Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA

UJI VISKOSITAS PADA KERAGENAN RUMPUT LAUT

Disusun Oleh :
Agustinus Safuf/57213113644
Ghina Kamila Firdaus/57213213676
Risa Novella Dianita Anshori/57213213707
Yohannes Kalo/57213113723

TPH-A

DOSEN PENGAMPU :
Dr. Yulianti Sipahutar, S.Pi., M.M.

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN


POLITEKNIK AHLI USAHA PERIKANAN
JAKARTA
2023
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Rumput laut menempati posisi penting khususnya dalam usaha perikanan


non ikan. Dalam produksi perikanan, Indonesia selain itu rumput laut
merupakan salah satu komoditas unggulan dalam sektor perikanan karena
permintaan yang terus meningkat, baik kebutuhan dalam negeri maupun
untuk ekspor (kordi,2010). Semakin bertambahnya penduduk di dunia tentu
kebutuhan rumput laut juga semakin meningkat. Pada industry makanan
rumput laut telah digunakan untuk memperbaiki tekstur keju, mengontrol
viskositas dan sebagai stabilizer.
Viskositas dapat dinyatakan sebagai tahanan aliran fluida yang merupakan
gesekan antara molekul-molekul cairan satu dengan yang lain. Suatu jenis
cairan yang mudah mengalir dapat dikatakan memiliki viskositas yang rendah,
dan sebaliknya bahan-bahan yang sulit mengalir memiliki viskositas yang
tinggi. Pada hukum aliran viskos, newton menyatakan hubungan antara gaya-
gaya mekanika dari suatu aliran viskos sebagai : geseran dalam (viskosistas)
fluida adalah konstan sehubungan dengan gerakannya.
Viskositas dijadikan parameter yang menentukan kekentalan dari suatu
fluida yang bersifat dinamis. Viskositas juga dapat diartikan sebagai daya
aliran molekul dalam sistem larutan untuk menguji viskositas rumput laut
dapat menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang memperngaruhi. Umur
rumput laut juga berpengaruh nyata terhadap viskositas karaginan yang
dihasilkan.
Rumput laut dengan umur panen 45 dan 60 hari dapat menghasilkan
kergainan dengan nilai viskositas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
karaginan yang dihasilkan dari umur panen 30 hari. Tingginya viskositas
karaginan dengan umur panen 45 hari dibandingkan 30 hari diduga
disebabkan oleh kadar sulfat yang terandung dalam karaginan.

1.2 Tujuan
Praktikum ini dilakukan dengan bertujuan :
 Agar taruna/i mengetahui cara uji viskositas pada keragenan rumput
laut
 Agar taruna/i mengetahui viskositas pada keragenan rumput laut
BAB II
METODEOLOGI

Rumput laut merupakan salah satu jenis alga makroskopis. Rumput laut
tumbuh melekat pada substrat tertentu. Baik itu terumbu karang maupun
bebatuan. Tanaman ini tidak memiliki akar, batang dan daun sejati. Oleh karena
itu, rumput laut termasuk kedalam golongan tanaman yang berderajat rendah.
Tanaman ini hanya memiliki bagian tubuh yang menyerupai batang yang sering
disebut thalus, thalus pada rumput laut ada yang tanpa percabangan dan
bercabang-cabang dengan sifat mulai dari lunak, keras, seperti tulang rawan ,
hingga berserabut. Rumput laut dapat diandalkan sebagai salah satu produk
perikanan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dipesisir karena teknologi
yang digunakan sederhana dan murah sehingga cocok untuk masyarakat
membudidayakannya (Fikri et al., 2015)

Karagenan adalah hasil kerja ekstraksi dari rumput laut. Karaginan sangat
berperan sebagai stabilisator ( pengatur keseimbangan), thicker (bahan
pengetal), pembentuk gel, pengemulsi, koloid pelindung, penggumpal dan
pencegah kristalisasi. Karaginan sangat dimanfaatkan dalam industry.
Karagenan juga dapat digunakan sebagai bahan baku makanan, obat-obatan,
kosmetik, tekstil, cat, pasta gigi dan industry lainnya. Karagenan terdiri dari
beberapa tipe yaitu kappa karagenan (k-karagenan), iota keragenan (i-
karagenan), dan lamda (julaika et al., 2017).

Karagenan merupakan senyawa yang termasuk kedalam polisakarida


galaktosa hasil dari ekstraksi rumput laut. Karagenan banyak digunakan pada
makanan, farmasi dan kosmetik sebagai bahan gel, pengental atau penstabil.
Karaginan merupakan tepung yang dihasilkan dari getal hasil ekstraksi rumput
laut. Hasil ekstraksi itui diperoleh dengan mengekstraksi rumput laut
menggunakan air panas atau larutan alkali. Proses ekstraksi tersebut dilakukan
dengan suhu yang tinggi (Priono, 2013).

Viskositas merupakan salah satu sifat fisik keraginan yang cukup penting.
Pengujian viskositas dilakukan untuk mengetahui tingkat kekentalan keraginan
sebagai larutan pada konsentrasi dan suhu tertentu. Menurut wibowo et al.,
(2012) bahwa faktor yang mempengaruhi viskositas adalah konsentrasi alkali,
suhu ekstraksi, tingkat dispersi, kandungan sulfat, perlakukan yang diberikan
pada rumpu laut, dan adanya elektrolit dan non-elektrolit dalam sistem.
BAB III
METODE KERJA
3.1 Alat dan Bahan
 Hot plate
 Gelas beker
 Batang pengaduk
 Gelas ukur
 Viscometer
 Timbangan digital
 Thermometer
 Spindle
 Rumput laut 10% (3 gram)
 Aquades 200ml
3.2 Cara Kerja
1. Siapkan gelas beker lalu timbang rumput laut
2. Tambahkan aquades 200ml
3. Panaskan diatas hotplate sambal diaduk hingga suhu 75 derajat
celcius
4. Setelah panas dipindahkan larutan ke gelas beker khusus
viscometer
5. Setting alat viscometer dengan kecepatan putar 100 rem. Aduk
menggunakan spindle nomor 02
6. Catat hasil saat suhu mencapai 75 derajat celcius
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Dari praktikum yang telah dilakukan mendapatkan hasil yang diperoleh
dan pada rumput laut karagenan adalah 75,0°L dengan konsentrasi 10% dan
44,61 mPas

4.2 Pembahasan
Metode SRC (Solvent Retertion Capacity) 2002 adalah salah satu metode
yang digunakan untuk mengukur viskositas pada termasuk rumput laut karagenan.
Viskositas merupakan parameter penting dalam industry makanan, farmasi,
dan lainnya. Karena mempengaruhi aliran dan tekstur produk. Untuk mengukur
viskositas pada rumput laut karagenan dengan konsentrasi 10%
Karagenan merupakan polisakarida yang diesktrasi dari rumput laut merah.
Karagenan 10% dalam lingkungan, udara. Karagenan digunakan dalam makanan
sebagai pengental dan pengemulsi.
Tujuan pengujian viskositas adalah untuk mengukur ketebalan atau
kekeuatan rumput laut keragenan konsentrasi 10%. Ini revelan dengan
pengggunaan bahan tersebut dalam produk-produk yang memerlukan sifat-sifat
revelan tertentu.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Jadi kesimpulan dari praktikum ialah dalam uji viskositas keraginan rumput
laut dengan konsentrasi 10% didapatkan nilai 44,61 mPas. Dilakukannya
pengujian ini dikarenakan untuk menguji kekuatan karagenan dengan konsentrasi
10%.
LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA
UJI FORMALIN PADA IKAN ASIN TONGKOL

Disusun Oleh :
Agustinus Safuf/57213113644
Ghina Kamila Firdaus/57213213676
Risa Novella Dianita Anshori/57213213707
Yohannes Kalo/57213113723

TPH-A

DOSEN PENGAMPU :
Dr. Yulianti Sipahutar, S.Pi., M.M.

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN


POLITEKNIK AHLI USAHA PERIKANAN
JAKARTA
2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Pendahuluan pengujian formalin pada ikan asin tongkol penting untuk


memastikan keamanan konsumsi ikan tersebut. Formalin, atau formaldehida,
adalah zat kimia yang dapat digunakan sebagai bahan pengawet untuk mencegah
pembusukan ikan. Namun, penggunaan formalin dalam makanan dapat
membahayakan kesehatan manusia jika melebihi batas yang ditetapkan.
Pengujian formalin pada ikan asin tongkol dilakukan untuk menentukan apakah
kadar formalin dalam produk tersebut memenuhi standar keamanan pangan yang
telah ditetapkan. Beberapa alasan untuk menguji formalin pada ikan asin tongkol
meliputi:

1. Kesehatan Konsumen : Konsumsi ikan yang mengandung kadar formalin di atas


batas aman dapat menyebabkan masalah kesehatan, seperti iritasi saluran
pencernaan, kerusakan organ, dan bahkan kanker.

2. Peraturan Pangan: Setiap negara biasanya memiliki regulasi terkait batas


maksimum formalin dalam produk pangan. Pengujian formalin pada ikan asin
tongkol penting untuk memastikan bahwa produk tersebut mematuhi standar
keamanan yang telah ditetapkan oleh otoritas kesehatan pangan.

3. Keberlanjutan Lingkungan: Penggunaan formalin dalam pengawetan ikan juga


dapat berdampak negatif pada lingkungan. Oleh karena itu, pengujian formalin
juga dapat membantu dalam memonitor dampak lingkungan dari penggunaan
bahan kimia ini.

Proses pengujian formalin dapat melibatkan metode analisis laboratorium yang


canggih, seperti kromatografi gas-massa (GC-MS) atau spektrometri massa. Hasil
pengujian ini dapat memberikan informasi tentang konsentrasi formalin dalam ikan
asin tongkol dan memastikan kesesuaian produk dengan standar keamanan
pangan yang berlaku.

Penting untuk mencatat bahwa penggunaan formalin dalam pengawetan makanan


semakin dikontrol ketat, dan alternatif pengawet yang lebih aman dan ramah
lingkungan sedang dikembangkan untuk menggantikan penggunaan formalin.
Oleh karena itu, pengujian formalin menjadi langkah kritis dalam memastikan
keamanan dan kualitas produk ikan asin tongkol serta melindungi kesehatan
konsumen.
BAB II
DASAR TEORI

Formalin, atau formaldehida (HCHO), adalah senyawa kimia dengan rumus kimia
CH2O. Ini adalah gas yang larut dalam air dan digunakan dalam bentuk larutan air
yang dikenal sebagai formalin. Formalin memiliki beberapa sifat dan karakteristik
yang membuatnya digunakan sebagai bahan pengawet, termasuk
kemampuannya untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan
mikroorganisme dan mencegah pembusukan.
Berikut adalah beberapa dasar teori terkait formalin :

1. Desinfektan dan Pengawet :


- Formalin memiliki sifat desinfektan dan pengawet yang kuat. Ini digunakan
untuk menghentikan atau memperlambat pertumbuhan bakteri, jamur, dan
mikroorganisme lainnya pada bahan organik, termasuk ikan.
- Kemampuannya untuk membunuh mikroorganisme ini menjadikannya bahan
pengawet yang efektif untuk mencegah pembusukan dan memperpanjang umur
simpan produk makanan.

2. Reaksi dengan Protein :


- Formalin dapat berikatan dengan gugus amino pada protein, membentuk ikatan
metilen (CH2) dengan gugus amino tersebut. Reaksi ini dapat mengubah struktur
protein dan mencegah aktivitas enzim yang terlibat dalam pembusukan.
- Proses ini dapat membantu mempertahankan tekstur dan keutuhan
organoleptik (rasa, aroma, warna, dan tekstur) dari ikan asin tongkol.

3. Pemanfaatan dalam Industri Pangan :


- Selain sebagai pengawet, formalin juga digunakan dalam industri pangan untuk
proses pengawetan dan pembuatan produk makanan tertentu.
- Meskipun efektif, penggunaan formalin dalam makanan telah ditemui
kontroversi karena potensi dampak negatifnya terhadap kesehatan manusia.

4. Regulasi dan Keamanan :


- Banyak negara memiliki regulasi ketat terkait penggunaan formalin dalam
makanan. Batas maksimum formalin yang diperbolehkan dalam produk makanan
ditetapkan untuk memastikan keamanan konsumen.
- Keamanan formalin sangat bergantung pada dosis dan waktu paparan, dan
penggunaannya harus sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh otoritas
kesehatan.

5. Alternatif Pengawet :
- Mengingat kekhawatiran terkait kesehatan, banyak penelitian dan
pengembangan dilakukan untuk menemukan alternatif pengawet yang lebih aman
dan lebih ramah lingkungan daripada formalin.

Penting untuk diingat bahwa penggunaan formalin dalam makanan harus sesuai
dengan regulasi dan pedoman yang berlaku di setiap wilayah untuk memastikan
keamanan konsumen dan mencegah dampak negatif pada kesehatan manusia.
BAB III
METODOLOGI
3.1 Alat dan bahan
 Alat
1. Desilator
2. Kertas saring
3. Corong
4. Gelas ukur
5. Erlenmeyer
6. Timbangan digital
7. Stomacher
8. Hotplate
9. Plastic

 Bahan
1. Sampel ikan asin
2. Aqudes
3. Asam fosfat
4. Asam kromat

3.2 Cara kerja :


1. Siapkan sampel ikan asin tongkol
2. Timbang sampel menggunakan timbangan digital
3. Setelah itu, masukan sampel kedalam plastic dengan aquades
4. Lalu stomacher selama 2 menit
5. Setelah itu filtrat menggunakan kertas saring
6. Jika filtrasi telah selesai, selanjutnya tambahkan 1 ml asam fosfat
7. Setelah itu, destilasi filtrat dengan suhu 300C
8. Selanjutnya campurkan hasil destillaisi tadi sebanyak 5 ml di tabung reaksi
dengan indikator asam kromat 5 ml lalu homogenkan
9. Lalu panaskan tabung reaksi tersebut dan dapat dilihat langsung hasilnya
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Hasil pada pengujian kali ini menghasilkan positif, karena larutan pada
tabung reaksi berubah menjadi sedikit keunguan. Apabila suatu sampel berubah
menjadi warna ungu maka menandakan sampel mengandung formalin.

4.2 PEMBAHASAN
Pada praktikum ini, kami melakukan uji formalin pada sampel makanan
yang banyak di jual belikan yaitu ikan asin tingkol. Pada uji ini menggunakan asam
kromat dan asam fosfat untuk identifikasi pada ikan asin tongkol. Selain membuat
sampel, kami juga membuat standar yang digunaka sebagai pembanfding.
Dari hasil percobaan yang telah dilakukan mendapatkan hasil positif
karena larutan berubah menjadi warna keunguan. Hal tersebut menunjukan bahwa
sampel ikan asin tongkol mengandung formalin. Jika makanan ini dikonsumsi,
maka beberapa tahun kemudian akan menimbulkan berbagai macam penyakit
seperti kanker
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan tentang kandungan formalin pada ikan asin
tingkol, maka dapat disimpulkan bahwa sampel mengandung formalin. Hal ini
dibuktikan antara perbandingan antara standar dengan sampel dimana sampel
menunjukan warna merah muda setelah ditambahkan asam kromat.
Dengan standar, produk yang mengandung formalin dalam pengawetan makanan,
dengan lebih bijak dalam memilih ikan asin yang akan dikonsumsi
LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA
UJI FENOL

Disusun Oleh :
Agustinus Safuf/57213113644
Ghina Kamila Firdaus/57213213676
Risa Novella Dianita Anshori/57213213707
Yohannes Kalo/57213113723

TPH-A

DOSEN PENGAMPU :
Dr. Yulianti Sipahutar, S.Pi., M.M.

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN


POLITEKNIK AHLI USAHA PERIKANAN
JAKARTA
2023
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 latar Belakang

Pengasapan merupakan salah satu cara pengolahan dan pengawetan bahan


pangan melalui perlakuan pengeringan atau penambahan senyawa alami yang
berasal dari asap pembakaran (Adawyah, 2007). Pengasapan pada ikan dapat
dilakukan melalui beberapa tahapan penggaraman, pengeringan dan pengasapan
(Jamilatun et al., 2016).

Pengasapan dapat menghasilkan senyawa-senyawa yang tidak aman bagi


kesehatan. Beberapa senyawa bersifat karsinogenik seperti benzopiren (O'Hara,
1974, Tonogai, 1982) dan nitrosamin (Gangolli, 1986) terdapat dalam produk asap.
Maga (1987) menyatakan bahwa kedua senyawa tersebut dapat timbul selama
pengasapan bahan makanan. Senyawa fenol juga diketahui memegang peranan
pada pengasapan karena akan memberikan kenampakan pada ikan yang diasap
menjadi lebih menarik yang disebabkan terjadinya reaksi pewarnaan, tetapi
keberadaan fenol juga menyebabkan ikan asap tidak aman karena dapat
membahayakan kesehatan bagi orang yang mengkonsumsinya. Kandungan
senyawa-senyawa tersebut pada ikan asap dipengaruhi oleh banyak faktor antara
lain adalah metoda pengasapan yang digunakan dan kondisi bahan dasar
penghasil asap serta jenis ikan yang diasap. Kadar air rendah pada bahan
pengasap ternyata dapat menyebabkan terdapatnya fenol dalam jumlah lebih
besar daripada bahan dengan kadar air tinggi (Maga, 1987).

1.2 Tujuan

Pada praktikum ini bertujuan untuk mengetahui kandungan fenol dalam ikan
asap serta dapat mengetahui uji fenol.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Ikan Tongkol (Euthynnus affinis)

Ikan tongkol (Euthynnus affinis) terdapat di seluruh perairan hangat


Indonesia, Pasifik Barat, termasuk laut kepulauan dan laut nusantara. Ikan ini
hidup di perairan pelagis, merupakan spesies neuritik yang mendalami perairan
dengan kisaran suhu antara 18oC-29oC. Euthynnus affinis cenderung membentuk
kelompok multi spesies berdasarkan ukuran (Collet dan Nauen, 1983). Morfologi
ikan tongkol dapat dilihat pada Gambar 1. Sedangkan klasifikasinya menurut
Saanin (1971) sebagai berikut :

Phylum : Animalia
Kelas : Pisces
Sub Kelas : Teleostei
Ordo : Perchonomorphi
Sub Ordo : Scombrina
Family : Scombridae
Genus : Euthynnus
Spesies : Euthynnus affinis
Sumber : Djuanda (1991)

Ikan tongkol tergolong kelompok scombridae dengan bentuk tubuh seperti cerutu
dengan kulit licin, sirip dada melengkung dengan ujungnya lurus dan pangkalnya
lebar. Sirip ekor bercabang dua dengan kedua ujungnya Panjang dan pangkalnya
bulat kecil. Dibelakang sirip punggung dan dubur terdapat sirip tambahan yang
kecil. Ikan tongkol memiliki tubuh berwarna biru hitam pada 6 bagian punggung
dan biasannya terlihat totol hitam pada bagian pelvic dan sirip pectoral. Panjang
total dapat mencapai 1 meter, tetapi umumnya 40-60 cm (Djuanda, 1991)
2.2 Pengasapan Ikan

Pengasapan ikan adalah salah satu cara mengolah dan mengawetkan ikan
yang cukup populer di Indonesia. Cara ini dapat dijumpai diberbagai daerah,
namun jumlahnya tidak sebanyak produk pengasinan atau pengeringan.
Pengasapan dapat menunda proses kemunduran mutu ikan (Sulistijowati dkk.,
2011). Teknologi pengawetan makanan terus berkembang untuk menciptakan
pengawet makanan yang aman bagi tubuh. Pengawetan makanan dengan cara
menambahkan zat aditif yang alami merupakan salah satu pengembangan zat
pengawet makanan yang berkembang pesat. Asap cair merupakan salah satu
bahan pengawet makanan yang dikembangkan.

Pengasapan merupakan salah satu cara pengolahan dan pengawetan bahan


pangan melalui perlakuan pengeringan atau penambahan senyawa alami yang
berasal dari asap pembakaran. Proses ini dapat diterapkan pada ikan untuk
mengolah dan mengawetkan. Proses pengawetan pada ikan menyebabkan air
yang terdapat pada jaringan ikan akan keluar dan menyebabkan senyawa-
senyawa asap akan terserap dan menempel pada ikan (Adawyah, 2007). Faktor-
faktor yang mempengaruhi hasil pengasapan adalah jenis ikan, bentuk, ukuran
ikan, suhu, serta lama pengasapan (Ahmad, 2012). Pengasapan ikan manyung
yang dilakukan di Tambak Lorok masih menggunakan cara tradisional yaitu
dengan cara meletakkan ikan diatas tray, di mana asap diperoleh dari pembakaran
tempurung kelapa yang diletakkan tepat di bawah tray. Kadar air dalam ikan asap
berdasarkan SNI 2725:2013 sebesar 60%. Pengasapan dengan metode
tradisional masih memiliki nilai kadar air yang tinggi.
BAB III
METODOLOGI

3.1 Alat dan bahan

3.1.1 Alat

1) Erlenmeyer
2) Labu ukur
3) Batang pengaduk
4) Beaker gelas
5) Corong
6) Kertas saring
7) Stomacher
8) Gunting
9) Lemari asam
10) Buret

3.1.2 Bahan

1) Ikan tongkol asap 5 kg


2) Aquades
3) HCL pekat 5 ml
4) BrBr2
5) NaOH 10%
6) 10 ml larutan KL 20 %

3.2 Cara Kerja

1. Siapkan alat dan bahan yang akan di gunakan


2. Timbang sampel sebanyak 5 gr dan 10 gr
3. Tambahkan 200 ml aquades dan 10 ml NaOH 10 % ke masing-masing
pelastik PE 5 gr dan 10 gr kemudian stomacher selama 1 menit
4. Pindahkan kedalam labu ukur 200 ml lalu saring sebanyak 25 ml ( dua labu
ukur 200 ml)
5. Larutan 25 ml dipindahkan kedalam Erlenmeyer. Tambahkan 25 ml BrBr2,
50 aqudes, 5 ml HCL pekat
6. Campurkan seluruh isi Erlenmeyer tersebut dengan alat pencampur
kemudian goyangkan selama 1 menit
7. Diamkan didalam air es selama 1 jam
8. Selanjutnya tambahkan 10 ml larutan KL 20 % kedalam Erlenmeyer
tersebut melalui dinding sebelah dalam Erlenmeyer. Seteah itu camurkan
dengan alat pencampur goyangkan selama 10 menit
9. Titrasi larutan dengan larutan natrium 0 N sampai warna kuning muda
menghilang
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Sampel Berat Kadar phenol


5 gr 0,37 %
Ikan tongkol asap
10 gr 0,98 %

4.2 Pembahasan

Pada praktikum pengujian kadar phenol langakah pertama yang disiapkan


adalah menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan kemudian timbang
sampel sebanyak 5 gr dan 10 gr, Tambahkan 200 ml aquades dan 10 ml NaOH
10 % ke masing-masing pelastik PE 5 gr dan 10 gr. Aquades merupakan air
destilasi atau air murni yang digunakan sebagai pelarut atau media dalam
berbagai proses kimia. Kegunaan Aquades digunakan untuk membuat larutan dan
melarutkan senyawa-senyawa yang diuji, dalam hal ini phenol dan NaOH 10%
(Natrium hidroksida) adalah basa kuat yang digunakan untuk menaikkan pH
larutan. Kegunaannya untuk mengubah keadaan larutan atau untuk menguji sifat
asam-basa dari senyawa fenol. kemudian stomacher selama 1 menit dan
kemudian pindahkan kedalam labu ukur 200 ml lalu saring sebanyak 25 ml ( dua
labu ukur 200 ml) Penting untuk dicatat bahwa pemilihan labu ukur dengan
kapasitas yang tepat sesuai dengan kebutuhan metode analisis tertentu sangat
penting untuk mendapatkan hasil yang akurat dan konsisten. Jika metode analisis
tertentu mengharuskan penggunaan labu ukur 200 ml, hal ini kemungkinan karena
pertimbangan desain dan kebutuhan spesifik metode tersebut. Larutan 25 ml
dipindahkan kedalam Erlenmeyer. Erlenmeyer digunakan untuk reaksi dan
pencampuran larutan.

Tambahkan 25 ml BrBr2, 50 aqudes, 5 ml HCL pekat. Fungsi Bromine (Br2)


adalah suatu zat yang dapat digunakan sebagai agen oksidasi atau dalam reaksi
adisi pada senyawa organic dan digunakan untuk mengoksidasi atau mengubah
fenol menjadi senyawa lain selama pengujian dan Fungsi Hidroklorida (HCl)
adalah asam yang digunakan untuk menurunkan pH larutan atau memperkenalkan
ion hidrogen HCl pekat digunakan untuk mengasamkan lingkungan reaksi atau
mengubah keadaan larutan fenol. Campurkan seluruh isi Erlenmeyer tersebut
dengan alat pencampur kemudian goyangkan selama 1 menit dan diamkan
didalam air es selama 1 jam, Selanjutnya tambahkan 10 ml larutan KL 20 %
kedalam Erlenmeyer tersebut melalui dinding sebelah dalam Erlenmeyer. Fungsi
Larutan KL (potassium permanganate) adalah agen oksidasi yang kuat dan dapat
digunakan sebagai agen oksidasi dalam reaksi tertentu, mungkin untuk mengukur
jumlah senyawa yang dapat dioksidasi dalam fenol atau mengukur keberadaan
senyawa tertentu. Setelah itu camurkan dengan alat pencampur goyangkan
selama 10 menit dan Titrasi larutan dengan larutan natrium 0 N sampai warna
kuning muda menghilang. Natrium atau senyawa natrium tertentu bisa digunakan
dalam titrasi karena sifatnya sebagai basa atau asam, tergantung pada bentuk
senyawanya. Pilihan natrium atau senyawa natrium lainnya dalam titrasi sangat
bergantung pada sifat-sifat kimia dari senyawa yang akan diuji dan tujuan titrasi itu
sendiri. Oleh karena itu, penting untuk memahami sifat-sifat reagen yang
digunakan dalam konteks spesifik titrasi yang dilakukan.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari praktikum diatas dapat disimpulkan bahwa semakin besar berat sampel
maka kadar fenol yang ada didalam daging ikan tersebut semakin besar.
Pengujian kadar fenol ini dilakukan agar dapat mengetahui kandungan fenol pada
ikan asap. Ikan asap boleh dikonsumsi tetapi apabila terlalu banyak itu tidak baik
bagi tubuh.
LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA
UJI TMA

Disusun Oleh :
Agustinus Safuf/57213113644
Ghina Kamila Firdaus/57213213676
Risa Novella Dianita Anshori/57213213707
Yohannes Kalo/57213113723

TPH-A

DOSEN PENGAMPU :
Dr. Yulianti Sipahutar, S.Pi., M.M.

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN


POLITEKNIK AHLI USAHA PERIKANAN
JAKARTA
2023

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesegaran ikan akan menurun sejalan dengan meningkatnya kandungan
nitrogen yang mudah menguap. Larutan kalium sorbat dan larutan natrium klorida
memperlihatkan pembentukan volatile base yang lebih rendah. Hal ini disebabkan
oleh pemberian garam yang menekan aktivitas bakteri sehingga perombakan
senyawa makromolekul menjadi senyawa-senyawa menguap lainnya dapat
ditekan senyawa-senyawa yang dapat menguap (Hadiwiyanto, 1993 dalam Rudi
et al; 2005)
Senyawa kimia yang dihasilkan dalam dekomposisi bacterial dapat
dinyatakan sebagai indicator tingkat kesegaran atau kebusukan udang,
diantaranya indol, hipoxantin, histamine, total volatile base (TVB), dan
Trimethylamine (TMA) (Zaitzel et al ; 1969 dalam Subrata et al ; 2001). Sedangkan
menurut Jay (2000) dalam Yuliana (2007), TMA terbentuk dari penguraian
senyawa lipoprotein menjadi kolin lalu diuraikan menjadi TMAO oleh enzim
dehiddrogenase, kemudian direduksi menjadi TMA sebagai senyawa yang
sebagian besar terdapat pada spesies ikan laut.

1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini yaitu dapat menganalisis TMA pada daging ikan
serta dapat mengetahui uji TMA
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

TVB atau total volatile bases adalah banyaknya basa menguap. TVB
diproduksi oleh reaksi oksidasi aktivitas enzim dan mikroba di dalam otot jaringan
ikan yang sebagian besar terdiri dari senyawa amin, diantaranya amonia,
trimethylamine (TMA) dan dimethylamine (DMA). TVB biasanya digunakan untuk
mengukur tingkat kesegaran ikan, semakin menurun mutu ikan, akan semakin
tinggi kadar TVB- nya. Selain itu dapat pula digunakan untuk mengetahui batasan
ikan yang masih layak untuk dikonsumsi. Ikan yang sudah benar- benar busuk
memiliki kadar TVB melebihi 30 mg-N/100 gram (Soekarto, 1990)
TMA atau trimethylamine merupakan jenis senyawa yang tidak berwarna,
bersifat higroskopik, dan mudah terbakar dimana amina tersier memiliki bau amis
yang kuat. Biasanya TMA digunakan dalam system kolin, hidroksida,
tetramethylammonium, dan pengatur pertumbuhan tanaman. Senyawa ini
merupakan produk dekomposisi dari tumbuhan dan hewan. Keberadaannya pada
ikan juga dapat berasal dari penggabungan asam laktat dan TMAO (Murdjiharto,
1993).
Pengujian TVB dan TMA diawali dengan mempersiapkan alat dan bahan. Alat
yang akan digunakan antara lain cawan Conway, pipet ukur 1 mL, blender, kertas
saring, Erlenmeyer, dan incubator. Sedangkan bahan yang disiapkan adalah
sampel (bakso ikan dan otak-otak), larutan TCA 7.5%, larutan 4% asam borat,
larutan K2CO3jenuh, larutan 1/70 N HCl dan vaselin. Pada pengujian TMA bahan
yang digunakan sama, hanya saja ditambah larutan formalin 40%
Kadar TMA secara umum digunakan untuk menentukan mikroba pembusuk
yang dapat menyebabkan pembusukan pada ikan. Trimetil amin (TMA) terbentuk
dari reduksi TMAO oleh bakteri pembusuk. TMA merupakan senyawa yang
memberikan karakteristik bau amis (fishy) dari ikan. TMA juga merupakan bagian
dari TVB, oleh sebab itu kandungan TMA selalu lebih rendah dari TVB (Murtini et
al. 2014).
BAB III
METODEOLOGI
3.1 Alat dan Bahan
 Timbangan digital
 Cawan Conway
 Oven
 Corong
 Erlenmayer
 Stomacher
 Sampel 10 gram
 TCA 30 ml
 K2CO3
 Indikator Conway
 Formalin
 H3BO3

3.2 Cara Kerja

1. ambil sampel sebanyak 10 gram kemudian timbang menggunakan


timbangan digital
2. campurkan TCA 30ml dengan sampel 10 gram pada plastic kemudian di
stomacher selama 1 menit
3. siapkan erlenmayer, corong serta kertas saring untuk memfiltrat
homogeny sampel dan TCA
4. setelah difiltrat kemudian sampel ditaruh pada Conway dengan larutan
formalin, K2CO3, H3BO3 dan indicator Conway masing-masing sebanyak
1 ml
5. setelah itu Conway digoyangkan sedikit agar tercampur
6. kemudian inkubasi pada oven bersuhu 370 derajat celcius, selama 30
menit
7. setelah itu lakukan titrasi dan didapatkan hasil
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Hasil Blanko
0,26 0,06

4.2 Pembahasan

Dari praktikum TMA diatas dapat dilihat bahwa kesegaran ikan masih
terbilang segar karena dari hasil titrasi tersebut angka hasil titrasi tidak jauh
berbeda dengan blanko. Hal tersebut dapat dinyatakan bahwa ikan masih
segar dan belum banyak terjadi kemunduran mutu.
Pengujian TVB dan TMA diawali dengan mempersiapkan alat dan
bahan. Alat yang akan digunakan antara lain cawan Conway, pipet ukur 1 mL,
blender, kertas saring, Erlenmeyer, dan incubator. Sedangkan bahan yang
disiapkan adalah sampel (ikan segar), larutan TCA 7.5%, larutan 4% asam
borat, larutan K2CO3 jenuh, larutan 1/70 N HCl dan vaselin. Pada pengujian
TMA bahan yang digunakan sama, hanya saja ditambah larutan formalin 40%.
Prosedur awal yang dilakukan adalah membuat filtrate yang berasal dari
sampel yang telah ditambah TCA 7.5% dan diblender. Menurut Sudarmadji
(1996), TCA berfungsi untuk menghentikan jalannya reaksi hidrolisis dengan
cara mendenaturasi enzim karena sifat TCA adalah asam.
Kemudian menyiapkan 2 buah cawan Conway untuk masing-masing
pengujian. Mengolesi tepian cawan Conway dengan vaselin yang berfungsi
untuk melekatkan cawan Conway sehingga tidak terjadi pertukaran gas dari
dalam keluar atau sebaliknya. Cawan Conway 1, diisi larutan asam borat
sebanyak 1 mL yang dimasukkan dalam inner chamber, dimana larutan ini
berfungsi sebagai indicator perubahan warna saat dititrasi dengan HCl dan
berubah warna menjadi merah muda. Outer chamber sisi kanan diisi filtrate
dan sebelah kiri diisi K2CO3 masing-masing sebanyak 1 mL. K2CO3
berfungsi untuk mengikat basa volatile pada jaringan sampel. Setiap kali
memasukkan larutan kedalam cawan Conway, harus segera ditutup karena
larutan tersebut mempunyai sifat yang mudah menguap. kemudian ditambah
dengan larutan formalin 40% sebanyak 0.5 mL yang diletakkan
diantara sampel dan K2CO3. Larutan formalin berfungsi untuk mengikat
senyawa lain selain TMA. Larutan dalam outer chamber dicampur sesaat
sebelum diinkubasi pada suhu 370 derajat celcius 30 menit dengan oven.
Setelah itu, asam borat dalam blanko dititrasi dengan HCl sampai berwarna
merah muda. Warna merah muda terbentuk karena adanya HCl berlebih yang
menyebabkan suasana asam. Selanjutnya asam borat dalam dalam sampel
juga dititrasi dengan HCl sampai warnanya seperti yang didapatkan pada
blanko, kemudian dihitung kadarnya
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Jadi dapat disimpulkan bahwa ikan yang telah diuji TMA memiliki
kesegaran yang masih dibilang segar karena pada saat titrasi memiliki nilai kecil
yaitu 0,26.
LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA
UJI TBA

Disusun Oleh :
Agustinus Safuf/57213113644
Ghina Kamila Firdaus/57213213676
Risa Novella Dianita Anshori/57213213707
Yohannes Kalo/57213113723

TPH-A

DOSEN PENGAMPU :
Dr. Yulianti Sipahutar, S.Pi., M.M.

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN


POLITEKNIK AHLI USAHA PERIKANAN
JAKARTA
2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara maritim yang mempunyai hasil perikanan
yang sangat melimpah. Menurut Kementrian Kelautan dan Perikanan
(2011), pengolahan ikan di Indonesia dari tahun 2007 hingga tahun 2011
mencapai angka 33-51%, salah satunya adalah ikan asin. Ikan asin merupakan
produk olahan ikan tradisional yang paling banyak dan mudah dilakukan,
namun pengembangan pengolahan ikan asin ke dalam suatu produk masih
jarang dilakukansehingga dibutuhkan diversifikasi produk dari ikan asin agar
dapat meningkatkan variasi konsumsi masyarakat terhadap produk ikan asin.

Penentuan asam tiobarbiturat (TBA) umumnya dilakukan dalam makanan


dan sistem biologis lainnya untuk menentukan tingkat oksidasi lemak. Tingkat
oksidasi minyak ditentukan oleh penentuan asam tiobarbiturat (TBA). Makanan
yang mengandung asam lemak tak jenuh konsentrasi tinggi sangat sensitif
terhadap oksidasi lipid. Oksidasi lipid menyebabkan hilangnya rasa, warna, aroma
dan sifat tekstur dan nilai gizi bahan makanan dan pembentukan senyawa beracun.
Sebagai contoh, mentega disimpan dalam kondisi yang tidak menguntungkan dan
untuk waktu yang lama rentan terhadap oksidasi lipid. Dengan cara ini, kerusakan
oksidatif dideteksi oleh uji Thiobarbituric Acid (TBA). Tes ini, yang merupakan
metode yang sangat cepat dan sederhana, banyak digunakan untuk menentukan
tingkat oksidasi lipid.

Untuk memperpanjang umur simpan mentega, selalu menghasilkan


dengan kualitas standar dan melindungi kesehatan masyarakat, risiko oksidasi
dalam produksi harus dipertimbangkan dan tindakan pencegahan yang perlu
harus diambil. Untuk mencapai hal ini, produsen harus memiliki teknologi produksi
yang baik dan mentega harus disimpan dalam kondisi yang sesuai.

Penelitian penentuan asam tiobarbiturat (TBA) dilakukan dalam produk


daging dan ikan. Perubahan kualitas protein dan oksidasi lipid dari daging ini
diperiksa. Jumlah asam tiobarbiturat (TBA) juga diperiksa untuk menyelidiki
oksidasi lipid.

1.2 Tujuan
1. Mengidentifikasi kandungan TBA pada ikan tongkol asin
2. Mengetahui hasil pengujian TBA pada ikan tongkol asin
BAB II
DASAR TEORI

2.1 Bilangan TBA


Penentuan bilangan TBA adalah suatu tes kimia untuk uji ketengikan yang
dapat digunakan pada bermacam-macam bahan dan merupakan uji yang
paling sering digunakan untuk mengukur ketengikan. Uji TBA merupakan uji
yang spesifik untuk hasil oksidasi asam lemak tidak jenuh dan dapat digunakan
pada produk makanan sehari-hari yang proporsi asam lemak tidak jenuhnya
rendah.

Penentuan bilangan TBA mengukur warna merah muda yang dihasilkan


oleh pereaksi TBA dengan malonaldehid. Warna merah muda ini diketahui
merupakan bentuk kondensasi produk antara dua molekul TBA dengan satu
molekul malinic dialdehid. Malonaldehid merupakan produk oksidasi lanjut yang
berasal dari aldehid tidak penuh yang merupakan hasil pemecahan
hidroperoksida.

Persenyawaan MDA secara teoritis dapat dihasilkan oleh pembentukan


diperoksida pada gugus pentadiena yang disusul dengan pemutusan rantai
molekul atau dengan cara oksidasi lebih lanjut dari 2-enol yang dihasilkan dari
penguraian monohidroperoksida (Ketaren, 2008).

Senyawa MDA ini sangat menentukan kerusakan minyak, semakin besar


kadar malonaldehid dalam minyak, maka semakin tinggi nilai TBA. Jika nilai
TBA tinggi, maka kualitas minyak semakin turun atau semakin tinggi kadar
ketengikannya.

Kelebihan penentuan bilangan TBA adalah pereaksi TBA dapat digunakan


langsung untuk menguji lemak dalam suatu bahan tanpa mengekstraksi fraksi
lemaknya. Kelemahan penentuan bilangan TBA yaitu TBA tidak stabil dan
terurai dalam kondisi yang panas dan tinggi asam, terutama bila ada peroksida.
Produk uraian ini dapat menyerap pada gelombang yang sama dengan TBA.

2.2 Garam
Ikan yang mengalami proses penggaraman menjadi awet karena garam
dapat menghambat atau membunuh bakteri penyebab pembusukan pada ikan,
oleh karena itu , kemurnian garam sangat menentukan. Garam yang dipakai
adalah garam dapur (NaCl) murni, artinya garam yang sebanyak mungkin
mengandung NaCl dan sekecil mungkin unsur-unsur lainnya.

2.2.1 Metode Penggaraman


Penggaraman dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu penggaraman kering
(dry salting), penggaraman basah (wet salting), kench salting,
penggaraman kering (dry salting).
1) Penggaraman kering
Dapat digunakan baik untuk ikan ukuran besar maupun kecil.
Penggaraman ini menggunakan garam berbentuk Kristal. Ikan yang
akan diolah ditaburi garam lalu disusun secara berlapis-lapis.Setiap
lapisan ikan diselingi lapisan garam.
2) Penggaraman basah (wet salting)
Proses penggaraman dengan metode ini menggunakan larutan garam
sebagai media untuk merendam ikan.
3) Penggaraman kench salting
Penggaraman ini hampir serupa dengan penggaraman kering.
Bedanya, cara ini menggunakan kedap air. Ikan hanya ditumpuk
dilantai atau menggunakan keranjang.
BAB III
METODELOGI

3.1. Alat
1) Gelas ukur
2) Breaker glass
3) Erlenmeyer
4) Pipet tetes
5) Tabung reaksi
6) Stomacher
7) Hotplate
8) Timbangan analitik
9) Gunting
10) Plastik Pe
11) Kuater bat
12) Destilasi
13) Alumunium foil
3.2. Bahan
1) Ikan asin tongkol 10 gr
2) Aquades
3) HCI
4) TBA
3.3. Cara Kerja
1) Siapkan alat dan bahan
2) Timbang 10 gr sampel lalu pindahkan ke labu destilasi
3) Cuci kembali dengan 485 ml aquades kemudian masukan kedalam
erlemeyer
4) Tambahkan HCl 4N 1,5 ml
5) Destilasi hingga larutan mencapai 40 ml
6) Masukan 10 ml larutan kedalam labu reaksi dengan menambahkan 1
ml reagen TBA
7) Rebus 35 menit tabung reaksi yang berisi larutan
8) Hasil dibaca menggunakan spektrofotometri 520 mm
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
HCl 4N = 20 ML
20 ×4
HCl pekat 12N , = 7 ml
12

TBA = 50 L
Reagen TBA = 0,02 N

𝑔𝑟 1000
μ= ×
𝐵𝑒 𝐵𝑒

𝑔𝑟 1000
0,002 = ×
144,15 19

gr = 0, 14

Sampel Percobaan
Ikan asin tongkol 1) 0,675
2) 0,720
3) 0,623

0,675 + 0,720 +0,623


x=
3
= 0,673

7,8 ×𝐷×3
TBA =
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

7,8 ×𝐷×3
=
10
=1,574 mg melonadehid/kg

4.2. Pembahasan
Ikan asin adalah ikan yang telah diawetkan dengan cara mengeringkan dan
biasanya diberi ttambahan garum untuk mengawetkan lebih lama. Proses
pengawetan ini biasanya dilakukan dengan menghilangkan kadar air dari
ikan. Sehingga mikroorganisme yang dapat merusak ikan tidak dapat
tumbuh.

TBA (Thiobarbituric Acid) adalah metode analisis kimia yang digunakan


untuk mengukur jumiah senyawa yang dihasilan selama proses oksidasi
lemak, yang dapat memberikan indikasi sejauh mana ikan asin telah
mengalami kerusakan akibat oksidasi.
Hasil Pengujian TBA akan memberkan angka yang mencerminkan tingkat
oksidasi lemak dalam ikan tongkol asin. Semakin tinggi angka TBA,
semakin tinggi tingkat oksidasi lemak dalam sampel tesebut. Nila TBA yang
dihasilkan dapat digunakan sebagai indikator kualitas ikan asın dan tingkat
kesegarannya.

Berdasarkan SNI 01-2352-1991 batas maximum nilai TBA yang masih


dapat diterima adalah 3 mg manohedid/kg sampel. Maka produk akan
bersifat racun bagi tubuh dan tidak dapat dimakan. Hai ini menandakan
bahwa ikan asin pada praktikum masih aman untuk dikomsumsi karena
hasil yang didapatkan yaitu 1.574mg menoldehid/kg dibawah batas
makimal yang ditetapkan.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan

1) Penentuan bilangan TBA mengukur warna merah muda yang dihasilkan


oleh pereaksi TBA dengan malonaldehid. Malonaldehid merupakan
produk oksidasi lanjut yang berasal dari aldehid tidak penuh yang
merupakan hasil pemecahan hidroperoksida.

2) Berdasarkan SNI 01-2352-1991 batas maximum nilai TBA yang masih


dapat diterima adalah 3 mg manohedid/kg sampel. Hai ini menandakan
bahwa ikan asin pada praktikum masih aman untuk dikomsumsi karena
hasil yang didapatkan yaitu 1.574mg menoldehid/kg dibawah batas
makimal yang ditetapkan.
LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA
UJI KADAR GARAM PADA IKAN TONGKOL

Disusun Oleh :
Agustinus Safuf/57213113644
Ghina Kamila Firdaus/57213213676
Risa Novella Dianita Anshori/57213213707
Yohannes Kalo/57213113723

TPH-A

DOSEN PENGAMPU :
Dr. Yulianti Sipahutar, S.Pi., M.M.

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN


POLITEKNIK AHLI USAHA PERIKANAN
JAKARTA
2023
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Ikan merupakan salah satu komoditi hewani yang dominan dikonsumsi


oleh masyarakat Indonesia. Ikan tongkol (Euthynnus affinis) adalah ikan yang
berpotensi cukup tinggi dengan kandungan gizi yang lengkap yang mana nilai
proteinnya mencapai 26%, kadar lemak rendah yaitu 2%,mengandung asam
lemak omega-3, dan kandungan garam-garam mineral penting yang tinggi. (1)
Ikan tongkol (Euthynnus affinis) adalah ikan yang berpotensi cukup tinggi dengan
kandungan gizi yang lengkap yang mana nilai proteinnya mencapai 26%, kadar
lemak rendah yaitu 2%,mengandung asam lemak omega-3, dan kandungan
garam-garam mineral penting yang tinggi. . Oleh karena itu, agar ikan sampai ke
tangan konsumen dalam keadaan baik diperlukan upaya untuk menghambat
proses pembusukan dengan cara pengawetan dan pengolahan. Berbagai
teknologi sederhana pengolahan pangan yang sudah dikenal di kalangan
masyarakat diantaranya adalah pengasapan, pengeringan, penggaraman, dan
pengukusan

Ikan asin merupakan produk olahan ikan tradisional yang paling banyak
dan mudah dilakukan, namun pengembangan pengolahan ikan asin ke dalam
suatu produk masih jarang dilakukan sehingga dibutuhkan diversifikasi produk dari
ikan asin agar dapat meningkatkan variasi konsumsi masyarakat terhadap produk
ikan asin. (3) Tahitu (2014) melaporkan bahwa konsentrasi garam dan waktu
perendaman yang terbaik adalah 6 jam pada konsentrasi garam 40%. Standar
mutu ikan asin kering (SNI 8273:2016), antara lain: kadar air maksimum 40 %,
kadar garam maksimum 12-20 %, dan ALT maksimum 1 x 105 koloni/g, kadar abu
tidak larut asam 0,3% (BSN 2016).

Metode titrasi argentometri dengan penggunaan kalium kromat sebagai


indikator dan air murni untuk persiapan sampel merupakan cara yang umum
digunakan untuk mengukur kadar garam pada ikan tongkol asin. Langkah-langkah
ini diambil untuk memastikan hasil yang akurat dan dapat diandalkan dalam
penentuan kadar garam dalam produk ikan asin.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Ikan Tongkol (Euthynnus affinis)

Ikan tongkol (Euthynnus affinis) terdapat di seluruh perairan hangat


Indonesia, Pasifik Barat, termasuk laut kepulauan dan laut nusantara. Ikan ini
hidup di perairan pelagis, merupakan spesies neuritik yang mendalami perairan
dengan kisaran suhu antara 18oC-29oC. Euthynnus affinis cenderung membentuk
kelompok multi spesies berdasarkan ukuran (Collet dan Nauen, 1983). Morfologi
ikan tongkol dapat dilihat pada Gambar 1. Sedangkan klasifikasinya menurut
Saanin (1971) sebagai berikut :

Phylum : Animalia
Kelas : Pisces
Sub Kelas : Teleostei
Ordo : Perchonomorphi
Sub Ordo : Scombrina
Family : Scombridae
Genus : Euthynnus
Spesies : Euthynnus affinis
Sumber : Djuanda (1991)

Ikan tongkol tergolong kelompok scombridae dengan bentuk tubuh seperti cerutu
dengan kulit licin, sirip dada melengkung dengan ujungnya lurus dan pangkalnya
lebar. Sirip ekor bercabang dua dengan kedua ujungnya Panjang dan pangkalnya
bulat kecil. Dibelakang sirip punggung dan dubur terdapat sirip tambahan yang
kecil. Ikan tongkol memiliki tubuh berwarna biru hitam pada 6 bagian punggung
dan biasannya terlihat totol hitam pada bagian pelvic dan sirip pectoral. Panjang
total dapat mencapai 1 meter, tetapi umumnya 40-60 cm (Djuanda, 1991)
2.2 Ikan asin
Ikan merupakan komoditi pangan yang dihasilkan dari perairan antara lain
ikan, udang, kerang atau kepiting dan cumi-cumi. Ikan pada umumnya lebih
banyak dikenal daripada hasil perikanan yang lain karena paling banyak di tangkap
dan dikonsumsi. Menurut tempat hidupnya terapat tiga golongan ikan yaitu ikan
laut, ikan darat (ikan air tawar) dan ikan migrasi (Warsito, Rindiani dan
Nurdyansyah, 2015). Ikan merupakan salah satu jenis bahan yang mempunyai
nilai gizi yang tinggi dan sangat penting bagi manusia serta merupakan sumber
protein yang harganya relatif murah, namun ikan merupakan komoditas yang
sangat mudah busuk dan produksinya musiman terutama ikan laut (Niswah, Pane
dan Resanti, 2016). Ikan asin atau ikan kering merupakan hasil proses
penggaraman dan pengeringan. Ikan ini mempunyai kadar air rendah karena
penyerapan oleh garam dan penguapan oleh panas. Beberapa jenis ikan yang
biasanya diawetkan menjadi ikan asin atau ikan kering adalah ikan kakap, tenggiri,
tongkol, kembung, layang, teri, petek, mujair, dan lain–lain (Antoni, 2010)

2.3 Pengolahan dan Pengawetan

Ikan Proses pengolahan dan pengawetan ikan merupakan salah satu


bagian terpenting. Tanpa adanya kedua proses tersebut, peningkatan produksi
ikan yang telah dicapai selama ini akan sia-sia, karena tidak semua produk ikan
dapat dimanfaatkan oleh konsumen dalam keadaan baik. Pengolahan dan
pengawetan ikan betujuan untuk mempertahankan mutu dan kesegaran ikan
selama mungkin dengan cara menghambat dan menghentikan penyebab
kemunduran mutu ikan atau pembusukan dan penyebab kerusakan ikan. Tujuan
utama proses pengawetan ikan diantaranya mencegah proses pembusukan pada
ikan saat produksi melimpah, meningkatkan jangkauan pemasaran ikan,
melaksanakan diversifikasi pengolahan produk perikanan, dan dapat
meningkatkan pendapatan nelayan atau petani ikan. Ikan hasil pengolahan dan
pengawetan umumnya sangat disukai oleh masyarakat karena produk akhirnya
mempunyai ciri–ciri khusus yakni perubahan sifat-sifat daging seperti bau (odour),
rasa (flavour), bentuk (appearance) dan tekstur
2.4 Menggunakan penambahan garam dan pengeringan

Penggaraman merupakan bentuk pengawetan kuno yang masih banyak


digunakan sampai sekarang. Pada pembuatan ikan asin, ikan diawetkan dengan
kombinasi penggaraman dan pengeringan. Pada konsentrasi tingi, garam dapat
mencegah kerusakan ikan oleh enzim-enzim dalam daging ikan dan pembusukan
oleh mikroorganisme. Garam mempunyai tekanan osmotik yang tinggi, sehingga
akan menarik air dari daging ikan dan cairan dari sel mikroba. Akibatnya mikroba
akan mengalami plasmolisis dan mati. Penambahan garam menyebabkan protein
13 ikan terdenaturasi sehingga daging ikan mengkerut dan air akan terperas keluar.
Pengeringan akan mengurangi kandungan air dalam daging ikan sehingga
mikroba tidak dapat tumbuh dengan baik dan pembusukan dapat dicegah. Pada
umumnya pengeringan dilakukan secara tradisional dengan penjemuran (Warsito,
Rindiani dan Nurdyansyah, 2015)
BAB III
METODOLOGI
3.1 Alat Dan Bahan

3.1.1 Alat

1. Timbangan
2. Gunting
3. Gelas beker
4. Tungku pengebuan
5. Desikator
6. Cawan porselin
7. Erlenmeyer
8. Labu ukur 200 Ml
9. Corong
10. Gelas ukur

3.1.2 Alat

1. Sampel ikan asin tongkol 2 gr


2. Kalium kromat
3. Aquades

3.2 Cara Kerja

1. Siapkan alat dan bahan yang akank digunakan


2. Timbang sampel sebanyak 2 gr menggunakan timbangan digital
3. Ambil cawan porsein dalam desiator kemudian timbang cawan tersebut
4. Masukan sampel ke dalam porselin
5. Kemudian masukan masukan cawan porselin kedalam tungku pengabuan
dengan suhu 550oC selama 2 jam
6. Setelah 2 jam ambil cawan porseli dalam tungku pengabuan dan
masuknan kedalm desikator

Menguji Kadar Garam

1. Tuang abu kedalam laiu ukur 250 ml, ditambahkan aquades 250 ml
2. Kocok perlahan
3. Siapkan 3 erlenmeyer dan tuangkan masing-masing 25 ml pada
Erlenmeyer
4. Tambahkan 1 ml kalsium kromat pada tiap Erlenmeyer
5. Kemudian melakukan titrasi untuk melihat hasilnya.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Hasil Kadar
Percobaan Warna Blanko M AgNO3
titrasi garam (%)
1 30,2 Merah bata
2 37,5 Merah bata 0,2 0,457 0,099
3 44,6 Merah bata
Rata-rata 0,0181

4.2 Pembahasan

Penambahan kalium kromat (K2CrO4) dan aquades (air murni atau air
destilasi) pada pengujian kadar garam pada ikan tongkol asin dapat digunakan
dalam titrasi argentometri untuk mengukur kadar garam (khususnya klorida) dalam
sampel ikan tongkol asin. Berikut adalah fungsi masing-masing bahan:

1. Kalium Kromat (K2CrO4):

 Fungsi: Kalium kromat digunakan sebagai indikator dalam titrasi


argentometri. Dalam titrasi ini, kromat memberikan warna merah
jingga ketika ion perak (Ag+) telah bereaksi sepenuhnya dengan
ion klorida (Cl-) dalam sampel ikan tongkol asin.

 Reaksi Kimia: Ag+ + Cl- → AgCl (terbentuk endapan putih) +


K2CrO4 (berubah warna menjadi merah jingga)

2. Aquades (Air Murni atau Air Destilasi):

 Fungsi: Air murni atau air destilasi digunakan untuk membilas dan
mendispersikan bahan-bahan dalam sampel ikan tongkol asin
selama persiapan sampel sebelum titrasi. Penggunaan air murni
penting untuk mencegah kontaminasi dari ion-ion yang mungkin
terkandung dalam air biasa.

 Reaksi Kimia: Tidak ada reaksi kimia khusus, tetapi air murni
penting untuk menjaga kebersihan dan ketepatan analisis.
Prosedur umum untuk titrasi argentometri dalam mengukur kadar garam
(klorida) dalam sampel ikan tongkol asin melibatkan penambahan larutan
argentometrik (biasanya larutan AgNO3) ke dalam sampel yang telah diencerkan
dengan air murni. Kalium kromat digunakan sebagai indikator untuk menunjukkan
titik akhir titrasi ketika semua ion klorida telah bereaksi dengan ion perak,
membentuk endapan putih (AgCl).
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa dari praktikum diatas diketahui bahwa kadar


garam pada ikan asin tongkol 0,099% dengan hasil titrasi rata-rata 0,0181.
Dan dari hasil titrasi tersebut dari 3 hasil percobaan dengan hasil berurutan
30,2 , 37,5 , dan 44,6 dan hasil titrasi tersebut berwarna merah bata. Kadar
garam pada ikan asin tongkol masih batas aman jadi aman untuk
dikonsumsi.

Anda mungkin juga menyukai