Dosen pengampu:
Disusun Oleh :
2024
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ................................................................................................................ 2
BAB I ............................................................................................................................ 3
PENDAHULUAN ........................................................................................................ 3
PEMBAHASAN .......................................................................................................... 4
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Immanuel Kant, terdapat 3 Postulat yang menjadikan manusia sebagai
manusia yang bermoral, yang salah satunya yakni kekuasaan atas dirinya sendiri (das
ding an sich). Dalam konteks demikian, tentulah manusia mempunyai kehendak bebas
atas dirinya sendiri, untuk melepaskan diri dari belenggu duniawi. Namun, dewasa kini,
konteks kebebasan yang cenderung tertanam dalam akal manusia berbeda dengan
kebebasan yang menghadirkan moral di dalamnya. Manusia justru berfantasi ria,
berfoya-foya, dan bahkan, "menghewankan" dirinya sendiri, hanya semata-mata untuk
merasakan "kebebasan". Hal demikianlah, yang lantas menjadikan identitas manusia
mereka sebagai manusia kian luntur.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tata Hukum
Tata hukum (Legal Order/Recht Orde) yang mana mempunyai arti tertib
hukum. Istilah “Tata” juga mempunyai makna aturan, susunan.1 tatanan, penyusunan.
Dengan tinjauan tersebut, dapat kita tarik kesimpulan bahwa tata hukum yakni sebagai
susunan, atau tatanan dari norma-norma hukum. Adapun beberapa tokoh mengartikan
tata hukum sebagai berikut:
• Kusumadi Pudjeswojo
Kusumadi mengartikan istilah tata hukum sebagaimana suatu tatanan
menyeluruh dan tiap tiap bagiannya saling berhubungan serta saling
menentukan secara seimbang.2
• Alchourrón dan Bulygin
Mengartikan legal order sebagai urutan dari kumpulan norma (bukan
sekadar satu set norma). Pun juga Identitas dari legal order ditentukan oleh
kriteria yang digunakan untuk mengidentifikasi norma-norma yang termasuk
dalam urutan tersebut.
Tata hukum menyoroti dirinya dengan adanya esensi ketertiban. Dalam konteks
ini ada dualis tingkatan ketertiban, yakni ketertiban pada peraturan peraturan hukum
(Tingkat normatif) dan ketertiban pada tingkat implementasi pada norma-norma
hukum yang berlaku. Begitu banyak variasi, jenis, bentuk norma norma hukum di suatu
wilayah yang eksistensinya tentu untuk memenuhi kebutuhan (Social need) dari
masyarakat itu sendiri. Proses dari pertumbuhannya pun senantiasa di sesuaikan
dengan urgensi dan kebutuhan masyarakat. Sehingga tentu saja akan berpengaruh pada
1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke-2 (Jakarta: Balai
Pustaka, 1991), Hal. 1014
2
Kusumadi Pudjoesewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Aksara Baru, 1983),
Hal. 62
4
banyaknya produk produk hukum (Norma, Peraturan, Undang-undang, dan lain
sejenisnya), Tak lupa juga bahwa norma norma hukum itu berlaku serempak, Sehingga
tidak menutup kemungkinan terjadinya kontradiksi, pertentangan, dan lain sebagainya.
Maka dengan adanya kondisi tersebut keberadaan dari Tata hukum (Recht Orde) inilah
yang akan membusungkan jati dirinya, dimana ia mempunyai fungsi menata, mengatur,
Menyusun agar terjadinya sebuah Harmonization dan Synchronization antar norma-
norma. Adapun bahwa tata hukum terbuka, yang dimaksud disini ialah terbuka
terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat
Begitu pula sebaliknya, apabila peraturan yang dibuat oleh pemerintah tidak
mengandung unsur-unsur kebenaran yang tengah diinsafi oleh masyarakat, maka ia
tidak layak untuk dijadikan kaidah-kaidah moral. Dengan kata lain, apabila peraturan
3
Hasim Purba, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, (Medan: Diktat USU, 2007) hal. 3.
4
Ibid. hal. 4.
5
tersebut hanya mengedepankan kepastian (cerum) namun menafikkan kebenaran
(verum), atau dalam hal ini yakni keadilan, maka ia tak pantas untuk disebut sebagai
hukum.5
Berangkat dari pernyataan dalam paragraf pertama bahwa antara aturan, satu
sama lainnya saling terhubung, maka dapat dibuat contoh, yakni,
5
Sukarno Aburaera, Filsafat Hukum Teori dan Praktik, (Depok: Kencana, Prenadamedia Groub, 2013)
hal. 36.
6
Ibid. hal. 4.
6
menetapkan suatu hukum positif yang harus dipatuhi, yang pada waktu
itu disebut dengan Statuta Batavia.
• Masa Besluiten Regerings (1814-1855)
Menurut Pasal 36 UUD Negeri Belanda 1814 Raja Belanda memiliki
kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerah-daerah jajahan, termasuk
terhadap harta benda milik negara bagian lain. Karenanya, pada periode
ini pula tercipta peraturan yang berlaku umum, yakni Algemene
Verordering (Peraturan Pusat), dimana pengundangannya lewat
selebaran yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal dan Keninklijk Belsuit
(Keputusan Raja). Pada masa itu pula, Pemerintah Belanda membentuk
komisi undang-undang, yang hasilnya antara lain Reglement op de
Rechterlijke Oranisatie (RO) atau Peraturan Organisasi Pengadilan,
Algemene Bepalingen van Wetgevig (AB) atau ketentuan-ketentuan
umum tentang perundang-undangan, Burgerlijk Wetboek (BW) atau
KUHPerdata, Wetboek van Koopandhel (WvK) atau KUHD, dan
Reglement of de Burgerlijk Rechtsvordering (RV) atau peraturan tentang
acara perdata.7
• Masa Regerings Reglement (1855-1926) dan Indische Staatsrregeling
(1926-1942)
Menurut Abdul Djamali (dalam Sutopo, 2021: 6), pada masa ini raja
bersama parlemen membuat peraturan yang ditujukan untuk pemerintah
daerah, atau dalam bahasa Belanda disebut Regering Reglement.
Maksud dari diciptakannya peraturan ini ialah untuk memberikan
distansi undang-undang bagi orang Eropa dan bukan orang Eropa.
Tertuntuk orang Eropa, mereka menggunakan hukum perdata Eropa,
sedangkan yang bukan orang Eropa menggunakan hukum adat. Namun
7
Umarwan Sutopo, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, (Ponorogo: Sinergi Karya Mulia Digiprint,
2021) hal. 5.
7
dalam perjalannya masyarakat Hindia Belanda di kelompokkan dalam
3 (tiga) golongan, yakni Eropa, Timur Asing dan pribumi; kaidah-
kaidah hukum yang ditujukan bagi golongan Eropa ialah Hukum
Perdata (BW dan WvK) Pidana Material/ Wetboek van Strafrecht (WvS)
dan Hukum Acara/ Reglement op de Stafvordering yang berlaku di
daerah Jawa dan Madura; Hukum yang berlaku bagi golongan pribumi
adalah hukum adat yang tidak tertulis, kecuali jika Pemerintah Hindia
Belanda menghendaki lain, maka hukum adat dapat diganti dengan
ordonansi; Hukum yang berlaku pada Golongan Timur Asing meliputi
Hukum Perdata dan Hukum Pidana Adat berdasarkan ketentuan Pasal
11 AB, sedangkan perdata golongan eropa (BW) hanya bagi golongan
Timur Asing Cina. Pemberlakuan demarkasi perundang-undangan
tersebut terus berlanjut sampai tahun 1942. Walaupun, pihak Belanda
sempat mereformasi membaharui istilahnya dengan Indische
Staatsrregeling pada tahun 1 Januari 1926.
• Masa Jepang (Osamu Seirei)
Pada masa Jepang, peraturan perundang-undangan terkait perdata,
pidana, maupun acara, tidak dirubah oleh mereka, atau dengan kata lain,
mereka tetap mempergunakan peraturan yang telah ada terlebih dahulu.
Jepang hanya membaharui dengan nenbuat peraturan berdasarkan
distrik (gun). Mereka membagi wilayah Indonesia menjadi 2, yakni
wilayah Indonesia Timur di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang
yang berkedudukan di Makasar, dan Wilayah Indonesia Barat yang di
bawah kekuasaaan Angkatan Darat jepang dengan pusatnya Jakarta.8
• Masa Pasca Kemerdekaan
Sehari setelah kemerdekaan, yakni pada tanggal 18 Agustus 1945,
Indonesia menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
8
Ibid. hal. 7.
8
Indonesia. Hal demikian, tentu berpengaruh juga terhadap tata hukum
Indonesia. Sebagaimana tercantum dalam pasal II Aturan peralihan,
yang menyatakan bahwa “segala badan negara dan peraturan yang
masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini”. Pernyataan tersebut menjadi sinyal bahwa
segala bentuk peraturan terdahulu (masa penjajahan) menjadi berlaku.
Hal ini adalah dalam rangka mengisi kekosongan hukum di negara yang
baru berdiri. Hingga akhirnya pada tahun 1959, diputuslah tap MPRS
No.XX/MPRS/1966 Jo Ketetapan MPR No.V/MPR/1973, yang
menjelaskan bahwa terdapat hiearki dalam peraturan perundang-
undangan, yakni UUD 1945, Tap MPR, UU, Perpu, Peraturan
Pemerintah, dan Keputusan Presiden. Adapun hirarki perundang-
undangan menurut pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No.12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yakni UUD
NRI 1945, Tap MPR, UU/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, Perda Prov., dan Perda Kab./kota.9
9
Ibid. hal. 9.
9
apa yang sebenarnya adalah halnya. Pendapat Aristoteles ini saat ini
dikenal sebagai teori Etis.
B. Roscoe Pound
Ahli yang terkenal sebagai pencetus teori “hukum sebagai alat
untuk merekayasa masyarakat” atau law as a tool of social engineering
adalah Roscoe Pound. Selain teorinya yang terkenal, Roscoe Pound juga
mengungkapkan pendapatnya mengenai tujuan hukum. Menurutnya,
tujuan hukum adalah melindungi kepentingan-kepentingan manusia.
Kepentingan dari manusia merupakan suatu tuntutan yang harus
dilindungi. Selain itu, kepentingan manusia harus dipenuhi oleh
manusia di dalam bidang hukum.
Tujuan hukum memang sangat penting untuk kelangsungan
kehidupan sosial dari masyarakat. Hukum adalah sebuah aturan yang
mengikat. Serta berlaku untuk semua warga negara, baik rakyat maupun
petinggi atau pemerintah.
Untuk orang yang tidak menaati hukum, maka harus dikenakan
sebuah sanksi. Sanksi tersebut timbul dari norma hukum. Norma hukum
bersifat nyata dan tegas. maka dapat kita ambil kesimpulan daripada
tujuan mempelajari hukum Indonesia adalah untuk sebuah pengetahuan
akan aturan yang mengikat. Serta berlaku untuk semua warga negara,
baik rakyat maupun petinggi atau pemerintah dalam hal ini adalah
negara Indonesia
Jadi pada dasarnya, mencari esensi dari arti tata hukum adalah bagaimana
mengerti cara kerja dan kepastian hukum itu sendiri. Karena dalan negara republic
Indonesia, konstitusi itu sendiri merupakan hukum yang dianggap paling tinggi
10
kedudukanna dalam tingkatannya. 10
Karea tujuan tertinggi itu juga mencapai dan
mewujudkan tujuan yang tertinggi. Dan tujuan yag dianggap memiliki nilaib paling
11
tinggi itu adalah; keadilan, ketertiban, dan perwujudan nilai nilai ideal seperti
kemerdekaan atau kebebasan dan kesejahteraan kemakmuran Bersama, sebagaimana
yang dirumuskan oleh para pendiri negara the founding fathers and mothers
10
Jimly asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Depok: PT RajaGrafindo Persada 2021) hal.
119.
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari berbagai penjelasan diatas, dapat disudutkan bahwasanya skematisasi
terkait tata hukum yang tengah berlaku sangatlah pluralistik. Ia berada dalam sendi-
sendi kehidupan manusia, yang juga berfungsi untuk menciptakan "kebebasan"
terhadap manusia itu sendiri. Bentuknya termanifestasikan dalam pelbagai peraturan
perundang-undangan, seperti UUD NRI 1945, Tap MPR, UU/Perpu, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, Perda Prov. dan Perda. Kab./Kota. Jadi, dapat
dipahami bahwa hadirnya suatu hukum dalam suatu negara, yang mana hukum tersebut
diciptakan oleh pemerintah, ialah suatu peraturan yang mempunyai hubungan atas
masing-masingnya. Ia juga mempunyai misi penting untuk menciptakan "kebebasan"
bagi manusia. Karenanya, untuk senantiasa melanggengkan "kebebasan" tersebut,
diperlukan sinergitas antara satu subjek dengan subjek lainnya, satu objek dengan objek
lainnya. Dengan kata lain, apabila suatu peraturan difungsikan tunggal, maka ia justru
akan kehilangan fungsinya sebagai peraturan. Sama halnya dengan manusia. Apabila
ia hanya menilai kebenaran tanpa mempertimbangkan keragaman, maka ia justru akan
terkekang dalam kekeliruan.
12
DAFTAR PUSTAKA
Abdoel Djamali, R.. Pengantar Hukum Indonesia. Cetakan Ke. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2000.
Dirdjosisworo, Soedjono. Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan Ke. Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 1999.
Hasim Purba. Pengantar Ilmu Hukum Indonesia. Cetakan Ke. Medan: Diktat USU,
2007.
Sukarno Aburaera, Muhadar, & Maskun. Filsafat Hukum. Cetakan Kelima. Depok:
Prenadamedia Groub, 2013.
13