Anda di halaman 1dari 7

KELOMPOK 3

Anggota : Indah Ayu Kartika Tri Andayani (210602110064)

Sendy Aulia Rahma (210602110067)

Sekar Aulia (210602110069)

Dewi Anjani (210602110071)

Salman Al-farizi (210602110072)

Whildan Esya Ramadhan (210602110077)

Dayu Masvira Cahyani (210602110141)

Kelas : Biologi C

Mata Kuliah : Anatomi Fisiologi Manusia

TUGAS ANATOMI FISIOLOGI MANUSIA

1. Apa penyebab terjadinya osteoporosis (jelaskan terkait struktur anatomi dan proses fisiologi
pada osteoporosis) dan bagaimana upaya pencegahannya?

Jawaban :

Struktur tulang penderita osteporosis biasanya akan mengalami perubahan yang


signifikan yaitu menjadi rapuh. Tulang yang rapuh tersebut diakibatkan oleh pengeroposan yang
terjadi baik pada tulang kompak maupun tulang spons. Kerja osteoklas melebihi osteoblas,
sehingga kehilangan massa tulang tidak dapat dihindari dan kepadatan tulang menjadi berkurang.
Akibatnya tulang menjadi keropos, tipis, dan mudah mengalami patah, terutama pada tulang
pergelangan, tulang belakang, dan lain sebagainya (Wirakusumah, 2007).
(Wirakusuma, 2007)

Faktor penyebab osteoporosis menurut Sugiarto (2015) adalah sebagai berikut:

a) Faktor Sejarah Keluarga dan Reproduktif : Anak perempuan dari wanita yang mengalami
patah tulang, rata-rata memiliki massa tulang yang lebih rendah dari normal usianya. Tingkat
hormon estrogen turun setelah menopause, sehingga menyebabkan tulang mengalami
resorpsi lebih cepat.
b) Faktor Gaya Hidup : Tembakau dapat meracuni tulang dan menurunkan kadar estrogen.
Perokok mempunyai kemungkinan dua kali lebih besar mengalami patah tulang pinggul,
pergelangan tangan serta tulang punggung. Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat
mengubah metabolisme vitamin D atau penyerapan kalsium terganggu yang dapat
mengakibatkan tulang lemah dan tidak normal. Seseorang yang terlalu lama istirahat di
tempat tidur dapat mengurangi massa tulang.
c) Pemakaian Obat : Obat-obatan yang menyebabkan osteoporosis meliputi: steroid, thyroid,
Gonadotropin Relesing Hormone (GNRH agonist), diuretik dan antasid. Obat tersebut
apabila digunakan dalam jangka waktu yang lama, dapat mengubah pergantian tulang dan
meningkatkan resiko osteoporosis.
d) Faktor Kondisi Medis : Kondisi medis dapat mempercepat proses berkurangnya massa
tulang. Kondisi ini seperti operasi perut, kelumpuhan, kanker, dll. Operasi perut dapat
menyebabkan massa tulang berkurang karena penyerapan kalsium berkurang. Kelumpuhan
pada salah satu anggota tubuh menyebabkan tidak aktif bergerak, sehingga tulang menjadi
rapuh.
e) Faktor Endogenik : Faktor endogenik terkait dengan proses penuaan, yaitu perusakan sel
yang berjalan seiring perjalanan waktu. Perubahan yang terjadi pada lansia seperti perubahan
struktural (massa tulang) dan penurunan fungsional tubuh.

Pencegahan osteoporosis menurut Ramadani (2010) dapat dibagi dalam 3 kategori yaitu primer,
sekunder dan tersier (sesudah terjadi fraktur).

a) Pencegahan Primer
Mengkonsumsi kalsium cukup baik dari makanan sehari-hari ataupun dari tambahan kalsium.
Jenis makanan yang cukup mengandung kalsium adalah sayuran hijau dan jeruk sitrun.
Selain itu, hindari latihan fisik berlebihan, faktor yang dapat menurunkan absorpsi kalsium,
meningkatkan resorpsi tulang, atau mengganggu pembentukan tulang, seperti merokok,
minum alkohol dan mengkonsumsi obat yang berkaitan dengan terjadinya osteoporosis.
b) Pencegahan Sekunder
Mengkonsumsi kalsium dilanjutkan pada periode menopause, 1200-1500 mg per hari, untuk
mencegah negative calcium balance. Dianjurkan pemakaian ERT (Estrogen Replacement
Therapy) bagi wanita menopause yang tidak ada kontraindikasi. ERT menurunkan resiko
fraktur sampai dengan 50% pada panggul, tulang radius dan vertebra. Mengkonsumsi
kalsitonin dapat menghambat resorpsi tulang dan dapat meningkatkan massa tulang apabila
digunakan selama 2 tahun. Selain itu, dapat juga dilakukan terapi menggunakan vitamin D
yang akan membantu tubuh menyerap dan memanfaatkan kalsium.
c) Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ini dilakukan setelah seseorang mengalami fraktur osteoporosis. Beberapa
obat yang dianjurkan adalah bisfosfonat, kalsitonin, dan NSAID bila ada nyeri. Dari sudut
rehabilitasi medik, bisa dilakukan dengan pemakaian ortose spinal/ korset dan program
fisioterapi/ okupasi terapi.

2. Mengapa astronout saat kembali ke bumi sulit berjalan? Apa yang terjadi dengan
skeletalnya?
Jawaban :

Astronot yang kembali ke Bumi setelah tinggal dalam kondisi gravitasi rendah di luar
angkasa, mereka sering mengalami kesulitan berjalan. Hal ini disebabkan oleh fenomena yang
dikenal sebagai "penyesuaian kembali dengan gravitasi Bumi" atau "sindrom patah tulang
kosmonot". Para astronot sering mengalami kesulitan berjalan yang disebabkan oleh adaptasi
tubuh mereka terhadap perubahan gravitasi. Selama berada di luar angkasa, astronot berada
dalam kondisi gravitasi rendah atau mikrogravitasi, yang menyebabkan penurunan beban pada
tulang dan otot mereka karena kurangnya gravitasi. Sebagai respons terhadap kurangnya beban,
tubuh mereka mengalami penurunan massa tulang dan kehilangan massa otot (Davis, et al.,
2008).

Penurunan beban pada tulang dan otot selama tinggal di luar angkasa menghasilkan
penurunan kepadatan tulang dan kekuatan otot. Ini adalah efek fisiologis yang dikenal sebagai
"disuse osteoporosis" dan "atrofi otot". Ketika astronot kembali ke Bumi dan terpapar kembali
pada gravitasi normal, tubuh mereka harus menyesuaikan kembali dengan beban gravitasi yang
lebih besar. Proses ini melibatkan regenerasi dan perbaikan tulang serta pembentukan kembali
otot yang telah menurun selama misi luar angkasa (Shackelford, 2019). Penyesuaian tubuh
dengan gravitasi Bumi setelah misi luar angkasa bisa memakan waktu. Astronot mungkin
mengalami kesulitan berjalan, kelemahan otot, atau ketidakstabilan karena otot dan tulang
mereka masih dalam tahap adaptasi. Dalam beberapa kasus, astronot bahkan dapat mengalami
pusing atau pingsan akibat perubahan mendadak dalam distribusi cairan tubuh yang disebabkan
oleh gravitasi Bumi (Kanas, et al., 2008).

3. Jelaskan mekanisme kontraksi pada otot

Jawaban :

Mekanisme kontraksi pada otot menurut Handayani (2021) adalah sebagai berikut:

1. Kontraksi pada otot dimulai dengan adanya rangsangan dari sistem saraf pusat yang
ditransmisikan oleh neuron motorik ke serabut otot
2. Ketika neuron motorik telah mencapai ujung neuromuscular junction, neurotransmiter
asetilkolin dilepaskan dari vesikel sinapsis ke celah sinapsis
3. Asetilkolin berikatan dengan reseptor pada membran sel otot, memicu depolarisasi membran
sel otot terhadap ion natrium dan ion kalium yang memicu potensial aksi.
4. Potensial aksi merambat sepanjang membran sel otot dan masuk ke tubulus T, yang
merupakan struktur membran yang terhubung dengan retikulum endoplasma kasar (REK)
5. Depolarisasi membran tubulus T menyebabkan pelepasan kalsium dari retikulum
sarkoplasma ke dalam sitoplasma otot.
6. Di dalam sitoplasma, terdapat dua jenis protein filamen utama: aktin dan miosin.
7. Kepala miosin memiliki aktivitas ATPase yang memecah ATP menjadi ADP dan Pi.
8. Energi dari hidrolisis ATP digunakan untuk menarik filamen aktin ke arah filamen miosin.
9. Ion Kalsium (Ca2+) akan berikatan dengan protein troponin pada filament aktin, sehingga
mengubah konformasi troponin dan menggeser protein tropomyosin yang menutupi situs
pengikatan myosin di filament aktin
10. Setiap kepala unit myosin berikatan dengan ADP dan fosfat, kemudian myosin akan
melepaskan fosfat
11. Setelah situs pengikatan myosin terbuka, Kepala miosin akan berikatan/ menempel pada situs
pengikatan di filamen aktin, dan membentuk jembatan silang (sliding filament)
12. Dua filament yang telah berikatan saling meluncur ke depan yang didorong oleh gerakan
kepala pertama myosin yang didukung oleh energy kimia yang tersimpan di kepala myosin
13. Pergerakan ini melepaskan molekul ADP yang terikat
14. Gerakan akan berhenti ketika molekul ATP berikatan dengan kepala myosin sehingga
memotong ikatan antara aktin dan myosin.
15. Ketika sinyal saraf berhenti, kalsium dipompa kembali ke retikulum sarkoplasma.
16. Penurunan kalsium menyebabkan troponin kembali ke bentuk semula, dan tropomiosin
menutup situs pengikatan pada filamen aktin, dan otot berelaksasi.
Rerefensi :

Davis, J. R., Johnson, R., & Stepanek, J. (Eds.). (2008). Fundamentals of aerospace medicine.
Lippincott Williams & Wilkins.

Handayani, S. (2021). Anatomi dan Fisiologi Tubuh Manusia. Bandung. CV. Media Sains
Indonesia.

Kanas, N., Manzey, D., Kanas, N., & Manzey, D. (2008). Basic issues of human adaptation to
space flight. Space psychology and psychiatry, 15-48.

Ramadani, M. (2010). Faktor-faktor resiko osteoporosis dan upaya pencegahannya. Jurnal


Kesehatan Masyarakat Andalas, 4(2), 111-115.

Shackelford, L. C. (2019). Musculoskeletal response to space flight. Principles of clinical


medicine for space flight, 581-607.

Sugiarto, R. W. (2015). Latihan Beban bagi Penderita Osteoporosis. Jorpres (Jurnal Olahraga
Prestasi), 11(2).

Wirakusumah, E. S. (2007). Mencegah Osteoporosis. Niaga Swadaya.

Anda mungkin juga menyukai