Anda di halaman 1dari 11

Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis

MODEL PENERIMAAN
Interfaith Harmony: Senandung Sahur Menumbuhkan Empati
Melintasi Batas Agama

MAKALAH

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memenuhi Tugas Kelompok


Teologi Agama-Agama
Dosen Pengampu: Enta Malasinta L. D, Th

Disusun Oleh
Kelompok 1:
Agusta Anta Beria 21.25.89
Aniastasya Agatha 21.25.93
Anggela Paskani A 21.25.92
Andreas.M 21.25.90
⁠Dera Novita 21.26.04
Oktowidodi 21.26.29
Otniel Oyasco 21.26.30
Riri Novriani 21.26.36
Yohana Kristin 21.26.45

Program Sarjana Program Studi Teologi


Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis (STT GKE)

Banjarmasin
Maret 2024
Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia memiliki keberagaman ras, suku dan bahasa sehingga ada enam
agama yang hadir dengan latar belakang dan pemahaman yang berbeda-beda. Di
Indonesia sendiri agama memiliki peran yang sangat sentral dalam kehidupan
masyarakat. Dalam ideologi bangsa Indonesia, yaitu sila pertama dalam Pancasila
yang berisi Ketuhanan Yang Maha Esa, menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia
memiliki kebebasan untuk memilih agama yang benar menurut masing-masing
pribadi. Namun, terkadang keberagaman agama inilah yang membuat sering
terjadinya konflik antar individu maupun kelompok. Dalam hal ini ada beberapa
model yang memandang bagaimana setiap agama itu diterima di dalam pemahaman
agama lain, salah satunya adalah model penerimaan. Maka dari itu, dalam karya
tulis ini penulis akan menggunakan model penerimaan sebagai salah satu upaya
untuk melihat keragaman agama yang ada, khususnya di Banjarmasin. Model ini
menjadi salah satu model yang paling muda diantara model lainnya. Model
penerimaan memberikan jalan tengah dengan menerima berbagai keberagaman
yang nyata dari semua agama , yang berarti bahwa model ini menerima berbagai
macam tradisi agama yang beragam sebagai suatu perbedaan yang nyata ditengah
konteks kehidupan.1 Dalam hal ini keterlibatan umat Kristen dalam membantu umat
Islam untuk membangunkan sahur di bulan Ramadan menjadi titik fokus yang
menarik untuk dipaparkan. Fenomena ini mencerminkan sikap saling menghormati,
saling mendukung dan membangun solidaritas antarumat beragama. Melalui
partisipasi ini, terbuka peluang untuk merinci nilai-nilai kemanusiaan bersama,
mengeksplorasi kemungkinan kerja sama interreligius, serta meneguhkan
perbedaan.
1.2. Rumusan Masalah
1) Apa Pengertian, Kekuatan dan Kelemahan dari Model Penerimaan?
2) Bagaimana Konsep Pluralitas Agama Menurut George Lindbeck?
3) Bagaimana Analogi dan Analisis Kasus dari Model Penerimaan?
1.3. Tujuan Penulisan
1) Menjelaskan Pengertian, Kekuatan dan Kelemahan dari Model Penerimaan.
2) Menjelaskan Konsep Pluralitas Agama Menurut George Lindbeck.
3) Menjelaskan Analogi dan Analisis Kasus dari Model Penerimaan.

1
D’ Costa, Gavin, Mempertimbangkan Kembali Keunikan Agama Kristen: Mitos Teologi
Pluralis Agama-agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 205.

1
Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Model Penerimaan

Model penerimaan merupakan model yang melihat perbedaan sebagai


sesuatu yang tidak dapat dihilangkan, perbedaan akan selalu ada dari tiap teologi
agama-agama. Model penerimaan berbicara tentang perlunya menyadari
partikularitas dalam universalitas. Setiap agama memiliki penyaringnya sendiri
dalam memahami kebenaran yang bersifat majemuk. Model penerimaan
memahami bahwa klaim kebenaran pada masing-masing agama adalah sesuatu
yang tidak dapat dibandingkan. Seseorang tidak mampu memahami dan menilai
agama lain dengan menggunakan paham keagamaannya sendiri. Ini dikarenakan
setiap agama bersifat intratekstualitas, yang artinya agama-agama dipahami dengan
benar apabila dibaca dan ditafsirkan dalam cara yang diyakini oleh masing-masing
penganutnya.2 Pendekatan dari model penerimaan berusaha mengembangkan posisi
di mana identitas Kristen maupun agama-agama lain dapat dihargai sepenuhnya
dengan adanya keterbukaan dan relasi terhadap agama-agama lainnya.3 Model
penerimaan mencerminkan sikap yang sadar dan menerima kenyataan perbedaan
dalam suatu agama. Model ini tidak mengedepankan superioritas satu agama atas
yang lain, juga tidak mencoba mencari kesamaan yang membuat satu agama lebih
valid dari yang lain. Sebaliknya, model penerimaan mengakui dan menerima
keragaman nyata di antara semua agama. Kebenaran dipahami sebagai sesuatu yang
kompleks, bukan tunggal karena pengalaman dan pengetahuan manusia disaring
melalui berbagai kacamata. Oleh karena itu, model ini ingin menegaskan bahwa
tidak mungkin menyaring setiap nilai dari perspektif agama lain, mengingat
perbedaan kacamata yang digunakan. Model penerimaan melihat bahwa ketika ada
banyak agama, biarkan saja setiap agama tetap apa adanya. Ini menunjukkan bahwa
setiap agama harus bersedia menerima perbedaan yang ada di dalam agama-agama
lain. Model ini tidak menuntut adanya kesamaan dalam agama-agama, melainkan
mendorong untuk berjalan bersama tanpa harus selalu sepakat, karena model ini
meyakini bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak bagi semua agama. Model
penerimaan dipengaruhi oleh pemikiran Lindbeck bahwa suatu agama tidak
mungkin sepenuhnya memahami dan menghakimi agama lain, bukan karena ingin
membangun tembok pemisah, melainkan untuk menjaga, menghormati dan

2
Yohanes Krismantyo Susanta, Penguatan Moderasi Beragama: Dalam Perspektif
Pendidikan, Budaya, dan Tradisi Agama-agama di Indonesia (Kanisius, 2023), 120,
https://books.google.co.id/books?id=_qzFEAAAQBAJ&pg=PA119&dq=teologi+agama-
agama+model+penerimaan&hl=id&newbks=1&newbks_redir=1&sa=X&ved=2ahUKEwiq-
baVxd6EAxVk6KACHYlzC1UQ6AF6BAgHEAI.
3
Wendy Sepmady Hutahaean, Teologi Agama-agama (Ahlimedia Book, 2021), 12,
https://books.google.co.id/books?id=I4MqEAAAQBAJ&pg=PA12&dq=teologi+agama-
agama+model+penerimaan&hl=id&newbks=1&newbks_redir=1&sa=X&ved=2ahUKEwiq-
baVxd6EAxVk6KACHYlzC1UQ6AF6BAgDEAI.

2
Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis

melindungi perbedaan yang nyata. Kasih tidak memerlukan kesamaan agama,


melainkan mencoba untuk menjadi apa adanya sesuai dengan kepercayaan yang
dipahami. Dengan cara ini, setiap pihak dapat berbicara sesuai dengan identitasnya
sendiri, menciptakan sikap saling menghargai terhadap berbagai identitas dan
perbedaan. Inilah yang kemudian menjadi sebuah dialog yang mengakui perbedaan
tanpa mencoba mengubahnya. Pada akhirnya, model ini terus menyoroti pentingnya
untuk menerima keragaman dan perbedaan agama-agama.4

2.2. Kekuatan dan Kelemahan Model Penerimaan


Dalam model penerimaan dapat dipahami bahwa tradisi keagamaan di seluruh
dunia memang beragam sehingga penting untuk mengakui dan menghormati
perbedaan-perbedaan tersebut. Inilah yang kemudian menjadi kekuatan yang
dimiliki model penerimaan. Apabila di dalam model-model lain memandang bahwa
perbedaan merupakan sesuatu yang ingin dilampaui, maka sebaliknya bagi model
penerimaan perbedaan dipandang bukan hanya sesuatu yang bisa diterima secara
temporer, melainkan sesuatu yang ingin diterima secara permanen. Sebab model
penerimaan melihat bahwa perbedaan bukan hanya sesuatu yang bisa diterima
untuk sementara, namun sesuatu yang dapat diterima secara tetap tanpa adanya
perubahan dalam waktu yang akan datang.5 Menurut model penerimaan, tujuan
dialog antar agama bukan hanya sekedar untuk membangun persekutuan yang lebih
besar di antara agama-agama, melainkan untuk mempertahankan perbedaan
tersebut dan kemudian belajar dari agama tersebut. Adanya perbedaan di antara
agama sangat bagus, tetapi ada beberapa agama yang justru memandang bahwa
tujuan utamanya adalah sebagai tanah liat yang dengannya terbentuk persekutuan
yang lebih luas dan persekutuan yang lebih luas ini kemudian akan mengarah ke
persekutuan akhir.6
Salah satu aspek krusial dari model penerimaan adalah sifat inklusifnya.
Dalam dialog antaragama, seringkali sudut pandang terhadap keyakinan lain dinilai
melalui lensa perspektif agama sendiri. Jika suatu komunitas keagamaan lupa akan
inklusivitas dalam pendekatannya terhadap komunitas lain, dampaknya dapat
merugikan kedua belah pihak yang terlibat. Tindakan tersebut dapat menyakiti
agama lain dengan tidak memberi ruang bagi mereka untuk menjadi diri mereka

4
Kesia Martini Pesik, Semboyan “Torang Samua Basudara” dalam Interaksi Penganut Kristen
dengan Penganut Agama Lain di Manado, Kenosis: Jurnal Kajian Teologi 8 No. 2 (Desember, 2022:
368 diakses pada tanggal 5 Maret 2024,
https://www.google.com/search?q=Semboyan+%E2%80%9CTorang+Samua+Basudara%E2%80
%9D+dalam+Interaksi+Penganut+Kristen+dengan+Penganut+Agama+Lain+di+Manado&rlz=1C
1CHBD_idID1070ID1074&oq=Semboyan+%E2%80%9CTorang+Samua+Basudara%E2%80%9
D+dalam+Interaksi+Penganut+Kristen+dengan++Penganut+Agama+Lain+di+Manado&gs_lcrp=
EgZjaHJvbWUyBggAEEUYOdIBCTMwNjlqMGoxNagCALACAA&sourceid=chrome&ie=UTF
-8
5
Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama (Yogyakarta: KANISIUS, 2008), 259.
6
Ibid, 259-260.

3
Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis

sendiri karena selalu melibatkan pandangan sendiri tanpa memahami sudut pandang
yang berbeda. Hal ini tidak hanya mengubah pandangan orang lain, tetapi juga
dapat mengunci identitas diri sendiri dalam batasan yang sempit.7 Knitter
berpendapat bahwa sebelum memulai dialog antarumat beragama, penting bagi
umat beragama untuk mencari dasar bersama yang bersifat universal, tanpa terkesan
memaksakan standar tersebut kepada tradisi, budaya atau agama tertentu. Dasar
bersama ini tidak boleh diimpor seperti dalam sistem imperialisme di mana
kelompok mayoritas dengan kekuasaan memaksa norma-norma mereka kepada
kelompok minoritas yang kurang berkuasa. Jika dasar bersama tersebut bersifat
imperialistik, maka dialog antarumat beragama tidak dapat berlangsung secara
terbuka dan konstruktif. Memaksakan sifat partikularitas kepada ide universalitas
akan mengakibatkan ketidakhormatan terhadap partikularitas lain dan
menghilangkan nilai universalitas itu sendiri. Maka dari itu, kekuatan dari model
ini adalah memperkuat hubungan positif antarumat beragama karena dengan
menerima dan menghormati praktik keagamaan satu sama lain, dapat tercipta
keadaan yang saling menghargai dan membangun hubungan yang harmonis.
Penerimaan akan menciptakan landasan untuk toleransi dan kerukunan di tengah
masyarakat yang beragam. Ini memungkinkan individu dari berbagai latar belakang
keagamaan untuk hidup bersama tanpa adanya konflik atau diskriminasi. Di
samping itu, model penerimaan dapat membantu membangun solidaritas antarumat
beragama. Ketika umat dari agama yang berbeda saling mendukung dan
berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan satu sama lain maka akan tercipta rasa
persatuan dan keterikatan sehingga melalui dialog dan interaksi positif, individu
dapat belajar lebih banyak tentang keyakinan dan nilai-nilai keagamaan yang
dimiliki oleh agama lain.8
Sementara itu, kelemahan dari model penerimaan ada pada sifat
inklusivisme itu sendiri, karena jika sifat inklusivisme itu tidak disetarakan dengan
keterbukaan terhadap perbedaan maka hanya akan menghasilkan sifat imperialis
dalam berdialog dan tidak akan menemukan titik temu dalam menjalin dialog antar
agama. Beberapa kelompok mungkin resisten terhadap model penerimaan karena
cenderung mempertahankan norma dan nilai-nilai keagamaan yang sudah ada. Ini
dapat menghambat perkembangan kerukunan di beberapa agama. Selain itu, model
penerimaan dapat terhambat oleh ketidakpahaman suatu agama terhadap praktik
keagamaan yang berbeda. Ketidakpahaman ini justru dapat menyulitkan upaya
mencapai tingkat penerimaan yang optimal.9

7
Ibid.
8
Elizabeth Nathania. “Tinjauan Terhadap Konsep Model Dialog Antar Umat Beragama Paul
F. Knitter Berdasarkan Konsep Model Dialog Antar Umat Beragama Partikularisme Injili”.
(Docktor dissertation, Seminar Alkitab Asia Tenggara, 2017), 37, diakses pada tanggal 5 Maret
2024. https://repository.seabs.ac.id/handle/123456789/1353
9
Ibid.

4
Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis

2.3. Konsep Pluralitas Agama Menurut George Lindbeck


Pemikiran George Lindbeck tentang pendekatan cultural linguistic
memberikan kontribusi yang berharga dalam pemahaman tentang agama, baik
agama sendiri maupun agama lain. Dengan pendekatan ini, Lindbeck menyoroti
bahwa tiap agama memiliki cara unik dalam berkomunikasi dan menyampaikan
pesan, sehingga tidak dapat dengan mudah diukur atau disamakan dengan agama
lainnya.10 Lindbeck memperkenalkan konsep pendekatan cultural linguistic yang
mengartikan bahwa setiap agama merupakan suatu jaringan yang membantu
manusia memahami makna kehidupan. Bagi Lindbeck, agama bukan sekedar
ekspresi individu, melainkan panduan yang membimbing manusia dalam meraih
pengalaman spiritual. Pendekatan ini menentang pandangan liberal yang melihat
agama sebagai hasil ekspresi individual semata. Lindbeck menyoroti kesulitan
manusia dalam mencapai pengalaman spiritual tanpa menggunakan agama sebagai
perantara. Fokus utama Lindbeck bukanlah pada pertanyaan tentang kebenaran
literal atau simbolis, melainkan pada manfaat yang dapat diberikan agama dalam
meningkatkan kualitas kehidupan. Oleh karena itu, penekanan diberikan pada
pertanyaan apakah agama mampu memberikan kontribusi positif untuk mencapai
kehidupan yang lebih baik.11 Langkah utama dalam model yang diusulkan oleh
Lindbeck adalah menerima setiap cara agama dalam berekspresi, karena setiap
agama menghasilkan ekspresi kepercayaan yang sangat berbeda sehingga penting
bagi manusia yang mengadopsi model penerimaan ini untuk melihat keragaman
sebagai suatu kekayaan. Dalam melakukan model penerimaan, manusia perlu
melibatkan pemikiran yang terbuka dan tidak sempit terhadap perbedaan tersebut.
Agama dapat dianggap sebagai sarana yang membawa manusia ke pemahaman
baru tentang pengalaman spiritual. Lindbeck menekankan bahwa agama tidak
hanya hasil dari ekspresi individu, melainkan model yang diterima secara bersama-
sama dalam masyarakat untuk mencapai pemahaman spiritual yang lebih
mendalam. Sesuai dengan pandangan Lindbeck bahwa terdapat satu esensi
eksperiential tunggal yang universal di dalam semua agama yang berbeda. Dalam
setiap agama, terdapat unsur universal yang kemudian diekspresikan melalui
berbagai bentuk unik yang menjadi ciri khas dari agama tersebut.12

10
Eko Kurniawan Wibowo, “Relevansi Pendekatan Kultural Linguistik Dengan Pluralitas
Agama
di Indonesia” Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen, Vol. 2 No. 1 (Juli 2021):82, diakses pada
tanggal 5 Maret 2024, https://sttsriwijaya.ac.id/e-
journal/index.php/mitra_sriwijaya/article/download/3/45.
11
Fahmina, “Relevansi Pemikiran Post Liberal George A. Lindbeck” dalam harian online
fahmina.or.id, 2 Agustus 2007, diakses pada tanggal 5 Maret 2024, https://fahmina.or.id/relevansi-
pemikiran-post-liberal-george-a-lindbeck/.
12
Eko Kurniawan Wibowo, “Relevansi Pendekatan Kultural Linguistik Dengan Pluralitas
Agama Di Indonesia,” Mitra Sriwijaya: Jurnal Teologi Dan Pendidikan Kristen 2, no. 1 (17 Agustus
2021): 79, diakses pada 5 Maret 2024 https://doi.org/10.46974/ms.v2i1.3.

5
Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis

2.4. Analogi dan Analisis Kasus


Setiap agama mempunyai keunikannya masing-masing sehingga dalam
model penerimaan tiap agama dapat diibaratkan sebagai instrumen band yang
berbeda-beda yang memiliki suara dan karakter yang unik. Meskipun dalam
permainan musik setiap orang memiliki talentanya masing-masing, tetapi ketika
dimainkan secara bersama-sama akan menciptakan musik yang indah dan
harmonis. Ini mencerminkan bahwa setiap agama dapat menjadi sumber kekayaan
dan keindahan. Setiap instrumen mempunyai peran penting dalam sebuah lagu,
yakni mencapai tujuan keselarasan musik. Meskipun terdapat perbedaan dalam
teologi agama, tetapi tujuannya tetap menciptakan kedamaian, keadilan dan cinta
bagi sesama manusia untuk menjadi pemersatu yang kuat di antara penganut
berbagai agama. Ketika seseorang memainkan alat musik yang berbeda, tidak ada
yang mempermasalahkan mengapa bunyi yang dihasilkan berbeda dari musik yang
dimainkan oleh yang lainnya. Setiap alat musik yang digunakan tidak perlu sama
dengan milik orang lain untuk menghasilkan harmoni yang sama karena alat musik
yang berbeda pun dapat menciptakan harmoni yang sama indahnya. Maka dari itu.
perbedaan itu bukanlah suatu hal yang perlu untuk dipermasalahkan. Seperti musik
yang terkadang mengalami momen harmoni dan dissonansi, demikian pula
interaksi antaragama dapat mengalami tantangan atau keselarasan. Penerimaan dan
dialog antaragama membantu mencapai harmoni, sementara konflik dapat
diibaratkan sebagai dissonansi yang bisa diselesaikan melalui pemahaman dan
toleransi. Dalam sebuah konser kehidupan pun, ada ruang untuk solonya masing-
masing instrumen, tetapi meski demikian keseluruhan band tetap menghasilkan
karya musik yang indah.
Begitu pun halnya dalam konteks ini, bulan ramadan adalah bulan suci bagi
umat Islam, yang ditandai dengan berpuasa dari terbit hingga terbenamnya
matahari. Di tengah semangat kerukunan antaragama, sejumlah orang Kristen
memilih untuk ikut serta dalam kegiatan membangunkan sahur bagi umat Islam
sebagai bentuk solidaritas dan penghormatan terhadap praktik keagamaan sesama.
Sebuah komunitas Kristen di Banjarmasin memutuskan untuk ikut berpartisipasi
membangunkan sahur bagi umat Islam yang akan menjalankan puasa. Kegiatan
tersebut disebut sebagai safari ramadan yang dilakukan dengan mendorong
Gerobag Sahur dari kampung ke kampung, bahkan dikatakan ada pendeta yang
turut serta dalam kegiatan tersebut.13 Keputusan ini dibuat untuk memperkuat
ikatan solidaritas antara umat beragama dan menghormati praktik keagamaan yang
berbeda. Dalam hal ini pula ada beberapa dampak positif yang didapatkan, di

13
Elza Astari Retaduari, Toleransi Beragama di Kalsel, Warga Non-Muslim Bantu Bangunkan
Sahur” dalam harian online detiknews, 28 Januari 2016, diakses pasda tanggal 5 Maret 2024,
https://news.detik.com/berita/d-3243524/toleransi-beragama-di-kalsel-warga-non-muslim-bantu-
bangunkan-sahur.

6
Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis

antaranya penguatan hubungan antar umat beragama yang ada di lingkungan


tersebut, meningkatkan pemahaman terhadap agama lain dengan mendapatkan
pemahaman yang lebih baik mengenai nilai-nilai yang dianut dengan mengurangi
stereotip dan prasangka serta meningkatkan kerukunan sosial. Dengan demikian,
partisipasi aktif orang-orang Kristen dalam kegiatan membangunkan sahur di bulan
Ramadan menciptakan teladan harmoni antaragama, yakni dengan mengedepankan
nilai-nilai universal dan rasa saling menghormati. Ini juga membuktikan bahwa
solidaritas antarumat beragama dapat menjadi kekuatan positif dalam membangun
masyarakat yang inklusif dan berdaya.
2.5. Refleksi Teologis
Pluralitas agama menunjukkan bahwa ada banyak perbedaan yang dimiliki
oleh setiap agama, namun dibalik semua perbedaan tersebut tercipta sebuah
kehidupan yang indah karena setiap agama pasti memiliki ajaran serta
pemahamannya masing-masing. Model penerimaan memberikan pelajaran bahwa
sebagai umat beragama tentu harus saling menghargai dan menerima keberagaman
agama yang ada. Seperti kasus yang diangkat oleh penulis bahwa umat Kristen turut
serta membangunkan umat muslim untuk sahur. Fenomena tersebut memberikan
pengajaran bahwa perbedaan itu sungguh indah dan tidak patut bagi manusia untuk
menghakiminya. Tindakan yang dilakukan tersebut mencerminkan prinsip kasih
dan pelayanan, sebagaimana diajarkan oleh Yesus dalam Injil Matius 22:39 “Dan
hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri.” Nast ini mengajarkan umat manusia untuk bisa saling
mengasihi sesama walaupun ada perbedaan antara kepercayaan. Allah ingin
manusia tidak membeda-bedakan dalam mengasihi dan menghargai sesama. Selain
itu, ada penghargaan terhadap citra Allah dalam manusia, sesuai dengan Kejadian
1:26-27 yang menegaskan pentingnya melihat setiap individu sebagai cerminan
keagungan Tuhan dan ajaran Yesus tentang cinta (Luk. 10:28), juga terwujud dalam
tindakan membantu sesama. Ini juga mencakup konsep dialog dan keterbukaan
terhadap keberagaman, sebagaimana dinyatakan dalam 1 Korintus 12:12, di mana
tubuh Kristus digambarkan memiliki banyak anggota yang berbeda namun menjadi
satu. Tindakan membantu membangunkan sahur dapat dipandang sebagai tindakan
nyata dari iman Kristen, sesuai dengan ajaran Yakobus 2:17 bahwa iman tanpa
perbuatan adalah mati. Maka dari itu, biarlah orang-orang percaya memperkuat
imannya sendiri, demikian halnya dengan orang-orang yang beragama lain untuk
memperkuat imannya karena semakin terang kita akan semakin terang juga orang
lain. Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip ini, tindakan membantu
membangunkan sahur menjadi lebih dari sekadar tindakan kasih sesama. Ini
menjadi perwujudan iman Kristen yang hidup dan bertutur kepada nilai-nilai
keagamaan yang mendalam untuk menciptakan ruang dialog dan hubungan yang
penuh kasih di antara umat beragama yang berbeda.

7
Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis

Apabila melihat tindakan orang-orang percaya yang membantu untuk


membangunkan orang Islam sahur, memperlihatkan pemahaman yang mendalam
dari perspektif teologi agama-agama model penerimaan bahwa tindakan ini
mencerminkan kerangka kerja teologis yang menerima perbedaan dan
menghormati keragaman agama-agama lain, khsusunya bagi yang beragama Islam.
Lindbeck menegaskan ketidakmungkinan satu agama memahami sepenuhnya
agama lain dan dalam konteks ini tindakan yang dilakukan menjadi ekspresi kasih
yang diilhami oleh pemahaman ini. Prinsip-prinsip kasih, pelayanan dan cinta yang
ditekankan oleh ajaran Kristiani menjadi sumber motivasi dalam tindakan nyata ini.
Selanjutnya, tindakan membantu membangunkan sahur juga merangkul
pemahaman tentang citra Allah dalam setiap manusia, tanpa memandang agama.
Dalam membantu sesama, terlepas dari keyakinan agama, umat Kristen
mewujudkan pemahaman akan martabat manusia yang berasal dari keberadaan citra
ilahi dalam diri setiap individu. Ini sejalan dengan konsep Imago Dei yang
menegaskan bahwa setiap manusia mencerminkan keagungan Tuhan. Model
penerimaan yang mendasari tindakan ini juga menciptakan landasan bagi dialog
antarumat beragama dan penghargaan terhadap keberagaman. Pemahaman bahwa
agama adalah suatu model yang diterima bersama untuk mencapai pemahaman
spiritual lebih dalam, sehingga menjadi dasar bagi kerjasama antarumat beragama.
Oleh karena itu, dalam konteks ini tindakan membantu membangunkan sahur bukan
hanya merupakan perbuatan baik semata, melainkan sebuah perwujudan dari
prinsip-prinsip teologi agama-agama yang menerima dan menghargai perbedaan,
mencari titik temu dalam kasih dan solidaritas. Hal ini dapat menjadi jembatan
antarumat beragama, membangun pengertian, menguatkan hubungan dan
meneguhkan nilai-nilai bersama.

8
Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Melalui teologi agama-agama model penerimaan yang diperkenalkan oleh


George Lindbeck, tindakan umat Kristen yang membantu membangunkan orang
Islam sahur menggambarkan suatu bentuk pemahaman yang mendalam tentang
nilai-nilai keagamaan dan interaksi antarumat beragama. Dalam model ini manusia
perlu melepaskan pemikiran bahwa satu agama memiliki pemahaman yang
sempurna atas agama lain. Lindbeck menekankan bahwa setiap agama memiliki
model atau bahasa sendiri dalam meresapi makna kehidupan dan tindakan, karena
dengan membantu membangunkan sahur oleh orang Kristen memberikan wujud
konkret pengakuan akan kompleksitas dan keunikannya. Selain itu, prinsip-prinsip
kasih dan pelayanan yang mendasari tindakan ini sejalan dengan ajaran-ajaran
Kristus yang menekankan cinta terhadap sesama dan pelayanan tanpa pamrih. Ini
membuktikan bahwa keberagaman agama dapat diatasi melalui tindakan nyata yang
menunjukkan cinta dan kepedulian, melebihi batasan-batasan keagamaan. Dalam
menciptakan ruang untuk kerjasama antarumat beragama, model penerimaan
menciptakan fondasi untuk pertemuan yang menghasilkan pemahaman bersama
tanpa merendahkan nilai-nilai keagamaan masing-masing sehingga akan membawa
dampak positif terhadap kualitas hubungan antarumat manusia yang berbeda
kepercayaan.

9
Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Gavin, D’ Costa. Mempertimbangkan Kembali Keunikan Agama Kristen: Mitos Teologi Pluralis
Agama-agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, t.th.

Knitter, Paul F. Pengantar Teologi Agama-Agama. Yogyakarta: KANISIUS, 2008.

E-Book
Hutahaean, Wendy Sepmady. Teologi Agama-agama. Ahlimedia Book. 2021.
https://books.google.co.id/books?id=I4MqEAAAQBAJ&pg=PA12&dq=teologi+agama-
agama+model+penerimaan&hl=id&newbks=1&newbks_redir=1&sa=X&ved=2ahUKEwiq
-baVxd6EAxVk6KACHYlzC1UQ6AF6BAgDEAI.

Susanta, Yohanes Krismantyo. Penguatan Moderasi Beragama: Dalam Perspektif Pendidikan,


Budaya, dan Tradisi Agama-agama di Indonesia. Kanisius, 2023.
https://books.google.co.id/books?id=_qzFEAAAQBAJ&pg=PA119&dq=teologi+agama-
agama+model+penerimaan&hl=id&newbks=1&newbks_redir=1&sa=X&ved=2ahUKEwiq
-baVxd6EAxVk6KACHYlzC1UQ6AF6BAgHEAI.

Jurnal Online
Pesik, Kesia Martini Semboyan “Torang Samua Basudara” dalam Interaksi Penganut Kristen
dengan Penganut Agama Lain di Manado. Kenosis: Jurnal Kajian Teologi 8 No. 2.
Desember. 2022. Diakses pada tanggal 5 Maret 2024,
https://www.google.com/search?q=Semboyan+%E2%80%9CTorang+Samua+Basudara%E
2%80%9D+dalam+Interaksi+Penganut+Kristen+dengan+Penganut+Agama+Lain+di+Man
ado&rlz=1C1CHBD_idID1070ID1074&oq=Semboyan+%E2%80%9CTorang+Samua+Bas
udara%E2%80%9D+dalam+Interaksi+Penganut+Kristen+dengan++Penganut+Agama+Lai
n+di+Manado&gs_lcrp=EgZjaHJvbWUyBggAEEUYOdIBCTMwNjlqMGoxNagCALAC
AA&sourceid=chrome&ie=UTF-8.

Nathania. Elizabeth. “Tinjauan Terhadap Konsep Model Dialog Antar Umat Beragama Paul F.
Knitter Berdasarkan Konsep Model Dialog Antar Umat Beragama Partikularisme Injili”.
Seminar Alkitab Asia Tenggara. 2017. Diakses pada tanggal 5 Maret 2024.
https://repository.seabs.ac.id/handle/123456789/1353

Wibowo, Eko Kurniawan. “Relevansi Pendekatan Kultural Linguistik Dengan Pluralitas Agama
di Indonesia”. Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 2 No. 1. Juli 2021. Diakses pada tanggal 5
Maret 2024. https://sttsriwijaya.ac.id/e-
journal/index.php/mitra_sriwijaya/article/download/3/45.

Sumber Online
Fahmina. “Relevansi Pemikiran Post Liberal George A. Lindbeck”. Dalam harian online
fahmina.or.id. 2 Agustus 2007. Diakses pada tanggal 5 Maret 2024.
https://fahmina.or.id/relevansi-pemikiran-post-liberal-george-a-lindbeck/.

Retaduari, Elza Astari. Toleransi Beragama di Kalsel, Warga Non-Muslim Bantu Bangunkan
Sahur”. Dalam harian online detiknews. 28 Januari 2016. Diakses pasda tanggal 5 Maret
2024. https://news.detik.com/berita/d-3243524/toleransi-beragama-di-kalsel-warga-non-
muslim-bantu-bangunkan-sahur.

10

Anda mungkin juga menyukai