Anda di halaman 1dari 125

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

DISKURSUS TOKOH ARJUNA DALAM LEGITIMASI


RAJA-RAJA JAWA DINASTI MATARAM

TESIS

Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Program


Studi Kajian Budaya

Oleh
EDY SULISTIONO
NIM S701308003

PROGRAM PASCA SARJANA


UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2015

i
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ii
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

iii
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa:


1. Tesis yang berjudul Diskursus Tokoh Arjuna Dalam Legitimasi Raja-Raja Jawa
Dinasti Mataram, ini adalah hasil penelitian saya sendiri, dan belum pernah ditulis
atau diterbitkan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik. Berbagai konsep
dan teori yang bersumber dari penulis lain dalam tulisan ini, diposisikan sebagai
referensi yang disebutkan dalam sumber kutipan maupun daftar pustaka. Apabila di
kemudian hari terbukti bahwa karya ini adalah plagiat, saya bersedia menerima sangsi
sebagaimana ketentuan yang berlaku.
2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi Tesis pada jurnal atau forum ilmiah lain harus
seijin dan menyertakan tim pembimbing sebagai author dan PPs UNS sebagai
institusinya. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, saya
bersedia mendapat sangsi akademik yang berlaku.

Surakarta April 2015

Edy Sulistiono
NIM S701308003

iv
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

MOTTO
Heh Sira Bebakal wania ing angel wedia ing gampang. Yen Sira wani ing angel saliring
gegayuhan bakal kasembadan, lamun wedi ing gampang bakal nggedhekke pangati-ati
(Sri Rama kepada Anoman dalam Serat Rama Jarwa Yasadipura I)

Hasbunallaahu wani’mal wakil- Ni’mal maulaa wani’mannashiir.


Artinya, cukuplah bagi kami Allah menjadi Tuhan kami dan Dia-lah sebaik-baiknya wakil.
Dia-lah sebaik-baiknya pemimpin dan penolong.
(Al Qur’an, Surat Ali Imran 173 & Al Anfaal:40)

Khoirunnas anfauhum linnas Artinya, sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi
sesama (Hadist riwasat Muslim)

PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya ini kepada Ayahanda/Ibunda Solichin dan Ibu Susilawati.
Kepada isteriku Yeni Kurniawati, dan ketiga anakku, Rahadyan, Rahajeng, dan Ranindya.

v
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRAKSI

Latar Belakang: Wayang adalah tontonan yang sangat populer di Jawa dahulu
hingga sekarang. Salah satu tokoh wayang yaitu Arjuna menjadi idola Orang Jawa karena
merupakan representasi karakter pria ideal. Popularitas tokoh wayang Arjuna diduga
berkaitan dengan diskursus yang dibangun para penguasa Jawa dinasti Mataram untuk
mendapatkan hegemoni legitimasi kekuasaanya. Dugaan itu atas dasar adanya wacana
tentang kultus dan mitologi Arjuna sebagai leluhur Raja-Raja Mataram dalam Babad Tanah
Jawi yang di susun zaman Sultan Agung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap
kejelasan dipilihnya Arjuna sebagai media diskursus, proses dibangunnya diskursus itu,
serta implikasi-implikasinya bagi masyarakat Jawa.
Metode: Jenis penelitian ini adalah kualitatif interpretatif yang menekankan analisis
pengungkapan nilai-nilai di balik relasi-relasi hubungan data material yang ada. Pendekatan
hermeneutik berfungsi mengarahkan terhadap filosofi interpretasi sejarah terjadinya diskursus
Arjuna zaman Sultan Agung yang masih berimplikasi terhadap budaya jawa sekarang.
Hasil: Pertama pemilihan Arjuna sebagai tokoh yang diwacanakan oleh Sultan
Agung dengan pertimbangan bahwa Arjuna dipercaya membawa magi kemenangan perang.
Sebagai tokoh mitologi, Arjuna dianggap leluhur yang akan mewariskan wahyu keraton, dan
sebagai tokoh anutan, Arjuna adalah representasi ideologi kekuasaan Sultan Agung. Kedua,
diskursus Arjuna dibangun dengan cara desentralisasi dan pluralisasi power knowledge
(kuasa pengetahuan) bagi setiap individu di Mataram. Ketiga, implikasi diskurus Arjuna
dalam masyarakat Jawa adalah diterimanya secara totalitas pengetahuan tentang Arjuna baik
secara individu-individu maupun inter-individu, menjadi sebuah pola pikir, perilaku, serta
identitas yang disebut dengan istilah episteme era Mataram.
Kesimpulan: Diskursus tokoh Arjuna di Jawa adalah upaya Sultan Agung mendapatkan
legitimasi kekuasaan di tengah-tengah usahanya mendapatkan dukungan dari daerah-daerah
bawahan bekas jajahan Pajang, yang ketika itu banyak yang membangkang.

Kata Kunci: diskursus, ideologi, hegemoni, legitimasi, dan episteme.

vi
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRACT

Background: Puppet is a popular show in Java until nowadays. One of the puppet
characters is Arjuna, that has been idolized by most Javanese people because of its
representation of character of an ideal man. Its popularity is presumably related to the
discourse constructed by the Javanese potentate in Mataram dynasty to gain the hegemony of
its authority legitimation. The presumption is based on the discourse about cult and
mythology of Arjuna as the ancestor Kings of Mataram in Babad Tanah Jawi arranged in
Sultan Agung era. The objectives of this research is to reveal the clarity about choosing
Arjuna as the discourse media, the process of how the discourse constructed, and the
implications toward Javanese people.
Method: It is a qualitative interpretative research which is emphasized in disclosure analysis
of values behind relations of the existing material data. The approach of hermeneutic is used
to lead to the historical interpretation philosophy of the occurrence of the discourse on
Arjuna in the era of Sultan Agung which has implied in the Javanese culture until now.
Result: First, the choosing of Arjuna as the evoked discourse figure by Sultan Agung
considering that Arjuna is believed that can bring the magi of victory in a war. As a
mythology figure, Arjuna is considered as the ancestor who bequeath the palace revelation,
and as the role figure, Arjuna represents the authority ideology of Sultan Agung. Second, the
discourse of Arjuna constructed in the way of decentralization and pluralization of the power
knowledge for each individual in Mataram. Third, the implication of Arjuna discourse in the
Javanese society is that totally accepted, the knowledge about Arjuna individually or inter-
individually, it becomes a role of thought, attitude, and identity which is called episteme of
Mataram era.
Conclusion: The discourse of Arjuna in Java is an effort of Sultan Agung to get the authority
of legitimation besides his trying in gaining support from the colony of Pajang where there
was a lot of insubordination from.

Keyword:discourse, ideology, hegemony, legitimation and episteme

vii
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kepada Allah SWT, karena atas limpahan rahmat-Nya, Tesis
ini bisa diselesaikan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat mencapai derajat Magister
dalam Program Pasca Sarjana Prodi Kajian Budaya Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis sadari bahwa Tesis ini bisa diselesaikan berkat kesempatan yang diberikan
oleh institusi Prodi Kajian Budaya UNS, serta bantuan dari berbagai fihak, maka dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS, selaku Rektor UNS
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS, selaku Direktur Program Pasca sarjana UNS
3. Bapak Prof. Dr. Bani Sudardi, M. Hum, selaku Kaprodi Kajian Budaya UNS, serta
Pembimbing I
4. Ibu Dr. Hartini, M. Hum, selaku Pembimbing II, dan PA
5. Ibu Dra. Chrisma Riny, MM, Kepala Stasiun RRI Surakarta yang telah memberi ijin
kepada penulis menempuh study Pasca Sarjana di UNS.
6. Ibu Dra. R.Ay. Irawati Kusumorasri, M.Sn, Direktur ASGA yang telah memberi ijin
dan mendorong selesainya penelitian ini.
7. Bapak Drs. H. Solichin, selaku Ketua Dewan Kebijaksanaan SENAWANGI yang
telah mendanai study di Kajian Budaya Pasca Sarjana UNS.

Terimakasih juga diucapkan kepada semua Bapak/Ibu dosen kami di Prodi Kajian
Budaya UNS yang telah membekali konsep, teori, serta metodologi Kajian Budaya yang
mencerahkan pemahaman dan menuntun selesainya Tesis ini. Lebih khusus diucapkan
kepada Bapak Dr. Titis Srimuda Pitana, ST, M.Trop. Arch, yang telah mengkritisi Tesis ini
dengan mengarahkan kepada pemahaman yang teliti terhadap konsep teori Diskursus
Foucault, sehingga menuntun tercapainya tujuan penelitian ini. Demikian pula teman-teman
mahasiswa dan mahasiswi Prodi Kajian Budaya, serta keluarga kami, isteri, dan anak-anak
tercinta yang telah mendorong dan membantu selesainya Tesis ini.

Karanganyar, April 2015

Edy Sulistiono
NIM S701308003

viii
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING.................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI............................................................................. iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH............................................................... iv
MOTTO/PERSEMBAHAN................................................................................................. v
ABSTRAKSI........................................................................................................................ vi
ABSTRACT......................................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... viii
DAFTAR ISI......................................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR............................................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................................ 1
1.2.1. Identifikasi Masalah................................................................................................... 6
1.2.2. Rumusan Masalah....................................................................................................... 7
1.3. Tujuan Penelitian........................................................................................................ 8
1.3.1 Tujuan Umum............................................................................................................ 8
1.3.2 Tujuan Khusus........................................................................................................... 8
1.4 Manfaat Penelitian....................................................................................................... 8
1.4.1 Manfaat Teoritis...................................................................................................... 8
1.2.3. Manfaat Praktis....................................................................................................... 9

BAB II LANDASAN TEORITIS......................................................................................... 10


2.1 Kajian Pustaka................................................................................................................ 10
2.2.Konsep............................................................................................................................ 14
2.2.1. Diskursus Legitimasi................................................................................................... 15
2.2.2. Tokoh Arjuna Dalam Raja-raja Jawa Dinasti Mataram............................................. 16
2.3. Landasan Teori............................................................................................................. 19
2.3.1. Teori Wacana/Diskursus............................................................................................ 20
2.3.2. Teori Hegemoni......................................................................................................... 23
2.3.3. Teori Semiotika ....................................................................................................... 23
2.4 Model Penelitian.......................................................................................................... 24

ix
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB III METODE PENELITIAN.................................................................................... 27


3.1 Rancangan Penelitian.................................................................................................. 27
3.2 Lokasi Penelitian.......................................................................................................... 31
3.3 Jenis dan Sumber Data................................................................................................ 31
3.4 Teknik Penentuan Informan....................................................................................... 32
3.5 Instrumen Penelitian.................................................................................................. 34
3.6 Teknik Pengumpulan Data......................................................................................... 35
3.6.1 Observasi................................................................................................................ 35
3.6.2 Wawancara............................................................................................................ 36
3.6.3 Studi Kepustakaan................................................................................................ 36
3.6.4 Studi Dokumen...................................................................................................... 36
3.7 Teknik Analisis Data.................................................................................................. 37
3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data........................................................................ 38

BAB IV PEMBAHASAN.................................................................................................... 39
4.1. Sebab Dipilihnya Tokoh Arjuna oleh Raja-Raja Mataram sebagai Media Diskursus 39
4.1.1. Kepercayaan terhadap Kultus Arjuna di Jawa........................................................... 43
4.1. 2. Mitos Arjuna sebagai Leluhur Raja Mataram.......................................................... 47
4.1.3. Nilai Anutan yang Terkandung dalam Wayang Arjuna.......................................... 52
4.1.3.1. Memahami Nilai-Nilai Tokoh Arjuna dengan Semiotika Wacana Bartes........... 53
4.1.3.1.1. Makna Denotasi Ornamen Figur Arjuna........................................................... 57
4.1.3.1.2.Makna Konotasi Ornamen Figur Arjuna........................................................... 57
4.1.3.1.3. Makna Ideologi Wacana Arjuna......................................................................... 64
4.2. Proses Terjadinya Diskursus Tokoh Arjuna dalam Legitimasi Raja-Raja Mataram 68
4.2.1. Kesempatan Pentas Wayang................................................................................... 73
4.2.2. Tempat Pentas Wayang......................................................................................... 73
4.2.3. Cara Mewacanakan Tokoh Arjuna dalam Pentas Wayang.................................... 76
4.2.3.1. Wacana Tokoh Arjuna Secara Eksplisit dalam Teks Pakem............................. 76
4.2.3.2. Wacana Tokoh Arjuna Secara Implisit dalam Pakeliran.................................. 78
4.2.4. Diskursus Arjuna Dilembagakan di Sekolah Dalang Keraton.............................. 82
4.3. Implikasi Diskursus Arjuna bagi Kehidupan Orang Jawa....................................... 84
4.3.1. Ragam Budaya Adiluhung................................................................................... 87
4.3.2. Religiusitas Kejawen............................................................................................ 92
4.3.3. Patuh Terhadap Raja............................................................................................ 97

x
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4.3.4. Perilaku Poligami................................................................................................. 99

BAB V SIMPULAN DAN SARAN............................................................................... 104


5.1. Simpulan................................................................................................................... 104
5.2. Saran.......................................................................................................................... 105
5.2.1. Saran Teoritis......................................................................................................... 105
5.2.2. Saran Praktis.............................................................................................................. 107
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 108
NARA SUMBER............................................................................................................... 113

xi
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Jalinan Metodologi dan Teori............................................................... 20
Gambar 2. Model Penelitian.................................................................................. 25
Gambar 3. Diagram Rancangan Penelitian............................................................ 30
Gambar 4. Skema Kekuasaan dan Pengetahuan Teori Diskursus Foucault........... 42
Gambar 5. Tabel Silsilah Pangiwa Raja-Raja Dinasti Mataram............................. 49
Gambar 6. Diagram Silsilah Panengen Raja-Raja Mataram.................................. 50
Gambar 7. Skema Prosedur Semiosis Barthes A.................................................... 53
Gambar 8. Skema Prosedur Semiosis Barthes B.................................................... 54
Gambar 9. Arjuna Wanda Malatsih...................................................................... 56
Gambar 10. Skema Prosedur Semiosis Figur Wayang Arjuna............................... 56
Gambar 11. Skema Sumber Kekuasaan Sultan Agung.......................................... 66
Gambar 12. Skema Jejaring Kuasa......................................................................... 70
Gambar 13. Skema Proses Diskursus Arjuna......................................................... 71
Gambar 14. Skema Relasi Antara Arjuna dengan Panakawan dan Buta............... 81

xii
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Wayang Purwa adalah karya budaya Jawa yang telah berkembang dalam kurun
waktu amat panjang sejak masa lampau hingga sekarang. Soetarno (1995:5)
berpendapat bahwa wayang bukan adopsi dari budaya India, ataupun Cina, tetapi karya
asli orang Jawa. Alasan yang dikemukakan, bahwa meskipun wayang Purwa sangat
dipengaruhi literatur darma sastra India Mahabarata dan Ramayana, tetapi kedua epos
itu hanya menambah vokabuler lakon, yang sebelumnya telah ada seperti Cerita Sri
Sadana, Mikukuhan, Ajisaka, dan sebagainya.
Sebagai bentuk pertunjukan, wayang bisa digolongkan sebagai jenis seni teater
tradisi yang menggunakan media boneka wayang. Namun banyak pakar pedalangan
konvensi maupun akademisi berkeberatan penyepadanan wayang dengan seni teater,
puppet, dan sejenisnya, dikarenakan wayang purwa adalah pertunjukan khas Jawa, yang
tidak hanya sebagai media hiburan namun memiliki latar belakang sejarah khusus, serta
berfungsi sebagai media, pendidikan, ritual adat, dan keagamaan (Murtiyoso 2007:1).
Perkembangan wayang di Indonesia saat ini sangat menggembirakan dengan
semakin banyaknya para generasi muda dan anak-anak mempelajari wayang baik di
sekolah-sekolah formal seperti Jurusan Pedalangan ISI (Surakarta, Jogjakarta, Bandung,
dan Bali), SMK-SMK kejuruan pedalangan maupun di sanggar-sanggar yang marak
akhir-akhir ini, di Surakarta, Jogjakarta, Surabaya, dan Jakarta. Bahkan, pada tahun
2004, atas usulan institusi pengembang pewayangan, Sekretariat Nasional Pewayangan
Indonesia (SENAWANGI) wayang diakui oleh UNESCO sebagai “masterpiece of the
oral intangible heritage of humanity” artinya “wayang sebagai maha karya agung
dunia nir benda” adalah bukti bahwa budaya pewayangan telah mendapatkan pengakuan
dunia sebagai nilai-nilai luhur Indonesia yang sangat perlu dilestarikan.
Salah satu tokoh wayang idola orang Jawa yaitu Arjuna. Dalam budaya Jawa,
Arjuna dianggap simbol manusia berbudi luhur sehingga patut menjadi panutan.
Keutamaan tokoh Arjuna terus menerus diwacanakan masyarakat Jawa sejak awal
adanya wayang hingga sekarang, terutama oleh para pujangga pengarang sastra Jawa,
para perupa pemahat cerita tentang Arjuna di candi-candi, para pembuat wayang, dan

1
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
2

tidak kalah penting juga peran para dalang yang selalu menceritakan Arjuna sebagai
tokoh protogonis dalam pertunjukan wayang.
Keberadaan wacana tentang Arjuna sangat menarik dan menimbulkan
pertanyaan, siapakah sesungguhnya tokoh Arjuna itu sehingga menarik perhatian orang
Jawa untuk selalu mewacanakan ? Soekmono (1985:35) ber-argumen bahwa awal mula
orang Jawa mengenal tokoh Arjuna dari kitab Mahabarata bersama dengan adanya
pengaruh budaya India di Jawa sejak abad X Jaman Darmawangsa Teguh di Kediri.
Pada era penyebaran Hindu yang lebih banyak berpengaruh di lingkungan keraton itu
cerita tentang Arjuna dalam Mahabarata mulai dikenal, dari sebagian kecil parwa
Mahabarata seperti “Adiparwa” dan “Wanaparwa” kemudian secara berangsur-angsur
lengkap hingga kedelapan belas parwa Mahabarata.
Kitab Mahabarata karangan Rsi Wyasa oleh banyak ahli ditafsir sebagai cipta
sastra era ribuan tahun sebelum masehi, menceritakan ketokohan Arjuna sebagai
pemeran utama dalam darma sastra kuno itu (Soekmono, 1985:110). Pada parwa
pertama “Adiparwa”, dikisahkan bahwa pada masa kecil Arjuna beserta kelima
saudaranya anak Pandhu berguru pada seorang brahmana ahli perang Rsi Drona.
Bersama saudara-saudaranya lima pandhawa serta keseratus Korawa anak Dhestarastra,
Arjuna muncul sebagai murid terbaik dalam hal olah panah. Buku karangan Soekotjo
(1982:178) berjudul Silsilah Wayang Mawa Carita menceritakan bahwa ketika masa
pendidikan, pada sebuah arena ujian para siswa Rsi Drona yang disebut
Astradarmakarya (ujian olah senjata), Arjuna mampu memukau para hadlirin yang
diantaranya duduk raja Astina Destarastra, Rsi Bisma, Perdana mentri Widura dan
Kunthi ibu Pandhawa, karena kehebatanya mengendalikan panah dengan mantra-
mantra keramat ajaran Rsi Drona seperti Bayubyastra (panah angin), Brama hastra
(panah api), dan Barunastra panah yang mampu mengeluarkan hujan.
Pada parwa-parwa berikutnya Arjuna dikisahkan selalu menjadi andalan
Pandhawa dalam membabat hutan Kandhawa yang kemudian menjadi kerajaan
Indraprasta, dan menjadi kekuatan utama dalam hal mengalahkan musuh-musuhnya
terutama kelicikan-kelicikan raja Gandara, Sakuni dan Korawa. Dalam parwa keempat
“Wanaparwa”, setelah Pandhawa kalah bermain dadu, Arjuna berhasil dalam
pertapaanya di Gunung Kailasa sehingga mendapat anugerah senjata pemusnah musuh,
Pasupati. Dengan Pasupati itulah, Arjuna berhasil membunuh musuh para dewa raja
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
3

Manimantaka Prabu Niwatakawaca dan semua musuh-musuhnya dalam perang besar


Baratayudha, antara Pandhawa dan Korawa, termasuk Karna raja Angga.
Wacana tentang ketokohan Arjuna bersumber dari darma sastra India yang
kemudian disadur oleh para pujangga Indonesia diantaranya Mpu Kanwa dengan karya
populernya Arjuna Wiwaha abad XI. Seiring dengan pesatnya sastra Jawa klasik era
Kediri, ketokohan Arjuna juga dipopulerkan lewat wacana lisan pentas-pentas wayang
kulit purwa dan wayang wong.
Wacana-wacana yang tentunya sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya
berbagai kelompok masyarakat Jawa itu melahirkan interpretasi-interpretasi serta
berbagai pandangan beragam tentang Arjuna. Kritik Murtiyoso (2007:4) dalam jurnal
budaya Lango berjudul ”Misteri Risang Arjuna Rahasia Jagat Wayang” menguraikan
bagi manyarakat penggemar mistik, Arjuna diinterpretasikan sebagai tokoh mitis yang
disebut insan kamil atau manusia sempurna. Sebaliknya bagi kaum pria yang longgar
terhadap ketaatan beragama Arjuna dianggap sebagai lambang kejantanan, dipengaruhi
kisahnya yang diwarnai poligami serta perselingkuhan. Ada pula manyarakat Jawa yang
percaya pada datangnya tuah keberhasilan dan kemenangan dari ketokohan Arjuna.
Sebagai misal dalam adat tradisi Jawa selamatan setelah kehamilan mencapai tujuh
bulan yang disebut mitoni, salah satu perabot upacara kelapa gading selalu digambari
tokoh wayang Arjuna; bahkan group suporter PSIS Solo juga dinamai pusaka Arjuna
Pasupati agar mendapatkan tuah kemenangan dari Arjuna.
Pandangan tentang pengkultusan Arjuna itu juga berkembang di lingkungan
masyarakat Dieng. Dataran tinggi di daerah Wonosobo itu terdapat kelompok candi
yang oleh masyarakat setempat dinamai tokoh-tokoh wayang keluarga Pandhawa,
seperti Candi Bima, Puntadewa, Arjuna, Nakula-Sadewa, Sembadra, Gathutkaca dan
Semar. Yang menarik, kelompok candi utama dinamai Candi Arjuna, bukan nama
Pandhawa yang lebih senior, Puntadewa ataupun Bima. Berkaitan dengan pengkultusan
Arjuna di Dieng Rusmanto seorang paranormal setempat mengatakan bahwa, anak
Pandhu ketiga itu bukan sosok imajiner melainkan nenek moyang masyarakat Dieng
yang benar-benar ada dan bersemayam di puncak Gunung Sindoro untuk mengayomi
anak keturuannya masyarakat di dataran tinggi Dieng (Sulistiono dan Made, 2013:12).
Popularitas dan kultus Arjuna tidak bisa dipisahkan dengan warisan sejarah
wacana-wacana masa lalu oleh para penguasa untuk mendapatkan kuasa bagi raja-raja
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
4

dinasti Mataram. Dugaan itu bisa dikaitkan dengan berbagai simbol pemuliaan Arjuna
di lingkungan keraton seperti pemujaan pada tokoh Arjuna Kyai Mangu, Kanyut dan
Jimat pusaka keraton Surakarta, kepercayaan tentang wahyu keraton Makutharama dan
Cakraningrat dari Arjuna dan Abimanyu, dan yang paling menonjol adalah
kepercayaan bahwa raja-raja Jawa dinasti Mataram keturunan dari Arjuna (Murtiyoso,
2007:2).
Sekilas wacana lisan tersebut terasa aneh dan menimbulkan pertanyaan
bagaimana seorang tokoh imajinatif dari Mahabarata India bisa menurunkan raja-raja
Jawa dinasti Mataram? Namun demikian, pada kenyataanya mitologi itu dipercaya
turun-temurun dan mengakar dahulu hingga sekarang oleh kalangan tertentu dalam
budaya Jawa. Bahkan, seorang pejabat Pengageng Sasanawilapa (bagian
keadministrasian) Keraton Surakarta, Winarno mengatakan bahwa mitologi tentang
raja-raja di Keraton Surakarta sebagai keturunan dari Arjuna adalah konvensi resmi
yang diakui oleh Keraton Surakarta (wawancara Winarno, 1 Desember 2014).
Makna-makna pengkultusan, mitologi dan nilai-nilai pengaruh penokohan Arjuna
yang begitu kuat mempengaruhi pola perilaku orang Jawa, memiliki indikasi kuat
berhubungan dengan kekuasaan Raja-Raja di Mataram dan dinasti keturunannya.
Gejala-gejala tersebut dalam konsep teori diskursus dari Michels Foucault adalah
sebuah wacana pengetahuan yang sengaja diwacanakan di masyarakat oleh penguasa
dengan tujuan mengkonstruksi pola perilaku budaya agar mendapatkan umpan balik
positif dari masyarakat berupa dukungan politik legitimasi kekuasaan atau hegemoni.
Barker (2005:109) mengutip pandangan Foucault menguraikan bahwa penguasa
dimana-pun secara sadar atau tidak selalu memproduksi pengetahuan melalui bahasa
untuk memformula budaya yang tujuannya mendapatkan kuasa. Formulasi budaya
melalui wacana-wacana yang berkembang dalam masyarakat secara otomatis akan
membentuk pembedaan-pembedaan, pendisiplinan-pendisiplinan, dan pembenaran-
pembenaran bagi perilaku dan legitimasi penguasa tanpa bisa dikontrol secara sadar
oleh masyarakat dikarenakan mereka secara personal maupun interpersonal telah
dibentuk menjadi subjek yang patuh.
Gejala-gejala budaya sebagaimana diuraikan dalam aspek-aspek teori Foucault
dapat ditangkap dalam unsur-unsur budaya baik artifac, ide-ide, maupun aktifitas jejak-
jejak peninggalan Mataram yang masih bisa di lacak dalam kehidupan budaya Jawa di
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
5

lingkungan keraton maupun masyarakat luas. Selain apa yang telah diuraikan di atas
sehubungan dengan kepercayaan-kepercayaan tentang Arjuna juga implikasi-implikasi
diskursus tokoh Arjuna yang hingga sekarang masih bisa dirasakan seperti (a)
pembedaan strata masyarakat dalam level gusti dan kawula, trah ningrat (bangsawan)
dan sudra (rakyat kebanyakan); (b) masih menjamurnya budaya sinkretik yang oleh
sementara ulama dianggap syirik; (c) keharusan patuh pada aturan-aturan seni
pertunjukan produk kraton yang dianggap belenggu kreativitas bagi para seniman muda;
(d) perilaku-perilaku poligami dan perselingkuhan di lingkungan raja-raja dan ningrat
Mataram yang kemudian menjadi model anutan bagi pria Jawa, dan (e) pengakuan
orang Jawa dahulu hingga sekarang tentang legitimasi dinasti Mataram sebagai raja-raja
Jawa.
Menjadi menarik untuk dianalisis mengapa justeru Arjuna yang dikait-kaitkan
dengan kultus, pembawa berkah, mistik bahkan dimanfaatkan sebagai media diskursus
kepentingan keraton Jawa, bukannya tokoh yang lebih senior seperti Bima, Puntadewa,
Kresna atau-pun Semar. Tokoh-tokoh tersebut tidak kalah populer bahkan bisa disebut
lebih populer dari pada Arjuna berkaitan dengan pandangan sinkretik orang Jawa, dalam
hal etika, kebijaksanaan, kawruh penitisan (re-inkarnasi), dan mistik Islam
manunggaling kawula Gusti (penyatuan manusia dengan Tuhan).
Tokoh Bima misalnya, dalam wacana kejawen begitu sangat populer karena
dianggap simbol kesatuan antara manusia dan Tuhan, sebuah kepercayaan yang banyak
diyakini oleh orang Jawa. Simbolisme manunggaling kawula Gusti itu berkiblat pada
serat suluk yang sangat populer era Demak, tulisan Sunan Bonang berjudul Dewa Ruci,
menceritakan Bima bertemu dengan perwujudan Tuhan, Dewa Ruci (Solichin, 2011:
44). Sisa-sisa kultus Bima oleh orang Jawa juga bisa dilacak pada relief-relief dan arca
Bima di Candi Sukuh lereng Gunung Lawu berangka tahun 1437 M (Asmadi, 2004:7).
Demikian pula tokoh Puntadewa dalam pedalangan dikisahkan manusia suci
berdarah putih. Kesucian sulung Pandhawa itu juga disimbolkan bersenjata Jamus
Kalimasada lambang dari kalimah syahadad, tauhied dan Rossul (Purwadi dalam
Widyasari, 2010:16). Tidak kalah populer Kresna dan Semar sebagai titisan dewa
untuk mensejahterakan bumi, bahkan Semar dianggap perwujudan sifat Tuhan (Purwadi
2005:13). Di lingkungan masyarakat Dieng, Semar dipuja dengan sebutan Eyang
Sampurna Jati bersemayam di Goa Semar dekat Telaga Warna, yang dipercaya sebagai
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
6

nenek moyang dan pelindung masyarakat Dieng (Rusmanto dalam Sulistiono dan
Prasta, 2014:17).
Alasan pengkultusan dan diskursus Arjuna tentu tidak bisa dipisahkan dengan
pandangan orang Jawa terhadap nilai-nilai yang tersembunyi dalam wayang Arjuna baik
dari sisi wujud benda, ide-ide, serta aktivitas sehubungan eksistensi Arjuna dalam
pakeliran (pentas wayang) dalam masyarakat Jawa. Berkaitan dengan fungsi dan
peranan wayang dalam kebudayaan Jawa, Sutrisno (2009:1) berpandangan:
Wayang merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia Indonesia karena proses
daya spiritual. Pengamatan yang mendalam terhadap pertunjukan wayang
menunjukkan wayang bukan seni yang bertujuan untuk kepuasan biologis, tetapi
memberi kepuasan batiniah. Menonton pergelaran wayang merupakan proses
introspeksi intuitif terhadap simbol-simbol disertai pembersihan intelektual dan
penyucian moral sehingga mendapatkan pencerahan rohani.

Sunarto (2013:2) mengutip pandangan Bastomi dalam jurnal internasional


Refereed Research Journal berjudul Leather Puppet In Javanese Ritual Ceremony
menguraikan “Wayang art contains values thet people adore to date. Since the
significance role of wayang in the live Javanees people, it can be said that wayang has
become the identity of Javanese people.” Wayang mengandung nilai-nilai ideologi dan
identitas orang Jawa.
Borody (1997:1) berkaitan dengan ketokohan Arjuna dalam jurnal internasional
Asian Philosophy menguraikan sebagai berikut: “In the Indian philosophical traditions
Arjuna stands out as major representative of an importan ethical and intellectual
position, as Socrates stands out in the West”. Landasan nilai-nilai etika dan intelektual
Timur (India dan Indonesia) lebih banyak mereprentasikan ketokohan Arjuna,
sedangkan di Barat adalah sosok Sokrates.

1.2.1. Identifikasi Masalah


Keberadaan diskursus Arjuna yang kemudian berimplikasi terhadap diterimanya
produk budaya priyayi, adiluhung sebagai representasi hegemoni masyarakat Jawa
terhadap legitimasi Raja-Raja Jawa, di era sekarang menimbulkan berbagai
permasalahan yang diuraikan dalam pernyataan sebagai berikut.
Pertama, terjadi kebingungan para penggemar wayang dengan dikukuhkannya
tokoh Arjuna dalam silsilah keraton Jawa, sebagai leluhur Raja-Raja Mataram dan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
7

dinasti kerturunannya Surakarta dan Jogjakarta. Kebingungan masyarakat tersebut


dikarenakan kerancuan posisi mitologi wayang antara tokoh imajiner atau tokoh sejarah.
Kedua, budaya adiluhung sebagai produk keraton oleh kalangan tertentu wajib
dihayati dan transformasikan kepada generasi penerus. Di sisi lain para generasi muda
yang telah sangat akrab dengan budaya populer era global, mengalami kesulitan
menerima transfer budaya tersebut karena pada umumnya mereka menganggap kuno
dan ketinggalan zaman.
Ketiga, budaya Jawa dipengaruhi diskursus Arjuna memandang bahwa Arjuna
adalah simbol kejantanan kaum pria. Sistem pemikiran itu mengkonstruksi perilaku
poligami dan perselingkuhan, yang sudah tidak sesuai dengan era emansipasi dan
kesetaraan gender.
Keempat, warisan budaya priyayi mengkonstruksi perbedaan ras antara trah gusti
dan kawula yang memposisikan priyayi menduduki status yang tinggi dan kawula
sebagai orang kebanyakan pada posisi rendahan. Sistem pemikiran tersebut
meminggirkan peranan rakyat sehingga di era masa lampau kaum ningrat selalu
mendominasi sejarah, sebaliknya di era sekarang perilaku tersebut bertentangan dengan
demokrasi dan HAM.
Kelima, pemakeman berbagai jenis seni pertunjukan dan tata adat sebagai hasil
pengendalian pengetahuan dari penguasa masa lampau, di era sekarang menjadi
belenggu kreativitas yang berimplikasi terhadap tertinggalnya perkembangan seni
tradisi dengan kemajuan zaman.

1.2.2. Rumusan Masalah


Berbagai masalah di atas dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai
berikut:
1. Mengapa tokoh Arjuna dipilih oleh penguasa Jawa Dinasti Mataram dalam
membangun diskursus ?
2. Bagaimana Raja-Raja Jawa terutama dinasti Mataram membangun diskursus
Arjuna untuk memperoleh legitimasi serta hegemoni dari orang Jawa ?
3. Bagaimana implikasi diskursus tokoh Arjuna dalam kehidupan orang Jawa ?
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
8

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini ditujukan untuk mendeskrepsikan adanya fenomena
diskursus tokoh Arjuna berkaitan dengan upaya raja-raja Jawa, terutama Mataram Islam
awal, membentuk hegemoni dari orang Jawa untuk mendapatkan legitimasi sebagai
penguasa Jawa. Selanjutnya diharapkan mampu memberi kejelasan serta memecahkan
masalah terhadap implikasi-implikasi yang masih ada hingga saat ini, terutama
berkaitan dengan kedudukan pakem sebagai belenggu kreativitas.

1.3.2 Tujuan Khusus


Secara khusus penelitian dengan asas kajian budaya (cultural studies) ini
ditujukan untuk menemukan jawaban atas rumusan masalah yang ada dalam penelitian
ini yakni sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui kejelasan sebab dipilihnya tokoh Arjuna dalam membangun
diskursus.
2) Untuk mengungkap proses dalam membangun diskursus Arjuna oleh Raja-
Raja Mataram.
3) Untuk mengungkap implikasi diskursus tokoh Arjuna dalam kehidupan orang
Jawa.

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Manfaat Teoritis
1. Secara teoritis hasil penelitian ini sangat berguna untuk pengembangan ilmu
sejarah terutama kebudayaan Jawa era Mataram.
2. Konsep penelitian ini sangat membantu untuk mengetahui sejarah episteme era
Mataram yang pengaruhnya masih sangat kuat terhadap kebudayaan Jawa saat
ini sehingga dapat dijadikan referensi penulisan bidang pengetahuan sosial,
sastra, seni maupun kajian budaya Jawa umunnya.
3. Hasil penelitian ini juga akan menjadi model penelitian lain sejenis yang akan
memperkaya kajian budaya seni, khususnya wayang.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
9

1.4.2. Manfaat Praktis


1. Secara praktis penelitian ini sangat berguna bagi masyarakat luas untuk
meningkatkan pengetahuan dalam hal memahami kebudayaan pada umumnya,
dan lebih khusus kearifan lokal Jawa.
2. Penelitian ini juga sangat berguna bagi para dalang dan institusi-institusi
pedalangan baik formal maupun non formal dalam hal pemahaman tentang
kedudukan pakem dalam budaya Jawa.
3. Konsep penelitian ini juga sangat penting bagi para pejabat pengambil
keputusan di lingkungan pemerintahan baik di bidang pendidikan, kebudayaan,
maupun pariwisata dalam hal pengembangan budaya Jawa.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10

BAB II
LANDASAN TEORITIS

2.1. Kajian Pustaka


Penelitian ini meskipun menggunakan obyek material wayang bukan mengarah
pada kajian seni pertunjukannya yang mengandalkan data dari observasi pentas, tetapi
kajian wacana mengenai kuasa pengetahuan Arjuna, yang lebih mengarah pada
pembahasan konseptual baik teori-teori diskursus maupun sejarah tersosialisasinya
tokoh Arjuna dalam masyarakat Jawa. Analisis tentang diskursus Arjuna ini akan
berkisar pada sejarah kultus, mitologi dan nilai-nilai klasik wayang Arjuna kaitannya
dengan peradaban Jawa sejak masa-masa awal era Kahuripan hingga Mataram dan
dinasti keturunannya di Surakarta. Konsekuensinya analisis penelitian ini lebih
mengandalkan data kepustakaan.
Telah banyak tulisan tentang wayang baik oleh para pujangga, para akademisi
maupun para peneliti asing dapat digunakan sebagai referensi dalam penelitian ini. Di
antaranya tulisan para pujangga di keraton dalam bentuk-bentuk gancaran (prosa),
tembang sekar ageng ataupun macapat, seperti Serat Rama, Serat Dewa Ruci dan Serat
Pustkaraja Purwa, karangan Yasadipura I, Yasadipura II, serta R.Ng. Ronggowarsita.
Banyak pula karangan buku-buku pedalangan dalam bentuk pedoman belajar
mendalang atau yang dalam budaya Jawa disebut pakem, baik ciptaan keraton maupun
para penulis di luar keraton, diantaranya yang digunakan sebagai pakem pedalangan
baku di Keraton Surakarta dan Pura Mangkunagaran, yaitu Irawan Rabi karya
Noyowirongko dan Wahyu Pakem Makutharama tulisan Ki Ng.Wignyo Soetarno
(Soetarno 1995:30).
Dari sekian banyak buku gancaran yang banyak penulis acu untuk penelitian ini
adalah karangan Padmosoekotjo (1982), berjudul Silsilah Wayang Mawa Carita Jilid
III, dan Jilid IV (1984), terbitan dari CV. Citrajaya Surabaya. Buku ini tergolong
istimewa karena urainnya dalam bahasa Jawa baru selain mudah dipahami, juga berisi
relatif lengkap tentang silsilah Pandhawa dan leluhurnya, serta parwa-parwa kutipan
Mahabarata India yang dikomperasi dengan gaya pedalangan Jawa. Hal itu tidak biasa
dalam tulisan pedalangan pada umumnya yang lebih mengacu gaya Surakarta, tentang
mitos-mitos Jawa asli dan konvensi-konvensi lisan.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11

Tulisan dari ruang akademik berupa tesis dan laporan penelitian di Institut Seni
Surakarta (ISI), dan Sekretariatan Pewayangan Indonesia (SENAWANGI) juga sangat
diperlukan dalam penelitian ini. Tesis berjudul “Wanda Wayang Kaitannya dengan
Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Masa ini”, tulisan Soewarno (1999) karya tesis di
Program pasca Sarjana UGM Jogjakarta, berisi deskripsi tentang wanda-wanda
wayang, diantaranya figur tokoh Arjuna, yaitu wanda Kinanthi, Malatsih, Mangu, dan
Arjuna bertapa yang bergelar Begawan Ciptawening. Karya tesis tersebut lebih banyak
mengkaji macam-macam bentuk fisik figur, serta wanda (bentuk raut muka wayang)
tokoh Arjuna dengan petunjuk pemakaian wanda-wanda itu dalam pentas wayang.
Karya ini sama sekali tidak menyentuh makna figur Arjuna, sebagaimana penelitian ini.
Buku laporan penelitian Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta (STSI)
berjudul “Telaah Perwatakan Sembilan Tokoh Wayang Dalam Serat Centhini Jilid 1”
tulisan Suratno (1993) menguraikan tentang perwatakan sembilan tokoh wayang, salah
satunya Arjuna, memberi kontribusi deskrepsi karakter Arjuna, yang akan dikaji dengan
semiotika dalam penelitian ini. Tulisan tersebut tidak mengkhususkan uraian tentang
makna Arjuna dalam legitimasi raja-raja Jawa Mataram, sebagaimana penelitian ini,
melainkan uraian tentang watak sembilan wayang, yang salah satunya Arjuna.
Laporan penelitian STSI Surakarta tahun 2003, tulisan Suratno berjudul “Studi
tentang Lakon Wahyu dalam Pakeliran di Surakarta dalam Satu Dekade Terakhir”,
berkontribusi penting dalam penelitian ini memberi katagori penerima wahyu dalam
wayang. Informasi itu sangat penting kaitanya dengan diskursus Arjuna dalam proses
mengkonstruksi hegemoni kekuasaan raja-raja Jawa. Dari informasi buku tersebut
diperoleh data bahwa wahyu Cakraningrat dan Makutharama, yang dalam mitos Jawa
sebagai kekuatan utama para raja Jawa, adalah cerita wayang. Laporan penelitian dari
STSI itu juga tidak memfokus mengkaji Arjuna, berkaitan dengan fenomena budaya
Jawa, tetapi mengarah pada kajian seni pedalangan katagori jenis-jenis lakon wahyu
dalam pakeliran.
Tulisan berjudul Filsafat Wayang terbitan SENAWANGI, karya Slamet Sutrisno
(2009) dan kawan-kawan, dalam salah satu bab-nya menguraikan tentang nilai-nilai
filosofi tokoh Begawan Ciptawening (nama lain Arjuna ketika bertapa di Indrakila),
dengan menggunakan pendekatan reflektif, menyumbang makna-makna filsafat tokoh
Arjuna bagi tulisan ini. Akan tetapi sangat berbeda dengan penelitian ini yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12

memfokus pada diskursus tokoh Arjuna dan semiotika figur serta gelar-gelar tokoh
Arjuna.
Laporan penelitian dari Prodi Kajian Budaya UNS berjudul “Berwisata ke
Negeri Pewayangan”, tulisan Sulistiono dan Prasta (2013) memberi informasi tentang
keberadaan tokoh Arjuna kaitannya dengan Candi Arjuna dan mitologi tokoh tersebut di
dataran tinggi Dieng. Dari laporan penelitian itu bisa diketahui bahwa masyarakat Dieng
sangat percaya bahwa tokoh-tokoh Mahabarata seperti Krisna, Puntadewa, Arjuna,
Bima, Nakula-Sadewa, Sembadra, Dropadi dan lainnya di jaman dahulu hidup di daerah
tersebut. Kepercayaan masyarakat Dieng itu adalah bagian dari wacana-wacana dari
kultus Arjuna yang sangat relevan dengan penelitian ini.
Buku berjudul Kalanggwan tulisan Zoetmulder (1983) terbitan Djambatan
Anggota IKAPI Jakarta, menguraikan banyak literatur kuno pedalangan, salah satunya
Arjuna Wiwaha karangan Mpu Kanwa menyadur “Wanaparwa”, bab IV Mahabarata,
menginformasikan bahwa pada abad X di Kahuripan, Mpu Kanwa atas perkenan
Airlangga mengarang cerita tentang kemenangan Arjuna melawan raja raksasa Niwata
kawaca. Cerita itu dipercaya oleh masyarakat Kahuripan masa itu bisa mendatangkan
berkah kemenangan bagi Airlangga melawan musuh dari Kerajaan Wengker yang telah
menguasai ibu kota.
Babad Tanah Jawi buku terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta 1980, yang dialih-
aksarakan oleh Sudibyo (1980), memberi informasi penting mengenai silsilah raja-raja
Mataram sejak Nabi Adam hingga raja-raja di Surakarta.
Sangat diperlukan juga dalam tulisan ini adalah buku berjudul Kebudayaan
Jawa tulisan Koentjaraningrat (1994), terbitan Balai Pustaka, banyak memberi
informasi tentang ritual-ritual tradisi Jawa pemujaan kepada Arjuna serta konsep-
konsep gaya hidup para priyayi Jawa di lingkungan keraton. Demikian pula, tulisan
Geertz ( 1959) berjudul Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, edisi
terjemahahan Mahasin, terbitan Pustaka Jawa Jakarta memberi acuan tentang perilaku-
perilaku religi kaum priyayi maupun petani di Jawa. Buku tersebut dalam tulisan ini
digunakan untuk memahami sejauh mana religiusitas perilaku para raja Jawa Mataram.
Seorang peneliti Belanda Graaf ( 2003), dalam judul tulisannya Kerajaan Islam
Pertama di Jawa Tinjauan Sejarah Politik abad XV dan XVI terbitan PT Temprint
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
13

Jakarta, banyak memberi informasi tentang sejarah kehidupan raja-raja dan para
bangsawan di Mataram awal, Kota Gede, materi analisis dalam penelitian ini. Tulisan
tersebut bisa mengarahkan objektivitas kajian, karena de Graaf di samping
menggunakan sumber data primer Babad Tanah Jawa, juga memanfaatkan sumber
tertulis berupa catatan harian dari duta besar Belanda bernama Rijklof Van Goens, yang
saat kejayaan Sultan Agung (1636-1642) sedang ditugaskan di Mataram.
Babad Tanah Jawi Terlengkap dan Terasli cetakan ke-IV, penerbit Laksana
Jogjakarta, tulisan Abimanyu (2014) dalam penelitian ini memberi informasi tentang
konsep legitimasi raja Jawa, yang diperoleh dengan memuliakan Arjuna sebagai nenek
moyangnya.
Lebih tua lagi dari kedua buku Babad Tanah Jawi terbitan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah,
Jakarta 1980, dan karangan Abimanyu tersebut adalah tulisan seorang gubernur jendral
Inggris Raffles (1817) berjudul The Histori of Java terjemahan Prasetyaningrum dan
kawan-kawan, menginformasikan lebih rinci lagi tentang silsilah raja-raja Jawa serta
peristiwa-peristiwa sejak Ajisaka mendarat pertama kali di Pulau Jawa, jaman
kehidupan Arjuna hingga trah keturunannya jaman Pangeran Haryo Hamangkunagara
atau yang lebih dikenal Pangeran Sambernyawa pendiri dinasti Mangkunagaran. Buku
tulisan Raffles itu banyak mengutip sumber-sumber resmi dari keraton Jawa yang
mengukuhkan bahwa Babad Tanah Jawi dianggap sebagai sejarah resmi keraton Jawa.
Buku berjudul Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan dan Pencapaian, tulisan
Stuers (2008) terjemahan dari Elvira, terbitan Komunitas Bambu Jakarta, memberi
informasi implikasi dari poligami para priyayi Jawa bagi para selir di keraton. Stuers
mengutip surat RA Kartini kepada sahabatnya di Belanda, Zeehandelaar pada 23
Agustus 1900 yang menguraikan kritik pedas pahlawan emansipasi itu terhadap iklim
poligami di lingkungan priyayi Jawa.
Implikasi kekerasan terhadap wanita di dalam keraton disebabkan adanya tradisi
poligami juga disajikan oleh Soeratman (2000) dalam penelitiannya yang berjudul
Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939, terbitan Yayasan Untuk Indonesia,
Jogjakarta, menjadi rujukan penting pada bagian implikasi-implikasi adanya diskursus
Arjuna di lingkungan keraton.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14

Penelitian kajian budaya berparadigma postmodernisme ini akan memanfaatkan


teori- teori diskursus dari Foucault, teori hegemoni dari Gramsci mengacu pada tulisan
Barker (2005) dalam bukunya yang berjudul Cultural Studies Teori dan Praktik
terjemahan dari Cultural Studies Theori and practice, terjemahan Tim kunci cultural
studies center terbitan PT Bentang Pustaka Jogjakarta.
Teori-teori diskursus dalam penelitian ini banyak mengacu dua tulisan dari
Yusuf Lubis (2014a) dan (2014b) berjudul Teori dan Metodologi Ilmu Pengetahuan
Sosial Budaya Kontemporer dan Postmodernisme Teori dan Metode. Buku pertama
terbitan PT Raja Grafindo Persada Jakarta, diacu penulis dalam hal teori relasi kuasa,
pengetahuan, dan kebenaran. Selain itu buku tersebut menguraikan relatif jelas tentang
teori-teori Foucault berkaitan dengan diskursus yaitu genealogi dan episteme. Buku
kedua juga diterbitkan oleh PT Raja Grafindo Persada menjadi acuan bagi penulis untuk
memahami teori Foucault tentang power, tubuh, dan wacana-kuasa wacana. Buku lain
sebagai acuan teori diskursus mengacu tulisan Kali (2013) berjudul Diskursus
Seksualitas Michel Foucault, diterbitkan oleh Ledalero Maumere yang menguraikan
sejarah pemikiran Foucaul tentang arkheologi, genealogi dan wacana, serta konsep
tentang wacana dan episteme.
Dalam menganalisis tentang nilai-nilai makna figur Arjuna, digunakan teori dari
Bartes yang mengacu pada tulisan Budiman (2002) berjudul Analisis Wacana dari
Lingguistik sampai Dekonstruksi terbitan Pusat studi Kebudayaan UGM Jogjakarta.
Buku tersebut menguraikan cukup jelas tentang analisis wacana mitos dan prosedur-
prosedurnya. Lebih diperjelas lagi tentang analisis mitos dari Bartes itu oleh Hoed
(2011) dalam judul bukunya Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, diterbitkan oleh
Komunitas Bambu, Jakarta.

2.2. Konsep
Untuk menjelaskan dan memberi batasan tentang pusat perhatian penelitian ini
perlu dijelaskan konsep-konsep yang digunakan. Urutan konsep yang diuraikan tesis
berjudul Diskursus Tokoh Arjuna dalam Legitimasi Raja-Raja Jawa Dinasti Mataram
ini terdiri dari 2 satuan (unit) yaitu (1) Diskursus Legitimasi; dan (2) Tokoh Arjuna
dalam Raja-raja Jawa Dinasti Mataram.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15

2.2.1. Diskursus Legitimasi


Satuan konsep dari kalimat diskursus legitimasi dapat diurai menjadi dua unsur
yaitu diskursus, dan legitimasi. Dua unsur prasa tersebut bisa dijabarkan maknanya
dalam uraian berikut.
Pertama, diskursus dalam Bahasa Indonesia disinonimkan dengan wacana.
Diskursus atau wacana dalam konteks penelitian ini mengacu pada teori Foucault tokoh
Postmodernisme anti esensialisme pasca strukturalis yang mengajukan argumen
melawan teori-teori formalis mengenai bahasa yang memandang sebagai sistem otonom
yang memiliki aturan sendiri. Lebih lanjut pendapat Foucault bahwa ia juga menentang
metode-metode interpretatif atau hermeneutika yang hendak mengungkap makna
tersembunyi bahasa. Foucault mengajukan argumen bahwa kondisi –kondisi historis di
mana pernyataan-pernyataan dikombinasi dan diregulasi untuk membentuk dan
mendefinisikan suatu bidang pengetahuan/obyek tertentu yang membutuhkan
seperangkat konsep dan memunculkan sebuah rezim pembenaran, yang akan
menentukan apa yang termasuk sebagai kebenaran (Barker, 2005:104-105).
Yusif Lubis (2014a: 161) mencatat bahwa Michel Foucault (1926 – 1984) lahir di
tengah-tengah keluarga ahli medis di Poiteirs Prancis. Meskipun ia keluarga dokter,
tetapi Faoucault lebih tertarik pada Filsafat, Sejarah dan Psikologi. Pandanganya yang
dianggap sangat kontroversi pada tulisan-tulisannya seperti Folie et Deraison (Kegilaan
dan Peradaban), dan Naissance de la Clinic (Lahirya Klinik) keduanya diterbitkan di
Fillingham mengantarkannya sebagai tokoh filsuf dan sejarawan terkemuka paradigma
pasca strukturalisme.
Khusus bukunya berjudul Larcheo Logie du Savoir (1968) Foucault melontarkan
metode dan teori discourse yang diadaptasi dalam Bahasa Indonesia menjadi wacana
atau diskursus mengemukakan bahwa diskursus adalah sebuah produksi pengetahuan
yang berasal dari bahasa dengan cara diwacanakan di tengah-tengah masyarakat; di
mana wacana tersebut akan menghasilkan kuasa.
Kuasa yang oleh Foucault dipahami sebagai kemampuan mengkomunikasikan
pikiran untuk mempengaruhi kehendak orang lain pada proses diskursif, menyebar pada
personal-personal dan inter-personal di bawah kendali pengetahuan yang telah menyatu
menjadi sistem pola pikir masyarakat yang diistilahkan Foucault episteme oleh kuasa
agung yaitu penguasa. Dalam proses sosialisasi dalam episteme kurun sejarah tertentu
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16

manusia mengalami proses menjadi pribadi-pribadi yang oleh Foucault disebut sebagai
teknologi menjadi subyek. Pribadi-pribadi atau subyek-subyek yang telah diformula
oleh episteme pengetahuan tersebut akan selalu berusaha senyawa dengan norma-norma
dan aturan-aturan sehingga secara otomatis menjadi jiwa-jiwa patuh kepada penguasa
(Yusuf Lubis, 2014a: 162-188).
Masih berkaitan dengan diskursus, diuraikan oleh Yusuf Lubis (2014b:168) dalam
metode penelusuran historis tentang terkonstruksinya berbagai macam pengetahuan
yang oleh Foucault disebut genealogi, mengemukakan bahwa dalam vase histori
tertentu apa yang disebut sebagai sebuah kebenaran dikonstruksi untuk
mendistribusikan kekuasaan lewat lembaga-lembaga hukum, pendidikan, pelatihan,
penjara, rumah sakit, yang hasilnya akan mencirikan pemilahan-pemilahan antara yang
gila dan waras, bodoh dengan pandai, patuh dan melawan, serta kawan dan lawan.
Kedua, kata legitimasi berarti kredibelitas seorang penguasa berujut pengakuan
kekuasaan dari rakyat, bawahan maupun penguasa lain sebagai seorang pemimpin yang
syah (Abimanyu, 2013:386). Dalam kajian budaya legitimasi dan pengakuan terjadi
lewat proses hegemoni yang oleh Gramsci adalah suatu blok historis dan faksi kelas
penguasa yang menerapkan otoritas sosial dan kepemimpinan, terhadap kelas-kelas
subordinat dengan cara merebut persetujuan. Dalam hegemoni tersebut proses-proses
penciptaan makna digunakan untuk melahirkan dan mempertahankan representasi dan
praktik-praktik yang dominan atau otoritatif (Gramsci dalam Barker, 2005:467).

2.2.2. Tokoh Arjuna dalam Raja-Raja Jawa Dinasti Mataram.


Satuan konsep kata tokoh Arjuna dalam raja-raja Jawa dinasti Mataram dapat
diurai menjadi tokoh, Arjuna, dalam, Raja-Raja Jawa Dinasti Mataram. Makna konsep
kata-kata tersebut bisa diuraikan sebagai berikut.
Pertama, makna dari kata tokoh. Kata tersebut adalah unsur penting dalam
karangan-karangan rekaan baik bentuk prosa, puisi maupun drama. Maryanto (2009:10)
mengutip pendapat Sudjiman mendefinisikan bahwa tokoh adalah individu rekaan yang
mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Dalam
cerita tokoh digolongkan menjadi dua yaitu tokoh atasan atau utama dan tokoh bawahan
pendukung tokoh utama.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17

Menurut dramaturgi tokoh dipilahkan sebagai berikut: (a) protogonis, (b)


antagonis, (c) deutragonis dan (d) tritagonis. Protogonis adalah tokoh utama cerita, yang
kehadirannya untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam meraih cita-cita. Tokoh
antagonis diklasifikasikan tokoh-tokoh yang melawan tujuan protogonis, deutragonis
adalah tokoh pendamping protogonis dalam menyelesaikan masalah, dan tritagonis
adalah tokoh penengah konflik antara protogonis dan antagonis (Anirun, 1998:124-
126).
Kedua Arjuna adalah tokoh protogonis dalam wayang. Wayang kulit purwa
meskipun diklaim asli karya orang Jawa oleh Hazeau dan Brandes, tetapi menggunakan
sumber lakon asal India kuno, yaitu Mahabarata dan Ramayana. Dua epos itu sangat
populer di Jawa dahulu hingga sekarang mengalahkan karya pujangga lokal Jawa.
Cerita Mahabarata sebanyak 18 parwa menceritakan ketokohan ksatria utama anak
Pandhu yang populer disebut Pandhawa, terutama Arjuna. Sentralitas Arjuna dalam
Mahabarata terjadi karena berperan sangat dominan dalam menyelesaikan berbagai
masalah yang menimpa kelima saudara Pandhawa, terutama dalam memenangkan
perang besar Baratayuda (Soekmono, 1985: 113).
Ketiga, makna kata dalam. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
makna kata dalam adalah bagian yang di dalam; yang tak tampak dari luar (Setiawan,
2014:1). Relasi kata dalam dengan raja-raja Jawa Mataram bermakna berbagai masalah
yang menyangkut kedalaman kehidupan sosial budaya raja-raja Jawa Mataram.
Keempat, raja-raja Jawa dinasti Mataram berkaitan dengan pengertian penguasa
Islam Jawa pasca Kerajaan Pajang, yaitu masa pemerintahan Mataram dan trah
keturunanya di Kartasura dan Surakarta. Graaf dan Pigeaud (2003:249) dalam bukunya
berjudul Kerajaan Islam Pertama di Jawa, mendeskrepsikan sejarah Mataram didirikan
oleh Ki Gedhe Pemanahan seorang prajurit karismatik dati Sela pada tahun 1577 M
bertempat di Kota Gede sebagai ibu kota pemerintahan. Sebelum dibangun menjadi
kerajaan Mataram, wilayah itu berujud hutan yang disebut Hutan Mentaok, merupakan
tanah hadiah dari Raja Pajang Hadiwijaya, setelah Pemanahan mampu mengalahkan
Harya Penangsang Bupati Jipang yang makar kepada raja Pajang. Setelah Ki Gedhe
Pemanahan wafat Mataram diteruskan oleh raja-raja trah keturunannya, yaitu
Panembahan Senopati, Sunan Hanyakrawati (seda Krapyak), Sultan Agung, Sunan
Mangkurat I dan seterusnya.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18

Buyut Pemanahan, Sultan Agung Hanyakra Kusuma pada era kekuasaanya tahun
1613 – 1645 memindahkan ibu kota ke Pleret. Era Sultan Agung itu bisa dikatakan
jaman keemasan Mataram, karena di era itu merupakan superioritas raja Jawa Islam
dalam hal politik budaya dan sosial. Di era Sultan Agung bupati-bupati di Jawa tengah
dan timur berhasil ditahlukkan oleh cucu Panembahan Senopati itu. Kompeni Belanda
di Batavia yang sejak masa pemerintahan ayah Sultan, Sunan Hanyakarawati diberi ijin
mendirikan beteng di Jayakarta diserang dua kali tahun 1628 dan 1629.
Di bidang budaya era Sultan Agung tercipta karya seni yang selanjutnya akan
menjadi pedoman bagi dinasti selanjutnya di Kartasura, Surakarta, Jogjakarta maupun
orang Jawa pada umumnya, di antaranya adalah penetapan tahun Jawa 1555, penciptaan
Sastragendhing, pemakeman wayang pangruwatan, dan Bhedhaya Ketawang.
Sepeninggal Sultan Agung, Mataram menjadi semakin terpuruk akibat perang saudara
sesama dinasti keturunan Panembahan Senopati yang menyebabkan Keraton Mataram
berpindah-pindah serta terbagi-bagi. Perpindahan dan pembagian itu dicatat oleh
Soeratman (2000) sebagai berikut: (a) masa Sunan Mangkurat II (1677-1703) Mataram
pindah ke Kartasura akibat serbuan Trunajaya, (b) tahun 1743 Mataram dipindahkan
oleh PB II ke Surakarta, (c) tahun 1755 Mataram dibelah menjadi Surakarta dan
Jogjakarta akibat perjanjian Giyanti antara PB III, Mangkubumi, dan Belanda, dan (d)
tahun 1775 sekali lagi Surakarta harus dikurangi wilayahnya oleh Belanda untuk
diserahkan kepada Raden Mas Said yang kemudian mendirikan Kadipaten
Mangkunagaran. Demikian pula Jogjakarta atas prakarsa pemerintah kolonial Inggris,
Raffles pada tahun 1813 membagi kasultanan Jogjakarta diberikan kepada Pangeran
Nata Kusuma yang kemudian mendirikan Kadipaten Pakualaman bergelar Sri Paku
Alam I.
Jadi, batasan konsep tentang dinasti Mataram adalah trah/dinasti Ki Gedhe
Pemanahan beserta anak keturunanya sejak putranya Panembahan Senopati hingga raja-
raja di Kartasura, Surakarta, Jogjakarta, Mangkunagaran dan Pakualaman.
Bisa diabstraksikan secara ringkas judul Diskursus Tokoh Arjuna dalam
Legitimasi Raja-Raja Jawa Dinasti Mataram adalah wacana-wacana tentang tokoh
Arjuna yang dibangun oleh para raja Jawa dinasti Mataram untuk mendapatkan
hegemoni legitimasi kekuasaan.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
19

2.3. Landasan Teori


Tulisan ini merupakan penelitian kajian budaya yang bertujuan mengungkap
makna wacana-wacana tokoh wayang Arjuna di era raja-raja Jawa Mataram Sultan
Agung hingga Zaman Surakarta, yang mana diskursus itu ditujukan untuk mendapatkan
hegemoni dari orang Jawa.
Sebagaimana tradisi penelitian ilmiah yang ciri-cirinya mengembangkan metode
berfikir kritis objektif, konsisten serta sistematis, maka dalam rangka pengungkapan
makna tujuan penelitian sangat perlu dituntun oleh teori-teori yang tepat. Ratna
(2010:49-53) mengemukakan bahwa peranan sebuah teori dalam sebuah penelitian
adalah sebagai penuntun memahami obyek yang akan mengarahkan peneliti
memecahkan masalah. Teori berbentuk konsep, argumentasi, dan proposisi yang lahir
dari pemikiran yang sensitif, tajam, dan sistematis. Sifat analisis kajian budaya yang
holistik dan ekletik mengarahkan penelitian ini bisa menggunakan multi disiplin serta
memanfaatkan berbagai teori secara dinamis dengan tujuan menghasilkan harmoni
makna.
Grand teori atau teori induk dari penelitian ini menggunakan teori wacana dari
Foucault, didukung teori-teori minor seperti semiotika, dan hegemoni. Khusus berkaitan
dengan semiotika pada bab pembahasan akan digunakan untuk mengungkap makna
nilai-nilai yang terkandung dalam figur wayang Arjuna beserta gelar-gelarnya. Makna-
makna yang terungkap berupa nilai-nilai etika serta estetika klasik orang Jawa
merupakan struktur-struktur mapan dari nilai-nilai Jawa. Hal itu adalah konsekuensi
dari semiotika yang harus mengacu pada ground atau kode budaya lokal. Ratna
berpandangan bahwa tidak bisa dihindari semiotika sebagai teori tanda selalu berkaitan
dengan semua teori lain. Untuk memudahkan pemahaman jalinan metodologi serta
teori yang digunakan dalam penelitian ini bisa dilihat pada gambar 1.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20

Diskursus

Diskursus Tokoh Arjuna


dalam Legitimasi Raja-raja Jawa Mataram
Hegemoni
Semiotika

Gambar 1. Jalinan Metodologi dan Teori

2.3.1. Teori Wacana/diskursus


Michel Foucault adalah filsuf anti-esensialisme dan pascastrukturalisme yang
intinya menolak tradisi berfikir tiga hal berikut.
1) Menolak kebenaran transendental sebagaimana mendominasi filsafat modern
seperti konsep Kant, Descartess dan Husserl tentang adanya kebenaran yang
mutlak atau kebenaran akhir asal-usul adanya sesuatu seperti Tuhan, ide, roh
absolut, kebenaran mutlak dan abadi berasal dari substansi transenden yang
metafisis yang berada di luar ruang dan waktu. Sebaliknya sebagimana pemikir
post modernisme yang lain Foucault beransumsi bahwa tidak ada sebuah
kebenaran mutlak, dan universal karena filsafat dan ilmu pengetahuan
bersumber dari upaya manusia untuk menyingkap rahasia alam. Dalam konsep
teorinya Arkeologi kemudian sejak tahun 1970 lebih populer disebut Genealogi,
Foucault mengemukakan bahwa tidak ada kebenaran dan ide yang diturunkan
dari “dunia sana” melainkan berasal dari konstruksi berfikir yang bersumber dari
wacana-wacana pada episteme kurun sejarah tertentu (Yusuf Lubis, 2014 b:68).
2) Menolak paradigma strukturalisme yang beransumsi bahwa perkembangan pola
pikir manusia lebih ditentukan oleh struktur/sistem seperti sistem sosial, politik,
ekonomi dan bahasa di sekitarnya. Bukan manusia yang menciptakan makna
melalui bahasa tetapi sebaliknya bahasa dan budayalah yang mengkonstruksi
pikiran manusia. Foucault mengkritisi pandangan kaum strukturalis yang
dipelopori oleh Levi Strauss, bahwa dengan hilangnya otonomi imajinasi kreatif
manusia sebagaimana asumsi strukturalisme berarti telah terjadi “kematian
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21

manusia” (the death of man). Bagi Foucault meskipun ia mengakui adanya


episteme/sistem yang menstruktur pikiran manusia, akan tetapi tidak bersifat
kontinyu sebaliknya diskontinyu bisa berubah dan berganti-ganti dari satu
zaman atau tempat ke zaman dan tempat yang lain (Yusuf Lubis, 2014a: 168).
3) Menolak konsep subyek universal sebagaimana teori Marx bahwa kesadaran
dikonstruksi oleh kelas sosial, sehingga ada perbedaan kesadaran, nilai-nilai
antara kelas proletar dan borjuis. Bagi Foucault subyek adalah produk sejarah,
produk dari diskursus yang berbeda dari satu era ke era lain. Kuasa yang oleh
Foucault dipahami sebagai kemampuan mengkomunikasikan pikiran untuk
mempengaruhi kehendak orang lain pada proses diskursif, menyebar pada
personal-personal dan inter-personal di bawah kendali pengetahuan yang telah
menyatu menjadi sistem pola pikir masyarakat yang diistilahkan Foucault
episteme oleh kuasa agung yaitu penguasa. Dalam proses sosialisasi dalam
episteme kurun sejarah tertentu manusia mengalami proses menjadi pribadi-
pribadi yang oleh Foucault disebut sebagai teknologi menjadi subyek. Pribadi-
pribadi atau subyek-subyek yang telah diformula oleh episteme pengetahuan
tersebut akan selalu berusaha senyawa dengan norma-norma dan aturan-aturan
sehingga secara otomatis menjadi jiwa-jiwa patuh kepada penguasa. Yusuf
Lubis (2014:168) dalam metode penelusuran historis tentang terkonstruksinya
berbagai macam pengetahuan yang oleh Foucault disebut genealogi,
mengemukakan bahwa dalam vase histori tertentu apa yang disebut sebagai
sebuah kebenaran dikonstruksi untuk mendistribusikan kekuasaan lewat
lembaga-lembaga hukum, pendidikan, pelatihan, penjara, rumah sakit, yang
hasilnya akan mencirikan pemilahan-pemilahan antara yang gila dan waras,
bodoh dengan pandai, patuh dan melawan, serta kawan dan lawan (Yusuf
Lubis, 2014b:73).
Teori Diskursus tersebut digunakan untuk menganalisis diskursus tokoh Arjuna
dalam legitimasi Raja-Raja Dinasti Mataram dalam pembahasan sebagai berikut.
Pertama, konsep teori Foucault power knowledge / kuasa pengetahuan
digunakan untuk menganalisis motifasi tindakan Sultan Agung dalam mewacanakan
tokoh Arjuna sebagai media membangun legitimasi kekuasaanya. Salah satu aspek
jalinan diskursus ilmu pengetahuan (savoir) dapat dijadikan sebagai alat yang ampuh
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
22

untuk menahlukan dan membuat orang menjadi patuh. Bagi penguasa pengetahuan
adalah sebuah ekspresi berkuasa. Pengetahuan yang diwacanakan oleh penguasa akan
membangun sebuah sistem berpikir yang disepakati dan disepahami oleh anggota
kolektif masyarakat dan sesuai dengan deskrepsi kebenaran menurut otoritas intelektual,
politis, dan elite pemerintah. Untuk mensosialisasikan wacana itu maka pengetahuan
didesentralisasi dan dipluralisasi, sehingga akan melahirkan dukungan produktif dari
masyarakat kepada penguasa (Faoucault dalam Yusuf Lubis, 2014a:77).
Berlandaskan pertimbangan bahwa pengetahuan bisa dijadikan alat untuk
membangun kekuasaan, maka Sultan Agung memilih Arjuna sebagai tokoh paling
populer yang memiliki reputasi nilai kultus, mitologi dan simbol kejayaan bagi
Mataram, sebagai media wacana. Wacana-wacana yang disosialisasikan kepada semua
lapisan dan penjuru masyarakat Mataram diaharapkan akan mampu menyatukan pola
pikir masyarakat yang pada akhirnya mendatangkan timbal balik dukungan terhadap
kekuasaan Raja-Raja Dinasti Mataram.
Kedua, konsep teori Foucault tentang jaringan kuasa, pengetahuan dan kebenaran
digunakan untuk menganalisis proses terjadinya diskursus tokoh Arjuna di Mataram.
Foucault dalam Yusuf Lubis (2014a : 176) mengemukakan adanya relasi yang sigfikan
antara kuasa – pengetahuan – kebenaran. Kuasa didapat dari pengetahuan, dan
dipraktikkan menggunakan wacana melalui bahasa. Dalam wacana itu kebenaran
dikonstruksi. Pada akhirnya kebenaran adalah kekuasaan itu sendiri. Teori tersebut
menuntun pemahaman bahwa wacana tokoh Arjuna bersumber dari Babad Tanah Jawi
disebarluaskan ke seluruh Mataram oleh agen-agen diskursif yaitu dalang, penanggap
dan penonton, dalam setiap ivent-ivent yang mentradisi di masyarakat, di keraton, di
rumah-rumah priyayi maupun masyarakat umum. Dalam satu periode wacana tokoh
Arjuna itu menyatu dalam kesadaran setiap subyek dan kolektif di Mataram membentuk
kesamaan sistem berpikir tentang Arjuna dan nilai-nilai pengetahuannya berkaitan
dengan legitimasi Raja-Raja Mataram, yang disebut episteme era Mataram atau budaya
ragam Mataraman sebagaimana mentradisi di keraton Jawa Surakarta dan Jogjakarta.
Ketiga, pandangan Foucault tentang tubuh digunakan untuk menganalisis proses
terbentuknya kepatuhan orang Jawa terhadap diskursus yang dibangun oleh Raja-Raja
Dinasti Mataram. Berkaitan teori tentang tubuh Foucault menguraikan bahwa
tubuh/subyek bukan terbentuk secara transenden tetapi melalui proses normalisasi dan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
23

regulasi (sosialisasi kepatuhan terhadap norma-norma dan aturan-aturan di masyarakat),


yang norma serta aturan itu dikonstruksi oleh rezim kebenaran atau episteme era sejarah
tertentu oleh penguasa (Barker, 2005:104).

2.3.2. Teori Hegemoni


Teori hegemoni dikemukakan oleh Antonio Gramsci, berkait dengan
pembahasan tentang masalah politik kebudayaan pada tahun 1970 dan 1980. Konsep
ini menyatakan bahwa ada suatu blok historis dan faksi kelas penguasa yang
menerapkan otoritas sosial dan kepemimpinan, terhadap kelas-kelas subordinat dengan
cara merebut persetujuan. Dalam hegemoni tersebut proses-proses penciptaan makna
yang digunakan untuk melahirkan dan mempertahankan representasi dan praktik-praktik
yang dominan atau otoritatif (Gramsci dalam Barker, 2005:467).
Teori hegemoni dalam penelitian ini akan dimanfaatkan untuk menuntun analisis
peranan raja-raja Jawa merebut persetujuan dari orang Jawa dengan makna tokoh
Arjuna yang pada finalnya akan melegitimasikan kekuasaan mereka. Wayang memiliki
sejarah panjang berkaitan dengan perananya dalam masyarakat untuk kepentingan
penguasa. Helen (2004) dalam jurnal internasional Journal of Southeast Asian Studies
menguraikan “The use of wayang (shadow puppets) as means of conveying political
propaganda in Java is far from new.” Sejak dahulu hingga sekarang wayang sering
dimanfaatkan penguasa untuk kepentingan politiknya.

2.3.3. Teori Semiotika


Untuk menganalisis nilai-nilai moral dalam figur wayang Arjuna dan gelar-
gelarnya, digunakan semiosis wacana dari Bartes. Tokoh terkemuka semiosis pasca
strukturalisme yang bernama lengkap Roland Barthes (1915-1980) lahir di Cherbourg
Prancis utara mengembangkan analisis wacana (Budiman, 2002:102). Hal itu berbeda
dengan semiotika struktural Saussure yang telah mendominasi model semiosis modern
barat pada umumnya, yang berasumsi bahwa wacana/parole (termasuk bentuk-bentuk
ujaran individual) adalah sub sistem semiosis yang tidak mungkin bisa terjangkau
analisis.
Sistem penandaan wacana Barthes terdiri dari dua tataran yaitu denotasi dan
konotasi. Denotasi disejajarkan dengan penanda ekspresi obyek, dan konotasi sebagai
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
24

petanda makna dari obyek. Kedua tataran lapis sistem semiosis baik denotasi maupun
konotasi terdiri dari dua unsur relasi signifikasi ekspresi (expression) dilambangkan E,
dan isi (content) dilambangkan C, yang saling dihubungkan dengan relasi (relation)
yang dilambangkan dengan R. Cara kerja lapis denotasi dan konotasi bisa dirumuskan
(ERC)
Berbeda dengan semiotika strukturalisme Saussure yang diasumsikan otonom
sebagai sebuah sistem bahasa yang obyektif yang harus ditaati bagi semua pengguna
bahasa, sistem wacana Barthes lebih dinamis memberi kebebasan interpretasi tanda bagi
subyek-subyek individu. Hoed (2011:66) tentang semiotika wacana Barthes
mengemukakan bahwa interpretasi konotasi tanda selalu bersifat arbitrer (mana suka)
digolongkan sebagai mitos jika konotasi itu telah tetap mencapai kemapanan sebagai
sebuah kewajaran di masyarakat; jika konotasi mengkristal menjadi sebuah pola pikir
masyarakat budaya tertentu digolongkan sebagai ideologi.
Konsep teori semiosis Barthes tersebut digunakan untuk menganalisis figur
tokoh wayang Arjuna dan gelar julukannya “Lelananging Jagat” bertujuan memahami
nilai-nilai yang terkandung sebagai anutan dari orang Jawa; yang mana nilai-nilai itu
sebagai motivasi penting dipilihnya Arjuna sebagai media membangun wacana
pengetahuan di Mataram.
Dalam analisis semiosis Barthes ini figur wayang Arjuna akan dianalisis
menggunakan konsep teori citra visual, dan julukan Arjuna yang digolongkan citra
lingguistik akan dianalisis sebagai citra penambat.

2.4. Model Penelitian


Sebuah model atau pola diperlukan untuk menampilkan gagasan yang abstrak
menjadi sebuah pola-pola visual yang mudah dipahami (2010:286). Model penelitian
tentang diskursus tokoh Arjuna dalam legitimasi raja-raja Mataram ini berupa diagram
yang menampilkan objek, variabel, dan masalah-masalah dan implikasi-implikasi yang
terjadi dari proses budaya tersebut. Rekonstruksi alur pemikiran penelitian ini bisa
divisualkan dalam gambar 2 berikut.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
25

NILAI-NILAI KULTUS,MITOLOGI, &


IDEOLOGI WAYANG

Sultan Agung, dan Raja- Para agen kuasa


raja Mataram dan DISKURSUS TOKOH ARJUNA pengetahuan wayang,
penerusnya dalang, penanggap &
penonton

(1) (2) (3)


Motifasi dipilihnya Arjuna Proses terjadinya diskursus Implikasi Diskursus
sebagai media diskursus dengan menyebar kuasa dalam kehidupan orang
Nilai-nilai kultus, mitologi pengetahuan Jawa
dan anutan moral Arjuna

Gambar 2. Model Penelitian.

Dari gambar di atas dapat diuraikan alur pemikiran penelitian sebagai berikut:

1) Wayang adalah jenis teater tradisi yang telah berkembang di Jawa dahulu hingga
sekarang. Kelestarian wayang tersebut karena orang Jawa menganggap bahwa
wayang memiliki keterkaitan dengan kehidupannya dalam hal sejarah, kultus,
mitologi, dan tokoh anutan.
2) Menyadari posisi wayang yang sangat satrategis dalam kehidupan budaya Jawa,
maka Sultan Agung sebagai raja Mataram yang sangat membutuhkan legitimasi
kekuasaan dari masyarakat Jawa, memilih wayang tokoh Arjuna sebagai media
diskursus. Pertimbangan pemilihan itu adalah tokoh Arjuna selain sangat populer
dan diidolakan oleh orang Jawa juga dikultuskan, dan dimitoskan sebagai pembawa
kejayaan bagi seorang raja.
3) Diskursus Arjuna diwacanakan dengan cara menyebar power knowledge kepada
masyarakat pendukung wayang yaitu dalang, penanggap, dan penonton yang terdiri
dari masyarakat luas.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
26

4) Implikasi dari diskursus Arjuna itu, menjadikan masyarakat jawa secara pribadi dan
kolektif tersosialisasi terhadap pengetahuan tentang Arjuna sehingga menerima
secara total dalam bentuk kesatuan pemahaman, pola pikir dan perilaku berkaitan
tentang mitologi, serta ideologi Jawa berkaitan tentang Arjuna.
5) Proses sosialisasi masyarakat baik secara individu atau kolektif dalam episteme era
Mataram Sultan Agung itu secara otomatis menumbuhkan hegemoni terhadap
legitimasi Raja-Raja Mataram.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
27

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian


Ratna (2010:289) mengutip metode penelitian dari Black dan Champion (1999)
mengemukakan bahwa rancangan penelitian adalah sebuah desain proses pelaksanaan
penelitian semacam blue prient yang bertujuan memberi kejelasan keseluruhan proses
baik pengumpulan data, sumber data, analisis, paradigma serta pendekatan yang
digunakan.
Penelitian ini dirancang dengan paradigma kajian budaya ranah postmodernisme,
menggunakan pendekatan hermeneutik sebagai model analisis, dan memanfaatkan
metode analisis kualitatif interpretatif yang akan mengungkap nilai-nilai serta makna-
makna dari objek material pewayangan dalam ground budaya Jawa di masa klasik
maupun kekinian.
Paradigma, oleh Ratna (2010:38) didefinisikan sebagai kerangka pokok sebuah
ilmu yang membedakan dengan ilmu lain. Ia mengutip pandangan yang lebih lengkap
dari Lincoln dan Guba yang mendefinisikan bahwa paradigma adalah sistem anggapan
dasar pandangan dunia yang mengarahkan peneliti dalam menentukan metodologi dan
kerangka ontologisnya.
Paradigma post modernisme lahir di Inggris sejak tahun 1960-an melalui lembaga
Centre of contemporery Cultural Study (CCCS) dipelopori oleh Richard Hoggart,
Raymond William, E.P. Thomson, Stuart Hall, Paul Willis, dan Dick Hebdige. Dari
ketiga pelopor tersebut kajian budaya melangkah lebih jauh memanfaatkan budaya
sebagai arena pertarungan ideologi, beroperasi secara independen bukan semata-mata
sebuah refleksi dari sistem ekonomi. Sebagai sebuah ilmu paradigma postmodernisme
memiliki ciri umum filosofis yaitu secara ontologi kajian budaya digali dari hakikat
multidisiplin, multikultur, budaya minoritas, dan analisis permukaan; secara
epistemologis kajian budaya termasuk ranah postmodernisme yang melakukan analisis
melalui teori-teori post strukturalisme; dan tidak berbeda dengan ilmu lain, kajian
budaya juga digunakan untuk memahami keseluruhan aspek budaya. Perbedaanya, ilmu
pengetahuan lain lebih cenderung untuk mempertahankan eksistensi yang sudah ada,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
28

sebaliknya kajian budaya memperlakukan secara kritis, politis, partisipatoris, bahkan


secara dekonstruktif.
Dalam tulisan ini paradigma post modernisme diposisikan sebagai sudut pandang
teoritis, yang ciri utamanya kritis dalam memahami objek. Penggunaan teori-teori
tersebut bertujuan sebagai alat (1) memperjelas suatu fenomena yang muncul pada
tahap penelusuran masalah; (2) sebagai alat peringkas atau alat seleksi data pada
tahapan pengumpulan data; dan (3) sebagai alat untuk mempertajam kajian pada tahap
analisis (Storey dalam Ratna, 2010:169).
Pendekatan oleh Ratna (2010:45) diartikan sebagai cara mendekati, menjinakkan
sehingga kahekat objek dapat diungkapkan sejelas mungkin. Secara praktis pendekatan
adalah model analisis yang akan mempermudah pengungkapan makna. Dalam
penelitian ini digunakan pendekatan hermeneutik yang diposisikan sebagai sudut
pandang filosofis.
Sumaryono (1991:40) mengutip pandangan dari Palmer (1969) mengemukakan
bahwa hermeneutik adalah proses menelaah isi dan maksud yang direpresentasikan oleh
teks hingga pada makna terdalam dan laten. Pakar hermeneutik sejarah dan psikis
Dilthey mengemukakan bahwa bila kita mencoba menjelaskan alam, saat itu pula kita
memahami kehidupan batin (psychic life). Pemahaman terhadap kehidupan sama
dengan memahami diri-sendiri. Pemahaman itu didapat manusia karena mengalami
sebuah pengalaman (Sumaryono, 1991:51).
Berkaitan dengan pengalaman yang akan membentuk pemahaman individu
dalam sejarah Dilthey mengungkapkan bahwa pribadi-pribadi dalam masyarakat selalu
dalam kondisi tersejarahkan. Ia membagi individu hidup dalam dua sistem, yaitu
sistem ekternal yang ditentukan oleh ruang dan waktu, seperti organisasi-organisasi
sosial, politik, ekonomi, tehnologi serta keagamaan, dan internal adalam sistem
individual. Hanya pengetahuan tentang sistem eksternal saja yang bisa dijadikan bekal
setiap individu untuk meng-interpretasi secara obyektif tentang situasi historis
(Sumaryono, 1991:49).
Individu merupakan produk dari lingkungan eksternalnya seperti misalnya
sejarah, keluarga dan peraturan-peraturan kemasyarakatan, tetapi individu tersebut juga
merupakan person psikologis yang mampu merusak lingkungan eksternalnya atas
alasan-alsan pribadi. Dalam hal cara kerja pendekatan hermeneutik, Dilthey
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
29

mengemukakan dua prosedur yaitu interpretasi data dan riset sejarah. Pertama,
interpretasi data, Dilthey memilahkan dua katagori yaitu benda dan manusia. Terhadap
benda, manusia hanya mampu memahami, dan terhadap manusia-lah bisa dilakukan
interpretasi. Proses dimana manusia bisa menangkap manifestasi kejiwaan dengan
melihat tanda-tanda dari pancaindera dari individu itulah disebut komprehensi atau
pemahaman. Kedua riset sejarah Dilthey mengemukakan tiga langkah: (a) memahami
sudut pandang pelaku sejarah, (b) memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka
pada hal-hal yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa sejarah, (c) menilai
peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat tokoh sejarah
itu hidup (Dilthey dalam Sumaryono, 1991:53-59).
Konsep-konsep Dilthey tersebut akan mengarahkan penelitian ini dalam
mendekati obyek diskursus Arjuna dalam legitimasi Raja-Raja Jawa yang lebih
mengarah pada interpretasi sejarah episteme era Sultan Agung dan penerusnya.
Lebih lanjut Ratna menguraikan langkah kerja pendekatan dalam penelitian ini
yaitu: (a) pemahaman secara umum, secara keseluruhan dalam rangka menemukan
kedudukan objek dalam totalitas kebudayaan sebagai analisis makro, (b) pemahaman
dengan intensitas pada objek, sebagai analisis mikro, dan (c) mengadakan hubungan
dialektis antara analisis makro dan mikro, sekaligus menemukan maknanya (Ratna,
2010:407).
Dalam hal metode, penelitian ini dirancang menggunakan metode analisis
kualitatif interpretatif, yang menekankan intensitas kualitas nilai-nilai. Metode ini
dalam ilmu-ilmu humaniora terutama kajian budaya sangat dianjurkan karena
kekhasannya yang bersifat penafsiran dan tekstual (Ratna 2010:307). Rangkaian kerja
dari metode ini dimulai dari pengumpulan data, klasifikasi, komperasi, dan dilanjutkan
interpretasi yaitu menguraikan segala sesuatu yang ada di balik data yang ada, yang
bertujuan akhir kualitias obyektifitas (Ratna 2010:307).
Dalam hal obyektifitas, berbeda dengan metode penelitian kealaman yang
diperoleh dengan pembuktian, metode kualitatif ini dengan cara pemahaman,
mengaitkan objek dengan referensi-referensi yang relevan. Benar bahwa interpretasi
berasal dari interpretator, tetapi dalam teori kontemporer interpretator bukan semata-
mata merupakan kualitas subyektif, tetapi intersubyektif. Artinya, interpretator dalam
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
30

hubungan ini peneliti sebagai anggota masyarakat pada dasarnya membawa ide
kelompok dan/atau masyarakat (Ratna 2010:309).
Secara umum penelitian yang menggunakan analisis kualitatif akan menghasilkan
data deskreptif berupa kata-kata dan/atau ungkapan-ungkapan serta data-data yang
dapat diamati.
Untuk lebih mudah dalam pemahaman rancangan penelitian ini juga disajikan
desain penelitian dalam bentuk gambar 3 diagram sebagai berikut.

Paradigma: Sudut
pandang teoritis digunakan Pendekatan:
paradigma Kajian Budaya Hermeneutik
sistem berfikir kritis
wilayah Post Modernisme

Data: Fenomena-
fenomena diskursus
Fenomena: tokoh Arjuna serta
Diskursus Tokoh implikasi-implikasinya
Arjuna dalam dalam masyarakat
Teori Legitimasi Raja-raja Jawa
Diskursus ,
Dinasti Mataram
Hegemoni, &
semiotika

Analisis data

Tehnik
Pengumpulan Data Konsep-konsep
Teori-teori

Gambar 3. Diagram Rancangan Penelitian


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
31

3.2. Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian ini berada dalam wilayah-wilayah sumber dan pengembangan
budaya wayang di Jawa, di antaranya kawasan Keraton Surakarta, Pura
Mangkunagaran, Prodi Kajian Budaya UNS, dan ISI Surakarta dalam administrasi
pemerintah Kota Surakarta, Propinsi Jawa Tengah. Pemilihan tempat tersebut atas
pertimbangan berikut.
Pertama, Keraton Surakarta dan Mangkunagaran hingga saat ini masih diakui dan
berwibawa di tengah masyarakat sebagai trah peradaban Mataram Islam, sumber
budaya Jawa serta pusat kekuasan Jawa sebelum kemerdekaan.
Kedua di Keraton Surakarta dan Mangkunagaran dapat dilacak isyu-isyu wacana
yang berkaitan dengan tokoh Arjuna, melalui wawancara dengan para abdi dalem dan
empu-empu kedua keraton, serta sumber-sumber tertulis di kedua keraton yaitu Sana
Pustaka dan Reksa Pustaka.
Ketiga, Program studi Kajian Budaya UNS, juga lokasi sangat penting dalam
penelitian ini, sebagai wahana transformasi keilmuan bidang humaniora terutama
paradigma kajian budaya, wilayah struktural, poststruktural, modernis, post modernis
maupun kajian budaya populer. Lebih-lebih disiplin ilmu Semiotika yang menjadi
kunci pembahasan dalam penelitian ini, Prodi Kajian Budaya Pasca Sarjanna UNS,
menyediakan pakar-pakar serta buku-buku referensi yang cukup memadai.
Keempat, ISI Surakarta juga termasuk lokasi penelitian yang penting karena, di
sana terdapat beberapa pakar pedalangan yang memungkinkan dijadikan informan,
serta tersedia banyak tulisan tentang wayang di perpustakaan terutama laporan
penelitian, tesis maupun disertasi.

3.3. Jenis dan Sumber Data


Ratna (2010:143) mengutip pendapat Kerlinger, mengkatagorikan bahwa data
adalah hasil penelitian baik yang diperoleh melalui pengamatan, wawancara, dan proses
pengamatan. Dalam penelitian data adalah rekaman dari fakta-fakta yang merupakan
sasaran analisis penelitian.
Dikaitkan antara ilmu nomonetis dan ideografis, variabel kualitatif dan
kuantitatif data dibedakan menjadi dua jenis yaitu: data kuantitatif dalam bentuk angka
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
32

(numerik) dan data kualitatif dalam bentuk non-angka (katagorisasi) seperti sikap-sikap,
tingkah laku, pemahaman dan sebagainya.
Sumber data menurut Ratna baik jenis penelitian kuantitatif maupun kualitatif
dibedakan menjadi dua yaitu: a) sumber primer sumber aktual pada saat terjadinya
peristiwa pengumpulan data seperti informan atau responden, dan b) sumber sekunder,
tangan kedua atau sumber lain yang telah ada sebelum penelitian dilakukan seperti
artikel dalam media massa, buku teks, publikasi organisasi pemerintah ataupun hasil
penelitian baik yang sudah dipublikasikan ataupun belum. Dengan demikian, data juga
dibedakan menjadi dua yaitu: a) data primer seperti hasil wawancara maupun survei,
dan b) data sekunder seperti berbagai pendapat yang diambil melalui sumber sekunder
untuk menjelaskan data primer. Akan tetapi diuraikan Ratna lebih lanjut bahwa
pengertian data primer maupun sekunder sangat relatif tergantung jenis dan tujuan
penelitian. Secara umum hasil wawancara, survei, observasi dan diskusi kelompok
merupakan jenis data primer dalam penelitian lapangan, tetapi dalam penelitian pustaka
data tersebut dikatagorikan menjadi data sekund (Ratna, 2010:143).
Berdasar katagori di atas penelitian berjudul Diskursus Tokoh Arjuna dalam
Legitimasi Raja-Raja Mataram ini adalah penelitian pustaka yang menggunakan data
primer berbagai teks dan wacana dari buku-buku, jurnal, majalah, dan media internet,
sehingga sumber data diperoleh dari buku-buku, jurnal, majalah, dan media internet itu
pula. Sumber data tersebut didapat penulis dari koleksi pribadi serta koleksi
perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunagaran, ISI Surakarta, dan perpustakaan pasca
sarjana UNS. Data sekunder berupa hasil wawancara, dan observasi yang bersumber
dari para informan dan pengamatan langsung di lapangan pentas wayang ataupun ritual-
ritual yang berkaitan dengan diskursus tokoh Arjuna.

3.4.Teknik Penentuan Informan


Berkaitan dengan informan Ratna (2010:227) mendefinisikan orang yang
memberi informasi dalam hal teknik wawancara. Peranannya dalam penelitian ini
memberi kejelasan, tambahan informasi serta klarifikasi data pustaka berkaitan dengan
obyek material wacana-wacana Arjuna serta kaitanya dengan hegemoni serta legitimasi
raja-raja Jawa Mataram.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
33

Dalam sebuah penelitian informan diperlakukan bukan sebagai obyek melainkan


sebagai subjek karena ia ikut berperan memberi informasi kejelasan, kejernihan dan
klarifikasi sehingga hasil analisis penelitian menjadi obyektif, bahkan ilmu pengetahuan
sebagai bentuk penelitian emik sekaligus etik, dengan temuan-temuannya merupakan
kerja sama antara subjek dan objek antara peneliti dan informan.
Penentuan informan dilakukan secara purposif yaitu informan yang akan
diwawancarai adalah orang yang diyakini mampu memberikan informasi atau data yang
diperlukan dalam penelitian ini, yaitu tentang makna tokoh Arjuna serta hal-hal yang
berkaitan tentang legitimasi raja-raja Jawa. Memenuhi syarat teknik purposif, peneliti
telah memiliki bekal dan pemahaman awal tentang objek material yang diteliti,
sehingga dapat langsung menunjuk para informan kunci (key informan) terdiri dari para
budayawan, dan praktisi pewayangan, baik abdi dalem kabudayan keraton,
Mangkunagaran, abdi dalem dalang, peniti wayang pusaka keraton, maupun pakar
wayang di lingkungan ISI Surakarta, yang pada umumnya mereka telah menekuni
bidang itu dalam jangka waktu cukup panjang. Secara lebih rinci tehnik penentuan
informan disyaratkan sebagai berikut.
1) Bisa diajak berkomunikasi.
2) Memiliki pengetahuan tentang wayang terutama tokoh Arjuna, segi kerupaan
maupun filosofi.
3) Budayawan keraton, Mangkunagaran, ataupun akademisi budaya yang memiliki
pengetahuan tentang tradisi budaya yang berhubungan dengan silsilah raja-raja
Jawa, serta ritual-ritual budaya yang berhubungan dengan diskursus tokoh
Arjuna.
4) Empu di keraton maupun Mangkunagaran, dalang ataupun akademisi budaya
pedalangan yang memiliki pengetahuan tentang sastra maupun lakon-lakon
wayang yang berkaitan dengan Arjuna.

Berdasarkan kreteria di atas informan-informan yang akan diwawancarai


dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, informan dari dalam keraton dan Pura
Mangkunagaran. Kedua, informan dari para akademisi budaya di Fakultas Sastra,
maupun Prodi Pengkajian Budaya Pasca Sarjana UNS, maupun Jurusan Pedalangan di
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
34

ISI Surakarta. Ketiga informan dari praktisi dalang ataupun tokoh masyarakat yang
memiliki pengetahuan tentang wayang dan legitimasi raja-raja Jawa.

3.5. Instrumen Penelitian


Dalam pengumpulan data penelitian ini menggunakan instrumen-instrumen
sebagai berikut.
1) Peneliti sendiri. Peneliti merupakan instrumen terpenting dalam penelitian ini.
Data yang dikumpulkan adalah data kualitatif yang di peroleh dari para informan
dan peristiwa atau obyek yang diobservasi, yaitu dari para budayawan serta
Empu Pedalangan Keraton Surakarta, dan Mangkunagaran. Hasil wawancara
itu, serta pengamatan langsung terhadap ritual wayang tokoh Arjuna pada Hari
Anggarakasih (Selasa Kliwon) pada saat ngeses (mengeluarkan wayang dari
dalam kotak untuk diangin-anginkan) di Keraton, dan hari Jum’at Kliwon untuk
wayang di Mangkunagaran, diperlukan untuk mengklarifikasi data pustaka yang
dimiliki peneliti. Demikian pula data observasi pentas wayang berkaitan dengan
diskursus tokoh Arjuna, selain penulis sebagai pengamat kadang-kadang juga
sebagai pelaku yaitu dalang.
2) Pedoman wawancara. Instrumen ini digunakan sebagai panduan dalam
melakukan wawancara dengan informan agar memperoleh data yang diperlukan
dalam upaya menemukan jawaban atas rumusan masalah penelitian. Dalam hal
ini peneliti tidak mencatat secara khusus tetapi mengacu pada topik-topik yang
memerlukan klarifikasi dengan informan kemudian melakukan wawancara saat
bertemu di tempat pentas atau kerja, mengingat para informan adalah teman-
teman akrab peneliti di lingkungan Keraton Surakarta maupun Mangkunagaran.
Jika terjadi pemahaman kurang jelas dari hasil wawancara, peneliti
menghubungi lagi informan lewat hand phone.
3) Alat perekam gambar (kamera dan scanner) dan alat perekam suara. Alat
perekam gambar akan digunakan untuk memperoleh data visual dari objek
amatan, sedangkan alat perekam suara akan digunakan dalam upaya merekam
informasi yang didapat dari wawancara dengan informan. Dalam penelitian ini,
oleh karena yang diperlukan adalah data sekunder, rekaman wawancara dari
informan sebagai klarifikasi data primer pustaka, maka peneliti menggunakan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
35

alat rekam hand phone. Pertimbangannya, selain sangat praktis dibawa juga
relatif bisa menyimpan data rekaman dalam durasi waktu relatif panjang.
Sedangkan data pelengkap berupa rekaman pentas wayang berkaitan diskursus
Arjuna, penulis menggunakan keping compact disc (CD) koleksi Pasinaon Dalang
Mangkunagaran (PDMN), yang kebetulan peneliti kelola sendiri.
4) Alat tulis. Alat ini banyak digunakan dalam proses pencatatan sebagai bagian
proses pengumpulan data, baik dalam wawancara, observasi, dan kepustakaan.
Dalam hal ini selain menggunakan alat tulis manual, juga mengandalkan
penulisan program WS dan penyimpanan dalam file computer di laptop milik
peneliti.

3.6.Teknik Pengumpulan Data


Kajian tentang Diskursus Arjuna dalam legitimasi raja-raja Mataram ini adalah
kajian kepustakaan, maka pengumpulan data lebih banyak digali dari sumber-sumber
pustaka. Pengumpulan data melalui wawancara digunakan untuk memperkaya data
serta klarifikasi dari fenomena budaya yang masih berlangsung di masyarakat Jawa
sekarang. Sedangkan observasi lapangan dibutuhkan untuk mengumpulkan data-data
live tentang fenomena-fenomena serta isyu-isyu budaya berkaitan dengan tokoh Arjuna
serta tradisi-tradisi raja-raja di Surakarta maupun Mangkunagaran berkaitan dengan
wacana-wacana yang terjadi. Adapaun detail kerja tehnik masing-masing dijelaskan
sebagai berikut.

3.6.1. Observasi
Jenis observasi yang dilakukan adalah observasi langsung, yakni peneliti
melakukan pengamatan langsung membaur dalam ritual-ritual tradisi serta pentas para
dalang informan. Hasil pengamatan ini diposisikan sebagai data sekunder. Kegunaan
dari observasi langsung ini adalah sebagai berikut:
1) Untuk mendapatkan pengalaman langsung dari ekspresi masyarakat pelaku
budaya dalam upacara-upacara yang diselenggarakan, pentas wayang dari
dalang, pengrawit, pesindhen maupun respon penonton. Data itu digunakan
untuk mengecek langsung kebenaran yang didapatkan dari informasi wawancara
maupun studi pustaka.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
36

2) Untuk mendapatkan pengalaman langsung dari respon serta pandangan-


pandangan masyarakat yang hasilnya menjadi catatan data kejadian yang
sebenarnya.

3.6.2. Wawancara
Jenis wawancara dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam dengan
tujuan untuk mengetahui tanggapan, serta penerimaan masyarakat dalam
mengungkapkan pikiran-pikiran kolektivitas selama proses penelitian, mengingat
informan dan koresponden adalah individu-individu yang aktif, bukan pasif, memahami
situasi dengan horizon harapannya, dengan masa lalu dan masa kininya (Kutha Ratna
2010:223). Selain wawancara khusus, dialog juga dilakukan pada waktu observasi.
Manfaat dari teknik ini adalah untuk mengetahui tanggapan masyarakat dalam hal
fungsi dan peranan upacara-upacara adat berkaitan tentang kultus Arjuna, serta isyu-
isyu perilaku para raja Jawa dalam mengkultuskan tokoh Arjuna. Pitana (2008:51)
mengemukakan bahwa wawancara mendalam dilaksanakan dalam tahapan sebagai
berikut.
1) Menentukan seleksi informan yang diwawancarai.
2) Pendekatan informan terpilih untuk diwawancarai.
3) Mempersiapkan instrumen pendukung, yaitu (a) pedoman atau materi
wawancara;(b) alat tulis, dan (c) alat perekam suara.
4) Melakukan wawancara dan memelihara agar tetap kondusif dan produktif.
5) Merangkum hasilnya.

3.6.3. Studi Kepustakaan


Studi kepustakaan adalah pengumpulan data-data dari buku-buku, jurnal-jurnal,
dan hasil penelitian terdahulu dalam konteks perkembangan penulisan tentang tokoh
Arjuna. Studi pustaka juga ditujukan untuk mencari pengertian-pengertian, konsep-
konsep, yang dikembangkan dalam penelitian sebagai data primer.

3.6.4. Studi Dokumen


Studi dokumen adalah tehnik pengumpulan data yang bersumber dari
pengumpulan data non insani, seperti surat-surat, laporan resmi, catatan harian, data
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
37

absen, berita acara dan sebagainya. Termasuk juga foto-foto, dan audio visual. Untuk
mendapatkan dokumen-dokumen tersebut peneliti harus melakukan pengumpulan data
yang memuat informasi tentang figur wayang Arjuna, dan ornamen-ornamen
busananya. Data yang diperoleh dari dokumen ini diposisikan sebagai data sekunder.
Dalam penelitian ini, semua tehnik pengumpulan data tersebut tidak saja
digunakan untuk memperoleh data, tetapi sekaligus juga sebagai bagian dari proses
keabsahan data, karena untuk mendapatkan keabsahan data, menurut Pitana (2008:52)
mengutip pendapat Moleong peneliti menggunakan yang disebut triangulasi, yang
memiliki tiga prosedur yaitu pertama, membandingkan data observasi dengan data
interviev; kedua, membandingkan informasi dari sumber satu dengan yang lainnya; dan
ketiga membandingkan hasil interview dengan dokumen yang terkait.

3.7. Teknik Analisis Data


Ratna (2010:310) mengutip pendapat Miles dan Huberman bahwa analisis data
dilakukan dengan empat langkah proses analisis data yaitu: (a) pengumpulan data, (b)
reduksi data. (c) penyajian data, dan (d) penarikan simpulan.
Pada tahap pengumpulan data, dilakukan studi pustaka dengan tehnik membaca
buku-buku, jurnal, majalah, dan juga browsing internet tentang fakta-fakta adanya
fenomena budaya diskursus tokoh Arjuna beserta implikasi-implikasinya dalam
kehidupan masyarakat budaya Jawa. Dari pemahaman tentang fakta-fakta itu dicari
data-data tertulis kemudian diklarifikasi dengan observasi lapangan dengan menonton
wayang dan wawancara dengan para budayawan, empu, serta warga masyarakat budaya
Jawa yang memiliki pengalaman dan kompetensi berkaitan dengan masalah yang
sedang dianalisis.
Tahap reduksi data adalah tahap menata data-data yang didapat dengan
memilah-milah, mengklasifikasi, serta melengkapi kompilasi data kemudian ditata pada
file-file khusus dengan pengkodean. Untuk mempermudah penggunaan, sebelum
dikelompokkan lebih dahulu ditulis dalam bentuk resume, sinopsis, maupun ringkasan-
ringkasan.
Tahap penyajian data adalah langkah penyusunan deskripsi terstruktur untuk
menyajikan makna baru dalam penelitian yang disebut tahap interpretasi, baik secara
etik maupun emik, terhadap unsur-unsur maupun totalitas, baru kemudian langkah
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
38

terakhir penyajian simpulan yang salah satunya berupa saran-saran adanya penelitian
berikutnya pada bidang masalah yang belum sempat dibahas pada sebuah penelitian.
Menurut Miles dan Huberman ketiga tahap terakhir, reduksi data, penyajian data dan
simpulan itulah tahap analisis data.
Khusus mengenai interpretasi Ratna mendeskripsikan bahwa proses itu memiliki
kesamaan dengan imajinasi, khayalan, kreativitas, dan bentuk-bentuk kontemplasi
rohaniah lain, kekhasannya interpretasi bertujuan akhir kualitas obyektifitas. Interpretasi
bukan ekpresi dan aktualisasi personal tetapi interpersonal sebagai bagian sosial budaya
masyarakat yang berlandasan kuat terhadap tiga pijakan yaitu: (a) secara ontologis
merupakan hakekat dasar manusia, (b) secara epistemologis ditunjukan dengan
interpretasi secara obyektif, dan (c) secara aksiologis interpretasi bertujuan
mengembangkan aspek kehidupan manusia secara keseluruhan (Ratna, 2010:307).
Berlandaskan ketiga pijakan di atas interpretasi unsur-unsur maupun
keseluruhan diskursus berkaitan dengan tokoh Arjuna akan menyajikan makna baru
sebagai berikut.
1) Hakekat dari terjadinya wacana-wacana tentang Arjuna berkaitan dengan
legitimasi raja-raja Jawa Mataram dalam masyarakat budaya Jawa;
2) Menyajikan proses terjadinya diskursus Arjuna di Mataram yang kemudian akan
membangun kuasa pengetahuan berkaitan dengan wayang;
3) Menunjukkan bahwa hasil penelitian yang mengurai tentang implikasi-implikasi
wacana tentang tokoh Arjuna terhadap budaya Jawa sekarang perlu dipahami
dan disikapi secara proporsional terutama berkaitan dengan tranformasi budaya
di era sekarang.

3.8. Teknik Penyajian Hasil Analisis Data


Teknik penyajian hasil analisis data adalah dengan menggunakan gabungan
antara informal dan formal. Tehnik penyajian informal adalah penyajian hasil analisis
secara naratif dengan menggunakan Bahasa Indonesia ragam Ilmiah, sedangkan teknik
penyajian formal adalah hasil analisis dalam bentuk gambar, bagan, diagram, foto, atau
semacamnya. Teknik penyajian ini digunakan lebih untuk tujuan mendukung kualitas
narasi hasil analitis. Keseluruhan sajian urainnya akan dibagi menjadi lima bab dengan
berpedoman teknik penulisan karya ilmiah yang lazim berlaku di kalangan akademis.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
39

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Sebab Dipilihnya Tokoh Arjuna Oleh Raja-Raja Mataram sebagai Media
Diskursus
Mataram adalah sebuah era peradaban dalam sejarah Jawa yang sangat
termasyur hingga saat ini. Dalam sejarah Jawa, Mataram bermakna dua pengertian era
Hindu didirikan oleh Dinasti Sanjaya pada abad IX dan era Islam yang didirikan oleh
Ki Gedhe Pemanahan pada abad XVI. Dalam pembahasan ini Mataram mengacu pada
makna terakhir era Islam, pasca runtuhnya peradaban sebelumnya Pajang atau Demak.
Jejak-jejak kemasyuran Mataram Islam hingga kini masih disebut-sebut dalam arena
sejarah dan budaya, karena dinasti keturunanya hingga abad 21 saat ini masih eksis di
tengah-tengah masyarakat Indonesia, dan masih berwibawa di bidang budaya yaitu
Keraton Surakarta, Kasultanan Jogjakarta, Kadipaten Mangkunagaran dan Pakualaman
Jogjakarta.
Sebagaimana telah disinggung dalam konsep “Raja-Raja Dinasti Mataram” pada
bab II, Graaf dan Pigeaud (2003:249) dalam bukunya berjudul Kerajaan Islam Pertama
di Jawa, mendeskrepsikan bahwa Mataram didirikan oleh Ki Gedhe Pemanahan
seorang prajurit karismatik dari Sela (Purwodadi Grobogan) pada tahun 1577 M, di
Kota Gede. Sebelum dibangun menjadi kerajaan, wilayah itu berujud hutan yang
disebut Hutan Mentaok, bagian dari wilayah Sultan Hadiwijaya di Pajang. Hutan yang
terkenal angker itu dianugerahkan kepada Pemanahan sebagai hadiah kemenangan
Pajang atas Jipang, setelah terjadi kemelut perebutan tahta Demak berkepanjangan di
antara pewaris keturunan Sultan Demak, setelah Raden Patah wafat.
Setelah Ki Gedhe Pemanahan wafat, penguasa Mataram diteruskan oleh raja-
raja trah keturunannya, yaitu Panembahan Senopati, Sunan Hanyakrawati (seda
Krapyak), Sultan Agung, Sunan Mangkurat I dan seterusnya. Sepeninggal perintisnya
Pemanahan dan Panembahan Senopati, pusat pemerintahan Mataram berpindah-pindah
sejak dari Kota Gedhe, ke Kedhaton Plered, kemudian berpindah ke Kartasura dan
Surakarta, disebabkan terjadinya berbagai pergolakan perebutan tahta di antara para raja
dan pangeran keturunan Dinasti Mataram yang pada akhirnya karena campur tangan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
40

Kompeni, peradaban Mataram Surakarta dan Jogjakarta tersebut dikuasai Belanda


hingga era kemerdekaan 1945.
Di antara semua nama Raja-Raja Mataram, Graaf dan Pegeaud (2003:ix)
mencatat Sultan Agung (1613 – 1645) paling masyur dikarenakan karya-karya di masa
pemerintahanya masih dikenang hingga era sekarang. Karya yang pada jamannya
dianggap monumental itu antara lain adalah Serat Sastragendhing, Penanggalan Tahun
Jawa, Bedaya Ketawang, dan sikap patriotismenya menyerang Belanda di Batavia pada
tahun 1628 dan 1629. Satu lagi karya Sultan Agung yang masih mewarnai corak budaya
Jawa dalam hal religiusitas dan seni hingga saat ini, adalah penyusunan Babad Tanah
Jawi. Penyusunan Babad Tanah Jawi dilatarbelakangi carut marut suasana politik
Mataram penaklukan raja-raja di pesisir utara, Jawa timur dan barat diantaranya
Madiun, Giri, Pati, Tuban, Pasuruan, dan Banten (Graaf, 2002: 32-63). Berbagai
peperangan itu disebabkan keengganan raja-raja di luar Mataram mengakui kekuasaan
Raja-Raja Mataram sebagai raja Tanah Jawa penerus Pajang, dengan alasan bahwa
kerajaan yang dirintis oleh Pemanahan dan Panembahan Senopati adalah negara baru di
luar lajer (jalur silsilah) keturunan kerajaan agung sebelumnya yaitu Demak dan
Majapahit (Graaf dan Pegeaud, 2003:251).
Berkaitan dengan uraian Graaf (2002:327-328) tentang Babad Tanah Jawi,
silsilah Raja-Raja Mataram sebagai karya sastra yang sangat monumental dan populer
di era Mataram, yang menurutnya dicipta era Sultan Agung antara Tahun 1641 –
1645, hingga kini masih menjadi perdebatan di kalangan para sejarawan. Soemarsaid
Moertono (1985:36), dalam bukunya Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa
Lampau, mengutip uraian Graaf tersebut dan melengkapinya bahwa proses tersusunnya
diperkirakan sejak era Sultan Agung (1613 – 1645) hingga Hamengku Buwana V di
Jogjakarta (1822-1826, 1828 – 1855). Margana (2004:140-141) mengutip pendapat
Brumund, dalam Pujangga Jawa dalam Bayang-bayang Kolonial, mengemukakan
bahwa Babad Tanah Jawi, adalah mitologi Raja-Raja Jawa yang ditulis oleh banyak
carik, maupun pujangga sejak era Sultan Agung dan baru diselesaiakan oleh Carik Bajra
dan dipublikasikan untuk umum di era PB II Kartasura (1726-1749). Demikian pula
Moedjanto (1987:21) dalam Konsep Kekuasaan Jawa Penerapannya oleh Raja-Raja
Jawa memberi keterangan agak lebih gamblang sebagai berikut “ Meskipun Babad
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
41

Tanah Jawi sudah ada sejak zaman Sultan Agung, tetapi versinya yang sampai kepada
kita berasal dari masa Kartasura (1681-1743)”.
Dalam Babad Tanah Jawi diuraikan bahwa Raja-Raja Mataram adalah
keturunan dari tokoh wayang Arjuna. Wayang Arjuna yang oleh masyarakat Jawa pada
umumnya dipahami sebagai boneka wayang yang bersumber dari wira carita kuno
Mahabarata diwacanakan ke tengah-tengah masyarakat Mataram melalui mitos-mitos,
karya sastra dan lebih khusus dalam pertunjukan wayang. Analisis ini menjadi sangat
menarik karena menghadirkan asumsi-asumsi faktor-faktor Arjuna menjadi pilihan
Raja-Raja Mataram dalam membangun diskursus, bukan tokoh-tokoh lain yang lebih
senior dan memiliki reputasi populer dalam pertunjukan wayang seperti Kresna sebagai
inkarnasi dari Wisnu, atau Bima yang telah mampu bersatu dengan Dzat Tuhan, atau
Puntadewa yang terkenal berdarah putih karena pancaran kebijaksanaannya.
Faktor-faktor yang memungkinkan menjadi alasan dipilihnya Arjuna sebagai
media diskursus tidak bisa lepas dengan tujuan utama sebagai seorang penguasa
Mataram, yaitu dalam rangka mempertahankan kekuasaan dengan dukungan, baik
rakyat maupun bawahan, serta para bupati yang pada saat itu sedang ditaklukkan.
Dengan menghubungkan antara diskursus Arjuna dan dukungan, dapat dipahami pola
pemikiran Raja-Raja Mataram bahwa kekuasaan seorang raja tidak cukup dengan
memperoleh dukungan secara represif dengan jalan penaklukan tetapi sangat diperlukan
juga membangun wacana-wacana di tengah masyarakat luas berkaitan dengan
keagungan Dinasti Mataram melalui pengetahuan yang pada gilirannya akan
menciptakan mitos serta ideologi pengagungan terhadap kekuasaanya. Untuk
memperjelas pemahaman tentang analisis mengenai relasi antara kekuasaan dan
pengetahuan yang diwacanakan oleh Raja-Raja Mataram perlu dituntun oleh teori
power dari metode diskursus, Faoucault, yang menguraikan sebagai berikut.
Ilmu pengetahuan (savoir) dapat dijadikan sebagai alat yang ampuh untuk
menahlukan dan membuat orang patuh sebagaimana dikemukakan ahlinya. Ada
dua istilah yang harus dijelaskan disini yakni: “savoir” dan “connaissance”.
Savoir berkaitan dengan pengetahuan formal dan gagasan-gagasan filosofis dan
institusi formal yang mengawasi kegiatan ilmiah, maka connaissance adalah
badan-badan pengetahuan formal seperti buku-buku, teori-teori filosofis serta
norma-norma religius.....safoir adalah kondisi-kondisi diskursif (jalinan antara
pengetahuan, pemikiran dan tindakan) yang diperlukan bagi pengembangan
connaissance (Foucault dalam Yusuf Lubis, 2014b:74).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
42

Lebih lanjut Foucault mengemukakan bahwa bagi penguasa pengetahuan adalah


sebuah ekspresi berkuasa. Pengetahuan yang diwacanakan oleh penguasa akan
membangun sebuah sistem berpikir yang disepakati dan disepahami oleh anggota
kolektif masyarakat dan sesuai dengan deskrepsi kebenaran menurut otoritas intelektual,
politis, dan elite pemerintah. Untuk mensosialisasikan wacana itu maka pengetahuan
didesantralisasi dan dipluralisasi, sehingga akan melahirkan dukungan produktif dari
masyarakat kepada penguasa (Faoucault dalam Yusuf Lubis, 2014b:77). Untuk lebih
jelasnya teori power dari Foucault tersebut bisa dijelaskan dengan skema gambar 4
sebagai berikut.

Savoir (pengetahuan)
dijadikan alat ampuh
untuk menaklukkan

Pengetahuan adalah
ekspresi kehendak berkuasa
Power
(kekuasaan)

Kebenaran
(episteme/paradigma/ideologi)
sesuai wacana yg dibentuk oleh
Power terdesentralisasi otoritas intelektual, politis dan
dan terpluralisasi sesuai dengang ideologi elite
pemerintah

Gambar 4. Skema Kekuasaan dan Pengetahuan Teori Diskursus Foucault (Yusuf


Lubis, 2014b:74-80).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
43

Penjelasan skema di atas bisa dipahami bahwa diskursus Arjuna yang bersumber
dari Babad Tanah Jawi adalah sebuah strategi politik Raja-Raja Mataram, dalam
membangun wacana-wacana legitimasi dan keagungan lewat pengetahuan wayang yang
dikonstruksi secara dialetik; instruksi dari pemerintah pusat secara desentralisasi dan
sosialisasi untuk mendapatkan umpan balik hegemoni masyarakat Jawa terhadap
kekuasaannya di Mataram. Basuki dalam jurnal internasional K@ta menguraikan
“Wayang kulit (shadow puppet) has not only been an entertainment; it is a medium to
disseminate Javanese values to the public. Therefore, wayang kulit has been a site of
power game. Those who could control it have their best opportunity to pass their values
to the public”(Basuki, 2006 : 1). Wayang adalah media ampuh untuk mengendalikan
masyarakat Jawa dikarenakan karakter kolektif Jawa yang selalu patuh dan berusaha
menggapai nilai-nilai.
Berlandaskan konsep di atas bisa dipahami motivasi Raja-Raja Mataram
memilih Arjuna sebagai media wacana, didorong oleh eksistensi ketokohan Arjuna di
era itu yang memungkinkan bisa menjadi media legitimasi kewibawaan Raja-Raja
Mataram. Sesuai dengan budaya jamannya; di mana orang Jawa masih dalam tahap
tradisi-tradisi pengkultusan, dan mitologi, maka eksistensi itu bisa diketahui dari
pandangan dan tradisi masyarakat berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Mataram
terhadap kultus yang berkaitan dengan magi-magi, mitologi, serta nilai-nilai anutan
yang melekat pada ksatria panengah Pandhawa itu. Ketiga penyebab motivasi itu
diuraikan per-sub judul sebagai berikut.

4.1.1. Kepercayaan terhadap Kultus Arjuna di Jawa


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI online), kata kultus diartikan
penghormatan resmi dalam agama, seorang raja dan/tokoh yang didewa-dewakan
(Setiawan, 2014:1). Dalam arti luas kultus bisa diartikan sebagai pemujaan terhadap
dewa atau tokoh mitologi yang dihormati dan diyakini mendatangkan berkah. Pemujaan
Arjuna berkaitan terhadap diskursus yang konstruksi oleh Raja-Raja Mataram tentu
tidak bisa dipisahkan dengan popularitas tontonan wayang di era itu. Popularitas
wayang era Islam diawali konvensi-konvensi lisan tentang peranan wali dalam
mengembangkan seni pentas wayang, terutama Sunan Kalijaga yang konon berdakwah
menggunakan cerita wayang. Soetarno (1995:22) menguraikan bahwa era Islam awal
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
44

partisipasi keraton terhadap wayang pada tahun 1518 M, Raden Patah


menginstruksikan pelarangan mementaskan wayang purwa gaya Majapahit yang
wujudnya mirib manusia, selanjutnya diperintahkan kepada para dalang dan abdi dalem
pemahat wayang untuk membuat dalam bentuk stilisasi. Raja I Demak itu juga
melengkapi wayang dengan pembuatan wayang gunungan dan tokoh kera.
Kultus tokoh Arjuna di Mataram diketahui sejak masa pemerintahan
Panembahan Senopati (1584-1601) dengan instruksi raja kepada abdi dalem dalang
agar membuat wayang Arjuna wanda Jimat. Sejak itulah, tonggak awal lahirnya
pemakaian wanda, yaitu penampilan wayang dengan ekspresi muka disesuaikan dengan
suasana adegan. Wanda itu pertama kali diperuntukkan wayang Arjuna dengan raut
muka ekpresi mitis dan tajam yang dinamakan Jimat. Kata jimat dalam bahasa Jawa
juga bermakna pusaka yang sangat dikeramatkan. Demikian pula Sunan Hanyakrawati,
ayahanda Sultan Agung (1601 – 1613) memerintahkan membuat wayang Arjuna wanda
Kanyut, dan Sultan Agung Tahun 1630 M memerintahkan membuat wayang Arjuna
wanda Mangu. Pemujaan Arjuna sangat nampak di era Mataram dengan dibuatnya tiga
karya wayang wanda Jimat, Kanyut dan Mangu dari tiga generasi raja. Ketiga wayang
Arjuna tersebut di Mataram dan dinasti keturunannya diposisikan sebagai pusaka
keramat sejajar dengan pusaka yang memiliki sejarah monumental seperti tumbak Kyai
Pleret (pusaka tinggalan Senopati yang telah digunakan untuk membunuh Harya
Penangsang), dan Keris Kyai Crubuk, tinggalan Sunan Kalijaga. Sesuai tradisi keraton,
pusaka-pusaka termasuk wayang Arjuna selalu mendapatkan persembahan sesaji bunga,
pembakaran dupa, serta dimandikan setahun sekali dalam bulan Sura, dan mendapatkan
sebutan gelar kehormatan Kyai (Soetarno, 1995:24).
Yuwono (2012:14) mengutip pandangan Sumardjo mengemukakan bahwa sikap
memuliakan pusaka-pusaka termasuk wayang Arjuna ketiga wanda di atas,
dilatarbelakangi religiusitas budaya Jawa kuno yang telah lama berkembang terhadap
kepercayaan magi-magi, yaitu keyakinan bahwa benda-benda keramat bisa
mendatangkan pengaruh baik atau buruk. Magi-magi itu dibedakan menjadi empat
fungsi yaitu magi produktif, berfungsi mendatangkan tuah positif, magi simpatetik
untuk mendatangkan pengasihan (pesona), magi destruktif untuk mendatangkan
pengaruh buruk, dan magi proteksi sebagai tolak bala.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
45

Berkaitan magi Arjuna, Anderson (1972:5) mengemukakan bahwa pengumpulan


benda-benda pusaka itu dalam pemikiran penguasa Jawa adalah sebuah strategi
pengumpulan kesaktian, di samping askesis atau laku tirakat, berpuasa, berpanjang
seks, penyucian ritual, berjiarah, bertapa mbisu dan lain sebagainya. Pencarian
kesaktian itu dimaksudkan memusatkan esensinya yang utama agar memiliki kekuatan
supra natural, untuk meneguhkan esensinya sebagai pusat mikrokosmos (Jagat kecil
duniawi).
Dalam tradisi pertunjukan wayang juga dikenal kepercayaan sejenis, misalnya
lakon tentang kemenangan dan kesuksesan Arjuna akan dapat mendatangkan magi tuah
positif terhadap penanggap dan penontonnya; sebaliknya lakon-lakon bertema tragis
tentang kesengsaraan Pandhawa akan mendatangkan magi yang buruk pula kepada
masyarakat (wawancara dengan Sunarno, 24 Oktober 2014).
Pemujaan atau kultus terhadap tokoh Arjuna telah berkembang cukup lama jauh
sebelum era Mataram Islam. Kultus tokoh pewayangan mulai dikenal bersama dengan
popularitas tontonan wayang di masa lampau abad XI jaman Raja Airlangga dalam
Kitab Arjuna Wiwaha bait 59 karangan Mpu Kanwa sebagai berikut “Hananonton
mawayang asekel muda hidepan huwus wruh towin jan walulang inukir molah angucap
hatur ning wang tresneng wisaya malaha tan wihikana ri tatwan jan maya sahan-
haning bhawa siluman”. Terjemahan kalimat tersebut demikian: para penonton
wayang menangis, kagum, serta sedih hatinya, walaupun sudah mengerti bahwa wayang
yang dilihat itu hanya kulit yang dipahat, berbentuk orang, yang digerak-gerakkan
begitulah perumpamaan, manusia yang dimabuk nafsu mengakibatkan kegelapan hati
(Soetarno 2002: 4).
Zoetmulder (1983: 308-311 ) mendeskripsikan dalam Kalanggwan, bahwa
pemuliaan Arjuna paling awal dilakukan oleh Empu Kanwa, seorang pujangga jaman
pemerintahan Raja Airlangga di Kahuripan (1028-1035), dimana ia menyadur bagian
dari Mahabarata, “parwa IV Wanaparwa”, kemudian menyusun kisah Arjuna Wiwaha
dengan tujuan memperoleh berkah dari tokoh Arjuna bagi kemenangan Airlangga yang
ketika itu tengah berjuang merebut kembali tahta mertuanya, Darmawangsa Teguh, dari
serangan musuh. Secara garis besar Zoetmulder menguraikan cerita Arjuna Wiwaha,
berisi tentang kesuksesan Arjuna ketika bertapa di Gunung Indrakila, mendapatkan
anugerah senjata Pasupati, dari Hyang Guru. Berkat Pasupati yang mata panahnya
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
46

berbentuk bulan sabit itu, Arjuna mampu mengalahkan musuh dewa, Niwata kawaca,
kemudian dinobatkan menjadi raja serta berhak memperisteri para bidadari di kayangan.
Arjuna Wiwaha kala itu selain dimaksudkan oleh Empu Kanwa sebagai puja sastra bagi
tuannya Airlangga, juga berharap agar lakon itu memberi tuah kemenangan bagi
Airlangga, dalam peperangan melawan musuh dari Kerajaan Wengker. Harapan Empu
Kanwa itu terkabul, pada penyerbuan Airlangga di Kediri dengan para pengikutnya
berhasil mengalahkan musuh, kemudian ia bertahta di Kahuripan sejak tahun 1019 M
bergelar Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga
Anantawikramotunggadewa.
Jaman pemerintahan Raja Mapanji Jayabaya (1130-1160) keturunan Airlangga
di Jenggala Kediri kultus Arjuna masih berkembang. Ia memerintahkan pujangga
keraton Mpu Sedah dan Panuluh, untuk menggubah kemenangan Arjuna dalam
Bharatayuda dengan maksud mendapatkan magi positif dan protektif sesudah
menaklukkan Raja Hemabupati di Panjalu, yang masih kakaknya sendiri. Kitab
Baratayuda gubahan Mpu Sedah dan Panuluh yang bersumber dari Mahabarata India
itu dimaksudkan sebagai sastra pangruwatan, yaitu sastra pembersih anasir buruk di
kerajaan Jayabaya setelah terjadi perang saudara sesama keturunan Airlangga
(Kawuryan, 2006:96-101).
Kepercayaan terhadap magi-magi dari dari tokoh Arjuna selain
direpresentasikan dalam sastra dan pentas wayang, juga nampak dalam tradisi
pemahatan ornamen relief candi-candi sejak Jaman Kediri hingga Majapahit,
sebagaimana dikemukakan oleh Soekmono (1985:101-102) bahwa sejak jaman Kediri
cerita tentang Arjuna dipahat dalam relief Candi Jajagu di Singosari Malang, dan
Surawana Kediri dengan lakon Partayadnya dan Arjuna Wiwaha. Relief kedua candi
yang dibangun pada tahun Masehi 1268 masa pemerintahan Krtanegara di Singosari,
dan tahun 1365 masa pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit, bertema tentang
kemenangan Arjuna itu selain untuk memuliakan para leluhur yang telah disemayamkan
juga sebagai media untuk mendapatkan magi-magi positif.
Satu hal yang menarik menurut Soekmono bahwa kedua relief Partayadna dan
Arjuna Wiwaha di kedua candi itu para tokoh dipahat mirip wayang purwa yang kita
lihat sekarang, sehingga bisa diperkirakan wacana pemuliaan Arjuna telah berkembang
di masyarakat saat itu bersamaan dengan popularitas tontonan wayang di masyarakat.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
47

Pendapat Soekmono tersebut dibenarkan Raffles (2014:355) dalam tulisannya berjudul


History of Java yang mencatat bahwa candi adalah monumen yang berfungsi untuk
mengabadikan dan memuja para leluhur orang Jawa, termasuk Pandhawa. Demikian
pula penulis Santri, Priyayi dan Abangan, Clifors Geerz (1959:353), menandaskan
bahwa tujuan utama diadakan wayang bagi orang Jawa adalah pemujaan terhadap
Pandhawa yang dianggap sebagai leluhur, raja-raja Jawa.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa alasan Raja-Raja Mataram memilih
Arjuna sebagai media diskursus, dari sisi tradisi kultus, didorong oleh keyakinan bahwa
tokoh Arjuna akan mendatangkan magi-magi positif berupa kesejahteraan, tolak bala
serta kemenangan perang. Harapan itu bisa dipahami karena pada saat itu Mataram
sedang dalam suasana peperangan penaklukan raja-raja bekas bawahan Pajang yang
membangkang pada Mataram. Pemujaan Arjuna oleh Raja-Raja Mataram dan
leluhurnya dengan penulisan Babad Tanah Jawi dan pembuatan wayang Arjuna wanda
Jimat, Kanyut dan Mangu adalah kelanjutan tradisi pengkultusan Arjuna sebagaimana
telah dilakukan raja-raja Jawa kuno, di Kediri, Singasari dan Majapahit dalam era Islam,
atau lebih tepatnya sebagai bentuk transformasi budaya kultus Arjuna Hindu/Buda
dalam Islam.

4.1.2. Mitos Arjuna sebagai Leluhur Raja Mataram


Motivasi kedua yang menjadikan alasan dipilihnya Arjuna menjadi tokoh
wacana dalam rangka membentuk legitimasi Raja-Raja Mataram, adalah kepercayaan
tentang adanya mitos-mitos Arjuna sebagai leluhur raja-raja Jawa yang mewariskan
wahyu keraton. Berkaitan denga mitos Rahcman (2008:2) mengutip Wallek dan Werren
mendefinisikan bahwa mitos adalah cerita anonim tentang dewa-dewa, tokoh-tokoh
foklor, dan kejadian alam. Mitos berupa penjelasan-penjelasan dari orang tua kepada
penerusnya yang berkaitan tentang tingkah laku, citra alam dan tujuan hidup manusia.
Frazer dalam teori evolusinya mengemukakan bahwa adanya pemikiran mitos karena
upaya manusia setiap dekade dalam memahami realitas alam (Subiyantoro, 2011:63).
Berkaitan dengan pengertian mitos dalam konteks tanda, Bartes mengemukakan bahwa
mitos terjadi dari kesepakatan dan kesepahaman kode budaya dalam kolektif
masyarakat. Adanya sebuah tanda jika mendapatkan kesepahaman dan kesepakatan
dari masyarakat secara tetap digolongkan sebuah mitos, selebihnya jika kesepahaman
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
48

itu menjadi mapan akan mengkristal menjadi sebuah ideologi (Bartes dalam Budiman,
2002:93).
Mitos-mitos berkaitan dengan Arjuna itu diantaranya diuraikan oleh Graaf
(2002:327) penulis Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi Sultan Agung,
memanfaatkan sumber tutur Jawa, Serat Kandha, Babad Demak, Babad Tanah Jawi,
diverifikasi dengan dokumen utusan Belanda, Jan Vos tahun 1624, serta sumber-sumber
lain dari kantor dagang Inggris, di bawah bimbingan ahli bahasa senior Pigeaud,
menyimpulkan bahwa Babad Tanah Jawi disusun pada era Sultan Agung sekitar tahun
1641 – 1645, oleh tim penyusun yang dipimpin oleh Panembahan Kadilangu seorang
ulama keturunan wali Sunan Kalijaga. Buku dokumen resmi sejarah silsilah raja-raja di
Mataram itu sesungguhnya hasil pemikiran beberapa pakar di era itu, salah satunya
adalah Pangeran Pekik, seorang raja bawahan di Surabaya, keturunan Sunan Ampel.
Diterangkan lebih lanjut bahwa Babad Tanah Jawi berisi rangkuman berbagai cerita
tutur dari Surabaya, Demak, Cirebon, dan Sunda, sehingga Graaf memuji sebagai
tulisan yang lengkap dan luar biasa.
Abimanyu (2014:387) mengutip Babad Tanah Jawi memerinci silsilah raja-raja
Mataram yang menjelaskan bahwa Panembahan Senopati kakek Sultan Agung adalah
keturunan ke-35 dari Arjuna, dan Sultan Agung merupakan keturunan ke-37.
Melengkapi rincian silsilah itu, Abimanyu menyatakan bahwa menurut Sejarah Leluhur
Dalem saking Pangiwa Utawi Panengen dari alur panengen (garis ibu) dinasti Mataram
keturunan dari Sunan Giri putra Syeh Maulana Ishak penyebar Islam awal dari Arab
yang masih bernasab Nabi Muhammad SAW, sedangkan dari alur pangiwa (garis
bapak) adalah keturunan Arjuna. Alur keturunan pangiwa dinasti Mataram itu bisa
dilihat dalam gambar 5 tabel silsilah berikut.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
49

SILSILAH ALUR PANGIWA (GARIS AYAH) RAJA-RAJA


MATARAM
1. Nabi Adam 28 Prabu Pancadriya
2. Nabi Sis 29 Prabu Anglingdriya
3. Nurcahya 30 Prabu Swelacala
4. Nurasa 31 Prabu Srimahapunggung
5. Sang Hyang Wenang 32 Prabu Kandhihawan
6. Sang Hyang Tunggal 33 Resi Gentayu
7. Bathara Guru 34 Lembu Miluhur
8. Bathara Brama 35 Panji Kartapati
9. Bathara Bremani 36 Panji Kuda Laleyan
10. Trithustha 37 Prabu Banjaransari
11. Parikenan 38 Prabu Mundhingsari
12. Manumayasa 39 Prabu Mundhingwangi
13. Sakutrem 40 Prabu Sri Pamekas
14. Sakri 41 Prabu Joko Sesuruh
15. Palasara 42 Prabu Anom
16. Wiyasa 43 Prabu Adaningkung
17. Pandhu 44 Prabu Hayamwuruk
18. Arjuna 45 Lembu Amisani
19. Abimanyu 46 Bratanjung
20. Parikesit 47 Prabu Brawijaya
21. Yudayana 48 Raden Bondan Kejawan

22. Gendrayana 49 Ki Gedhe Getas Pandhawa


23. Jayabaya 50 Ki Ageng Sela
24. Jaya amijaya 51 Ki Ageng Enis
25. Jaya Misena 52 Ki Ageng Pemanahan
26. Kusuma Wicitra 53 Panembahan Senopati
27. Citrasoma

Gambar 5. Tabel Silsilah Pangiwa Dinasti Mataram (Abimanyu, 2014:378)


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
50

Dari garis keturunan panengen Abimanyu (2014:354) menyajikan silsilah


Panembahan Senopati sebagai berikut.

Syeh Maulana Ishak (Syeh Wali Lanang) Ki Getas Pandhawa

Sunan Giri I (Prabu Satmata) Ki Ageng Sela

Sunan Giri II (Sunan Kedul) Ki Ageng Enis

Ki Ageng Saba

Ki Jurumertani Nyai Sabinah + Ki Gedhe Pemanahan

Panembahan Senopati

Gambar 6. Diagram Silsilah Panengen Raja-Raja Mataram (Abimanyu,


2014:354).

Catatan harian dari Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jendral Inggris untuk
Jawa tahun 1811 – 1816, tentang kajian Jawa mengambil sumber sejarah dari keraton
Kasunanan Surakarta kemudian diterbitkan pertama kali tahun 1817 di London berjudul
The History of Java mendeskrepsikan silsilah yang kurang lebih sama dengan tulisan
Abimanyu di atas (Raffles dalam Prasetyaningrum, 2014:431).
Wacana-wacana yang berkembang tentang silsilah raja-raja Mataram
sebagaimana dicatat Babad Tanah Jawi dan Sejarah Leluhur Dalem saking Pangiwa
Utawi Panengen mengukuhkan legitimasi kekuasaan raja-raja dinasti Mataram, karena
wacana itu mengandung pesan bahwa Panembahan Senopati dan trah keturunannya
bukan orang biasa sebaliknya manusia istimewa keturunan dari Arjuna dan nabi
Muhammad (Koentjaraningrat, 1994: 326-327).
Pengukuhan Arjuna sebagai leluhur dinasti Mataram dalam penulisan Babad
Tanah Jawi itu dilatarbelakangi keyakinan mitologi bahwa Arjuna akan mewariskan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
51

wahyu yang telah diterima dan Abimanyu, putranya yaitu wahyu Makutharama dan
Cakraningrat. Kedua wahyu itu dipercaya dalam budaya Jawa sebagai pikukuh
(kekuatan) bagi raja dalam memegang kekuasaan.
Berkaitan dengan kedua wahyu tersebut, Soeratman (2000:3) berpandangan
bahwa syarat kelayakan raja di Tanah Jawa harus memiliki empat wahyu yaitu: (a)
wahyu nubuwah, wahyu yang mendudukkan raja sebagai wakil tuhan, (b) wahyu
kukumah, yang menempatkan raja sebagai sumber hukum,dan penguasa tertinggi, (c)
wahyu wilayah, yang mendudukkan raja menaungi wilayahnya, dan (d) wahyu
Cakraningrat, yang memberi daya kekuatan menjadi penguasa.
Lebih lanjut dalam tulisannya Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830 – 1939
Soeratman mendeskripsikan bahwa setelah raja berkuasa harus memiliki kebijaksanaan
sebagai raja utama, dari wahyu Makutharama. Dalam pedalangan wahyu Makutharama
adalah ajaran Sri Rama kepada adiknya Barata sebelum memerintah di Ayodya tentang
karakter kepemimpinan hastha brata sesuai dengan watak dari bumi, api, air, angin,
matahari, bulan, bintang dan mendung (Soetarno dalam Nugroho, 1996: 93-94). Wahyu
kebijaksanaan raja itu telah diterima Arjuna dari Begawan Kesawasidhi (penjilmaan
dari Wisnu) setelah bertapa berat di hutan Kutharunggu. Demikian pula putra Arjuna,
Abimanyu dari laku tapanya di hutan Krendhawahana, berhasil menerima wahyu
keraton Cakraningrat. Dari kedua wahyu itu Arjuna dan Abimanyu, diramalkan oleh
dewa bahwa kelak anak cucunya turun temurun akan menjadi raja binathara di Tanah
Jawa meskipun Arjuna dan putranya itu tidak dikodratkan menjadi raja (Soetarno dalam
Nugroho, 1996:95)
Dari uraian di atas bisa dirangkum bahwa dari sisi mitologi pertimbangan dari
Raja-Raja Mataram memilih Arjuna sebagai media diskursus juga sangat dipengaruhi
keyakinan dan harapannya bisa mewarisi wahyu Cakraningrat dan wahyu
Makutharama, dari Arjuna dan Abimanyu, yang akan meningkatkan kekuasaanya di
Mataram. Kedua wahyu itu adalah kekuatan supra natural yang harus dimiliki oleh
setiap pemimpin Jawa di dalam menguasai wilayah kekuasaanya, baik manusia, alam
lahir, maupun dimensi batin yang nir kasat mata.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
52

4.1.3. Nilai Anutan yang Terkandung dalam Wayang Arjuna


Selain kedua alasan berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Mataram
terhadap kultus dan mitos Arjuna sebagaimana telah diuraiakan diatas, pemilihan tokoh
tersebut sebagai wacana legitimasi juga sangat dipengaruhi nilai-nilai panutan terhadap
Arjuna yang telah populer di masyarakat.
Berkaitan dengan masalah nilai, Moedjanto mendeskripsikan bahwa “nilai tidak
hanya tampak bagi seseorang saja, melainkan bagi semua umat manusia. Nilai tampil
sebagai sesuatu yang patut dikejar dan dilaksanakan oleh semua orang. Oleh karena itu
nilai dapat dikomunikaskan kepada orang lain” (Sutrisno et al., 2009:146). Magnis
Suseno (1991:69-71 ) berpandangan bahwa sebagai kolektif agraris, masyarakat Jawa
menempatkan norma-norma serta nilai-nilai sebagai sebuah kesepakatan kolektif yang
harus dipatuhi dan dijunjung tinggi sebagai parameter moralitas. Nilai-nilai yang
melandasi setiap tindakan orang Jawa itu menurut Hartoko adalah nilai-nilai ketuhanan,
kebaikan, kebenaran, dan keindahan (Sutrisno et al., 2009:145).
Pertunjukan wayang yang dalam dunia Pedalangan diistilahkan pakeliran,
dipandang orang Jawa sebagai tontonan dan tuntunan, artinya sebagai pertunjukan yang
menghibur semua kalangan tidak hanya orang tua tetapi juga kaum muda, remaja dan
anak-anak. Tuntunan dalam pakeliran dimaksudkan bahwa di balik tontonan yang
menghibur itu wayang penuh pesan-pesan moral sebagai pembelajaran nilai-nilai bagi
individu dan inter-individu Jawa. Salah satu alasan dilestarikannya wayang hingga saat
ini karena banyak kalangan pendukung wayang memandang bahwa wayang adalah
refleksi dan kontemplasi nilai-nilai Jawa sebagai media introspeksi diri (Sutrisno et al.,
2009:145).
Nilai-nilai tuntunan hidup dalam wayang disampaikan dalang lewat adegan
dialog, narasi, sulukan (vokal iringan wayang dari dalang), lelucon dari Panakawan, dan
sebagainya. Khusus sebagai tokoh panutan, nilai-nilai dari tokoh Arjuna lebih banyak
disampaikan dalang lewat karakter penokohan yang dibangun dari adegan-adegan, dan
cerita. Karakter tokoh Arjuna juga bisa disimak secara rinci pada ornamen-ornamen
wayang bagian tubuh dan pakaian wayangnya.
Melengkapi analisis tentang karakter Arjuna perlu dalam penulisan ini diuraikan
tentang makna-makna simbol figur wayang Arjuna menggunakan ilmu penanda,
semiotika. Dari banyak tokoh semiosis terkemuka seperti Ferdinand de Saussure,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
53

Charles Sanders Pierce, Levi Strauss yang dikenal sebagai semiotika Struktural, dan
tokoh lain seperti Jacobson atau Umberto Eco, yang dikenal sebagai semiotika
komunikasi, dalam pembahasan ini dipilih analisis wacana Roland Bartes yang terkenal
dengan analisis mitosnya. Langkah itu dengan pertimbangan semiotika analisis wacana
dari Bartes diharapkan bisa mengungkap wacana mitos, dan ideologi berkaitan dengan
tokoh Arjuna sebagai salah satu tokoh mitologi Jawa yang dipilih oleh Sultan Agung
dalam membangun diskursus.

4.1.3.1. Memahami Nilai-Nilai Tokoh Arjuna dengan Semiotika Wacana Bartes


Roland Barthes (1915-1980) lahir di Cherbourg Prancis utara adalah tokoh
semiotik pasca strukturalisme yang mengembangkan analisis wacana (Budiman,
2002:102). Hal itu berbeda dengan semiotika struktural Saussure yang telah
mendominasi model semiosis modern barat pada umumnya, yang berasumsi bahwa
wacana/parole (termasuk bentuk-bentuk ujaran individual) adalah sub sistem semiosis
yang tidak mungkin bisa terjangkau analisis.
Sistem penandaan wacana Barthes terdiri dari dua tataran yaitu denotasi dan
konotasi. Denotasi disejajarkan dengan penanda ekspresi obyek, dan konotasi sebagai
petanda makna dari obyek. Kedua tataran lapis sistem semiosis, baik denotasi maupun
konotasi terdiri dari dua unsur relasi signifikasi ekspresi (expression) dilambangkan E,
dan isi (content) dilambangkan C, yang saling dihubungkan dengan relasi (relation)
yang dilambangkan dengan R. Cara kerja lapis denotasi dan konotasi bisa dirumuskan
(ERC) RC, atau bisa juga dijelaskan dengan skema berikut.

II Konotasi E R C

I Denotasi E R C
Gambar 7. Skema Prosedur Semiosis A Barthes (Barthes dalam Budiman,
2002:96)

Skema di atas menerangkan bahwa tataran I denotasi terdiri dari ekspresi yang
akan berelasi dengan isi dari citra bentuk yang nampak, dan pada tataran II konotasi,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
54

denotasi menjadi citra ekspresi dari content konotasi. Dalam content konotasi itulah,
makna dari obyek terbentuk (Budiman, 2002:96).
Berbeda dengan semiotika strukturalisme Saussure yang diasumsikan otonom
sebagai sebuah sistem bahasa yang obyektif yang harus ditaati bagi semua pengguna
bahasa, sistem wacana Barthes lebih dinamis memberi kebebasan interpretasi tanda bagi
subyek-subyek individu. Dengan demikian relasi denotatif dan konotatif tidak statis
sebagaimana skema di atas, tetapi bisa juga sebagai berikut.
II Konotasi E R C

I Denotasi E R C

Gambar 8. Skema Prosedur Semiosis Barthes B (Barthes dalam Budiman,


2002:96)

Skema II menerangkan bahwa dua denotasi bermakna satu konotasi, yang


diistilahkan Barthes sebagai sinonim (Hoed, 2011: 85). Masih berkait dengan prosedur
semiosis Barthes, Budiman (2002: 98) mengemukakan bahwa citra bentuk pada
ekspresi diistilahkan Barthes iconic message (amanat ikonik) dibedakan menjadi dua
tataran yaitu: (1) amanat harfiah atau amanat ikonik tak berkode dan (2) amanat
simbolik atau ikonik berkode (coded iconic massage). Amanat harfiah sebagai denotasi
dan amanat simbolik adalah tataran konotasi yang mengacu kode budaya tertentu.
Mungkin berupa tatanan atau norma-norma universal atau stok stereotip kultural dari
periode sejarah tertentu yang diistilahkan Barthes “ideologi”. Ada lagi menurut Barthes
citra yang berkaitan dengan citra ikonik berujut kata-kata, judul atau kalimat yang
melekat pada citra ikonik. Citra verbal itu disebut sebagai amanat lingual (linguistik
message) yang berfungsi sebagai penambat untuk mengunci atau mengikat petanda-
petanda citra visual yang biasanya mengapung (Budiman, 2002:99).
Hoed (2011:18) tentang semiotika wacana Barthes mengemukakan bahwa
interpretasi konotasi tanda selalu bersifat arbitrer (mana suka) digolongkan sebagai
mitos jika konotasi itu sebuah makna yang tetap sebagai sebuah kewajaran di
masyarakat, lebih dari itu jika konotasi mengkristal menjadi sebuah pola pikir
masyarakat budaya tertentu digolongkan sebagai ideologi.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
55

Konsep teori semiosis Barthes tersebut digunakan untuk menganalisis figur


tokoh wayang Arjuna dengan tujuan memahami nilai-nilai yang terkandung sebagai
anutan dari orang Jawa; yang mana nilai-nilai itu sebagai motivasi penting dipilihnya
Arjuna sebagai media membangun wacana pengetahuan di Mataram.
Pengungkapan nilai Arjuna menggunakan semiotika Bartes ini, akan
menganalisis duas aspek penting yaitu mengenai figur bentuk wayang Arjuna dan mitos
gelar-gelarnya. Kedua aspek tersebut akan diinterpretasi sebagai amanat harfiah atau
denotasi, dan dimaknai sebagai amanat simbolik atau konotasi.
Bentuk wayang Arjuna terdiri dari ornamen-ornamen bagian kepala, tubuh dan
pakaiannya yang dalam seni rupa wayang terdiri dari wanda (ekspresi muka), kapangan
(bentuk tubuh), pahatan serta sunggingan (pewarnaan), dan berbagai jenis busana yang
dikenakan. Sebagai sebuah simbol wayang Arjuna berujud dua dimensi berbahan kulit
kerbau dipahat dan disungging (diwarnai). Bentuk figurnya terdiri dari bagian kepala,
pundak, tangan, dada, perut, sor-soran (ornamen kain) dan kaki. Bagian muka wayang
menduduki citra rupa sangat penting dalam wayang karena muka yang terdiri dari
hidung, mata, athi-athi, telinga, bibir, gigi, dan janggut, adalah penunjuk ekspresi tokoh
yang disebut wanda. Ada lebih dari dua belas wanda Arjuna diantaranya: wanda
mangu, kanyut, janggleng, kinanthi, malatsih, muntab, pengawe, jimat, penganten,
pacel dan sebagainya (Soetarno et al., 1978: 46). Sekilas nampak sama antara wanda
Arjuna satu dengan yang lain, perbedaanya terletak pada lebar dan ciutnya mata,
senyum dan cemberut bibir, tengadah dan tunduknya pandangan, dengan pautan ukuran
lebar dan sempit pahatan hanya beberapa mili meter saja. Salah satu bentuk Arjuna
dalam wanda Malatsih (merayu) seperti gambar berikut.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
56

Gambar 9. Arjuna Wanda Malatsih

Untuk mengungkap makna figur Arjuna seperti dalam gambar perlu diuraikan
prosedur pemaknaan wacana Bartes pada gambar 10 skema berikut.
E R C
II Konotasi
Eskpresi dari
Makna Mitos
figur Arjuna
& Ideologi
Arjuna

I Denotasi

RELASI
EKSPRESI CONTEN
Bentuk visual ornamen Arjuna Makna ornamen Arjuna

Gambar 10. Skema Prosedur Semiosis Figur Wayang Arjuna.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
57

4.1.3.1.1. Makna Denotasi Ornamen Figur Arjuna


Berdasarkan prosedur semiosis wacana Bartes di atas, pemaknaan Arjuna dapat
dirinci dari dua aspek, denotasi dan konotasi . Tataran denotasi semiotika wacana terdiri
dua komponen yaitu ekspresi tentang citra visual wujud ornamen Arjuna, dan content
makna dari citra visual tersebut. Antara citra visual direlasikan dengan content atau
makna dari ekspresi yang dicitrakan.
Pertama ekspresi, wujud ornamen Arjuna terdiri dari: (a) gelung minangkara
berwujut sanggul bulat bagai capit udang, (b) hidung wali miring berujud hidung
mancung bagai ujung pisau, (c) mata liyepan berujud mata mengatup memandang
ujung hidung, (d) sumping waderan adalah hiasan telinga berujut sumping mas bermotif
ikan wader, (e) warna muka tampak hitam kelam kontras dengan kulit tubuhnya yang
berwarna emas, (f) leher manglung berupa leher jenjang yang condong ke depan dengan
kepala menunduk, (g) badan pideksa adalah postur tubuh sedang tidak terlalu tinggi
juga bukan pendek, (h) kampuh limar ketangi berujut kain dengan motif batik lingkaran
permata berjajar-jajar dilingkari garis-garis lengkung tipis seperti rambut.
Kedua, citra visual itu berelasi dengan content sebagai petanda makna dari
ekpresi figur Arjuna. Pemaknaan ini sangat khusus dalam dunia seni rupa, karena
dalam meng-interpretasinya diperlukan bekal pengetahuan dan kebiasaan bagi orang-
orang yang menekuni seperti dalang atau penggemar yang bisa memahami wujud
wayang yang dikatakan oleh Sunarno bukan citra manusia tetapi gambar abstraksi dari
karakter manusia (wawancara Sunarno, 24 Desember 2014).
Makna denotasi ornamen wayang Arjuna antara lain: Seorang pria dewasa
berwajah tampan, bersanggul dan berbadan tegap dari sorot mata yang tajam ia
adalah seorang yang berpengalaman. Sederhana dalam penampilan tetapi tubuhnya
yang tegap atletis memancarkan keindahan dan kewibawaan. Pandanganya tajam
tersungging senyum menawan memancarkan karakter Arjuna yang romantis.

4.1.3.1.2. Makna Konotasi Ornamen Figur Arjuna


Pada tataran konotatif di mana mitos dan ideologi bertempat, interpretasi pada
wayang lebih mengacu pada norma-norma, pandangan histori tertentu, atau stok
stereotif kultural masyarakat lokal yang oleh Bartes disebut ground atau kode budaya
(Budiman, 2002:22).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
58

Dalam tataran konotasi figur wayang Arjuna bisa diinterpretasi bahwa Arjuna
adalah seorang pria dewasa yang bertubuh tegap berwajah tampan rupawan. Dalam
hal karakter Arjuna mencitrakan orang yang matang, penuh pengalaman di bidang
kesatriaan yaitu sebagai sosok pengayom rakyat pembela kebenaran bagi siapa saja,
dan di mana saja pemenang dari semua pertempuran melawan kebatilan. Dari sorot
matanya yang tajam menunjukkan seorang bangsawan yang santun, bijak penuh kasih
sayang bagi semua umat dan semua lapisan masyarakat. Dalam hal berbusana Arjuna
menampilkan pakaian bagi bangsawan yang prasaja dalam arti sederhana namun tetap
memancarkan keagungan dan kekhususan yaitu berkain limar ketangi sebuah karya
batik khusus bagi bangsawan bercita rasa seni yang tinggi dan sangat rumit. Citra
pandangan Arjuna yang tajam namun sayu menunjukkan bahwa Arjuna pria romantis,
meskipun pecinta kebenaran tetapi tidak mengelak kodratnya sebagai pria yang
memiliki kecenderungan suka digandrungi wanita dan suka menjalin cinta dengan
wanita. Dalam konteks tersebut Arjuna seorang pria pemuja cinta. Arjuna adalah
ksatria yang tampan, memiliki ketahanan bertapa luar biasa, bijak, pemenang dalam
segala peperangan, penerima segala anugerah, ahli bercinta serta representasi dari
Tuhan.
Makna tersebut menurut Bartes masuk dalam tataran mitos karena makna itu
tetap dan wajar di tengah-tengah masyarakat (Hoed, 2011:18). Mitos tersebut lebih jelas
lagi dengan hadirnya linguistik message yang diartikan Bartes sebagai citra penambat,
berupa citra verbal berbentuk kata atau kalimat, dalam narasi dalang. Cerita dalang
tentang mitos karakter Arjuna baik dalam dialog maupun narasi, menjelaskan sifat-sifat
khas Arjuna melalui pentas wayang kemudian menjadi wacana-wacana tetap, dalam
teks sastra, serta pertunjukan-pertunjukan lain yang berkaitan dengan mitos itu, seperti
wayang wong dan ketoprak. Mitos itu adalah julukan Arjuna sebagai satriya
pinandita, satriya tohjalining jagat, dan satriya lelananging jagad.
Pertama, mitos satriya pinandita, diuraikan dalam karya sastra wayang seperti
Arjuna Wiwaha, Partayatna, atau Pustakarajapurwa dan dinarasikan dalang bahwa
karakter Arjuna adalah perpaduan dari sifat brahmana dan satria, yang dalam kode
budaya Jawa di-dikotomikan bahwa pendeta selalu bersifat cinta kasih, menjaga
kedamaian dunia dengan berdoa; sedangkan ksatria menjaga perdamaian dunia dengan
berperang membunuh angkara murka. Arjuna dimitoskan memiliki sifat keduanya, baik
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
59

sebagai seorang ksatria sekaligus petapa. Dari ketahanannya bertapa Arjuna banyak
mendapatkan anugerah berujut pusaka, kedudukan, ilmu pengetahuan termasuk wahyu
Makutharama yang dipercaya menjadi sarana menurunkan raja-raja di Tanah Jawa.
Dalam kedudukannya sebagi ksatria, Arjuna dimitoskan penolong dan pengayom
masyarakat baik dari golongan teman maupun lawan. Sangat banyak lakon wayang
atau karya sastra yang menonjolkan sifat penolong dari Arjuna.
Dalam “Adi Parwa” bab I Mahabarata, Arjuna menolong para brahmana dari
ancaman naga Taksaka yang sering mencuri sapi-sapi piaraan kaum brahmana. Karena
kejadian itu ia iklas melaksanakan hukum buang 12 tahun disebabkan terpaksa harus
melanggar peraturan perjanjian yang dibuat oleh Pancali, isteri Pandhawa, untuk
mengambil busur Gandhiwa di kamar Dropadi di luar waktu yang ditetapkan untuknya
(Soekotjo, 1984:85)
Dalam “Wana Parwa”, bab IV Mahabarata, terdapat lakon yang sangat terkenal
“Arjuna Wiwaha”, mengisahkan Arjuna menolong Dewa Indra dari serangan para asura
niwata, yang kemudian mengantarkannya mendapatkan anugerah dari Mahadewa
berupa mantra Pacupata sastra dan senjata Pasupati. Demikian pula dalam Lakon
Wahyu Pakem Makutharama, Karna musuh bebuyutannya juga pernah ditolong Arjuna
ketika senjata andalanya Kunta Wijayandanu direbut Anoman. Arjuna mengembalikan
senjata raja Angga itu setelah berhasil mendapatkan wejangan Hasthabrata dari
Kesawasidhi, penjilmaan Wisnu (Soetarno dalam Nugroho, 1996:57). Karena sifat
penolong itu sebagai ksatria Arjuna bergelar Dananjaya yang diartikan oleh Soetarno
kesaktiannya digunakan untuk beramal.
Kedua mitos satria tohjalining Jagat. Mandali (2006: 16) dalam Bangun Tuwuh
menguraikan bahwa makna tohjali adalah panitisan (inkarnasi). Dalam relasi Arjuna
satria tohjalining jagat bermakna mitos titisan Tuhan. Dalam Pedalangan mitos itu
diceritakan bahwa Arjuna dan Krisna adalah dwi tunggal titisan Wisnu. Dalam narasi
adegan Arjuna diceritakan bahwa “Wisnu binelah panitise marang Kresna lan Arjuna
kaya suruh lumah lan kurebe, yen dinulu seje rupane yen ginigit tunggal rasane”.
Terjemahannya dalam bahasa Indonesia, Wisnu terbelah dua dalam menitis pada diri
Kresna dan Arjuna bagai dua sisi daun sirih jika dilihat tampak berbeda warnanya,
tetapi jika digigit sama rasanya (Suratno dalam Sumarno, 1996:1). Makna simbol
Arjuna sebagai tempat penitisan separoh Wisnu berkorelasi dengan dasa nama Janaka
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
60

yang oleh Soetarno diartikan sebagai wadah penitisan (Soetarno dalam Nugroho ,
1996:49).
Dalam tafsir mistik Islam, Arjuna dipandang perwujudan Nur Muhammad yang
menurut Abd al- Qadir al-Jaillani adalah dzat pertama yang diciptakan Allah dari
cahaya-Nya sebagai kalifatullah wakil Tuhan di Bumi dan penuntun umat manusia
(Solikhin, 200:223). Karena perannya sebagai penuntun umat manusia itu maka Arjuna
memiliki kecerdasan luar biasa. Kecerdasan Arjuna itu berelasi dengan nama lainnya
Kuntadi yang artinya senjata panah yang sangat tajam. Dalam adegan Arjuna, dalang
menarasikan “keplasing pambudi Raden Arjuna ngungkuli bantering jemparing,” yang
terjemahannya, kecepatan berfikir Arjuna melebihi kecepatan perjalanan senjata panah
(Soetarno dalam Nugroho, 1996:49).
Sebagai tohjalining jagat esensi dari Nur Muhammad, Arjuna juga memiliki
ketajaman rasa, senantiasa tajam/peka dan siap terhadap segala kemungkinan situasi
dan kondisi, dalam menghadapi kehidupan maupun perkembangan jaman. Interpretasi
mitos itu berelasi dengan dasa nama (nama lain) dari Arjuna, yaitu Premadi dan
Jahnawi yang menurut Ki Ng. Wignyo Soetarno, nama Premadi diuraikan bermakna
“premati mumpuni saliring reh” artinya efektif menguasai segala hal. Nama Jahnawi
oleh guru senior Pedalangan Pura Mangkunagaran itu diartikan “wiyaring pambudi
ngungkuli jembaring samodra” terjemahannya luas pengetahuan Arjuna melebihi
luasnya lautan (Soetarno dalam Nugroho, 1996:49)
Ketiga, mitos Arjuna sebagai lelananging jagat dalam semiotika model Bartes
dapat dianalisis berdasarkan struktur wacana yang bersifat linier yang diistilahkan
sintagme. Analisis sintagme mengungkap makna wacana berdasarkan relasi-relasi
unsur-unsur kata dan/atau kalimat. Analisis ini adalah padanan dari sintagmatik model
Saussure dalam lingguistik (Hoed, 2011:65). Dalam analisis sintagme gelar Arjuna
lelananging jagat dapat diurakain sebagai berikut. Kata lelananging jagat berasal dari
parama sastra (tata bahasa Jawa) la + lanang + e dan Jagat. Bentukan kata majemuk
la+lanang+e dan jagat, menyebabkan akhiran e harus luluh menjadi ing, sehingga
menjadi lelananging jagat, artinya seorang pria yang memiliki kemampuan melebihi
banyak para pria, atau pria yang memiliki kemampuan di atas umumnya pria.
Makna sintagme lelananging jagat adalah pria yang istimewa di dunia.
Keistimewaan Arjuna di antara pria lain adalah ketampannya dan kesaktiannya yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
61

melebihi para pria lain di jamannya sebagaimana narasi dalang dalam adegan Arjuna
sebagai berikut “Raden Arjuna tuhu satriya lelananging jagat bagus tanpa cacat, lamun
lanang padha ngondhangake kasektene lamun wadon padha ngondhangake
kebagusane. Turta tau tate sinarayeng dewa ngrabaseng mengsah sekti.” Terjemahan
narasi tersebut adalah Raden Arjuna sebagai seorang ksatria adalah pria istimewa di
dunia, tampan tiada cacat, para pria selalu menyebut-nyebut kesaktiannya, sedangkan
para wanita terpesona dengan ketampanannya. Demikian pula sering diduta para dewa
untuk melawan musuh sakti (Soeratno dalam Soemarno, 1996:20).
Selain makna sintagme, wacana citra verbal mitos Arjuna lelananging jagat
bisa juga diungkap berdasarkan relasi antar paradigma berdasarkan pandangan budaya
yang diistilahkan sistem wacana (Hoed, 2011:65)
Merujuk konsep sistem wacana, Bartes di atas makna mitos lelananging jagat
lebih mengungkap makna-makna peristiwa di balik gelar itu berkaitan dengan lakon,
serta simbol-simbol dalam budaya Jawa. Julukan lelananging jagat dalam lakon
wayang muncul pada lakon carangan Wahyu Tohjali, yang garis besar ceritanya
mengkisahkan kemenangan Arjuna mendapatkan anugerah dewa, wahyu tohjali yaitu
anugerah kekuatan sebagai pria sejati (Sularso, wawancara 24 oktober 2014).
Suwandono (1977:35) dalam Ensiklopedi Wayang Purwa I mendeskripsikan bahwa
lelananging jagat bermakna pahlawan ulung yang benar-benar jantan bersifat ksatria
sejati menguasai segala hal.
Pokok paradigma dari lelananging jagat adalah: lanang + jagat. Kata lanang
dalam bahasa Jawa bermakna pria, menang, dan jantan. Kata lanang dalam arti pria
adalah sosok figur laki-laki yang dibedakan sekaligus berpasangan dengan wadon
artinya perempuan. Lanang dalam arti menang sering dijumpai dalam bahasa klise
wayang tokoh tetua yang memberkati pada yang lebih muda ketika dimintai restu
menjelang maju perang. Restu itu biasanya diungkapkan dengan rangkaian kata “dak
pangestoni muga lanang yudamu.” Terjemahannya saya berkahi agar menang dalam
perang. Makna ketiga berarti jantan menampilkan pengertian sifat-sifat kejantanan
Arjuna dalam hal kejayaannya dalam peperangan di dunia kanuragan (olah bela diri) di
antara para ksatria sebagai seorang pribadi yang pemberani bertanggung jawab serta
sportif dalam pertempuran. Karena sifat utama Arjuna itu oleh pengarang Baghavad
Gita, Lokamaya ia digelari sebagai Dananjaya artinya seorang pemenang. Baik dalam
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
62

Mahabarata, maupun Baghawad Gita, dialog Krisna dan Arjuna yang terkenal disebut
The song of God (nyanyian Tuhan), dinarasikan bahwa kesatuan antara Dananjaya dan
Krisna mampu mengalahkan semua musuh-musuhnya termasuk golongan, asyura
(iblis), raksasa, naga, bahkan raja dewa Indra-pun kalah dengan Arjuna, ketika
menghalangi putranya itu membakar hutan Kandhawa, yan kemudian menjadi
Indraprastha (Pasaribu et al., 2004:40).
Dalam masa pendidikankanya, oleh gurunya Rsi Drona, Arjuna dipersiapkan
menjadi pemanah tanpa tanding. Untuk tujuan luar biasa itu Drona membekali Arjuna
penguasaan mantra yang memungkinkan murid kesayangannya itu melepaskan anak
panah gaib dari unsur-unsur bumi, api, angin, dan air, yang disebut bayyabyastra,
bramahastra, bayubyastra, dan barunastra (Soekotjo, 1984:85). Oleh karena,
kemampuan itu Arjuna mampu mengalahkan satria sakti seniornya seperti Rsi Bisma,
Drona bahkan penentang dan saudaranya tertua Karna raja Angga, juga harus mati dari
busur Gandhiwa dan Pasupati, pusaka andalan putra Kunthi itu.
Mitos lelananging jagat juga bermakna kejantanan Arjuna dalam hal libido
seksual yang diceritakan sangat luar biasa dalam lakon wayang. Cerita yang bersumber
pada pakem Jawa, seperti Pustaka Rajapurwa, Serat Kandha maupun Serat Pakem
Ringgit Purwa karya MN VII, menarasikan bahwa selain Arjuna beristeri Subadra,
Srikandhi, Sulastri, Larasati, Manuhara, dan Hulupi, juga beristeri para bidadari
sejumlah sekethi kurang siji (999), tujuh diantaranya pemimpin bidadari itu adalah
Supraba, Tilotama, Irim-irim, Leng-leng Mandanu, Tunjung Biru, Warsiki, dan
Mayangsekar (Diyono,1997:24). Dalam hal berhubungan suami isteri dengan wanita
sebanyak itu, Arjuna menggunakan aji Asmaranggama (ajian percintaan dan
sanggama), yang daya kekuatanya mampu melayani dan memuaskan semua isterinya
secara bersamaan dalam satu waktu setiap kali berhubungan intim (Suwandono et al,
1977:40).
Cerita-cerita yang berkembang dalam wayang baik tertulis maupun konvensi-
konvensi lisan dari lakon-lakon carangan para dalang lebih menggambarkan bahwa
Arjuna adalah sosok pria gemar kawin, dan pemburu cinta sejati. Gambaran yang
kedua dibuktikan dengan banyaknya lakon-lakon tertulis maupun lisan yang
menceritakan karakter Arjuna mudah tertarik kepada wanita cantik yang mana; ketika
Arjuna telah terpikat ia akan memperjuangkan cintanya itu meskipun harus melanggar
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
63

aturan. Kisah tentang Arjuna berselingkuh dan merebut isteri orang lain itu misalnya,
dengan Banuwati isteri Duryudana, Dewi Antrakawulan isteri Prabu Barata di Ayodya,
dan Dewi Citrahoyi isteri Prabu Arjunapati di Sriwedari.
Kisah percintaan Arjuna dan Dewi Citrahoyi dalam Serat Kalimataya, karangan
MN IV, menarasikan bahwa sesudah perang Baratayuda, Arjuna dengan direstui oleh
Kresna memboyong permaisuri Prabu Arjunapati, ke Astina. Kejadian tidak lazim pada
kehidupan keraton itu, dilatarbelalakangi kematian Banuwati oleh sisa-sisa tentara
Korawa yang membunuh isteri Arjuna itu pada waktu malam hari. Untuk mengobati
kegalauan Arjuna akibat ditinggal mati Banuwati, maka Kresna memohon kepada
sahabatnya Prabu Arjunapati agar permaisurinya termuda yang wajahnya mirip
Banuwati itu diserahkan pada Arjuna.
Sahabat Prabu Kresna raja Sriwedari itu tidak keberatan memenuhi permintaan
itu, karena isteri termudanya itu kurang mencintainya. Akan tetapi, adik Prabu
Arjunapati, Raden Suwanda, patih Sriwedari sangat kecewa dengan arogansi Arjuna,
sehingga terjadi perang besar antara Pandhawa dan ksatria Sriwedari. Kisah cinta
Arjuna dengan Dewi Citrahoyi yang menyulut perang besar itu meninggalkan tragedi
memilukan berupa tumpasnya Arjunapati dan semua bala tentaranya, serta patih sepuh
Dwaraka, Hudawa (MN IV dalam Laginem, 1981:4).
Kisah percintaan Arjuna yang kontroversi itu sesungguhnya adalah sisi negatif
moral ketokohannya, namun demikian kisah-kisah itu tidak pernah menyurutkan
popularitas panengah pandhawa itu, sebaliknya malah menjadi model identifikasi
kehebatan pria Jawa terutama kaum priyayi di lingkungan keraton yang akan di bahas
selanjutnya.
Makna lelananging jagat berkaitan dengan perspektif kejantanan Arjuna dalam
mengawini banyak wanita bukan tidak mungkin dipengaruhi pandangan Jawa kuno
yaitu tantrayana dan pemujaan kesuburan di Jawa. Coitus (persetubuhan) antara pria
dan wanita dalam pandangan Hindu maupun Budha secara umum sangat disakralkan,
sehingga penyatuan pria dan wanita itu harus memenuhi syarat-syarat ketentuan agama
dalam lembaga pernikahan yang disebut grehastha. Di luar ketentuan tersebut
persetubuhan adalah tindakan jina yang melanggar agama dan dianggap sebuah kotoran
jiwa. Namun berbeda dengan keyakinan kedua agama tersebut, tantrayana, sebuah
sekte dalam Hindu, yang konon dicipta oleh Mahadewa, memandang bahwa
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
64

persetubuhan adalah sebuah ritual suci yang disebut maituna, lambang bersatunya Siva
dan Parwati yang akan mendatangkan anugerah, kesuburan (Soekmono 1985:34).
Soekmono (1985:34) lebih lanjut mendeskripskan bahwa maituna adalah
lambang kesatuan dewa dan saktinya, justeru dari sakti-sakti dewa itu asal mula aliran
energi trimurti. Konsep itulah yang mendasari setiap pasangan kehadiran arca-arca
dewa di candi Jawa yaitu, Brahma-Sarasvati, Wisnu-Laksmi, dan Siva – Parwati,
demikian pula lambang lingga dan yoni dalam tantrayana. Sisa-sisa kepercayaan
kesuburan dengan ritual maituna itu salah satunya terdapat di Candi Sukuh lereng Lawu
dalam candra sengkala Gapura Bhuta Anguntal Jalma (dalam tahun Jawa Gapura
Raksasa Menelan Manusia) artinya 1359 Caka atau 1437 masehi.
Candi di lereng Lawu yang berdiri masa pemerintahan Ratu Suhita (1429-1447)
periode akhir Majapahit tersebut banyak relief maupun arca pallus (alat kelamin pria)
dan vagina (alat kelamin wanita) ukuran besar sebagai media ritual maituna bertujuan
mendapatkan berkah bagi kesuburan masyarakat Majapahit di sekitar Lawu, serta
harapan kebangkitan datangnya pencerahan bagi kerajaan dinasti Rajasa yang saat itu
terus-menerus mengalami kemunduran karena perang saudara memperebutan tahta
Majapahit (Soekmono, 1985:78).

4.1.3.1.3. Makna Ideologi Wacana Arjuna


Sebagaimana dikemukakan Bartes dalam Hoed (2011:18) di atas bahwa wacana
mitos akan menjadi ideologi dari masyarakat tertentu jika mengalami kemapanan
makna. Sejajar dengan Bartes, dan episteme dari Foucault, Gramsci lebih jelas
mendefinisikan ideologi sebagai berikut.
ideologi adalah peta-peta makna yang menyokong kekuasaan kelompok sosial
tertentu mengakar pada praktik sosial kehidupan sehari-hari kehidupan
populer....ideologi memberi kita aturan-aturan perilaku praktis dan moral.
Ideologi adalah pengalaman sehari-hari sekaligus sekumpulan ide-ide sistematis
yang berperan untuk mengatur dan mengikat suatu blok elemen sosial yang
beragam dalam pembentukan blok-blok hegemonik maupun kontra hegemonik.
Hegemoni ideologi adalah proses di mana cara-cara pemahaman tertentu tentang
dunia menjadi demikian gamblang atau ternaturalisasi sehingga cara pemahaman
alternatif di luar mereka terasa tidak masuk akal atau tidak terpikirkan (Gramsci
dalam Barker, 2005:468).

Sejajar dengan konsep Gramsci, wacana ideologi dari Barthes dipahami sebuah
makna yang sistematis di masyarakat berupa sekumpulan ide-ide, aturan-aturan, serta
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
65

perilaku moral sehari-hari untuk menyatukan keberagaman baik yang menghegemoni


maupun kontra hegemoni dalam suatu tatanan yang dibentuk oleh kekuasaan.
Kembali pada ideologi sebagai wacana semiosis, tokoh Arjuna adalah makna-
makna yang mapan menjadi sebuah nilai bagi masyarakat Jawa di Mataram. Nilai-nilai
itu didukung oleh penguasa sebagai sebuah sistem anutan moral dan praktik tingkah
laku bagi masyarakat Mataram saat itu. Sebagai pengetahuan, ideologi Arjuna menjadi
kiblat karakter, baik oleh anggota masyarakat maupun perilaku individu penguasa
sendiri, dikarenakan sebagaimana dikemukakan Gramsci di atas, nilai-nilai tersebut
telah menjadi sistem pengetahuan, sehingga dalam hal penghayatan nilai itu, anggota
blok hitori Mataram tidak mungkin melampau sistem pengetahuan yang ada.
Merangkum berbagai mitos di atas dengan merujuk teori ideologi, baik semiosis
dari Bartes maupun Gramsci, nilai-nilai pengetahuan berkaitan dengan tokoh Arjuna di
Mataram, adalah representasi/personifikasi dari ide kekuasaan Raja-Raja Mataram, yang
mendambakan kesempurnaan kekuasaan yang dalam konsep Jawa disebut oleh
Soeratman mukti wibawa mbahudhendha nyakrarawati (mulia berwibawa berkekuatan
tinggi berbahu gada dan memutar roda kekuasaan dunia). Kesempurnaan kekuasaan
dibangun dari empat sumber kekuatan yang berpusat pada satu titik Raja Mataram,
yang disebut keblat papat lima pancer atau mancapat dan mancalima (Soeratman,
2000:89). Konsep kasampurnan dalam dimensi kekuasaan itu bisa dijelaskan dengan
skema gambar sebagai berikut.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
66

Nur
Muhammad

Gambar 11. Skema Sumber Kekuasaan Raja-Raja Mataram.

Diperjelas oleh skema di atas dapat diuraikan bahwa Arjuna adalah pusat dari
empat dimensi kekuasaan secara vertilal dan horisontal. Secara vertikal dari atas
bersumber dari Nur Muhammad kaliffatullah di muka bumi, dari arah bawah bersumber
dari dukungan rakyat yang dilambangkan Panakawan (Semar, Gareng, Petruk dan
Bagong), sedangkan secara horisontal dari arah belakang sebagai kawan pendukung
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
67

yang berasal dari raja-raja keluarga para isteri Arjuna, dan dari depan Arjuna dalam
posisi berhadapan dengan para raksasa kaum sabrang sebagai musuh yang harus
ditahlukkan yang pada akhirnya juga menjadi sumber kekuatan kekuasaan.
Nilai-nilai pengetahuan keblat papat lima pancer kekuatan Arjuna itu adalah
representasi kekuasaan Raja-Raja Mataram, dari atas sebagai trah agung binathara
keturunan para dewa dan nabi, dari belakang para pendukung permanen dari para isteri
yang berasal dari putri raja-raja bawahan misalnya pada zaman Sultan Agung, putri dari
Cirebon, Pati, dan Batang; sedangkan dari arah bawah dan musuh (para raja
pembangkang di Jawa timur dan barat), Raja-Raja Mataram itu menempatkan diri
sebagai trahing kusuma dan satria Tanah Jawa, yang istimewa dan berkuasa
memerintah raja lain.
Berdasarkan uraian di atas dari sisi nilai dapat disimpulkan bahwa sebab
dipilihnya Arjuna sebagai media diskursus bagi Raja-Raja Mataram dimotifasi untuk
memposisikan Arjuna sebagai tokoh tauladan bagi orang Jawa, karena panengah
Pandhawa memiliki karakter sempurna sebagai pria Jawa yaitu, berkuasa, jantan,
superior, produktif, dan religius. Nilai-nilai itu sesungguhnya adalah representasi
ideologi kekuasaan mancapat dan manca lima dari Raja-Raja Mataram. Nilai
kesempurnaan karakter Arjuna itu disebut oleh Solichin (2011) sebagai Insan Kamil
artinya manusia sempurna. Demikian pula Laurie (1994:1) dalam jurnal internasional
Spring 1994 pokok bahasan “Comparative Drama” mengatakan “Arjuna the third
Pandhawa brother, and his sons are the self controlled and exalted heroes, experts in
love, war, and mystical practices”.
Moertono (1985:34) berkaitan dengan konsep kedudukan raja Jawa
mengemukakan bahwa raja diposisikan sebagai pusat mikrokosmos negara yang
menempati hierarki tertinggi sebagai penguasa negara dan rakyat. Karena mikrokosmos
dianggap sejajar dengan makrokosmos maka raja disamasesuaikan dengan dewa dengan
permaisurinya, biasanya Wisnu-Laksmi atau Syiva – Parwati. Di era Mataram
meskipun doktrin Islam menolak penyamasesuaian itu tetapi doktrin raja sebagai
kalifatullah; di mana raja sebagai wakil Tuhan di muka Bumi, juga memiliki pengertian
sejajar dengan raja era Hindu yaitu kekuasaan total raja atas negara dan rakyatnya.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
68

4.2. Proses Terjadinya Diskursus Tokoh Arjuna dalam Legitimasi Raja-Raja


Mataram
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata proses bermakna
“runtunan perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu” (Setiawan, 2011:1).
Relasi kata proses dengan diskursus tokoh Arjuna dalam Legitimasi Raja-Raja Mataram
menguraikan runtunan peristiwa, perubahan dan cara-cara yang digunakan oleh
penguasa Mataram dalam mewacanakan tokoh Arjuna untuk kepentingan-kepentingan
legitimasi kekuasaanya. Kali menguraikan pandangan Foucault tentang
diskursus/wacana sebagai berikut.
Wacana dipahami oleh Foucault sebagai penjelasan, pendefinisian,
pengklasifikasian, dan pemikiran orang, pengetahuan, serta sistem-sistem
abstrak pemikiran, tidak terlepas dengan relasi kekuasaan. Wacana selalu
bersumber dari manusia yang memiliki kekuasaan dan dari mereka yang
memiliki pemikiran kreatif. Hal itu memungkinkan mereka untuk
membangkitkan relasi kekuasaan dan pengetahuan dalam sitem sosial, dan
kemudian dengan berpijak pada tautan relasi tersebut mereka mampu
memproduksi wacana yang kebenarannya diakui dan bertahan suatu rentang
historis tertentu (Kali, 2013:55).

Yusuf Lubis mengemukakan (2014a:176) menurut teori Foucault diskursus


dibangun melalui jejaring kuasa – pengetahuan – kebenaran. Kuasa didapat dari
pengetahuan, dan dipraktikkan menggunakan wacana melalui bahasa. Kuasa-
pengetahuan-dan kebenaran adalah relasi-relasi yang dimaknai spesifik oleh Foucault.
Kuasa bukan dimaknai sebagai sesuatu yang diperoleh, disimpan, dibagi, dan dimiliki,
tetapi adalah strategi pengetahuan yang dipraktikkan, artinya pengetahuan tertentu akan
mendatangkan kekuasaan bagai seseorang di bidang terkait. Kuasa menurut Foucault
bukan wewenang yang terfokus pada penguasa tetapi menyebar ke banyak figur
maupun lembaga; tidak selalu bekerja secara negatif dan represif tetapi positif sekaligus
produktif menghasilkan makna-makna baru, obyek-obyek, pandangan-pandangan, dan
ritus-ritus yang disepahami dan disepakati oleh kolektif sosial sebagai sebuah
kebenaran.
Pengetahuan disini dipandang sebagai power knowledge yaitu kesatuan antara
kuasa dan pengetahuan. Pengetahuan yang terbentuk dari bahasa akan menjadikan
kuasa, yaitu kemampuan mengkomunikasikan pikiran untuk mempengaruhi kehendak
orang lain. Pengetahuan yang dimaksud adalah bahasa itu sendiri yang oleh Ricoer
dianggap “rumah sang ada”. Maksudnya, bahasa adalah media bagi manusia untuk
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
69

mendapatkan segala pengetahuan. Melalui bahasa Foucault dalam genealogi


mengkronologikan, bahwa manusia belajar mengetahui berbagai hal yang dilihat,
belajar norma-norma, aturan-aturan, nilai-nilai, apa yang boleh dan dan yang tidak yang
rasional atau-pun irrasional yang pada gilirannya membentuk kesadaran pada jiwa-jiwa
manusia yang diistilahkan sebagai personal-personal atau subyek-subyek (Yusuf Lubis,
2014b:167-192).
Kebenaran dalam relasi kuasa dan pengetahuan adalah norma-norma, nilai-
nilai, dan aturan-aturan yang telah menyatu dalam sistem cara berpikir dan bertingkah
laku manusia dalam kurun era tertentu yang oleh Foucaul disebut episteme. Disebut
sebagai kebenaran karena episteme adalah konstruksi budaya sebagai sebuah
kesepakatan dan kesepahaman kolektif tentang apa yang dianggap benar dan tidak
benar, apa yang dianggap boleh dan yang dilarang, apa yang memenuhi etika dan yang
tidak etis dan sebagainya. Hubungannya dengan penguasa dikemukakan oleh Foucault
bahwa kebenaran dalam sebuah episteme itu berakar dan dikontrol oleh penguasa
dengan cara desentralisasi dan pluralisasi, yaitu mensosialisasikan wacana dari
penguasa melalui lembaga-lembaga terkait dan kepada individu-individu secara budaya
dalam masyarakat (Yusuf Lubis, 2014a:80-87)
Untuk memperjelas bagaimana diskursus dibangun dalam jejaring kuasa,
pengetahuan dan kebenaran dalam teori Foucault, sebagaimana diuraikan oleh Kali dan
Yusuf Lubis di atas bisa dijelaskan melalui gambar skema berikut.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
70

KUASA &
PENGETAHUAN

PRAKTIK DISKURSIF
(Jalinan hubungan antara bahasa,
pengetahuan, pikiran dan tindakan

KEBENARAN BAHASA &


WACANA

Gambar 12. Skema Jejaring Kuasa (Foucault dalam Yusuf Lubis, 2014a:176).

Skema di atas menjelaskan bahwa kuasa oleh Foucault dipahami sebagai


kemampuan mengkomunikasikan pikiran untuk mempengaruhi kehendak orang lain.
Kuasa didapat dari pengetahuan-pengetahuan melalui bahasa diwacanakan oleh
penguasa menjadi sebuah ide, tingkah laku, norma, aturan yang membudaya menjadi
pola pikir kolektif yang diistilahkan Foucault episteme, melalui lembaga-lembaga yang
ada seperti pendidikan, pelatihan, himbauan, instruksi, dan komunitas-komunitas publik
yang memungkinkan menerima pengetahuan. Pribadi-pribadi di lingkungan wacana
baik para penguasa maupun rakyat anggota kolektif akan memahami dan menerima
episteme sebagai sebuah kebenaran karena mereka telah dikondisikan secara budaya
sejak tahap balita belajar berbahasa hingga tersosialisasi menjadi bagian masyarakat
diskursif. Dengan demikian, kuasa-kuasa sebagai sebuah pengetahuan menyebar ke
seluruh individu-individu maupun kelompok yang secara budaya akan patuh kepada
episteme yang telah dikonstruksi penguasa (Foucault dalam Yusuf Lubis, 2014a:178).
Dituntun oleh pemahaman konsep jejaring kuasa dari Foucault di atas, dapat
diuraikan alur analisis tentang proses terjadinya diskursus tokoh Arjuna di Mataram
seperti gambar skema berikut.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
71

Raja-Raja
Mataram

Episteme
Pengetahuan
Budaya Wayang
Wayang Arjuna
Mataraman

Kuasa
Dalang,
Penanggap &
Penonton

Gambar 13. Skema Proses Diskursus Arjuna.

Skema di atas memetakan analisis bahwa tokoh Arjuna diwacanakan oleh Raja-
Raja Mataram dengan bersumber pada Babad Tanah Jawi, secara desentralisasi dan
pluralisasi lewat relasi pertunjukan wayang. Secara desentralisasi, pertunjukan wayang
disosialisasikan lewat tradisi di berbagai lapisan dan hierarki masyarakat Mataram
seperti di lingkungan keraton, rumah para priyayi, adat tradisi masyarakat maupun
kepentingan ritual-ritual keluarga. Diskursus secara pluralisasi berupa penyebaran
nilai-nilai wayang Arjuna kepada para penonton umum secara ekplisit maupun implisit
dalam pakeliran. Penyebaran pengetahuan diskursus Arjuna itu pada gilirannya
membentuk personal-personal yang terkondisi dalam budaya pewayangan dengan
Arjuna sebagai sentral tokoh panutan. Dari proses praktik diskursif itu menghasilkan
personal-personal masyarakat kolektif Jawa yang menerima secara total sistem berfikir
tata kehidupan priyayi Mataram. Proses subyektifitas dalam kolektifitas Jawa untuk
senyawa dengan budaya priyayi itulah faktor utama hegemoni terhadap legitimasi Raja-
Raja Mataram awal, terutama era Sultan Agung hingga sekarang. Alur pemikiran
tersebut dianalisis seluruhnya dalam pemaparan selanjutnya.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
72

Berpedoman pada alur pemikiran di atas pengetahuan tentang nilai-nilai Arjuna


dimiliki oleh relasi kuasa dalang, penanggap, dan penonton dan dipraktikkan dalam
pementasan wayang.
Pertama, dalang sebagai aktor utama dalam pertunjukan wayang mendapat
perhatian utama dalam sebuah pertunjukan wayang baik dari penanggap maupun para
penonton. Perhatian tersebut bisa berujud fasilitas-fasilitas atau-pun honor yang
diberikan dalang atau penghormatan terhadap profesi dalang sebagai tetua dan guru
masyarakat. Dengan berbekal pengetahuan tentang wayang dalang mendapat kuasa
sebagai tetua dan guru masyarakat.
Kedua, penanggap sebagai penyelenggara pertunjukan wayang juga akan
menduduki posisi terhormat dalam masyarakat Jawa dikarenakan selain sebagai hiburan
dan tuntunan, pentas wayang adalah simbol kemapanan ekonomi bagi penanggap.
Semakin tinggi honor dalang dan beaya yang dikeluarkan dalam penyelenggaraan
pentas wayang, akan menunjukkan gengsi yang tinggi bagi penanggap di tengah-tengah
masyarakat. Kedudukan wayang dalam budaya Jawa sebagai karya adiluhung juga akan
mendatangkan apresiasi kepada penanggap sebagai anggota masyarakat yang bercita
rasa seni tinggi, berwawasan budaya serta akan dinilai sebagai pelestari identitas Jawa.
Dengan menanggap wayang penanggap mendapatkan kuasa sebagai pelestari budaya.
Ketiga, penonton sebagai audiens penikmat pentas wayang akan mendapatkan
pengalaman jiwa tentang nilai-nilai moral yang disampaikan oleh dalang dalam
kemasan cerita wayang. Sutrisno (et.al.,2009:1) menyebut bahwa pentas wayang adalah
wahana refleksi, kontemplasi, dan introspeksi intuitif yang akan berpengaruh pada
pengendalian diri bagi para penikmat. Dengan demikian penonton wayang lewat amanat
dari dalang dituntun menjadi warga masyarakat yang baik sesuai dengan nilai-nilai Jawa
yang berlaku. Penonton mendapat kuasa pengetahuan untuk bersosialisasi dengan
norma budaya Jawa.
Bentuk relasi antara dalang, penanggap maupun penonton, nampak pada
pementasan wayang yang bisa dilihat dari event-event penyelenggaraan, tempat di mana
pentas diadakan serta bentuk dan cara-cara yang dilakukan dalang dalam
menyampaikan pesan kepada masyarakat.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
73

4.2.1. Kesempatan Pentas Wayang


Kesempatan pentas wayang terselenggara sesuai dengan kebiasaan masyarakat
Jawa yang telah mentradisi, diantaranya hajatan keluarga, ritual-ritual tradisi
masyarakat dan acara-acara yang diadakan keraton.
Pertama, pentas wayang di lingkungan keluarga diselenggarakan dalam ritual
memperingati vase-vase pergantian tataran kehidupan seperti tradisi mitoni (selamatan
tujuh bulan kehamilan wanita), sepasaran bayi (selamatan lima hari kelahiran bayi),
tetakan/tetesan (selamatan pergantian vase anak-anak laki-laki/perempuan menjadi
dewasa), pernikahan, dan nyewu (selamatan seribu hari kematian). Salah satu ritual
keluarga, mitoni atau populer di Jawa disebut tingkeban digunakan sesaji berupa buah
kelapa gading yang digambari tokoh Arjuna dan Subadra dengan maksud harapan dari
keluarga agar bayi yang akan lahir laki-laki atau perempuan meniru sifat-sifat Arjuna
atau Subadra.
Kedua, pentas yang diselenggarakan oleh masyarakat misalnya bresih dusun,
sedhekah bumi, dan sadranan, yang bertujuan memuliakan roh-roh nenek moyang serta
doa keselamatan untuk masyarakat.
Ketiga pentas wayangan di lingkungan keraton diantaranya peringatan wiyosan
jumenengan, tumbuk yuswa, yaitu berjaga pada malam-malam ulang tahun penobatan
raja kelahiran raja, serta tuguran yaitu berjaga ketika raja sedang pergi dari keraton
(Soetarno, 2002:11).

4.2.2. Tempat Pentas Wayang


Tempat atau ruang dalam pembahasan ini mencakup pengertian tidak hanya
ruang dan waktu pementasan diadakan, tetapi juga berkaitan dengan golongan lapis
sosial yang menyelenggarakan. Perbedaan sosial penyelenggara pentas wayang akan
berpengaruh pula terhadap nilai pengetahuan yang disampaikan oleh dalang. Soetarno
(2002:13) mengutip pendapat Nayawirangka membagi ruang pentas dalang menjadi
tiga, yaitu: wayangan pringgitan, pendapan dan kebonan. Pembagian ruang wayangan
sebagaimana dipilah oleh Soetarno itu tidak sekedar berkaitan pringgitan, pendapa, dan
kebon, sebagai ruang dalam arti harfiah tetapi lebih bermakna status sosial pemilik dari
tempat tersebut.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
74

Pringgitan adalah sebuah ruangan di keraton yang terletak di antara ruang


terdepan pendhapa dan dalem, rumah bagian dalam, yang dalam tradisi Jawa
diperuntukan untuk menyelenggarakan wayang. Pentas di pringgitan bagi dalang
menduduki status tertinggi karena disaksikan oleh raja, permaisuri, para pangeran serta
pejabat tertinggi di lingkungan keraton serta para bupati undangan raja, bisa juga raja-
raja lain di luar Jawa sebagai undangan raja. Sesuai dengan tradisi wayangan di keraton
dalang ditunjuk oleh raja dari para pangeran dengan menggunakan wayang terbaik
(Soetarno, 2002:11).
Sebagaimana telah terbangun pada kultur sebelumnya, pentas wayang di keraton
lebih mengarah pada pemuliaan raja yang sedang berkuasa. Di era Mataram awal
Sultan Agung, misi utama pementasan wayang adalah untuk mewacanakan pengetahuan
dan nilai-nilai yang berkaitan tentang Arjuna sebagai alat untuk membangun legitimasi
kekuasaan, dengan cara mengukuhkan Arjuna sebagai leluhur raja-raja Mataram.
Dalang sebagai pemeran utama dalam pertunjukan wayang di keraton selain
terdiri dari para pangeran juga abdi dalem dalang yang dipandang memiliki kemampuan
oleh raja. Sayid (1958:60) dalam Bauwarna Kawruh Wayang menguraikan bahwa
dalang-dalang terkenal abdi dalem di Mataram diantaranya adalah Ki Widiguna, Ki
Cermanasa, Ki Widi Leksana, Ki Tur Krucil dan yang paling populer Ki Panjangmas
dipercaya sebagai moyang dalang-dalang di Solo, Jogja, serta Banyumas. De Graaf
(1987 : 28) menguraikan bahwa Ki Panjangmas selain ahli mendalang juga seorang
sastrawan yang dipandang memiliki kapasistas intelektual pada jaman itu. Selanjutnya
Graaf mengemukakan bahwa Panjangmas ditunjuk oleh Susuhunan Hanyakrawati,
ayahanda Sultan Agung, sebagai penyusun Babad Demak, serta menjadi tetua dalang
yang bertanggung jawab atas kegiatan pedalangan di Mataram terutama terkait dengan
ritual pangruwatan.
Di ruang pringgitan Kraton Mataram itulah, awal mula nilai-nilai pengetahuan
tentang Arjuna digali dan diwacanakan. Oleh karena konsep Jawa yang memposisikan
raja sebagi pusat kekuasaan, maka pentas-pentas wayang di keraton adalah ruangan
paling efektif sebagai wahana tranformasi wacana-wacana pengetahuan tentang
wayang, karena nilai-nilai pengetahuan tersebut langsung ditranfer kepada pejabat
penting pemegang kuasa baik di dalam maupun di luar keraton. Wayangan pringgitan
adalah sebagai doktrin tidak langsung secara komprehensip yang memungkinkan akan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
75

secara mudah menyebar ke seluruh lini kerajaan Jawa, mengingat bahwa nilai-nilai yang
diciptakan di keraton bermakna sebagai hukum yang akan dipatuhi oleh seluruh rakyat
(Soetarno, 2002:14).
Ruang kedua di luar keraton adalah wayangan pendapan. Akhiran an pada kata
pendapa mengacu pada makna ruang terdepan rumah kaum priyayi (biasanya berbentuk
joglo) representasi dari orang-orang di sekitar raja, sejak pejabat terdekat hingga pejabat
tingkat desa seperti demang, lurah, jagabaya, kebayan dan sebagainya. Rumah-rumah
priyayi meskipun di luar tembok keraton tetapi dalam budaya Jawa, masih tergolong
tempat terhormat karena para priyayi adalah pemegang kuasa di bawah kendali
penguasa. Berbeda wayangan pringgitan yang khusus ditonton oleh keluarga raja serta
para tamu penting kerajaan, wayangan pendapan di rumah-rumah priyayi Jawa
memungkinkan menghadirkan penonton homogen. Lebih banyak didominasi kehadiran
para tamu sesama priyayi kenalan dari penanggap; bisa juga dihadiri oleh para pangeran
atau-pun raja bagi priyayi yang memiliki hubungan dekat dengan raja. Sangat
memungkinkan juga, kehadiran orang kebanyakan dari golongan rakyat, jika rumah
priyayi terletak di desa jauh dari kota raja. Karakter pementasan wayang pendapan
meskipun masih mengacu pada norma-norma pakem sebagaimana di keraton, bentuk
pertunjukan mengarah ke tontonan yang menghibur; menyesuaikan cita rasa penonton
campuran antara priyayi dan kalangan rakyat yang pada umumnya kurang berminat
pada bentuk tontonan serius tentang kedalaman filosofi. Dalam hal pemilihan dalang
wayangan pendapan berbeda dengan kebiasaan keraton. Jika di keraton dipilih dalang-
dalang dari para pangeran dan abdi dalem dalang, di lingkungan priyayi biasanya
mendatangkan dalang-dalang keraton, atau dalang-dalang terkenal di daerah. Kehadiran
dalang terkenal tersebut selain menjamin kualitas mutu pentas juga akan menjadi
prestise bagi penanggap karena dalang terkenal di daerah, biasanya honor serta dana
penyelanggaraannya relatif tinggi.
Ruang pementasan wayang ketiga menurut Soetarno (2002:13) adalah kebonan.
Kebonan adalah berasal dari kata dasar kebon mendapat akhiran an mengacu pada
makna pekarangan rumah, bagian depan atau belakang. Menurut Soetarno wayangan
kebonan mengacu pada bentuk pementasan di masyarakat luas, di luar level keraton
maupun rumah kaum priyayi, yang tidak dikekang oleh pedoman-pedoman pakem,
sehingga lebih cenderung sebagai tontonan atau hiburan. Pilihan dalang yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
76

ditampilkan oleh penanggap di kalangan rakyat juga beragam sesuai dengan


kemampuan ekonomi penanggap. Sesuai kebiasaan masyarakat agraris Jawa, wayangan
di daerah akan dipilih dalang lokal yang telah dikenal di daerah tersebut.
Di ketiga ruang pentas wayang baik di keraton dan di masyarakat luas ditinjau
dari levelitas dan komunitas penonton merupakan unsur-unsur proses yang menunjang
diskursus Arjuna di Mataram.

4.2.3. Cara Mewacanakan Tokoh Arjuna dalam Pentas Wayang.


Tidak kalah penting dalam analisis ini adalah metode atau cara-cara yang
digunakan oleh penguasa dan para pemegang kuasa dalam membangun diskursus
dengan media tokoh wayang Arjuna. Metode wacana Raja-Raja Mataram sangat efektif
dan berhasil mengkonstruksi sistem berfikir masyarakat Mataram, lewat tokoh wayang
Arjuna menggunakan dua cara, yaitu mewacanakan Arjuna secara ekplisist lewat teks
karya sastra dan secara implisit lewat nilai-nilai dalam pewayangan. Dengan kedua
metode tersebut Sultan Agung dan raja-raja penerusnya secara konsisten dan
berkesinambungan, terus-menerus membangun normalisasi dan regulasi dalam aturan-
aturan praktik mendalang yang disebut pakem. Pakem itu menjadi alat sangat efektif
dan menentukan dalam hal strategi mewacanakan Arjuna, disebabkan dijadikan sebagai
aturan baku pertunjukan wayang bagi para dalang se-wilayah Mataram oleh keraton.

4.2.3.1. Wacana Tokoh Arjuna Secara Eksplisit dalam Teks Pakem


Pewacanaan Arjuna secara ekplisit dalam pembahasan ini dimaksudan wacana-
wacana yang mudah ditangkap bagi dalang dan penikmat melalui tulisan-tulisan yang
harfiah dalam buku-buku sumber literatur pedalangan yang dalam dunia pedalangan
lebih dikenal dengan sebutan pakem. Dalam praktik mendalang tulisan-tulisan dalam
bentuk kalimat dan kata-kata itu juga diucapkan oleh dalang secara verbal. Sutrisno
(2009:26) mendefinisikan bahwa pakem adalah buku pedoman mendalang bagi para
dalang. Pakem dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu pakem gancaran, balungan, dan
tuntunan pakeliran. Pakem gancaran adalah buku teks berbentuk prosa yang memuat
mitologi dan cerita wayang seperti Mahabarata Kawedhar karangan Sutarta Harja
Wahana, Pustakarajapurwa dan Serat Paramayoga tulisan dari Ranggawarsita, Serat
Dewa Ruci oleh Yasadipura II, dan sebagainya. Balungan adalah teks berisi garis-garis
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
77

besar jalan cerita lakon wayang seperti Serat Pakeliran Ringgit Purwa, karangan MN
VII, Buku Balungan Lakon berjudul Pakem Wayang Purwa tulisan Prabaharjono,
Kumpulan Balungan Lakon, karangan Sabdawara, Reroncen Balungan Ringgit Purwa
tulisan Hargono dan sebagainya. Jenis ketiga, Pakem tuntunan pakeliran adalah buku
pedoman mendalang lengkap yang berisi dialog, sulukan, narasi, dan deskrepsi tentang
jalanya cerita, misalnya Wahyu Pakem Makutharama karangan Wignyo Soetarno dan
Irawan Rabi tulisan Naya Wirangka.
Dalam ketiga jenis pakem yang juga karya termasuk sastra klasik Keraton
Surakarta di atas cerita tentang Arjuna sangat mendominasi . Pakem gancaran utama
seperti Mahabarata kawedhar, mewacanakan Arjuna dan saudara-saudaranya
Pandhawa sejak “parwa I Adiparwa” tentang leluhur dan masa kecil Arjuna, masa
kejayaan Arjuna dan Pandhawa, dalam “Baratayudha” hingga “Swarga Rohana parwa”
Arjuna bermeditasi untuk mencapai moksa. Sebuah kitab sempalan (ranting) dari
Baratayudha karangan Lokamaya disebut Bagawat Gita, berisi wejangan (nasehat)
Kresna kepada Arjuna juga menokohkan Arjuna sebagai simbol individu manusia yang
mampu bersatu dengan Tuhan yang dilambangkan Krisna. Demikian pula Arjuna
Wiwaha karangan Mpu Kanwa dan Partayadna karangan Mpu Triguna, sebagaimana
telah disinggung di atas.
Dominasi cerita tentang Arjuna juga tampak pada pakem jenis kedua yang
populer disebut balungan. Pakem balungan berupa uraian tentang jalan cerita lakon
carangan (prahmen cerita yang masih bersumber dari pakem utama), itu diantaranya
“Arjuna Wiwaha”, “Partayatna”, “Parta Krama”, “Wirathaparwa”, “Parta Soba”,
“Arjuna Rangka”, “Parta Warayang”, “Cekel Indralaya”, “Puthut Sidalamong”, dan
masih banyak lagi. Suratno (2003:38) dalam penelitiannya berjudul Studi tentang
Lakon Wahyu dalam pakeliran Wayang Kulit Purwa di Surakarta Dalam Satu Dekade
terakhir, menyimpulkan bahwa dari banyak lakon wahyu Arjuna dan Abimanyu-lah
yang paling banyak menerima wahyu.
Berkaitan dengan pakem tuntunan pedalangan, tokoh Arjuna juga menjadi
pilihan bagi penulis pakem. Di lingkungan pedalangan dikenal empat naskah lakon yang
dipandang berbobot dan menjadi acuan para dalang, semuanya bertema tentang Arjuna,
yaitu Lakon Wahyu Pakem Makutharama dan Arjuna Wiwaha karangan Wignyo
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
78

Soetarno, Wahyu Purba Sejati karangan Siswa Harsaya, dan Irawan Rabi karangan
Nayawirangka.
Dominasi penampilan Arjuna dalam pakeliran juga nampak berkaitan dengan
pathet. Sutrisno (et al., 2009:41) mengemukakan bahwa semua bentuk pentas wayang
baik semalam, ringkas maupun padat selalu mentaati ketentuan pakem yang terdiri dari
pathet nem, sanga, dan manyura. Ketiga pathet dikaitkan dengan makna simbol
perjalanan hidup manusia, pathet nem gambaran proses kehidupan masa muda, pathet
sanga menyimbolkan kehidupan masa tua, dan manyura simbol ketika manusia telah
hampir mendekati kematian. Di antara ketiga pathet Solichin (2010:186) berpendapat
bahwa pathet sanga-lah yang tertinggi dan penting karena dalam pathet tersebut
manusia sampai pada tahap sepuh artinya sepuh sepi hawa awas loroning atunggal
(masa tua yang telah mampu mengendalikan napsu serta waspada terhadap kesatuan
dikotomi benar dan salah).
Tokoh Arjuna leluhur dan keturunanya garis ke atas Pandhu (ayah), Abiyasa
(kakek), Palasara (buyud) dan garis ke bawah Abimanyu (anak), Parikesit (cucu) dalam
pakem tuntunan pedalangan selalu ditampilkan dalam pathet sanga yang dikatakan
Solichin sebagai pathet tertinggi. Kekhususan Arjuna pada adegan tersebut adalah
tampil dalam adegan meditasi di tengah hutan, berguru pada pendeta dan perang
kembang. Ketiga adegan tersebut dipandang sangat penting dalam pedalangan karena
dianggap representasi nilai Jawa sebagai manusia yang telah sempurna dalam hal
pengendalian diri, mencari ilmu dan mengesampingkan napsu-napsu negatif.

4.2.3.2. Wacana Tokoh Arjuna Secara Implisit dalam Pakeliran


Pewacanaan Arjuna selain dibangun oleh Sultan Agung dan keturunannya
secara eksplisit lewat teks-teks pakem, juga dibangun secara implisit melalui nilai-nilai
wayang. Hal itu dikarenakan pencipta Babad Tanah Jawi sebagai sumber wacana
tentang Arjuna sangat menyadari bahwa nilai adalah sumber ide yang menuntun etika
dan estetika, bagi masyarakat Jawa, maka wacana Arjuna lewat nilai-nilai merupakan
strategi sangat efektif untuk mempengaruhi masyarakat Jawa (Magnis Suseno, 1991:69-
71).
Nilai-nilai tokoh Arjuna tersembunyi di balik makna-makna baik rupa wayang
sebagaimana semiotika di atas maupun lewat dialog-dialog, narasi, sulukan, dan juga
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
79

adegan. Nilai-nilai dalam pakeliran disampaikan dalang sebagai amanat atau pesan
moral secara tersirat. Penonton akan menangkap pesan-pesan itu melalui kontemplasi
dan refleksi makna pertunjukan. Nilai-nilai moral dalam pakeliran terkandung pada
hampir seluruh unsur dan aspek pakeliran, tetapi dalam pembahasan ini dikhususkan
pada nilai yang menyangkut wacana tokoh Arjuna dalam adegan perang kembang dan
relasinya dengan Panakawan.
Adegan perang kembang sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan
tentang pakem tuntunan pedalangan di atas, mengandung nilai pengendalian diri
sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan hidup yang diistilahkan kasampurnan.
Cresnayani (et.al,. 2009:289) mengemukakan bahwa adegan perang kembang, Arjuna
berperang dan membunuh empat raksasa, Cakil, Rambut geni, Pragalba, dan Buta
Galiyuk adalah simbol dari pribadi yang selalu menghadapi empat napsu lauamah,
amarah, sufiyah dan mutmainah. Keempat napsu itu maknanya masing-masing,
lauamah napsu kemalasan, amarah napsu kemarahan, sufiyah napsu birahi dan
mutmainah napsu kesucian. Kemenangan Arjuna melawan keempat raksasa dipandang
sebagai simbol kesempurnaan manusia mencapai hakekat hidup setelah mampu
mengesampingkan keempat napsu. Solichin (2010:282) berpendapat bahwa makna
simbol dari adegan perang kembang adalah makna esensial adanya wayang karena
makna itu menuntun manusia Jawa untuk mencapai hakekat kesempurnaan untuk
manunggaling kawula gusti yang artinya bersatu dengan hakekat hidup yaitu Tuhan.
Nilai-nilai perang kembang itu dikonstruksi dan diwacanakan lewat pertunjukan
wayang untuk menyampaikan pesan moral kepada masyarakat luas bahwa Raja-Raja
Mataram yang disimbolkan tokoh Arjuna adalah manusia yang telah mencapai derajat
kesempurnaan menyatu dengan dzat Tuhan. Persatuan manusia dengan Tuhan yang
dalam mistik Jawa populer disebut Manunggaling Kawula Gusti mengandung dimensi
legitimasi kekuasaan. Solikhin (2008:104-105 ) dalam tulisannya berjudul Ajaran
Ma’rifat Syekh Siti Jenar mengemukakan bahwa syarat manusia bisa menyatu dengan
Dzat Allah adalah jika telah mencapai derajat insan al kamil (manusia sempurna), dan
pada derajat itu-lah manusia bisa disebut sebagai kalifah fi al- Ardh yang artinya wakil
Tuhan di muka Bumi. Dengan demikian perang kembang mengandung pesan bahwa
Sultan Agung adalah wakil Tuhan di Tanah Jawa.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
80

Demikian pula relasi antara Arjuna dengan Panakawan dan musuhya para
danawa/buta, adalah nilai-nilai implisit dalam pakeliran yang disampaikan kepada
masyarakat penonton yang berisi pesan bahwa Raja-Raja Mataram adalah wiji luhur
trahing kusuma rembesing madu wijiling andanawa ri (ras super, keturunan para
pahlawan, darah bangsawan, dan musuh para angkara murka). Sultan Agung
dikodratkan sebagai penguasa orang Jawa dan satria penahluk bagi para pembangkang,
sehingga siapa-pun golongan pembangkang disimbolkan sebagai kaum raksasa, buta,
sabrang dan/atau danawa. Adegan Arjuna dengan Panakawan abdinya yang terdiri
dari Semar, Gareng, Petruk dan Bagong, serta peperangan Arjuna dengan raksasa dalam
Perang Kembang adalah representasi dari konsep tersebut. Nilai-nilai implisit relasi
Arjuna dengan Panakawan dan para raksasa dalam perang kembang dapat digambarkan
dalam skema berikut.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
81

Raja-Raja Mataram
trah Arjuna
istimewa di atas
kebanyakan orang

Buta dan danawa


lambang musuh Panakawan
Mataram lambang orang
kebanyakan

Gambar 14. Skema Relasi antara Arjuna dengan Panakawan, dan Buta.

Dalam setiap pentas, dalang selalu mengacu ketiga jenis pakem di atas. Pakem
gancaran sebagai sumber acuan bagi dalang tentang silsilah, isi cerita dan nilai-nilai
moral lakon wayang. Pakem balungan menjadi acuan bagi dalang dalam hal alur lakon
khususnya lakon-lakon carangan (cerita baru yang masih mengacu pada cerita baku),
dan pakem tuntunan diacu dalam hal urut-urutan adegan. Selain ketiga jenis pakem
tertulis, masih banyak pakem-pakem konvensi tidak tertulis dalam hal tehnik
mendalang tentang sulukan (vokal dalang), sabet (tata cara menggerakkan wayang), dan
catur (tata wacana wayang). Semua pakem bersumber dari para pujangga dan guru-guru
pedalangan keraton yang telah mendapat pengesahan raja yang sedang berkuasa,
diturunkan dari dalang legendaris Mataram, Kyai Panjangmas serta berpedoman pada
isi Babad Tanah Jawi karya sastra era Sultan Agung (Graaf, 2002:327).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
82

4.2.4. Diskursus Arjuna Dilembagakan di Sekolah Dalang Keraton


Pakem pedalangan yang sebelumnya berujut konvensi-konvensi lisan di
lingkungan para dalang mulai dilembagakan secara resmi sejak era PB X dalam
Pasinaon Dalang ing Surakarta (PADASUKA) berdiri tahun 1923 di keraton
Surakarta, Pasinaon Dalang Mangkunagaran (PDMN) didirikan pada tahun 1931, di
Pura Mangkunagaran, dan Hanggiyarake Biwara Rancangan Dalang (HABIRANDA)
berdiri tahun 1925 di keraton Jogjakarta (Soetarno 1995:15). Melalui pakem dan
sekolah-sekolah dalang tersebut calon dalang dan bahkan juga dalang-dalang yang
meskipun sebelumnya telah laris, dituntut menjalani tahap sosialisasi dengan norma-
norma dan aturan-aturan pedalangan gaya keraton sesuai dengan disiplin-disiplin yang
telah di buat para empu-empu pedalangan keraton yang mendapat pengesahan raja, PB
X dan MN VII saat itu.
Pakem dan sekolah dalang dalam teori Foucault tentang power dipahami sebagai
institusi-institusi yang didirikan oleh penguasa sebagai sarana untuk mendisiplinkan dan
mensosialisasikan norma-norma kepada individu-individu (Yusuf Lubis, 2014a:80).
Dalam bukunya berjudul The History of Sexuality (1978), Foucault menguraikan
bahwa:
Bio-power adalah satu bentuk kekuasaan yang berfokus pada bagaimana
mengatur kehidupan manusia pada tingkat populasi masa. Pada bio-power
institusi melakukan apa yang disebut “power/knoledge” dengan melakukan
pelatihan dan pendidikan bagi individu dan ini meningkatkan dan mengatur
kehidupan manusia secara umum (Foucault dalam Yusuf Lubis, 2014a:80).

Sejak lahirnya pakem pedalangan keraton terjadi kecenderungan di masyarakat


penilaian yang positif terhadap dalang-dalang penganut pakem terutama lulusan sekolah
pedalangan PADASUKA, PDMN, maupun HABIRANDA di Jogjakarta, sebagai dalang
berkualitas yang merepresentasikan cita rasa priyayi keraton. Dengan adanya norma-
norma dan aturan-aturan pementasan wayang dalam bentuk pakem sebagai acuan
semua dalang di Jawa maka wacana tokoh Arjuna disosialisasikan terus secara menerus
oleh dalang kapan-pun dan di mana-pun. Dengan demikian tidak hanya para dalang
yang mengalami tahap sosialisasi dan pendisiplinan di sekolah-sekolah dalang, tetapi
juga para penonton baik di lingkungan komunitas keraton, rumah-rumah priyayi, atau di
tengah-tengah masyarakat umum. Dalam jangka waktu tertentu, sosialisasi itu akan
mengkonstruksi kesepahaman dan kesepakan dalam kesatuan kolektif Jawa dalam
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
83

bentuk sebuah cita rasa bersama, kegemaran bersama atau identitas bersama dalam
periode Mataram yang disebut oleh Foucault sebagai episteme (Foucault dalam Yusuf
Lubis, 2014b:184).
Dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa diskursus tokoh Arjuna
diwacanakan sejak zaman Sultan Agung dengan cara desentralisasi dan pluralisasi,
kuasa pengetahuan tersebut kepada masyarakat luas. Artinya, pengetahuan tentang
Arjuna yang mendatangkan power knowledge (kuasa pengetahuan) bagi setiap individu
di Mataram, tidak memusat di lingkungan keraton tetapi disebarluaskan melalui agen-
agen utama wacana yaitu dalang, penanggap maupun penonton dalam ivent-ivent yang
telah mentradisi dalam masyarakat Jawa di berbagai lapisan baik lapisan atas di
lingkungan keraton, rumah priyayi maupun masyarakat umum. Sedangkan pluralisasi
adalah sebuah proses dimana setiap individu dan kolektif dibiasakan, di latih dan
dihimbau melalui wacana itu tentang arti penting pertunjukan wayang dan nilai-nilai
ketokohan Arjuna terhadap kehidupan orang Jawa. Hasil dari diskursus Arjuna itu
adalah tersosialisasinya pengetahuan tentang Arjuna dalam setiap pribadi dan kolektif di
Jawa dengan lahirnya kesadaran setiap subyek dalam satu kesatuan episteme yang
menghegemoni legitimasi kekuasaan Raja-Raja Mataram.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
84

4.3. Implikasi Diskursus Arjuna bagi Kehidupan Orang Jawa


Arti kata implikasi menurut KBBI (Kamus Besar bahasa Indonesia online)
adalah “keterlibatan” atau “keadaan terlibat” (Setiawan, 2014:1). Makna dari relasi kata
implikasi dengan diskursus tokoh Arjuna bagi kehidupan orang Jawa adalah hubungan
keterlibatan diskursus tersebut terhadap kehidupan orang Jawa era Mataram hingga
sekarang, sebagai akibat atau dampak dari proses diskursus tokoh Arjuna yang telah di
bangun oleh Sultan Agung, dan terus-menerus di-reproduksi oleh para raja penerusnya
hingga Paku Buwono di Surakarta sekarang. Hubungan keterlibatan itu adalah
pengaruh dari wacana-wacana tentang Arjuna terhadap kesadaran personal dan inter-
personal di Mataram, atau pada umumnya orang Jawa. Untuk memahami keterlibatan
dan pengaruh-pengaruh pengetahuan terhadap pribadi dan kolektif Jawa perlu dituntun
teori Foucault tentang tubuh dan episteme. Teori genealogi dari Foucault (1978)
menguraikan tentang tubuh sebagai berikut.
Tubuh diukir secara total oleh sejarah. Tubuh juga terlibat secara langsung
dalam ranah politik, relasi kekuasaan memunculkan secara langsung
terhadapnya, relasi kekuasaan menyemainya, melatihnya, menyiksanya,
menandainya, memaksanya melakukan berbagai tugas. “Investasi politik” tubuh
ini terikat sejalan dengan relasi-relasi timbal balik yang kompleks, dikaitkan
dengan berbagai relasi kekuasaan dan dominasi. Menjadi tubuh yang bermanfaat
jika produktif sekaligus patuh (Foucault dalam Yusuf Lubis, 2014b:82).

Konsep teori di atas, menuntun pemahaman bahwa penguasa (Sultan Agung)


menyemaikan, mengkondisikan dan melatih pengetahuan tentang Arjuna dengan
membangun kesadaran subyek, dan inter-subyek di Mataram agar setuju, sepaham dan
tersosialisasi dengan nilai-nilai tersebut. Setiap subyek dalam jaringan diskursif
mengalami sosialisasi nilai-nilai tokoh wayang Arjuna secara budaya lewat tontonan
wayang di lingkungan sekitarnya pada event-event yang mentradisi di Jawa, wacana-
wacana di masyarakat atau-pun pelajaran muatan lokal di sekolah yang akhir-akhir ini
digalakkan. Kesadaran masing-masing subyek terhadap wacana Arjuna, dalam satu
kesatuan kolektif Jawa menjadi kesapahaman dan kesepakatan kolektik yang pada
akhirnya membentuk sistem berpikir dan perilaku yang diistilahkan Foucault episteme.
Berkaitan dengan episteme, Kali menguraikan pendapat Foucault sebagai berikut.
Episteme merupakan kumpulan relasi yang menghubungkan praktik-praktik
lisan dengan pengetahuan dalam berbagai bentuknya pada periode sejarah
tertentu. Dengan demikian episteme adalah sistem tersembunyi di balik
pengetahuan yang dominan pada masa tertentu. Sistem tersembunyi itu dianggap
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
85

pemersatu dalam realitas yang paling dalam, pada suatu peradaban atau periode
tertentu (Kali, 2013:40).

Foucault dalam teori genealogi mengemukakan bahwa episteme adalah suatu


sistem berpikir pada era histori tertentu, yang mengarahkan praktik suatu pengetahuan
menjadi sebuah pola perilaku kolektif. Berbeda dengan teori-teori ilmu pengetahuan
yang biasanya tertulis dalam teks secara eksplisit, episteme bersifat implisit atau tidak
nampak, tetapi menjadi acuan berfikir para subyek yang telah dibentuk secara budaya
oleh apa yang disepakati sebagai sebuah kebenaran dan pembenaran. Konstruksi
subyek dan kebenaran itu dibentuk oleh penguasa dalam periode histori tertentu
(Foucault dalam Yusuf Lubis, 2014a:184).
Mengacu pada kedua konsep teori di atas, maka bisa diketahui bahwa diskursus
tokoh Arjuna yang dibangun sejak era Sultan Agung berimplikasi terbentuknya
episteme Jawa era Mataram. Oleh orang Jawa episteme itu dikenal dengan istilah
gagrag budaya mataraman. Akhiran-an pada kata Mataram, merujuk sebuah ragam
budaya dan periodisasi vase Mataram Sultan Agung sebelum Kartasura dan Surakarta.
Episteme Mataraman itu dalam percaturan budaya sering digunakan untuk menyebut
karya budaya yang dilahirkan era Mataram Islam sejak zaman Panembahan Senopati
hingga periode pasca Sultan Agung di Kartasura tahun 1584 -1749, misalnya dalam hal
penyebutan tahun Jawa mataraman, batik corak mataraman, keris tangguh mataraman,
sulukan gaya mataraman, atau ukir ragam mataraman. Setelah peristiwa palihan
nagari terpecahnya bekas Kerajaan Mataram yang telah berpindah ke Surakarta,
ditandai penobatan Pangeran Mangkubumi menjadi penguasa di Jogjakarta pada tahun
1755, negara baru yang beribukota dekat dengan Kota Gede bekas ibu kota Mataram
itu, merasa sebagai penerus dinasti lama, sehingga episteme era Mataram diwacanakan
lagi di Jogjakarta. Dengan demikian, episteme mataraman sering kacau dengan
pengertian episteme produk budaya Jogjakarta. Oleh sebab itu untuk menunjuk produk
budaya era Mataram lama perlu diberi keterangan episteme Mataram sultan-agungan.
Sebagaimana dikemukaan Foucault di atas, episteme adalah pola pemikiran dan
perilaku yang bersifat implisit tidak tampak di permukaan. Dengan demikian, episteme
era Mataram hanya bisa diamati berujut kecenderungan, kesetujuan, dan cita rasa yang
mengarah kepada hegemoni karya budaya era Mataram. Salah satu bentuk hegemoni itu
adalah pandangan bahwa keraton adalah pusat dan sumber budaya agung Jawa yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
86

harus menjadi acuan bagi masyarakat Jawa. Pengakuan keraton sebagai sumber budaya
agung merepresentasikan bahwa keraton dianggap sebagai parameter nilai budaya yang
tinggi, sebaliknya di luar keraton adalah produk budaya yang memiliki kadar nilai lebih
rendah atau bahkan budaya rendahan.
Berkaitan dengan budaya tinggi/agung, penulis Inggris abad 19, Arnold
mengemukakan sebagai berikut.
Budaya tinggi adalah hal-hal terbaik yang pernah dipikirkan dan diucapkan
manusia di dunia, dengan membaca, mengobservasi dan berfikir sebagai sarana
menuju penyempurnaan moral dan kebaikan sosial. Kebudayaan adalah bentuk
peradaban manusia yang berlawanan dengan sifat anarkis massa yang mentah,
dan tidak berbudaya (Arnold dalam Barker, 2005:48).

Pandangan Arnold didukung oleh Leavis yang mengemukakan sebagai berikut.


Kebudayaan adalah puncak peradaban urusan kaum elite terpelajar. Tujuan
budaya adalah menghidupkan, merawat, dan menyebarkan kemampuan untuk
membedakan hal-hal yang baik dari hal-hal yang buruk dalam kebudayaan.
Tugas kebudayaan adalah mendefinisikan, membela yang terbaik dari
kebudayaan kanon karya-karya hebat, dan mengkritik iklan, film, dan fiksi-fiksi
populer produk terburuk budaya massa sebagai candu pengalih perhatian (leavis
dalam Barker, 2005:49).

Bentuk-bentuk khas representasi dari cita rasa budaya episteme Mataram itu
disebut dengan beragam istilah di antaranya, adiluhung, kejawen, Agami Jawi, Jawa
Jawata, Jawa Dipa dan sebagainya. Di antara istilah satu dan yang lain tidak memiliki
pemilahan pengertian secara jelas, namun berupa bangunan keterkaitan yang rumit
antara aspek satu dan yang lain. Misalnya istilah paling umum kejawen, selain memiliki
cakupan pengertian religiusitas, juga berkaitan dengan adat tradisi baik yang berlaku di
lingkungan keraton atau-pun di masyarakat luar keraton. Istilah itu juga mencakup nilai-
nilai produk Jawa seperti etika dan estetika yang berkaitan dengan seni. Demikian pula,
istilah adiluhung lebih sering digunakan dalam ranah seni yang edi peni dan edi luhung
(indah dan memiliki makna luhur). Akan tetapi, makna adi dalam istilah itu
menampilkan pengertian makna-makna dalam konteks mistik religiusitas Jawa. Saling
keterjalinan berbagai unsur budaya tersebut sangat nampak dalam seni wayang, yang
seharusnya masuk ranah seni pertunjukan, tetapi pada kenyataanya, dalam unsur-unsur
pentas wayang penuh pesan nilai-nilai religi, keyakinan, kebatinan yang menyatu dalam
kompilasi nilai moral dan seni pentas. Tidak mengherankan, karena pengaruh
mistisisme pakeliran itu, di lingkungan dalang-dalang senior banyak yang berpendapat
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
87

bahwa wayang adalah ideologi tersendiri, bahkan bentuk keyakinan khusus bagi para
dalang, sehingga banyak para dalang tidak merasa perlu memeluk agama formal secara
khusuk karena wayang telah memberi banyak penghayatan religiusitas, lengkap dengan
tuntunan ritualnya (Sularso, wawancara 24 Oktober 2014). Berkaitan dengan sangat
rumitnya jalinan unsur budaya episteme Mataraman, kejawen, adiluhung, atau dengan
istilah yang lain, Mulder dalam Ruang Batin Masyarakat Indonesia mengemukakan.
Cara berfikir orang jawa melaraskan semua gejala. Perbedaan yg prinsipial di
antara macam-macam kelas gejala seperti obyek/subyek, bentuk/waktu,
bentuk/waktu, simbol/benda, hidup/mati, kawula/gusti, dan ide/hal tidak
dipikirkan; semua disederhanakan dalam satu bagan yang mana semua
berhubungan secara mitologis (Mulder, 2001: 52).

Mengacu pendapat Mulder di atas dalam pembahasan tentang bentuk-bentuk


khas episteme era Mataram sebagai pengaruh implikasi diskursus Arjuna akan diuraikan
beberapa contoh aspek budaya yang mengindikasikan pengaruh episteme tersebut dalam
masyarakat Jawa sekarang. Untuk mempermudah pemahaman bentuk-bentuk khas dari
aspek episteme era Mataram itu diuraikan sesuai dengan kecenderungannya masing-
masing, misalnya episteme adiluhung lebih mengarah pada bentuk khas seni, kejawen
lebih mengacu pada bentuk religiusitas, dan poligami sebagai gaya hidup priyayi yang
hingga saat kini kontroversial di masyarakat. Meskipun episteme era Mataram masih
sangat kuat pengaruhnya dalam kehidupan orang Jawa hingga saat ini, tetapi karena
implikasi globalisasi di mana pengaruh global seperti kapitalisme, budaya populer,
liberalisasi, dan demokrasi tidak bisa dihindarkan dalam perkembangan kehidupan
masyarakat Jawa modern, maka perbenturan budaya antara tradisi dan modern
berdampak masalah-masalah budaya di masyarakat. Berdasarkan fakta-fakta itu maka
pembahasan selanjutnya juga mengkritisi masalah-masalah tersebut.

4.3.1. Ragam Budaya Adiluhung.


Salah satu sistem berpikir yang mencirikan episteme era Mataram di bidang
wayang dan seni pertunjukan pada umumnya adalah seni budaya adiluhung. Solichin
(1998:2) menguraikan bahwa karya seni budaya adiluhung adalah ungkapan-ungkapan
dalam budaya khususnya seni yang menampilkan estetika keindahan dilandasi dengan
makna filosofis tentang nilai-nilai kehidupan manusia. Salah satu bentuk dari adiluhung
itu dikenal dengan istilah ngrawit yaitu karya seni yang me-representasikan keindahan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
88

pada tingkat kerumitan yang tinggi, misalnya batik, wayang, tari, dan karawitan klasik.
Makna filosofis yang terkandung dalam seni adiluhung, sebagaimana dimaksud oleh
Solichin tersebut adalah makna-makna mistik tentang cita-cita kehidupan manusia
mencapai kasampurnan dengan manunggaling kawula gusti. Dalam pertunjukan
wayang, kasampurnan dan manunggaling kawula gusti itu tercermin secara implisit
dalam sistem tiga pathet, alur pengadegan, dan perang kembang sabagaimana telah
disinggung di atas. Selain itu juga sangat tampak pada lakon-lakon yang dikeramatkan
dalam pedalangan yaitu Dewa Ruci dan Bima Suci, yang bertema mistik Jawa tentang
keberhasilan Bima bertemu dengan Dewa Ruci sebagai simbol dari kehadiran Tuhan.
Salah satu produk budaya adiluhung yang mengakar di masyarakat adalah
pakem. Pakem sebagai kumpulan dari pedoman mendalang hingga saat ini masih
dilestarikan oleh masyarakat pendukung wayang. Meskipun pakeliran telah mengalami
banyak perubahan dari para dalang dan lembaga-lembaga pengembangan wayang
seperti sekolah-sekolah formal jurusan pedalangan di SMKI, SMK, ISI dan juga di
sanggar-sanggar, tetapi pengembangan itu sebatas pada tata lampu, iringan, garapan alur
menjadi pakeliran ringkas atau padat; sedangkan secara garis besar acuan terhadap
pakem, balungan, maupun gancaran tidak ditinggalkan. Pakem sebagai produk
adiluhung dipandang masyarakat sebagai strandar mutu etika dan estetika wayang. Bagi
para dalang yang melanggar ketentuan pakem akan mendapat sangsi dari masyarakat
berupa penilaian sebagai dalang yang tidak bermutu. Karena pelanggaran-pelanggaran
itu maka muncul sebutan negatif dari masyarakat seperti dalang edan, dalang stress,
dalang degleng, dalang setan dan sebagainya (Sulistiono, 2014:5).
Di sisi lain pakem dipandang sebuah belenggu bagi seniman. Wahyudi (2012:3)
mengemukakan bahwa pakem mulai dikritisi sekitar tahun 50-an oleh direktur Akademi
Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Gendhon Humardani, beserta cantrik-cantriknya
(murid-murid) di Jurusan Pedalangan ASKI Surakarta, seperti Bambang Suwarno,
Bambang Murtiyoso, Sumanto dan lainnya. Mereka mendekonstruksi pakem dengan
garapan kontemporernya saat itu “pakeliran padat” yang berusaha memadatkan unsur-
unsur pakeliran, alur cerita, dan iringan, serta durasi waktu pentas yang sebelumnya
selama sembilan jam dalam vase pembagian waktu tiga pathet, nem, sanga, dan
manyura, menjadi tiga jam, satu, atau bahkan 45 menit. Berkaitan dengan pakem
pedalangan Murtiyoso berpandangan.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
89

Pakem tersebut memang semula sekedar sebagai pancadan para murid. Tetapi
dalam penyebaran selanjutnya ditafsirkan suatu hal mutlak harus begitu. Harus
dijalankan, tidak boleh dilanggar sebab itu dianggap yang benar, kalau tidak
seperti itu salah !( Murtiyoso 1981:8)

Kecenderungan sebagian besar masyarakat Jawa untuk selalu melanggengkan


pakem yang bernilai adiluhung sekarang ini dipandang memiliki kelemahan sebagai
berikut.
Pertama, bagi seniman pencipta, pakem adalah penghilangan hak personal
untuk mengakui karya ciptanya; dikarenakan telah dikondisikan sejak jaman Sultan
Agung, bahwa setiap karya di lingkungan keraton baik karya sastra, seni pertunjukan,
rupa, atau-pun yang lain harus diatasnamakan raja, sebagaimana diuraikan di atas karya-
karya monumental seperti Babad Tanah Jawi, Sastragendhing, Wayang Arjuna wanda
Mangu, Tari Bedaya Ketawang, semua tidak menyertakan pencipta aslinya, Pangeran
Kadilangu, Pangeran Pekik, Kyai Panjang Mas, Pangeran Purbaya dan sebagainya.
Akibatnya setelah pamor keraton semakin memudar karya-karya tersebut anonim tidak
diketahui penciptanya.
Di era pengakuan hak cipta sebagaimana dikatakan Sedyawati (2009:69) bahwa
semua pengguna karya seni wajib ijin kepada pencipta dengan memberi kompensasi
bonafit (kemanfaatan) dan profit (keuntungan), formulasi budaya pengingkaran hak
cipta, atas nama raja itu sungguh sangat merugikan pencipta dan keturunanya yang
seharusnya menerima royalti.
Kedua, bentuk pemakeman karya seni sesungguhnya juga merupakan belenggu
kreativitas bagi para seniman. Seni yang dalam konsepnya adalah suatu kebebasan
berekspresi bagi masyarakat menjadi terhalang dan terbelenggu oleh pedoman-pedoman
pakem, waton, angger-angger dan sebagainya yang sebetulnya sengaja diciptaan
keraton untuk memuliakan raja dan keluarganya. Pemakeman-pemakeman itu akhirnya
mengakibatkan terbentuknya vokabuler blangkon (konvensi-konvensi teknik pentas
yang tinggal memakai) tanpa ada ruang penciptan bagi para seniman, misalnya
ketentuan dalam pentas wayang dalam hal alur pengadegan yang harus dimulai dari
jejer, kedatonan, pagelaran njaba, budhalan hingga tancep kayon (adegan I keraton,
keputrian, penghadapan di ruang pagelaran, parade keberangkatan prajurit dan tancep
kayon pertanda pertunjukan selesai).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
90

Bentuk-bentuk konvensi sebagaimana contoh di atas lebih banyak menonjolkan


keagungan kekuasaan raja misalnya dialog baku dalam jejer antara Sri Kresna dan
Samba, putranya “Kulup aja was sumelang atinira, Sira tansah antuk
palimirmaningsun, lamun Sira nandhang ukum pati mung bakal tumeka lara, yen
nandhang ukum lara bakal antuk pangapuraningsun” artinya “putraku, Kamu selalu
akan mendapat anugerah dariku, jika Kamu mendapat hukuman mati hanya akan
kuganjar sakit, jikalau Kamu mendapat hukuman sakit akan aku bebaskan” (Soeratno
dalam Soemarno 1996:3). Dialog tersebut mengungkapkan tentang kekuasan raja yang
tak terbatas termasuk pembenaran melakukan nepotisme dengan melaksanakan hukum
negara semaunya tanpa berpedoman dengan hukum positif.
Ketiga, kehadiran pakem juga berdampak karya seni lokal di luar keraton
menjadi terpinggirkan. Intervensi keraton terhadap karya seni masyarakat yang dimulai
sejak jaman Sunan Hanyakrawati turun temurun hingga Surakarta, menyebabkan
keraton dijadikan kiblat etika dan estetika budaya Jawa. Karena pengaruh wibawa raja
segala hal yang berkaitan pedoman dan karya produk keraton, mendapat penghormatan
sangat tinggi di masyarakat luas, sebaliknya karya lokal kedaerahan di luar pengaruh
raja dianggap kerakyatan dan produk rendahan. Karena asumsi itu maka masyarakat
pendukungnya meninggalkan sehingga pelan-pelan karya seni kedaerahan mengalami
kepunahan.
Hal itu terbukti setelah Sunan Hanyakrawati menitahkan kepada tetua dalang di
Mataram Kyai Panjangmas agar pentas ruwatan (pentas wayang yang dipercaya sebagai
pembuang sial) yang sebelumnya menggunakan wayang beber diganti dengan wayang
purwa, mengakibatkan kepunahan wayang beber baik bentuk pentas maupun regenerasi
dalangnya. Akhir-akhir ini berkembang wacana pelestarian wayang beber di
lingkungan dalang-dalang muda dan kepariwisataan Surakarta, untuk menampilkan lagi
wayang tertua itu. Namun usaha rekonstruksi menemui kegagalan karena telah sangat
langka dalang senior yang memiliki kemampuan mementaskannya. Hanya tinggal satu
keluarga saja Bapak Guna Sarnen di Pacitan, pewaris wayang beber Pacitan, tetapi ia
tidak bisa menularkan kepada orang lain dikarenakan takut pada kutukan leluhurnya
bagi yang mengajarkan pentas wayang beber di luar keluarga (Soetarno, 1995:19).
Demikian pula, semenjak Pedalangan gaya priyayi Surakarta populer di
masyarakat, dampak yang terjadi adalah semakin punahnya gaya Pedalangan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
91

kedaerahan seperti wayang gaya Pesisiran, Jawatimuran, wayang Golek Menak, Krucil,
Klithik, dan sebagainya. Nasib yang sama menimpa pula produk seni kedaerahan
seperti Srandul, Topeng Klaten, Jathilan, Sronthol, Orek-orek, Barongan, Jaran dhor,
Angguk, bahkan seni Ketoprak yang pada tahun 70-an mengalami kejayaan sekarang ini
telah punah dikarenakan mendapat stigma karya seni rendahan bukan produk kraton.
Masyarakat dalam budaya Jawa pada umumnya beramsumsi bahwa raja adalah
sumber dari berbagai anugerah seperti pandangan Soetarno berikut “ Raja adalah pusat
segala-galanya; pusat kekuasaan, pusat kesejahteraan, pusat kekuatan dan sebagainya,
maka tidak aneh apa yang ada di kalangan keraton itu akan mempunyai pengaruh besar
terhadap kehidupan di masyarakat”(Soetarno,1995:44).
Pandangan tentang budaya adiluhung bisa dipahami menggunakan teori budaya
tinggi dan rendah dari Penulis Inggris Matthew Arnold pada abad 19, bahwa
kebudayaan adalah hal-hal terbaik yang pernah dipikirkan dan diucapkan manusia di
dunia, dengan membaca, mengobservasi, dan berfikir sebagai sarana menuju
penyempurnaan moral dan kebaikan sosial. Argumen estetik dan politis kebudayaan
sebagai peradaban itu dilawankan dengan sifat anarkis massa yang mentah dan tidak
berbudi daya (Arnold dalam Barker, 2005:48)
Teori Arnold dikembangkan oleh F.R Leavis dan Q.D. Leavis yang karyanya
dimulai sekitar Tahun 1930-an. Dalam argumennya leavis mengemukakan tujuan
budaya tinggi adalah untuk menghidupkan, merawat, dan menyebarkan kemampuan
untuk membedakan hal-hal yang baik dari hal-hal yang buruk dalam kebudayaan. Bagi
Leavisisme, tugasnya adalah mendefinisikan dan membela yang terbaik dari
kebudayaan, kanon karya-karya hebat dan mengkritik hal-hal terburuk dari budaya
massa dengan candu pengalih perhatian (Leavis dalam Barker, 2005:49).
Berkaitan dengan konsep budaya adiluhung/tinggi yang sangat superior, Barker
(2005) mengutip pendapat yang berbeda dari Williams sebagai berikut:
Kebudayaan memiliki dua aspek makna dan arahan-arahan yang sudah dikenal yang
sudah dilatihkan pada para anggota budaya itu; (dan) observasi dan makna-makna baru,
yang ditawarkan dan diuji. Semua ini merupakan proses-proses biasa dalam proses
masyarakat manusia dan jiwa manusia, dan melaluinya kita bisa melihat sifat dari
kebudayaan: bahwa kebudayaan selalu tradisional sekaligus kreatif; bahwa ia adalah
makna-makna umum yang paling biasa sekaligus makna-makna individual yang paling
halus (Williams dalam Barker, 2005 :50)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
92

Williams memposisikan budaya secara netral dan alami, bahwa budaya tinggi-
rendah, adiluhung-kerakyatan, kontemporer, klasik dan populer sesungguhnya hanya
perbedaan dimensi tempat dan waktu saja, sedangkan penilaian seni halus dan kasar,
narasi besar dan kecil hanya asumsi-asumsi yang sangat dilatarbelakangi oleh relatifitas
pengalaman masing-masing. Namun baik seni keraton, maupun rakyat, budaya klasik
maupun populer semuanya adalah proses alami dalam sosial budaya, semuanya berhak
hidup bersama-sama tidak ada yang saling mengungguli.

4.3.2. Religiusitas Kejawen


Di bidang religius masyarakat, di Jawa maupun Indonesia pada umumnya telah
dilembagakan oleh negara dalam bentuk agama yang dicantumkan dalam “kartu tanda
penduduk” (KTP). Dalam pelaksanaanya terutama Agama Islam, tradisi lokal sangat
mempengaruhi, misalnya seperti yang dikemukakan oleh Wahied, bahwa bentuk ritual
Islam tradisi Indonesia terdiri dari tiga model yaitu (a) model Sumatera Barat yang
berakar pada tradisi Minangkabau, (b) model Gowa di Sulawesi yang berakar pada
tradisi Islam kerajaan Gowa, dan (c) model Jawa yang berakar pada tradisi Islam Jawa
(Wahied, 2000:19-21).
Islam Jawa terutama daerah pedalaman sering disebut dengan dua istilah yaitu
Islam Kejawen dan abangan. Kedua istilah tersebut mendeskrepsikan bahwa
pelaksanaan ritual Islam di Jawa sangat dipengaruhi tradisi Jawa yang dalam
pembahasan ini menunjukkan indikasi-indikasi pengaruh episteme era Mataram Sultan
Agung yang bersifat sinkretik. Suyamto (1992:13) memaknai kejawen adalah sistem
pemikiran dan perilaku yang memadukan dua unsur agama atau lebih menjadi sebuah
bentuk religi lain dari sebelumnya. Lebih lanjut diuraikan oleh Ketua Yayasan Jatidiri
Propinsi Jawa tengah itu bahwa pemaduan itu bukan sebuah pencampuradukan dogma
agama tetapi sebuah sikap saling toleransi sesama pemeluk agama dan keyakinan yang
diwujudkan dalam religiusitas. Oleh sebab itu ia lebih suka menggunakan istilah
tantularisme, yang berakar dari ajaran Mpu Tantular di era Majapahit yang mengajarkan
nilai “bhineka tunggal ika tan hana darma mangrwa” (berbeda-beda dalam kesatuan
tidak ada agama yang mendua). Koentjaraningrat (1994:318) berpandangan bahwa
sikap pemaduan beberapa agama dan keyakinan itu digolongkan dalam sinkretisme
yang disebut Agami Jawi, yaitu suatu sikap budaya menampakkan pengamalan Islam di
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
93

permukaan tetapi di dalamnya belum meninggalkan nilai-nilai hinduistik, budaistik,


animistik dan dinamistik. Geetz (1959:353) menyebut budaya sinkretik itu dengan
istilah tradisi Islam abangan, yang digunakan sebagai pembeda Islam putihan yang
dianut oleh sebagian besar pemeluk di pesisir utara Jawa. Koentjaraningrat
mengemukakan bahwa akar ritual Agami Jawi diturunkan sejak era Mataram, Sultan
Agung bersama para tim ahlinya, Panembahan Kadilangu, Pangeran Pekik, Kyai
Panjang Jiwa, dan Kyai Panjang Mas, diteruskan trah keturunannya PB III (1749-1788)
di Surakarta , bersama pujangga R.Ng. Yasadipura (1729-1803), untuk tetap
melestarikan warisan nilai-nilai budaya sebelumnya, era Demak, ataupun Majapahit.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa formulasi Agami Jawi itu dilatarbelakangi oleh
semakin kuatnya desakan budaya Islam pesisir yang mistik dan heterodog kepada
budaya pedalaman Mataram yang hinduistik, animistis dan dinamistis, ditandai dengan
semakin merebaknya pemakaian tulisan Arab di masyarakat serta populernya karya-
karya suluk dari pesantren pesisir yang salah satunya Serat Dewa Ruci. Untuk
mempertahankan budaya Jawa kuno itu maka budaya Islam pesisir kemudian disatukan
dengan kearifan lokal yang telah lama berkembang, dalam bentuk nilai-nilai ideologi
Mataram sebagaimana dalam Babad Tanah Jawi, Sastra Gending dan penetapan
penanggalan Jawa yang didalamnya berisi mitologi baru perpaduan antara dewa dan
nabi dari Arab dalam satu keluarga sesama keturunan Nabi Adam dan Sis
(Koentjaraningrat, 1994:317-318).
Nilai-nilai sinkretik sebagai konstruksi budaya yang dibangun dari diskursus
Arjuna, sangat nampak dalam silsilah wayang, dengan sangat pentingnya peran dewa-
dewa dalam menentukan nasib para titah manusia. Tokoh-tokoh dewa pemelihara alam
seperti Wisnu, Indra, Naradha dan Guru sangat berperan dalam menentukan
kemenangan perang, serta anugerah wahyu yang akan diterima para manusia. Sangat
berbeda dengan konsep Hindu bahwa Wisnu dan Guru sebagai inkarnasi dari Hyang
Widiwasa (Tuhan), dalam pakem wayang episteme Mataram, para dewa diposisikan
sebagai kerurunan dari nabi Sis dan Adam (Raffles dalam Prasetyaningrum, 2014:354 ).
Selain pada wayang, pengaruh tradisi sinkretik di keraton penerus Mataram,
Surakarta, dan Jogjakarta, tampak pada acara Maesa Lawung yaitu upacara
persembahan sesaji di Laut selatan, Puncak Lawu, Merapi dan Hutan Krendhawahana di
Kaliyasa Sragen yang diselenggarakan setiap tahun untuk menghormati empat penjuru
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
94

danyang (leluhur) penjaga kedua keraton tersebut (wawancara Winarno, 1 Desember


2014). Berkaitan dengan tradisi selamatan di keempat tempat itu Soeratman (2000:179)
mengemukakan, bahwa dimensi kekuasaan Raja Jawa tidak hanya hamparan Tanah
Jawa dan manusia yang mendiami, tetapi juga didukung oleh empat penjuru kekuatan
supranatural yaitu dari arah timur Sunan Lawu di puncak Gunung Lawu, dari arah
selatan Raja laut selatan, Kanjeng Ratu Kidul, dari arah barat Danyang Gunung Merapi
Eyang Sapujagat, dan dari utara Hutan Krendhawahana, Kanjeng Ratu Kalayuwati.
Episteme era Mataram juga mengakar pada tradisi keraton tentang pemakaian
gelar raja baik di Surakarta dan Jogjakarta selalu mengacu gelar Sultan Agung yang
memadukan antara unsur Islam dan Jawa. Gelar Sultan Agung (1613-1645), yang
lengkapnya Sultan Agung Hanyakrakusuma, dan gelar sebelumnya yang dipakai sejak
tahun 1624 M, Susuhunan Ngalaga ing Mataram Prabu Hanyakrakusuma, terdiri dari
gabungan kata-kata simbol pemimpin Islam, Sultan dan Susuhunan serta simbol raja
Jawa kuno, Prabu dan Hanyakrakusuma (Graaf, 2002:157) . Gelar sunan dan sultan
telah dipakai para pemimpin negara sebelumnya di Pajang maupun Demak, seperti
Sunan Bonang, Sultan Hadiwijoyo maupun Sultan Patah Jimbuningrat. Konsep kata
Hanyakusuma berasal dari tradisi raja-raja hinduistis dari kata dasar cakra dan kusuma.
Konsep cakra dilandasi sifat raja Jawa mbau dhendha dan nyakrawati, artinya raja
memiliki kekuatan tidak terbatas bagai berpundak gada dan raja sebagai penguasa dunia
(Soeratman, 2000:6 ).
Fenomena Agami Jawi di keraton juga nampak pada tradisi sekaten yang hingga
kini masih dilestarikan oleh dinasti Mataram di Surakarta, maupun Jogjakarta.
Peringatan hari besar Islam, kelahiran Nabi Muhammad, SAW pada setiap bulan
Maulud di kedua keraton Jawa yang merupakan pelestarian tradisi Mataram jaman
Sultan Agung selalu diwarnai tradisi prosesi garebeg tumpeng gunungan (arak-arakan
tumpeng menyerupai gunung), dan kemeriahan gamelan sekaten. Bahkan, ada pula
nilai-nilai Mataram yang secara eksplisit masih berlaku hingga saat ini setiap tahun di
lingkungan keraton dan daerah-daerah kolektif agraris, yaitu penanggalan Jawa yang
oleh Sultan Agung mulai dipakai sejak hari Jum’at 1 Sura 1555 Jawa (8 Juli 1633).
Sejak penetapan itu, orang Jawa memasuki tradisi baru pemakaian nama bulan yang
dipengaruhi budaya Arab seperti Sura, Sapar, Mulud, Bakdamulud, Jumadilawal,
Jumadilakhir dan seterusnya. Demikian juga nama-nama hari, orang Jawa mulai
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
95

menggunakan hari Arab, meskipun pemakaian pasaran produk Hindu masih


dipertahankan, (Graaf, 2002:245).
Akar budaya Mataram yang sangat penting bagi ideologi Jawa dahulu dan
sekarang, adalah tradisi berfikir mistik, berkaitan dengan tasawuf Islam atau mistik
yang mengarah pada kepercayaan takhayul. Graaf (2002:256) mendeskripsikan bahwa
mistik Islam telah dirintis oleh keturunan ke-7 dari Sunan Ampel, Pangeran Pekik
saudara ipar Sultan Agung, dengan karyanya yang sangat populer yaitu Sastragendhing.
Karya monumental itu dipersembahkan atas nama Sultan Agung menarasikan tasawuf
Islam, sebuah refleksi ruhani islami dengan perpaduan perumpamaan-perumpamaan
tembang, gendhing Jawa dan tokoh-tokoh wayang yang lebih bercorak hinduistik. Salah
satu ajaran tasawuf itu adalah “pupuh tembang Asmarandana pada 8” sebagai berikut:
Dudu ngakal trusing gendhing,
ngakal lungiting susastra,
ngakal ing gendhing jatine,
babaring jatining sastra,
kawitaning aksara,
sawiji alif kang tuduh,
mengku gaibul uwiyah
(Sultan Agung dalam Rendra, 2010:10).
Terjemahan tembang tersebut sebagai berikut:
Bukan pemahaman tentang gendhing,
pemahaman tentang sastra,
sejatinya pemahaman gendhing,
penjelasan tentang hakikat sastra,
tentang asal mula huruf-huruf,
satu alif yang menjadi petunjuk,
memuat substansi kegaiban.

Salah satu contoh lagi episteme era Mataram yang masih marak hingga kini
yaitu kepercayaan orang Jawa terhadap roh-roh, penunggu desa atau tempat tertentu
yang disebut danyang, terutama kepercayaan tentang Kanjeng Ratu Kidul. Sumber
mitos tentang isteri raja-raja Jawa di Mataram itu selain dari wacana lisan, juga Babad
Tanah Jawi, yang disusun di era Sultan Agung, sebagaimana telah disinggung di atas.
Diceritakan dalam Babad Tanah Jawi setelah melaksanakan pertapaan berat
menghanyutkan diri di kali Opak yang bermuara di pantai laut selatan Parang Kusuma,
di tempat itu Sutawijaya (nama Senopati sewaktu remaja) bertemu dengan makluk
magis Ratu Kidul. Dalam pertemuan itu dikisahkan bahwa raja laut selatan itu bersedia
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
96

diperisteri Sutawijaya dan akan membantu berdirinya Mataram secara turun-temurun.


Dalam sebuah ketegangan di desa Taji dekat Prambanan ketika kedua negara Pajang
dan Mataram siap berperang, Ratu Kidul membantu Panembahan Senopati secara gaib
membunuh Sultan Hadiwijaya, raja Pajang yang juga ayah angkat dari Sutowijaya
(Graaf dan Pigeaud, 2003:253 ).
Dipengaruhi kepercayaan tentang Ratu Kidul itu hingga kini orang Jawa masih
banyak yang mentaati pantangan-pantangan seperti larangan punya kerja di bulan Sura,
memakai pakaian hijau gadhung melathi di pinggir pantai selatan, serta kepercayaan
datangnya lampor yang mendatangkan pagebluk (wabah).
Sejak era keterbukaan dan demokrasi, jaman reformasi, tradisi kejawen era
Mataram mulai dikritisi masyarakat, terutama dari lingkungan santri. Qordowi
(1980:327-329) mengemukakan bahwa sinkretisme, mistisisme, dan perdukunan, dalam
konsep Islam digolongkan amalan bid’ah, kurafat, dan syirik, yang sangat di larang
oleh agama (Qordowi, 1980:327-329). Ketua Dewan Syuro Nahdatul Ulama (NU), Gus
Dur (2000, 19-21) berpandangan bahwa Mataram adalah tonggak sejarah awal
terbentuknya masyarakat Islam yang menempatkan keraton sebagai pusat kekuasaan
agama, tetapi ajaran Islam hanya sebagai simbol ornamental belaka. Simbol Islam
mudah dilihat secara fisik seperti gelar raja Syayidin Panatagama Kaliffaulloh Tanah
Jawi, masdjid agung selalu di bangun megah di sebelah kanan alun-alun di keraton-
keraton Jawa, dengan upacara-upacara besar pada hari besar Islam seperti Maulud Nabi
dan Hari Raya Idul Fitri yang rutin selalu diperingati orang Jawa dengan sangat meriah.
Akan tetapi, bisa diketahui bahwa raja dan hampir seluruh rakyatnya tidak
melaksanakan syariat Islam dengan baik; hal itu mudah diketahui dengan hadirnya raja
hanya tiga kali ke masjid, pada upacara Garebeg Sekaten, Syawal, serta Besar.
Simbol-simbol islami seperti itu ditiru dan dilestarikan oleh propinsi-propinsi
dan kebupaten-kabupaten di Jawa tengah dan timur, bahkan juga Pemerintahan
Republik dalam penataan posisi Istana Negara dengan Masjid Istiqlal. Namun harus
diakui bahwa pengamalan Islam di Jawa pada umumnya baru sebatas pada ornamental
Islam belum menyentuh substansi maupun penghayatan nilai-nilai Islam itu sendiri.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
97

4.3.3.Patuh terhadap Raja


Salah satu etika masyarakat yang mengindikasikan episteme era Mataram dalam
budaya Jawa adalah kepatuhan terhadap raja. Bentuk kepatuhan itu selain taat terhadap
perintah raja juga nampak dalam etika hubungan masyarakat kepada raja dan
keluarganya dengan menunjukkan sikap penghormatan khusus yaitu dengan
menyembah (menyatukan ujung jari tangan di depan hidung dengan menunduk) serta
berbicara dengan menggunakan krama hinggil (berbahasa halus tingkat tinggi untuk
raja) dengan sebutan khusus kepada raja misalnya “Sampeyan ndalem ingkang
Sinuwun” (Paduka yang mulia) untuk sunan di Surakarta, “Ngarsadalem Kanjeng
Sultan” (kepada paduka Sultan yang mulia), untuk sultan di Jogjakarta, dan “Sripaduka
yang Mulia” untuk menyebut Mangkunagara. Demikian pula panggilan untuk para
pangeran dan putri raja seperti, gusti, kanjeng pangeran, gusti ayu, raden ayu, dan
panggilan lain seperti kanjeng, mas ngabehi bagi orang-orang terdekat raja yang dalam
budaya Jawa disebut kaum priyayi (wawancara dengan Winarno, 24 Desember 2014).
Sikap hormat orang Jawa kepada keluarga raja juga ditunjukkan dengan kepatuhan
dalam hal berpakaian misalnya larangan memakai kain parang rusak dan alas kaki di
lingkungan keraton, karena kedua pakaian itu dikhususkan untuk raja dan permaisuri
(Soeratman, 2000:158 ).
Perilaku orang Jawa memuliakan raja-raja dan kerabatnya adalah konstruksi
sosial yang mengakar pada sikap legitimasi Raja-Raja Mataram sebagai penguasa
tunggal di Tanah Jawa sebagai trah agung keturunan nabi dan para dewa. Wacana
pengagungan dinasti itu berdampak stratifikasi sosial dikotomi hierarkis kawula-gusti,
dan wirya-sudra. Gusti dan wirya, menempati hierarkis agung sebagai patron,
sedangkan kawula-sudra berada dalam strata rendahan sebagai klien yang harus
melayani.
Pertama makna kata gusti dan kawula. Menurut kamus bahasa Jawa bausastra,
gusti adalah sebutan bagi Tuhan dan orang-orang terhormat (Atmojo, 1994:126). Dalam
bahasa Jawa, kata gusti biasa digunakan untuk menyebut Tuhan seperti Gusti Allah,
Gusti kang Maha Agung, Gusti Maha kuwasa. Namun, kata itu juga untuk menyebut
dzat manusia yang berstatus tinggi khususnya para raja ataupun para putra raja seperti
Kanjeng Gusti Sri Mangkunagara IX, Gusti Koesmurtiyah, Gusti Puger, dan
sebagainya. Status pangeran, raja, dan Tuhan disamakan karena dalam budaya Jawa,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
98

sebagaimana diajarkan PB IV dalam Wulangreh raja adalah wakil Tuhan di dunia, siapa
saja berani menentang raja sama juga dengan menentang Tuhan (Soeratman, 1983:4).
Sebaliknya kata kawula dalam bahasa Jawa dimaknai sebagi pembantu, abdi, dan rakyat
orang-orang di bawah kekuasaan raja (Atmojo, 1994:157). Dalam fungsi yang berbeda
kawula biasa di sinonimkan dengan abdi artinya pelayan bagi para gusti. Interaksi
sosial antara kawula dan gusti bisa dipahami pada ajaran PB IV dalam Wulangreh
“pupuh Maskumambang pada 16 – 17” sebagai berikut “wong neng donya kudu manut
marang Gusti......Nora beda putra sentana wong cilik, yen padha ngawula, pan kabeh
namaning abdi, yen dosa ukume padha” (PB IV dalam Sukiyat, 1990:75). Tembang
tersebut diterjemahkan bebas sebagai berikut “manusia di dunia harus taat kepada
tuwan...tidak berbeda saudara dan rakyat kecil jika mengabdi semua disebut abdi, jika
bersalah hukumnya sama”.
Soemarsaid Moertono (1985:25) berkaitan dengan hubungan antara kawula dan
gusti menguraikan sebagai berikut.
Hubungan antara raja dan rakyat, konsep kawula-gusti tidak hanya menunjukkan
hubungan antara yang tinggi dengan yang rendah, tetapi menunjukkan
kesalingtergantungan yang erat antara dua unsur yang berbeda namun tak
terpisahkan, dua unsur yang sesungguhnya merupakan dua aspek dari yang
sama.

Kedua, makna kata wirya dan sudra. Wirya menurut Sarkoro (2000:181) dalam
tulisanya Bahasan dan Wawasan atas Serat Wedhatama Karya KGPAA Mangkunagoro
IV, dimaknai manusia yang berderajat tinggi, yang karena jabatan dan kedudukannya
maka dihormati orang lain. Wirya dalam budaya Jawa dianggap satu kesatuan dengan
harta (kekayaan) dan wasis (kecerdasan). Ketiga-tiganya dalam budaya Jawa
dipandang sebagai sebuah kesempurnaan bagi manusia yang bermartabat luhur.
Setidaknya, satu atau dua diantara wirya, harta, dan wasis harus ada dalam diri
manusia, sebaliknya jika satu-pun tidak dimiliki, manusia akan jatuh pada derajat
terendah yang tidak akan dihargai oleh siapa-pun. Konsep pandangan itu diajarkan oleh
Mangkunagoro IV dalam Wedhatama “pupuh tembang Sinom pada 15 “ sebagai
berikut:
Bonggan yen tan merlokena,
angger ugering aurip,
uripe mung tri prakara,
wirya harta tri winasis,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
99

kalamun kongsi sepi,


saka wilangan tetelu,
telas tilasing janma,
aji godhong jati aking,
temah papa, papariman ngulandara.
(MN IV dalam Sarkoro, 2000: 181 ).
Terjemahan bebas tembang di atas sebagai berikut:
Salah sendiri jika tidak berusaha,
kebutuhan baku orang hidup,
kehidupannya ada tiga hal,
kewibawaan, harta, dan kepandaian,
jikalau sampai tidak memiliki di antara ketiga tersebut,
sirna bekas-bekas kemanusiaanya,
lebih berharga dari pada daun jati kering,
akhirnya jatuh miskin bagai pengemis yang mengembara.

Kaum sudra telah dikenal dalam era Hindu yaitu golongan terakhir dari catur
warna, kasta brahmana, ksatria, weisya dan sudra. Kawuryan (2006:240) mengutip
undang-undang tata negara Majapahit Kutaramanawa Darmasastra, yang menurut
Soekmono (1985:72) disusun oleh Mahapatih Gajahmada (1313-1364 M) menguraikan
bahwa kaum sudra dikodratkan oleh dewa menjadi pelayan dari kaum brahmana,
Ksatria dan Weisya. Kaum sudra dianjurkan untuk taat dan patuh melayani tuan-tuanya
terutama para brahmana agar di alam baka mendapatkan nirwana, sedang ketaatan
kepada ksatria dan weisya mendapatkan pahala duniawi.

4.3.4. Perilaku Poligami


Implikasi lain dari episteme era Mataram dalam sosial masyarakat Jawa,
dikarenakan adanya diskursus Arjuna adalah perilaku poligami, yang menurut
Koentjaraningrat (1994:261-267) lebih banyak dilakukan para raja dan kaum priyayi.
Di masa lampau poligami di lingkungan keraton dilakukan oleh raja agar memiliki
banyak keturunan untuk mendukung kekuasaanya sebagai bupati di daerah jajahan. Hal
itu adalah sebuah strategi untuk menjamin kelestarian kekuasaan raja. Selain itu diluar
isteri utama raja yang berstatus garwa padmi, isteri selir lebih banyak berasal dari
kawula klas rendah untuk mendapatkan keturunan dari raja agar ikut mengangkat
derajat keluarga para selir tersebut. Soeratman (2000:359) menguraikan poligami di
lingkungan istana seringkali menyebabkan terjadinya masalah-masalah perselisihan di
antara keluarga raja disebabkan saling cemburu untuk mendapatkan perhatian dari raja.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
100

Poligami berakar dari episteme era Mataram yang menurut Graaf (2002:299)
mengarah pada ekploitasi dan diskriminasi perempuan. Tindak diskriminasi terhadap
perempuan itu sering direpresentasikan dalam narasi klise wayang atau seni rakyat
ketoprak bahwa para raja taklukan di luar Jawa setiap setahun sekali harus menyerahkan
glondhong pengareng-areng peni-peni raja peni guru bakal guru dadi putri tandha
panungkul, artinya bahan mentah dan bahan jadi bahan perhiasan mentah seperti intan,
emas, perak, mutiara maupun perhisan siap pakai , hingga putri sebagai tanda patuh
(Soeratno dalam Soemarno, 1996:2). Bahasa klise yang biasa dinarasikan babad,
wayang, ketoprak serta syair bedaya turun temurun itu meng-aktualisasikan sikap
budaya Jawa khususnya keraton, bahwa para kaum hawa dipersamakan dengan barang-
barang mentah, intan, perak, serta perhiasan. Oleh karena ideologi itu kedudukan
wanita Jawa era Mataram sangat inferior dan tidak dilindungi oleh hukum.
Tindak diskriminatif terhadap perempuan era Mataram bisa diketahui dari
adanya tradisi pergundikan di lingkungan keraton dan perselingkuhan di lingkungan
para bangsawan, ketika perjinaan itu diketahui umum, pihak wanita yang
dipersalahkan, sebagaimana catatan dari Jan Vos 1637 di Mataram telah terjadi
kehebohan karena putra mahkota (kelak bertahta sebagai Sunan Mangkurat I)
berselingkuh dan melarikan selir tercantik dari tumenggung senior Wiraguna. Tidak
terima dengan ulah sang pangeran itu Wiraguna melapor kepada raja memohon
keadilan, tetapi sikap itu malah menimbulkan murka Sultan Agung. Catatan Jan Vos
selanjutnya menguraikan bahwa akhirnya dengan kesadaranya sendiri putra mahkota
mengembalikan selir Wiraguna. Akan tetapi malang nasib bagi selir cantik tersebut
karena ia menjadi sasaran kemarahan Wiraguna ditusuk enam kali dengan keris
disekujur tubuhnya hingga menemui ajalnya. Atas sikap semena-mena Wiraguna
kepada selir itu, biang perselingkuhan putra mahkota dan Sultan Agung tidak
mengambil tindakan apa-apa ( Graaf, 2002: 299).
Menarik untuk dikaji berkaitan perilaku diskriminatif tersebut, mengapa Sultan
Agung tidak menghukum putranya sebagai biang perselingkuhan, sebaliknya memarahi
kepada pelapor Wiraguna, bahkan mengatakan bahwa “biasa sesekali seorang pria
berselingkuh “ (Graaf, 2002:299).
Perkataan Raja Mataram bahwa berselingkuh sebagai sebuah hal biasa tersebut
mengisyaratkan bahwa, berselingkuh bagi kaum pria adalah hal yang biasa. Pandangan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
101

itu bisa dipahami dalam konteks kode budaya Jawa, dikarenakan mereka
mengkultuskan Arjuna yang beristeri banyak dan suka berselingkuh. Graaf mengutip
catatan Coen bahwa Sultan Agung dilayani oleh 50 000 wanita dalam kedaton dan putra
mahkota dengan selir 10 000. Tiga diantara wanita ribuan itu putri keturunan
bangsawan di Cirebon, Pajang, dan Pati berstatus sebagai permaisuri yang memiliki
hak-hak istimewa dalam berinteraksi dengan raja serta fasilitas-fasilitas yang di dapat,
sedangkan bagi para wanita yang berstatus selir di terangkan oleh Koentjaraningrat
(1994:261-267), hanya memiliki kontak-kontak terbatas dengan raja, fasilitas serba
terbatas, dan perilaku yang kadang semena-mena sebagaimana dicontohkan di atas.
Bukan tidak mungkin poligami perselingkuhan dan sifat thuk mis (mudah
terpesona terhadap wanita) bagi pria Jawa khusunya para priyayi, adalah perilaku yang
diturunkan dari sifat Arjuna sebagai lelananging jagad sebagaimana dikemukakan di
atas. Berkaitan dengan sikap peniruan, Freud dalam tulisannya berjudul Psikologi
Kepribadian, terjemahan dari Sumadi menguraiakan bahwa untuk menghilangkan
/mereduksi empat macam ketegangan pokok kepribadian yaitu (1) proses pertumbuhan
fisiologis, (2) frustasi (3) konflik (4) ancaman, manusia melakukan identifikasi atau
peniruan kepada orang lain. Proses itu lebih banyak tidak disadari oleh manusia, dengan
memilih sosok tokoh yang bisa mengantarkan tujuannya juga agar dapat identik dengan
yang ditiru. Menurut Sigmund Freud obyek peniruan itu tidak sebatas pada manusia
bisa juga sifat-sifat binatang, tumbuhan, dan barang-barang dipandang bisa menjadi
acuan. Berbeda dengan imitasi peniruan itu kemudian menjadi bagian dari
kepribadiannya (Freud dalam Sumadi, 1982 : 164:165).
Poligami adalah perilaku fenomenal di masyarakat Jawa dahulu hingga sekarang
yang selalu diwarnai pro dan kontra disebabkan lebih merupakan subordinasi wanita
berdampak penderitaan. Vreede (2008) mengutip pandangan pelopor pejuang
emansipasi wanita Indonesia, R.A. Kartini dalam surat kepada sahabatnya di negeri
Belanda Zeehandelaar bertanggal 23 Agustus 1900, mengungkapkan keluhan mengenai
kehidupan poligami di lingkungan para priyayi sebagai berikut:
Jalan hidup anak perempuan Jawa telah dibatasi dan dibentuk menurut satu pola
saja yang sama. Kami tak boleh bercita-cita. Satu-satunya yang boleh kami
mimpikan adalah hari ini atau besok menjadi isteri yang kesekian bagi seorang
lelaki......mereka begitu saja dikawinkan dengan siapa saja yang dipandang baik
oleh orang tuanya.......Tidak semua orang memiliki empat orang isteri, tetapi
dalam dunia kami tiap perempuan yang sudah kawin mengetahui bahwa ia
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
102

bukan satu-satunya isteri dari suaminya, dan hari ini atau besok suami tercinta
dapat saja membawa perempuan menjadi temannya, hampir tiap perempuan
yang kukenal mengutuk hak para lelaki itu. Namun kutukan itu tak berguna
(Kartini dalam Vreede, 2008:67).

Terbentuknya episteme era Mataram sebagaimana telah diuraikan di atas dengan


bentuk-bentuk khas episteme itu menunjukkan bahwa tujuan Raja-Raja Mataram untuk
memperoleh dukungan dari masyarakat Jawa telah tercapai dengan relatif sempurna.
Tidak saja dukungan itu mampu menyokong target politik Sultan Agung yang sifatnya
sesaat untuk mendapatkan pengakuan terhadap legitimasi kekuasaan di Jawa, tetapi juga
menghegemoni relatif langgeng terhadap kekuasaan keturunannya zaman Mataram
hingga era Surakarta dan Jogjakarta sekarang ini. Proses membangun dukungan dengan
mewacanakan diskursus Arjuna itu dalam pandangan hegemoni Gramsci adalah upaya
Sultan Agung merebut persetujuan dari masyarakat Mataram untuk mendukung
kekuasaanya. Dalam konsep hegemoni, Gramsci mengemukakan seperti di bawah ini.
Ada suatu blok historis dari faksi kelas penguasa yang menerapkan otoritas
sosial dan kepemimpinan terhadap kelas subordinat dengan cara merebut
persetujuan. Dalam hegemoni terjadi proses-proses penciptaan makna yang
digunakan untuk melahirkan dan mempertahankan representasi dan praktik-
praktik yang dominan atau otoritatif (Gramsci dalam Barker, 2005:467)

Dari berbagai uraian di atas bisa dirangkum bahwa implikasi diskursus Arjuna
dalam kebudayaan Jawa adalah diterimanya secara totalitas pengetahuan tentang Arjuna
baik secara individu-individu maupun inter-individu. Artinya, pengetahuan itu diterima
melalui tahap sosialisasi kehidupan sejak balita hingga dewasa, di masing-masing
pribadi dan kolektif masyarakat Jawa di lingkungan masyarakat tradisi Jawa tradisi
yang mengkultuskan Arjuna, lewat ritual-ritual maupun pentas wayang. Dalam vase
yang cukup panjang pengetahuan itu kemudian mempribadi menjadi sebuah nilai-nilai
yang dipahami, disepakati, dan ditaati bersama sebagai sebuah pola pikir, perilaku, serta
identitas yang disebut dengan istilah episteme era Mataram. Episteme itu dalam budaya
Jawa sering disebut dengan budaya gagrag (ragam) mataraman, atau Mataram sultan-
agungan. Terkonstruksinya episteme era Mataram itu menandakan bentuk hegemoni
masyarakat Jawa terhadap legitimasi kekuasaan Sultan Agung dan dinasti
keturunannya.
Bentuk-bentuk riil dari episteme mataraman itu adalah kecenderungan,
kesetujuan dan hegemoni terhadap pengagungan produk budaya keraton, sebagaimana
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
103

dipahami masyarakat Jawa umumnya misalnya budaya adiluhung, kejawen,


pengkultusan terhadap para raja Jawa dan gaya hidup priyayi terutama yang masih
poluler hingga sekarang poligami.
Ketika episteme budaya keraton telah mbalung sungsum (mengakar) dalam
kebudayaan Jawa, tidak bisa dihindari perjalanan budaya memasuki era globalisasi, di
mana budaya Jawa harus menyesuaikan diri dengan isyu-isyu global seperti demokrasi,
kapitalisme, budaya populer, simulacra, gender, emansipasi dan feminisme, sehingga
akhirnya benturan budaya tersebut menimbulkan masalah-masalah budaya di
masyarakat. Problem itu misalnya budaya adiluhung dalam sisi tertentu adalah kultus
terhadap kekuasaan raja yang sudah tidak sesuai dengan semangat demokrasi. Produk
adiluhung di bidang pakem juga dicurigai sebagai pembelenggu kreatifitas berkarya
seni, serta biang dari kematian budaya kerakyatan. Ciri khas releigiusitas kejawen yang
bersifat sinkretik juga mulai dihujat karena menjadi faktor penghalang pengamalan
Islam dan agama lain secara totalitas atau dalam istilah Islam pengalaman yang kaffah.
Lebih-lebih gaya hidup para raja dan priyayi, poligami dituduh sebagai model poligami
dan perselingkuhan bagi kaum pria sekarang di masyarakat, yang bertentangan dengan
semangat kesetaraan gender, dan emansipasi.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
104

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan
Dari berbagai analisis dalam pembahasan “Bab IV” bisa disimpulkan bahwa
diskursus tokoh Arjuna dalam legitimasi Raja-Raja Jawa adalah wacana yang dibangun
oleh Sultan Agung menggunakan media tokoh wayang Arjuna bertujuan untuk
mendapatkan legitimasi dari masyarakat Jawa. Jawaban ketiga permasalahan sebagai
sasaran dari tujuan penelitian berkaitan dengan dipilihnya tokoh Arjuna sebagai media
diskursus, proses serta implikasinya dalam masyarakat Jawa sekarang, dalam
pembahasan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
Pertama tujuan penelitian untuk mendapatkan kejelasan dipilihnya Arjuna
sebagai media diskursus dijelaskan bahwa pemilihan itu dengan pertimbangan bahwa
Arjuna adalah tokoh protogonis Wayang Purwa yang bernilai kultus, mitologis dan
anutan. Sebagai tokoh yang dikultuskan Arjuna dipercaya membawa magi keberkahan,
tolak bala dan kemenangan perang. Sebagai tokoh mitologi, Arjuna dianggap leluhur
Raja-Raja Mataram yang akan mewariskan wahyu keraton kepada keturunannya raja-
raja dinasti Mataram, dan sebagai tokoh anutan, Arjuna adalah representasi ideologi
kekuasaan Sultan Agung.
Kedua, tujuan penelitian untuk mengungkap proses terjadinya diskursus tokoh
Arjuna yang diwacanakan oleh Sultan Agung, dijelaskan bahwa wacana itu dibangun
dengan cara desentralisasi dan pluralisasi power knowledge (kuasa pengetahuan) bagi
setiap individu di Mataram. Desentralisasi kuasa pengetahuan disebarluaskan melalui
agen-agen utama wacana yaitu dalang, penanggap maupun penonton pada ivent-ivent
yang telah mentradisi dalam masyarakat Jawa di berbagai lapisan baik lapisan atas di
lingkungan keraton, rumah priyayi maupun masyarakat umum. Pluralisasi adalah
sebuah proses di mana setiap individu dan kolektif dibiasakan, di latih dan dihimbau
melalui wacana itu tentang arti penting pertunjukan wayang dan nilai-nilai ketokohan
Arjuna terhadap kehidupan orang Jawa. Hasil dari diskursus Arjuna itu adalah
tersosialisasinya pengetahuan tentang Arjuna dalam setiap pribadi dan kolektif di Jawa
dengan lahirnya kesadaran setiap subyek dalam satu kesatuan episteme yang
menghegemoni legitimasi kekuasaan Raja-Raja Mataram.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
105

Ketiga, tujuan penelitian untuk mengungkap implikasi diskursus Arjuna dalam


kebudayaan Jawa, dijelaskan bahwa implikasi atau keterlibatan diskurus Arjuna dalam
masyarakat Jawa adalah diterimanya secara totalitas pengetahuan tentang Arjuna baik
secara individu-individu maupun inter-individu, melalui tahap sosialisasi kehidupan
sejak balita hingga dewasa, oleh masing-masing pribadi dan kolektif masyarakat Jawa
di lingkungan masyarakat tradisi Jawa tradisi yang mengkultuskan Arjuna, lewat ritual-
ritual maupun pentas wayang. Dalam vase yang cukup panjang pengetahuan itu
kemudian mempribadi menjadi sebuah pola pikir, perilaku, serta identitas yang disebut
dengan istilah episteme era Mataram. Episteme itu dalam budaya Jawa sering disebut
dengan budaya gagrag (ragam) mataraman, atau Mataram sultan-agungan.
Terkonstruksinya episteme era Mataram itu menandakan bentuk hegemoni masyarakat
Jawa terhadap legitimasi kekuasaan Sultan Agung dan dinasti keturunannya. Episteme
budaya keraton yang telah mbalung sungsum (mengakar) dalam kebudayaan Jawa, di
era globalisasi sekarang ini, mengalami pergeseran akibat isyu-isyu global seperti
demokrasi, kapitalisme, budaya populer, simulacra, gender, emansipasi dan feminisme,
sehingga akhirnya benturan budaya tersebut menimbulkan perubahan sosial budaya di
masyarakat.

5.2. Saran
Saran ini ditujukan pada kemanfaatan penelitian sebagaimana diuraikan dalam
bab I terdiri dari saran teoritis dan praktis. Saran teoritis mengarah pada ranah
akademis bagi para peneliti terutama yang berkaitan dengan penggunaan paradigma
kajian budaya dengan teori diskursus seperti tulisan ini, dan saran praktis mengarah
pada kemanfaatan konsep ini pada aplikasi kehidupan sehari-hari di lingkungan
penyangga pewayangan baik formal maupun non formal, terlebih khusus kepada para
pengambil kebijakan berkaitan dengan pengembangan pewayangan nasional maupun
internasional. Saran ini disajikan menjadi dua kelompok sebagai berikut.

5.2.1. Saran Teoritis


1. Sejarah kebudayaan Jawa hingga saat ini selalu mendeskripsikan tentang
kronologi dan peranan sekelompot elite masyarakat Jawa raja-raja dan priyayi.
Padahal terjadinya sejarah bukan hanya ditentukan oleh para bangsawan tetapi
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
106

juga dibentuk oleh masyarakat pada umumnya. Penulisan sejarah hingga saat ini
dalam perspektif kajian budaya tidak lebih dari kelanjutan diskursus yang
dikonstruksi oleh raja-raja Jawa untuk kepentingan politiknya. Dengan
menggunakan paradigma kajian budaya penulisan sejarah akan lebih mampu
menyajikan obyektifitas sejarah tentang peranan rakyat dan kejadian
seusungguhnya terhadap pramen-prahmen sejarah bukan sebuah informasi
pengagungan sekelompok masyarakat Jawa, para raja. Informasi sangat penting
dari penelitian ini berhubungan dengan penulisan sejarah, bahwa penilitian ini
telah menghasilkan temuan kebenaran teori Foucault bahwa sejarah tidak
berjalan linear dan esensial tetapi berujud repture, atau prahmentasi, retakan-
retakan sejarah yang terjadi secara kebetulan dilatarbelakangi ambisi-ambisi
kelompok mansyarakat yang menginginkan kekuasaan. Temuan tersebut bahwa
peradaban era Mataram Sultan Agung adalah prahmen sejarah Jawa yang sama
sekali bukan alur penerus dari era sebelumnya, Pajang, Demak atau-pun
Majapahit baik secara silsilah keturunan maupun episteme sejarah yang
dibentuk. Episteme era Mataram yang melahirkan budaya adiluhung dan
diskursus Islam dengan warna sinkretik adalah kearifan lokal yang lebih
dipengaruhi konstruksi wacana dari Sultan Agung menggunakan Arjuna sebagai
media diskursus.
2. Dalam penulisan kajian budaya Jawa, seperti sastra, sosial, maupun seni saat ini
seyogyanya tidak selalu berfokus pada analisis corak budaya adiluhung produk
keraton, karena ruang lingkup budaya Jawa ternyata lebih beragam, dinamis dan
memiliki ranah lebih luas lagi termasuk budaya kerakyatan dan budaya Jawa
kekinian yang belum banyak mendapat perhatian peneliti.
3. Selain diskursus Arjuna, masih banyak lagi obyek material penelitian tokoh
wayang atau-pun budaya Jawa lainnya yang perlu diteliti menggunakan teori
diskursus. Kelebihan teori Foucault itu sebagai obyek formal dalam hal kajian
budaya Jawa adalah efektif dalam mengungkap kejelasan makna berkaitan
dengan terbentuknya episteme era tertentu dalam budaya Jawa.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
107

5.2.2. Saran Praktis


1. Masyarakat luas dan siapa saja yang membaca tulisan ini akan mendapatkan
pengetahuan bahwa corak budaya Jawa yang selama ini telah tersosialisasi
menjadi identitas budaya bagi masyarakat Jawa berasal dari konstruksi budaya
yang dilatarbelakangi kepentingan politik Sultan Agung dan dinastinya. Dengan
demikian, pengembangan budaya Jawa jangan selalu bersumber budaya keraton
tetapi bisa dengan pengembangan nilai-nilai budaya di luar keraton, terutama
yang lebih mengarah pada identitas budaya Jawa kekinian sebagaimana menjadi
apresiasi generasi sekarang.
2. Dalam konsep penelitian ini juga telah dikemukakan bahwa pakem juga
termasuk produk konstruksi budaya dari Sultan Agung yang penuh pesan politis
legitimasi raja-raja Jawa. Oleh sebab itu fungsi dan peranan pakem dalam
pakeliran yang selalu membingkai pertunjukan wayang dan membelenggu
kreatifitas perlu dikembangkan lebih proforsional sesuai dengan selera dan
perkembangan jaman.
3. Kepada para pejabat pengambil keputusan di lingkungan pemerintah diharapkan
mengambil kebijakan yang tepat dan proporsional dalam hal pengembangan
nilai budaya Jawa, dengan mengangkat nilai-nilai kerakyatan dan kekinian yang
selama ini dianggap budaya pinggiran. Selain itu mendorong tranformasi nilai-
nilai budaya lama ke dalam bentuk-bentuk baru sesuai dengan apresiasi
masyarakat sekarang, kiranya sebuah langkah yang lebih realis dengan semangat
jaman, dari pada selalu dimabuk nilai-nilai lama tanpa mempedulikan
perubahan jaman.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
108

DAFTAR PUSTAKA

Abimanyu, Sutjipto. 2014. Babad Tanah Jawi Terlengkap dan Terasli. Jogjakarta:
Laksana
Anderson, Benedict. R.O.G. 1972. Gagasan Kekuasaan di Dalam Kebudayaan Jawa.
Jogjakarta: Pelayanan Rohani Mahasiswa Jogjakarta.
Anirun, Suyatna. 1998. Menjadi Aktor. Bandung:PT. Rekamedia Multiprakasa
Asmadi, Suwarno. 2004. Candi Sukuh Antara Situs Pemujaan dan Pendidikan Seks.
Surakarta: Massa Baru
Atmojo, Prawiro. 1991. Bausastra Jawa. Surabaya: Yayasan Joyo Boyo.
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies Teori dan Praktek. Yogyakarta: PT
Bentang Pustaka.
Basuki, Ribut. 2006. Panakawan’s Discourse of Power in Javanese Shadow
Puppet during the New Order Regime: From Traditional Perspective to New
Historicism . K@ta, vol. 8, no 1,hlm. 68-88.
Borody, W.A. 1997. The ‘Trials’ of Arjuna and Socrates: Physical Bodies, Violence
and Sexuality. Asian Philosophy Journal. Vol. 7.No.3. Hlm 221.
Budiman, Kris. 2002. Analisis Wacana dari Lingguistik sampai Dekonstruksi.
Chresnayani, Monica Dwi. 2009. Digelar pada Layar. Jakarta: SS Fondation.
Diyono. 1997. Serat Pedhalangan Lampahan Harjuna Wiwaha. Sukoharjo:
Cendrawasih.
Geertz, Clifford. 1959. Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa.
Terjemahahan oleh Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya.
Graaf, H. J. De. dan Pigeaud. 2003. Kerajaan Islam Pertama di Jawa Tinjauan
Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Jakarta: PT Temprint.
Graaf, H. J. De. 1987. Runtuhnya Istana Mataram Terjemahan oleh Hermanus
Johannes. Jakarta: Temprint.
_______ 2002. Puncak Kekuasaan Mataram. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Helen, Pausacker. 2004. Presidents as Punakawan: Portrayal of National leaders as
Clown-Servants in Central Javanese Wayang. Journal of Southeast Asian
Studies. Vol.32.No.2.Hlm 213.
Hoed, Benny.H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas
Bambu. Jogjakarta: Pusat Studi Kebudayaan UGM
Kali, Ampy. Diskursus Seksualitas Michel Foucault. Jogjakarta: Ledalero Anggota
IKAPI.
Kamajaya. 1986. Serat Centhini Latin Jilid 1. Jogjakarta: Yayasan Centhini
Yogyakarta
_______1992, Serat Centhini Latin Jilid 2. Jogjakarta: Yayasan Centhini Yogyakarta
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
109

Kawuryan, Megandaru. 2006. Tata Pemerintahan Negara Kertagama Kraton


Majapahit. Jakarta: Panji Pustaka.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka
Kuwato. 1990. Telaah Naskah Pakeliran Padat Lakon Palguna Palgunadi Susunan
Bambang Murtiyoso DS. Surakarta: Laporan penelitian STSI
Lokamaya. 2003. Baghawad Gita. Terjemahan oleh Saut Pasaribu. Jogjakarta:
Orchid.
Lubis, Yusuf Akhyar. 2014. Teori dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Sosial Budaya
Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers.
Magnis Suseno, Frans. 1986. Kepribadian Jawa dan pembangunan Nasional.
Yogjakarta: Gajahmada University Press.
_______1991. Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafati tentang Kebijaksanaan Jawa.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Mandali, Sondong. 2006. Bawarasa Kawruh Kejawen. Widijatmo Sontodipura (edt).
Mbangun Tuwuh. Solo: Paguyuban Tridarmo Mangkunagaran.
Mangkunagara IV. 1981. Serat Kalimataya. Terjemahan oleh Laginem & Adi
Triyono. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan
Buku Sastra Indonesia dan Daerah
Margana, S. 2004. Pujangga Jawa dan Bayang-Bayang Kolonial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Maryanto, Eko. 2009. Analisis Struktur Cerita Rekaan. Jakarta: FIB UI
Masinambow. 2001. Semiotik Mengkaji Tanda dalam Artifak. Jakarta: Balai Pustaka
Moedjanto, G. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa Penerapannya oleh Raja-Raja Jawa.
Jogjakarta: Kanisius.
Moenta, Andi Pangerang. 2009. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.
Http://id.Wikisaurrce.org: 2 Juli 2014,jam 16.30.
Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau.
Jakarta: Yayasan Obor.
Mulder, Niels. 2001. Ruang Batin Masyarakat Indonesia. Jogjakarta:KliS
Murtiyoso, Bambang. 1981. Garap Pakeliran Sekarang Pada Umumnya. Surakarta:
ASKI
_______2007. Misteri Risang Arjuna Rahasia Jagat Wayang. Lango Vol 2. No. 6.
lm.1-5.
Pitana, Titis Srimuda. 2008. Dekonstruksi Makna Simbolik Arsitektur Keraton
Surakarta. Denpasar:Program Pasca Sarjana Universitas Udayana
Probohardjono. 1961. Pakem Wayang Purwa. Surakarta: Penerbitan Ratna
Qardhawi, Syekh M. Yusup. 1980. Halal dan Haram dalam Islam. Terjemahan oleh
Mu’amal Hamidi. Jakarta: Bina Ilmu
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
110

Raffles, Thomas Stamford. 2014. The Histori of Java. Terjemahan oleh Eko
Prasetyaningrum dkk. Jakarta: Narasi
Rahcman, Doni. 2008. Kajian Mitos Masyarakat Terhadap Foklor Ki Ageng
Gribig. Malang: Universitas Negeri Malang.
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya d an Ilmu
Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rendra. 2010. Sastra Gendhing. Macapat.web.id. Diakses, 20 Oktober 2014.
Ronggowarsito. 1992. Serat Paramayoga. Terjemahan oleh Kamajaya.
Yogyakarta:Yayasan Centhini
_______1993. Serat Pustakaraja Purwa. Terjemahan oleh Kamajaya. Jogjakarta:
Yayasan Mangadeg Surakarta dan Yayasan Centhini Yogyakarta
Sabdawara. 1997. Kempalan Balungan Lakon. Sukoharjo: Cendrawasih.
Sarkoro, Sarjono Darmo. 1997. Serat Wedhatama Yasan KGPAA. Mangkoenagoro IV.
Surakarta: Pura Mangkunagaran.
Sayid. 1958. Bauwarna Kawruh Wayang. Solo : Widya Duta
Sedyawati, Edy (edt). 2009. Industri Budaya di Indonesia. Jakarta: Kementerian
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia.
Setiawan, Ebta. 2014. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) http KBBI. Web.Id,
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud (Pusat Bahasa), diakses 10
Nopember 2014
Soekmono. 1985. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta:
Kanisius
Soekotjo, Padmo. 1982. Silsilah Wayang Mawa Carita Jilid III. Surabaya:PT
Citrajaya.
_______1984. Silsilah Wayang Mawa Carita Jilid IV. Surabaya:PT Citrajaya
Soeratman, Darsiti. 2000. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939.
Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia
Soeratno, Gunowihardjo dan Sumarno, Poniran (ed). 1996. Pakem Ringgit Purwa
Lampahan Parta Krama. Surakarta:SMKI
Soetarno, Wignyo, dan Nugroho, Sugeng (ed). 1996. Wahyu Pakem Makutharama.
Surakarta: STSI Press
Soetarno. 1995. Wayang Kulit Jawa. Sukoharjo: Cendrawasih
_______ 1997. Reflektif Budaya Jawa dalam Pertunjukan Wayang Kulit.Surakarta:
Laporan penelitian STSI Prize
_______ 2002. Pakeliran Pujo Sumarto, Nartosabdho dan Pakeliran Dekade 1996-
2001. Surakarta: STSI Press
Solichin. 2010. Wayang Masterpice Seni Budaya Indonesia. Jakarta: Sinergi
Persadatama Foundation.
_______2011. Falsafah Wayang. Jakarta: SENAWANGI.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
111

_______2013. Gatra Wayang Indonesia. Jakarta: CV. Dedy Jaya.


Solikhin, Muhammad. 2008. Ajaran Ma’rifat Syekh Siti Jenar. Jogjakarta: Narasi
STSI
Subiyantoro, Slamet. 2011. Antropologi Seni Rupa Teori, Metode, & Contoh Telaah
Analitis. Surakarta: UNSPress
Sudibyo. 1980. Babad Tanah Jawi. Alih aksara. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku sastra Indoneisa dan Daerah
Sujiman, Panuti. 1992. Serba Serbi Semiotika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Sukiyat. 1990. Yasan Dalem Sri Susuhunan Pakubuwana IV Wulangreh I. Klaten: Intan
Pariwara.
Sulistiono, Edy dan Prasta, Made. 2013. Berwisata ke Negeri Pewayangan. Surakarta:
Laporan Penelitian Prodi Kajian Budaya UNS.
Sulistiono, Edy. 2014. Keresahan Para Seniman Surakarta Era Budaya Populer. Seminar
Mata Kuliah Kajian Budaya Populer, di Prodi Kajian Budaya Pasca Sarjana
UNS, 5 Juni 2014.
Sumaryono. 1999. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
Sunarto. 2013. Leather Puppet In Javanese Ritual Ceremony. International Researc
Journal. Vol IV. No 3 hlm 71.
Suratno. 1993. Telaah Perwatakan Sembilan Tokoh Wayang Dalam Serat Centhini
Jilid 1. Surakarta: Laporan penelitian STSI 1993
Suratno. 2003. Studi tentang Lakon Wahyu dalam pakeliran Wayang Kulit Purwa di
Surakarta Dalam satu Dekade terakhir. Surakarta: Laporan penelitian
Sutrisno, Slamet(edt.). 2009. Filsafat Wayang. Jakarta:Senawangi.
Suwandono (edt.). 1998. Ensiklopedi Wayang Purwa I. Jakarta: Proyek
Pembinaan Kesenian Direktorat Pembinaan Kesenian Dit.Jen. Kebudayaan Dep.
P & K.
Suwarno, Bambang. 1999. Wanda Wayang Kaitannya dengan Pertunjukan Wayang
Kulit Purwa Masa Kini. Yogyakarta: Program Pasca sarjana UGM
Suyamto. 1992. Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa. Semarang:
Dahara Prize
Suyanto. 2003. Pakem Pedalangan. Kertas Sarasehan Pedalangan PDMN, tgl 2
Nopember 2003. Surakarta: Pura Mangkunagaran.
Vreede-de, Cora Stuers. 2008. Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan dan
Pencapaian. Edisi terjemahan: Elvira Rosa, Paramita ayuningtyas, Dwi Istiani).
Jakarta: Komunitas Bambu.
Wahid, Abdurrahman. 1999. Membangun Demokrasi. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Wahyudi, Aris. 2012. Lakon Dewa Ruci Cara Menjadi Jawa. Yogjakarta: PT
Bagaskara.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
112

Widyasari, Novika. 2010. Nilai Budaya Lakon Joko Kembang Kuning dalam Wayang
Beber Pacitan. Surakarta: Tesis Kajian Budaya Pasca Sarjana UNS
Yunus, Ahmad. 2013. Panduan Penulisan Tesis. Surakarta: Program Pasca Sarjana
UNS
Yusuf Lubis, Akhyar. 2014. Teori dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Sosial Budaya
Kontemporer. Jakarta. PT Raja Hrafindo Persada.
_______ 2014. Postmodernisme Teori dan Metode. Jakarta: Rajawali Pers
Yuwono, Basuki Teguh. 2012. Keris Indonesia. Jakarta: Citra Sains LPKBN
Zoetmulder. 1983. Kalanggwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta:
Djambatan Anggota IKAPI

NARA SUMBER
K.P. Winarno Kusuma
Lahir pada tanggal 11 Pebruari 1949 di Surakarta, beralamat di Perumahan
Ngringo Palur Karanganyar. Tahun 1972 sambil bekerja di Dinas Peternakan Surakarta,
mulai mengabdi di Keraton Surakarta. Baru setelah pensiun pada tahun 2000,
sepenuhnya waktunya di fokuskan untuk mengabdi di Keraton Surakarta sebagai Wakil
Pengageng Sasanawilapa (keadministrasian) Keraton Surakarta. Tugas budaya yang
lain sekarang ini Kanjeng Winarno begitu biasa dipanggil sebagai juru bicara dan
narasumber berkaitan dengan kabudayan Jawi Keraton Surakarta, termasuk pengasuh
tetap acara Kawruh Budaya di RRI Surakarta setiap Selasa malam Rabu, dan pengajar
Bahasa Daerah di SMAN 1 Surakarta di Margayudan Surakarta. Wawancara 1
Desember 2014
M.Dm. Hali Jarwo Soelarso.
Lahir tanggal 5 Januari 1951 di Sukoharjo, bertempat tinggal di Praon,
Nusukan, Surakarta. Sejak tahun 1980 mengabdi di Pura Mangkunagaran sebagai abdi
dalem dalang sambil membantu mengajar guru pedalangan senior Ki Ngabehi Wignyo
Sarono di Pasinaon Dalang Mangkunagaran (PDMN). Tahun 1981 ditugasi oleh Sri
Paduka MN IX menjadi peniti (abdi dalem yang bertugas memelihara dan
mengoprasikan wayang saat pentas) wayang pusaka Kyai Sebet Pura Mangkunagaran.
Sekarang menjadi guru senior di PDMN dan nara sumber Jurusan Pedalangan Akademi
Seni Mangkunagaran (ASGA) Surakarta. Wawancara 24 Oktober 2014
R.Ng. Sunarno Dutadiprojo, Spd.

Lahir pada tanggal 11 April 1958 di Klaten, tinggal di Semanggi Pasar Kliwon
Surakarta. Sambil bekerja sebagai guru Pedalangan di SMKN 8 Surakarta, sejak tahun
1996 di serahi tugas oleh PB XII sebagai guru Pedalangan di Pawiyatan Pedalangan
ing Surakarta (PADASUKA), setelah guru senior Ki Redi Suta mangkat. Sekarang di
sela-sela tugasnya di SMK 8 dan keraton Ki Sunarno aktif sebagai narasumber
berkaitan dengan Pedalangan gaya keraton Surakarta. Wawancara 24 Oktober 2014.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
113

Anda mungkin juga menyukai