frase Arab jum’ah
asalnya bermakna jamaah, yang secara khusus bermakna menunjukkan
kumpulan-kumpulan manusia untuk mendirikan salat Jumat. Akan tetapi,
makna tersirat kata tersebut tidak terbatas pada apa yang disebutkan.7

Untuk menghilangkan kesan bahwa perintah ini adalah sehari


penuh, sebagaimana yang diwajibkan orang-orang Yahudi pada hari Sabtu,
ayat diatas melanjutkan dengan menegaskan Lalu apabila telah ditunaikan
salat, maka jika kamu mau, maka bertebarlah di muka bumi untuk tujuan
apapun yang dibenarkan Allah, carilah sebagian karunia Allah, dan
ingatlah Allah sebanyak-banyaknya.

Perintah bertebaran di bumi dan mencari sebagian karunianya pada


ayat diatas bukanlah perintah wajib. Dalam kaidah ulama-ulama
dinyatakan: “apabila ada perintah yang bersifat wajib, lalu disusul dengan
perintah sesudahnya, maka yang kedua itu hanya mengisyaratkan bolehnya
hal tersebut dilakukan.” Beberapa mufassir berpendapat bahwa ungkapan
mencari nafkah setelah mendirikan salat Jumat mengandung keridaan
Allah dan nikmat-nikmat-Nya. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw
berkunjung ke pasar setelah beliau mendirikan salat Jumat.8

2. Implementasi Tafsir Maqasidi Pada Masa Covid

Salat Jumat adalah ibadah wajib berlandaskan Al-Quran, sunah,


dan ijmak. Sebagaimana dalil surat al-Jumu’ah ayat 9. Imam al-Syafi’i
juga menukilkan ijmak dari generasi ke generasi kaum muslimin tentang
kewajiban salat Jumat sebagaimana validnya penukilan kewajiban empat
rakaat salat Zuhur. Sebagaimana salat fardu lima waktu, salat Jumat harus
memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Ada tambahan yang
merupakan kekhususan salat Jumat, antara lain: dipersyaratkan hal-hal

7
Ayatullah Alamah Kamal Faqih Imani dan Tim Ulama, Tafsir Nurul Qur’an: Sebuah Tafsir
Sederana Menuju Cahaya Al-Qur’an, Jilid 17, (Jakarta: Nur Al-Huda, 2013), 211.
8
Ayatullah Alamah Kamal Faqih Imani dan Tim Ulama, Tafsir Nurul Qur’an: Sebuah Tafsir
Sederana Menuju Cahaya Al-Qur’an, Jilid 17, (Jakarta: Nur Al-Huda, 2013), 211.

5
tambahan untuk keabsahannya, dipersyaratkan untuk menentukan siapa
yang wajib melaksanakannya, dan adab-adab yang disyariatkan dalam
pelaksanaannya.

Di sisi lain, menjaga keselamatan jiwa adalah salah satu dari


maqaṣid al-syarī’ah yang bersifat al-darūriyyah yang mestinya ada dalam
upaya penegakan maslahat dinul Islam dan perkara duniawi. Menjaga
dinul Islam terkait pokok ibadah seperti, iman, kalimat syahadat, salat,
zakat puasa dan haji. Sementara menjaga keberlangsungan jiwa dan akal
adalah pokok adat seperti makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal
untuk menjaga keberlangsungan jiwa dan akal manusia. Menjaga ibadah
salat sesuai dengan sunah Nabi Muhammad saw. merupakan bagian dari
ḥifzu al-dīn (menjaga agama).9

Sebagai ciri utama dari tafsir maqosidi, lebih mementingkan nilai


sholihun likulli zaman wa makan sehingga tafsir ini lebih mengedepankan
kemaslahatan, termasuk nilai kemaslahatan berbasis syariat (fiqh) berupa
kemudahan-kemudahan dalam menjalankan perintah agama. Syariat Islam
memberikan Rukhsah bagi setiap muslim yang wajib atasnya salat Jumat
untuk menggantinya dengan salat Zuhur sebanyak empat rakaat dan tidak
perlu berkumpul dengan orang banyak ketika terdapat hal yang
menghalanginya. Rukhsah ini berlaku ketika seseorang atau sekumpulan
orang merasa khawatir akan keselamatan jiwa mereka, baik karena kondisi
safar, sakit, dan wabah. Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Qudāmah al-
Maqdisī, dikatakan bahwa Nabi saw. tidak mengerjakan salat Jumat ketika
safar pada pelaksanaan haji wadā’ yang bertepatan dengan hari Jumat, di
mana Nabi menjamak salat Zuhur dan Asar di Arafah tanpa mengerjakan
salat Jumat.

Jika pelaksanaan salat Jumat dapat membahayakan eksistensi jiwa


yang merupakan maqāṣid al-ḍarūriyyāh, maka salat Jumat boleh
ditiadakan dan diganti dengan salat Zuhur di rumah hingga situasi kembali

9
Ibrahīm ibn Mūsa al-Garnāṭī al-Syatibi, al-Muwafaqat, vol. 2 (Cet. I, Dar Ibnu Affan, 1997 H),
19.

6
normal. Tidak perlu melaksanakan salat Jumat secara online sebagai
pengganti salah Jumat secara normal.

Salat jumat diganti dengan shalat dzuhur karena musafir atau hal
lain yang dibolehkan secara fiqh adalah bagian dari tafsir maqoshidi.
Bukan sebab aliran yang menyatakan bahwa shalat jumat tidak wajib,
karena yang wajib adalah shalat dzuhur. Aliran ini ada di Indonesia.
Pendapat ini bukan termasuk hasil pemikiran tafsir maqoshidi.

B. Keluarga Berencana Perspektif Tafsir Maqosidi Ibnu ‘Ashur

1. Tafsir Ibn ‘Ashur terhadap Ayat-Ayat Keluarga Berencana

Adapun ayat terkait sebagai berikut. Pertama, surat al-Baqarah 233.

‫ِد‬ ‫ِت‬ ‫ِم ِل‬ ‫َٰل‬ ‫ِض‬ ‫ِل‬


‫َو ٱْلَٰو َٰد ُت ُيْر ْع َن َأْو َد ُه َّن َح ْو َلِنْي َك ا َلِنْي ۖ َمْن َأَر اَد َأن ُي َّم ٱلَّر َض اَعَةۚ َو َعَلى ٱْلَمْو ُلو َل ۥُه‬

‫ِر ْز ُقُه َّن َو ِكْس َو ُتُه َّن ِب ٱْلَم ْع ُر وِف ۚ اَل ُتَك َّل ُف َنْف ٌس ِإاَّل ُو ْس َعَه اۚ اَل ُتَض ٓاَّر َٰو ِل َد ٌۢة ِبَو َل ِد َه ا َو اَل‬

‫َمْو ُلوٌد َّل ۥُه ِبَو َلِدِهۦۚ َو َعَلى ٱْلَو اِر ِث ِم ْثُل َٰذ ِلَك ۗ َفِإْن َأَر اَد ا ِفَص ااًل َعن َتَر اٍض ِّم ْنُه َم ا َو َتَش اُو ٍر َفاَل‬

‫ُج َن اَح َعَلْيِه َم اۗ َو ِإْن َأَر دْمُّت َأن َتْس َتْر ِض ُعٓو ۟ا َأْو َٰل َد ُك ْم َفاَل ُج َن اَح َعَلْيُك ْم ِإَذا َس َّلْم ُتم َّم ٓا َءاَتْيُتم‬
10
‫ِبٱْلَم ْع ُر وِف ۗ َو ٱَّتُقو۟ا ٱلَّلَه َو ٱْع َلُم ٓو ۟ا َأَّن ٱلَّلَه َمِبا َتْع َم ُلوَن َبِص ٌري۝‬

Kedua, Luqman ayat 14-15.

‫ِل ِل‬ ‫ِف‬ ‫ِل‬


‫َو َو َّص ْيَنا ٱِإْل نَٰس َن ِبَٰو َد ْيِه َمَحَلْتُه ُأُّم ۥُه َو ْه ًنا َعَلٰى َو ْه ٍن َو َٰص ُل ۥُه ىِف َعاَم ِنْي َأِن ٱْش ُك ْر ىِل َو َٰو َد ْيَك‬

ۖ‫ِإَّىَل ٱْلَم ِص ُري۝ َو ِإن َٰج َه َد اَك َعَلٰٓى َأن ُتْش ِر َك ىِب َم ا َلْيَس َل َك ِبِهۦ ِعْلٌم َفاَل ُتِط ْع ُه َم ا‬

‫َو َص اِح ْبُه َم ا ىِف ٱلُّد ْنَيا َم ْع ُر وًف اۖ َو ٱَّتِب ْع َس ِبيَل َمْن َأَن اَب ِإَّىَلۚ َّمُث ِإَّىَل َم ْر ِج ُعُك ْم َف ُأَنِّبُئُك م َمِبا‬
11
‫ُك نُتْم َتْع َم ُلوَن ۝‬

Ketiga, al-Ahqaf ayat 15.

10
Q. S. Al-Baqarah/ 2: 233.
11
Q. S. Luqman/ 31: 14-15.

7
‫َو َو َّص ْيَنا ٱِإْل نَٰس َن ِبَٰو ِلَد ْي ِه ِإْح َٰس ًناۖ َمَحَلْت ُه ُأُّم ۥُه ُك ْر ًه ا َو َو َض َعْتُه ُك ْر ًه اۖ َو ْمَحُل ۥُه َو ِفَٰص ُل ۥُه َثَٰل ُث وَن‬
‫ِن‬ ‫ِع‬
‫َش ْه ًر اۚ َح َّت ِإَذا َبَل َغ َأُش َّد ۥُه َو َبَل َغ َأْر َب َني َس َنًة َق اَل َر ِّب َأْو ِز ْع ِن َأْن َأْش ُك َر ْع َم َتَك ٱَّلِت َأْنَعْم َت‬
‫ِإ ِم‬ ‫ِإ‬ ‫ِإ‬ ‫َعَلَّى َعَلٰى َٰو ِل َد َّى َأْن َأْع َٰص ِلًح ا َت َض ٰى ُه َأْص ِلْح ىِل ىِف‬
‫ُذِّر ِتَّيۖ ىِّن ُتْبُت َلْي َك َو ىِّن َن‬ ‫ْر َو‬ ‫َو َم َل‬ ‫َو‬
12
‫ٱْلُمْس ِلِم َني ۝‬

Pada Q.S al-Baqarah, dalam penafsirannya, Ibn ‘Ashur mengambil


hikmah dari perceraian dan tergoncangnya suatu keluarga yang masih
menyusui dan dilarang bagi mereka bercerai ketika masih memiliki anak
yang masih menyusui. Hal itu akan berdampak negatif pada anak-anaknya
karena perbedaan ayah dan ibu. Sesungguhnya menyusui anak itu adalah
hal yang paling esensial sebab hal itu merupakan sumber kehidupan bagi
seorang bayi.

Mustholah yang umum seperti dalam mustholah ar-rizqu itu adalah


nafkah dan al-kiswah itu adalah pakaian, sedangkan al-ma’ruf adalah
sesuatu yang terkenal, namun tidak semua orang menyukainya. Pendapat
lain mengatakan bahwa al-rizqu itu adalah al-kiswah, dan itu digunakan
seorang anak yang menyusu dan memberikan manfaat kepada sang anak
dari makanan, pakaian dan lain-lain. Saat mereka menyusu, mereka sedang
membutuhkan perlindungan. Adapun penduduk Arab yang melindungi
anaknya sampai rela menjual emas dan peraknya, serta mereka tidak
menginginkan sesuatu kecuali keamanan sang anak.

(‫َعَه ا‬ ‫)اَل ُتَك َّل ُف َنْف ٌس ِإاَّل ُو ْس‬ itu menunjukkan suatu tanggungjawab

mengenai hukum syariat yang dapat dilakukan dan yang kurang mampu

(‫ا‬ ‫ِه‬
untuk melaksanakannya. Firman Allah SWT ‫)َفاَل ُج َن اَح َعَلْي َم‬
diperbolehkan menyusui anak genap 2 tahun atau lebih. Hukum menyusui
bagi seorang ibu itu wajib dengan syarat-syarat yang telah ditentukan,

12
Q. S. Al-Ahqaf/ 46: 15.

8
akan tetapi sang ibu tidak boleh dalam keadaan sakit. Menyusui itu adalah
kodrat semua ibu.

Sedangkan dalam QS Luqman diterangkan mengenai derajat


Luqman yang bukan seorang nabi yang menyebarkan firman Allah, namun
dia seorang hakim mursyid. Sesuai dengan kisah Luqman yang melarang
anaknya untuk berbuat syirik karena syirik itu adalah kedzaliman yang
sangat besar, kemudian Allah SWT menetapkan wasiat kepada Luqman
untuk melarang kesyirikan kepada semua orang, khususnya anaknya dalam
berbagai ihwal keadaan. Dikisahkan oleh Allah SWT bahwa keadaan ini
adalah salah satu bentuk jihad orang tua yang melindungi anaknya dari
kesyirikan.

Jika derajat Luqman sama seperti nabi maka wasiat itu layaknya
wahyu kepada nabi. Contoh sikapnya Luqman yang disebutkan dalam al-
Qur’an yaitu an-Asykurallah. Sikap yang lain yang telah disebutkan dalam
al-Qur’an adalah sikap ridho kepada Allah. Dan Allah ridho kepadanya
dan wasiat-wasiatnya.

Maksud dari firman Allah ( ‫ )َو ِإن َٰج َه َد اَك َعَلٰٓى َأن ُتْش ِر َك ىِب‬yaitu wajib
untuk menaati orang tua ketika melarang untuk melakukan sesuatu demi

ketaatannya kepada Allah, salah satunya adalah syirik. Kata (‫ُأُّم ۥُه َو ْه ًن ا‬ ‫َمَحَلْت ُه‬
‫ )َعَلٰى َو ْه ٍن‬itu menunjukkan bahwa seorang ibu yang mengandung itu sangat
lelah. Maka dari sekian kelelahan dan beratnya mengandung seorang anak
maka anak harus menaati orang tua khususnya ibunya. Penjelasan yang
mengkhususkan kepada ibu karena tolok ukur ibu dan ayah yang berbeda.
Ayah hanya sebagai pendamping yang selalu mendampingi sang ibu,
setelah melahirkanpun ibu juga merawat dan mengasuh sang anak. Maka
tugas ayah yang tidak jauh dari kata mendidik sang anak hanya saja
berbeda cara.

Pendapat al-Qurthubi bahwasanya saat itu istri dan anaknya


Luqman musyrik, namun Luqman tetap menghormati mereka sampai

9
mereka beriman juga. Di sisi lain, jangan menaati orang tua ketika mereka

memerintahmu dalam maksiat, sebagaimana firman Allah SWT (‫َو َص اِح ْبُه َم ا‬

‫)ىِف ٱلُّد ْنَيا َم ْع ُر وًف ا‬. Contohnya jika orang tua memerintah anak dalam

kesyirikan maka tolaklah perintah dengan makruf dan tetap bersikap baik.
Dalam hadis sesungguhnya Asma’ binti Abi Bakr berkata dari Rasulullah
SAW bersabda, “Sesungguhnya ibuku datang kepadaku menginginkan
sesuatu, apakah saya harus mematuhinya?” Dia berkata, “iya, patuhilah
perintah itu, namun jika itu adalah musyrikah (dia adalah Qothilah binti
Abdul Azza).” Inti dari ma’ruf tersebut adalah melaksanakan sesuatu
untuk dirinya, namun jika itu adalah kemungkaran maka seorang muslim
dilarang melaksanakannya.

Dalam QS al-Ahqaf, (‫ )َح َّت‬ketika dimulai makna huruf Fa’ dalam

mukadimah kalam yang disampaikan dalam ayat ini menganjurkan untuk


menyikapi orang tua dengan baik agar tidak terpisah batinnya dan bagi
setiap orang tua diberi pesan oleh Allah untuk mengasuh anaknya dengan
baik hingga dia baligh. Ketika diberikan seorang anak untuk berbuat baik
kepada mereka maka itu adalah nikmat yang terbaik yang Allah berikan
kepada mereka.

Isyarah yang terdapat pada waktu baligh seperti (‫َأْو ِز ْع ِن‬ ‫ )َقاَل َر ِّب‬itu
salah satu contoh yang diwasiatkan pada anaknya, yakni agar seorang anak
berbuat baik kepada kedua orang tua khususnya ketika sudah baligh.
Makna lain dalam doa tersebut adalah wasiat kepada manusia agar berbuat
baik kepada orang tua mereka dan senantiasa mendoakan mereka. Ketika
mereka sudah baligh maka banyak tanggungjawab yang mereka
selesaikan. Terutama saat mereka sudah menikah, khususnya anak laki-
laki saat sudah menikah, mereka memiliki tanggungjawab yang semakin
besar. Salah satunya menafkahi istri dan anak. Dengan tanggungjawab
yang demikian itu, anak laki-laki tidak boleh melupakan orang tuanya.
Harus tetap bersikap baik dan taat kepada mereka.

10
Dan disebutkan doa untuk cucu dalam firman-Nya ( ‫َأْص ِلْح ىِل ىِف‬
‫َو‬
‫)ُذِّر َّيِت‬, wasiat doa kepada orang tua agar tidak lupa untuk memikirkan masa
depan anak cucunya dan menjaga mereka dalam bingkai agama.

Dari ketiga ayat tersebut, secara keseluruhan Ibn ‘Ashur


memberikan penafsiran tentang menyikapi orang tua dengan baik, hal itu
juga berlaku untuk setiap orang tua agar mengasuh anaknya dengan baik
hingga baligh. Namun dalam Q.S. Luqman, Ibnu ‘Ashur memberikan
penafsiran ketika ibu menyusui anaknya, maka itu harus genap 2 tahun (

‫ ) ِفَٰص ُل ۥُه ىِف َعاَم ِنْي‬itu sebagai athof dari kalimat (‫ )َمَحَلْتُه ُأُّم ُه‬itu adalah keadaan
‫َو‬
yang menggambarkan suatu situasi dimana sang ibu pada zaman sekarang
yang enggan menyusui anaknya sampai genap 2 tahun. Penyebutan masa
menyusui ini sangat penting bagi ibu yang telah melahirkan.

2. Implementasi Tafsir Maqasidi Terhadap Keluarga Berencana

Kajian mengenai maqasid al-Syari’ah hampir bisa dipastikan


selalu bertitik tolak dari dan bermuara pada konsep maslahat. Hal itu
mengindikasikan bahwa terdapat kaitan yang tak terpisahkan antara
doktrin syariah dan maslahat. Para ulama dahulu hingga sekarang telah
membuktikan dengan metode istiqra’(analisis induktif) serta berdasarkan
penelitian yang mendalam atas sedemikian banyak nas al-Quran dan Hadis
memang menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan bahwa doktrin
hukum Islam senantiasa berkaitan dengan hikmah dan ‘illat yang menjadi
muara, yakni terwujudnya maslahat, baik maslahah individu maupun
maslahat kolektif yang menyangkut kebutuhan banyak orang. 13

Saat ini, pandangan umat islam terhadap keluarga berencana masih


menjadi polemik, karena ada beberapa ulama yang menyatakan bahwa
keluarga berencana dengan penggunaan alat kontrasepsi dilarang tetapi ada

13
Muhammad Tahir Ibn ‘Ashur, maqasid al-Shari’ah al-Islamiyah, (Tunis: al-Shirkah al-
Tuniziyyah li altawzi’, t.th), 12.

11
juga yang berpendapat bahwa keluarga berencana dengan alat kontrasepsi
diperbolehkan.

Diantara perbedaan pendapat boleh tidaknya KB dengan


menggunakan alat kontrasepsi, para ulama yang membolehkan KB sepakat
bahwa Keluarga Berencana (KB) yang dibolehkan syari`at adalah suatu
usaha pengaturan/penjarangan kelahiran atau usaha pencegahan kehamilan
sementara atas kesepakatan suami-isteri karena situasi dan kondisi tertentu
untuk kepentingan (maslahat) keluarga. Dengan demikian KB disini
mempunyai arti sama dengan tanzim al-nasl (pengaturan keturunan).
Sejauh pengertiannya adalah tanzim al-nasl (pengaturan keturunan), bukan
tahdid al-nasl (pembatasan keturunan) dalam arti pemandulan (taqim) dan
aborsi (isqot al-haml), maka KB tidak dilarang.

Meskipun tidak disebutkan secara langsung untuk melakukan


program KB, namun dari penafsiran ayat yang telah disebutkan dapat
ditarik makna untuk melakukan program KB, yaitu dengan masa menyusui
atau menyapih anak selama 2 tahun, sebagaimana penjelasan surat
Luqman. Beberapa ulama sependapat, program KB ini hukumnya
diperbolehkan apabila memenuhi persyaratan sebagai program untuk
menjarangkan kelahiran, seperti disebabkan suatu penyakit apabila
mengandung lagi dan dikhawatirkan menimbulkan mudharat terhadap ibu
apabila tidak melakukan program KB yang dapat menyebabkan kematian.

Hal ini juga sesuai dengan gagasan Maqashid al-Syari’ah Ibn


‘Ashur, beliau menunjukkan produk ijtihad tidak boleh melawan fitrah.
Maksud tidak melawan fitrah disini ialah KB melindungi hak-hak
individual dan berdampak positif bagi penguatan stabilitas sosial. Pada
hakikatnya manusia sebagai khalifah fi al-ard memiliki tanggung jawab
untuk memperbaiki kehidupan satu sama lain, memelihara, dan
meningkatkan mutu hidup bersama.

Beliau juga menenkankan prinsip al-Samahah. Dalam meneguhkan


fitrah dan sebagai bentuk aplikatifnya, Ibn ‘Ashur memaknai al-Samahah
sebagai langkah moderatif, yakni suatu langkah (toleransi) dalam

12
penafsiran diantara syariat yang ketat dan over toleran. Dalam program
KB ini juga dapat direlevansikan dengan prinsip al-hurriyah, dimana
prinsip ini menekankan upaya yang bertujuan untuk menjaga
keberlangsungan HAM setiap orang.

C. Perbandingan
Tafsir maqosidi adalah bagian dari corak tafsir dan metodenya bisa
tahlili atau maudhu’i. Tafsir maqosidi cenderung berbasis maslahat al-
ammah. Sebagaimana 2 contoh tersebut yang mengandung maslahat al-
ammah. Maslahat al-ammah adalah mashlahah yang mencakup kepentingan
orang banyak, dan tidak menaruh perhatian pada perseorangan melainkan
memandang mereka dari aspek bagian kumpulan orang banyak. Tafsir ini
juga lebih mengedepankan pada nilai kemaslahatan berbasis syariat.

Pada kasus pertama, ketidakabsahan salat jumat online dan kebolehan


mengganti salat jum’at dengan shalat dzuhur karena wabah secara fiqh adalah
bagian dari tafsir maqosidi. Kasus ini berkaitan dengan maqasid al-syari’ah.
Hal ini ditinjau dari 2 aspek. Pertama, menjaga agama Islam. Kedua, menjaga
jiwa.

Pada kasus kedua, kebolehan keluarga berencana (KB) juga


merupakan bagian dari tafsir maqosidi. Metode yang digunakan dalam tafsir
maqasidi ialah metode induktif. Pada kasus ini berkaitan dengan maqasid al-
syari’ah. Konsep KB pun sejalan dengan gagasan Ibn ‘Ashur, yakni fitrah
(kesucian), samahah (toleransi), maslahah, musawah (kesetaraan), dan
hurriyah (kebebasan) sebagai bagian dari maqasid syari’ah.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tulis intinya aja…

14
DAFTAR PUSTAKA

Al-Syatibi, Ibrahīm ibn Mūsa al-Garnāṭī. al-Muwafaqat. vol. 2. Cet. I. Dar Ibnu
Affan, 1997 H.
‘Ashur, Muhammad Tahir Ibn. maqasid al-Shari’ah al-Islamiyah. Tunis: al-
Shirkah al-Tuniziyyah li altawzi’, t.th.
Imani, Ayatullah Alamah Kamal Faqih dan Tim Ulama. Tafsir Nurul Qur’an:
Sebuah Tafsir Sederana Menuju Cahaya Al-Qur’an, Jilid 17.Jakarta: Nur
Al-Huda, 2013.
Q. S. Al-Ahqaf/ 46: 15.
Q. S. Al-Baqarah/ 2: 233.
Q. S. Al-Jumu’ah/ 62: 9-10.
Q. S. Luqman/ 31: 14-15.
Shihab,Quraish. Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an.
Jakarta: Lentera Hati, 2003.

15

Anda mungkin juga menyukai