Anda di halaman 1dari 2

1.

Kemunculan Kaidah Fiqih


Sejarah munculnya kaidah fikih, kaidah fikih ini telah mempunyai bibit sejak zaman
Rasulullah SAW. Akar-akar kaidah fikih ini telah ada pada zaman Rasulullah SAW yang
diinduksi oleh ulama fikih dan dijadikan suatu kaidah. Akar kaidah fikih itu bermula dari
ayat Al-Quran dan hadis Nabi. Prinsip-prinsip ini dikembangkan oleh para ulama fikih
dari teks-teks Al-Quran dan hadis Nabi, dan kemudian dijadikan kaidah-kaidah formal.
Sumber-sumber utama untuk perumusan kaidah-kaidah ini adalah ayat Al-Quran dan
hadis Nabi.1
Berikut ini adalah beberapa sumber dan landasan perumusan atas lima kaidah utama
yang dijelaskan di atas.
 Kaidah pertama, "semua perkara bergantung pada tujuannya (niatnya)",
berdasarkan hadis Nabi yang menyatakan pentingnya niat dalam melakukan
suatu amal. Kaidah ini dianggap sangat penting dalam fikih karena tujuan atau
niat memengaruhi hukum suatu amal.

 Kaidah kedua, "keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan",


didasarkan pada beberapa sabda Nabi yang mengajarkan agar seseorang
mempercayai apa yang diyakini, meskipun ada keraguan. Kaidah ini
mencakup banyak aspek fikih dan menekankan pentingnya keyakinan dalam
praktek ibadah.

 Kaidah ketiga, "kesukaran memunculkan kemudahan", dirumuskan


berdasarkan ayat-ayat al-Quran yang menekankan bahwa agama Islam adalah
agama yang memudahkan. Kaidah ini mengakui bahwa dalam situasi
kesulitan, syariat Islam memberikan keringanan atau kemudahan.

 Kaidah keempat, "(Kemudaratan harus dihilangkan)", didasarkan pada prinsip


bahwa tidak boleh ada bahaya atau mudarat dalam agama. Ayat-ayat al-Quran
dan hadis Nabi mendukung prinsip ini, yang menyatakan bahwa kepentingan
atau kemudaratan harus dihindari. Ada beberapa kaidah turunan yang masuk
dalam kaidah ini, di antaranya:
a) Keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang, seperti
boleh makan bangkai saat kelaparan, saat tersedak melancarkan
dengan arak.
b) Apa yang dibolehkan karena alasan darurat harus diperkirakan
berdasarkan kadar kedaruratannya. Maksud kaidah adalah
halhal yang sebetulnya haram lalu diperbolehkan atas alasan
darurat harus diperkirakan sesuai dengan tingkat
kedaruratannya, tidak boleh berlebihan. Misalnya, saat
kelaparan tidak makanan selain bangkai, maka hanya boleh
makan sekedarnya saja.
c) Keadaan bahaya tidak boleh dihilangkan dengan keadaan
bahaya pula, seperti orang yang sangat kelaparan tidak boleh
1
Muiz, A. (2020). Landasan Dan Fungsi Al-Qawa‟id Al-Fiqhiyyah Dalam Problematika Hukum Islam.
Al-Afkar, Journal For Islamic Studies, 3(1, January), 103–114.
merampas makanan orang lain yang juga sama-sama laparnya,
atau orang tidak boleh mengobati penyakitnya dengan barang-
barang beracun yang dapat membahayakan nyawanya.

 Kaidah kelima, "(Adat bisa dijadikan hukum)", berdasarkan sabda Rasulullah


yang menyatakan bahwa apa pun yang dipandang baik oleh masyarakat
Muslim, juga dianggap baik di sisi Allah. Kaidah ini memperbolehkan
penggunaan adat atau kebiasaan sebagai sumber hukum dalam beberapa kasus
fikih.
Kaidah-kaidah fiqih ini terus berkembang seiring waktu untuk mengakomodasi
perubahan-perubahan dalam masyarakat dan teknologi. Misalnya, dalam konteks ekonomi
modern, ulama telah mengembangkan kaidah-kaidah baru untuk mengatasi masalah
keuangan dan bisnis yang tidak diatur secara langsung dalam teks-teks agama. Jadi,
kemunculan kaidah-kaidah fiqih dapat dilihat sebagai proses berkelanjutan yang terus
beradaptasi dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat dan kebutuhan baru yang
muncul. Dengan demikian, kaidah-kaidah ini merupakan prinsip-prinsip penting dalam fikih
Islam yang digunakan untuk menafsirkan hukum-hukum syariah dari sumber-sumber utama
al-Quran dan hadis Nabi.

REFERENSI

Muiz, A. (2020). Landasan Dan Fungsi Al-Qawa‟id Al-Fiqhiyyah Dalam Problematika


Hukum Islam. Al-Afkar, Journal For Islamic Studies, 3(1, January).

Anda mungkin juga menyukai