Anda di halaman 1dari 14

PEMIKIRAN HUKUM ISLAM AT-THABARI

(USHUL FIQHI PERBANDINGAN)

Yushar

Nim : 2105030024

PROGRAM STUDI HUKUM ISLAM PASCASARJANA FAKULTAS SYARIAH


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PALOPO 2021/2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur penulis sampaikan kepada Allah Swt. atas segala rahmat-Nya sehingga

makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai.

Tak lupa mengucapkan terima kasih kepada empunya gagasan atau ide secara teoritis

dari beberapa sumber buku dan sumber-sumber lainnya (internet). Penulis sangat berharap

semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi setiap responden

atau pembaca. Bahkan berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa menjadi salah satu

konsep yang dapat di aplikasikan dalam kehidupan sehari-sehari. Sebagai peserta didik

(mahasiswa) merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena

keterbatasan pengetahuan dan pengalaman. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik

dan saran yang membangun dari para pembaca agar ke depannya dapat menyampaikan

keilmuan-keilmuan yang lebih baik lagi.

Palopo, 15 April 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...........................................................................................1

B. Rumusan Masalah.....................................................................................3

C. Tujuan........................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN

A. Pemikiran At-Thabari tentang Perzinahan.................................................5

B. Kitab Jami' al-Bayan fi Ta'wil Al-Qur'an (Abu Ja’far al-Tabari)..............7

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan................................................................................................9

B. Daftar Pustaka...........................................................................................11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Nama At-Thabari memang cukup dikenal di kalangan umat Islam. Namun
demikian, kiranya masih diperlukan penjelasan ringkas untuk mengenal lebih dekat
sosok ulama pembela perempuan ini. At-Thabari, lahir pada tahun 838 M/224 H di
daerah Amol, Tabaristan (sebelah selatan Laut Kaspia) adalah seorang sejarawan dan
pemikir muslim dari Iran. Nama lengkapnya adalah Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin
Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali At-Thabari, lebih dikenal sebagai Ibnu Jarir atau
At-Thabari.
Kecerdasan At-Thabari sudah tampak sejak kecil. Di usia 7 tahun, ia sudah
mampu menghafal al-Qur’an, menjadi imam dalam salat dalam usia 8 tahun dan pada
umur 9 tahun ia mulai melakukan pencatatan hadis. Didorong oleh rasa ingin tahu yang
tinggi, pada umur 12 tahun, ia melakukan rihlah ilmiyyah ke beberapa negara, seperti
Rayy daerah Persia, Basrah, Kufah, Mesir, Syiria dan Iraq. At-Thabari tinggal dan belajar
di Rayy (Taheran) selama lima tahun. Di Rayy inilah ia menemukan guru yang cukup
berpengaruh terhadap perkembangan intelektualnya kelak yakni Abdullah bin Humaid
ar-Razi (w. 248 H/862 M).
Tatkala usianya menjelang 17 tahun, ia melanjutkan perjalanannya menuju
Baghdad. Di Baghdad, ia berharap bisa belajar dengan Ahmad bin Hanbal. Namun
rupanya Ahmad bin Hanbal telah wafat lebih dahulu. Menghabiskan waktu sekitar
setahun di Bagdad, At-Thabari lantas melanjutkan pengembaraan pencarian ilmunya
menuju ke Irak. Di Irak ia banyak belajar dengan ulama-ulama terkemuka di daerah
Wasit, Basra dan Kufah. Setelah kurang dari dua tahun di Irak, ia kembali lagi ke
Bagdad. Di sini ia sempat menjadi guru dari salah satu anak Khalifah al-Mutawakkil.
Rasa hausnya akan ilmu pengetahuan tidak berhenti sampai di sini. At-Thabari kemudian
melanjutkan pencarian ilmunya ke Syiria, Palestina dan Mesir. Dari rentetan-rentetan
perjalanan ini, At-Thabari tidak hanya melahap pengetahuan sejarah, tafsir, hadis dan
fikih, melainkan juga pengetahuan lainnya seperti etika dan sastra Arab Kuno.

1
Seterusnya sekitar tahun 256 H/ 870 M, ia kembali lagi ke Bagdad. Pada akhirnya, kota
Bagdad menjadi domisili At-Thabari yang terakhir1
Saiful Amin Ghofur dalam bukunya yang berjudul Profil Para Mufasir Al-Qur'an,
berdasarkan riwayat dari Khatib Al-Baghdadi yang diambil dari Ali bin Ubaidillah Al-
Lughawi Asy-Syamsi, bahwa Ath-Thabari sudah aktif menulis selama 40 tahun.
Setiap harinya, ia mampu menulis sebanyak 40 halaman. Dengan demikian,
diperkirakan selama kurun waktu 40 tahun itu ia telah menghasilkan sebanyak 1.768.000
lembar tulisan.
Namun sayangnya, tidak semua karya Ath-Thabari ini sampai ke tangan kita.
Karya-karyanya terutama yang mengulas mengenai bidang hukum lenyap bersamaan
dengan lenyapnya mazhab Jaririyah.
Di antara karyanya yang bisa terselamatkan adalah Jami al-Bayan Fi Tafsir Al-
Qur'an yang dikenal dengan sebutan Tafsir Ath-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk
yang dikenal dengan Tarikh Ath-Thabari, Tahdzib al-Atsar wa at-Tafdhil ats-Tsabit,
Ikhtilaf al-Ulama al-Amshar Fi Ahkam Syara’i al-Islam yang lebih dikenal dengan
Ikhtilaf al-Fuqaha, Dzail al-Mudzil, Lathif al-Qaul Fi Ahkam Syara'i al-Islam yang
merupakan kitab fikih mazhab Jaririyah, Adab al-Qudhah, Al-Musnad al-Mujarrad, Al-
Qiraat wa Tanzil Al-Qur’an, Mukhtashar Manasik al-Hajj, Al-Mujiz Fi al-Ushul, dan
Musnad Ibnu ‘Abbas.
Dari sekian banyak karyanya ini yang paling terkenal adalah Jami al-Bayan Fi
Tafsir Al-Qur'an yang dikenal dengan sebutan Tafsir Ath-Thabari. Dalam bidang tafsir,
karya Ath-Thabari ini merupakan tafsir generasi pertama yang dibukukan sehingga masih
utuh hingga sekarang.
Kendati menjadi karya tafsir pertama yang dibukukan, namun tidak berarti
sebelum Ath-Thabari belum ada kesadaran membukukan kitab tafsir. Perkembangan ilmu
tafsir yang sangat lamban dan terpencar-pencar pada masa sebelum Ath-Thabarilah yang
menyebabkan upaya untuk membukukan karya-karya tafsir ini tidak berjalan. Baru pada
masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah gerakan pembukuan ilmu pengetahuan, termasuk
tafsir, berkembang sangat pesat.
Beberapa keterangan menyebutkan latar belakang penulisan kitab Jami al-Bayan
Fi Tafsir Al-Qur'an adalah karena keprihatinan Ath-Thabari terhadap umat Islam dalam
memahami Alquran.

1
Trigiyatno, A. (2015). Pandangan Ibnu Jarir At-Thabari Tentang Kedudukan Wanita Sebagai Hakim Dan
Imam Salat. MUWAZAH: Jurnal Kajian Gender, Vol. 6, No. 2, Desember 2014, h. 215-216

2
Mereka sekadar bisa membaca Alquran tanpa tahu makna sesungguhnya. Karena
itulah, Ath-Thabari menunjukkan berbagai kelebihan Alquran dengan mengungkap
berbagai makna hingga kelebihan susunan bahasanya seperi nahwu, balaghah, dan lain
sebagainya. Bahkan jika ditilik dari namanya, kitab ini merupakan kumpulan keterangan
(jami al-bayan) pengetahuan yang cukup luas meliputi berbagai disiplin keilmuan seperti
qira’ah, fikih, dan akidah.2

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Pemikiran Hukum Islam tentang Perzinahan dalam penafsiran At Thabari
2. Bagaimana pemikiran hukum Islam Kitab Jami' al-Bayan fi Ta'wil Al-Qur'an karya
Abu Ja’far al-Tabari
C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui pemikiran hukum islam At Thabari mengenai perzinahan
2. Untuk mengetahui pemikiran hukum Islam Kitab Jami' al-Bayan fi Ta'wil Al-Qur'an
karya Abu Ja’far al-Tabar

BAB II

PEMBAHASAN

2
Diakses melalui https://republika.co.id/berita/lzwl6s/Hujjatul-Islam-Imam-Ath-Thabari, Sang Ulama
Multidisipliner (4-habis) Republika Online, pada tanggal 12 Maret 2022

Hujjatul Islam: Imam Ath-Thabari, Sang Ulama Multidisipliner (4-habis) | Republika Online
pada tanggal 12 Maret 2022

3
A. Pemikiran At-Thabari Tentang Perzinahan

Dalam pandangan Islam tentunya tidak dianjurkan mendekati yang bukan


pasangannya dengan jalan yang mengundang nafsu, sebab hal demikian tentunya
memicu kandungan kandungan dalam zina, sebagaimana dalam Surah Al Isra aya 32
disebutkan, yang artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu
sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk”.

Dalam Tafsir Ath-Thabari menjelaskan , Allah telah memerintahkan manusia


agar tidak mendekati zina, karena zina merupakan perbuatan yang keji. Zina
merupakan jalan yang buruk, dan tidak boleh didekati karena termasuk jalan ahli
maksiat.

Para ahli tafsir mengemukakan ayat yang terdapat di dalamnya terdapat kata
“jangan mendekati” bermaksud larangan mendekati sesuatu yang dapat merangsang
nafsu/jiwa untuk mengerjakannya. Oleh karenanya, tidak diperbolehkan untuk
mendekati sesuatu mempunyai makna larangan agar seseorang tidak terjerumus.
Dalam Tafsir Ath-Thabari menjelaskan Allah telah memerintahkan manusia agar
tidak mendekati zina, karena zina merupakan perbuatan yang keji. Zina
merupakan jalan yang buruk, dan tidak boleh didekati karena termasuk jalan ahli
maksiat. Para ahli tafsir mengemukakan ayat yang terdapat di dalamnya terdapat
kata “jangan mendekati” bermaksud larangan mendekati sesuatu yang dapat
merangsang nafsu/jiwa untuk mengerjakannya. Oleh karenanya, tidak
diperbolehkan untuk mendekati sesuatu mempunyai makna larangan agar
seseorang tidak terjerumus pada perbuatan yang berpeluang mengantarkan kepada
langkah mengerjakannya. Berangkat dari ayat ini dapat dipahami hukum yang terkait
dengan perbuatan mukalaf yaitu, larangan melakukan perbuatan zina. Ayat ini juga
menegaskan, jangankan melakukan perbuatan zina, mendekatinya saja tidak
dibolehkan. Karena sesungguhnya perbuatan zina itu termasuk perbuatan keji
dan merupakan perbuatan yang dapat membawa manusia kepada jalan yang
buruk.3

Kata muhsanatt didalam al-Qur’an berfungsi untuk menjelaskan kedudukan


wanita yang baik-baik, kata muhsanat berasal dari kata ahsana, yuhsinu, ihsanan.
3
Doli Witro, Mhd, Rasidin, Muhamad Izasi Nurjaman, “Subjek Hukum Dan Objek Hukum: Sebuah Tinjauan
Hukum Islam, Pidana, Dan Perdata”, Jurnal Ilmu Syariah dan Perbankan Islam, Vol. 6 No. 1, Juni 2021, h. 50-
51

4
Kedudukan kata muhsanat adalah sebagai fa’il (subjek atau orang), yang berasal dari
Fi’il stulatsi madzid yakni dari kata ahsana, yuhsinu, ihsanan, muhsanan, muhsinin,
muhsanun, ihsan, tuhsan, muhsanun, muhsanun mihsanun. Disebutkan di dalam
kamus al-Mu’jam al-Wasit kata muhsanat berasal dari kata ahsana yang berarti
benteng, sedangkan istilah kata benteng dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI)
adalah tempat perlindungan, pemeliharaan dan penjagaan. Sebagaimana yang telah
disebutkan bahwa kedudukan muhsanat adalah sebagai fa’il (subjek) maka dapat
disimpulkan muhsanat adalah orang yang menjaga.

Mujahid menafsirkan kata muhsanat dalam surah al-Maidah ayat 5 adalah al-
afaif (menjaga kehormatan dirinya) diartikan juga dengan hurriyah (merdeka atau

bukan budak), muhsanat diartikan juga sebagai wanita yang baik-baik. Pada akar kata

muhsanat terdapat kata ihsanan. Ihsan merupakan akar kata dari kata muhsanat, kata

ihsanan dan muhsanat memiliki keterkaitan pada maknanya hal itu dikarenakan ihsan
merupakan bentuk dari kata muhsanat yang berkedudukan sebagai maf’ul. Kata ihsan
berasal dari hasuna wa husnan wa hasinan wa hasanatun, ada istilah yang mengatakan

hasanatil mar’atu artinya apabila seorang wanita itu terpelihara. Jadi kata ihsan secara

bahasa berarti terpelihara. ihsan dapat pula diartikan at-Tazauwwaju yaitu wanita

yang memelihara diri dengan nikah, tidak hanya itu ihsan juga diartikan dengan

hurriyah yang terdapat pada kata muhsanat yaitu wanita-wanita yang merdeka yang
telah memiliki suami. Kata ihsan disebutkan di dalam kitab al-Itqan memiliki tiga
makna yakni, yang pertama al-„iffah yang berarti keterpeliharaan atau menjaga

kehormatan diri, yang kedua at-Tazawwaju yang berarti pernikahan atau telah

memiliki suami atau istri, dan yang ke tiga al-Hurriyah yang berarti kemerdekaan.

Kata ihsan bermakna al-Iffah Disebut sebagai al-iffah karena wanita tersebut
memelihara dan menghalangi dirinya dari perbuatan yang keji, wanita tersebut adalah
wanita yang baik, suci, bermoral tinggi, merdeka dan wanita yang sudah menikah
ataupun belum.

Allah berfirman dalam (QS. an-Nur ayat 77: 4) sebagai berikut:

5
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan jangan lah kalian terima kesaksian mere
buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang pasik.”

Ayat di atas menjelaskan tentang hukum dera bagi seseorang yang menuduh
wanita yang baik baik berbuat zina. Kata muhsanat dalam ayat ini ialah wanita
merdeka yang sudah balig lagi memelihara kehormatan dirinya. Ayat ini berlaku
untuk semua kalangan baik itu kalangan wanita baik-baik ataupun laki-laki yang baik-
baik, apabila seseorang menuduh wanita atau laki-laki yang baik-baik tersebut berbuat
zina maka baginya hukuman yang sama yakni sipenuduh dihukum dera. Jika
sipenuduh dapat membuktikan kebenarannya dari persaksian maka terhindarlah
dirinya dari hukum had, maka yang terkena hukum had adalah orang yang tertuduh.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa makna kata ihsan yang bermakna al-
Iffah benar disebutkan dalam firman Allah, hal ini sebagai bukti kebenaran bahwa
adanya penyebutan khusus untuk wanita-wanita yang baik baik yang menjaga
kehormatan dirinya mereka dimuliakan oleh Allah SWT.4

Selain penjelasan tentang muhsanat Allah swt juga menjelaskan di dalam


firman-Nya tentang wanita pezina yakni yang disebut muhsanan, keduanya memiliki
perbedaan maka dari itu Allah memberikan penjelasan melalui firman-Nya di dalam
al-Qur’n guna membedakan posisi keduanya.

a. Pengertian zina
Zina adalah berhubungan layaknya suami dan istri yang sudah memiliki hubungan
yang sah dilakukan oleh orang yang belum ada ikatan pernikahan. Ali Muhtarom
di dalam jurnalnya mengatakan bahwa para fuqaha mendefinisikan zina sebagai
berikut, zina adalah memasukkan zakar ke dalam faraj yang bukan istrinya dan
menimbulkan kelezatan layaknya suami dan istri yang sudah memiliki ikatan yang
sah
b. Macam macam zina
Zina dibagi menjadi dua yaitu :

4
Hikmatur Rahmah, Muhsnat Ahl Al Kitab dalam Tafsir At-Thabari Lampung, Universitas Negeri Raden Intan,
2020, h. 19

6
1. Zina muhsan adalah perbuatan maksiat atau zina yang dilakukan oleh seorang
laki-laki dan perempuan yang sudah menikah atau berkeluarga, pelaku zina
yang wajib menjaga kehormatannya. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku zina
tersebut sudah baligh, berakal sehat, serta merdeka
2. zina ghairu muhsanat adalah perbuatan maksiat atau zina yang dilakukan oleh
laki-laki dan perempuan yang belum pernah menikah artinya masih dalam
keadaan perjaka atau gadis5
B. Pemikiran hukum Islam Kitab Jami' al-Bayan fi Ta'wil Al-Qur'an karya Abu
Ja’far al-Tabari

Ibn. Jariral-Tabari dalam mempersembahkan kitab ini memberikan


mukadimah berupa puji-pujian kepada Allah SWT dan shalawat kepada rasul-
rasul Allah SWT. Setelah itu beliau berkata :

“Sesungguhnya keutamaan yang paling besar dan kemuliaan yang paling


agung diberikan kepada umat Nabi Muhammad saw dan yang dilebihkan Allah
SWT terhadap umat-umat sebelumnya dengan kedudukan dan martabat yang
lebih tinggi adalah dengan menjaga atau memelihara wahyuyang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw, wahyu yang diturunkan sebagai tanda yang paling
jelas akan kebenaran Rasulullah saw dan sebagai hujjah yang lengkap terhadap
mereka yang mendustakan dan mereka yang membangkang.Wahyu yang
menjelaskan antara kafir dan musyrik. Wahyu yang menentang mereka baik dari
golongan jin atau manusia untuk mendatangkan serupa wahyu dan mereka
tidak mampu untuk melakukannya walaupun mereka saling tolong-menolong.
Wahyu yang dapat membuat gelap gulita menjadi cahaya yang terang benderang.
Wahyu yang memberikan terang dalam kegelapan yang dapat menuntun orang-
orang kepada hidayah danjalan yang benar serta keselamatan”.

Tafsir Jami’ al-Bayan dari segi sumber penafsiran, termasuk kategori bi al-
Ma’thur, yaitu penafsiran yang disandarkan kepada Nabi Saw,

Pendapat para sahabat dan para tabi’in. Al-Thabari banyak mengambil


hadis Nabi, pendapat sahabat, tabi’in, syair Arab dan sirah nabawiyah. Tafsir Jami’
al-Bayan ini pembahasannya mencakup beberapa disiplin ilmu, seperti kebahasaan,

5
Hikmatur Rahmah, Muhsnat Ahl Al Kitab dalam Tafsir At-Thabari Lampung, Universitas Negeri Raden Intan,
2020, h. 30

7
nahwu, syair, dan ragam qiraat. Tafsir ini disebut tafsir tahlili karena menyoroti ayat-
ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di
dalamnya sesuai dengan urutan bacaan yang terdapat dalam al-Qur’an, yakni
tartib mushafi. Adapun dominasi corak yang menjadi kecenderungan al-Tabari
dalam kitab ini ialah corak lughawi, sebab al-Tabari pada mulanya memang
seorang sastrawan dan kaidah balaghah-fasahah serta keindahan diksinya dapat
dilihat dari gaya kepenulisannya.

Dalam menafsirkan, al-Tabari menempuh langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menempuh jalan tafsir atau takwil


2. Melakukan penafsiran ayat dengan ayat (munasabah)
3. Menafsir kanal-Qur’an dengan al-Sunnah/hadis (bi al-ma’thur)
4. Bersandar pada analisis bahasa pada kata yang masih abstrak
5. Mengeksplorasi sya’ir arab ketika menjelaskan maknakosa kata
6. Memperhatikan aspek gramatikal
7. Pemaparan ragam qiraat
8. Memaparkan perdebatan di bidang fikih dan hukumIslam untuk
kepentingan analisis dan istinbat hukum
9. Menganalisa dengan cermat munasabah ayat
10. Melakukan sinkronisasi antar makna ayat untuk menangkap
pemahaman yang utuh6

Selain dari beberapa langkah-langkah diatas pemakalah juga menambahkan


metode penafsiran dan sumber penafsiran At-Thabari yakni :

1. Metodologi penafsiran
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an At Ath-Thabary cenderung
mengungkapkan pendapat mengenai suatu ayat, kemudian At Ath-Thabary
menafsirkan ayat tersebut dan mendukung penafsirannya dengan pendapat
para sahabat dan tabi’in. Ath-Thabary tidak hanya mencukupkan pada sekedar
mengemukakan riwayat-riwayat saja, tetapi juga mengkonfrontir riwayat-
riyata tersebut satu sama lain dan mempertimbangkan mana yang paling kuat.
Adakalanya ia juga, membahas segi-segi I’rab, apabila yang yang demikian itu

6
Basid, A., Faizin, N., & Ahmed, B. M. B. (2021). Kontribusi Ayat-Ayat Zakat di Era Covid-19 Terhadap
Perkembangan Ekonomi: Telaah Pemikiran Al-Tabari dalam Jami’Al-Bayan Fi Ta’wil Al-Qur’an. KACA
(Karunia Cahaya Allah): Jurnal Dialogis Ilmu Ushuluddin, 11(2), h. 185-186

8
dianggap perlu. Terkadang At Thabry meneliti hadits-hadits musnad yang
dijadikan argumentasinya.
Tafsir Ath-Thabary juga memuat istinbath (pengambilan hukum),
menyampaikan perbedaan pendapat yang ada di kalangan ulama, dan memilih
pendapat mana yang lebih kuat di antara pendapat-pendapat itu dengan sisi
pandang yang didasarkan kepada logika dan pembahasan nash ilmiah yang
teliti.
Penjelasan tentang tata bahasa dan aspek-aspek lain dari bahasa Arab
yang ada sekarang dan kemudian, merupakan suatu keharusan dan
keniscayaan dalam kitab ini. Tafsir ini tidak terlepas dari perdebatan teologis
yang begitu menonjol pada masanya, sehingga di dalamnya terdapat kritik
terhadap Qadariyah dan Jabariyah. Pembahasan mengenai fiqh dibuat sangat
menarik, di mana dikemukakan pendapat hukum yang independen dan
persoalan-persoalan fiqh yang berbeda dari keempat madzhab yang sudah
mapan di kalangan ahl al-sunna. Selain itu, ia juga berbeda pandangan dengan
madzhab Hambali.
2. Sumber penafsiran (riwayat)
Dalam menafsirkan ayat-ayat, Ibnu Jarir Ath-Thabary menolak
bersandar pada logika semata. Ia umumnya menuliskan riwayat-riwayat
beserta sanadnya yang sampai sahabat atau tabi’in, dengan memperhatikan
ijma’ Ulama dan mengindahkan perbedaan pendapat bacaan ayat-ayat. Ia juga
merujuk kepada bahasa Arab asli dalam menafsirkan kata dalam satu ayat
yang kurang jelas.
Oleh sebab itu dengan menggunakan metode ini At Ath-Thabary
membatasi diri untuk tidak teralu banyak menggunakan ijtihadnya, kecuali
dalam memilih ayat mana menafsirkan ayat mana, dan dalam menyeleksi
riwayat-riwayat, baik dari Rasulullah maupun dari sahabat dan tabi’in
3. Ra’yu

Ath-Thabary dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an tidak semata-


mata mengandalkan riwayat-riwayat, tetapi juga menggunakan nalarnya
berlandaskan pengetahuan bahasa arab. Keahlian di bidang bahasa sangat
mendukung hal ini, karena itu dalam kitab tafsirnya syair-syair pra-Islam dan

9
sesudahnya dijadikan argumentasi terhadap arti yang dipilihnya bagi satu kata
(lafal) Al-Qur’an.7

Ath-Thabary dalam mukaddimah mengemukakan hadits-hadits nabi yang


kandungannya melarang penafsiran yang mengandalkan nalar. Menurut Ath-
Thabary, larangan tersebut bukannya berkaitan dengan seluruh ayat-ayat Al-
Qur’an, melainkan hanya menyangkut ayat-ayat yang berbicara tentang hal-hal
yang tidak mungkin dijangkau oleh nalar manusia, seperti persoalan
metafisika.

C. KESIMPULAN

7
Diakses melalui ParaPencariIlmu.com: Jami’al-Bayan Fi Ta’wil Ai Al-Qur’an (Tafsir Ath-
Thabary) (parapencariilmu-rama.blogspot.com) pada tanggal 14 April 2022
10
DAFTAR ISI

Trigiyatno, A. (2015). Pandangan Ibnu Jarir At-Thabari Tentang Kedudukan Wanita Sebagai
Hakim Dan Imam Salat. MUWAZAH: Jurnal Kajian Gender, Vol. 6, No. 2, Desember
2014

Diakses melalui https://republika.co.id/berita/lzwl6s/Hujjatul-Islam-Imam-Ath-Thabari, Sang


Ulama Multidisipliner (4-habis) Republika Online, pada tanggal 12 Maret 2022
Hujjatul Islam: Imam Ath-Thabari, Sang Ulama Multidisipliner (4-habis) | Republika Online
pada tanggal 12 Maret 2022

Doli Witro, Mhd, Rasidin, Muhamad Izasi Nurjaman, “Subjek Hukum Dan Objek Hukum:
Sebuah Tinjauan Hukum Islam, Pidana, Dan Perdata”, Jurnal Ilmu Syariah dan
Perbankan Islam, Vol. 6 No. 1, Juni 2021

Hikmatur Rahmah, Muhsnat Ahl Al Kitab dalam Tafsir At-Thabari Lampung, Universitas
Negeri Raden Intan, 2020

Hikmatur Rahmah, Muhsnat Ahl Al Kitab dalam Tafsir At-Thabari Lampung, Universitas
Negeri Raden Intan, 2020

Basid, A., Faizin, N., & Ahmed, B. M. B. (2021). Kontribusi Ayat-Ayat Zakat di Era Covid-
19 Terhadap Perkembangan Ekonomi: Telaah Pemikiran Al-Tabari dalam Jami’Al-
Bayan Fi Ta’wil Al-Qur’an. KACA (Karunia Cahaya Allah): Jurnal Dialogis Ilmu
Ushuluddin, 11(2)

Diakses melalui ParaPencariIlmu.com: Jami’al-Bayan Fi Ta’wil Ai Al-Qur’an (Tafsir Ath-


Thabary) (parapencariilmu-rama.blogspot.com) pada tanggal 14 April 2022

11

Anda mungkin juga menyukai