Anda di halaman 1dari 16

BAB II

PEMBAHASAN

A. KETENTUAN PERILAKU HAKIM MENURUT UNDANG-UNDANG


DAN KODE ETIK

Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman yakni


pejabat peradilan yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.
Istilah pejabat membawa konsekuensi yang berat oleh karena kewenangan dan
tanggungjawabnya terumuskan dalam rangkaian tugas, kewajiban, sifat, dan sikap
tertentu, yaitu penegak hukum dan keadilan. Hakim merupakan pelaku inti yang
secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman. Untuk menjadi seorang
hakim, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, seperti:
a. Memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil , negarawan yang
menguasi konstitusi dan ketatanegaraan (Pasal 33 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman).
b. Bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa, setia pada Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945 berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela
(Pasal 13 ayat 1 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama).
c. Memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, jujur, adil, profesional,
bertakwa, dan berakhlak mulia, serta berpengalaman di bidang hukum, wajib
mentaati kode etik dan pedoman perilaku (Pasal 13 B Undang-Undang
Indonesia Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum).

Dalam hal melaksanakan kekuasaan kehakiman, hakim memiliki tanggung


jawab tertentu. Tanggung jawab dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu:
1. Tanggung jawab moral, yaitu tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan
norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi yang
bersangkutan, baik bersifat pribadi maupun bersifat kelembagaan bagi suatu
lembaga yang merupakan wadah para aparat bersangkutan.
Secara filosofis, tujuan akhir profesi hakim adalah ditegakkannya
keadilan. Cita hukum keadilan yang terdapat dalam das sollen (kenyataan
normatif) harus dapat diwujudkan dalam das sein (kenyataan alamiah)
melalui nilai-nilai yang terdapat dalam etika profesi. Salah satu etika profesi
yang telah lama menjadi pedoman profesi ini sejak masa awal
perkembangan hukum dalam peradaban manusia adalah The Four
Commandments for Judges dari Socrates. Kode etik hakim tersebut terdiri
dari empat butir di bawah ini:
a. To hear corteously (mendengar dengan sopan dan beradab).
b. To answer wisely (menjawab dengan arif dan bijaksana).
c. To consider soberly (mempertimbangkan tanpa terpengaruh
apapun).
d. To decide impartially (memutus tidak berat sebelah).
Dalam bertingkah laku, sikap dan sifat hakim tercermin dalam lambang
kehakiman dikenal sebagai Panca Dharma Hakim, yaitu:
a. Kartika, melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
b. Cakra, berarti seorang hakim dituntut untuk bersikap adil;
c. Candra, berarti hakim harus bersikap bijaksana atau berwibawa;
d. Sari, berarti hakim haruslah berbudi luhur atau tidak tercela; dan
e. Tirta, berarti seorang hakim harus jujur.

Sebagai perwujudan dari sikap dan sifat di atas, maka sebagai pejabat
hukum, hakim harus memiliki etika kepribadian, yakni:
a. Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. Menjunjung tinggi citra, wibawa, dan martabat hakim;
c. Berkelakuan baik dan tidak tercela;
d. Menjadi teladan bagi masyarakat;
e. Menjauhkan diri dari perbuatan asusila dan kelakuan yang dicela
oleh masyarakat;
f. Tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat hakim;
g. Bersikap jujur, adil, penuh rasa tanggung jawab;
h. Berkepribadian, sabar, bijaksana, berilmu;
i. Bersemangat ingin maju (meningkatkan nilai peradilan);
j. Dapat dipercaya; dan
k. Berpandangan luas.
Selain itu, Mahkamah Agung bersama dengan Komisi Yudisial pada
tahun 2009 telah membentuk Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang
merupakan pegangan bagi para Hakim seluruh Indonesia serta Pedoman
bagi Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI dalam melaksanakan
fungsi pengawasan internal maupun eksternal. Prinsip-prinsip dasar Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diimplementasikan dalam 10 (sepuluh)
aturan perilaku sebagai berikut: Berperilaku Adil, Berperilaku Jujur,
Berperilaku Arif dan Bijaksana, Bersikap Mandiri, Berintegritas Tinggi,
Bertanggung Jawab, Menjunjung Tinggi Harga Diri, Berdisplin Tinggi,
Berperilaku Rendah Hati, dan Bersikap Profesional.

2. Tanggung jawab hukum, yang diartikan sebagai tanggung jawab yang


menjadi beban aparat untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan tidak
melanggar rambu-rambu hukum.

Beberapa peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan


hakim dan peradilan mencantumkan dan mengatur pula hal-hal seputar
tanggung jawab hukum profesi hakim, salah satu yang mengatur adalah
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
yang pada intinya menguraikan bahwa tugas dan kewajiban hakim antara
lain:
a. Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA” (Pasal 2 ayat (1) UU No. 48
Tahun 2009).
b. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi
wajib menjaga kemandirian peradilan (Pasal 3 ayat (1) UU No. 48
Tahun 2009).

Hakim di dalam menjalankan tugas dan fungsinya wajib menjaga


kemandirian peradilan. Segala campur tangan dalam urusan peradilan
oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam
hal-hal sebagaimana dimaksud 14 dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
c. Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat (Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).

Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta


berada dalam masa pergolakan dan peralihan, hakim merupakan
perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan
masyarakat. Untuk itu ia harus “terjun” ke tengah-tengah masyarakat
untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

d. Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian


yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang
hukum (Pasal 5 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009).
e. Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian
yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang
hukum (Pasal 5 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009).

f. Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati kode etik dan pedoman
perilaku hakim (Pasal 5 ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009).

g. Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan


pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang
diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan (Pasal
14 ayat (2) UU UU No. 48 Tahun 2009).

Di samping tugas hakim secara normatif sebagaimana ditentukan dalam


perundang-undangan, hakim juga mempunyai tugas secara konkret dalam
memeriksa dan mengadili suatu perkara melalui tiga tindakan secara
bertahap, yaitu:
a. Mengonstair (mengonstatasi), yaitu menetapkan dan merumuskan
peristiwa konkret.
b. Mengualifisir (mengualifikasi), yaitu menetapkan atau merumuskan
peristiwa hukumnya.
c. Mengkonstituir (mengkonstitusi), atau memberikan konstitusinya, yaitu
hakim menetapkan hukumnya dan memberi keadilan kepada para pihak
yang bersangkutan.
3. Tanggung jawab teknis profesi, yang merupakan tuntutan bagi aparat untuk
melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai dengan kriteria teknis
yang berlaku dalam bidang profesi yang bersangkutan, baik bersifat umum
maupun ketentuan khusus dalam lembaganya.
Setiap hakim diharuskan untuk melaksanakan tugasnya secara
profesional sesuai dengan tanggungjawabnya. Setiap hakim dituntut mampu
mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai profesional di bidang
hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara materil dan formil.
Oleh karena itu, adalah suatu hal yang mutlak bagi para hakim untuk
memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai hukum acara di
persidangan. Ketidakmampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan
tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah unprofessional
conduct dan dianggap sebagai pelanggaran.

Tanggung jawab yang diemban oleh hakim ini sekaligus mencerminkan


apa-apa saja ketentuan perilaku hakim baik menurut Undang-Undang maupun
menurut kode etik, karena ketentuan perilaku hakim menurut Undang-Undang
tercantum dalam tanggung jawab hukum, sedangkan ketentuan perilaku hakim
menurut kode etik tercantum di dalam tanggung jawab moral.
B. BENTUK PENGAWASAN KETAATAN HAKIM TERHADAP KODE
ETIK

Mahkamah Agung (MA) sebagai pengadilan negara tertinggi berhak


melakukan pengawasan terhadap hakim. Akan tetapi, MA bukan satu-satunya
lembaga yang melakukan pengawasan karena ada pengawasan eksternal yang
dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY). Oleh karena bukan lembaga satu-
satunya,diperlukan kejelasan tentang pengawasan yang menjadi kewenangan MA
dan pengawasan yang menjadi kewenangan KY. Selain itu, dalam rangka
pengawasan diperlukan adanya harmonisasi hubungan antara MA dan KY.
Ada banyak peraturan terkait dengan pengawasan terhadap hakim, baik
dalam bentuk Undang-Undang hingga peraturan bersama yang dibentuk oleh MA
bersama dengan KY. Di samping MA dan KY, ada pihak lain yang juga bisa turut
serta dalam mengawasi perilaku hakim, yaitu Komisi Kehormatan Profesi Hakim
yang dibentuk oleh IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia). Adapun bentuk pengawasan
ketaatan hakim terhadap kode etik adalah sebagai berikut:
1. Sistem Pengawasan Internal
a. Mahkamah Agung
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung
melalui Pasal 32A ayat (1) menjelaskan bahwa pengawasan internal
tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung. Meskipun telah
ada KY, pengawasan dari MA ini dimaksudkan agar pengawasan lebih
komprehensif sehingga diharapkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim betul-betul dapat terjaga. Adapun hal yang menjadi
objek pengawasan MA, yaitu:
1) Bidang teknis peradilan yang bertujuan untuk peningkatan kualitas
putusan hakim.
2) Bidang administrasi yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan
hukum kepada para pencari keadilan.
3) Bidang perilaku pejabat peradilan (hakim dan pejabat kepaniteraan)
untuk peningkatan pelaksanaan fungsi peradilan yang sesuai
dengan kode etik profesi hakim.
Untuk menjalankan pengawasan tersebut, MA berwenang untuk
meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis
peradilan dari semua badan peradilan yang berada di bawahnya, serta
berwenang pula untukberwenang memberi petunjuk, teguran, atau
peringatan kepada pengadilan di semua badan peradilan yang berada di
bawahnya. Akan tetapi, perlu diingat bahwa pengawasan dan
kewenangan MA tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan hakim
dalam memeriksa dan memutus perkara.
b. Komisi Kehormatan Profesi Hakim
IKAHI sebagai satu-satunya wadah profesi hakim di Indonesia
mengeluarkan salah satu keputusan dalam Musyawarah Nasional
(Munas) XIII di Bandung untuk membentuk Komisi Kehormatan
Hakim. Komisi ini bertujuan untuk menegakkan kode etik hakim yang
dibentuk oleh IKAHI, dimana sifat dari kode etik tersebut mengikat ke
dalam terhadap anggotanya. Penegakan tersebut dimaksudkan agar
ketentuan di dalamnya dapat terlaksana sekaligus mengawasi
pelaksanaannya tersebut. Selain itu, Komisi Kehormatan Hakim juga
berwenang untuk memanggil anggota untuk didengar keterangannya
sehubungan dengan adanya pengaduan atau laporan, sertamemberikan
sanksi atas hasil pemeriksaan terhadap anggota yang melakukan
pelanggaran kode etik dan merekomendasikan anggota yang tidak
terbukti bersalah untuk direhabilitasi.
Secara umum, tugas dari Komisi Kehormatan Hakim adalah
sebagai berikut:
1) Memberikan pembinaan pada anggota untuk selalu menjunjung
tinggi kode etik.
2) Meneliti dan memeriksa laporan atau pengaduan dari masyarakat
atas tingkah laku dari para anggota IKAHI.
3) Memberikan nasihat dan peringatan kepada anggota dalam hal
anggota yang bersangkutan menunjukkan indikasi melakukan
pelanggaran kode etik.
2. Sistem Pengawasan Eksternal
a. Komisi Yudisial
Komisi Yudisial muncul sebagai salah satu lembaga yudikatif di
Indonesia setelah disebutkan di dalam Pasal Undang-Undang Dasar
1945 hasil amandemen. Keberadaan Komisi Yudisial adalah sebagai
lembaga negara yang bersifat penunjang (auxiliary organ) terhadap
kekuasaan kehakiman. Berdasarkan UUD NRI 1945 Komisi Yudisial
mempunyai kedudukan sederajat dengan lembaga negara yang lain
seperti presiden, DPR, dan lembaga negara yang lain. Komisi Yudisial
bukan merupakan pelaku kekuasaan kehakiman, tetapi kewenangan
yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman.
KY secara khusus diatur di dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi
Yudisial. Berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011
tentang KY, wewenang KY antara lain:
1) Mengusulkan pengangkatan hakim agung danhakim ad-hoc di
Mahkamah Agung kepada DPRuntuk mendapatkan persetujuan;
2) Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim;
3) Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim
bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan
4) Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau
Pedoman Perilaku Hakim.
Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku Hakim, KY mempunyai tugas, antara lain:
1) Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku Hakim;
2) Menerima laporan dari masyarakat berkaitandengan pelanggaran
Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim;
3) Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan
dugaan pelanggaran Kode Etikdan/atau Pedoman Perilaku Hakim
secara tertutup;
4) Memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode
Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim; dan
5) Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang
perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang
merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat Hakim.
(Pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY).
Dikaitkan dengan fungsi pengawasan perilaku hakim, kehadiran Komisi
Yudisial yang merupakan lembaga independen dan terpisah dari Mahkamah
Agung dapat memperjelas adanya institusi yang menjalankan fungsi pengawasan
eksternal. Sehingga, dalam melaksanakan fungsi pengawasan hakim, Mahkamah
Agung sebagai pengawas internal dapat bekerja secara sinergis bersama Komisi
Yudisial, dan pada akhirnya terbentuk pengawasan terhadap hakim yang lebih
maksimal.
C. PROSES PEMERIKSAAN DUGAAN PELANGGARAN DAN
PEMBERIAN SANKSI BAGI HAKIM YANG MELANGGAR KODE
ETIK PROFESI

Setiap dugaan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman profesi hakim yang
dilaporkan oleh siapapun juga wajib diteliti lebih lanjut untuk memeriksa laporan
mengenai dugaan pelanggaran. Adapun tahapan-tahapan pemeriksaan dugaan
pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim terdiri dari:
1. Pemeriksaan oleh Tim Pemeriksa Komisi Yudisial
Dalam rangkamelakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran
perilaku hakim, Tim Pemeriksa KY melakukan hal-hal berikut ini:
a. Melakukan verifikasi terhadap laporan;
b. Melakukan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran;
c. Melakukan pemanggilan dan meminta keterangan dari Hakim yang
diduga melanggar pedoman kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku Hakim untuk kepentingan pemeriksaan;
d. Melakukan pemanggilan dan meminta keterangan dari saksi; dan
e. Menyimpulkan hasil pemeriksaan.
(Pasal 22A ayat (1) Undang-Undang Nomor Nomor 18 Tahun 2011 tentang
KY)
Pemeriksaan yang dilakukan oleh Tim Pemeriksa memiliki tahapan
yang terdiri dari:
a. Pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman
Perilaku Hakim dilakukan dengan terlebih dahulu meminta klarifikasi
terhadap Hakim yang diduga melakukan pelanggaran dalam jangka
waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya pemanggilan,
dimana setiap pemeriksaan harus dibuatkan berita acara pemeriksaan
yang disahkan dan ditandatangani oleh terperiksa dan pemeriksa.
b. Hasil pemeriksaan atas dugaan pelanggaran Kode Etikdan/atau Pedoman
Perilaku Hakim dapat menyatakan bahwa dugaan terbukti ataupun tidak
terbukti. Jika dugaan terbukti, maka KY dapat mengusulkan penjatuhan
sanksiterhadap Hakim yang diduga melakukanpelanggaran kepada
Mahkamah Agung.
(Pasal 22B – 22D ayat (1) Undang-Undang Nomor Nomor 18 Tahun 2011
tentang KY)
2. Pemeriksaan oleh Majelis Kehormatan Hakim
Majelis Kehormatan Hakim dapat dikatakan sebagai forum pembelaan
diri bagi hakim yang akan diusulkan tim pemeriksa KY ataupun MA untuk
diberhentikan sementara ataupun diberhentikan dengan tidak hormat
berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh tim yang
bersangkutan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa Majelis Kehormatan Hakim
dibentuk apabila Ketua MA dan Ketua KY menerima laporan hasil
pemeriksaan yang mengusulkan agar hakim terlapor dijatuhi sanksi
pemberhentian yang termasuk ke dalam kategori sanksi berat.
Keanggotaan Majelis Kehormatan Hakim terdiri dari 3 orang hakim
agung dan 4 orang anggota Komisi Yudisial. Adapun langkah-langkah untuk
melakukan pemeriksaan oleh Majelis Kehormatan Hakim antara lain sebagai
berikut:
a. Penetapan Majelis Kehormatan Hakim melalui penetapan bersama antara
Ketua MA dan Ketua KY;
b. Majelis yang telah ditetapkan wajib mempelajari dengan seksama hasil
pemeriksaan yang diberikan oleh tim pemeriksa;
c. Majelis menetapkan hari sidang dan memerintahkan kepada Sekretaris
Majelis untuk memanggil hakim terlapor agar hadir untuk membela diri
pada hari sidang yang telah ditetapkan dengan membawa surat-surat dan
saksi-saksi yang dianggap perlu. Panggilan harus sampai pada hakim
terlapor paling lama 3 hari kerja sebelum hari sidang.
d. Pemeriksaan dalam persidangan dengan mendengarkan keterangan dari
hakim terlapor serta memeriksa bukti dan saksi yang diajukannya.
e. Keputusan harus dibacakan paling lama 14 hari kerja sejak Majelis
dibentuk.
f. Keputusan diserahkan kepada Ketua MA dan Ketua KY paling lama 7
hari kerja sejak tanggal pemeriksaan selesai.
(Keputusan Bersama Ketua MA dan Ketua KY tentang Tata Cara
Pembentukan, Tata Kerja, dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis
Kehormatan Hakim).
3. Pemeriksaan Bersama
Pemeriksaan bersama adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
satu tim pemeriksa yang merupakan tim gabungan yang dibentuk bersama
oleh MA dan KY untuk melakukan pemeriksaan guna mendapatkan
keyakinan terbukti atautidaknya suatu pelanggaran. Pemeriksaan bersama
diatur di dalam Peraturan Bersama Ketua MA dan Ketua KY tentang Tata
Cara Pemeriksaan Bersama.
Pemeriksaan bersama dilakukan dalam hal terjadi perbedaan pendapat
antara MA dan KY mengenai usulan KY tentang hasil pemeriksaan dan/atau
penjatuhan sanksi ringan, sedang. berat selain sanksi pemberhentian dengan
hormat dan pemberhentian tidak dengan hormat. Selain itu, pemeriksaan
bersama dapat pula dilakukan dalam hal:
a. terdapat laporan yang sama yang diajukan atau ditembuskan kepada MA
dan KY;
b. diketahui terdapat satu permasalahan sama yang masih dilakukan
pemeriksaan oleh MA atau KY; atau
c. terdapat informasi dan/atau laporan yang menarik perhatian publik dan
masing-masing Lembaga memandang perlu untuk melakukan
pemeriksaan bersama.
Tata cara pemeriksaan bersama diatur di dalam Pasal 5 - 8 Peraturan
Bersama MA dan KY tentang Pemeriksaan Bersama, yang pada pokoknya
adalah sebagai berikut:
a. Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan dari Tim Pemeriksa KY,
dugaan dinyatakan terbuti, maka KY mengusulkan sanksi terhadap hakim
terlapor kepada MA;
b. Jika MA tidak sependapat mengenai usulan sanksi yang seharusnya
dijatuhkan, maka MA dapat menyampaikan pendapatnya kepada KY
paling lama 30 hari kerja sejak usulan diterima.
c. Apabila KY tidak sependapat juga dengan MA, maka KY dapat
mengusulkan untuk dilakukannya pemeriksaan bersama paling lama 30
hari kerja sejak pendapat MA diterima. Jika KY tidak mengusulkan
pemeriksaan bersama dalam jangka waktu itu, maka KY dianggap
menyetujui pendapat MA.
d. Apabila ada usulan pemeriksaan bersama, maka tanggapan harus
disampaikan paling lama 14 hari kerja sejak sampainya usulan.
e. Kemudian dibentuklah tim pemeriksa yang terdiri dari 2 orang anggota
MA dan 2 orang anggota KY, dimana tim ini akan memeriksa laporan
hasil pemeriksaan dari tim pemeriksa KY untuk memastikan apakah
sudah sesuai dengan kaidah-kaidah pemeriksaan.
f. Dalam hal laporan dari tim pemeriksa KY tidak sesuai dengan kaidah
pemeriksaan, maka tim pemeriksa akan melakukan pemeriksaan
lapangan.
g. Pemeriksaan harus selesai dalam jangka waktu 30 hari sejak penetapan
tim pemeriksa.Kesimpulan dan rekomendasi dari tim pemeriksa bersama
diambil berdasarkan musyawarah dan mufakat tim.
h. Tim pemeriksa memberikan hasil kesimpulan dan rekomendasi kepada
MA agar bisa dilaksanakan oleh MA.

Setelah melalui tahap pemeriksaan, maka akan diperoleh keputusan dan


kesimpulan akhir mengenai benar tidaknya dugaan pelanggaran. Jika dugaan tidak
terbukti, maka akan dilakukan rehabilitasi nama baik pada hakim terlapor.
Namun, apabila terbukti benar bahwa ada pelanggaran, maka sanksi yang dapat
dijatuhkan antara lain :
1. Sanksi dari IKAHI
Sanksi dari IKAHI dikenakan apabila hakim yang menjadi anggota dari
IKAHI melanggar kode etik yang telah dibentuk oleh IKAHI. Sanksinya
antara lain:
a. Teguran.
b. Skorsing dari keanggotaan IKAHI;
c. Pemberhentian sebagai anggota IKAHI.
(Pasal 9 Kode Etik Hakim)
2. Sanksi dari MA
Sanksi berdasarkan Pasal 19 Peraturan Bersama MA dan KY tentang Panduan
Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim adalah sebagai berikut :
1) Sanksi terdiri dari:
a. Sanksi Ringan
b. Sanksi Sedang
c. Sanksi Berat
2) Sanksi ringan terdiri dari:
a. Teguran Lisan
b. Teguran Tertulis
c. Pernyataan tidak puas secara tertulis
3) Sanksi Sedang terdiri dari:
a. Penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun
b. Penurunan gaji selama 1(satu) kali kenaikan gaji berkala selama 1
(satu) tahun
c. Penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun
d. Hakim non palu paling lama 6(enam) bulan
e. Mutasi ke pengadilan lain dengan kelas yang lebih rendah
f. Pembatalan atau penagguhan promosi
4) Sanksi Berat terdiri dari :
a. Pembebasan dari jabatan
b. Hakim non palu paling lama 6(enam) bulan dan lebih dari 2(dua)
tahun
c. Penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk
paling lama 3 (tiga) tahun
d. Pemberhentian tetap dengan hak pension
e. Pemberhentian dengan tidak hormat
Sanksi di atas berlaku untuk hakim pada pengadilan tingkat pertama dan banding.
Terhadap hakim ad hoc dan hakim agung, tingkat dan jenis sanksinya terdiri dari:
a. Sanksi ringan berupa teguran tertulis;
b. Sanksi sedang berupa non palu paling lama 6 (enam) bulan;
c. Sanksi berat berupa pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat
dari jabatan.

Dalam hal terjadi penyimpangan atas kode etik yang dapat dikategorikan
sebagai perbuatan pidana, maka dalam hukum pidana kita dapati ketentuan-
ketentuan yang mengatur perbuatan tercela dan dinyatakan sebagai perbuatan
yang melanggar hukum. Dan hal tersebut diatur didalam Pasal 210, Pasal 420 ayat
(1) dan (2) serta Pasal 418 KUHP.

Dengan adanya sanksi-sanksi tersebut di atas, diharapkan para hakim lebih


berhati-hati dalam bersikap dan bertindak agar tak melanggar kode etik dan
pedoman perilaku hakim yang pada akhirnya justru akan merugikan dirinya
sendiri.

Anda mungkin juga menyukai