net/publication/359648434
Filsafat Hukum
CITATIONS READS
0 1,436
1 author:
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Kurniawan Tri Wibowo on 01 April 2022.
Penulis:
DR. Kurniawan Tri Wibowo., SH., MH., CPL., CCD dan Wagiman
Martedjo, SH., S.Fil., MH
Editor:
Yuche Yahya Sukaca
Desain Sampul:
Papong Design Indonesia
Penerbit:
PT Cipta Gadhing Artha
Redaksi:
Centennial Tower Level 29, Jl. Gatot Subroto No.27, RT.2/RW.2,
Karet Kuningan, Kecamatan Setiabudi, Kota Jakarta Selatan,
Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12950
Web : http://terbit.in
E-mail : pracetak@terbit.in
WhatsApp : +62811354321
Filsafat Hukum | 3
pragmatis, utamanya John Dewey tidak membedakan antara
pengetahuan dan kebenaran (antara knowledge dan truth).
Filsafat hukum mempelajari hukum secara spekulatif
dan kritis artinya filsafat hukum berusaha untuk memeriksa
nilai dari pernyataan-pernyataan yang dapat dikatagorikan
sebagai hukum secara spekulatif dan secara kristis. Secara
spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan pengajuan
pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat hukum.
Sedangkan secara kritis, filsafat hukum berusaha untuk
memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah
ada, melihat koherensi, korespondensi dan fungsinya.
Buku ini merupakan proses perenungan filsafat
mengenai keadilan, apa itu keadilan, bagaimana itu
keadilan, dan bagaimana pandangan para filsuf mengenai
keadilan. Dengan pendekatan campuran dan perbandingan,
kami mencoba menguraikan makna keadilan dalam berbagai
perspektif. Buku ini baik di baca untuk para mahasiswa dan
juga para praktisi yang mau berfikir kritis mengani keadilan.
Penulis
Filsafat Hukum | 5
Bab V Zaman Abad Pencerahan ................................ 115
A. Pemikiran Niccolo Machiavelli di zaman
Renaissance........................................................ 115
B. Sistem Pemerintahan Yang Ideal : Thomas
Morus .................................................................. 124
C. Persamaan Pemikiran Filsuf Niccolo Machiavelli
dan Thomas Morus.............................................. 130
D. Perbedaan Pemikiran Filsuf Niccolo Machiavelli
dan Thomas Morus.............................................. 130
Bab VI Filosofi Pemikiran Hukum Alam ....................... 132
A. Pandangan Sang Pemuka Gereja Thomas
Aquinas ............................................................. 132
B. Filsuf Hugo de Groot (Grotius) ....................... 141
C. Perbedaan Pemikiran Thomas Aquinas dan
Hugo de Groot (Grotius) .................................. 148
D. Persamaan Pemikiran Thomas Aquinas dan
Hugo de Groot (Grotius) .................................. 152
Bab VII Pemikiran Filosofi Filsuf Islam Tentang
Negara dan Hukum ..................................................... 153
A. Filsafat Al-Jumhuriyah wa al-Ahkam :
Ibnu Rusyd ................................................... 153
B. Filsuf Al Ghazali .......................................... 161
Filsafat Hukum | 7
I
PENDAHULUAN
1 https://www.wiley.com/en-us
2 https://curriculum.law.ucla.edu
Filsafat Hukum | 9
linguistik menurutnya tidak dapat menyelesaikan masalah
inti mengenai soal intepretasi hukum; (4) filsafat hukum
sebagai bagian dari moralitas; dan (5) hubungan antara
metaetika dengan filsafat hukum. Tujuan pembelajar filsafat
hukum guna meningkatkan keterampilan melakukan
penalaran analitis, bekerja dengan interdisipliner, serta
kemampuan menyampaikan argumen dan debat yang
menyakinkan.
Andrei Mamor dalam bukunya telah mengawali debat
kontemporer mengenai ‘sifat dasar dari hukum’ yang
merupakan jantung dari keberadaan hukum. Ia mengajukan
catatan penting, apakah hukum itu merupakan fakta? Jika
ya, maka hal itu merupakan fakta yang bersifat normatif. 3
Kembali ke subtasi buku ini, manusia dilahirkan putih bersih
(Tabula rasa) dan hanya dapat merasakan. Melalui indra
perasa tersebut, manusia mulai berfikir, berkembang dan
mengenal alam sekitar. Manusia dalam hidupnya tidak lepas
dari alam yang mengelilinginya. Dia dihadapkan kepada
fenomena- fenomena (alam) yang menimbulkan rasa heran
pada dirinya. Kenyataan ini membuat manusia berinteraksi
dengan alam sekelilingnya. Interaksi ini menimbulkan
berbagai ragam masalah dalam kehidupan manusia
3 https://muse.jhu.edu/
4
Jujun S Suriasumantri, 1996, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Pustaka
Harapan, Jakarta, hal. 121.
5 E.Saefullah Wiradipradja, 2009, Filsafat Ilmu, Unpad, Bandung, hal. 8
Filsafat Hukum | 11
bahasa merupakan gumulan utama para filsuf dalam tahap
ini.6
Filsafat merupakan pengetahuan dan penyelidikan
dengan menggunakan akal budi (rasio) tentang sebab-
sebab, asas-asas, hukum-hukum dan sebagainya, dari
segala sesuatu yang ada di alam semesta tentang
kebenaran dan arti dari keberadaan itu. Dengan kata lain,
filsafat adalah usaha untuk mengerti dunia dalam makna dan
nilai-nilainya.
Filsafat hukum telah memegang peranan di dalam
memimpin semua telaah tentang lembaga-lembaga manusia
selama 2400 tahun yang lalu, mulai dari pemikir-pemikir
Yunani yang hidup dalam abad kelima sebelum masehi,
yang bertanya apakah hak itu, hak yang ditetapkan oleh
kodrat alam atau hanya oleh pengundangan dan konvensi,
sampai kepada ahli-ahli kemasyarakatan dewasa ini, yang
mencari tujuan-tujuan, dasar ethik dan asas-asas yang kekal
dari pengawasan sosial serta keadilan.7
Satjipto Rahardjo mengemukakan pendapatnya bahwa
filsafat hukum itu mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan
8
Satjipto Rahardjo, 1982, Ilmu Hukum, PT. Alumni, Bandung, hal. 321
9 Uli Rasyidi, 1988, Filsafat Hukum, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, hal. 2
Filsafat Hukum | 13
II
FILSAFAT HUKUM SUATU
PENGANTAR
10
Amsal Bakhtiar, 2010, Filsafat Ilmu, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 4-5.
11 Abuddin Nata, 2005, Filsafat Pendidikan Islam, Gaya Media Pratama,
Jakarta, hal. 1.
Filsafat Hukum | 15
atau hikmah, berarti filsafat adalah cinta terhadap ilmu
atau hikmah. Secara termenologi filsafat adalah suatu
kegiatan atau aktifitas yang menempatkan pengetahuan
atau kebijaksanaan sebagai sasaran utamanya.12
Filsafat yang akrab dengan penyebutan salah satu
ilmu akademis yang mengajak kita untuk berfikir
menurut tata tertib (logika) dengan beban (tidak terikat
pada tradisi dogma dan agama) dan sedalam-dalamnya
hingga sampai pada dasar-dasar persoalan. Inalah yang
kemudian melahirkan polemik dikalangan filosuf muslim,
seperti yang dikatakan oleh Al-Ghazali bahwa metode
berfikir dunia filosuf penuh dengan kerancuan,
kerancuan pada masalah ketuhanan dan kosmologi.13
Dalam catatan Frank Griffel al-Ghazali menjelaskan
inkoherensi para filosuf sebagai "bantahan" (Rodd) dari
gerakan filosofis “al-gazali describes the incoherence of
the philosophers as a “ refutation” (rodd) of the
philosophical movement “.14
Mengamati karya-karya besar filsuf, seperti
aristoteles (384-322 SM) dan Imanuel Kant (1724-1804),
12 Ibid. , hal. 5.
13 Al-Ghazali,1986, Tahafut al-Falasifah, Pustaka Panjimas, Jakarta, hal. 65.
14 Frank Griffel, 2009, Al-Gazali’s Philosophycal Theology, Oxford University
15 Zainal Abidin. 2011. Pengantar Filsafat Barat. Rajawali Pers, Jakarta, hal. 24
Filsafat Hukum | 17
hukum, filsafat pendidikan, filsafat bahasa, dan lain
sebagainya.16
Filsafat Hukum | 19
bahasa, adat, susunan kenegaraan. Artinya hukum
merupakan ilmu sosial, kedudukan ilmu hukum sama
seperti ilmu sosial lainnya.
Ilmu hukum dan filsafat hukum adalah hasil dari
kegiatan intelektual (akal budi) manusia yang berpikir
dan merasa. Karena merupakan suatu disiplin
intelektual maka ilmu dan filsafat memerlukan
keteraturan. Keteraturan ilmu hukum dapat diwujudkan
dengan konsep yaitu ontologi atau hakikat, aksiologi
atau manfaat, epistemologi atau cara / metode dan,
sistematisasi, Filsafat hukum dan ilmu hukum adalah
hasil usaha manusia atau bias juga disebut dengan
kebudayaan yang dapat dimasukkan ke dalam wujud
yang abstrak berupa ide-ide atau gagasan-gagasan,
namun bisa juga dimasukkan ke dalam wujud karya.
Filsafat dan ilmu adalah pengetahuan yang merupakan
sejumlah informasi tentang sesuatu hal dan merupakan
suatu proses mental yang terdapat dalam diri manusia
berupa rasa ingin tahu. Adanya manusia didasarkan
pada rasa ingin tahu.21
Filsafat Hukum | 21
Menurut Lili Rasjidi, dalam pengkajian
kepustakaan mengenai filsafat hukum, akan ditemukan
berbagai definisi, perumusan atau uraian yang
22
diutarakan oleh para penulisnya. Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam bukunya
Rasjidi merumuskan bahwa filsafat hukum merupakan
perenungan dan perumusan nilai-nilai, dan penyerasian
nilai-nilai. 23 Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa
filsafat itu mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang
bersifat dasar dari hukum. Menurut Gustav Radbruch,
filsafat hukum adalah cabang dari filsafat yang
mempelajari hukum yang benar. Sedangkan menurut
Langemeyer, filsafat hukum adalah pembahasan secara
filosofis tentang hukum.24
Van Apeldorn, E. Utrecht dan Pudjosewojo tidak
mengetengahkan definisi atau perumusan, tetapi
mereka menjelaskan arti filsafat hukum dengan suatu
uraian. Menurut Van Apeldorn dalam bukunya Lili
Rasjidi, filsafat hukum menghendaki jawaban atas
25
pertanyaan apakah hukum. E. Utrecht (1966)
22 Lili Rasjidi, 2002, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal. 1.
23 Lock.cit
24 Lock.cit
25 Ibid., hal. 2.
26
Ibid., hal. 3
27 Harry Hamersma, 1990, Filsafat Eksistensi Karl Jaspers, PT. Gramedia,
Jakarta, hal.13
Filsafat Hukum | 23
diajukan oleh ilmu (yang khusus) itu mungkin juga tidak
akan pernah terjawab oleh filsafat. 28 Pernyataan itu
mendapat dukungan dari Magnis-Suseno menegaskan
jawaban-jawaban filsafat itu memang tidak pernah
abadi. 29 Kerena itu filsafat tidak pernah sampai pada
akhir sebuah masalah hal ini disebabkan masalah-
masalah filsafat adalah masalah manusia sebagai
manusia, dan karena manusia di satu pihak tetap
manusia, tetapi di lain pihak berkembang dan berubah,
masalah-masalah baru filsafat adalah masalah-masalah
lama manusia.30
Filsafat hukum secara sederhana dapat dikatakan
sebagai cabang filsafat, yang pada dasarnya
31
mempelajari tentang hakikat hukum. Dalam
pemahaman lain dapat juga dikatakan bahwa filsafat
hukum merupakan suatu disiplin keilmuan yang
berusaha mengkaji hukum sebagai objek secara
mendasar dengan sistematis dan metode yang rasional.
Filsafat hukum mempelajari tentang dasar-dasar/azas-
28 Ibid., hal. 20
29 Frans Magnis Suseno, 1992, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Kanisius,
Yogyakarta, hal. 20
30 Ibid., hal. 20
31 Zainal Abidin, dan Afoduf, 1994, Pengantar Ilmu Hukum. UII Press,
Yogyakana, hal. l2.
32 Loc cit
33 Arief Sidharta, 2007, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu
Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, hal.
1.
34
Darji Darmodiharjo dan Arief Sidharta, 1995, Pokok-pokok Filsafat Hukum
Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, hal 10-11.
Filsafat Hukum | 25
ilmu hukum, tetapi jawaban yang diberikan ternyata
35
serba tidak memuaskan. Menurut Apeldorn, hal
tersebut tidak lain karena ilmu hukum hanya
memberikan jawaban yang sepihak. Ilmu hukum hanya
melihat gejala-gejala hukum sebagaimana dapat diamati
oleh pancaindra manusia mengenai perbuatan-
perbuatan manusia dan kebiasaan-kebiasaan
masyarakat. Sementara itu pertimbangan nilai di balik
gejala-gejala hukum, luput dari pengamatan ilmu
hukum. Norma atau kaidah hukum, tidak termasuk
dalam dunia kenyataan (sein), tetapi berada pada dunia
nilai (sollen), sehingga norma hukum bukan dunia
penyelidikan ilmu hukum.
Filsafat hukum dapat disebut juga sebagai filsafat
tingkah laku atau nilai-nilai etika, yang mempelajari
hakikat hukum. Filsafat hukum ialah merupakan ilmu
yang mengkaji tentang hukum secara mendalam sampa
kepada inti atau dasarnya yang disebut dengan
hakikat.36 Seorang filsuf hukum pasti akan mencari apa
inti atau hakikat daripada hukum, ingin mengetahui apa
Filsafat Hukum | 27
ini, menemukan hakikatnya, dan menerbitkan serta
mengatur semuanya itu di dalam bentuk yang
sistematis. Katanya lebih lanjut, filsafat membawa kita
pada pemahaman dan pemahaman membawa kita
kepada tindakan yang lebih layak.38
Filsafat dapat kita jadikan sebagai pisau analisis
dalam menganalisa suatu masalah dan menyususn
secara sistematis suatu sudut pandang ataupun
beberapa sudut pandang, yang kemudian dapat menjadi
dasar untuk melakukan suatu tindakan. Sedangkan
hukum sendiri, menurut seorang ahli hukum Indonesia
Wirjono Prodjodikoro, adalah rangkaian peraturan
mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota
suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari
hokum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan
tata tertib dalam masyarakat itu.39
Kemudian, Notohamidjojo berpendapat, bahwa
hokum adalah keseluruhan peraturan yang tertulis dan
tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk
kelakuan manusia dalam masyarakat Negara serta
hal. 9
40
O Notohamidjojo, 1975, Soal-soal Pokok Filsafat Hukum, Gunung Mulia,
Jakarta, hal. 21.
41 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op cit., hal. 13.
Filsafat Hukum | 29
sosial yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan
satu sama lain.
Ilmu berkembang dengan pesat seiring dengan
penambahan jumlah cabang-cabangnya. Hasrat untuk
menspesialisasikan diri pada satu bidang telaah yang
memungkinkan analisis yang makin cermat dan
seksama menyebabkan objek forma dari disiplin
keilmuan menjadi kian terbatas. Pada dasarnya cabang-
cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang
utama yakni filsafat alam yang kemudian menjadi dasar
ilmu-ilmu alam atau the natural sciences dan filsafat
moral yang kemudian berkembang ke dalam cabang
ilmu-ilmu sosial atau the social sciences42
Ilmu sosial juga memiliki cabang-cabang ilmu
lainnya diantaranya antropologi (mempelajari manusia
dalam perspektif waktu dan tempat), psikologi
(mempelajari proses mental dan kelakuan manusia)
ekonomi (mempelajari manusia dalam memenuhi
kebutuhan kehidupannya lewat proses pertukaran),
hukum (mempelajari norma) sosiologi (mempelajari
struktur organisasi sosial manusia) dan ilmu politik
Filsafat Hukum | 31
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Filsafat
hukum merupakan cabang filsafat, yakni filsafat tingkah
laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum.
Dengan perkataan lain filsafat hukum adalah ilmu yang
mempelajari hukum secara filosofis, jadi objek filsafat
hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara
mendalam sampai pada inti atau dasarnya, yang disebut
dengan hakikat.
Filsafat hukum adalah cabang filsafat yang
membicarakan apa hakekat hukum itu, apa tujuannya,
mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk
kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan
masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat
hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai
hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah
keabsahan berbagai macam lembaga hukum.44
Kajian tentang filsafat hukum merupakan studi
yang sifatnya mendasar dan komprehensif dalam ilmu
hukum. Hal ini karena filsafat hukum merupakan
landasan bagi hukum positif yang berlaku di suatu
negara, demikian halnya dalam pengaturan HAM.
44 Lili Rasjidi, 1990, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal. 5.
Filsafat Hukum | 33
mengingat pertanyaan-pertanyaan yang dibahas berada
di luar jangkauan “ilmu biasa”.
Filsafat hukum adalah cabang filsafat yang
membicarakan apa hakekat hukum itu, apa tujuannya,
mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk
kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan
masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat
hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai
hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah
keabsahan berbagai macam lembaga hukum. Kajian
tentang filsafat hukum merupakan studi yang sifatnya
mendasar dan komprehensif dalam ilmu hukum.
Filsafat hukum mempelajari hukum secara
spekulatif dan kritis artinya filsafat hukum berusaha
untuk memeriksa nilai dari pernyataan-pernyataan yang
dapat dikatagorikan sebagai hukum secara spekulatif
dan secara kristis. Secara spekulatif, filsafat hukum
terjadi dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan
mengenai hakekat hukum. Sedangkan secara kritis,
filsafat hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-
gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat
koherensi, korespondensi dan fungsinya.
Filsafat Hukum | 35
manusia dalam kehidupan masyarakat, sehingga dapat
dikatakan bahwa berakhirnya ilmu pengetahuan hukum
maka lahirlah filsafat hukum untuk memberikan jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab oleh
ilmu pengetahuan hukum.
47 I Gusti Bagus Rai Utama, 2013, Filsafat Ilmu Dan Logika, Universitas
Dhyana Pura, Badung, hal. 4
48 Amsal Bakhtiar, 2012, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada,
28.
50 Idzam Fautanu, 2012, Filsafat Ilmu; Teori dan Aplikasi, Referensi, Jakarta,
hal. 96.
Filsafat Hukum | 37
sama, kondisi yang cenderung sama, sudah seharunya
diperlakukan hal yang sama.
Begitupula ada seorang pengendara Honda 70
yang bertubrukan dengan ibu-ibu yang memang salah
meemberikan isyarat sein belok kanan, ternyata belok
nya kekiri. Dalam hal ini, kasus ditangani polisi, namun
karena pengendara telah bermaafaan dan si Ibu juga
mengakui kesalahannya, maka Polisi melepaskan
perkara tersebut untuk tidak dipersidangkan. Inilah yang
disebut sebagai kebenaran melalui kemanfaatan hukum,
dimana hukum bukan hanya permasalahan menghukum
yang salah, dan memenangkan yang benar, namun
lebih dari itu yaitu menyelesaikan masalah.
Pengendara Honda 70 berfikir, begitupula seorang
kuli bangunan yang mengendarai motor dan ditilang ia
juga berfikir, lalu siapakah yang menemukan kebenaran.
Pernyataan Descartes, “aku berpikir maka aku ada,”
jelas menggambarkan kebenaran yang sangat diyakini
oleh para pemikir rasionalis ini.51 Seorang kuli bangunan
yang mengendarai motor dan ditilang bisa saja berfikir
52 Ibid., hal. 19
Filsafat Hukum | 39
kegiatan filosofis. Roscoe Pound menyatakan, bahwa
ahli filsafat berupaya untuk memecahkan persoalan
tentang gagasan untuk menciptakan suatu hukum yang
sempurna yang harus berdiri teguh selama-lamanya,
kemudian membuktikan kepada umat manusia bahwa
hukum yang telah selesai ditetapkan, kekuasaannya
tidak dipersoalkan lagi. Suatu usaha untuk melakukan
pemecahan menggunakan sistem hukum yang berlaku
pada masa dan tempat tertentu, dengan menggunakan
abstraksi terhadap bahan-bahan hukum yang lebih
tinggi.53
Filsafat adalah identik dengan realitas-realitas
dinamis yang akan mati dan akan hidup. Filsafat adalah
inovasi manusia yang akan tercipta ketika lokalitasnya
memungkinkan dan akan musnah ketika lokalitas ini
berubah dan posisinya ditempati oleh lokalitas lain yang
diametral di mana realitas hidup yang masih bayi tidak
kuat melawan dan mencapainya sehingga menjamin
konstantasi dan kontinuitas bagi dirinya.54
Filsafat Hukum | 41
sini ada keadilan subjektif, dan keadilan sebagai sifat
atau kualitas hubungan antar manusia (misalnya harga
yang adil). Keadilan subjektif adalah pendirian atau
sikap, pandangan dan keyakinan yang diarahkan
kepada terwujudnya keadilan objektif sebagai keadilan
yang primer. Sementara keadilan subjektif adalah
sekunder. Apa itu keadilan objektif, kurang begitu jelas.
Barangkali dalam pandangan Radbruch, keadilan
objektif itu adalah keadilan dalam hubungan antar
manusia. Keadilan menurut ukuran hukum positif dan
keadilan menurut Cita Hukum (Rechtsidee), atau hukum
positif dan cita hukum adalah sumber keadilan. Inti dari
keadilan adalah kesamaan (Gleichheit). Di sini
Radbruch mengikuti pandangan Aristoteles tentang
keadilan, yaitu keadilan komutatif (misalnya antara
prestasi dan kontraprestasi) dan keadilan distributif (di
bidang privat dan publik. Privat: gaji dibayar sesuai
prestasi kerja, publik: jabatan berdasarkan kualifikasi).57
Gustav Radbruch dalam buku Hyronimus Rhiti
juga mengemukakan bahwa hukum tersusun dari tiga
Filsafat Hukum | 43
masyarakat terjalin sangat erat berdasarkan azas
kekerabatan, selain itu sentimentil dan kepercayaan
yang sama dan mempunyai lingkungan yang relatif
stabil maka penyelenggara keadilan lebih nampak
mudah.
Secara umum Keadilan pada hakikatnya adalah
memperlakukan seseorang atau pihak lain sesuai
dengan haknya. Hak setiap orang adalah diakui dan
diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya,
yang sama derajatnya, yang sama hak dan
kewajibannya, tanpa membedakan suku, keturunan, dan
agamanya. Keadilan secara umum dikatakan sebagai
pengakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban.
Keadilan terletak pada keharmonisan menuntut hak dan
menjalankan kewajiban. Dengan kata lain, keadilan
adalah bila setiap orang memperoleh apa yang menjadi
haknya dan setiap orang memperoleh bagian yang
sama. 60 Menurut Socrates, keadilan tercipta bilamana
warga negara sudah merasakan bahwa pihak
pemerintah sudah melaksanakan tugasnya dengan baik
Sedangkan keadilan menurut Plato, diproyeksikan pada
61 Loc.Cit.
62
Munir Fuady, 2007, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, hal. 92.
63Ibid, hal. 93.
64Ibid, hal. 93.
Filsafat Hukum | 45
manusia, karena Aristoteles berpendapat bahwa, “The
law is the public conscience” (Hukum adalah hati
nurani publik).
Keadilan berkaitan erat dengan pendistribusian
hak dan kewajiban, hak yang bersifat mendasar sebagai
anugerah Ilahi sesuai dengan hak asasinya yaitu hak
yang dimiliki seseorang sejak lahir dan tidak dapat
diganggu gugat. Keadilan merupakan salah satu tujuan
sepanjang peijalanan sejarah filsafat hukum. Keadilan
adalah kehendak yang ajeg, tetap untuk memberikan
kepasa siapapun sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangan masyarakat dan tuntutan jaman.
Keadilan menurut Aristoteles terbagi tiga yakni
keadilan komutatif, keadilan distributif, dan keadilan
hukum (legal justice). Keadilan komutatif adalah suatu
kebijakan untuk memberikan kepada setiap orang
haknya atau sedekat mungkin dengan haknya (to give
each one his due). Mengusahakan keadilan komutatif ini
adalah pekerjaanya para Hakim. Misalnya menjatuhkan
hukuman sesuai dengan kesalahannya atau
memberikan ganti rugi sesuai kerugian yang dideritanya,
sehingga tidak ada orang yang mendapatkan
keuntungan atas penderitaan orang lain, atau tidak ada
Filsafat Hukum | 47
terkandung dalam keadilan komutatif. Dalam hal ini,
bahwa salah satu tujuan negara demi menegakkan
keadilan komutatif maka negara harus bersikap netral
dan memperlakukan semua pihak secara sama tanpa
terkecuali. Sebab hanya dengan prinsip perlakuan yang
sama inilah keadilan komutatif dapat ditegakkan.
Dengan demikian jelas bahwa prinsip yang sama. atau
keadilan legal merupakan konsekuensi logis dari
pelaksanaan prinsip keadilan komutatif.
Prinsip keadilan komutatif dirumuskan dalam
hukum yang mengatur agar tidak boleh ada pihak yang
merugikan hak dan kepentingan pihak lain. Sehingga
boleh dikatakan bahwa hal inilah yang menjadi
pegangan negara untuk menegakkan keadilan komutatif
tersebut. Karena itu, bisa dimengerti bahwa keadilan
komutatif maupun keadilan legal, pada prinsipnya sama-
sama menyangkut jaminan dan penghargaan atas hak
dan kepentingan semua orang dalam interaksi sosial
yang didukung oleh sistem politik melalui hukum positif.
John Rawls mengemukakan mengenai keadilan
yang menurutnya merupakan campuran dari unsur-
unsur keadilan yang disebutkan oleh Aristoteles dan
mengistilahkannya dengan keadilan yang mesti
Filsafat Hukum | 49
menyebut keadilan sebagai kebajikan utama. Lebih dari
itu ia berpendapat bahwa keadilan begitu utamanya
sehingga di dalam keadilan termuat semua kebajikan.
Dengan demikian, keadilan merupakan kebajikan yang
lengkap dalam arti seutuhnya karena keadilan bukanlah
nilai yang harus dimiliki dan berhenti pada taraf
memiliknya bagi diri sendiri. Melainkan keadilan
keadilan juga harus merupakan pelaksanaan aktif,
dalam arti harus diwujudkan dalam relasi dengan orang
lain.68
Kedua, keadilan harus ditegakkan atau
dilaksanakan. Tuntutan ini bermakna bahwa keadilan
menuntut ketidakadilan dihapuskan, sekaligus juga
menuntut keadilan untuk ditegakkan. Dua dimensi
makna ini: positif dan negatif bukan dua hal terpisah,
melainkan satu kesatuan. Umumnya, kesepakatan
bersama mengenai ketidakadilan atau apa yang tidak
adil lebih mudah tercapai, ketimbang menentukan
sebaliknya. Tuntutan keadilan adalah kewajiban
merupakan pengertian modern tentang keadilan.
68 Andre Ata Ujan, 2001, Keadilan dan Demokrasi: Telaah Filsafat Politik
John Rawl , Kanisius, Yogyakarta, hal. 23
69 Ibid. h. 24
Filsafat Hukum | 51
Konsepsi keadilan Rawls dengan dua prinsip
keadilannya bertolak dari konsepsi umum keadilannya.
Oleh karena itu, kita perlu melihat terlebih dahulu
konsepsi umum keadilannya. Rumusan konsepsi
keadilan umum adalah sebagai berikut:
Prinsip Pertama:
Setiap orang mempunyai hak yang sama atas
kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan
yang sama bagi semua orang.
Prinsip Kedua:
Ketimpangan sosial dan ekonomi ditata sedemikian
hingga mereka (a) memberi keuntungan terbesar pada
kelompok yang paling lemah, dan (b) semua posisi dan
jabatan terbuka bagi semua orang dalam kondisi
kesetaraan peluang yang fair .71
Filsafat Hukum | 53
John Rawls menyatakan bahwa keadilan pada
dasarnya merupakan prinsip dari kebijakan rasional
yang diaplikasikan untuk konsepsi jumlah dari
kesejahteraan seluruh kelompok dalam masyarakat.
Untuk mencapai keadilan tersebut, maka rasional jika
seseorang memaksakan pemenuhan keinginannya
sesuai dengan prinsip kegunaan, karena dilakukan
untuk memperbesar keuntungan bersih dari kepuasan
yang diperoleh oleh anggota masyarakatnya.72
Hukum dan keadilan terkadang menjadi dua hal
yang berbeda, namun sekali lagi kita harus berfilsafat
yaitu mengapa manusia membentuk hukum, yaitu agar
tercipta keadilan, namun nyatanya hukum belum tentu
adil, bahkan terkadang hukum jaudh dari keadilan. Pada
buku penulis, bahkan penulis berani mendalilkan
adanya peradilan yang tak kunjung adil. Hal ini karena
hukum-hukumnya dibuat bukan untuk menegakan
keadilan, namun menegakan hukum sebagai wet.
Padahal, keadilan hanya bisa dipahami jika diposisikan
sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum.
Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum
72 John Rawls, 1971, A Theory of Justice, The Belknap Press, Cambridge, hal.
103.
Filsafat Hukum | 55
harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi
manusia yang deliberatif. Undang-Undang yang berisi
aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman
bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik
dalam hubungan dengan sesama individu maupun
dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan
itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani
atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya
aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut
menimbulkan kepastian hukum.75
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung
dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang
bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan
apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua,
berupa keamanan hukum bagi individu dari
kesewenangan pemerintah karena dengan adanya
aturan yang bersifat umum itu individu dapat
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh Negara terhadap individu.76
Filsafat Hukum | 57
Pengertian kepastian tersebut dapat dimaknai
bahwa, ada kejelasan dan ketegasan terhadap
berlakunya hukum di dalam masyarakat. Hal agar tidak
menimbulkan banyak salah tafsir. Menurut Van
Apeldoorn, “kepastian hukum dapat juga berarti hal
yang dapat ditentukan oleh hukum dalam hal-hal yang
konkret”. Kepastian hukum adalah jaminan bahwa
hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum
dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat
dilaksanakan. Kepastian hukum merupakan
perlindungan yustisiable terhadap tindakan sewenang-
wenang yang berarti bahwa seseorang akan dapat
memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan
tertentu. Secara gramatikal kepastian berasal dari kata
pasti yang artinya sudah tetap, mesti dan tentu.
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia,
pengertian kepastian yaitu perihal (keadaan) pasti
(sudah tetap), ketentuan, ketetapan sedangkan
pengertian hukum adalah perangkat hukum suatu
negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban
setiap warga negara, jadi kepastian hukum adalah
ketentuan atau ketetapan yang dibuat oleh perangkat
hukum suatu negara yang mampu memberikan jaminan
Filsafat Hukum | 59
normatif, kepastian hukum itu memerlukan tersediannya
perangkat peraturan perundang-undangan yang secara
operasional maupun mendukung pelaksanaannya.
Secara empiris, keberadaan peraturan
perundangundangan itu perlu dilaksanakan secara
konsisten dan konsekuen oleh sumber daya manusia
pendukungnya”.82
Menurut Fance M. Wantu, kepastian hukum
dirumuskan sebagai berikut:
1. Melakukan solusi autotorif yaitu memberikan jalan
keluar untuk menciptakan stabilitas yakni
memberikan ketertiban dan ketentraman bagi para
pihak dan masyarakat.
2. Efisiensi prosesnya cepat, sederhana, dan biaya
ringan.
3. Sesuai dengan tujuan hukum yaitu Undang-Undang
yang dijadikan dasar dari putusan untuk memberikan
kepastian dalam hukum itu sendiri dan kepastian
karena hukum.
Filsafat Hukum | 61
dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan
(multitafsir) dan logis sehingga menjadi suatu sistem
norma dengan norma lain yang tidak berbenturan atau
menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang
ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk
kontentasi norma, reduksi norma atau distorsi norma.
Kepastian hukum yang sesungguhnya adalah bila
peraturan perundang-undangan dapat dijalankan sesuai
dengan prinsip dan norma hukum. Menurut Bisdan
sigalingging: ”antara kepastian substansi hukum dan
kepastian penegakan hukum seharusnya harus sejalan,
tidak boleh hanya kepastian hukum bergantung pada
law in the books tetapi kepastian hukum yang
sesungguhnya adalah bila kepastian dalam law in the
books tersebut dapat dijalankan sebagaimana mestinya
sesuai dengan prinsip-prinsip dan norma-norma hukum
dalam menegakkan keadilan hukum”.87
Beberapa waktu lalu, tepatnya dibulan Juni 2020
masyarakat Indonesia geger dengan adanya kasus
Kasat Reskrim Polres Lombok Tengah AKP Priyo
Suhartono yang menolak laporan anak yang ingin
88 Setyo Puji, Polisi Tolak Laporan Anak yang Ingin Memenjarakan Ibu
Kandung, Ini Alasannya...",
https://regional.kompas.com/read/2020/06/29/14171601/polisi-tolak-laporan-
anak-yang-ingin-memenjarakan-ibu-kandung-ini-alasannya?page=all.
Filsafat Hukum | 63
keadilan subtansial. Keadilan substansial ini akan
menjamin hak-hak para pihak, serta mengembalikan
harmonisasi sosial di masyarakat. Akhir-akhir ini
penyelesaian perkara pidana menimbulkan k
etidakpuasan dalam masyrakat. Hal ini dikarenakan
penegakan hukum pidana cenderung tidak memberikan
rasa keadilan bagi masyarakat kecil.89
Kasus-kasus remeh seolah menghiasi peradilan
pidana di Indonesia, bukan saja karena masing masing
penegak hukum berparadigma primum remidium, tetapi
juga berparadigama peradilan sebagai keranjang
sampah, artinya biarlah kasus-kasus tersebut diproses,
toh bukan saya (individu) yang akan memutuskan.
Biasanya para penegak hukum seperti Polisi
berargumen, ya ini petunjuk atasan, ini petunjuk jaksa,
sedangkan Jaksapun berargumen demikian biarlah
nanti hakim yang menentukan, pada akhirnya peradilan
hanya menjadi keranjang masalah, naik besar, kecil,
sepele, berat dan kategori lainnya. Hal inilah yang
penulis maksud, bahwa sudah seharusnya peradilan
90 Kurniawan Tri Wibowo, 2020, Hukum dan Keadilan (Peradilan Yang Tidak
Kunjung Adil), Papas Sinar Sinanti, Depok, hal. 216
Filsafat Hukum | 65
dibidang kesehatan. Berdasarkan kasus-kasus yang
penulis himpun sebagai berikut:
1. Nenek Saulina boru Sitorus atau akrab disapa
Ompung Linda divonis kurungan 1 bulan 14 hari oleh
Majelis Hakim PN Balige, Tobasa. Perempuan lansia
92 tahun itu dipenjara hanya gara-gara menebang
pohon durian milik kerabatnya bernama Japaya.
2. Kasus Nenek Minah terjadi di Dusun Sidoharjo, Desa
Darmakradenan Kecamatan Ajibarang, Kabupaten
Banyumas. Ia dihukum karena mencuri tiga buah
Kakao milik PT Rumpun Sari Intan (RSA). Kejadian
itu bermula saat Minah sedang memanen kedelai di
lahan garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa
Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas,
Jawa Tengah, pada (2/08/2009). Lahan garapan
Minah ini juga dikelola oleh PT RSA untuk menanam
kakao. Gara-gara urusan memetik buah kakao ini
menjadi berbuntut panjang dan bergulir ke meja
hijau. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto
yang dipimpin Muslih Bambang Luqmono
menyatakan Minah terbukti melanggar Pasal 362
KUHP. Ia kemudian disanksi hukuman 1 bulan 15
hari penjara dengan percobaan 3 bulan.
Filsafat Hukum | 67
mencuri 38 papan kayu jati di lahan Perhutani di desa
setempat.91
Filsafat Hukum | 69
mengacu pada pengamatan saat itu dan dengan kajian
suatu penyakit/ masalah yang sama, padahal setiap
manusia memiliki kondisi yang berbeda, bahkan setiap
masa juga memiliki kondisi yang berbeda, lalu apakah
kepastian hukum dalam suatu undang-undang sebagai
suatu resep tadi bisa menjawab permasalahan yang
ada.
Kemanfaatan merupakan tujuan hukum yang
memiliki peranan hukum saat proses ajudikasi dengan
mengenyampingkan keadilan dan kepastian hukum.
Dikatakannya hukum yang baik adalah apabila aplikasi
norma hukum memberikan kemanfaatan yang baik bagi
masyarakat serta menciptakan kesejahteraan bagi
masyarakat lainnya.Untuk itu penegak hukum dapat
implementasikan peraturan perundang-undangan
tentang lingkungan dengan mengutamakan rakyat dan
memerhatikan lingkungan serta komponen lain sebaik
mungkin.95
Memahami makna kemanfaatan hukum dan fungsi
hukum pada dasarnya merupakan pengkajian tentang
96
Sri Mulyani, Rekonstruksi Pemikiran Yuridis Integral Dalam Pembaharuan
Sistem Hukum Jaminan Fidusia Berpilar Pancasila, Jurnal Hukum Dan
Dinamika Masyarakat Vol.7 No.2 April 2010, hal. 120
Filsafat Hukum | 71
III
KEADILAN DALAM
PERSPEKTIF FILSUF REALIS
Filsafat Hukum | 73
apa yang merupakan hukum yang tepat, kini dan di
sini.97
Teori dari para pemikir Realisme Amerika itu, bisa
juga digolongkan sebagai salah satu versi teori di
bidang penerapan hukum. Dari apa yang dikatakan oleh
Holmes dan Frank di atas, tampak sekali teorisasi yang
memperlihatkan bahwa pada saat diterapkan, hukum
kembali memasuki wilayah das rein, dan tidak lagi
kukuh berdiri dalam singgasana das sollen. Kendali,
tidak lagi sepenuhnya dipegang oleh teks pasal-pasal,
tetapi juga sudah berada di tangan aparat
pelaksananya. Teks pasal-pasal harus ditransformasi ke
alam living interpretation yang kaya nuansa. Iaharus
menghadapi dunia "kenyataan yang utuh", dan itu
berarti faktor aparat (hakim) menjadi sangat
menentukan.98
Peran inti yang diberikan pada aparat (dalam teori
Holmes). secara langsung menohok inti doktrin
legalisme. Legalisme adalah cara berpikir yang
mendasarkan diri pada aturan, prinsip, atau norma
97 Bernart L Tanya dkk, 2007, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi), CV. Kita, Surabaya, hal. 193
98 Ibid., hal. 197.
Filsafat Hukum | 75
epikeia Aristoteles, ataupun equity-nya Plato yang,
fungsinya menjembatani gap antara kepastian dan
keadilan, dianggap haram dalam legalisme. Kebekuan
inilah yang diterobos oleh Holmes dan Frank.
99 Ibid.
Filsafat Hukum | 77
Aturan-aturan hukum, di mata Holmes, hanya
menjadi salah satu faktor yang patut dipertimbangkan
dalam keputusan yang berbobot. Faktor moral, soal
kemanfaatan, dan keutamaan kepentingan sosial
misalnya, menjadi faktor yang tidak kalah penting dalam
mengambil keputusan yang berisi. Jadi bukan sebuah
pantangan, jika demi putusan yang fungsional dan
kontekstual, aturan resmi terpaksa disingkirkan (lebih-
lebih jika menggunakan aturan itu justru berakibat
buruk). Holmes menjadi hakim yang monumental dan
seminal, justru karena pendirian moralnya itu. Ia menjadi
monumen dari a creative lawyer: in accordance with
justice and equity. Dengan kapasitas seperti ini. para
hakim memiliki kompetensi merubah UU, bila hal itu
perlu.101
Mengikuti jejak Holmes, Jerome Frank memiliki
pandangan yang sama. Menurutnya, kebenaran tidak
bisa disamakan dengan suatu aturan hukum. Boleh raja
aturan mengandaikan putusanputusan hakim dapat
diturunkan secara otomatis sesuai aturan. Juga boleh
saja mengandaikan bahwa isi aturan selalu benar dan
baik, sehingga otomatis menjamin kepastian,
101 Ibid.
Filsafat Hukum | 79
para hakim tetap terikat pada kepentingan umum
sebagai inti keadilan.
Misi suci mewujudkan kepentingan umum sebagai
tugas utama hakim, didukung oleh Roscoe Pound.
Menurut Pound, hukum sebagai suatu unsur dalam
hidup masyarakat, hams memajukan kepentingan
umum. Di mata Pound, dalam rangka mewujudkan
kepentingan umum itu, hukum harus difungsingkan
sebagai sebuah teknik sosial' (social engineering).
Hukum itu, hares didayagunakan menggerakkan
kemajuan untuk memajukan kepentingan umum dengan
cara memadukan secara proporsional kebutuhan sosial
dan kebutuhan individu. Untuk mengawal kemajuan
dalam paduan yang haiinoni itu, maka hukum harus
dibekali dengan kekuatan paksa. Fungsi sosial control
dari hukum, terletak di sini. Jadi fungsi kontrol
merupakan pendukung fungsi perubahan yang diemban
oleh hukum.102
Sebagai eksponen Realisme Hukum mazhab
Skandinavia. Ross menempatkan hukum dalam
kerangka fisio-psikis. Menurut Ross semua gejala yang
muncul dalam pengalaman tentang hukum hams di
Filsafat Hukum | 81
Kiranya jelas, lewat teori tentang 'rasa wajib' ini,
Ross secara langsung maupun tidak, sudah menggugat
Kelsen. Seperti diketahui, bagi Kelsen yang neo-
Kantian, keharusan yuridis adalah suatu ketegori yang
sama sekali lepas dari realitas sosial. Dunia Sollen
(seharusnya), terpisah dari dunia Sein (realitas). Karena
pemisahan ini, Kelsen mau tidak mau harus mencari
suatu norma dasar (Grundnorm) untuk mendasari sifat
wajib sebuah norma hukum. Ross menolak keterpilahan
seperti itu. Ia menolak teori Kelsen tentang keterpilahan
norma hukum dari realitas sosial. Sifat wajib dan hukum
(sebagai dasar keberlakuannya), bukan bertakhta di
dunia sana', di alam antah-berantah grundnorm. Yang
benar adalah, is berada dalam kancah realitas sosial,
yakni pengalaman akan 'rasa wajib'.
Menurut Ross, timbulnya hukum sebagai aturan
yang bersifat wajib, dapat diterangkan menurut empat
tahap: (i). Tahap pertama ialah, adanya paksaan aktual.
Situasi masyarakat diatur melalui paksaan. Masyarakat
semacam ini disebut oleh Ross sebagai suatu sistem
aktual paksaan (an actual system of compulsion). (ii).
Tahap yang kedua dirnulai, bila orang-orang mulai takut
akan paksaan. Karena rasa takut ini, anggota-anggota
Filsafat Hukum | 83
hukum konvensional yang mengandalkan doktrin-
legalistik, tidak compatible untuk menjelaskan sifat wajib
dari hukum.
Dikatakan Ross, ilmu `akal praktis' tersebut,
sebenarnya bukan ilmu dalam arti yang sebenarnya.
Bagi suatu ilmu yang sungguh-sunguh, selalu telah ada
lapangan penyelidikan, sehin, terdapat juga kenyataan-
kenyataan yang dicari kebenarannya, tetapi untuk ilmu-
ilmu akal praktis seperti rechtsdogmatiek, tidak terdapat
bahan penyelidikan, sebab norma-norma hukum
ditentukan oleh para ilmuwan sendiri. Tidak dapat
dipastikan dari mana kebenarannya. Bmuwan-ilmuwan
yang telah menyusun suatu sistem ilmiah berdasarkan
akal praktis, hanya sampai pada bayang-bayang
spekulasi saja. Jika gugatan Ross terhadap ilmu hukum
tertuju pada ketiadaan lapangan penyelidikan, maka
Julius Stone menggugat soal ketiadaan metode (ilmiah)
dalam ilmu hukum. Menurut Stone, ilmu hukum tidak
mempunyai metoda penyelidikan sendiri. Oleh karena
itu hukum yang berlaku, yang terdiri dari perintah-
perintah, ideal-ideal, dan teknik-teknik tertentu, hams
dipelajari dalam terang pengetahuan yang berasal dan
Filsafat Hukum | 85
3. Masyarakat selalu berubah-ubah dan perubahan
lebih cepat dari hukum
4. Pemisahan anatara in dan out
5. Konsep pemikiran hukum yang lama sudah tidak
sesuai lagi, Prinsip-prinsip hukum dan ketentuan
hukum disesuaikan dengan kenyataan yang ada di
masyarakat.
6. Membuat suatu pedoman terhadap praktek-praktek
masa lalu untuk dapat menjadi pedoman dalam
menghadapi kasus yang sedang berjalan dimasa
sekarang
105 Munir Fuady, 2007, Dinamika Teori Hukum , Cetakan Pertama, Penerbit:
Ghalia Indonesia, Bogor, hal. 140-141.
Filsafat Hukum | 87
para pencari keadilan atau tercapainya kepastian,
kemanfaatan dan keadilan sesuai dengan tujuan hukum
itu sendiri.
106
Soehino, 2001, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, hal. 16
107 H. Rapar, 1993, Filsafat Politik Aristoteles, Penerbit Raja Grafindo Persada,
Jakrata, hal. 56.
Filsafat Hukum | 89
dengan hukum ini, seringkali dipraktekan juga oleh
negara kita. Ada banyak fakta telah membuktikannya.
Hukum yang berlaku sering kali tidak dihargai. Hukum
dijadikan oleh pihak-pihak tertentu sebagai sarana
kekuasaan dalam mengejar kepentingan-kepentingan
kelompok atau pribadi. Zaman Orde Baru hendak
menjadi contoh bagi kita, dimana hukum di Negeri ini
tergantung dari orang-orang tertentu. Di zaman kita ini
pun ada banyak kelompok orang atau kita sendiri yang
menafsirkan hukum secara berbeda- beda. Ada yang
bertindak atas dasar hukum. Ada yang membenarkan
diri atas dasar hukum. Ada pula yang mengejar tujuan
pribadi dengan menggunakan hukum sebagai sarana
pencapaian tujuannya.
Nilai-nilai atau pandangan Plato pada dasarnya
adalah pandangan tentang kebajikan sebagai dasar
negara ideal, ajaran Socrates kebajikan pengetahuan
adalah diterima secara taken for granted, jadi penulis
melihat bahwa pemikiran Plato nilai- nilai
orisionalitasnya dipertannyakan, penulis berani
mengatakan bahwa pemikiran Plato tidak ada, tapi yang
ada adalah kelanjutan pemikiran Socrates saja yang
ditulis dan dilanjutkan oleh Plato, artinya Plato hanya
Filsafat Hukum | 91
akibat hubungan timbal balik dan rasa saling
membutuhkan antar sesama manusia.
Plato berangapan munculnya negara karena
adanya hubungan timbal balik dan rasa saling
membutuhkan antara sesama manusia, manusia juga
dianugerahi bakat dan kemampuan yang tidak sama,
pembagian kerja-kerja sosial muncul akibat adanya
perbedaan alami, masing-masing memiliki bakat
alamiah yang berbeda, perbedaan bakat dan
kemampuan justru baik bagi kehidupan masyarakat,
karena menciptakan saling ketergantungan, setiap
manusia tentu tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya
secara subsistensi, yang untuk memenuhi kebutuhan
tersebut membutuhkan orang lain, negara dalam hal ini
berkewajiban memperhatikan pertukaran timbal balik,
dan berusaha agar kebutuhan masyarakat terpenuhi.
Kematian Socrates sangat mempengaruhi
pandangan Plato tentang negara. Socrates dihukum
mati di Athena, yang menggunakan sistem
108
pemerintahan demokratis. Kematian tersebut
108 Betran Russel, History of Western Philosophy and its Connection with
Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present
Day, terjemahan Sigit Jatmiko, Agung Prihantoro, Imam Muttaqien, Imam
Baihaqi, Muhammad Shodiq (Penj.. Sejarah Filsafat Barat: Kaitanya dengan
Filsafat Hukum | 93
undang Sparta, yang agaknya dimaksudkan untuk
mengimbangi kekuasaan raja.
Plato begitu kagum dengan Sparta karena
stabilitas negara tersebut. Sparta telah menjadi ideal
bagi Plato karena selama periode yang panjang bangsa
tersebut telah berhasil mencapai tujuan utamanya, yakni
terciptanya suatu ras yang terdiri dari para serdadu yang
111
tak tertaklukkan . Plato pun, akhirnya,
mengidealisasikan secara filosofis atas negara Sparta
dalam karyanya “Republic”. 112
Kebesaran Lycurgus,
yang bijak dan gagah perkasa dalam perang, menjadi
sosok perpaduan raja-filsuf.
Negara ideal menurut Plato juga didasarkan pada
prinsip-prinsip larangan atas kepemilikan pribadi, baik
dalam bentuk uang atau harta, keluarga, anak dan istri
inilah yang disebut nihilism. Dengan adanya hak atas
kepemilikan menurut filsuf ini akan tercipta
kecemburuan dan kesenjangan sosial yang
menyebabkan semua orang untuk menumpuk
kekayaannya , yang mengakibatkan kompetisi yang
tidak sehat. Anak yang baru lahir tidak boleh dikasuh
113 Theo Huijbers, 2007, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Kanisius.
Yogyakarta, hal. 23
Filsafat Hukum | 95
anak-anak dikelola oleh negara. Anak-anak pertama-
tama kudu memperoleh latihan fisik yang menyeluruh,
tetapi segi musik, matematika dan lain-lain disiplin
akademi tidak boleh diabaikan. Pada beberapa tahap,
ujian ekstensif harus diadakan. Mereka yang kurang
maju harus diaalurkan untuk ikut serta terlibat dalam
kegiatan ekonomi masyarakat, sedangkan orang-orang
yang maju harus terus melanjutkan dan menerima
gemblengan latihan. Penambahan pendidikan ini harus
termasuk bukan cuma pada mata pelajaran akademi
biasa, tetapi juga mendalami filosofi yang oleh Plato
dimaksud menelaah doktrin bentuk ideal faham
metafisikanya.
Pada usia tiga puluh lima tahun, orang-orang ini
yang memang sudah betul-betul meyakinkan mampu
menunjukkan penguasaannya di bidang teori-teori
dasar, harus menjalani lagi tambahan latihan selama
lima belas tahun, yang mesti termasuk bekerja mencari
pengalaman praktek. Hanya orang-orang yang mampu
memperlihatkan bahwa mereka bisa merealisir dalam
bentuk kerja nyata dari buku-buku yang dipelajarinya
dapat digolongkan kedalam "kelas guardian." Lebih dari
itu, hanya orang-orang yang dengan jelas bisa.
Filsafat Hukum | 97
Dalam konteks doktrin ide Plato, ide keadilan bisa
ditunjukkan dalam kaitannya dengan ide tentang polis,
karena perenungan gagasan tentang polis ini
menghasilkan sebuah citra di mana hukum dan
perundangan nyaris tidak memainkan peran sama
sekali. Pemikiran Plato tentang polis sangat dicirikan
116
dengan kekuasaan filsuf-raja. Lebih lanjut untuk
mengefektifkan kelembagaan kenegaraan, Plato
membagi penduduk dalam tiga golongan:
1. Golongan Bawah, yaitu golongan rakyat jelata, yang
merupakan petani, tukang dan saudagar. Kerja
mereka adalah menghasilkan keperluan sehari-hari
bagi ketiga golongan. Mereka merupakan dasar
ekonomi bagi masyarakat. Karena mereka
menghasilkan mereka tidak boleh ikut serta dalam
pemerintahan. Seabagai golongan ayang berusaha
mereka boleh mempunyai hak milih dan harta boleh
berumah tangga sendiri.
2. Golongan tengah, yaitu penjaga atau pembantu
dalam urusan negara. Tugas mereka adalah
Filsafat Hukum | 99
idea kebaikan. Mereka harus menyempurnakan budi
yang tepat bagi golongan mereka yaitu budi
kebijaksanaan.117
Dalam negara yang ideal golongan pengusaha
menghasilkan tetapi tidak memerintah. Golongan
penjaga melindungi tapi tidak memerintah. Golongan
cerdik pandai di beri makan dan dilindungi dan mereka
memerintah. Ketiga macam budi yang dimiliki masing-
masing golongan yaitu bijaksana berani dan menguasai
diri dapat menyelenggarakan dengan kerja sama budi
keempat bagi masyarakat yaitu keadilan.
Ketika Plato menulis dialog yang dikenal berjudul
politeia, atau “konstitusi” (bukan republik), 118 dia yakin
bahwa ini merupakan problema yang sangat sulit,
namun bukan berarti tidak dapat dipecahkan. Plato
yakin solusinya ialah bahwa filsuf mesti menjadi
penguasa atau filsuf penguasa, atau orang-orang yang
mengupayakan kearifan melalui pemahaman sejati
mengenai gagasan. Dia yakin bahwa jika kebetulan
seseorang yang memiliki kekuasaan tak terbatas dalam
119
Ibid., hal. 20
120 Ibid., hal. 20
121 Hadiwijono, Op cit., hal. 43
124 Rusli, M. & Ridjal Fauzi (Ed.). 1992, Dinamika Ekonomi dan Iptek dalam
Pembangunan. Tiara Wacana, Yogyakarta, hal. 104
125 Franz Magnis Susesno, 2005, Pijar-Pijar Filsafat : Dari Gotholoco ke
128 Deliar Noer, 1982, Pemikiran Politik di Negeri Barat, CV Rajawali Press,
Jakarta, hal. 63-65
129 Soehino, Op cit., hal. 74.
130 Ali Maksum. 2010. Pengantar Filsafat. Ar-Ruzz Media. Jogjakarta, hal. 114.
131 Soehino, Op cit., hal. 71
135 Ahmad Tafsir. 2007, Filsafat Umum.Remala Rosdakarya. Bandung, hal. 126
138 Anne Murphy, 2001, Thomas More Tokoh Seri Pemikir Kristen. (terj). P.
Hardono Hadi. Kanisius. Yogyakarta. hal. 35.
139 Abdul Ghofur Anshori, 2006, Filsafat Hukum, Sejarah, Aliran Dan
Pemaknaan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal.16
140 Ibid., hal. 17
155 M. Harun Nasution, 1983, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Bulan
Bintang, Jakarta, hal. 45
156 M.M. Syarif. 1996, The Philosophies: History of Muslim Philosophy, terj.:
158
Ibid., hal. 203
159 M. Harun Nasution, Op cit., hal. 47
160 M.M. Syarif, Op cit., hal. 202
164 Ibid.
165 Ibid., hal. 207
166
Fuad Mahbub Siraj, 2012, Ibnu Rusyd Cahaya Islam di Barat. Dian Rakyat,
Jakarta, hal. 84
167 Ibid., hal. 85
B. Filsuf Al Ghazali
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Ahmad al-Ghazali ath-Thusi, populer dengan panggilan
al-Ghazali, lahir di kota Thus, Khurasan dekat Nisabur,
tahun 450 / 1058 M, 170 dari seorang ayah yang wara’
dalam kehidupan beragamanya, mencintai ilmu dan
ulama’ serta gemar menghadiri majlis keilmuan, untuk
menghidupi keluarganya ayah al-Ghazali bekerja
sebagai pemintal benang dan menjualnya di Thus,
karena pekerjaan ini ia dikenal dengan panggilan al-
Ghazali.171
172 Victor Said Basil, 1990, Manhaj al-Bahsi an al-Ma’rifa Inda al-Ghazali,
terjemahan Ahmadi Thaha, Pustaka Panji Mas, Jakarta, hal. 7.
173
Dewan Redaksi, 1994, Ensklopedi Islam, Juz 2, Ichtiar Van Hoeve, Jakarta,
hal. 25.
174 Victor Said Basil, Op.cit, hal. 8.
175 http://kbbi.web.id/adil. Mengacu pada KBBI Daring (Dalam Jaringan) Edisi III
Hak Cipta Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud,
176 Syamsuri, 2007, Pendidikan Agama Islam, Erlangga, Jakarta, hal.100
177 Kahar Masyhur, 1985, Membina Moral dan Akhlak, Kalam Mulia, Jakarta, hal.
71.
“…. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan”. (QS Al-Ma’idah [5]: 8).
LITERATUR
Abidin, Zainal. 2011. Pengantar Filsafat Barat. Rajawali
Pers. Jakarta.
Abidin, Zainal dan Afoduf. 1994. Pengantar Ilmu Hukum.
UII Press. Yogyakana.
Ahmad al-Syarbashi. al-Ghazâli wa al-Tasawuf al-Islâmi.
Dar al-Hilal. t.k.. t.t..
Ajaj al-Khathib, Muhammad. 2007. Ushul al-
Alhadits.Penerjm. H.M.Qodirun Nur dan
AhmadMusyafiq. Pokok-pokok Ilmu Hadits. Gaya
Media Pratama. Jakarta.
Al-Ghazali.1986. Tahafut al-Falasifah. Pustaka Panjimas.
Jakarta.
al-Syarbashi. al-Ghazâli wa al-Tasawuf al-Islâmi. Dar al-
Hilal. t.k.. t.t..
Anshori, Abdul Ghofur. 2006. Filsafat Hukum. Sejarah.
Aliran Dan Pemaknaan. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Apeldoorn, L.J. Van. 1993. Pengantar Ilmu Hukum. terj.
Oetarid Sadino. Pradnya Paramita. Jakarta.