Anda di halaman 1dari 4

Sisi Buruk Politik Identitas Birokrasi

Oleh : Yulvia Alika

Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Andalas


Secara teoritis politik identitas adalah politis untuk mengedepankan
kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki
kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, gender, atau
keagamaan. Politik Identitas merupakan tidakan politis dengan upaya penyaluran
aspirasi untuk mempengaruhi kebijakan, penguasaan atas distribusi nilai- nilai yang
dipandang berharga hingga tuntutan yang paling fundamental, yakni penentuan nasib
sendiri atas dasar keprimordialan.

Praktik politik identitas senantiasa muncul pada tahun politik, baik itu pada
tingkat pemilihan kepala daerah bahkan pemilihan presiden. Permasalahan praktik
politisasi identitas pada pemilu di Indonesia dapat mempengaruhi ketahanan nasional,
karena praktik tersebut berpotensi mengarah pada dampak yang berlawanan dengan
tujuan demokrasi dan menjurus pada perpecahan yang menyebabkan terjadinya
instabilitas politik dan disintegrasi bangsa Indonesia.

Kebangkitan politik identitas merupakan satu hal tak terelakan dalam


kehidupan sosial politik, sebab identitas merupakan salah satu elemen yang melekat
dalam diri individu maupun kelompok, artinya identitas sebagai kenyataan hidup.
Namun, di sisi lain politik identitas juga membawa beragam problem. Seperti konflik
antara identitas(agama atau etnis), dan pertarungan dalam pesta demokrasi (pilpres atau
pilkada) yang sarat dengan isu dan narasi identitas. Sehingga menciptakan polarisasi,
perpecahan dan perbedaan dalam masyarakat. Bahkan politik identitas menjerat
birokrasi pemerintahan, membawa praktik birokrasi ke arah kemunduran, sehingga
upaya reformasi birokrasi menjadi terhambat.

Birokrasi adalah suatu hierarki yang ditetapkan secara jelas yang mana
pemegang kekuasaan kantor mempunyai fungsi yang sangat spesifik dan
mengaplikasikan atau menerapkan aturan universal dalam semangat impersonalitas
yang formalistik dan rasionalitas tertentu (defining rationalities).

Sistem meristokrasi merujuk pada pasal 1 Ayat 22, UU 5/2014 tentang ASN,
menegaskan bahwa kebijakan dan manajemen ASN jangan melihat dan menilai
berdasarkan kesamaan identitas, melainkan berdasarkan kualifikasi dan kualitas
seseorang. Namun yang saat ini terjadi perekrutan dan penempatan jabatan dalam
birokrasi cenderung melihat kesamaan identitas tertentu, sehingga membuat birokrasi
kita terlihat seperti urusan keluarga tertentu.

Proses rekrutmen pejabat birokrasi dan pemberian promosi jabatan pasca


dilantiknya seorang Kepala Daerah, saat ini bukan lagi dilihat dari kompetensi atau
kapasitas, melainkan lebih dominan dipengaruhi oleh faktor kedekatan dengan
penguasa, hal ini tentu menjadikan politik identitas semakin berkembang ditengah-
tengah birokrasi.

Sumatera Barat merupakan suatu daerah yang memiliki birokrasi pemerintahan


yang unik, dimana pemerintah Sumatera Barat mengadopsi dan menerapkan beberapa
prinsip birokrasi pemerintahan tradisional yang khas adat Minangkabau. Emosional
masyarakat akan terbentuk berdasarkan golongan etnis untuk mencoba melakukan suatu
emansipasi terhadap golongannya agar terciptanya pertumbuhan yang proporsional.
Kekwatiran itu muncul karena pemerintah yang berkuasa dengan struktur birokrasinya
akan menciptakan kebijakan dan pelayanan yang tidak proporsional, seimbang dan
demokratis.

Hal ini disebabkan karena secara struktur adanya pergantian kepala daerah yang
diikuti dengan perubahan dalam jabatan birokrasi sehingga menguatnya sentimen
keetnisan antara etnis Minangkabau dan etnis diluar Minangkabau dalam memenangkan
calon kepala daerah yang mereka usung dan juga berasal dari golongan etnis mereka
masing-masing sebagai bentuk keterwakilan di pemerintahan.

Menguatnya politik identitas bukan saja pada momen pilkada, namun pasca
pilkada politik identitas tetap ada. Hal ini bisa terlihat dalam tubuh birokrasi dan arah
kebijakan serta program dan proyek-proyek yang cenderung mengedepankan identitas
yang ada dalam masyarakat, seperti identitas sub etnis, agama, marga dan kampung
serta identitas sektoral atau kewilayahan.

Kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat dalam OPD yaitu


kepala daerah-bupati. Sehingga, praktik buruk yang telah dipaparkan sebelumnya
berasal dan bermuara pada kekuasaan (bupati dan kroninya). Orang-orang yang
ditempatkan dalam jabatan merupakan orang yang dekat dengan penguasa, sehingga
politik identittas akan semakin berkembang. Perlu diketahui secara legalitas hukum
menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
dijelaskan bahwa Kepala Daerah seperti Gubernur dan Bupati/Wali Kota termasuk ke
dalam pejabat pembina kepegawaian yang mempunyai wewenang dalam hal melakukan
mutasi terhadap pns.

Pada hal melakukan politisasi identitas kepada birokrat, para kepala daerah
cenderung mengabaikan aspek seperti profesionalisme sesuai dengan kompetensi dan
prestasi kerja. Kepala daerah lebih memfokuskan preferensi subjektif seperti bagaimana
relasi kuasa para birokrat itu dengan dirinya dalam hal memberikan jabatan kepada
birokrat di lingkungan administrasi pemerintah yang dipimpinnya. Tentu ini bertujuan
agar para birokrat ini dapat digunakan sebagai alat untuk mempertahankan jabatan
politisnya sebagai kepala daerah.

Fenomena ini menciderai dari nilai-nilai demokrasi seperti menciderai hak bagi
setiap orang untuk bebas memilih. Padahal sistem birokrasi mempunyai nilai-nilai yaitu
kebebasan, kemerdekaan, persamaan hak, keterbukaan, kontrol, dan partisipasi. Nilai-
nilai ini malah dilanggar oleh para penguasa yang ingin agar kepentingannya dapat
terlaksana tanpa ada hambatan. Tentu ini sangat tidak baik dimana esensi dari birokrat
sebagai melayani publik telah terdistorsi sebagai melayani keinginan dan kepentingan
dari penguasa yang memimpin.

Politik identitas tidak akan hilang, sebab politik identitas bisa dianggap hal yang
inheren dalam kehidupan sosial politik secara individu maupun kelompok. Yang bisa
dilakukan adalah mengurangi pengaruh identitas yang menciptakan perbedaan,
keterpecahan dan konflik dalam kehidupan bangsa yang multi identitas. Secara khusus
dalam konteks birokrasi, agar birokrasi berjalan sesuai misinya – mewujudkan birokrasi
yang benar-benar berkualitas dalam penyelenggaran pemerintahan.

Oleh sebab itu diperlukan penguatan bagi semua institusi politik terkhusus di
sumatera barat untuk memberikan sosialisasi dan pendidikan politik mengenai politik
identitas secara esensial yang memiliki relevansi terhadap kondisi sosio politik negara
pada saat ini. Mengkampanyekan nilai-nilai dan norma berbasis identitas sebagai dasar
pijakan berpolitik adalah sebuah perilaku cerdas dalam hal jika memang konsisten
memiliki preferensi politik identitas dalam memilih.

Indonesia akan bisa lebih kaya memproduksi pengetahuan melalui konsep-


konsep dan gagasan identitas tentang kehidupan politik, sosial, ekonomi, pembangunan
dan sebagainya dari praktik politik identitas yang tidak terpolitisasi. Indonesia sebagai
negara yang memiliki keragaman identitas harus diakomodir dan dilakukan filterisisasi
sebagai acuan pembuata kebijakan bagi pemerintah. Maka penting bagi pemerintah,
aktor politik, lembaga penyelenggara pemilu dan juga bagi masyarakat agar konsisten
memperjuangkan nilai-nilai dan norma berbasis identitas yang memang dinilai relevan
dalam melaksanakan kegiatan politik dan pemerintahan untuk menjadi sebuah
kebijakan.

Anda mungkin juga menyukai