Sejarah munculnya kaidah fikih, kaidah fikih ini telah mempunyai bibit sejak zaman Rasulullah SAW. Akar-akar kaidah fikih ini telah ada pada zaman Rasulullah SAW yang diinduksi oleh ulama fikih dan dijadikan suatu kaidah. Akar kaidah fikih itu bermula dari ayat Al-Quran dan hadis Nabi. Prinsip-prinsip ini dikembangkan oleh para ulama fikih dari teks-teks Al-Quran dan hadis Nabi, dan kemudian dijadikan kaidah-kaidah formal. Sumber-sumber utama untuk perumusan kaidah-kaidah ini adalah ayat Al-Quran dan hadis Nabi.1 Berikut ini adalah beberapa sumber dan landasan perumusan atas lima kaidah utama yang dijelaskan di atas. Kaidah pertama, "semua perkara bergantung pada tujuannya (niatnya)", berdasarkan hadis Nabi yang menyatakan pentingnya niat dalam melakukan suatu amal. Kaidah ini dianggap sangat penting dalam fikih karena tujuan atau niat memengaruhi hukum suatu amal.
Kaidah kedua, "keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan",
didasarkan pada beberapa sabda Nabi yang mengajarkan agar seseorang mempercayai apa yang diyakini, meskipun ada keraguan. Kaidah ini mencakup banyak aspek fikih dan menekankan pentingnya keyakinan dalam praktek ibadah.
berdasarkan ayat-ayat al-Quran yang menekankan bahwa agama Islam adalah agama yang memudahkan. Kaidah ini mengakui bahwa dalam situasi kesulitan, syariat Islam memberikan keringanan atau kemudahan.
Kaidah keempat, "(Kemudaratan harus dihilangkan)", didasarkan pada prinsip
bahwa tidak boleh ada bahaya atau mudarat dalam agama. Ayat-ayat al-Quran dan hadis Nabi mendukung prinsip ini, yang menyatakan bahwa kepentingan atau kemudaratan harus dihindari. Ada beberapa kaidah turunan yang masuk dalam kaidah ini, di antaranya: a) Keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang, seperti boleh makan bangkai saat kelaparan, saat tersedak melancarkan dengan arak. b) Apa yang dibolehkan karena alasan darurat harus diperkirakan berdasarkan kadar kedaruratannya. Maksud kaidah adalah halhal yang sebetulnya haram lalu diperbolehkan atas alasan darurat harus diperkirakan sesuai dengan tingkat kedaruratannya, tidak boleh berlebihan. Misalnya, saat kelaparan tidak makanan selain bangkai, maka hanya boleh makan sekedarnya saja. c) Keadaan bahaya tidak boleh dihilangkan dengan keadaan bahaya pula, seperti orang yang sangat kelaparan tidak boleh 1 Muiz, A. (2020). Landasan Dan Fungsi Al-Qawa‟id Al-Fiqhiyyah Dalam Problematika Hukum Islam. Al-Afkar, Journal For Islamic Studies, 3(1, January), 103–114. merampas makanan orang lain yang juga sama-sama laparnya, atau orang tidak boleh mengobati penyakitnya dengan barang- barang beracun yang dapat membahayakan nyawanya.
Kaidah kelima, "(Adat bisa dijadikan hukum)", berdasarkan sabda Rasulullah
yang menyatakan bahwa apa pun yang dipandang baik oleh masyarakat Muslim, juga dianggap baik di sisi Allah. Kaidah ini memperbolehkan penggunaan adat atau kebiasaan sebagai sumber hukum dalam beberapa kasus fikih. Kaidah-kaidah fiqih ini terus berkembang seiring waktu untuk mengakomodasi perubahan-perubahan dalam masyarakat dan teknologi. Misalnya, dalam konteks ekonomi modern, ulama telah mengembangkan kaidah-kaidah baru untuk mengatasi masalah keuangan dan bisnis yang tidak diatur secara langsung dalam teks-teks agama. Jadi, kemunculan kaidah-kaidah fiqih dapat dilihat sebagai proses berkelanjutan yang terus beradaptasi dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat dan kebutuhan baru yang muncul. Dengan demikian, kaidah-kaidah ini merupakan prinsip-prinsip penting dalam fikih Islam yang digunakan untuk menafsirkan hukum-hukum syariah dari sumber-sumber utama al-Quran dan hadis Nabi.
REFERENSI
Muiz, A. (2020). Landasan Dan Fungsi Al-Qawa‟id Al-Fiqhiyyah Dalam Problematika
Hukum Islam. Al-Afkar, Journal For Islamic Studies, 3(1, January).