Praktik politik identitas senantiasa muncul pada tahun politik, baik itu pada
tingkat pemilihan kepala daerah bahkan pemilihan presiden. Permasalahan praktik
politisasi identitas pada pemilu di Indonesia dapat mempengaruhi ketahanan nasional,
karena praktik tersebut berpotensi mengarah pada dampak yang berlawanan dengan
tujuan demokrasi dan menjurus pada perpecahan yang menyebabkan terjadinya
instabilitas politik dan disintegrasi bangsa Indonesia.
Birokrasi adalah suatu hierarki yang ditetapkan secara jelas yang mana
pemegang kekuasaan kantor mempunyai fungsi yang sangat spesifik dan
mengaplikasikan atau menerapkan aturan universal dalam semangat impersonalitas
yang formalistik dan rasionalitas tertentu (defining rationalities).
Sistem meristokrasi merujuk pada pasal 1 Ayat 22, UU 5/2014 tentang ASN,
menegaskan bahwa kebijakan dan manajemen ASN jangan melihat dan menilai
berdasarkan kesamaan identitas, melainkan berdasarkan kualifikasi dan kualitas
seseorang. Namun yang saat ini terjadi perekrutan dan penempatan jabatan dalam
birokrasi cenderung melihat kesamaan identitas tertentu, sehingga membuat birokrasi
kita terlihat seperti urusan keluarga tertentu.
Hal ini disebabkan karena secara struktur adanya pergantian kepala daerah yang
diikuti dengan perubahan dalam jabatan birokrasi sehingga menguatnya sentimen
keetnisan antara etnis Minangkabau dan etnis diluar Minangkabau dalam memenangkan
calon kepala daerah yang mereka usung dan juga berasal dari golongan etnis mereka
masing-masing sebagai bentuk keterwakilan di pemerintahan.
Menguatnya politik identitas bukan saja pada momen pilkada, namun pasca
pilkada politik identitas tetap ada. Hal ini bisa terlihat dalam tubuh birokrasi dan arah
kebijakan serta program dan proyek-proyek yang cenderung mengedepankan identitas
yang ada dalam masyarakat, seperti identitas sub etnis, agama, marga dan kampung
serta identitas sektoral atau kewilayahan.
Pada hal melakukan politisasi identitas kepada birokrat, para kepala daerah
cenderung mengabaikan aspek seperti profesionalisme sesuai dengan kompetensi dan
prestasi kerja. Kepala daerah lebih memfokuskan preferensi subjektif seperti bagaimana
relasi kuasa para birokrat itu dengan dirinya dalam hal memberikan jabatan kepada
birokrat di lingkungan administrasi pemerintah yang dipimpinnya. Tentu ini bertujuan
agar para birokrat ini dapat digunakan sebagai alat untuk mempertahankan jabatan
politisnya sebagai kepala daerah.
Fenomena ini menciderai dari nilai-nilai demokrasi seperti menciderai hak bagi
setiap orang untuk bebas memilih. Padahal sistem birokrasi mempunyai nilai-nilai yaitu
kebebasan, kemerdekaan, persamaan hak, keterbukaan, kontrol, dan partisipasi. Nilai-
nilai ini malah dilanggar oleh para penguasa yang ingin agar kepentingannya dapat
terlaksana tanpa ada hambatan. Tentu ini sangat tidak baik dimana esensi dari birokrat
sebagai melayani publik telah terdistorsi sebagai melayani keinginan dan kepentingan
dari penguasa yang memimpin.
Politik identitas tidak akan hilang, sebab politik identitas bisa dianggap hal yang
inheren dalam kehidupan sosial politik secara individu maupun kelompok. Yang bisa
dilakukan adalah mengurangi pengaruh identitas yang menciptakan perbedaan,
keterpecahan dan konflik dalam kehidupan bangsa yang multi identitas. Secara khusus
dalam konteks birokrasi, agar birokrasi berjalan sesuai misinya – mewujudkan birokrasi
yang benar-benar berkualitas dalam penyelenggaran pemerintahan.
Oleh sebab itu diperlukan penguatan bagi semua institusi politik terkhusus di
sumatera barat untuk memberikan sosialisasi dan pendidikan politik mengenai politik
identitas secara esensial yang memiliki relevansi terhadap kondisi sosio politik negara
pada saat ini. Mengkampanyekan nilai-nilai dan norma berbasis identitas sebagai dasar
pijakan berpolitik adalah sebuah perilaku cerdas dalam hal jika memang konsisten
memiliki preferensi politik identitas dalam memilih.