Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Palpebra merupakan salah satu bagian orbita yang memiliki fungsi


penting, baik secara fungsional maupun estetika. Secara fungsional palpebra
memeberikan perlindungan, menjaga kelembapan dan membersihkan
permukaan bola mata. Secara estetika, struktur anatomi palpebra yang
melengkung membentuk sudut kecil di area medial, dan menjadi bagian dari
estetika pada wajah.1,2
Berbagai kelainan dapat timbul pada palpebra, baik yang timbul secara
kongenital,maupun didapat karena adanya perubahan anatomis pada palpebra
akibat faktor penuaan, trauma, radang, infeksi atau tumor. Ektropion
merupakan kondisi dimana margin dari kelopak mata mengalami eversi yang
mengakibatkan terganggunya aposisi palpebra dengan bola mata. Kondisi
tersebut dapat mengakibatkan inflamasi dan infeksi pada konjungtiva,
keluhan fotofobia, mata berair, keratitis exposure hingga ulkus kornea.
Kelainan ini paling sering melibatkan palpebra inferior dan dikaitkan dengan
perubahan struktrur anatomis palpebra.3
Prevalensi ektropion bervariasi tergantung pada jenis dan kelompok
usia. Berdasarkan penelitian, prevalensi ektropion involutional, ektropion
yang paling umum terjadi adalah sekitar 2,9% pada orang berusia 60 tahun
atau lebih, dengan prevalensi yang lebih tinggi pada pria (5,1%) dibandingkan
wanita (3,0%). 2,3
Berdasarkan etiologi, ektropion dapat diklasifikasikan menjadi
ektropion kongenital dan ektropion didapat. Ektropion kongenital lebih
jarang terjadi. Ektropion didapat dibagi menjadi involusional, paralitik,
sikatrikal dan mekanikal. Anamnesis dan Pemeriksaan yang teliti diperlukan
untuk menentukan jenis ektropion dan penanganan yang tepat. Pada makalah
ini akan dibahas mengenai anatomi palpebra, etiopatogenesis ektropion dan
pemeriksaan yang dapat dilakukan pada ektropion.4

1
BAB II
ANATOMI PALPEBRA

Secara anatomi, palpebra merupakan modifikasi lipatan kulit dan


jaringan otot yang memiliki struktur dan fungsi untuk melindungi bagian
anterior bola mata. Palpebra terdiri dari palpebra superior dan inferior dan
diantaranya terdapat fissura palpebra. Fissura palpebra adalah daerah
yang terbuka antara palpebra superior dan inferior. Fisura palpebra
dewasa umumnya berukuran panjang 27-30 mm dan lebar 8-11 mm.4

Gambar 2.1 Landmark pada Fissura Palpebra.4


Palpebra superior lebih banyak melakukan pergerakan daripada
palpebra inferior. Palpebra superior dapat diangkat hingga 15 mm dengan
aksi dari otot levator palpebra. Apabila gerakan palpebra superior dibantu
oleh otot frontalis, fissura palpebra vertikal dapat bertambah sebanyak 2
mm. Palpebra secara anatomis terdiri dari 7 lapisan, yaitu lapisan kulit
dan jaringan subkutan, otot protaktor, septum orbita, lemak orbita, otot
retraktor, tarsus dan konjungtiva.4,5

Palpebra dibagi menjadi lamella anterior dan lamella posterior.


Lamella anterior terdiri dari lapisan kulit dan otot orbikularis sedangkan
pada lamella posterior terdiri dari tarsus dan konjungtiva dan juga
terdapat fascia capsulopalpebral pada palpebra inferior. Margo adalah
pertemuan dari permukaan mukosa konjungtiva bagian pingir dari
orbikularis. Sepanjang margo terdapat bulu mata dan kelenjar yang
memberikan perlindungan untuk permukaan mata. Margo palpebra
memiliki struktur penting seperti punctum dari kanalikuli yang terdapat di

2
medial ujung papila lakirmal. Terdapat lubang kecil yang muncul di
medial sebagai tempat masuk sistem ekskresi lakrimal yaitu punctum
lakrimal. Terdapat 2 punctum yaitu superior dan inferior. Punctum
superior, biasanya terletak sedikit ke dalam, dan terletak lebih medial
dibandingkan punctum inferior.5,6

b c

Gambar 2.2 a. Potongan axial palpebra. b. Lamella anterior. c. Lamela


Posterior 4,5

2.1 Otot Palpebra

3
2.1.1 Otot Protraktor Palpebra
Kontraksi otot protraktor palpebra menyebabkan penutupan dari
fissura palpebra. Otot orbikularis okuli merupakan otot protraktor utama
pada palpebra. Otot orbikularis okuli diatur oleh beberapa serabut otot di
sekitar fisura palpebra dan dapat dibagi menjadi otot bagian orbital,
preseptal, dan pretarsal. Otot orbikularis bagian orbital berinsersi secara
kompleks ke tendon kantus medial dan ke sebagian dari margo orbita.
Otot ini bertindak sebagai sfingter dan berfungsi sebagai otot volunteer
yang dipersarafi oleh nervus fasialis (Cranial Nerve VII).5,6

A B

Gambar 2.3 A.B. Otot orbicularis oculi terdiri dari otot orbital, preseptal dan pretarsal 4,5,6

Bagian palpebral dari otot orbikularis okuli berfungsi baik secara


volunteer maupun involunteer dalam proses kedipan spontan dan refleks
mengedip. Bagian preseptal dan pretarsal menyatu di sepanjang alur palpebra
superior. Otot orbikularis pretarsal melekat kuat ke tarsus dan sebagian
menempel pada puncak lakrimal anterior dan puncak sakus lakrimal posterior
(disebut juga otot Horner) dan perlekatan ini berperan dalam drainase air
mata.5,6

2.1.2 Otot Retraktor Palpebra


Otot rektraktor palpebra terdiri dari rektraktor palpebra superior dan
retraktor palpebra inferior. Otot retraktor palpebra superior adalah otot levator
palpebra superior dengan aponeurosisnya dan otot tarsal superior (otot Muller)
sedangkan otot retraktor palpebra inferior adalah fasia capsulopalpebral dan
otot tarsal inferior.6,7

4
2.1.2.a Otot Retraktor Palpebra Superior
Origo dari otot levator berasal dari apex orbita, muncul dari periorbita
ala minor os sphenoid yang terbentang dan berjalan ke anterior orbita di atas
otot rektus superior. Bagian otot levator memiliki panjang 40 mm, dan bagian
aponeurosisnya memiliki panjang 14-20 mm. Ligamentum transversal superior
(Ligamentum Whitnall) merupakan jaringan fibrosa elastis di sekitar otot
levator yang terletak di area di mana otot levator bertransisi menjadi
aponeurosis levator.5,6,7

Fungsi primer dari ligamen Whitnall adalah sebagai penopang suspensi


untuk palpebra superior dan jaringan orbital superior. Ligamentum ini juga
bertindak sebagai titik tumpu levator, yang mentransfer arah gaya vektor dari
anterior-posterior ke arah superior-inferior.
Bagian aponeurosis otot levator (tendon dari otot levator) palpebra akan
berlanjut ke arah tarsus, terbagi menjadi bagian anterior dan posterior. Bagian
anterior terdiri dari jaringan halus aponeurosis yang masuk ke dalam septum
antara ikatan otot orbicularis pretarsal dan kulit. Sedangkan pada bagian
posterior akan berlanjut kearah permukaan tarsus. Ikatan ini membentuk aposisi
kulit pretarsal dan otot orbicularis ke tarsus di bawahnya dimana sekitar 3 mm
diatas margin kelopak mata.6,7
Otot Muller (superior tarsal) berasal dari permukaan bawah otot levator
palpebrae superior yang diperkirakan setinggi ligamentum Whitnall, 12-14 mm
di atas margo atas palpebra. Otot levator membelah menjadi cabang anterior,
yang menjadi aponeurosis, dan cabang posterior, yang menjadi otot Muller.
Otot Muller merupakan otot polos yang dipersarafi saraf simpatis, meluas ke
inferior dan berinsersi di sepanjang batas atas tarsus superior. Otot ini berperan
dalam elevasi palpebra superior sekitar 2-3 mm.6,7

2.1.2.b Otot Retraktor Palpebra Inferior


Retraktor palpebra inferior adalah fascia capsulopalpebral yang serupa
dengan aponeurosis levator di palpebra superior. Fascia berasal dari
capsulopalpebral yang berikatan dengan serabut otot terminal dari otot rektus
inferior. Bagian capsulopalpebral membelah dan mengelilingi otot oblik

5
inferior lalu menyatu dengan selubung otot oblik inferior. Di anterior dari otot
oblik inferior, dua bagian capsulopalpebral bergabung untuk membentuk
ligamentum suspensori Lockwood. Fascia capsulopalpebral meluas ke anterior
dari titik ini, dimana serabut otot nya hingga ke forniks konjungtiva inferior.
Otot tarsal inferior di palpebra bawah dianalogikan dengan otot Müller. Otot
tarsal inferior berjalan di daerah posterior fascia capsulopalpebral.5,6,7

a b

Gambar 2.4 Otot rektraktor palpebra. a Retraktor palpebra superior dan


b. retraktor palpebra inferior 6,7

2.2 Jaringan Penyokong Palpebra


2.2.1 Tarsus
Tarsus merupakan pelat jaringan ikat padat yang berfungsi sebagai
penyangga struktur dan stabilitas palpebra. Tarsus palpebra superior berukuran
10-12 mm secara vertikal di tengah palpebra, sedangkan ukuran tarsus
palpebra bawah adalah sekitar 3-4 mm. Kedua pelat tarsus memiliki ketebalan
1 mm dan lebar 29mm. Pelat tarsus memiliki perlekatan yang ke margin
orbital melalui tendon kantus medial dan lateral. Posisi tarsus dapat bergeser
secara horizontal seiring bertambahnya usia sebagai akibat dari peregangan
tendon kantus medial dan lateral.3,4,7

6
Gambar 2.5 . Tarsus.4,5
2.2.2 Kantus Medial
Kantus medial merupakan struktur yang kompleks melibatkan
integrasi dari orbikularis okuli pretarsal dan preseptal, septum orbital, ujung
medial ligamen Lockwood, aponeurosis levator dan ligamen otot rektus
medial. Struktur ini melekat pada dinding orbital medial melalui tendon kantus
medial .7,8,9 Otot orbikularis pretarsal berinsersi ke kantus medial melalui otot
bagian superfisial dan otot bagian dalam. Bagian superfisial dari otot
orbikularis palpebra menyatu dengan tarsus untuk membentuk bagian anterior
dari tendon kantus medial. Otot bagian dalam dikenal sebagai pars lakrimalis,
atau otot Horner. Serabut otot ini mulai dari ujung medial lempeng tarsus dan
masuk ke puncak bagian lakrimal crest posterior tepat di belakang sakus
lakrimal. Otot preseptal juga masuk ke kantus medial dengan bagian superfisial
dan bagian dalam. Bagian superfisial dari setiap otot palpebra masuk ke batas
atas dan bawah tendon kantus medial. Sedangkan otot bagian dalam berinsersi
ke dalam fascia di atas sakus lakrimal dan dinding orbital medial di atas dan di
bawah otot Horner.3,4,6

Tendon kantus medial berinsersi ke dalam prosessus frontal maksila


atas pada tiga daerah, horizontal anterior, posterior, dan vertikal . Titik insersi
horizontal anterior berada anterior lacrimal crest, sejajar dengan bagian atas
sakus lakrimal. Bagian posterior berinsersi ke dalam puncak lakrimal posterior
dibelakang sakus lakrimal. Tendon memiliki batas inferior yang pasti,
sedangkan batas superior menyatu dengan periosteum yang memiliki serat yang
berorientasi vertikal yang masuk ke bagian tepi orbital medial. Komponen
vertikal tendon kantus medial ini dianggap bertanggung jawab atas suspensi dan
fiksasi kantus medial, sedangkan komponen horizontal relatif lemah dan hanya

7
memiliki sedikit peran dalam stabilitas kantus medial.3,4

2.2.3.Kantus Lateral
Kantus lateral memiliki peran untuk perlekatan bagian dalam melalui tendon
kantus lateral dan perlekatan jaringan fibrosa superfisial melalui raphe canthal lateral dan
penebalan otot orbital lateral. Perlekatan bagian dalam berfungsi untuk stabilisasi tarsus
sedangkan perlekatan superfisial berfungsi untuk stabilisasi orbikularis pada margo
orbita. Tendon kantus lateral memiliki perlekatan otot yang lebih sedikit jika
dibandingkan dengan kantus medial. Tendon kantus lateral memiliki serat dengan
panjang 6 mm dan tinggi sekitar 10 mm. Secara superfisial, serat orbicularis preseptal
dari palpebra atas dan bawah menyatu dan membentuk lateral canthal raphe. Raphe
terhubung pada permukaan dalam ke septum orbital yang mendasari dan menyatu secara
lateral dengan jaringan fibrosa yang dikenal sebagai penebalan orbital lateral. Penebalan
ini merupakan jaringan fibrosa yang menghubungkan fasia orbicularis pada permukaan
bawah otot ke fasia. Kantus lateral diposisikan kira-kira 2 mm lebih tinggi dari kankantus
medial.3,4,8

8
BAB III

ETIOLOGI, PATOFISIOLOGI EKTROPION DAN PEMERIKSAAN PADA


EKTROPION

3. 1 Etiologi dan Patofisiologi Ektropion

Stabilitas dan integritas secara fisiologis dari kelopak mata bawah ditentukan oleh
lamella posterior (konjungtiva dan tarsus), lamella anterior (kulit dan otot orbicularis
okuli), ikatan antara retraktor inferior dan fasia kapsulopalpebra inferior serta ligamen
medial dan lateral kantus. Kondisi apapun yang menyebabkan terganggunya integritas
normal baik ecara struktur maupun fungsi pada palpebra ditambah dengan gaya gravitasi
akan penyebabkan malposisi dari kelopak mata bawah. Ektropion merupakan kondisi
dimana margin dari kelopak mata mengalami eversi yang mengakibatkan terganggunya
aposisi palpebra dengan bola mata. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan inflamasi dan
infeksi pada konjungtiva, keluhan fotofobia, mata berair, keratitis exposure hingga ulkus
kornea.9,10

Mekanisme patologis yang dapat menyebabkan ektropion diantaranya horizontal


lid laxity, laxity tendon medial kantus, defisiensi lamella anterior, paresis orbicularis dan
disinsersi inferior retraktor. Etiologi ektropion dapat terjadi secara kongenital maupun
didapat. Ektropion didapat dibagi menjadi involusional, paralitik, sikatrikal dan mekanikal.
Berikut akan dijelaskan satu persatu.8,9,10

3.2 Klasifikasi Ektropion

3.2.1 Ektropion Kongenital


Ektropion kongenital sangat jarang terjadi dan biasanya melibatkan palpebra
inferior. Penyebab yang sering adalah insufisiensi dari lamella anterior. Ektropion
kongenital mungkin terkait dengan sindrom blepharophimosis, microphthalmos,
buphthalmos, kista orbital, Sindrom Down, dan ichthyosis (bayi collodion). Kadang kasus
ektropion kongenital didasari oleh karena kelumpuhan.10,11

9
Gambar 3.1 Ektropion kongenital pada iktiosis vulgaris

3.2.2 Ektropion Didapat

3.2.2.1 Ektropion Involusional

Perubahan involusional pada palpebra inferior melibatkan beberapa mekanisme


yang saling berinteraksi satu sama lain meliputi degenerasi serabut – serabut kolagen
akibat penuaan, efek gravitasi, serta enoftalmus akibat atrofi dan atau prolaps lemak orbita
berkaitan dengan faktor usia. Palpebra inferior menjadi flacid akibat relaksasi berlebihan
dari jaringan, serta atonik akibat denervasi muskulus orbikularis.10,12

Berbagai hipotesa telah dikemukakan sebagai dasar patogenesis terjadinya


ektropion involusional. Tiga faktor utama yang terlibat di dalamnya yakni laxity horizontal
palpebra inferior, terutama pada tendon kantus lateral, tendon kantus medial, dan yang
ketiga adalah disinsersi dari retraktor palpebra inferior. Laxity dapat disebabkan oleh
perubahan involusional atau proptosis kronik (axial ocular globe projection).
Ketidakseimbangan ukuran antara isi orbita dengan palpebra juga berperan dalam
timbulnya laxity. Terjadi penurunan isi orbita dikarenakan oleh atrofi lemak orbita dan
melemahnya ligamen – ligament inferior orbita sebagai penyokong. laxity tendon kantus
medial dapat menyebabkan eversi pungtum tanpa ektropion seluruh palpebra inferior yang
terlihat nyata. Disinsersi retraktor palpebra inferior mungkin kurang penting pada
ektropion dibandingkan dengan pada patogenesis entropion, akan tetapi bila disinsersi ini
didapatkan, maka dapat terjadi ektropion involusional subtipe tarsal. Faktor – faktor

10
tersebut saling berkorelasi satu sama lain, menyebabkan pemanjangan horizontal palpebra
inferior, dan terjadi eversi palpebra.8,10,12

Data statistik menunjukkan bahwa pasien – pasien ektropion involusional


mempunyai tarsus yang lebih besar dari ukuran normal sesuai dengan usianya.
Diperkirakan bahwa hal ini disebabkan karena pasien ektropion involusional mengalami
proses atrofi akibat penuaan pada tarsus yang lebih lambat. Meskipun demikian, laxity
kantus bersamaan dengan penurunan tonus muskulus orbikularis preseptal dan pretarsal
tetap dapat menimbulkan vektor mekanik atau gaya gravitasi yang cukup besar untuk
menarik tarsus yang lebar ini sehingga terjadi eversi kelopak mata. Tarsus yang lebar
merupakan salah satu faktor etiologi utama yang berperan dalam patogenesis ektropion
involusional, dan bukan merupakan akibat sekunder dari tertariknya tarsus akibat laxity
tendon.8,10,12

Gambar 3.2 Ektropion Involusional6

3.2.2.2 Ektropion Paralitik


Ektropion paralitik terjadi karena kelumpuhan saraf ketujuh dari penyebab yang
beragam, seperti Bell’s palsy, tumor sudut cerebellopontine, herpes zoster, dan infiltrasi
atau tumor dari kelenjar parotis. Pasien dengan kelumpuhan nervus tujuh membutuhkan
pengamatan yang teliti untuk kemungkinan terjadinya ulkus kornea. Jika obat-obatan tetes
dan salep tidak dapat memberikan proteksi yang adekuat, tarsorafi lateral dapat dilakukan.
Jika terdapat hipoestesia kornea yang terjadi secara bersamaan, tarsorafi nasal dapat
dilakukan. Tarsorafi adalah operasi pada palpebra yang bertujuan untuk menyatukan atau
menempelkan palpebra superior dan inferior. Perlekatan ini dihasilkan dengan menusuk
margo palpebra inferior dan menyambungkannya dengan palpebra superior dengan

11
bantuan klem kalazion dan menyambungkan kedua margo palpebra dengan benang. Jika
kedua palpebra telah menyatu, klem dilepaskan.10,13,14
Ektropion paralisis yang berlangsung lama menyebabkan masalah kosmetik yang
serius. Berat wajah bagian bawah palpebra akan menyebabkan perpanjangan wajah ke
bawah yang aneh sekali. Berbagai percobaan telah dilakukan untuk memperbaiki fungsi
dari kelopak mata pasien ini dengan tarsorafi lateral permanen.14

Gambar 3.3 Ektropion Paralitik6

3.2.2.3 Ektropion Sikatrikal


Ektropion sikatrik terjadi dari jaringan parut dari lamela anterior yang disebabkan
oleh kondisi seperti luka bakar wajah, trauma, dermatitis kronis, eksisi kulit yang
berlebihan (atau laser) dengan blepharoplasty, perbaikan fraktur orbital dengan pendekatan
transkutan. Agen antineoplastik (misalnya, docetaxel) dan inhibitor reseptor faktor
pertumbuhan epidermis (misalnya, erlotinib, cetuximab) telah dilaporkan menyebabkan
ektropion sikatrikal. Ektropion sikatrikal berlawanan dengan ektropion involusional.
Diagnosis didasarkan pada riwayat, observasi yang teliti dari kulit dan tanda-tanda
penyakit kulit yang pernah dialami sebelumnya, peradangan atau trauma termasuk operasi
dan radiasi.15,16
Penanganan pada ektropion sikatrikal adalah dengan menginsisi dan membuang
jaringan sikatriks pada palpebra dan menggantinya dengan transplantasi dari kulit lainnya
seperti bagian belakang telinga. Kulit yang digunakan sebagai transpalan harus diambil
dari kulit yang tidak berambut. Koreksi yang maksimal harus diperhatikan untuk

12
mengkompensasi terjadinya penyusutan dari kulit transplan tersebut.15,16,17

Gambar 3.4 Ektropion Sikatrik6

3.2.2.4 Ektropion Mekanikal

Ektropion mekanik dapat terjadi karena adanya massa, akumulasi cairan pda
palpebra inferiordan herniasi lemak orbita yang menekan palpebra dan secara gravitasi
akan menyebabkan palpebra inferior tertarik ke bawah. 10,18

Gambar 3.5 Ektropion Mekanik6


3.2 Pemeriksaan pada ektropion
3.2.1 Pemeriksaan Laxity Palpebra
 Distraction Test
Distraction test merupakan pemeriksaan untuk menilai terdapatnya
kelemahan palpebra secara kuantitatif. Pemeriksaan dilakukan dengan menarik
palpebra menjauhi bola mata, lalu diukur jarak dari margo palpebra ke bola
mata. Palpebra inferior normalnya dapat ditarik 2 hingga 6 mm dari bola mata,
nilai yang lebih dianggap telah terjadinya kelemahan palpebra.13,17,18

13
Gambar 3.6 Pemeriksaan Distraction Test21
 Snap Back Test
Snap back test dilakukan dengan melakukan penarikan ke arah bawah pada tepi
palpebra inferior dan menilai posisi palpebra saat dilakukan pelepasan . Normalnya,
palpebra akan segera kembali ke posisi anatomis tanpa harus berkedip. Apabila
terdapat kelemahan maka palpebra tidak dapat sepenuhnya kembali pada posisi
semula.17,18
Pemeriksaan dilakukan dengan menarik palpebra inferior ke arah bawah
selama beberapa detik. Kemudian tanpa pasien berkedip, perhatikan lamanya waktu
yang diperlukan untuk palpebra kembali ke posisi semula atau kembali atau tidaknya
ke posisi semula. Laxity palpebra yang berat memerlukan satu atau lebih kedipan untuk
kembali ke posisi normal. Tes snap-back dinilai dari 0-4, dengan nilai 0 menunjukkan
palpebra yang normal dan nilai 4 menunjukkan kelemahan yang berat.19,20

Grade 0: Palpebra normal, segera kembali ke posisi semula.


Grade 1: membutuhkan sekitar 2-3 detik
Grade 2: membutuhkan waktu 4-5 detik
Grade 3: > 5 detik tetapi kembali ke posisi normal dengan berkedip
Grade 4: tidak bisa kembali ke posisi anatomis semula.

14
Gambar 3.7 Pemeriksaan snap back test.6

 Medial Canthal Laxity Test


Kelemahan tendon kantus medial adalah bentuk khusus dari kelemahan
palpebra horizontal. Kelemahan tendon kantus medial disertai dengan kelemahan
tarsus horizontal. Kelemahan tendon kantus medial dideteksi dengan mengamati
gerakan punctum lakrimal palpebra inferior pada saat palpebra ditarik ke lateral .
Perpindahan pada tendon normal dalam batas 0-1 mm. 17,19
Grade 1: perpindahan 2 mm
Grade 2: perpindahan 3 mm
Grade 3: perpindahan >3 mm
Grade 4: tidak bisa kembali ke posisi anatomis semula setelah berkedip

Gambar 3.8 Pemeriksaan Medial Laxity Test.21

15
 Lateral Canthal Laxity Test
Pemeriksaan lateral canthal laxity dilakukan dengan menarik
palpebra inferior secara medial menjauhi kantus lateral dan mengukur
perpindahan sudut kantus lateral, semakin besar jarak yang didapatkan,
semakin besar kelemahan yang terjadi. Perpindahan 1-2 mm dianggap
dalam batas normal. Tes kelemahan kantus lateral dinilai dari grade 1-4,
dengan grade 1 menunjukkan kelemahan ringan dan grade 4
menunjukkan kelemahan parah. 19,20
Grade 1: perpindahan 2-4 mm
Grade 2: perpindahan 4-6 mm
Grade 3: perpindahan >6 mm
Grade 4: tidak bisa kembali ke posisi anatomis semula setelah berkedip

Gambar 3.9 Lateral Canthal Laxity Test 21

16
BAB IV
KEISMPULAN

1. Ektropion merupakan kondisi dimana palpebra mengalami eversi yang


mengakibatkan terganggunya aposisi palpebra dengan bola mata dan dapat
mengakibatkan inflamasi dan infeksi pada konjungtiva, keluhan fotofobia,
kertatitis eksposure hingga ulkus kornea jika tidak ditatalaksana dengan baik.
2. Etiologi ektropion dapat terjadi secara kongenital maupun didapat. Ektropion
didapat dibagi menjadi involusional, paralitik, sikatrikal dan mekanikal.
3. Mekanisme patologis yang dapat menyebabkan ektropion diantaranya
horizontal lid laxity, laxity tendon medial kantus, defisiensi lamella anterior,
paresis orbicularis dan disinsersi inferior otot retraktor.
4. Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menentukan derajat
keparahan ektropion berupa snap back test, distraction test, lateral canthal
laxity test dan medial canthal laxity test. Pemeriksaan ini juga berguna dalam
menentukan jenis terapi ektropion kedepannya.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Paul Mitchel et al., Prevalence and Associations with Ectropionin an Older


Population: the Blue Montain Eye. Clinical and Experimental
Ophthalmology. 2001
2. Edesel Bing etal., Ectropion. Medscape. https://emedicine.medscape.
com/article/1212398overview?&icd=login_success mail_match_fpf#a6.
Diakses pada 8 Februari 2024.
3. Bob S Korn, et al. Oculofacia lPlastic and Orbital Surgery. American
Academy Ophthalmology. 2022. P233-235
4. Bob S Korn, et al. Oculofacia lPlastic and Orbital Surgery. American
Academy Ophthalmology. 2022. P233-235
5. Vladimir Thaller. Eyelid Surgery. A Fresh Perspective on Correcting
Common Condition. Springer.2022
6. Brian Leatherbarrow.Oculoplastic Surgery Second Edition. Informa Health
Care. UK. 2011
7. Gladstone GJ, et all. Surgical Anatomy of the Eyelid. In Oculoplastic
Surgical Atlas. Southfield: Springer. pp 1-9.2018
8. Spinelli HM.Eyelid Anatomy, in: Atlas of Aesthetic Eyelid and Periocular
Surgery. China: Elsevier. 2010. pp 5-12
9. Renato et al., Eyelid aging : Pathophysiology and Clinical Management. Arq
Bras Oftalmol. 2015, 78 (5) 328-31
10. AlHarthi AS. Involutional ectropion: etiological factors and therapeutic
management. Int Ophthalmol. 2023 Mar;43(3):1013-1026
11. Bergeron CM, Moe KS. The evaluation and treatment of lower eyelid
paralysis. Facial Plast Surg. 2008;24:231–41.
12. Panshak et al., Conservative Management of Congenital Unilateral Eyelid
Ectropion In a 3 day Old Neonate in Jos North Central Nigeria. Departement
of Ophthalmology, University Teaching Hospital Nigeria. 2022
13. Kevin et al., Age Matched, Case Controlled Comparison of Clinical
Indicators for Developmental of Entropion and Ectropion. Journal of
Ophthalmology. 2014
14. Bergeron CM, Moe KS. The evaluation and treatment of lower eyelid
paralysis. Facial Plast Surg. 2008;24:231–41.
15. Moustaine MO, Frarchi M, Haloui M, Chabbab FZ. Severe Bilateral
Ectropion in Lamellar Ichthyosis: A Case Report. Am J Case Rep. 2022 Aug
22;23:e935544.
16. Soleimani M, Pakdel F and Mehrpour M. Drug Induced Ectropion Following
the Chronic Use of Topical Natamycin. Journal of Ophthalmic Inflammation
and Infection. 2020. 10 : 38
17. Carolina et al., Cicatricial Ectropion Secondary to Psoriatic Arthritis. Case
Report in Ophthalmological Medicine. 2015

18
18. Kasta G Boboridis. Ectropion. Roy and Fraunfelder’s Current Ocular
Theraphy. Sixth Edition. 2008. P.437
19. Labib Amir, Bhupendra, Milroy C. Lower Eyelid Laxity Examination.
StatPearls. 2023
20. Fernandez Cangan et al., Ectropion in Dermatologic Surgery ; Exploration
and Reconstruction Techniques. Practical Dermatology. 2019( Pemeriksaan
Ectropion)
21. Fay A, Dolman PJ. Lower Eyelid and Eyelash Malpositions, in: Disesases
and Disorders of the Orbit and Ocular Adnexa. Boston: Elsevier. 2017. pp
541-545

19

Anda mungkin juga menyukai