Anda di halaman 1dari 201

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/359648434

Filsafat Hukum

Book · April 2022

CITATIONS READS

0 1,436

1 author:

Kurniawan Tri Wibowo


Universitas 17 Agustus 1945 Semarang
13 PUBLICATIONS 6 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Kurniawan Tri Wibowo on 01 April 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


FILSAFAT HUKUM
(Tinjauan Komparatif Kontemporer Tentang Makna Keadilan)
Copyright © PT Cipta Gadhing Artha, 2021

Penulis:
DR. Kurniawan Tri Wibowo., SH., MH., CPL., CCD dan Wagiman
Martedjo, SH., S.Fil., MH

ISBN: 978 – 623 – 6518 – 51 – 9

Editor:
Yuche Yahya Sukaca

Penyunting dan Penata Letak:


Istiqomah

Desain Sampul:
Papong Design Indonesia

Penerbit:
PT Cipta Gadhing Artha

Redaksi:
Centennial Tower Level 29, Jl. Gatot Subroto No.27, RT.2/RW.2,
Karet Kuningan, Kecamatan Setiabudi, Kota Jakarta Selatan,
Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12950
Web : http://terbit.in
E-mail : pracetak@terbit.in
WhatsApp : +62811354321

Cetakan Pertama, Februari 2021


200 halaman; 14 x 20 cm

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak maupun mengedarkan buku dalam
bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit
maupun penulis

2 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


Kata Pengantar

Manusia bukan hanya wajib untuk berfikir, ia juga wajib


memiliki pengetahuan, karena sejatinya manusia adalah
makhluk yang berakal bahkan perintah Allah Swt pada Nabi
Muhamad yang bertama bukan mendirikan masjid, namun
Iqro. Bacalah, bacalah situasi, bacalah kondisi, bacalah
suatu strategi dan pelajarilah. Berbekal pengetahuan yang
pasti tentang keberadaan dirinya sendiri, Descartes
berharap mampu membangun sebuah dasar yang kokoh
bagi semua bentuk pengetahuan manusia. Baginya
pengetahuan tentang obyek yang berada di luar dirinya
adalah kombinasi antara kesadaran akan keberadaan
dirinya sendiri (res cogitans dan res extensa) dan argumen
bahwa Tuhan itu ada, serta tidak menipunya dengan semua
bentuk pengetahuan yang masuk melalui indera.
Manusia hidup di dunia ini pada hakekatnya
mempunyai keinginan untuk mencari pengetahuan dan
kebenaran. Pengetahuan merupakan hasil proses dari
usaha manusia untuk tahu. Pengetahuan menurut arti
sempit sebuah keputusan yang benar dan pasti. Penganut

Filsafat Hukum | 3
pragmatis, utamanya John Dewey tidak membedakan antara
pengetahuan dan kebenaran (antara knowledge dan truth).
Filsafat hukum mempelajari hukum secara spekulatif
dan kritis artinya filsafat hukum berusaha untuk memeriksa
nilai dari pernyataan-pernyataan yang dapat dikatagorikan
sebagai hukum secara spekulatif dan secara kristis. Secara
spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan pengajuan
pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat hukum.
Sedangkan secara kritis, filsafat hukum berusaha untuk
memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah
ada, melihat koherensi, korespondensi dan fungsinya.
Buku ini merupakan proses perenungan filsafat
mengenai keadilan, apa itu keadilan, bagaimana itu
keadilan, dan bagaimana pandangan para filsuf mengenai
keadilan. Dengan pendekatan campuran dan perbandingan,
kami mencoba menguraikan makna keadilan dalam berbagai
perspektif. Buku ini baik di baca untuk para mahasiswa dan
juga para praktisi yang mau berfikir kritis mengani keadilan.

Jakarta, 15 Januari 2021

Penulis

4 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


Daftar Isi

Kata Pengantar ............................................................. 3


Daftar Isi ....................................................................... 5
Bab I Pendahuluan ...................................................... 8
Bab II Filsafat Hukum Suatu Pengantar ....................... 14
A. Definisi dan Makna Filsafat Hukum.................... 14
B. Kegunaan Filsafat Dalam Ilmu Hukum ............... 23
C. Merenung dan Berfikir Filosofis ......................... 36
D. Filosofi Keadilan, Kepastian Hukum, dan
Kemanfaatan ..................................................... 41
Bab III Keadilan Dalam Perspektif Filsuf Realis ........... 72
A. Buah Pikir Filsuf Realis Amerika ........................ 72
B. Realisme Hukum Skandinavia .......................... 76
C. Persamaan Remikiran Filsuf Realis Amerika
dengan Realisme Hukum Skandinavia ............. 85
D. Perbedaan Remikiran Filsuf Realis Amerika
dengan Realisme Hukum Skandinavia ............. 88
Bab IV Pemikiran Filsuf Yunani .................................... 89
A. Kontemplasi Plato sebagai Filsuf Barat ............ 89
B. Anti Tesis Aristoteles Terhadap Sang Guru ..... 104
C. Persamaan dan Perbedaan Remikiran Filsuf
Plato dengan Filsuf Aristoteles ......................... 107

Filsafat Hukum | 5
Bab V Zaman Abad Pencerahan ................................ 115
A. Pemikiran Niccolo Machiavelli di zaman
Renaissance........................................................ 115
B. Sistem Pemerintahan Yang Ideal : Thomas
Morus .................................................................. 124
C. Persamaan Pemikiran Filsuf Niccolo Machiavelli
dan Thomas Morus.............................................. 130
D. Perbedaan Pemikiran Filsuf Niccolo Machiavelli
dan Thomas Morus.............................................. 130
Bab VI Filosofi Pemikiran Hukum Alam ....................... 132
A. Pandangan Sang Pemuka Gereja Thomas
Aquinas ............................................................. 132
B. Filsuf Hugo de Groot (Grotius) ....................... 141
C. Perbedaan Pemikiran Thomas Aquinas dan
Hugo de Groot (Grotius) .................................. 148
D. Persamaan Pemikiran Thomas Aquinas dan
Hugo de Groot (Grotius) .................................. 152
Bab VII Pemikiran Filosofi Filsuf Islam Tentang
Negara dan Hukum ..................................................... 153
A. Filsafat Al-Jumhuriyah wa al-Ahkam :
Ibnu Rusyd ................................................... 153
B. Filsuf Al Ghazali .......................................... 161

6 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


C. Persamaan Pemikiran Filsuf Ibnu Rusyd
dan Al Ghazali............................................... 165
D. Perbedaan Pemikiran Filsuf Ibnu Rusyd
dan Al Ghazali............................................... 166
Bab VIII Keadilan Dalam Perspektif Islam ..................... 174
Bab IX Penutup ........................................................... 181
Daftar Pustaka .............................................................. 185
Profil Penulis ................................................................ 198

Filsafat Hukum | 7
I
PENDAHULUAN

“Until Either Philosophers Becomes Kings”

(Socrates, kings philosophers,


Josef Kohler, The Modern Legal Philosophy Series,
The Macmillan Company, 1921, hlm. v.)

Filsafat hukum memberikan tinjauan yang kaya dan


beragam mengenai ‘kebenaran’ (atau pembenaran!) teoretis
suatu aturan, sistem hukum, atau praktik berhukum. Menurut
Prof. Larry May, dengan memanfaatkan karya-karya filsuf
klasik (dan tentunya juga karya-karya kontemporer), dapat
memberikan pencerahan bagi siapapun mengenai hubungan
antara hukum dan moralitas. 1 Baginya, memperkenalkan
dasar-dasar filosofi hukum, penting saat menghadapi soal-
soal global, terlebih saat pademi covid-19 seperti dewasa ini.

1 https://www.wiley.com/en-us

8 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


Filsafat hukum kiranya memberi penjelasan mengenai
contoh-contoh konkret bagi evolusi hukum. Evolusi ini juga
berhubungan dengan isu-isu kontemporer seperti teor-teori
feminis, teori teori kritis, post modernisme, serta teori kritis
mengenai ras.
Prof. Mark Greenberg, dari Michael H. Schill Endowed
Chair in Law and Professor of Philosophy, UCLA Law, pada
workshop dan kuliah terbarunya di tahun 2020 lalu mengenai
topik ‘Filsafat Hukum Kontemporer: Ujung yang Tajam’
menyebutkan lima perdebatan penting menyangkut filsafat
2
hukum kontemporer, yaitu: (1) upaya-upaya mengenai
tindakan kriminal. Greenberg pada bagian ini mengkaji
beberapa kasus kejahatan, dimulai dengan meninjau doktrin-
doktrin yang digunakan oleh Pengadilan bagaimana
menangani upaya-upaya yang mustahil. Tak lupa ia juga
mengkritisi teori terbaru dari Gideon Yaffe sebagai hal yang
dicoba ditawarkan untuk memecahkan masalah; (2) dasar
dari tanggung jawab kelalaian; (3) intepretasi hukum. Untuk
bagian ini, Greenberg memulainya dengan teori tekstualisme
dan intensionalisme dengan dukungan ide-ide kontemporer
seputar filsafat bahasa dan linguistik. Beberapa perbedaan

2 https://curriculum.law.ucla.edu

Filsafat Hukum | 9
linguistik menurutnya tidak dapat menyelesaikan masalah
inti mengenai soal intepretasi hukum; (4) filsafat hukum
sebagai bagian dari moralitas; dan (5) hubungan antara
metaetika dengan filsafat hukum. Tujuan pembelajar filsafat
hukum guna meningkatkan keterampilan melakukan
penalaran analitis, bekerja dengan interdisipliner, serta
kemampuan menyampaikan argumen dan debat yang
menyakinkan.
Andrei Mamor dalam bukunya telah mengawali debat
kontemporer mengenai ‘sifat dasar dari hukum’ yang
merupakan jantung dari keberadaan hukum. Ia mengajukan
catatan penting, apakah hukum itu merupakan fakta? Jika
ya, maka hal itu merupakan fakta yang bersifat normatif. 3
Kembali ke subtasi buku ini, manusia dilahirkan putih bersih
(Tabula rasa) dan hanya dapat merasakan. Melalui indra
perasa tersebut, manusia mulai berfikir, berkembang dan
mengenal alam sekitar. Manusia dalam hidupnya tidak lepas
dari alam yang mengelilinginya. Dia dihadapkan kepada
fenomena- fenomena (alam) yang menimbulkan rasa heran
pada dirinya. Kenyataan ini membuat manusia berinteraksi
dengan alam sekelilingnya. Interaksi ini menimbulkan
berbagai ragam masalah dalam kehidupan manusia

3 https://muse.jhu.edu/

10 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


selanjutnya. Fenomena (external world) yang lama
kelamaan menimbulkan keingin-tahuan pada dirinya
(eagerness). Keingin tahuan pada diri manusia itu,
mendorong dia untuk memulai mengamati fenomena-
fenomena (alam) tersebut. Ketika manusia mulai mengamati
sesuatu ini, dimulailah suatu proses kegiatan ilmiah.4
Fenomena pencarian tersebut kemudian
dikombinasikan dengan akal dan perasaan yang
menghasilkan kebijaksanaan atau sering disebut filsafat.
Filsafat merupakan disiplin ilmu terkait dengan
kebijaksanaan. Kebijaksanaan merupakan titik ideal dalam
kehiduppan, karena dapat menjadikan manusia untuk
bersikap dan bertindak atas dasar pertimbangan
kemanusiaan yang tinggi (actus humanis), bukan asal
bertindak sebagaimana yang biasa dilakukan manusia
(actus homini).5
Karakteristik berpikir filsafat adalah menyeluruh,
mendasar dan spekulatif., sedangkan tugas utama filsafat
menurut Wittgenstein, bukanlah menghasilkan sesusun
pernyataan filsafati, melainkan menyatakan sebuah
pernyataan sejelas mungkin, sehingga epistemologi dan

4
Jujun S Suriasumantri, 1996, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Pustaka
Harapan, Jakarta, hal. 121.
5 E.Saefullah Wiradipradja, 2009, Filsafat Ilmu, Unpad, Bandung, hal. 8

Filsafat Hukum | 11
bahasa merupakan gumulan utama para filsuf dalam tahap
ini.6
Filsafat merupakan pengetahuan dan penyelidikan
dengan menggunakan akal budi (rasio) tentang sebab-
sebab, asas-asas, hukum-hukum dan sebagainya, dari
segala sesuatu yang ada di alam semesta tentang
kebenaran dan arti dari keberadaan itu. Dengan kata lain,
filsafat adalah usaha untuk mengerti dunia dalam makna dan
nilai-nilainya.
Filsafat hukum telah memegang peranan di dalam
memimpin semua telaah tentang lembaga-lembaga manusia
selama 2400 tahun yang lalu, mulai dari pemikir-pemikir
Yunani yang hidup dalam abad kelima sebelum masehi,
yang bertanya apakah hak itu, hak yang ditetapkan oleh
kodrat alam atau hanya oleh pengundangan dan konvensi,
sampai kepada ahli-ahli kemasyarakatan dewasa ini, yang
mencari tujuan-tujuan, dasar ethik dan asas-asas yang kekal
dari pengawasan sosial serta keadilan.7
Satjipto Rahardjo mengemukakan pendapatnya bahwa
filsafat hukum itu mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan

6 Jujun S Surisumantri, Op.Cit, hal 30.


7 Roscoe Pound, diterjemahkan oleh Mohamad Radjab, 1996, Pengantar Filsafat
Hukum, PT. Bhratara Niaga Media, Jakarta, hal. 1

12 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


yang bersifat dasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan
yang bersifat dasar dari hukum, tentang dasar-dasar bagi
8
kekuatan mengikat dari hukum. Sementara Gustav
Radbruch mengungkapkan bahwa filsafat hukum itu adalah
9
cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar.
Filsafat hukum memiliki keterkaitan dengan ilmu hukum
lainnya, yaitu dengan mengkaji persamaan dan perbedaan
antara filsafat hukum dan ilmu sosial yang lain serta
kegunaan filsafat hukum dan ilmu sosial yang lain bagi ilmu
hukum.
Buku ini merupakan perenungan filosofis penulis
mengenai apa dan bagaimana, mengenai siapa yang
mempengaruhi apa, dan mengenai kajian pemikiran filsuf-
filsuf yang berkaitan dengan hukum dan keadilan. Penulis
menjabarkan secara detail dan ilmiah definisi filsafat hukum,
sehingga dapat dimengerti dengan jelas baik oleh
mahasiswa, maupun praktisi yang ingin berfikir secara
filosofis.

8
Satjipto Rahardjo, 1982, Ilmu Hukum, PT. Alumni, Bandung, hal. 321
9 Uli Rasyidi, 1988, Filsafat Hukum, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, hal. 2

Filsafat Hukum | 13
II
FILSAFAT HUKUM SUATU
PENGANTAR

A. Definisi dan Makna Filsafat Hukum


Secara etimologi, ada dua pendapat untuk
mendefiniskan filsafat. Pertama; asal kata filsafat ialah
dari bahasa Arab. Pendapat ini dinyatakan di antaranya
oleh Harun Nasution. Menurutnya, kata filsafat itu
berasal dari bahasa Arab. Falsafah, dengan timbangan
fa’lala, fa’lalah dan fi’lal. Dengan demikian, menurut
Harun Nasution, kata benda dari falsafah seharusnya
falsafah dan filsaf. Masih menurutnya, dalam bahasa
Indonesia banyak terpakai kata filsafat, padahal bukan
berasal dari bahasa Arab, falsafah dan bukan dari kata
philosopy. Harun Nasution mempertanyakan, apakah
kata fil berasal dari bahasa Inggris dan safah dari kata
Arab, sehingga terjadilah gabungan antara keduanya,

14 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


yang kemudian menimbulkan kata filsafat.10
Kedua, filsafat dalam bahasa Inggris itu berasal
dari Yunani yang diarabkan.11 Dengan mengutip
Poedjawijanta, Ahmad Tafsir menyebutkan bahwa kata
filsafat berasal dari kata Arab yang berhubungan rapat
dengan kata Yunani, bahkan asalnya memang dari kata
Yunani. Kata Yunaninya adalah philosophia yang
merupakan kata majemuk yang terdiri atas philo dan
sophia; philo artinya cinta dalam arti yang luas, yaitu
ingin, dan karena itu lalu berusaha mencapai yang
diinginkannya itu; sophia artinya kebijakan, yang artinya
pandai, pengertian yang mendalam. Dengan demikian,
filsafat berarti keinginan yang mendalam (cinta) untuk
mendapat kebijakan, atau keinginan yang mendalam
untuk menjadi bijak. Orang yang mempunyai karakter
seperti itu disebut filosof. Seorang yang berkeinginan
mendalam untuk mendapat kebijakan, secara bahasa
bisa disebut filosof.
Abuddin Nata menjelaskannya tidak jauh berbeda
bahwa secara etimologi filsafat berasal dari kata philo
yang berarti cinta, dan kata shopos yang berarti ilmu

10
Amsal Bakhtiar, 2010, Filsafat Ilmu, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 4-5.
11 Abuddin Nata, 2005, Filsafat Pendidikan Islam, Gaya Media Pratama,
Jakarta, hal. 1.

Filsafat Hukum | 15
atau hikmah, berarti filsafat adalah cinta terhadap ilmu
atau hikmah. Secara termenologi filsafat adalah suatu
kegiatan atau aktifitas yang menempatkan pengetahuan
atau kebijaksanaan sebagai sasaran utamanya.12
Filsafat yang akrab dengan penyebutan salah satu
ilmu akademis yang mengajak kita untuk berfikir
menurut tata tertib (logika) dengan beban (tidak terikat
pada tradisi dogma dan agama) dan sedalam-dalamnya
hingga sampai pada dasar-dasar persoalan. Inalah yang
kemudian melahirkan polemik dikalangan filosuf muslim,
seperti yang dikatakan oleh Al-Ghazali bahwa metode
berfikir dunia filosuf penuh dengan kerancuan,
kerancuan pada masalah ketuhanan dan kosmologi.13
Dalam catatan Frank Griffel al-Ghazali menjelaskan
inkoherensi para filosuf sebagai "bantahan" (Rodd) dari
gerakan filosofis “al-gazali describes the incoherence of
the philosophers as a “ refutation” (rodd) of the
philosophical movement “.14
Mengamati karya-karya besar filsuf, seperti
aristoteles (384-322 SM) dan Imanuel Kant (1724-1804),

12 Ibid. , hal. 5.
13 Al-Ghazali,1986, Tahafut al-Falasifah, Pustaka Panjimas, Jakarta, hal. 65.
14 Frank Griffel, 2009, Al-Gazali’s Philosophycal Theology, Oxford University

Press, New York, hal. 98

16 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


ada tiga tema besar yang menjadi fokus kajian dalam
karya-karya mereka, yakni kenyataan, nilai, dan
pengetahuan. Ketiga tema besar tersebut masing-
masing dikaji dalam tiga cabang besar filsafat.
Kenyataan (ontologi) merupakan bidang kajian
metafisika, nilai adalah bidang kajian aksiologi, dan
pengetahuan merupakan bidang kajian epistimologi.15
Namun ada juga yang membagi cabang filsafat
berdasarkan karakteristik objeknya. Berdasarkan
karakteristik objeknya filsafat dibagi dua, yaitu :
1. Filsafat umum / murni yang terdiri dari metafisika,
objeknya adalah hakikat tentang segala sesuatu yang
ada, epistemologi. Objeknya adalah pengetahuan /
kenyataan, dan logika yang merupakan studi
penyusunan argumen-argumen dan penarikan
kesimpulan yang valid. Namun ada juga
yang memasukkan Logika ke dalam kajian
epistimologi. Selain itu adapula aksiologi yang objek
kajiannya adalah hakikat menilai kenyataan.
2. Filsafat Khusus / Terapan, yang lebih mengkaji pada
salah satu aspek kehidupan. Seperti misalnya filsafat

15 Zainal Abidin. 2011. Pengantar Filsafat Barat. Rajawali Pers, Jakarta, hal. 24

Filsafat Hukum | 17
hukum, filsafat pendidikan, filsafat bahasa, dan lain
sebagainya.16

Pembagian cabang-cabang filsafat di atas tidak


kaku. Seorang filsuf yang mengklaim bahwa pemikiran
filsafatnya berupa kajian ontologis sering kali pula
membahas masalah-masalah eksistensi manusia,
kebudayaan, kondisi masyarakat, bahkan etika. Ini
misalnya tampak dari filsafat Heidegger. Dalam bukunya
yang terkenal, Being and Time (1979), ia menulis bahwa
filsafatnya dimaksudkan untuk mencari dan memahami
“ada”. Akan tetapi dia mengakui bahwa “ada” hanya
dapat ditemukan pada eksistensi manusia dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, dalam bukunya
itu dia membahas mengenai keotentikan, kecemasan,
dan pengalamn-pengalaman manusia dalam kehidupan
sehari-hari.17
Soetikno menyatakan bahwa, filsafat hukum
mencari hakekat daripada hukum, yang menyelidiki
kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai-nilai.Menurut
Gustav Radbruch, filsafat hukum adalah cabang filsafat

16 Redja Mudyaharjo. 2008. Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar.


Bandung, hal. 15
17 Zainal Abidin.Op cit., hal. 26

18 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


yang mempelajari hukum yang benar.Menurut Soerjono
Soekanto, filsafat hukum merupakan perumusan dan
perenungan nilai-nilai serta penyerasian nilai-nilai.18
Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa filsafat
hukum merupakan bagian dari filsafat yang objeknya
khusus hukum.19
Secara umum filsafat hukum merupakan ilmu
pengetahuan yang ingin mencapai hakikat kebenaran
yang asli dengan ciri-ciri pemikirannya yang 1) rasional,
metodis, sistematis, koheren, integral, 2) tentang makro
dan mikro kosmos 3) baik yang bersifat inderawi
maupun non inderawi. Hakikat kebenaran yang dicari
dari berfilsafat adalah kebenaran akan hakikat hidup
dan kehidupan, bukan hanya dalam teori tetapi juga
praktek.20
Pandangan Frederich Karl von Savigny
mendekatkan atau secara ekstrimnya menyamakan
hukum sebagai suatu gejala sosial. Hukum sebagai
penjelmaan dari jiwa bangsa (volkgeis) seperti juga

18 Salman Luthan, 2008, Filsafat Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum


Universitas Islam Indonesia, hal. 4
19 Otje Salman, 2009, Filsafat Hukum, PT Refika Aditama, Bandung, hal.4
20
Darji Darmodiharjo, dan Shidarta, 2006, Pokok-pokok Filsafat Hukum
(Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, hal. 154

Filsafat Hukum | 19
bahasa, adat, susunan kenegaraan. Artinya hukum
merupakan ilmu sosial, kedudukan ilmu hukum sama
seperti ilmu sosial lainnya.
Ilmu hukum dan filsafat hukum adalah hasil dari
kegiatan intelektual (akal budi) manusia yang berpikir
dan merasa. Karena merupakan suatu disiplin
intelektual maka ilmu dan filsafat memerlukan
keteraturan. Keteraturan ilmu hukum dapat diwujudkan
dengan konsep yaitu ontologi atau hakikat, aksiologi
atau manfaat, epistemologi atau cara / metode dan,
sistematisasi, Filsafat hukum dan ilmu hukum adalah
hasil usaha manusia atau bias juga disebut dengan
kebudayaan yang dapat dimasukkan ke dalam wujud
yang abstrak berupa ide-ide atau gagasan-gagasan,
namun bisa juga dimasukkan ke dalam wujud karya.
Filsafat dan ilmu adalah pengetahuan yang merupakan
sejumlah informasi tentang sesuatu hal dan merupakan
suatu proses mental yang terdapat dalam diri manusia
berupa rasa ingin tahu. Adanya manusia didasarkan
pada rasa ingin tahu.21

21 Poedjawijatna, 1982, Etika: Filsafat Tingkah Laku. Rineka Cipta,


Yogyakarta , hal. 9.

20 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


Meskipun ilmu dan filsafat memiliki persamaan,
namun dalam filsafat dan ilmu hukum juga memiliki
perbedaan yaitu ilmu berasal dari data-data kenyataan,
pengolahannya mempergunakan kemampuan akal budi
atau intelektual. Tahap hipotesa, perumusan masalah,
konklusi lebih merupakan kegiatan akal budi. Filsafat
berdasarkan refleksi merupakan suatu proses berpikir
yang bersifat spekulatif dan kritis atas suatu
permasalahan hukum. Filsafat lebih memusatkan diri
pada pertanyaan-pertanyaan mendasar atau basic
fundamental questions dan filsafat bersifat universal dan
integral, memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang
menyeluruh. Dapat dikatakan pula bahwa filsafat
bersifat introspektif dan implikatif.
Ilmu lebih memusatkan diri pada gejala-gejala
yang bersifat faktual yakni gejala-gejala yang dapat
dialami dan diamati minimal oleh panca indra manusia.
Ilmu hanya memperhatikan pada gejala-gejala secara
fragmentaris dan spesialis artinya ilmu hanya
memperhatikan hal atau bagian tertentu saja dari
kenyataan. Ilmu tidak berwenang meninjau hakekat
dirinya sendiri atau struktur intrinsik, yang berwenang
melihat hakekat ilmu adalah filsafat.

Filsafat Hukum | 21
Menurut Lili Rasjidi, dalam pengkajian
kepustakaan mengenai filsafat hukum, akan ditemukan
berbagai definisi, perumusan atau uraian yang
22
diutarakan oleh para penulisnya. Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam bukunya
Rasjidi merumuskan bahwa filsafat hukum merupakan
perenungan dan perumusan nilai-nilai, dan penyerasian
nilai-nilai. 23 Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa
filsafat itu mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang
bersifat dasar dari hukum. Menurut Gustav Radbruch,
filsafat hukum adalah cabang dari filsafat yang
mempelajari hukum yang benar. Sedangkan menurut
Langemeyer, filsafat hukum adalah pembahasan secara
filosofis tentang hukum.24
Van Apeldorn, E. Utrecht dan Pudjosewojo tidak
mengetengahkan definisi atau perumusan, tetapi
mereka menjelaskan arti filsafat hukum dengan suatu
uraian. Menurut Van Apeldorn dalam bukunya Lili
Rasjidi, filsafat hukum menghendaki jawaban atas
25
pertanyaan apakah hukum. E. Utrecht (1966)

22 Lili Rasjidi, 2002, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal. 1.
23 Lock.cit
24 Lock.cit
25 Ibid., hal. 2.

22 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


mengemukakan bahwa filsafat menjawab atas
pertanyaan apakah hukum itu sebenarnya, apakah
sebabnya kita menaati hukum dan apakah keadilan
yang menjadi ukuran baik-buruknya hukum.26

B. Kegunaan Filsafat Dalam Ilmu Hukum


Dunia ini diciptakan memiliki tujuan dan fungsi
masing-masing. Sang pencipta yang Maha Mengetahui
menciptakan alam dan seluruh isinya dengan ketentuan,
kekurangan da kelebihan tersendiri. Tak lain pada
manusia, yang senantiasa lebih dari ciptaan tuhan yang
lain yang dikarunia akal dan pikiran. Dengan adanya hal
itu lahirlah ilmu yang semakin hari semakin berkembang
dan juga semakin dicari kebenaran nya. Adanya
perkembangan ilmu yang banyak dan maju tidak berarti
semua pertanyaan dapat dijawab oleh sebab itu
pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab
tersebut menjadi porsi pekerjaan filsafat. Harry
Hamersma menyatakan filsafat itu datang sebelum dan
sesudah ilmu mengenai pertanyaan-pertanyaan.27 Harry
Hamersma menyatakan pertanyaan-pertanyaan yang

26
Ibid., hal. 3
27 Harry Hamersma, 1990, Filsafat Eksistensi Karl Jaspers, PT. Gramedia,
Jakarta, hal.13

Filsafat Hukum | 23
diajukan oleh ilmu (yang khusus) itu mungkin juga tidak
akan pernah terjawab oleh filsafat. 28 Pernyataan itu
mendapat dukungan dari Magnis-Suseno menegaskan
jawaban-jawaban filsafat itu memang tidak pernah
abadi. 29 Kerena itu filsafat tidak pernah sampai pada
akhir sebuah masalah hal ini disebabkan masalah-
masalah filsafat adalah masalah manusia sebagai
manusia, dan karena manusia di satu pihak tetap
manusia, tetapi di lain pihak berkembang dan berubah,
masalah-masalah baru filsafat adalah masalah-masalah
lama manusia.30
Filsafat hukum secara sederhana dapat dikatakan
sebagai cabang filsafat, yang pada dasarnya
31
mempelajari tentang hakikat hukum. Dalam
pemahaman lain dapat juga dikatakan bahwa filsafat
hukum merupakan suatu disiplin keilmuan yang
berusaha mengkaji hukum sebagai objek secara
mendasar dengan sistematis dan metode yang rasional.
Filsafat hukum mempelajari tentang dasar-dasar/azas-

28 Ibid., hal. 20
29 Frans Magnis Suseno, 1992, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Kanisius,
Yogyakarta, hal. 20
30 Ibid., hal. 20
31 Zainal Abidin, dan Afoduf, 1994, Pengantar Ilmu Hukum. UII Press,
Yogyakana, hal. l2.

24 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


azas hukum yang bersifat umum, tetap dan tidak
berubah yang menjadi latar belakang dan dasar umum
bagi beriakunya suatu sistem hukum positif pada suatu
masyarakat.32
Filsafat hukum merupakan bagian penelusuran
kebenaran yang tersaji dalam ruang lingkup filsafat.
Filsafat berupaya merefleksi hubungan teoritikal, yang di
dalamnya gejala-gejala tersebut dimengerti atau
33
dipikirkan. Filsafat hukum memiliki sikap penyesuaian
terhadap sifat-sifat, cara-cara dan tujuan-tujuan dari
filsafat pada umumnya. Filsafat hukum adalah ilmu yang
mempelajari hukum secara filosofis. Jadi objek filsafat
hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara
mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang
disebut hakikat.34
Pertanyaan tentang apa hakikat hukum dan
keadilan merupakan pertanyaan filsafat hukum.
Pertanyaan tersebut mungkin saja dapat dijawab oleh

32 Loc cit
33 Arief Sidharta, 2007, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu
Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, hal.
1.
34
Darji Darmodiharjo dan Arief Sidharta, 1995, Pokok-pokok Filsafat Hukum
Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, hal 10-11.

Filsafat Hukum | 25
ilmu hukum, tetapi jawaban yang diberikan ternyata
35
serba tidak memuaskan. Menurut Apeldorn, hal
tersebut tidak lain karena ilmu hukum hanya
memberikan jawaban yang sepihak. Ilmu hukum hanya
melihat gejala-gejala hukum sebagaimana dapat diamati
oleh pancaindra manusia mengenai perbuatan-
perbuatan manusia dan kebiasaan-kebiasaan
masyarakat. Sementara itu pertimbangan nilai di balik
gejala-gejala hukum, luput dari pengamatan ilmu
hukum. Norma atau kaidah hukum, tidak termasuk
dalam dunia kenyataan (sein), tetapi berada pada dunia
nilai (sollen), sehingga norma hukum bukan dunia
penyelidikan ilmu hukum.
Filsafat hukum dapat disebut juga sebagai filsafat
tingkah laku atau nilai-nilai etika, yang mempelajari
hakikat hukum. Filsafat hukum ialah merupakan ilmu
yang mengkaji tentang hukum secara mendalam sampa
kepada inti atau dasarnya yang disebut dengan
hakikat.36 Seorang filsuf hukum pasti akan mencari apa
inti atau hakikat daripada hukum, ingin mengetahui apa

35 Van Apeldorn, 1985, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke 22 Pradnya Paramita,


Jakarta, hal. 439.
36 Darji Darmodiharjo dan Sshidarta, Op cit., hal. 11.

26 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


yang ada di belakang hukum, mencari apa yang
tersembunyi di dalam hukum, menyelidiki kaidah-kaidah
hukum sebagai pertimbangan nilai, memberi penjelasan
tentang nilai-nilai, postulat-postulat (dasar-dasar) hukum
sampai pada dasar-dasarnya filsafat yang terakhir, dan
berusaha mencapai akar dari hukum. 37 Jadi, filsafat
hukum adalah suatu perenungan atau pemikiran secara
ketat, secara mendalam tentang pertimbangan nilai -
nilai di balik gejala-gejala hukum sebagaimana dapat
diamati oleh pancaindera manusia mengenai perbuatan-
perbuatan manusia dan kebiasaan-kebiasaan
masyarakat.
Filsafat adalah merupakan suatu perenungan atau
pemikiran secara mendalam terhadap sesuatu hal yang
telah kita lihat dengan indera penglihatan, kita rasakan
dengan indera perasa, kita cium dengan indera
penciuman ataupun kita dengar dengan indera
pendengaran samapai pada dasar atau hakikat daripada
sesuatu hal tersebut. Louis O Kattsoff mengatakan di
dalam bukunya, bahwa filsafat bertujuan untuk
mengumpulkan penegtahuan manusia sebanyak
mungkin, mengajukan kritik dan menilai pengetahuan

37 Soetiksno, 1986, Filsafat Hukum Jilid 2, Pradnya Paramita, Bandung, hal. 2.

Filsafat Hukum | 27
ini, menemukan hakikatnya, dan menerbitkan serta
mengatur semuanya itu di dalam bentuk yang
sistematis. Katanya lebih lanjut, filsafat membawa kita
pada pemahaman dan pemahaman membawa kita
kepada tindakan yang lebih layak.38
Filsafat dapat kita jadikan sebagai pisau analisis
dalam menganalisa suatu masalah dan menyususn
secara sistematis suatu sudut pandang ataupun
beberapa sudut pandang, yang kemudian dapat menjadi
dasar untuk melakukan suatu tindakan. Sedangkan
hukum sendiri, menurut seorang ahli hukum Indonesia
Wirjono Prodjodikoro, adalah rangkaian peraturan
mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota
suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari
hokum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan
tata tertib dalam masyarakat itu.39
Kemudian, Notohamidjojo berpendapat, bahwa
hokum adalah keseluruhan peraturan yang tertulis dan
tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk
kelakuan manusia dalam masyarakat Negara serta

38 Louis O Kattsoff , 1992, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta, hal.


03
39 Wirjono Prodjodikoro, 1992, Asas-asas Hukum Perdata. Sumur, Bandung,

hal. 9

28 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


antarnegara, yang berorientasi pada dua asas yaitu
keadilan dan dayaguna, demi tata tertib dan damai
40
dalam masyarakat. Secara umum hukum dapat
dipandang sebagai norma, yaitu norma yang
41
mengandung nilai-nilai tertentu.
Ruang lingkup ilmu sosial mencakup masalah-
masalah sosial yang timbul didalam sebuah masyarakat.
Untuk menelaah masalah-masalah sosial tersebut
hendaknya terlebih dahulu dapat mengidentifikasi
kenyataan-kenyataan sosial dan memahami sejumlah
konsep sosial tersebut. Sehingga ilmu sosial dasar
dapat dibedakan atas tiga golongan beasar yaitu
kenyataan-kenyataan sosial yang ada didalam
masyarakat, yang secara bersama-sama merupakan
masalah sosial tertentu, konsep-konsep sosial atau
pengertian-pengertian tentang kenyataan-kenyataan
sosial dibatasi pada konsep dasar atau elementer saja
yang sangat diperlukan untuk mempelajari masalah-
masalah sosial yang dibahas pada ilmu social dan
masalah-masalah sosial yang timbul dalam masyarakat,
biasanya terlibat dalam berbagai kenyataan-kenyataan

40
O Notohamidjojo, 1975, Soal-soal Pokok Filsafat Hukum, Gunung Mulia,
Jakarta, hal. 21.
41 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op cit., hal. 13.

Filsafat Hukum | 29
sosial yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan
satu sama lain.
Ilmu berkembang dengan pesat seiring dengan
penambahan jumlah cabang-cabangnya. Hasrat untuk
menspesialisasikan diri pada satu bidang telaah yang
memungkinkan analisis yang makin cermat dan
seksama menyebabkan objek forma dari disiplin
keilmuan menjadi kian terbatas. Pada dasarnya cabang-
cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang
utama yakni filsafat alam yang kemudian menjadi dasar
ilmu-ilmu alam atau the natural sciences dan filsafat
moral yang kemudian berkembang ke dalam cabang
ilmu-ilmu sosial atau the social sciences42
Ilmu sosial juga memiliki cabang-cabang ilmu
lainnya diantaranya antropologi (mempelajari manusia
dalam perspektif waktu dan tempat), psikologi
(mempelajari proses mental dan kelakuan manusia)
ekonomi (mempelajari manusia dalam memenuhi
kebutuhan kehidupannya lewat proses pertukaran),
hukum (mempelajari norma) sosiologi (mempelajari
struktur organisasi sosial manusia) dan ilmu politik

42 Jujun S. Suriasumantri. 2005. Filsafat ilmu sebuah pengantar populer.


Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 93.

30 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


(mempelajari sistem dan proses dalam kehidupan
manusia berpemerintahan dan bernegara).43
Filsafat hukum dan ilmu sosial memiliki kegunaan
terhadap perkembangan ilmu hukum. Filsafat hukum
menyediakan ruang khusus dan kajian kritis terhadap
ilmu hukum. Begitupula ilmu sosial, dalam hal ini
membantu memberikan informasi dalam pengembangan
ilmu hukum. Misalnya saja statistik, ilmu sosial seperti
statistik berfungsi membantu ilmu hukum dalam
memahami jumlah kejahatan misalnya. Begitupula
psikologi dan forensik yang dapat mengungkap suatu
kejahatan.
Secara Umum Pengertian Filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang ingin mencapai hakikat kebenaran
yang asli dengan ciri-ciri pemikirannya yang rasional,
metodis, sistematis, koheren, integral, tentang makro
dan mikro kosmos serta yang bersifat inderawi maupun
non inderawi. Hakikat kebenaran yang dicari dari
berfilsafat adalah kebenaran akan hakikat hidup dan
kehidupan, bukan hanya dalam teori tetapi juga praktek.

43 M. Munandar Soelaeman. 2001. Ilmu Sosial Dasar. Refika Aditama,


Bandung, hal. 6.

Filsafat Hukum | 31
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Filsafat
hukum merupakan cabang filsafat, yakni filsafat tingkah
laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum.
Dengan perkataan lain filsafat hukum adalah ilmu yang
mempelajari hukum secara filosofis, jadi objek filsafat
hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara
mendalam sampai pada inti atau dasarnya, yang disebut
dengan hakikat.
Filsafat hukum adalah cabang filsafat yang
membicarakan apa hakekat hukum itu, apa tujuannya,
mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk
kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan
masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat
hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai
hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah
keabsahan berbagai macam lembaga hukum.44
Kajian tentang filsafat hukum merupakan studi
yang sifatnya mendasar dan komprehensif dalam ilmu
hukum. Hal ini karena filsafat hukum merupakan
landasan bagi hukum positif yang berlaku di suatu
negara, demikian halnya dalam pengaturan HAM.

44 Lili Rasjidi, 1990, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal. 5.

32 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


Landasan filsafat negara sangat menentukan
bagaimana pola pengaturan HAM di negara yang
bersangkutan, apakah negara itu berpaham liberalis,
sosialis maupun Pancasialis. Pancasila sebagai
philosophische gronslag bangsa Indonesia merupakan
dasar dari filsafat hukum Pancasila yang selanjutnya
menjadi dasar dari hukum dan praktek hukum di
Indonesia. perenungan dan perumusan nilai-nilai filsafat
hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai, misalnya
penyerasian antara ketertiban dengan ketentraman,
antara kebendaan dengan keakhlakan, dan antara
kelanggengan dengan konservatisme dengan
45
pembaharuan.
Filsafat memiliki sedikitnya tiga sifat pokok, yaitu:
menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. 46 Menyeluruh,
artinya cara berfikir filsafat tidak sempit, dari sudut
pandang ilmu itu sendiri (fragmentaris atau sektoral),
senantiasa melihat persoalan dari tiap sudut yang ada.
Mendasar, artinya bahwa untuk dapat menganalisa
suatu persoalan bukanlah pekerjaan yang mudah,

45 Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto. 1979, Perundang-undangan


dan Yurisprudensi, Penerbit Alumni. Bandung, hal. 11.
46 Jujun S. Suriasumantri, 1998, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer,

Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 18.

Filsafat Hukum | 33
mengingat pertanyaan-pertanyaan yang dibahas berada
di luar jangkauan “ilmu biasa”.
Filsafat hukum adalah cabang filsafat yang
membicarakan apa hakekat hukum itu, apa tujuannya,
mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk
kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan
masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat
hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai
hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah
keabsahan berbagai macam lembaga hukum. Kajian
tentang filsafat hukum merupakan studi yang sifatnya
mendasar dan komprehensif dalam ilmu hukum.
Filsafat hukum mempelajari hukum secara
spekulatif dan kritis artinya filsafat hukum berusaha
untuk memeriksa nilai dari pernyataan-pernyataan yang
dapat dikatagorikan sebagai hukum secara spekulatif
dan secara kristis. Secara spekulatif, filsafat hukum
terjadi dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan
mengenai hakekat hukum. Sedangkan secara kritis,
filsafat hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-
gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat
koherensi, korespondensi dan fungsinya.

34 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


Muchsin dalam bukunya Ikhtisar Filsafat Hukum
menjelaskan dengan cara membagi definisi filsafat
dengan hukum secara tersendiri, filsafat diartikan
sebagai upaya berpikir secara sungguh-sungguh untuk
memahami segala sesuatu dan makna terdalam dari
sesuatu itu, kemudian hukum disimpulkan sebagai
aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur
tingkah laku manusia dalam masyarakat, berupa
perintah dan larangan yang keberadaanya ditegakkan
dengan sanksi yang tegas dan nyata dari pihak yang
berwenang di sebuah negara.
Filsafat menghendaki agar kita berfikir masak-
masak tentang tanggapan kita dan bertanya pada diri
sendiri apa sebenarnya kita tanggap tentang hukum,
karena Index animi sermo yang artinya cara seseorang
berbicara menunjukkan jalan pikirannya. Tanggapan kita
tentang hukum sangatlah penting, karena untuk
memulai penyelidikan secara sosiologis, sejarah hukum
dan perbandingan hukum. Ilmu pengetahuan hukum
tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan
mengenai hukum itu sendiri, hal tersebut dikarenakan
ilmu pengetahuan hukum hanya melihat gejala-gejala
hukum yang menjelma dalam perbuatan-perbuatan

Filsafat Hukum | 35
manusia dalam kehidupan masyarakat, sehingga dapat
dikatakan bahwa berakhirnya ilmu pengetahuan hukum
maka lahirlah filsafat hukum untuk memberikan jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab oleh
ilmu pengetahuan hukum.

C. Merenung dan Berfikir Filosofis


Manusia mencari kebenaran dengan
menggunakan akal sehat (common sense) dan dengan
ilmu pengetahuan. 47 Manusia hidup di dunia ini pada
hakekatnya mempunyai keinginan untuk mencari
pengetahuan dan kebenaran. Pengetahuan merupakan
hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.
Pengetahuan menurut arti sempit sebuah keputusan
yang benar dan pasti.48 Penganut pragmatis, utamanya
John Dewey tidak membedakan antara pengetahuan
dan kebenaran (antara knowledge dan truth).49
Kebenaran merupakan poin penting yang nantinya
akan mengantar pada kepastian hukum, kemanfaatan

47 I Gusti Bagus Rai Utama, 2013, Filsafat Ilmu Dan Logika, Universitas
Dhyana Pura, Badung, hal. 4
48 Amsal Bakhtiar, 2012, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, hal. 85.


49 Burhanuddin Salam, 2000, Pengantar Filsafat, Bumi Aksara, Jakarta, hal.

28.

36 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


dan keadilan karena ketiganya tentusaja memiliki
perspektif kebenaran sendiri. Idzam Fautanu, mengutip
Purwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,
menerangkan bahwa kebenaran itu adalah 1). Keadaan
(hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal
atau keadaan yang sesungguhnya. Misalnya kebenaran
berita ini masih saya ragukan, kita harus berani
membela kebenaran dan keadilan. 2). Sesuatu yang
benar (sugguh-sugguh ada, betul-betul hal demikian
halnya, dan sebagainya). Misalnya kebenaran-kebenran
yang diajarkan agama. 3). Kejujuran, kelurusan hati,
misalnya tidak ada seorangpun sanksi akan kebaikan
dan kebenaran hatimu.50
Seorang kuli bangunan yang mengendarai motor
ditilang dan menanyakan pada polisi mengapa saya
ditilang, sedangkan pengendara Ninja diujung sana
tidak ditilang. Dalam hal ini kuli bangunan tersebut telah
mempertanyakan kebenaran melalui kepastian hukum.
Ada kebenaran-kebenaran yang coba ditayakan oleh
proses berfikir sistematis, untuk mengetahui kebenaran
melalui kepastian bahwa sanya dengan kasus yang

50 Idzam Fautanu, 2012, Filsafat Ilmu; Teori dan Aplikasi, Referensi, Jakarta,
hal. 96.

Filsafat Hukum | 37
sama, kondisi yang cenderung sama, sudah seharunya
diperlakukan hal yang sama.
Begitupula ada seorang pengendara Honda 70
yang bertubrukan dengan ibu-ibu yang memang salah
meemberikan isyarat sein belok kanan, ternyata belok
nya kekiri. Dalam hal ini, kasus ditangani polisi, namun
karena pengendara telah bermaafaan dan si Ibu juga
mengakui kesalahannya, maka Polisi melepaskan
perkara tersebut untuk tidak dipersidangkan. Inilah yang
disebut sebagai kebenaran melalui kemanfaatan hukum,
dimana hukum bukan hanya permasalahan menghukum
yang salah, dan memenangkan yang benar, namun
lebih dari itu yaitu menyelesaikan masalah.
Pengendara Honda 70 berfikir, begitupula seorang
kuli bangunan yang mengendarai motor dan ditilang ia
juga berfikir, lalu siapakah yang menemukan kebenaran.
Pernyataan Descartes, “aku berpikir maka aku ada,”
jelas menggambarkan kebenaran yang sangat diyakini
oleh para pemikir rasionalis ini.51 Seorang kuli bangunan
yang mengendarai motor dan ditilang bisa saja berfikir

51 Reza A.A Wattimena, 2010, Filsafat Kritis Immanuel Kant


Mempertimbangkan Kritik Karl Ameriks terhadap Kritik Immanuel Kant
atas Metafisika, PT Evolitera, Jakarta, hal. 18

38 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


bahwa mengapa saya ditilang dan yang lain tidak,
namun ia memiliki pengetahuan bahwa, sebenarnya
hukum bukanlah hitam putih, namun peringatan, maka
ia meminta maaf dan dimaafkan oleh polisi, dan pada
akhirnya bebas.
Manusia bukan hanya wajib untuk berfikir, ia juga
wajib memiliki pengetahuan, karena sejatinya manusia
adalah makhluk yang berakal bahkan perintah Allah Swt
pada Nabi Muhamad yang bertama bukan mendirikan
masjid, namun Iqro. Bacalah, bacalah situasi, bacalah
kondisi, bacalah suatu strategi dan pelajarilah. Berbekal
pengetahuan yang pasti tentang keberadaan dirinya
sendiri, Descartes berharap mampu membangun
sebuah dasar yang kokoh bagi semua bentuk
pengetahuan manusia. Baginya pengetahuan tentang
obyek yang berada di luar dirinya adalah kombinasi
antara kesadaran akan keberadaan dirinya sendiri (res
cogitans dan res extensa) dan argumen bahwa Tuhan
itu ada, serta tidak menipunya dengan semua bentuk
pengetahuan yang masuk melalui indera.52
Berfikir, memahami pengetahuan, dan
memberikan makna pada objek kajian merupakan

52 Ibid., hal. 19

Filsafat Hukum | 39
kegiatan filosofis. Roscoe Pound menyatakan, bahwa
ahli filsafat berupaya untuk memecahkan persoalan
tentang gagasan untuk menciptakan suatu hukum yang
sempurna yang harus berdiri teguh selama-lamanya,
kemudian membuktikan kepada umat manusia bahwa
hukum yang telah selesai ditetapkan, kekuasaannya
tidak dipersoalkan lagi. Suatu usaha untuk melakukan
pemecahan menggunakan sistem hukum yang berlaku
pada masa dan tempat tertentu, dengan menggunakan
abstraksi terhadap bahan-bahan hukum yang lebih
tinggi.53
Filsafat adalah identik dengan realitas-realitas
dinamis yang akan mati dan akan hidup. Filsafat adalah
inovasi manusia yang akan tercipta ketika lokalitasnya
memungkinkan dan akan musnah ketika lokalitas ini
berubah dan posisinya ditempati oleh lokalitas lain yang
diametral di mana realitas hidup yang masih bayi tidak
kuat melawan dan mencapainya sehingga menjamin
konstantasi dan kontinuitas bagi dirinya.54

53 Roscoe Pound, 1972, Interpretations of Legal History, Havu, L.R, Holland,


hal. 3
54 Hassan Hanafi, 2015, Studi Filsafat 2 Pembacaan Atas Tradisi Barat

Modern, LkiS, Yogyakarta, hal. 1

40 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


D. Filisofi Keadilan, Kepastian Hukum, dan
Kemanfaatan
Pada dasarnya manusia menghendaki keadilan,
manusia memiliki tanggung jawab besar terhadap
hidupnya, karena hati nurani manusia berfungsi sebagai
55
index, ludex, dan vindex. Proses reformasi
menunjukkan bahwa hukum harus ditegakkan demi
terwujudnya supremasi hukum dalam rangka
menegakkan kebenaran dan keadilan sesuai dengan
tujuan hukum: Ketertiban, keamanan, ketentraman,
kedamaian, kesejahteraan, kebenaran dan keadilan.
Pemikiran filosofis keadilan yang berkaitan dengan
filsafat hukum berkaitan erat dengan pemikiran John
Rawis mengungkapkan 3 faktor utama yaitu: 1.
Perimbangan tentang keadilan (Gerechtigkeit) 2.
Kepastian hukum (Rechtessisherkeit) 3. Kemanfaatan
hukum (Zweckinassigkeit).56
Keadilan sebagai keutamaan atau kebajikan
(Gerechtigkeit als Tugend), yaitu keadilan sebagai sifat
atau kualitas pribadi (misalnya bagi seorang hakim). Di

55 I.R. Poedjawijatna, 1997, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Rineka Cipta,


Jakarta, hal. 12
56 Soetandyo Wignjosoebroto, 2002, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika

Masalahnya, Lembaga Studi dun Advokasi Masyarakat, Jakarta, hal. 18

Filsafat Hukum | 41
sini ada keadilan subjektif, dan keadilan sebagai sifat
atau kualitas hubungan antar manusia (misalnya harga
yang adil). Keadilan subjektif adalah pendirian atau
sikap, pandangan dan keyakinan yang diarahkan
kepada terwujudnya keadilan objektif sebagai keadilan
yang primer. Sementara keadilan subjektif adalah
sekunder. Apa itu keadilan objektif, kurang begitu jelas.
Barangkali dalam pandangan Radbruch, keadilan
objektif itu adalah keadilan dalam hubungan antar
manusia. Keadilan menurut ukuran hukum positif dan
keadilan menurut Cita Hukum (Rechtsidee), atau hukum
positif dan cita hukum adalah sumber keadilan. Inti dari
keadilan adalah kesamaan (Gleichheit). Di sini
Radbruch mengikuti pandangan Aristoteles tentang
keadilan, yaitu keadilan komutatif (misalnya antara
prestasi dan kontraprestasi) dan keadilan distributif (di
bidang privat dan publik. Privat: gaji dibayar sesuai
prestasi kerja, publik: jabatan berdasarkan kualifikasi).57
Gustav Radbruch dalam buku Hyronimus Rhiti
juga mengemukakan bahwa hukum tersusun dari tiga

57 Hyronimus Rhiti, 2011, Filsafat Hukum, Universitas Atmadjaya, Yogyakarta,


hal. 245

42 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


nilai dasar, yakni keadilan, kegunaan, dan kepastian.58
Hal inipun disampaikan Darji Darmodiharjo, dan
Shidarta bahwa, hukum di bentuk karena pertimbangan
keadilan (gerechtigkeit) disamping sebagai kepastian
hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan
(zweckmassigkeit). 59 Di antara ketiga nilai tersebut,
terdapat hubungan tarik-menarik yang menghasilkan
ketegangan (Spannungsverhaltnis). Hal ini terjadi
karena ketiganya berisi tuntutan yang berlainan dan
mengandung potensi untuk saling bertentangan.
Hukum sebagai suatu kenyataan dalam
masyarakat karena mengatur perilaku dalam kehidupan
masyarakat yang dibuat oleh lembaga yang berwenang,
untuk itu melalui proses tertentu dan merupakan
keputusan pejabat yang berwenang serta berisi jalinan
nilai-nilai yang ada dalam kehidupan masyarakat.
Hukum pada dasarnya mempunyai banyak fungsi dalam
usahanya mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Pada masyarakat sederhana yang masih kecil
jumlahnya, dimana pola hubungan antara para anggota

58Ibid., hal. 246.


59
Darji Darmodiharjo, dan Shidarta 2006, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa
dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, hal. 154

Filsafat Hukum | 43
masyarakat terjalin sangat erat berdasarkan azas
kekerabatan, selain itu sentimentil dan kepercayaan
yang sama dan mempunyai lingkungan yang relatif
stabil maka penyelenggara keadilan lebih nampak
mudah.
Secara umum Keadilan pada hakikatnya adalah
memperlakukan seseorang atau pihak lain sesuai
dengan haknya. Hak setiap orang adalah diakui dan
diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya,
yang sama derajatnya, yang sama hak dan
kewajibannya, tanpa membedakan suku, keturunan, dan
agamanya. Keadilan secara umum dikatakan sebagai
pengakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban.
Keadilan terletak pada keharmonisan menuntut hak dan
menjalankan kewajiban. Dengan kata lain, keadilan
adalah bila setiap orang memperoleh apa yang menjadi
haknya dan setiap orang memperoleh bagian yang
sama. 60 Menurut Socrates, keadilan tercipta bilamana
warga negara sudah merasakan bahwa pihak
pemerintah sudah melaksanakan tugasnya dengan baik
Sedangkan keadilan menurut Plato, diproyeksikan pada

60 C. .S.T. Kansil, dan Christine S.T. Kansil, 2004, Pokok-Pokok Hukum


Pidana, Hukum Pidana Tiap Orang, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 4

44 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


diri manusia sehingga yang dikatakan adil adalah orang
yang mengendalika diri, dan perasaannya dikendalikan
oleh akal.61
Munir Fuady, mengutip pendapat H. L. A. Hart
dalam bukunya Consept of Law mengemukakan
keadilan mengarah kepada aspek hukumnya yaitu,
”Nilai kebajikan yang paling legal”, dalam bahasa
Inggrisnya, ”The most legal of vitues”, atau dengan
meminjam istilah Cicera, menyebutkan tentang keadilan
adalah habitus animi yakni merupakan atribut pribadi
(personal atribute). 62
Para filosof Yunani memandang bahwa keadilan
sebagai suatu kebijakan individual (individual virtue). 63
Apabila terjadi tindakan yang tidak adil (unfair prejudice)
di dalam kehidupan manusia, maka sektor hukumlah
yang sangat berperan untuk menemukan kembali
keadilan yang telah hilang (the lost justice), Aristoteles
menyebutnya sebagai keadilan korektif. 64 Namun bukan
berarti keadilan hanya monopoli orang hukum belaka,
keadilan sudah seharusnya ada dalam setiap hati nurani

61 Loc.Cit.
62
Munir Fuady, 2007, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, hal. 92.
63Ibid, hal. 93.
64Ibid, hal. 93.

Filsafat Hukum | 45
manusia, karena Aristoteles berpendapat bahwa, “The
law is the public conscience” (Hukum adalah hati
nurani publik).
Keadilan berkaitan erat dengan pendistribusian
hak dan kewajiban, hak yang bersifat mendasar sebagai
anugerah Ilahi sesuai dengan hak asasinya yaitu hak
yang dimiliki seseorang sejak lahir dan tidak dapat
diganggu gugat. Keadilan merupakan salah satu tujuan
sepanjang peijalanan sejarah filsafat hukum. Keadilan
adalah kehendak yang ajeg, tetap untuk memberikan
kepasa siapapun sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangan masyarakat dan tuntutan jaman.
Keadilan menurut Aristoteles terbagi tiga yakni
keadilan komutatif, keadilan distributif, dan keadilan
hukum (legal justice). Keadilan komutatif adalah suatu
kebijakan untuk memberikan kepada setiap orang
haknya atau sedekat mungkin dengan haknya (to give
each one his due). Mengusahakan keadilan komutatif ini
adalah pekerjaanya para Hakim. Misalnya menjatuhkan
hukuman sesuai dengan kesalahannya atau
memberikan ganti rugi sesuai kerugian yang dideritanya,
sehingga tidak ada orang yang mendapatkan
keuntungan atas penderitaan orang lain, atau tidak ada

46 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


orang yang menari-nari di atas duka lara orang lain. 65
Keadilan sesungguhnya hanya punya satu arti, yaitu
keadilan komutatif yang menyangkut kesetaraan,
keseimbangan, keharmonisan hubungan antara satu
orang atau pihak dengan orang atau pihak yang lain.
Keadilan sesungguhnya mengungkapkan kesetaraan
dan keharmonisan hubungan di antara manusia.
Keadilan distributif adalah sebagai suatu tindakan
memberikan setiap orang apa yang patut didapatnya
atau yang sesuai dengan prestasinya seperti jasa baik
(merits) dan kecurangan/ketercelaan (demerits), yang
merupakan pekerjaan yang lebih banyak dilakukan oleh
badan legislatif. Misalnya, hak-hak politik masyarakat
atau kedudukan di dalam parlemen, dapat
didistribusikan kepada yang berhak sesuai dengan
keadilan distributif itu. 66
Keadilan Hukum (legal justice) adalah; Keadilan
yang telah dirumuskan oleh hukum dalam bentuk hak
dan kewajiban, dimana pelanggaran terhadap keadilan
ini akan ditegakkan melalui poses hukum, umumnya di
pengadilan. Pada keadilan legal, sesungguhnya sudah

65Ibid, hal. 111-112.


66 Ibid, hal. 111-112.

Filsafat Hukum | 47
terkandung dalam keadilan komutatif. Dalam hal ini,
bahwa salah satu tujuan negara demi menegakkan
keadilan komutatif maka negara harus bersikap netral
dan memperlakukan semua pihak secara sama tanpa
terkecuali. Sebab hanya dengan prinsip perlakuan yang
sama inilah keadilan komutatif dapat ditegakkan.
Dengan demikian jelas bahwa prinsip yang sama. atau
keadilan legal merupakan konsekuensi logis dari
pelaksanaan prinsip keadilan komutatif.
Prinsip keadilan komutatif dirumuskan dalam
hukum yang mengatur agar tidak boleh ada pihak yang
merugikan hak dan kepentingan pihak lain. Sehingga
boleh dikatakan bahwa hal inilah yang menjadi
pegangan negara untuk menegakkan keadilan komutatif
tersebut. Karena itu, bisa dimengerti bahwa keadilan
komutatif maupun keadilan legal, pada prinsipnya sama-
sama menyangkut jaminan dan penghargaan atas hak
dan kepentingan semua orang dalam interaksi sosial
yang didukung oleh sistem politik melalui hukum positif.
John Rawls mengemukakan mengenai keadilan
yang menurutnya merupakan campuran dari unsur-
unsur keadilan yang disebutkan oleh Aristoteles dan
mengistilahkannya dengan keadilan yang mesti

48 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


dikembalikan oleh hukum. Menurutnya John Rawls,
“Keadilan akan diperoleh jika dilakukan maksimum
penggunaan barang secara merata dengan
memperhatikan kepribadian masing-masing (justice
fairnes)”. Prinsip keadilan menurut John Rawls dapat
dirinci sebagai berikut:
1. Terpenuhinya hak yang sama terhadap dasar (aqual
liberties);
2. Perbedaan ekonomi dan sosial harus diatur sehingga
akan terjadi kondisi yang positif yaitu;
a. Terciptanya keuntungan maksimum yang
reasonable untuk setiap orang termasuk bagi
setiap yang lemah (maximum minimorium); dan
b. Terciptanya kesempatan bagi semua orang. 67

John Rawls dalam Andre Ata Ujan menyatakan


bahwa secara umum, ada tiga ciri khas yang selalu
menandai keadilan : keadilan tertuju pada orang lain,
keadilan harus ditegakkan, dan keadilan menuntut
persamaan. Pertama, keadilan selalu tertuju pada orang
lain atau keadilan selalu ditandai other directness. Corak
sosial ini sudah ditunjukkan Aristoteles. Aristoteles

67Ibid. , hal. 94.

Filsafat Hukum | 49
menyebut keadilan sebagai kebajikan utama. Lebih dari
itu ia berpendapat bahwa keadilan begitu utamanya
sehingga di dalam keadilan termuat semua kebajikan.
Dengan demikian, keadilan merupakan kebajikan yang
lengkap dalam arti seutuhnya karena keadilan bukanlah
nilai yang harus dimiliki dan berhenti pada taraf
memiliknya bagi diri sendiri. Melainkan keadilan
keadilan juga harus merupakan pelaksanaan aktif,
dalam arti harus diwujudkan dalam relasi dengan orang
lain.68
Kedua, keadilan harus ditegakkan atau
dilaksanakan. Tuntutan ini bermakna bahwa keadilan
menuntut ketidakadilan dihapuskan, sekaligus juga
menuntut keadilan untuk ditegakkan. Dua dimensi
makna ini: positif dan negatif bukan dua hal terpisah,
melainkan satu kesatuan. Umumnya, kesepakatan
bersama mengenai ketidakadilan atau apa yang tidak
adil lebih mudah tercapai, ketimbang menentukan
sebaliknya. Tuntutan keadilan adalah kewajiban
merupakan pengertian modern tentang keadilan.

68 Andre Ata Ujan, 2001, Keadilan dan Demokrasi: Telaah Filsafat Politik
John Rawl , Kanisius, Yogyakarta, hal. 23

50 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


Ketiga, keadilan menuntut persamaan (equality).
Atas dasar keadilan, kita harus memberikan kepada
setiap orang apa yang menjadi haknya, tanpa terkecuali.
Kalau majikan memberikan gaji adil kepada 3000
karyawannya, kecuali kepada satu orang, maka majikan
itu tidak pantas disebut orang adil. mungkin ada orang
yang akan bertanya apakah artinya satu dibanding tiga
ribu. Tetapi dari segi etika, perbedaan itu justru
menentukan. Majikan baru pantas disebut orang yang
adil, bila ia berlaku adil kepada semua orang.
Konsepsi keadilan sosial Rawls dibangun sesuai
dengan pandangannya tentang masyarakat ideal yang
disebutnya dengan masyarakat tertata baik (well-
ordered society). Masyarakat ideal menurutnya ialah
masyarakat yang diatur secara efektif oleh sebuah
konsep keadilan sosial yang dapat diterima oleh semua
pihak. Yakni masyarakat di mana
1. Setiap orang menerima dan mengetahui bahwa orang
lain menganut prinsip keadilan yang sama, serta
2. Institusi-institusi sosial dasar yang ada sejalan
dengan prinsip-prinsip tersebut.69

69 Ibid. h. 24

Filsafat Hukum | 51
Konsepsi keadilan Rawls dengan dua prinsip
keadilannya bertolak dari konsepsi umum keadilannya.
Oleh karena itu, kita perlu melihat terlebih dahulu
konsepsi umum keadilannya. Rumusan konsepsi
keadilan umum adalah sebagai berikut:

Semua nilai sosial primer kebebasan dan


kesempatan, pendapatan dan kekayaan, dan dasar-
dasar harga diri harus didistribusikan secara sama
(equally). Suatu distribusi yang tidak sama
(unequal) sebagian atau keseluruhan nilai-nilai
sosial tersebut hanya apabila hal itu bermanfaat
menguntungkan semua orang.

Konsepsi umum ini mengungkapkan elemen-


elemen pokok dalam keadilan sosial John Rawls, di
mana konsepsi keadilan khususnya tak lain sebagai
bentuk penjabaran lebih lanjut dan solusi atas problem
yang terdapat dalam konsepsi umum ini. Karena itu, ada
beberapa hal dari konsepsi umum ini yang patut
dicermati sebagai berikut:
1. Prinsip pokok keadilan sosial Rawls adalah equality
atau persamaan.
2. Persamaaan dalam distribusi nilai-nilai sosial primer

52 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


3. Ketidaksamaan dapat ditoleransi sejauh
menguntungkan semua pihak.70

John Rawls merumuskan konsepsi khusus


keadilan ke dalam dua prinsip keadilan sosial. Rumusan
tersebut sebagai berikut:

Prinsip Pertama:
Setiap orang mempunyai hak yang sama atas
kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan
yang sama bagi semua orang.

Prinsip Kedua:
Ketimpangan sosial dan ekonomi ditata sedemikian
hingga mereka (a) memberi keuntungan terbesar pada
kelompok yang paling lemah, dan (b) semua posisi dan
jabatan terbuka bagi semua orang dalam kondisi
kesetaraan peluang yang fair .71

70 Bur Rasuanto, 2004, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan


Habermas. Dua Teori Filsafat Politik Kontemporer, Gramedia, Jakarta, hal.
14
71
John Rawls, 2006, Teori Keadilan: Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk
Mewujudkan Kesejahteraan dalam Negara, terj. Uzair Fauzan dan Heru
Prasetyo, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 72

Filsafat Hukum | 53
John Rawls menyatakan bahwa keadilan pada
dasarnya merupakan prinsip dari kebijakan rasional
yang diaplikasikan untuk konsepsi jumlah dari
kesejahteraan seluruh kelompok dalam masyarakat.
Untuk mencapai keadilan tersebut, maka rasional jika
seseorang memaksakan pemenuhan keinginannya
sesuai dengan prinsip kegunaan, karena dilakukan
untuk memperbesar keuntungan bersih dari kepuasan
yang diperoleh oleh anggota masyarakatnya.72
Hukum dan keadilan terkadang menjadi dua hal
yang berbeda, namun sekali lagi kita harus berfilsafat
yaitu mengapa manusia membentuk hukum, yaitu agar
tercipta keadilan, namun nyatanya hukum belum tentu
adil, bahkan terkadang hukum jaudh dari keadilan. Pada
buku penulis, bahkan penulis berani mendalilkan
adanya peradilan yang tak kunjung adil. Hal ini karena
hukum-hukumnya dibuat bukan untuk menegakan
keadilan, namun menegakan hukum sebagai wet.
Padahal, keadilan hanya bisa dipahami jika diposisikan
sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum.
Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum

72 John Rawls, 1971, A Theory of Justice, The Belknap Press, Cambridge, hal.
103.

54 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


tersebut merupakan proses yang dinamis yang
memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga
didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung
dalam kerangka umum tatanan politik untuk
73
mengaktualisasikannya.
Keadilan dalam cita hukum yang merupakan
pergulatan kemanusiaan berevolusi mengikuti ritme
zaman dan ruang, dari dahulu sampai sekarang tanpa
henti dan akan terus berlanjut sampai sekarang tanpa
henti dan akan terus berlanjut makhluk ciptaan Tuhan
yang terdiri atas roh dan jasad memiliki daya rasa dan
daya pikir yang dua-duanya merupakan daya rohani,
dimana rasa dapat berfungsi untuk mengendalikan
keputusan-keputusan akal agar berjalan di atas nilai-
nilai moral seperti kebaikan dan keburukan, karena yang
dapat menentukan baik dan buruk adalah rasa.74
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem
norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan
aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan
menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang

73 Carl Joachim Friedrich, 2004, Filsafat Hukum : Perspektif Historis, Nuansa


dan Busamedis, Bandung. hal. 239.
74 Ahmad Mahmud Subhi, 2001, Filsafat Etika, PT. Serambi Ilmu Semesta,

Jakarta, hal. 262.

Filsafat Hukum | 55
harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi
manusia yang deliberatif. Undang-Undang yang berisi
aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman
bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik
dalam hubungan dengan sesama individu maupun
dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan
itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani
atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya
aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut
menimbulkan kepastian hukum.75
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung
dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang
bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan
apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua,
berupa keamanan hukum bagi individu dari
kesewenangan pemerintah karena dengan adanya
aturan yang bersifat umum itu individu dapat
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh Negara terhadap individu.76

75 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta,


hal. 158.
76 Riduan Syahrani, 1999, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 2

56 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


Pengertian kepastian hukum menurut Gustav
Radbruch keadilan dan kepastian hukum merupakan
bagian-bagian yang tetap dari hukum. Gustav Radbruch
berpendapat bahwa keadilan dan kepastian hukum
harus diperhatikan, kepastian hukum harus dijaga demi
keamanan dan ketertiban suatu negara. Akhirnya
hukum positif harus selalu ditaati. Berdasarkan teori
kepastian hukum dan nilai yang ingin dicapai yaitu nilai
keadilan dan kebahagiaan.77
Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum
karena bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam
masyarakat. Kepastian hukum merupakan ciri yang
tidak dapat dipisahkan dari hukum terutama untuk noma
hukum tertulis. Menurut Fence M. Wantu, “hukum tanpa
nilai kepastian hukum akan kehilangan makna karena
tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua
orang”.78 Kepastian hukum diartikan sebagai kejelasan
norma sehingga dapat dijadikan pedoman bagi
masyarakat yang dikenakan peraturan.

77 Dwika, “Keadilan dari Dimensi Sistem Hukum”,


http://hukum.kompasiana.com, diakses pada tanggal 5 Juli 2020, pukul
14.00 WIB.
78
Fence M. Wantu, “Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim”, Jurnal
Berkala Mimbar Hukum, Vol. 19 No. 3 Oktober 2007, Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 193

Filsafat Hukum | 57
Pengertian kepastian tersebut dapat dimaknai
bahwa, ada kejelasan dan ketegasan terhadap
berlakunya hukum di dalam masyarakat. Hal agar tidak
menimbulkan banyak salah tafsir. Menurut Van
Apeldoorn, “kepastian hukum dapat juga berarti hal
yang dapat ditentukan oleh hukum dalam hal-hal yang
konkret”. Kepastian hukum adalah jaminan bahwa
hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum
dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat
dilaksanakan. Kepastian hukum merupakan
perlindungan yustisiable terhadap tindakan sewenang-
wenang yang berarti bahwa seseorang akan dapat
memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan
tertentu. Secara gramatikal kepastian berasal dari kata
pasti yang artinya sudah tetap, mesti dan tentu.
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia,
pengertian kepastian yaitu perihal (keadaan) pasti
(sudah tetap), ketentuan, ketetapan sedangkan
pengertian hukum adalah perangkat hukum suatu
negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban
setiap warga negara, jadi kepastian hukum adalah
ketentuan atau ketetapan yang dibuat oleh perangkat
hukum suatu negara yang mampu memberikan jaminan

58 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


79
atas hak dan kewajiban setiap warga negara.
Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan
hukum yang jelas, tetap dan konsisten dimana
pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-
keadaan yang sifatnya subjektif.80
Mengutip pendapat Lawrence M. Wriedman,
seorang Guru Besar di Stanford University, berpendapat
bahwa untuk mewujudkan “kepastian hukum” paling
tidak haruslah didukung oleh unsur-unsur sebagai
berikut, yaitu: substansi hukum, aparatur hukum, dan
budaya hukum. 81 Sudikno Mertokusumo menyatakan
bahwa kepastian hukum merupakan salah satu syarat
yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum, yaitu
merupakan yustiabel terhadap tindakan sewenang-
wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat
memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan
tertentu. Menurut Maria S.W. Sumardjono bahwa
tentang konsep kepastian hukum yaitu bahwa “secara

79 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,


Balai Pustaka, Jakarta, 1997, hal. 735
80 Raimond Flora Lamandasa, penegakan hukum, dikutip dari Fauzie Kamal
Ismail, Tesis berjudul Kepastian Hukum Atas Akta notaris Yang Berkaitan
Dengan Pertanahan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 2011,
hal. 2
81 Ibid., hal. 53

Filsafat Hukum | 59
normatif, kepastian hukum itu memerlukan tersediannya
perangkat peraturan perundang-undangan yang secara
operasional maupun mendukung pelaksanaannya.
Secara empiris, keberadaan peraturan
perundangundangan itu perlu dilaksanakan secara
konsisten dan konsekuen oleh sumber daya manusia
pendukungnya”.82
Menurut Fance M. Wantu, kepastian hukum
dirumuskan sebagai berikut:
1. Melakukan solusi autotorif yaitu memberikan jalan
keluar untuk menciptakan stabilitas yakni
memberikan ketertiban dan ketentraman bagi para
pihak dan masyarakat.
2. Efisiensi prosesnya cepat, sederhana, dan biaya
ringan.
3. Sesuai dengan tujuan hukum yaitu Undang-Undang
yang dijadikan dasar dari putusan untuk memberikan
kepastian dalam hukum itu sendiri dan kepastian
karena hukum.

82 Maria S.W. Sumardjono, “Kepastian Hukum dalam Pendaftaran Tanah dan


Manfaatnya Bagi Bisnis Perbankan dan Properti, “Makalah disampaikan
dalam seminar kebijaksanaan baru di bidang pertanahan, dampak dan peluang
bagi bisnis properti dan perbankan”, Jakarta, 6 Agustus 1997, hal. 1

60 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


4. Mengandung equality memberikan kesempatan yang
sama kepada para pihak.83

Masyarakat mengharapkan adanya kepastian


hukum, karena dengan adanya kepastian hukum
masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas
menciptakan kepastian hukum karena bertujuan
ketertiban masyarakat.84 Tetapi terlalu menitik beratkan
pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan
hukum akibatnya akan kaku dan akan menibulkan rasa
tak adil. Apapun yang terjadi peraturannya adalah
85
demikian dan harus ditaati atau dilaksanakan.
Undang-Undang itu sering terasa kejam apabila
dilaksanakan dengan ketat, sebab berlakulah lex dura,
sed tamen scripta, Undang-Undang adalah keras, akan
tetapi memang demikian bunyinya.86
Suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara
pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas

83 Fence M. Wantu, “Mewujukan Kepastian Hukum, Keadilan dan


Kemanfaatan Dalam Putusan Hakim di Peradilan Perdata,” Jurnal
Dinamika Hukum, (Gorontalo) Vol. 12 Nomor 3, September 2012, hal. 485.
84 Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, hal. 160.
85
Ibid.
86 L.J. Van Apeldoorn, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, terj. Oetarid Sadino,
Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 14.

Filsafat Hukum | 61
dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan
(multitafsir) dan logis sehingga menjadi suatu sistem
norma dengan norma lain yang tidak berbenturan atau
menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang
ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk
kontentasi norma, reduksi norma atau distorsi norma.
Kepastian hukum yang sesungguhnya adalah bila
peraturan perundang-undangan dapat dijalankan sesuai
dengan prinsip dan norma hukum. Menurut Bisdan
sigalingging: ”antara kepastian substansi hukum dan
kepastian penegakan hukum seharusnya harus sejalan,
tidak boleh hanya kepastian hukum bergantung pada
law in the books tetapi kepastian hukum yang
sesungguhnya adalah bila kepastian dalam law in the
books tersebut dapat dijalankan sebagaimana mestinya
sesuai dengan prinsip-prinsip dan norma-norma hukum
dalam menegakkan keadilan hukum”.87
Beberapa waktu lalu, tepatnya dibulan Juni 2020
masyarakat Indonesia geger dengan adanya kasus
Kasat Reskrim Polres Lombok Tengah AKP Priyo
Suhartono yang menolak laporan anak yang ingin

87 Syafruddin Kalo, “Penegakan Hukum yang Menjamin Kepastian Hukum dan


Rasa keadilan Masyarakat” dikutip dari http://www.academia.edu.com

62 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


memenjarakan ibu kandung karena masalah
penggelapan sepeda motor yang dibeli dari harta
88
warisan ayahnya. Polisi tersebut bahkan
mempertahankan, bahwa ia siap melindungi si Ibu,
bahkan sampai mempertaruhkan jabatannya apabila
tindakanya salah dimata hukum.
Pertanyaan adalah, apakah polisi yang berpangkat
AKP tidak mengetahui bahwa, pengadilan saja dilarang
menolak perkara, apalagi Kepolisian. Apakah polisi
tersebut tidak memegang perinsip kepastian hukum,
karena tentunya jangankan diadili saja dulu, namun
ternyata saat laporan saja sudah ditolak. Sehingga
apakah Polisi tersebut melanggar hukum, atau justru
sudah adil dalam menyelesaikan masalah. Dalam hal ini
kembali pembaca, saya ajak berfikir apakah anda dalam
berhukum menggunakan prinsip kepastian hukum atau
cenderung pada kemanfaatan.
Seiring dengan berkembangnya permasalahan
perkara pidana di Indonesia, maka sangat diperlukan
suatu bentuk penyelesaian yang lebih mengedepankan

88 Setyo Puji, Polisi Tolak Laporan Anak yang Ingin Memenjarakan Ibu
Kandung, Ini Alasannya...",
https://regional.kompas.com/read/2020/06/29/14171601/polisi-tolak-laporan-
anak-yang-ingin-memenjarakan-ibu-kandung-ini-alasannya?page=all.

Filsafat Hukum | 63
keadilan subtansial. Keadilan substansial ini akan
menjamin hak-hak para pihak, serta mengembalikan
harmonisasi sosial di masyarakat. Akhir-akhir ini
penyelesaian perkara pidana menimbulkan k
etidakpuasan dalam masyrakat. Hal ini dikarenakan
penegakan hukum pidana cenderung tidak memberikan
rasa keadilan bagi masyarakat kecil.89
Kasus-kasus remeh seolah menghiasi peradilan
pidana di Indonesia, bukan saja karena masing masing
penegak hukum berparadigma primum remidium, tetapi
juga berparadigama peradilan sebagai keranjang
sampah, artinya biarlah kasus-kasus tersebut diproses,
toh bukan saya (individu) yang akan memutuskan.
Biasanya para penegak hukum seperti Polisi
berargumen, ya ini petunjuk atasan, ini petunjuk jaksa,
sedangkan Jaksapun berargumen demikian biarlah
nanti hakim yang menentukan, pada akhirnya peradilan
hanya menjadi keranjang masalah, naik besar, kecil,
sepele, berat dan kategori lainnya. Hal inilah yang
penulis maksud, bahwa sudah seharusnya peradilan

89 Muhammad Taufiq, Penyelesaian Perkara Pidana Yang Berkeadilan


Substansial, Yustisia UNS Vol.2 No.1 Januari – April 2013, hal. 25

64 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


memiliki jalur alternatif, dan sistem eliminasi dalam
memproses suatu perkara.90
Jaksa dan Polisi terikat oleh peraturan perundang-
undangan dalam menjalankan hukum acara pidana. Hal
ini menyebabkan para jaksa dan Polisi selalu
berpandangan positivistik. Dalam mendakwa seorang
seseorang yang diduga melakukan tindak pidana, jaksa
harus memperhatikan unsur-unsur yang ada dalam
tindak pidana yang didakwakan. Jaksa tidak boleh
menyimpang dari peraturan perundang-undangan. Hal
ini karena apabila jaksa menyimpang dari peraturan
tertulis maka jaksa yang bersangkutan akan
mendapatkan sanksi.
Tidak ada kebebasan yang dilakukan terhadap
proses perkara, apalagi ketiga paradigma lainnya baik
paradigma inkuisitoir, paradigma presumtion of noncent,
dan paradigma primum remidium bermain. Akhirnya
daripada yang bersangkutan akan mendapatkan sanksi,
lebih baik melakukan proses pidana terhadap orang-
orang yang apabila diadili sebenarnya kurang layak
diadili, karena mengandung berbagai risiko khususnya

90 Kurniawan Tri Wibowo, 2020, Hukum dan Keadilan (Peradilan Yang Tidak
Kunjung Adil), Papas Sinar Sinanti, Depok, hal. 216

Filsafat Hukum | 65
dibidang kesehatan. Berdasarkan kasus-kasus yang
penulis himpun sebagai berikut:
1. Nenek Saulina boru Sitorus atau akrab disapa
Ompung Linda divonis kurungan 1 bulan 14 hari oleh
Majelis Hakim PN Balige, Tobasa. Perempuan lansia
92 tahun itu dipenjara hanya gara-gara menebang
pohon durian milik kerabatnya bernama Japaya.
2. Kasus Nenek Minah terjadi di Dusun Sidoharjo, Desa
Darmakradenan Kecamatan Ajibarang, Kabupaten
Banyumas. Ia dihukum karena mencuri tiga buah
Kakao milik PT Rumpun Sari Intan (RSA). Kejadian
itu bermula saat Minah sedang memanen kedelai di
lahan garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa
Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas,
Jawa Tengah, pada (2/08/2009). Lahan garapan
Minah ini juga dikelola oleh PT RSA untuk menanam
kakao. Gara-gara urusan memetik buah kakao ini
menjadi berbuntut panjang dan bergulir ke meja
hijau. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto
yang dipimpin Muslih Bambang Luqmono
menyatakan Minah terbukti melanggar Pasal 362
KUHP. Ia kemudian disanksi hukuman 1 bulan 15
hari penjara dengan percobaan 3 bulan.

66 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


3. Rasminah, nenek berusia 60 tahun, harus mendekam
di LP Tangerang, Banten. Pasalnya, ia dituduh
majikannya, Siti Aisyah Margaret, mencuri
enam piring pada Juni 2010. Pengadilan Negeri
Tangerang pada (22/12/2010) sempat memvonis
bebas Rasminah. Namun, jaksa yang menangani
kasus Rasminah justru tak puas dan mengajukan
banding hingga ke tingkat Mahkamah Agung. Di
tingkat ini lah, Rasminah dinyatakan bersalah telah
mencuri piring dan bumbu dapur milik
majikannya. Vonis dijatuhkan hakim MA pada
(30/01/2012). Rasminah divonis 4 bulan 10 hari
hukuman penjara.
4. Nenek Asyani didakwa mencuri tujuh batang pohon
jati dari lahannya sendiri. Hal itu dipermasalahkan
oleh PT Perhutani yang kemudian mengajukan
Asyani dan tiga orang lainnya ke meja hijau karena
dugaan mencuri. Asyani didakwa dengan Pasal 12
huruf d juncto Pasal 83 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan
ancaman hukuman penjara 5 tahun. Asyani dituduh

Filsafat Hukum | 67
mencuri 38 papan kayu jati di lahan Perhutani di desa
setempat.91

Sudah seharusnya peradilan dilakukan bukan


hanya berpijak pada kepastian hukum, tetapi juga pada
kemanfaatan. Contoh-contoh di atas menunjukkan
lemahnya sistem penyelesaian perkara pidana di
Indonesia. Fenomena tersebut pada akhirnya
membentuk sebuah statement di masyarakat yaitu
mahalnya keadilan bagi rakyat kecil. Hukum yang
sekarang dengan mudah diputarbalikkan dengan
undangundang, sehingga landasan penegakan hukum
bukanlah keadilan tetapi undang-undang.92
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa,
eksistensi hukum bertujuan untuk memberikan
keamanan dan ketertiban serta menjamin adanya
kesejahteraan yang diperoleh masyarakat dari Negara
sebagai payung bermasyarakat. Kaidah hukum di
samping kepentingan manusia terhadap bahaya yang
mengancamnya, juga mengatur hubungan di antara

91 Ibid., hal. 218


92 Ibid., hal. 218

68 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


93
manusia. Pendapat Sudikno Mertokusumo
menjelaskan bahwa, kesejahteraan yang diperoleh
masyarakat dari Negara sebagai payung bermasyarakat
tidak kalah dengan keamanan dan ketertiban. Artinya
hukum juga harus bermanfaat, bermanfaat untuk siapa?
yaitu bermanfaat untuk masayarakat banyak.
Menurut Montesquieu, para legislator dalam
membentuk hukum harus seperti tabib yang
mendiagnosis penyakit pasiennya kemudian
memberikan resep. 94 Legislator harus mendiagnosis di
masyarakat kebutuhan atau elemen-elemen apa saja
yang dapat di implementasikan saat diberlakukannya
peraturan perundang-undangan. Hal mendasar yang
tidak dapat di pisahkan adalah inherenisasi antara
pembuatan peraturan dengan pelaksana peraturan.
Sinergitas keduanya merupakan barometer terciptanya
negara yang aman dan tertib sehingga kondusifitas
dapat selalu terjaga.
Permasalahannya adalah, setiap resep yang
digunakan oleh legislator sama seperti dokter, yaitu

93 Sudikno Mertokusumo, 2011, Teori Hukum, Cetakan ke 1, Universitas Atma


Jaya, Yogyakarta, hal. 16.
94 Montesquieu, 2013, The Spirit of Laws, Cetakan Ke 6, Penerbit Nusa Media,

Bandung, hal. 17.

Filsafat Hukum | 69
mengacu pada pengamatan saat itu dan dengan kajian
suatu penyakit/ masalah yang sama, padahal setiap
manusia memiliki kondisi yang berbeda, bahkan setiap
masa juga memiliki kondisi yang berbeda, lalu apakah
kepastian hukum dalam suatu undang-undang sebagai
suatu resep tadi bisa menjawab permasalahan yang
ada.
Kemanfaatan merupakan tujuan hukum yang
memiliki peranan hukum saat proses ajudikasi dengan
mengenyampingkan keadilan dan kepastian hukum.
Dikatakannya hukum yang baik adalah apabila aplikasi
norma hukum memberikan kemanfaatan yang baik bagi
masyarakat serta menciptakan kesejahteraan bagi
masyarakat lainnya.Untuk itu penegak hukum dapat
implementasikan peraturan perundang-undangan
tentang lingkungan dengan mengutamakan rakyat dan
memerhatikan lingkungan serta komponen lain sebaik
mungkin.95
Memahami makna kemanfaatan hukum dan fungsi
hukum pada dasarnya merupakan pengkajian tentang

95 Suwardi Sagama, Analisis Konsep Keadilan, Kepastian Hukum Dan


Kemanfaatan Dalam Pengelolaan Lingkungan, Mazham, Jurnal Pemikiran
Hukum Islam, Mazahib,Vol XV, No. 1 (Juni 2016), hal. 35

70 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


makna signifikan suatu peraturan hukum. Hukum yang
diterima sebagai konsep yang modern memiliki fungsi
untuk melakukan suatu perubahan sosial. Di dalam
menjalankan fungsinya, hukum senantiasa berhadapan
dengan nilai-nilai maupun pola-pola perilaku yang telah
mapan dalam masyarakat.96
Kasus Polisi di Lombok yang menolak laporan
anak yang ingin memenjarakan ibu kandung karena
masalah penggelapan sepeda motor yang dibeli dari
harta warisan ayahnya pada dasarnya merupakan
wujud dari kemanfaatan hukum. Seorang Ibu
merupakan orang yang membesarkan anak tersebut,
setiap cucuran keringatnya tidak pernah ia hitung,
bahkan air susunya yang si anak minum, tidak pernah
dimintakan bayaran. Seandanya jasa ibu harus dihitung,
mungkin nilai sepeda motor yang ia gelapkan tidak
sebanding dari nilai jasa dan kasih sayang si Ibu. Oleh
karena itu hukum tidak bisa hanya diterapkan seperti
menerapkan aturan tertulis.

96
Sri Mulyani, Rekonstruksi Pemikiran Yuridis Integral Dalam Pembaharuan
Sistem Hukum Jaminan Fidusia Berpilar Pancasila, Jurnal Hukum Dan
Dinamika Masyarakat Vol.7 No.2 April 2010, hal. 120

Filsafat Hukum | 71
III
KEADILAN DALAM
PERSPEKTIF FILSUF REALIS

A. Buah Pikir Filsuf Realis Amerika


Filsafat yang berada dalam payung realisme
hukum, sesungguhnya berinduk pada empirisme yang
oleh David Hume diatrikan sebagai pengetahuan yang
bertumpu pada kenyataan empiris. Empirisme menolak
pengetahuan spekulatif yang hanya mengandalkan
penalaran logis ala rasionalisme abad ke-18. Ide-ide
rasional, menurut empirisme, bukanlah segala-galanya.
Ia tidak bisa diandalkan sebagai sumber kebenaran
tunggal. Ide - ide itu perlu dipastikan kebenarannya
dalam dunia empiris, dari sanalah kebenaran sejati bisa
diraih.
Realisme Hukum Amerika menempatkan
empirisme dalam sentuhan pragmatism sikap hidup

72 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


yang menekankan aspek manfaat dan kegunaan
berdasarkan pengalaman. Kehidupan nyata sehari-hari
adalah dunia pengalaman. Dunia pengalaman tidak bisa
dipotret lewat skema ideal-ideal yang spekulatif. Ia
hanya bisa ditangkap keutuhannya lewat pengalaman.
Itulah sikap yang realistis untuk memahami realitas.
Realisme Amerika beranjak dari sikap yang
demikian itu. Holmes, Frank, dan Cardozo misalnya,
tidak terlalu tergiur dengan gambaran-gambaran ideal
tentang hukum, dan juga tidak terbius dengan lukisan-
lukisan normatif yang a priori tentang hukum. Bagi
mereka, hal yang lebih penting adalah kepeloporan para
hakim dalam menjalankan hukum itu dalam kasus-kasus
nyata bagi hakim dan pelaksana hukum (sebagai orang
yang secara langsung berhadapan dengan dunia
kenyataan), norma-norma hukum tidak lebih patokan
umum saja. Bagaimananorma-norma itu dipasangkan
secara tepat dengan kekayaan dan kebenaran realitas,
merupakan wilayah kearifan para pelaksananya. Karena
realitas tidak selalu hitam-putih seperti skema hitam-
putih aturan hukum, maka dalam banyak hal justru
kepeloporan para hakimlah yang sangat menentukan

Filsafat Hukum | 73
apa yang merupakan hukum yang tepat, kini dan di
sini.97
Teori dari para pemikir Realisme Amerika itu, bisa
juga digolongkan sebagai salah satu versi teori di
bidang penerapan hukum. Dari apa yang dikatakan oleh
Holmes dan Frank di atas, tampak sekali teorisasi yang
memperlihatkan bahwa pada saat diterapkan, hukum
kembali memasuki wilayah das rein, dan tidak lagi
kukuh berdiri dalam singgasana das sollen. Kendali,
tidak lagi sepenuhnya dipegang oleh teks pasal-pasal,
tetapi juga sudah berada di tangan aparat
pelaksananya. Teks pasal-pasal harus ditransformasi ke
alam living interpretation yang kaya nuansa. Iaharus
menghadapi dunia "kenyataan yang utuh", dan itu
berarti faktor aparat (hakim) menjadi sangat
menentukan.98
Peran inti yang diberikan pada aparat (dalam teori
Holmes). secara langsung menohok inti doktrin
legalisme. Legalisme adalah cara berpikir yang
mendasarkan diri pada aturan, prinsip, atau norma

97 Bernart L Tanya dkk, 2007, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi), CV. Kita, Surabaya, hal. 193
98 Ibid., hal. 197.

74 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


obyektif yang dianggap harus berlaku dalam situasi dan
kondisi apapun. Menaati aturan, berarti benar.
Melanggar aturan. berarti salah. Tidak ada kompromi.
Legalisme, karenanya berbicara tentang apa yang benar
dan apa yang salah secara hitam-putih Memang, cara
berpikir seperti itu tentu banyak keuntunganya memberi
pegangan keputusan yang tegas dan jelas. Orang tidak
perlu bingung tentang apa yang benar dan apa yang
salah,asal saja hukumnya jelas.
Solusi yang berbobot tidak bisa diharapkan dari
legalisme yang mematrikan aturan sebagai tempat satu-
satunya bagi hakim dalam mengadili. Dalam legalisme,
hakim hanya menjadi corong wet. Hakim hanya boleh
menerapkan UU secara mekanis. Legalisme,
menyebabkan aturan jadi "berhala", kehidupan jadi
kaku, kenyataan yang kaya nuansa dilihat pakai
"kacamata kuda", kebenaran dan keadilan hanya
menjadi persoalan legal-tidak kegal, kearifan dan akal
sehat terdorong ke belakang. Itulah legalisme. Sebuah
semangat yang coute que coute, mentuhan peraturan.
Akibatnya, kepekaan, empati. serta dedikasi men
ghadirkan keadilan dan kebenaran menjadi kian redup
dan sayup-sayup di pojok yang paling jauh. Prinsip

Filsafat Hukum | 75
epikeia Aristoteles, ataupun equity-nya Plato yang,
fungsinya menjembatani gap antara kepastian dan
keadilan, dianggap haram dalam legalisme. Kebekuan
inilah yang diterobos oleh Holmes dan Frank.

B. Realisme Hukum Skandinavia


Realisme Hukum Skandinavia, berbeda lagi. Aliran
ini menempatkan empirisme dalam sentuhan psikologi.
Aliran yang bei-kembang di Uppsala, Swedia awal abad
ke-20 ini, mencari kebenaran suatu pengertian dalam
situasi tertentu dengan menggunakan psikologi. Tidak
seperti Realisme Hukum Amerika (yang memberi
perhatian pada praktik hukum dan para pelaksana
hukum), Realisme Hukum Skandinavia justru menaruh
perhatian pada perilaku manusia ketikaberada dalam
kontrol hukum. Dengan memanfaatkan pskologi, para
eksponen aliran ini mengkaji perilaku manusia (terhadap
hukum) untuk menemukan arti hukum yang
sebenarnya.99
Menurut Oliver Holmes, aturan hukum, bukanlah
poros sebuah keputusan yang berbobot. Aturan tidak bis
a diandalkan menj awab dunia kehidupan yang begitu

99 Ibid.

76 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


kompleks. Dan lagi pula, kebenaran yang riil, bukan
terletak dalam undang-undang, tapi pada kenyataan
hidup. Inilah titik tolak teori tentang kebebasan hakim
yang diusung oleh Oliver Holmes dan Jerome Frank
(eksponen Realisme Hukum Amerika).100
Hukum yang termuat dalam aturan-aturan, hanya
suatu generalisasi mengenai dunia ideal. Tapi menurut
Holmes, seorang pelaksana hukum (hakim),
sesungguhnya menghadapi gejala-gejala hidup secara
realistis. Sering ia menghadapi dua bahkan lebih
kebenaran yang seolah meminta kepastian mana yang
lebih unggul dalam konteks tertentu. Salah satu di
antara itu, adalah kebenaran versi aturan hukum. Tidak
jarang, bahkan amat sering, bahwa kebenaran-
kebenaran lain lebih unggul dari yang disodorkan aturan
formal. Mereka lebih relevan, lebih tepat, dan bahkan
lebih bermanfaat untuk suatu konteks riil, ketimbang
kebenaran yang ditawarkan aturan legal. Dalam hal
inilah, seorang hakim mempertaruhkan kepekaan dan
kearifannya. Ia harus memenangkan kebenaran yang
menurutnya lebih unggul, meskipun dengan resiko
mengalahkan aturan resmi.

100 Ibid., hal. 194

Filsafat Hukum | 77
Aturan-aturan hukum, di mata Holmes, hanya
menjadi salah satu faktor yang patut dipertimbangkan
dalam keputusan yang berbobot. Faktor moral, soal
kemanfaatan, dan keutamaan kepentingan sosial
misalnya, menjadi faktor yang tidak kalah penting dalam
mengambil keputusan yang berisi. Jadi bukan sebuah
pantangan, jika demi putusan yang fungsional dan
kontekstual, aturan resmi terpaksa disingkirkan (lebih-
lebih jika menggunakan aturan itu justru berakibat
buruk). Holmes menjadi hakim yang monumental dan
seminal, justru karena pendirian moralnya itu. Ia menjadi
monumen dari a creative lawyer: in accordance with
justice and equity. Dengan kapasitas seperti ini. para
hakim memiliki kompetensi merubah UU, bila hal itu
perlu.101
Mengikuti jejak Holmes, Jerome Frank memiliki
pandangan yang sama. Menurutnya, kebenaran tidak
bisa disamakan dengan suatu aturan hukum. Boleh raja
aturan mengandaikan putusanputusan hakim dapat
diturunkan secara otomatis sesuai aturan. Juga boleh
saja mengandaikan bahwa isi aturan selalu benar dan
baik, sehingga otomatis menjamin kepastian,

101 Ibid.

78 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


keamanan, dan harmoni dalam hidup bersama. Tapi itu
tidak berlaku bagi seorang yang berpikiran modern.
Boleh jadi, itu hanya ilusi. Karena faktanya, seorang
hakim dapat mengambil keputusan lain di luar skenario
aturan, yang dari sisi keutamaan, jauh lebih terpuji dari
yang ada dalam aturan. Memang kaidah-kaidah hukum
yang berlaku, mempengaruhi putusan seorang hakim.
Tapi itu hanya salah satu unsur pertimbangan saja. Di
samping itu, prasangka politik, ekonomi, dan moral ikut
pula menentukan putusan para hakim. Bahkan pula
simpati dan antipati pribadi berperan dalam putusan
tersebut, demikian Frank, Benjamin Cardozo, tampil
memperingatkan bahaya subyektivisme dalam teori
Frank. Benar bahwa ada ruang kebebasan bagi hakim
dalam mengambil keputusan. Benar pula bahwa faktor
sosial ekonomi serta aspek-aspek psikologis turut
berpengaruh dalam putusan hakim. Tapi semua itu tidak
boleh membuat seorang hakim lupd pada aspek
normatif dan hukum, yakni melayani kepentingan umum
akan keadilan. Kewibawaan seorang hakim menurut
Cardozo, justru terletak pada kesetiaannya menjunjung
tujuan hukum itu. Oleh karena itu, putusan hakim tidak
boleh berkembang secara bebas tanpa Batas. Kegiatan

Filsafat Hukum | 79
para hakim tetap terikat pada kepentingan umum
sebagai inti keadilan.
Misi suci mewujudkan kepentingan umum sebagai
tugas utama hakim, didukung oleh Roscoe Pound.
Menurut Pound, hukum sebagai suatu unsur dalam
hidup masyarakat, hams memajukan kepentingan
umum. Di mata Pound, dalam rangka mewujudkan
kepentingan umum itu, hukum harus difungsingkan
sebagai sebuah teknik sosial' (social engineering).
Hukum itu, hares didayagunakan menggerakkan
kemajuan untuk memajukan kepentingan umum dengan
cara memadukan secara proporsional kebutuhan sosial
dan kebutuhan individu. Untuk mengawal kemajuan
dalam paduan yang haiinoni itu, maka hukum harus
dibekali dengan kekuatan paksa. Fungsi sosial control
dari hukum, terletak di sini. Jadi fungsi kontrol
merupakan pendukung fungsi perubahan yang diemban
oleh hukum.102
Sebagai eksponen Realisme Hukum mazhab
Skandinavia. Ross menempatkan hukum dalam
kerangka fisio-psikis. Menurut Ross semua gejala yang
muncul dalam pengalaman tentang hukum hams di

102 Ibid., hal. 196.

80 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


selidiki sebagai gejala psiko-fisis. Bagi Ross dan
eksponen mazhab Skandinavia lainnya, seperti Axel
Hagerstrom, A.V. Lundstedt, K. Olivecrona, ilmu hukum
hams bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan empiris
yang relevan dalam bidang hukum. Kenyataan-
kenyataan itu, ditemukan dalam perasaan-perasaan
psikologis. Perasaan-perasaan itu, tampak pada rasa
wajib, rasa kuasa, ataupun rasa takut akan reaksi
lingkungan.
Dalam kerangka pemikiran psikologi ituiah, Ross
menjelaskan ikhwal timbulnya hukum sebagai aturan
masyarakat yang bersifat mewajibkan. Menurutnya,
suatu aturan hukum dirasa mewajibkan karena ada
hubungan antara perbuatan yuridis dan sanksinya. Bila
saya berbuat sesuai aturan, maka bebas dari sanksi.
Sebaliknya, jika berbuat tidak sesuai, maka pasti
menerima sanksi. Pengalaman inilah yang membuat
orang memandang hukum sebagai wajib. Berlakunya
hukum tidak lain dari itu, yakni suatu relasi timbalbalik
antara sanksi dengan rasa wajib/rasa takut. Maka
keharusan yuridis seluruhnya bersangkut paut dengan
realitas sosial.

Filsafat Hukum | 81
Kiranya jelas, lewat teori tentang 'rasa wajib' ini,
Ross secara langsung maupun tidak, sudah menggugat
Kelsen. Seperti diketahui, bagi Kelsen yang neo-
Kantian, keharusan yuridis adalah suatu ketegori yang
sama sekali lepas dari realitas sosial. Dunia Sollen
(seharusnya), terpisah dari dunia Sein (realitas). Karena
pemisahan ini, Kelsen mau tidak mau harus mencari
suatu norma dasar (Grundnorm) untuk mendasari sifat
wajib sebuah norma hukum. Ross menolak keterpilahan
seperti itu. Ia menolak teori Kelsen tentang keterpilahan
norma hukum dari realitas sosial. Sifat wajib dan hukum
(sebagai dasar keberlakuannya), bukan bertakhta di
dunia sana', di alam antah-berantah grundnorm. Yang
benar adalah, is berada dalam kancah realitas sosial,
yakni pengalaman akan 'rasa wajib'.
Menurut Ross, timbulnya hukum sebagai aturan
yang bersifat wajib, dapat diterangkan menurut empat
tahap: (i). Tahap pertama ialah, adanya paksaan aktual.
Situasi masyarakat diatur melalui paksaan. Masyarakat
semacam ini disebut oleh Ross sebagai suatu sistem
aktual paksaan (an actual system of compulsion). (ii).
Tahap yang kedua dirnulai, bila orang-orang mulai takut
akan paksaan. Karena rasa takut ini, anggota-anggota

82 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


komunitas mengembangkan suatu cara berlaku yang
sesuai dengan tuntutan yang diwajibkan padanya. (iii).
Tahap yang ketiga adalah situasi di mana orangorang
sudah mulai menjadibiasa dengan carahidup yang
sedemikian, dan lama-kelamaan mulai memandang
cara hidup itu sebagai sesuatu yang seharusnya. Maka
karena terpengaruh olehkekuasaan sugestif sosial dan
kebiasaan, orang sudah mulai berbicara tentang
sesuatu yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis
(a desinterested behaviour attitude). (iv). Tahap yang
terakhir adalah situasi hidup bersama di mana norma-
norma kelakuan ditentukan oleh instansi-instansi yang
berwibawa (the authoritative establishment of norms).
Orang akhirnya terbiasa merasa wajib untuk menaati
apa yang diputuskan oleh pihak yang berwibawa /
berwenang.103
Jadi, keharusan yuridis memang unsur realitas
sosial dalam mana kita hidup. Keharusan yuridis
sebagai realitas sosial menyatakan did sebagai suatu
totalitas organis dalammanaperbuata: sosial dan psiko-
fisis saling berjalin. Ross juga mengkonstata, bahwa
metode akal budi praktis seperti dianut dalam pendidika:

103 Ibid., hal. 200.

Filsafat Hukum | 83
hukum konvensional yang mengandalkan doktrin-
legalistik, tidak compatible untuk menjelaskan sifat wajib
dari hukum.
Dikatakan Ross, ilmu `akal praktis' tersebut,
sebenarnya bukan ilmu dalam arti yang sebenarnya.
Bagi suatu ilmu yang sungguh-sunguh, selalu telah ada
lapangan penyelidikan, sehin, terdapat juga kenyataan-
kenyataan yang dicari kebenarannya, tetapi untuk ilmu-
ilmu akal praktis seperti rechtsdogmatiek, tidak terdapat
bahan penyelidikan, sebab norma-norma hukum
ditentukan oleh para ilmuwan sendiri. Tidak dapat
dipastikan dari mana kebenarannya. Bmuwan-ilmuwan
yang telah menyusun suatu sistem ilmiah berdasarkan
akal praktis, hanya sampai pada bayang-bayang
spekulasi saja. Jika gugatan Ross terhadap ilmu hukum
tertuju pada ketiadaan lapangan penyelidikan, maka
Julius Stone menggugat soal ketiadaan metode (ilmiah)
dalam ilmu hukum. Menurut Stone, ilmu hukum tidak
mempunyai metoda penyelidikan sendiri. Oleh karena
itu hukum yang berlaku, yang terdiri dari perintah-
perintah, ideal-ideal, dan teknik-teknik tertentu, hams
dipelajari dalam terang pengetahuan yang berasal dan

84 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


ilmu-ilmu lain, yakni dari logika, ilmu sejarah, psikologi,
sosiologi, dan sebagainya. 104
Dalam ilmu-ilmu ini diselidiki semua hal yang ada
hubungan dengan hukum. Hasil studi logic, historis,
psikologis, dan sosiologis tentang hukum misalnya,
diambil alih oleh para sarjana hukum untuk
mengolahnya sesuai dengan tujuan mereka. Tujuan itu
bersifat praktis sematamata. Bahan dari ilmu-ilmu di
atas, dikemas menjadi aturan sehingga menjadi terang
bagi para mahasiswa fakultas hukum dan bagi kaum
yuris pada umumnya.

C. Persamaan Pemikiran Filsuf Filsuf Realis Amerika


dengan Realisme Hukum Skandinavia
Berdasarkan kedua aliran teori realisme hukum
maka dapat diambil poin pemikiran realisme hukum
sebagai berikut :
1. Hukum itu selalu berubah-ubah
2. Memahami bahwa Hukum adalah alat untuk
mengakhiri sengketa-sengketa yang ada di
masyarakat

104 Ibid., hal. 201.

Filsafat Hukum | 85
3. Masyarakat selalu berubah-ubah dan perubahan
lebih cepat dari hukum
4. Pemisahan anatara in dan out
5. Konsep pemikiran hukum yang lama sudah tidak
sesuai lagi, Prinsip-prinsip hukum dan ketentuan
hukum disesuaikan dengan kenyataan yang ada di
masyarakat.
6. Membuat suatu pedoman terhadap praktek-praktek
masa lalu untuk dapat menjadi pedoman dalam
menghadapi kasus yang sedang berjalan dimasa
sekarang

Aliran filsafat Realisme Hukum sangat intens


mengamati proses sampai putusan pengadilan, yang
akhirnya mengeluarkan berbagai rekomendasi untuk
memperbaiki putusan pengadilan dan proses untuk
pencapaian tersebut, antara lain, sebagai berikut:
1. Adalah lebih baik dan lebih efektif jika kategori hukum
semakin dipersempit, baik yang berkenaan
dengan hukum substantif maupun hukum acara.
2. Penekanan terhadap pentingnya kedudukan
personel pengadilan dan organisasi pengadilan

86 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


dalam rangka mencapai putusan yang baik, d
isamping perlunya hakim-hakim spesialisasi.
3. Lebih menekankan kepada pendekatan terhadap
masalah-masalah hukum sebagai suatu alokasi
resiko, utamanya terhadap kasus-
4. kasus yang berkenaan dengan tidak
terwakilinya para pihak dengan baik di
pengadilan.
5. Rekomendasi tentang perlunya hakim
menelaah secara komprehensif terhadap
masalah kebijaksanaan (policy) dalam kasus
yang ditanganinya dan menggunakan putusan
terdahulu yang bebas dari campur tangan dan
pengaruh apapun sebagai acuan dalam memutus
perkara tersebut.105

Esensi filsafat Realisme adalah untuk menemukan


kebenaran akan penerapan hukum (dalam praktek)
yang diperankan oleh pengadilan sehingga betul-
betul tercipta kebenaran materiil lewat lahirnya
sebuah putusan hakim (vonis) yang dapat memuaskan

105 Munir Fuady, 2007, Dinamika Teori Hukum , Cetakan Pertama, Penerbit:
Ghalia Indonesia, Bogor, hal. 140-141.

Filsafat Hukum | 87
para pencari keadilan atau tercapainya kepastian,
kemanfaatan dan keadilan sesuai dengan tujuan hukum
itu sendiri.

D. Perbedaan Pemikiran Filsuf Filsuf Realis Amerika


dengan Realisme Hukum Skandinavia
Berdasarkan kedua pandangan realisme hukum
bak dari Amerika maupun Skandinavia memiliki
perbedaan yaitu Amerika lebih memfokuskan diri pada
kerja praktis untuk mengkaji proses hukum, berbeda
dengan Realisme Skanidnavia yang lebih berfokus
kepada operasi teoritis atas sistem hukum secara
keseluruhan. Skandinavia memang merepresentasikan
aliran empiris yang ekstrem, namun Amerika justru yang
paling depan dalam menekankan pentingnya studi
faktual dalam rangka mencari solusi atas problem
hukum. Skandinavia tampak lebih mengandalkan pada
argumen apriori dalam menemukan solusi atas problem
hukum. Gerakan Realisme Skandinavia dipengaruhi
oleh tradisi filsafat Eropa, sedangkan realisme Amerika
lebih dipengaruhi oleh karakter empirisme Inggris.

88 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


IV
PEMIKIRAN FILSUF YUNANI

A. Kontemplasi Plato sebagai Filsuf Barat


Filosof Yunani kuno Plato merupakan cikal bakal
filosof politik Barat dan sekaligus pencipta pemikiran
etika dan metafisika. Pendapat-pendapatnya di bidang
filsafat sudah tersebar luas lebih dari 2300 tahun. Plato
merupakan bapak filsafat dan pemikir dari Barat, Plato
dilahirkan dari kalangan famili Athena kenamaan sekitar
tahun 427 SM. Plato membuka sekolah dengan nama
academia di Athena.106
Plato berpendapat bahwa “pengetahuanlah yang
menduduki tempat utama dalam satu negara bukan
hukum yang menjadi sumber kekuasan suatu
negara.” 107 Realitas yang dipertentangkan sehubungan

106
Soehino, 2001, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, hal. 16
107 H. Rapar, 1993, Filsafat Politik Aristoteles, Penerbit Raja Grafindo Persada,
Jakrata, hal. 56.

Filsafat Hukum | 89
dengan hukum ini, seringkali dipraktekan juga oleh
negara kita. Ada banyak fakta telah membuktikannya.
Hukum yang berlaku sering kali tidak dihargai. Hukum
dijadikan oleh pihak-pihak tertentu sebagai sarana
kekuasaan dalam mengejar kepentingan-kepentingan
kelompok atau pribadi. Zaman Orde Baru hendak
menjadi contoh bagi kita, dimana hukum di Negeri ini
tergantung dari orang-orang tertentu. Di zaman kita ini
pun ada banyak kelompok orang atau kita sendiri yang
menafsirkan hukum secara berbeda- beda. Ada yang
bertindak atas dasar hukum. Ada yang membenarkan
diri atas dasar hukum. Ada pula yang mengejar tujuan
pribadi dengan menggunakan hukum sebagai sarana
pencapaian tujuannya.
Nilai-nilai atau pandangan Plato pada dasarnya
adalah pandangan tentang kebajikan sebagai dasar
negara ideal, ajaran Socrates kebajikan pengetahuan
adalah diterima secara taken for granted, jadi penulis
melihat bahwa pemikiran Plato nilai- nilai
orisionalitasnya dipertannyakan, penulis berani
mengatakan bahwa pemikiran Plato tidak ada, tapi yang
ada adalah kelanjutan pemikiran Socrates saja yang
ditulis dan dilanjutkan oleh Plato, artinya Plato hanya

90 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


melanjutkan pemikiran Socrates yang kemudian
dikembangkannya yang tidak terlalu mendalam, jadi
menurut penulis kita tidak boleh terlalu mengagung-
agungkan pemikiran Plato itu sendiri.
Menurut Plato negara ideal menganut prinsip yang
mementingkan kebajikan. Kebajikan menurut Plato
adalah pengetahuan. Apapun yang dilakukan atas nama
Negara harus dengan tujuan untuk mencapai kebajikan,
atas dasar itulah kemudian Plato memandang perlunya
kehidupan bernegara. Tidak ada cara lain menurut Plato
untuk membanguan pengetahuan kecuali dengan
lembaga-lembaga pendidikan, inilah yang kemudian
memotivasi Plato untuk mendirikan sekolah dan
akademi pengetahuan.
Plato menilai negara yang mengabaikan prinsip
kebajikan jauh dari negara yang di dambakan oleh
manusia, sehinga negara yang ideal menurut Plato
adalah negara negara yang menjunjung kebajikan. Plato
mengambarkan seorang filsuf adalah dokter, filsuf meski
mengetahui penyakit-penyakit yang dialami oleh
masyarakat, mampu mendiagnosa dan mendeteksi
sejak dini. Plato beranggapan munculnya negara adalah

Filsafat Hukum | 91
akibat hubungan timbal balik dan rasa saling
membutuhkan antar sesama manusia.
Plato berangapan munculnya negara karena
adanya hubungan timbal balik dan rasa saling
membutuhkan antara sesama manusia, manusia juga
dianugerahi bakat dan kemampuan yang tidak sama,
pembagian kerja-kerja sosial muncul akibat adanya
perbedaan alami, masing-masing memiliki bakat
alamiah yang berbeda, perbedaan bakat dan
kemampuan justru baik bagi kehidupan masyarakat,
karena menciptakan saling ketergantungan, setiap
manusia tentu tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya
secara subsistensi, yang untuk memenuhi kebutuhan
tersebut membutuhkan orang lain, negara dalam hal ini
berkewajiban memperhatikan pertukaran timbal balik,
dan berusaha agar kebutuhan masyarakat terpenuhi.
Kematian Socrates sangat mempengaruhi
pandangan Plato tentang negara. Socrates dihukum
mati di Athena, yang menggunakan sistem
108
pemerintahan demokratis. Kematian tersebut

108 Betran Russel, History of Western Philosophy and its Connection with
Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present
Day, terjemahan Sigit Jatmiko, Agung Prihantoro, Imam Muttaqien, Imam
Baihaqi, Muhammad Shodiq (Penj.. Sejarah Filsafat Barat: Kaitanya dengan

92 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


berdampak pada diri Plato, sehingga dia mencoba
mencari konsep negara yang ideal. Negara ideal
menurut Plato tergambar dari konsep negara Sparta.
Negara Sparta memiliki undang - undang yang rumit.
Ada dua raja yang berasal dari keluarga yang berbeda,
dan digantikan secara turun temurun. Salah satu raja
memimpin pasukan di masa perang, namun di masa
damai kekuasaannya dibatasi. Mereka menjadi anggota
Dewan sesepuh, suatu lembaga yang terdiri dari tiga
puluh orang (termasuk raja); dua puluh delapan anggota
lainnya harus berusia lebih dari enam puluh tahun, dan
diangkat seumur hidup oleh seluruh warganegara,
namun hanya yang termasuk keluarga bangsawan.109
Selain raja, Dewan Sesepuh, dan Majelis, terdapat
pula lembaga pemerintahan keempat yang khas Sparta,
yakni lima ephor. Lembaga ini dipilih dari antara semua
warganegara lewat metode diundi.110 Para ephor inilah
yang merupakan unsur “demokratis” dalam undang-

Kondisi Sosio-politik zaman kuno hingga sekarang. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2004, hal. 101
109
Mohammad Hatta, 1986, Alam Pikiran Yunani. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, hal. 89
110 Betran Russel, Op cit., hal. 131

Filsafat Hukum | 93
undang Sparta, yang agaknya dimaksudkan untuk
mengimbangi kekuasaan raja.
Plato begitu kagum dengan Sparta karena
stabilitas negara tersebut. Sparta telah menjadi ideal
bagi Plato karena selama periode yang panjang bangsa
tersebut telah berhasil mencapai tujuan utamanya, yakni
terciptanya suatu ras yang terdiri dari para serdadu yang
111
tak tertaklukkan . Plato pun, akhirnya,
mengidealisasikan secara filosofis atas negara Sparta
dalam karyanya “Republic”. 112
Kebesaran Lycurgus,
yang bijak dan gagah perkasa dalam perang, menjadi
sosok perpaduan raja-filsuf.
Negara ideal menurut Plato juga didasarkan pada
prinsip-prinsip larangan atas kepemilikan pribadi, baik
dalam bentuk uang atau harta, keluarga, anak dan istri
inilah yang disebut nihilism. Dengan adanya hak atas
kepemilikan menurut filsuf ini akan tercipta
kecemburuan dan kesenjangan sosial yang
menyebabkan semua orang untuk menumpuk
kekayaannya , yang mengakibatkan kompetisi yang
tidak sehat. Anak yang baru lahir tidak boleh dikasuh

111 Ibid., hal. 132


112 Ibid., hal. 135

94 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


oleh ibu yang melahirkan tapi itu dipelihara oleh Negara,
sehinga seorang anak tidak tahu ibu dan bapaknya,
diharapkan akan menjadi manusia yang unggul, yang
tidak terikat oleh ikatan keluarga dan hanya memiliki
loyalitas mati terhadap negara.
Dalam buku Politeia Plato melukiskan suatu model
tentang negara yang adil. Negara harus diatur secara
seimbang menurut bagian-bagiannya, supaya adil.
Dalam negara macam itu tiap-tiap golongan mempunyai
tempat alamiahnya. Timbullah keadilan, bila tiap-tiap
kelompok (filsuf, tentara, pekerja) berbuat apa yang
sesuai dengan tempatnya dan tugasnya.113
Plato percaya bahwa bagi semua orang, entah dia
lelaki atau perempuan, mesti disediakan kesempatan
memperlihatkan kebolehannya selaku anggota
"guardian". Plato merupakan filosof utama yang
pertama, dan dalam jangka waktu lama nyatanya
memang cuma dia, yang mengusulkan persamaan
kesempatan tanpa memandang kelamin. Untuk
membuktikan persamaan pemberian kesempatannya,
Plato menganjurkan agar pertumbuhan dan pendidikan

113 Theo Huijbers, 2007, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Kanisius.
Yogyakarta, hal. 23

Filsafat Hukum | 95
anak-anak dikelola oleh negara. Anak-anak pertama-
tama kudu memperoleh latihan fisik yang menyeluruh,
tetapi segi musik, matematika dan lain-lain disiplin
akademi tidak boleh diabaikan. Pada beberapa tahap,
ujian ekstensif harus diadakan. Mereka yang kurang
maju harus diaalurkan untuk ikut serta terlibat dalam
kegiatan ekonomi masyarakat, sedangkan orang-orang
yang maju harus terus melanjutkan dan menerima
gemblengan latihan. Penambahan pendidikan ini harus
termasuk bukan cuma pada mata pelajaran akademi
biasa, tetapi juga mendalami filosofi yang oleh Plato
dimaksud menelaah doktrin bentuk ideal faham
metafisikanya.
Pada usia tiga puluh lima tahun, orang-orang ini
yang memang sudah betul-betul meyakinkan mampu
menunjukkan penguasaannya di bidang teori-teori
dasar, harus menjalani lagi tambahan latihan selama
lima belas tahun, yang mesti termasuk bekerja mencari
pengalaman praktek. Hanya orang-orang yang mampu
memperlihatkan bahwa mereka bisa merealisir dalam
bentuk kerja nyata dari buku-buku yang dipelajarinya
dapat digolongkan kedalam "kelas guardian." Lebih dari
itu, hanya orang-orang yang dengan jelas bisa.

96 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


menunjukkan bahwa minat utamanya adalah mengabdi
kepada kepentingan masyarakatlah yang bisa diterima
ke dalam. "kelas guardian."
Plato menyarankan sistem komunisme
sepenuhnya bagi kelas pemimpin, dan juga untuk kelas
serdadu. Para pemimpin hendaknya menempati rumah
kecil dan mengkonsumsi makanan sederhana; mereka
hendaknya hidup dalam asrama, makan bersama-sama
114
secara berkelompok. Kemelaratan dan kekayaan
merupakan sesuatu yang berbahaya, dan dalam negeri
Plato keduanya tidak boleh ada (Russel, 2004: 150).
Pemikiran Plato tersebut sangat mencerminkan bahwa
dia terpangaruh oleh konsep negara Lycurgus.
Lycurgus, menurut Plutarchus, benar-benar mengatur
warga-negaranya sedemikian rupa sehingga mereka tak
menghendaki dan tak bisa hidup sendirian, kecuali
hidup dalam keadaan di mana manusia saling terikat
satu sama lain, dan senantiasa berkelompok bersama-
sama, seperti lebah-lebah yang senantiasa terikat
dengan ratunya.115

114 Betrand Russel, Op cit., hal. 150


115 Ibid., hal. 139

Filsafat Hukum | 97
Dalam konteks doktrin ide Plato, ide keadilan bisa
ditunjukkan dalam kaitannya dengan ide tentang polis,
karena perenungan gagasan tentang polis ini
menghasilkan sebuah citra di mana hukum dan
perundangan nyaris tidak memainkan peran sama
sekali. Pemikiran Plato tentang polis sangat dicirikan
116
dengan kekuasaan filsuf-raja. Lebih lanjut untuk
mengefektifkan kelembagaan kenegaraan, Plato
membagi penduduk dalam tiga golongan:
1. Golongan Bawah, yaitu golongan rakyat jelata, yang
merupakan petani, tukang dan saudagar. Kerja
mereka adalah menghasilkan keperluan sehari-hari
bagi ketiga golongan. Mereka merupakan dasar
ekonomi bagi masyarakat. Karena mereka
menghasilkan mereka tidak boleh ikut serta dalam
pemerintahan. Seabagai golongan ayang berusaha
mereka boleh mempunyai hak milih dan harta boleh
berumah tangga sendiri.
2. Golongan tengah, yaitu penjaga atau pembantu
dalam urusan negara. Tugas mereka adalah

116 Carl Joichim Friedrich, 2004, The Philosophy of Law in Historical


Perspective. Raisul Muttaqien (penj.). filsafat Hukum: Perspektif Sejarah.
Nuansa dan Nusamedia. Bandung, hal. 19

98 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


mempertahankan negara dari serangan musuh. Dan
menjamin supaya undang-undang dipatuhi oleh
rakyat. Dasr kerjanya mengabdi kepada negara. Oleh
karena itu mereka tinggal bersama dalam asrama
dan tidak boleh berkeluarga. Hidup mereka
didasarkan atas perbaikan jenis manusia dan
hubungan mereka dengan perempuan diatur oleh
negara dengan pengawasan yang rapih. Anak yang
lahir dari hubungan mereka dipugut dan dididik oelh
negara. Anak itu tidak tahu saiap bapaknya dan siapa
ibunya. Semua anak yang lahir mengaku satu sama
lain bersaudara berkakak adik. Taip orang alaki-laki
dipandang bapak dan tiap wanita dipandang ibu.
Dengan begitu diharapkan akan timbul rasa
persaudaraan antara segala manusia.
3. Golongan Atas, yaitu kelas pemerintah atau filosof.
Mereka terpilih dari yang cakap dan terbaik dari kelas
penjaga, setelah menempuh pendidikan dan latihan
yang spesial. Tugas mereka adalah membuat
undang-undang dan mengawasi pelaksanaanya.
Mereka memangku jabatan yang tertinggi. Selain itu
mereka mempergnakan waktu luang untuk
memperdalam filosofi dan ilmu pengetahuan tentang

Filsafat Hukum | 99
idea kebaikan. Mereka harus menyempurnakan budi
yang tepat bagi golongan mereka yaitu budi
kebijaksanaan.117
Dalam negara yang ideal golongan pengusaha
menghasilkan tetapi tidak memerintah. Golongan
penjaga melindungi tapi tidak memerintah. Golongan
cerdik pandai di beri makan dan dilindungi dan mereka
memerintah. Ketiga macam budi yang dimiliki masing-
masing golongan yaitu bijaksana berani dan menguasai
diri dapat menyelenggarakan dengan kerja sama budi
keempat bagi masyarakat yaitu keadilan.
Ketika Plato menulis dialog yang dikenal berjudul
politeia, atau “konstitusi” (bukan republik), 118 dia yakin
bahwa ini merupakan problema yang sangat sulit,
namun bukan berarti tidak dapat dipecahkan. Plato
yakin solusinya ialah bahwa filsuf mesti menjadi
penguasa atau filsuf penguasa, atau orang-orang yang
mengupayakan kearifan melalui pemahaman sejati
mengenai gagasan. Dia yakin bahwa jika kebetulan
seseorang yang memiliki kekuasaan tak terbatas dalam

117 Harun Hadiwijono, 2006, Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Kanisius,


Yogyakarta, hal. 44.
118 Carl Joichim Friedrich, Op cit., hal. 19

100 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


sebuah polis bertemu dengan pencari kearifan itu,
penciptaan masyarakat yang benar-benar baik bisa
diharapkan terlaksana. Plato, seperti diketahui,
mengupayakannya sendiri dan bertindak sejalan dengan
keyakinan ini ketika dia menerima undangan dari
rekannya Dion untuk bekerja pada Dionysius I dan
Dionysius II Syracuse dengan harapan akan
menciptakan polis Syracuse dalam gambarannya,
119
namun usaha tersebut gagal.
Akibatnya, Plato kemudian kembali kepada doktrin
Yunani tradisional yang menyatakan bahwa tatanan
polis yang baik hanya bisa diwujudkan dengan membuat
peraturan mendasar atau nomos. Namun nomos ini
dipandang Plato sebagai partisipasi dalam gagasan
keadilan, dan melalui partisipasi ini ia pada gilirannya
berperanserta dalam gagasan kebijakan. Sebuah polis
bukanlah gagasan itu sendiri, melainkan ia
“berpartisipasi” dalam gagasan itu.120 Plato menyatakan
tujuan hidup ialah eudaimonia atau hidup lebih baik.121
Keadilan menurut Plato, bahwa negara harus
diselenggarakan menurut cara-cara tradisional, atau

119
Ibid., hal. 20
120 Ibid., hal. 20
121 Hadiwijono, Op cit., hal. 43

Filsafat Hukum | 101


menurut cara yang ia anjurkan, untuk dapat
merealisasikan sejumlah cita-cita etis seutuhnya.
Dikatakan bahwa keadilan terwujud pada kenyataan di
mana setiap orang menjalankan tugasnya masing-
masing. Di negara yang tak mengalami perubahan dari
generasi ke generasi, seperti di Mesir purba dan
kerajaan Inca, tugas seseorang tak berbeda dengan
tugas ayahnya, dan tak ada persoalan yang timbul.
Namun, di negara yang dibayangkan Plato tak seorang
pun yang mempunyai ayah yang resmi. Tugas
warganegara dengan demikian harus ditentukan baik
berdasarkan seleranya sendiri atau berdasarkan
keputusan negara sesuai dengan bakatnya. Pilihan
kedua inilah yang dikehendaki Plato.122
Plato menjelaskan tentang otoritas hukum, dengan
memberi contoh, bahwa hukum yang mengatur manusia
untuk menikah sebelum usia tiga puluh lima tahun harus
diimplementasikan dengan sebuah pembukaan
(preambule) yang menjelaskan perlunya kepala rumah
tangga demi keberlangsungan masyarakat. Penjelasan
yang demikianlah inilah, hukum dapat ditegakkan dan
dijaga. Gambaran hukum tersebut mencerminkan

122 Betrand Russel, Op cit., hal. 155

102 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


bagaimana pengaruh Sparta terhadap pemikirannya
tentang negara.123
Plato juga tidak memperkenankan lembaga
perkawinan, tak seorang pun yang dapat mengklaim istri
mereka, istri hanya bisa menjadi hak kolektif, hubungan
seks yang dilakukan tidak boleh monogam melainkan
poligami, Plato melihat lembaga perkawinan membuat
ketidaksamaan antara laki-laki dan perempuan, yang
lembaga perkawinan telah mengekang bakat alami
manusia dan membuat diskriminasi.
Pemikiran Plato yang anti individualism yang telah
merusak kehidupan sosial masyarakat Athena, manusia
menjadi individualism hanya mementingkan kebutuhan
diri mereka sendiri dan mengabaikan kepentingan orang
lain. Padahal kehidupan bernegara menekankan
petingnya saling ketergantungan sesama warga negara.
Bagi Plato adalah kehidupan yang senang dan
bahagia, manusia harus mengupayakan kesenangan
dan kebahagian itu, menurut plato kesenangan itu tidak
hanya kepuasan hawa nafsu selama hidup di dunia,
Plato sepakat dengan kesenangan dua dunia itu. Dunia
ide semua ide dengan ide yang baik atau kebaikan

123 Friedrich, Op cit., hal. 22

Filsafat Hukum | 103


dengan kebajikan sebagai ide yang tertinggi di dunia,
ide adalah realitas yang sesunguhnya, sementara
segala sesuatu yang ada di indrawi merupakan realitas
bayangan . Hanya orang yang baik dan bijaksana yang
akan dapat memahami segala sesuatu yang beraneka
ragam yang berubah-ubah yang ada di dunia indrawi.
Dengan demikian jelas bahwa etika Plato adalah etika
yang berdasarkan dengan ilmu pengetahuan yang
benar itu, sementara pengetahuan hanya dapat
diperoleh diraih, dimiliki lewat akal budi, maka itulah
kenapa etika Plato disebut dengan etika rasional.

B. Anti Tesis Aristoteles Terhadap sang Guru


Aristoteles adalah murid Plato di akademi, dikenal
sebagai pemikir emperis-realis berbeda dengan Plato
yang berfikir utopis dan idealis. Bisa jadi pemikiran
Aristoteles adalah bentuk protes terhadap pemikiran
dan gagasan Plato. Negara menurut Aristoteles
diibaratkan dengan tubuh manusia, negara lahir dalam
bentuk yang sederhana kemudian berkembang menjadi
kuat dan sederhana, setelah itu hancur dan tenggelam
dalam sejarah. Negara terbentuk karena manusia yang
membutuhkan Negara, manusia adalah makhluk yang

104 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


tidak bisa hidup tanpa orang lain, hubungan saling
ketergantungan antara individu dengan masyarakat.
Negara ideal menurut Plato adalah city state,
negara yang tidak terlalu luas dan tidak terlalu kecil,
negara luas akan sulit untuk menjaganya, sementara
negara yang terlalu kecil akan sulit untuk dipertahankan
karena mudah dikuasai. Menurut Aristoteles, negara
adalah lembaga politik yang paling berdaulat, bukan
berarti lembaga ini tidak memiliki batasan kekuasaan.
Tujuan terbentuknya negara adalah untuk kesejahteraan
seluruh penduduk atau rakyat bukan kesejahteraan
individu. Negara yang baik menurut Plato adalah negara
yang dapat mencapai tujuan-tujuan negara. Sementara
negara yang tidak dapat melaksanakan tujuan-tujua
tersebut maka adalah negara gagal.
Idealnya menurut Aristoteles monarki sebagai
negara ideal, karena ia diperintah oleh seoarang filsuf,
arif dan bijaksana. Kekuasaan untuk kesejahteraan
rakyat. Tapi Aristoteles menyadari sistem monarki nyaris
tak mungkin ada dalam realitas, ia hanya gagasan yang
lahir bersifat normative yang sangat sukar diwujudkan
dalam dunia emperis. Oleh karena itu demokrasi
menurut Aristoteles dari tiga bentuk negara itu yang bisa

Filsafat Hukum | 105


diwujudkan dalam kenyataan. Berbeda dengan Plato
tidak bersifat realistik ketimbang Aristoteles .
Karya terbesar filsafat yang dihasilkan oleh
Aristoteles adalah logika, sehingga banyak orang
mengatakan dia sebagai penemu, atau bapak logika,
sebebarnya istilah logika tidak pernah dipergunakan
oleh Aristoteles, tapi juga kita mengenal ini dengan
dealetika, inti dari logika adalah cara untuk menarik
prosisi demi mencari kebenaran, juga sebagai sarana
untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Pengaruh Aristoteles terhadap cara berpikir Barat
di belakang harisungguh mendalam. Di zaman dulu dan
zaman pertengahan, hasil karyanyaditerjemahkan ke
dalam bahasa-bahasa Latin, Arab, Itali, Perancis,Ibrani,
Jerman dan Inggris. Penulis-penulis Yunani yang
munculkemudian, begitu pula filosof-filosof Byzantium
mempelajari karyanyadan menaruh kekaguman yang
sangat. Perlu juga dicatat, buahpikirannya banyak
membawa pengaruh pada filosof Islam dan berabad-
abad lamanya tulisan-tulisannya mendominir cara
berpikir Barat. Ibnu Rusyd (Averroes), mungkin filosof
Arab yang paling terkemuka, mencoba merumuskan
suatu perpaduan antara Teologi Islam dengan

106 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


rasionalisme Aristoteles. Maimomides, pemikir paling
terkemuka Yahudi abad tengah berhasil mencapai
sintesa dengan Yudaisme.

C. Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Filsuf Plato


dengan Filsuf Aristoteles
Socrates berpendapat bahwa hukum dari
penguasa (hukum negara) harus ditaati, terlepas dari
hukum itu memiliki kebenaran objektif atau tidak. Ia tidak
menginginkan terjadinya anarkisme, yakni
ketidakpercayaan terhadap hukum. Ini terbukti dari
kesediaannya untuk dihukum mati, sekalipun ia
meyakini bahwa hukum negara itu salah. Dalam
mempertahankan pendapatnya, Socrates menyatakan
bahwa untuk dapat memahami kebenaran objektif orang
harus memiliki pengetahuan (theoria). Pendapat ini
dikembangkan oleh Plato murid dari Socrates.
Plato berpendapat bahwa penguasa tidak memiliki
theoria sehingga tidak dapat memahami hukum yang
ideal bagi rakyatnya, sehingga hukum ditafsirkan
menurut selera dan kepentingan penguasa. Oleh karena
itu, Plato menyarankan agar dalam setiap undang-
undang dicantumkan dasar (landasan) filosofisnya.

Filsafat Hukum | 107


Tujuannya tidak lain agar penguasa tidak menafsirkan
hukum sesuai kepentingannya sendiri. Pemikiran Plato
inilah yang menjadi cerminan bayangan dari hukum dan
negara yang ideal.
Aristoteles, murid dari Plato tidak sependapat
dengan Plato. Aristoteles berpendapat bahwa hakikat
dari sesuatu ada pada benda itu sendiri. Pemikiran
Aristoteles sudah membawa kepada hukum yang
realistis. Menurut Aristoteles, manusia tidak dapat hidup
sendiri karena manusia adalah mahkluk yang
bermasyarakat (zoon politikon). Oleh karena itu, perlu
ketaatan terhadap hukum yang dibuat penguasa polis.
Hukum yang harus ditaati dabagi menjadi dua,
yakni hukum alam dan hukum positif. Dari gagasan
Aristoteles ini, pengertian hukum alam dan hukum positif
muncul, kedua hukum tersebut memiliki pengertian yang
berbeda. Menurut Aristoteles, hukum alam ditanggapi
sebagai suatu hukum yang selalu berlaku dan di mana-
mana, karena hubungannya dengan aturan alam,
sehingga hukum tidak pernah berubah, lenyap dan
berlaku dengan sendirinya.
Hukum alam berbeda dengan hukum positif yang
seluruhnya tergantung pada ketentuan manusia.

108 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


Misalnya, hukum alam menuntut sumbangan warga
negara bagi kepentingan umum, jenis dan besarnya
sumbangan ditentukan oleh hukum positif, yakni
undang-undang negara, yang baru berlaku setelah
ditetapkan dan diresmikan isinya oleh instansi yang
berwibawa.
Plato dan Aristoteles sama-sama hidup di Zaman
Yunani Kuno, dan memiliki pandangan dan ketertarikan
yang sama mengenai Negara. Seperti juga Plato,
Aristoteles pun beranggapan bahwa negara itu
dimaksudkan untuk kepentingan warga negaranya,
supaya mereka itu dapat hidup baik dan bahagia.
Aristoteles dan Plato sama sama berasal dari
pandangan idealism ke realism.
Berbeda dengan Plato mengenai hak milik,
Aristoteles membenarkan adanya hak milik individu, hak
milik penting untuk memberikan tanggung jawab bagi
seseorang untuk mempertahankan kelangsungan
kehidupan sosial. Selain itu meskipun Aristoteles adalah
murid yangt ar daripada Plato, namun di dalam banyak
hal terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat besar.
Perbedaan-perbedaan ini timbul karena pengaruh

Filsafat Hukum | 109


keadaan pada waktu hidupaya, terutama pada waktu
kedua sarjana itu menulis ajaran-ajarannya.
Perbedaan ini antara lain, Plato di dalam ajaran-
ajarannya masih mencampur adukkan semua obyek
penyelidikannya, sedangkan kalau Aristoteles telah
memisah-misahkannya, yaitu tentang keadilan ditulis
dalam bukunya yang diberi nama Ethica, dan tentang
negara dalam bukunya yang bernama Politica.
Sebetulnya isi daripada kedua bukunya itu adalah
sangat berlainan, tetapi oleh Aristoteles dianggap atau
dimaksudkan sebagai suatu rangkaian, yaitu Ethica
merupakan pengantar daripada Politica. Sebab
kesusilaan itu juga mengutamakan manusia sebagai
warga dari suatu negara dan bukan sebagai manusia
yang mandiri.
Apabila Plato adalah pencipta idealisme, yaitu
yang memandaang bahwa benda-benda yang ada di
luar diri manusia, yang dapat dilihat a:au ditangkap
dengan panca-indera itu adalah sebagai bayangan saja
daripada benda-benda dalam bentuknya yang murni
yang berada di dunia yang lain, yaitu dunia cita-cita atau
dunia idea. Sedangkan kalau Aristoteles adalah seorang
pencipta daripada ajaran realisme. Aristoteles memang

110 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


melanjutkan cara berpikir Plato, yaitu dari idealisme ke
realisme. Tetapi karena Aristoteles kemudian ingin
menyelidiki sifat-sifat umum daripada segala-galanya
yang ada di dunia ini, maka timbullah ajaran ilmu
pengetahuan baru yaitu Prima philosophia, suatu ajaran
filsafat yang mencari hakekat yang dalam daripada apa
yang ada, jadi mencari Makna keadaan. Oleh karena itu
filsafatnya adalah merupakan suatu ajaran kenyataan
atau Ontologi, suatu cara berpikir yang realistis. Jadi
menurut Aristoteles hakikat dari benda adalah benda itu
sendiri. Benda itu adalah semata-mata suatu substansi,
jenisnya adalah merupakan suatu hal yang berada di
tempat kedua. Walaupun demikian barang yang umum
itu tidak berdiri sendiri, tetapi is berada pada benda
yang khusus itu. Yang umum itu adalah menurut nilai
dan tingkatannya yang pertama, dan benda yang
sebenarnya untuk diketahui)
Dengan perbedaan ajaran filsafatnya yang
demikian itu, maka berakibat perbedaan yang tegas
antara ajaran Plato dan ajaran Aristoteles tentang
negara dan hukum. Aristoteles tidak membedakan
antara dunia citacita dengan dunia gejala-gejala, tetapi
pikirannya ditujukan langsung kepada kenyataan

Filsafat Hukum | 111


sebenarnya daripada dunia panca-indera. Dengan
demikian kiranya akan dapat tercapai hal-hal yang
bersifat umum daripada barangbarang yang khusus
yang tak terhitung banyaknya itu.
Negara yang ideal menurut Plato adalah Negara
Aristokrasi, dimana Negara menguasai segalanya agar
tidak terjadi kecemburuan social. Sedangkan menurut
Aristoteles negara itu merupakan suatu kesatuan, yang
tujuannya untuk mencapai kebaikan yang tertinggi, yaitu
kesempurnaan diri manusia sebagai anggauta daripada
negara. Dengan demikian Aristoteles telah menjadi
seorang realistis, sedangkan kalau Plato dalah seorang
idealistis. Hal yang demikian ini akan dpat kita pahami,
bila kita melihat, dan memperhatikan keadaan, yaitu
bahwa Plato menciptakan filsafatnya itu dalam keadaan
alam demokrasi, di mana orang selalu mencari jalan
untuk mencapai keadilan. Sedangkan kalau Aristoteles
menciptakan filsafatnya itu dalam keadaan alam
kerajaan dunia, di mana rakyat yang dulunya merdeka
itu dikuasai oleh seorang penguasa asing yang
memerintah dengan kekuasaan tak terbatas. Jadi
dengan demikian seandainya unsur etis yang harus
merupakan dasar untuk pikiran yang universalistis

112 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


tentang negara dan hukum itu dijadikan bagian daripada
Ilmu Negara, maka hal itu harus pula dijadikan ukuran
bagi perbuatan-perbuatan, juga bagi pemerintah,
(penguasa). Hal ini kiranya akan tidak mungkin, karena
akan dilarang oleh penguasa dari kerajaan yang absolut
itu, lebih-lebih jika kekuasaan yemerintahan yang ada
itu merupakan kekusaan asing. Maka dari situ sistematik
buku Aristoteles adalah sangat berlainan dengan
sistematik buku Plato.
Perbedaan epistemologi Plato dan Aristoteles ini
memiliki pengaruh besar terhadap para filsuf modern.
Idealisme Plato mempengaruhi filsuf-filsuf Rasionalis
seperti Spinoza, Leibniz, dan Whitehead. Sedangkan
pandangan Aristoteles tentang asal dan cara
memperoleh pengetahuan mempengaruhi filsuf-filsuf
Empiris seperti Locke, Hume, dan Berkeley.
Ajaran Plato memiliki kelebihan yaitu memandang
sistem Negara yang paling baik adalah Aristokrasi, hal
ini dikarenakan tidak semua masyarakat dapat
memikirkan Negara. Melalui system Aristokrasi maka
Negara menjadi kuat, tidak terlalu banyak protes dan
memiliki kesatuan. Berbeda dengan Aristoteles yang
memandang bahwa Negara yang ideal adalah

Filsafat Hukum | 113


Demokrasi / Republik konstitusionil. Aristoteles
menekankan pentingnya kebebasan berkehendak,
sebagaimana di masa kejayaan Yunani. Namun kedua
sistem tersebut memiliki kelemahan. Dalam konteks
ajaran Plato maka kelemahannya adalah, system
Aristokrasi mudah korup, sedangkan dalam sistem
demokrasi mudah sekali terjadi jual beli suara.

114 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


V
ZAMAN ABAD PENCERAHAN

A. Pemikiran Niccolo Machiavelli di Zaman Renaissance


Renaissance adalah zaman yang didukung oleh
cita-cita untuk melahirkan kembali manusia yang bebas,
yang telah dibelenggu oleh zaman abad tengah yang
dikuasai oleh Gereja atau agama. Manusia bebas ala
Renaissance adalah manusia yang tidak mau lagi terikat
oleh orotitas yang manalun (tradisi, sistem gereja, dan
lain sebagainya), kecuali otoritas yang ada pada
masing-masing diri pribadi. Manusia bebas ala
Renaissance itu kemudian “didewasakan” oleh zaman
Aufklärung, yang ternyata telah melahirkan sikap mental
menusia yang percaya akan kemampuan diri sendiri
atas dasar rasionalitas, dan sangat optimis untuk dapat
menguasai masa depannya, sehingga manusia (Barat)
menjadi kreatif dan inovatif. Ada daya dorong yang
mempengaruhi perkembangan ilmu dan teknologi yaitu

Filsafat Hukum | 115


pandangan untuk menguasai alam. Tiada hari tanpa
hasil kreasi dan inovasi. Semenjak itulah dunia Barat
telah melakukan tinggal landas memenuhi atmosphir
ilmu pengetahuan yang tiada bertepi untuk menaklukkan
dan menguasai alam demi kepentingan “kesejahteraan
hidupnya”.124
Nilai-nilai dasar yang terbangun oleh zaman
Renaissance dan Aufklärung ini, semakin diperkokoh
dan memperoleh tambatan filosofis yang kuat, ketika
madzhab positivisme, mulai muncul dan berkembang di
dunia barat. Dengan menekankan pada eksplorasi dan
pengembangan aspek epistemologi sebagai titik sentral
refleksi filosofisnya, madzhab positivistik tampil sebagai
keuatan hegemonik, yang tidak saja mereduksi aliran
pemikiran lain, akan tetapi telah menggeser peran
filsafat dan agama dalam perkembangan ilmu
pengetahuan. Manusia baru dapat menjadi rasional dan
dewasa, apabila segala mitos, agama dan filsafat
abstrak metafisik, diganti oleh ilmu pengetahuan 125 .

124 Rusli, M. & Ridjal Fauzi (Ed.). 1992, Dinamika Ekonomi dan Iptek dalam
Pembangunan. Tiara Wacana, Yogyakarta, hal. 104
125 Franz Magnis Susesno, 2005, Pijar-Pijar Filsafat : Dari Gotholoco ke

Filsafat Perempuan , dari Adam Müller ke Postmodernisme, Penerbit


Kanisius, Yogyakarta, hal. 12

116 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


Dalam konteks yang demikian postivisme yang
bertumpu pada aspek epistemologi telah merubah
wujudnya menjadi saintisme.126
Renaisannce adalah starting point untuk
memahami perkembangan dan sejarah peradaban
Eropa modern. Setidaknya karena enam alasan.
Pertama, merupakan puncak masa keemasan dalam
bidang sosial, politik, sains, dan budaya. Kedua,
melahirkan kembali spirit kemajuan berpikir. Ketiga,
hadirnya kembali rangsangan budaya berfilsafat Yunani
dan Romawi kuno. Keempat, peralihan orientasi
teosentrik menjadi antroposentris. Kelima, hilangnya
kepercayaan kepada institusi gereja. Dan Keenam,
munculnya pemikiran baru tentang posisi agama dan
negara dalam pandangan moralitas.127
Renaisannce walaupun melahirkan pandangan
filosof hukum yang sangat penting. Renaisannce
melahirkan salah satu manusia besar dalam kancah
filsafat, hukum, dan politik, yaitu Niccolo Machiavelli.

126 F. Budiman Hardiman, 2009, Melampaui Positivisme dan Modernitas:


Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas,
Penerbit Kanisius, Yogyarakta, hal. 174.
127
Ahmad Suhelmi, 2007, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah
Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, hal. 110

Filsafat Hukum | 117


Machiavelli adalah anak zaman Renaisans yang
menciptakan pandangan rasionalistis atau realisme. 128
Machiavelli hidup pada abad 15-16 tepatnya pada tahun
1467-1527 dalam lingkungan Italia yang terpecah belah.
Niccollo Machiavelli lahir pada tanggal 3 Mei 1467 di
Florence, Italia. Pemikiran politik Machiavelli tentang
Negara dan kekuasaan telah menghantarkannya
sebagai pencetus pemikir negara modern.129
Machiavelli lahir pada tahun 1469 di Florence,
meninggal dunia tahun 1527 pada umur 58 tahun,
ayahnya adalah seorang ahli hukum, tergolong anggota
keluarga terkemuka tetapi tidak begitu
berada. Machiavelli hidup pada saat puncak kejayaan
renaisaans di Italia, dan pada saat itu italia masih
terbagi-bagi dalam negara-negara kecil, berbeda
dengan negara yang bersatu seperti Prancis, Spanyol
atau Inggris. Karena itu tidak mengherankan jika pada
masa ini Italia lemah secara militer meskipun briliant
dalam segi kultur.

128 Deliar Noer, 1982, Pemikiran Politik di Negeri Barat, CV Rajawali Press,
Jakarta, hal. 63-65
129 Soehino, Op cit., hal. 74.

118 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


Di kala Michiavelli muda, Florence diperintah oleh
penguasa Medicine yang mashur, Lorenzo. Setelah
Lorenzo meninggal dunia tahun 1492, beberapa tahun
kemudian penguasa Medicini diusir dari Florence.
Florence menjadi Republik (Republic Forentine). Pada
tahun 1498, Machiavelli yang berumur dua puluh
sembilan tahun, memperoleh kedudukan tinggi di
pemerintahan sipil Florence. Selama empat belas tahun
setelah itu dia mengabdi kepada Republik Florentine
dan terlibat dalam berbagai misi diplomasi atas
namanya, melakukan perjalanan ke Prancis, Jerman,
dan di dalam negeri Italia.
Tahun 1512, Repuplik Forentine digulingkan dan
penguasa Medicine kembali memegang tampuk
kekuasaan, Machiavelli di pecat dari posisinya, dan di
tahun berikutnya dia ditahan atas tuduhan terlibat dalam
komplotan melawan penguasa Medicine. Meski disiksa
ia tetap bertahan menyatakan tidak bersalah dan
akhirnya di bebaskan pada tahun itu juga. Sesudah itu
ia pensiun dan berdiam di sebuah perkebunan kecil di
San Casiano, tidak jauh dari Florence.
Semasa hidupnya, Machiavelli menulis beberapa
buku, yaitu;

Filsafat Hukum | 119


1. The prince (sang pangeran), karya paling
monumental di tulis pada tahun 1513
2. The discources upon the first ten books of titus livius
(pembicaraan terhadap sepuluh buku pertama tius
livius).
3. The art of war (seni berperang) dan lain lain.130

Niccolo Machiavelli menunjukan dengan terang


dan tegas pemisahan antara azas-azas kesusilaan
dengan azas-azas kenegaraan yang berarti bahwa
dalam lapangan ilmu kenegaraan tidak perlu
menghiraukan atau memperhatikan azas-azas
kesusilaan. Orang, bahkan negaranya akan terugikan
apabila tidak berbuat demikian.131
Kekuasaan hanya bisa tegak dengan kekuatan,
dan tindakan amoral bisa menghasilkan kebajikan.
Tujuan menghalalkan segala cara. Tetapi, menurut
pendapat ini, tulisan-tulisannya tidak menunjukkan
bahwa Machiavelli menganjurkan cara-cara amoral
dalam mencapai tujuan. Machiavelli hanya melihat dan
tidak mengajarkan. Sebagian lain berpendapat bahwa

130 Ali Maksum. 2010. Pengantar Filsafat. Ar-Ruzz Media. Jogjakarta, hal. 114.
131 Soehino, Op cit., hal. 71

120 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


memang Machiavelli menganjurkan, setidak-tidaknya
menyetujui, dipergunakannya cara apa saja untuk
mencapai tujuan yang baik. Penguasa boleh korup asal
tujuannya baik. Pemerintah boleh menipu asal bertujuan
untuk kesejahteraan rakyat. Bohong dan suap boleh
saja asal bertujuan untuk memenangkan pemilihan
umum karena kemenangan itu berarti kesempatan untuk
beramal dan memberi manfaat yang sebesar-besarnya.
Ajaran Niccolo Machiavelli tentang negara dan
hukum ditulis dalam bukunya yang sangat terkenal yang
diberi nama II Principle artinya Sang Raja atau Buku
Pelajaran untuk Raja. Buku ini dimaksudkan untuk
dijadikan tuntutan atau pedoman bagi para raja dalam
menjalankan pemerintahanya, agar raja dapat
memegang dan menjalankan pemerintahan dengan
baik, untuk menyatukan kembali negara Italia yang pada
wkatu itu mengalami kekacauan dan daerah negara
terpecah-belah. Dalam buku tersebut juga menerangkan
Pendirian Machiavelli terhadap azas-azas moral dan
kesulilaan dalam susunan ketatanegaraan. Ia
menunjukkan dengan terang dan tegas pemisahan
antara azas-azas kesusilaan dengan azas-azas
kenegaraan yang berarti bahwa orang dalam lapangan

Filsafat Hukum | 121


ilmu kenegaraan tidak perlu menghiraukan atau
memperhatian azas-azas kesusilaan. Orang, bahkan
negara kepentingannya akan terugikan apabila tidak
berbuat demikian.
Menurut Machiavelli keberadaan angkatan perang
yang kuat sebagai suatu keharusan yang dimiliki
negara. Angkatan bersenjata menurutnya merupakan
basis penting seorang penguasa negara. Negara yang
tidak memiliki tentara sendiri akan mudah goyah dan
mudah diruntuhkan. 132 Berdasarkan pendapat tersebut
maka pemikiran Machiavelli mendasarkan pada suatu
kedaulatan Negara. Suatu Negara harus berdaulat
secara fisik dengan memiliki angkatan bersenjata yang
tangguh agar suatu Negara tidak mudah diruntuhkan.
Machiavelli menyadari manifestasi fisik kekuasaan
politik negara tidak lain adalah kekuatan militer yang
tangguh. Pandangan inilah yang kemudian menjadi
dasar dari pemikiran realisme yang dikembangkan oleh
Machiavelli dalam teori-teorinya mengenai negara,
kekuasaan dan perang antar negara. Hampir semua ide
pokok Machiavelli disentuh oleh Ahmad Suhelmi.
Namun ada satu tema yang cukup sentral sebagai salah

132 Ahmad Suhelmi, Op cit., hal. 135.

122 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


satu bentuk stratgei mempertahankan kekuasaan bagi
seorang penguasa yang tidak sempat dikupas, yaitu
pemikiran Machiavelli tentang ekspansi militer.133
Begitu pentingnya militer bagi suatu negara dan
usaha mempertahankan kekuasaan, maka penguasa
harus menjadikan keahlian kemiliteran sebagai barang
miliknya yang paling berharga. Ia juga harus senantiasa
belajar ilmu perang dan bertempur. Oleh karena itu
seorang penguasa tidak boleh lengah untuk selalu
memikirkan dan melatih dirinya dalam latihan perang
dan kemiliteran (exercise of war). Intensitasnya
melakukan latihan perang di masa damai harus lebih
besar daripada di masa perang. Saat-saat damai
hendaknya dijadikan persiapan untuk menghadapi
perang. Tidak ada perdamaian tanpa persiapan matang
untuk perang.134

133 Ibid., hal. 109-141.


134
Michael H. Hart, 1982, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam
Sejarah, Terjemahan H. Mahbub Djunaidi, PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta,
hal. 129.

Filsafat Hukum | 123


B. Sistem Pemerintahan Yang Ideal : Thomas Morus
Di Inggris pada masa pencerahan muncul pula
Thomas Morus sebagai manusia pencerahan di Inggris.
Zaman renaissance ini sering juga di sebut sebagai
zaman humanisme. Maksud ungkapan ini adalah
manusia diangkat dari abad pertengahan. Pada abad
pertengahan itu manusia di anggap kurang di hargai
sebagai manusia. Kebenaran diukur berdasarkan
ukuran dari gereja (kristen), bukan menurut ukuran yang
dibuat oleh manusia. Humanisme menghendaki ukuran
haruslah dari manusia. Karena manusia mempunyai
kemampuan berfikir, maka humanisme menganggap
manusia mampu mengatur dirinya dan dunia.135
Gagasan-gagasan Thomas More tentang sistem
pemerintahan yang ideal diawali ketika More berada di
Flanders sebagai salah satu anggota utusan diplomasi
dalam kaitannya dengan perdangangan wool antara
Inggris dan Flemish. Pada waktu itu, More mempunyai
waktu senggang selama tiga bulan sebelum dia kembali
ke London untuk memikirkan gagasan-gagasannya
tentang sistem pemerintahan yang baik. Dalam
menggagas sistem pemerintahan yang baik, Thomas

135 Ahmad Tafsir. 2007, Filsafat Umum.Remala Rosdakarya. Bandung, hal. 126

124 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


More menghadap Peter Giles sebagai juru tulis dewan
kota praja dan seorang rekan humanis Erasmus.
Pertemuan mereka menjadi latar belakang yang secara
aktual membentuk pemikiran fiktif dalam buku Thomas
More selanjutnya. Dan dari sini pula, Thomas More
menemukan cara baru dalam memasuki sebuah
perdebatan dengan kaum humanis tentang apa yang
membentuk pemerintahan yang baik.
Thomas Morus termasyur dengan bukunya de
optimo rei publicae statu deque nova insula utopia, yang
bersifat roman kenegaraan yaitu tentang susunan
pemerintahan yang paling baik, ceritanya hanya bersifat
khayalan tapi menggambarkan secara jelas dan
gamblang mengenai suatu sistim pemerintahan yang
sempurna. Buku ini di bagi menjadi 2 bagian yaitu
1. Buku pertama.
Menggambarkan keadaan yang mengilhami
penciptaan negara modelnya yaitu mengenai
kekejaman penguasa terhadap rakyat yang
menyebabkan kesengsaraan rakyat terutama di
bidang ekonomi, kejahatan meraja lela, kemerosotan
moral,, sedang dilain pihak penguasa hidup mewah,
berfoya-foya.

Filsafat Hukum | 125


2. Buku kedua
Menggambarkan negara model khayalan tomas
morus yaitu keadaan suatu negara lain dimana
seorang penakhluk negara telah membuat penduduk
asli yang biadab menjadi suatu bangsa yang
beradab, teratur dan sistim pemerintahannya diatur
sesuai dengan bidang dan pembagiannya masing-
masing.136

Pemerintahan yang utopis dan ingin dicapai dalam


angan angan Thomas Morus sebenarnya memperkuat
konsep pemerintahan yang baik. Berkembangnya
konsep welfare state mengharuskan pemerintah lebih
aktif dalam mensejahteraan warga negaranya. Thomas
More yang mengawali karirnya sebagai seorang
humanis menerjemahkan puisi, dan beberapa karya
kalsik, seperti tulisan tentang kehidupan Pico della
Mirandola salah satu tokoh utama dalam Renaisans
Italia. Dia juga menulis tentang History of King Richard
III dan sekaligus membaca karya-karya klasik teolog
Kristen, seperti Hieronimus, Ambrosius, dan Agustinus
tentang City of God.

136 Soehino, Op cit., hal. 76

126 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


Zaman renaissance ini sering juga di sebut
sebagai zaman humanisme. Maksud ungkapan ini
adalah manusia diangkat dari abad pertengahan. Pada
abad pertengahan itu manusia di anggap kurang di
hargai sebagai manusia. Kebenaran diukur berdasarkan
ukuran dari gereja (kristen), bukan menurut ukuran yang
dibuat oleh manusia. Humanisme menghendaki ukuran
haruslah dari manusia. Karena manusia mempunyai
kemampuan berfikir, maka humanisme menganggap
manusia mampu mengatur dirinya dan dunia.137
Gagasan-gagasan Thomas More tentang sistem
pemerintahan yang ideal diawali ketika More berada di
Flanders sebagai salah satu anggota utusan diplomasi
dalam kaitannya dengan perdangangan wool antara
Inggris dan Flemish. Pada waktu itu, More mempunyai
waktu senggang selama tiga bulan sebelum dia kembali
ke London untuk memikirkan gagasan-gagasannya
tentang sistem pemerintahan yang baik. Dalam
menggagas sistem pemerintahan yang baik, Thomas
More menghadap Peter Giles sebagai juru tulis dewan
kota praja dan seorang rekan humanis Erasmus.
Pertemuan mereka menjadi latar belakang yang secara

137 Ahmad Tafsir.Op cit, hal. 126

Filsafat Hukum | 127


aktual membentuk pemikiran fiktif dalam buku Thomas
More selanjutnya. Dan dari sini pula, Thomas More
menemukan cara baru dalam memasuki sebuah
perdebatan dengan kaum humanis tentang apa yang
membentuk pemerintahan yang baik.
Awal dari kehancuran sebuah pemerintahan yang
baik adalah “tirani menurut Thomas More. Dalam
memahami “tirani” sebagai awal kehancuran dari
sebuah sistem pemerintahan yang ideal, Thomas More
berangkat dari sebuah realitas pemerintahan yang
mengalami kehancuran di bawah pemerintahan seorang
pemimpin yang menerapkan konsep tirani dalam
sebuah negara. More berangkat dari sistem
pemerintahan Richard III sebagai seorang raja yang
dikenal betindak tidak adil. Dan bahkan More menulis
buku tentang The History of King Richard III (1513)
sebagai sebuah studi tentang tirani. More melihat bahwa
Richard III adalah seorang tiran yang merebut kekusaan
dengan cara yang tidak adil. Dalam menulis The History
of King Richard III, More menunjukkan bagaimana
sebuah negara yang sebelumnya memiliki sistem
pemerintahan yang baik di bawah kekuasaan Edward IV
(1483) berubah menjadi sebuah pemerintahan yang

128 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


korup karena ambisi dari seorang manusia yang haus
akan kekuasaan.138
Thomas More melihat bahwa Richard III merebut
kekuasaan dari para kemenakannya dan dari para
pewaris yang sah dengan melakukan berbagai tindakan
yang merugikan mereka. Misalnya: mereka dianggap
sebagai anak haram dan menolak hak mereka untuk
memperoleh suaka atas keluarga mereka. More
mengatakan bahwa pada umumnya manusia akan
bersikap negatif karena manusia tidak mampu berbuat
apa-apa. Misalnya: orang miskin tidak mempunyai
pengaruh untuk mengatasi sebuah kejahatan yang
dilakukan oleh seorang raja sebagai penguasa. Atau
orang bijaksana mengatakan bahwa lebih baik mereka
bersikap rendah hati terhadap apa yang dilakukan oleh
seorang raja sebagai penguasa. Di sinilah More melihat
dimensi ketidakadilan yang luar biasa dalam sebuah
negara di mana penguasa menerapkan cara-cara yang
mengancurkan kerjasama di antara sesama manusia.

138 Anne Murphy, 2001, Thomas More Tokoh Seri Pemikir Kristen. (terj). P.
Hardono Hadi. Kanisius. Yogyakarta. hal. 35.

Filsafat Hukum | 129


C. Persamaan Pemikiran Filsuf Niccolo Machiavelli
dan Thomas Morus
1. Pemikiran Niccolo Machiavelli dan Thomas Morus
sama sama hidup pada zaman Rainasance.
2. Pemikiran Niccolo Machiavelli dan Thomas Morus
berkembang karena runtuhnya ajaran Gereja.
3. Pemikiran Niccolo Machiavelli dan Thomas Morus
sama-sama berasal dari pemikiran humanisme
4. Konsep Negara yang ideal menurut Niccolo
Machiavelli dan Thomas Morus berasal dari tirani
kerajaan.
5. Pemikiran Niccolo Machiavelli dan Thomas Morus
sama sama berfundamen pada pemisahan antara
azas-azas kesusilaan/ agama dengan azas-azas
kenegaraan yang berarti bahwa dalam lapangan ilmu
kenegaraan.

D. Perbedaan Pemikiran Filsuf Niccolo Machiavelli dan


Thomas Morus
1. Pandangan filosofis Machiavelli menyadari
manifestasi fisik kekuasaan politik negara tidak lain
adalah kekuatan militer yang tangguh. Pandangan
inilah yang kemudian menjadi dasar dari pemikiran

130 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


realisme yang dikembangkan oleh Machiavelli dalam
teori-teorinya mengenai Negara, sedangkan Pandangan
Thomas Morus walaupun sama-sama mengedepankan
konsep kerajaan, namun Negara yang ideal adalah
dimana para warga diberi kebebasan untuk mempunyai
keahlian sesuai dengan minat dan kemampuan mereka.
Selain itu, kerja sama juga diterapkan dalam bidang
pertanian di mana dalam sebuah kota dilengkapi
berbagai alat pertanian agar warga dapat bekerja
dengan baik. Juga kerja sama dalam mengambil
sebuah keputusan, para warga dilibatkan untuk
bersama-sama mengambil sebuah keputusan.
2. Pandanga filosofis Machiavelli menyadari tentang
kekuatan fisik suatu kerajaan, sedangkan menurut
Thomas Morus kekuatan Negara berada pada organ-
organ Negara dan subsistem pada suatu Negara, atau
lebih mengedepankan masyarakatnya.
3. Secara pembagian zaman, walaupun sama-sama
berada di zaman Rainasance dimana Nicollo
Machiavelli lebih mengutamakan Negara, atau
sekularisme. Thomas Morus masih mengedepankan
nilai-nilai keagamaan terutama nilai-nilai yang diajarkan
oleh gereja.

Filsafat Hukum | 131


VI
FILOSOFI PEMIKIRAN
HUKUM ALAM

A. Pandangan Sang Pemuka Gereja Thomas Aquinas


Teori hukum kodrat merupakan sebuah konsep
yang telah dirumusakan oleh St. Thomas Aquinas dalam
ajarannya mengenai etika. Sebenarnya jika mau
ditelusuri lebih jauh hukum kodrat sudah mulai ada
sejak jaman Yunani Kuno dengan Aristoteles sebagai
tokoh yang pertama mengajarkannya. Namun, pada
masa Abad Pertengahan St. Thomas Aquinas mencoba
merumuskan kembali konsep hukum kodrat tersebut.
Ajaran St. Thomas Aquinas mengenai etika sangat
berpengaruh kuat sampai saat ini. Pengaruh itu terasa
sangat kuat khususnya dalam agama Katolik. Ajaran
Gereja Katolik mengenai etika banyak mendasarkan diri
pada teori hukum kodrat St. Thomas Aquinas.

132 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


Fenomena kuatnya pengaruh tersebutlah yang kiranya
menarik untuk mendapat sorotan tersendiri. Sebenarnya
sejauh mana manusia terikat oleh teori etika hukum
kodrat yang diajarkan oleh St. Thomas Aquinas
Teori hukum Kodrat juga berkembang pada
zaman abad pertengahan. Jiwa zaman masyarakat
Abad Pertengahan adalah bersifat spiritual. Dalam hal
ini semua kehidupan masyarakat bersumber dan
berpedoman pada ajaran agama (Kristen). Dalam
bidang historiografi dan filsafat sejarah pada waktu itu
terjadi kesimpangsiuran, karena historiografi Abad
Pertengahan di pengaruhi oleh agama, sedangkan
sejarah hukum ditandai oleh jiwa agama. Oleh karena
itulah karya sejarah yang dihasilkan pada waktu itu pada
umumnya berupa sejarah agama, sejarah orang-orang
suci, sejarah penciptaan dan sebagainya.
Dalam bidang hukum muncul aliran ancilla
theologiae, yaitu paham yang menetapkan bahwa
hukum yang ditetapkan harus dicocokkan dengan
aturan yang telah ada, yaitu ketentuan-ketentuan
agama. Teori-teori mengenai hukum pada Abad
Pertengahan ini dikemukakan oleh Agustinus (354-430)
dan Thomas Aquinas (1225-1275). Tuhan mempunyai

Filsafat Hukum | 133


ide-ide Abadi yang merupakan contoh bagi segala
sesuatu yang ada dalam dunia nyata. Oleh karena itu,
hukum ini juga disebut sebagai hukum alam, yang
mempunyai prinsip, "Jangan berbuat kepada orang lain,
apa yang engkau tidak ingin berbuat kepadamu." Dalam
prinsip ini nampak adanya rasa keadilan.139
Arti hukum menurut Thomas Aquinas adalah
adanya hukum yang datang dari wahyu, dan hukum
yang dibuat oleh manusia. Hukum yang didapat dari
wahyu dinamakan hukum Ilahi positif. Hukum wahyu
ada pada norma-norma moral agama, sedangkan
hukum yang datang dari akal budi manusia ada tiga
macam, yaitu hukum alam, hukum bangsa-bangsa, dan
hukum positif manusiawi.140
Hukum alam bersifat umum, dan karena itu tidak
jelas. Maka perlu disusun hukum yang lebih jelas yang
merupakan undang-undang negara yang mengatur
kehidupan manusia dalam masyarakat. Hukum ini
disebut hukum positif. Apabila hukum positif ini
bertentangan dengan hukum alam, maka hukum

139 Abdul Ghofur Anshori, 2006, Filsafat Hukum, Sejarah, Aliran Dan
Pemaknaan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal.16
140 Ibid., hal. 17

134 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


alamlah yang berlaku. Keadilan juga merupakan suatu
hal yang utama dalam teori hukum Thomas Aquinas.
Meskipun Thomas Aquinas membedakan antara
keadilan distributif, keadilan tukar-rnenukar, dan
keadilan legal, tetapi keadilan legal menduduki peranan
yang sangat penting. Hal ini disebabkan karena keadilan
legal menuntut agar orang tunduk pada undang-undang,
sebab mentaati hukum merupakan sikap yang baik.
Jelaslah bahwa kedua tokoh Kristiani ini mendasarkan
teori hukumnya pada Hukum Tuhan.141
Para tokoh Kristiani cenderung untuk
mempertahankan hukum alam sebagai norma hukum,
akan tetapi bukan disebabkan oleh alam yang dapat
mencipta hukum melainkan karena alam merupakan
ciptaan Tuhan. Menurut Thomas Aquinas aturan alam
tidak lain dari partisipasi aturan abadi (lex aeterna) yang
ada pada Tuhan sendiri. Pada abad ini para ahli
kemudian membedakan ada lima jenis hukum, yaitu:142
1. Hukum abadi (lex aeterna) rencana Allah tentang
aturan semesta alam. Hukum abadi itu merupakan
suatu pengertian teologis tentang asal mula segala

141 Loc cit


142 Ibid,. hal. 18

Filsafat Hukum | 135


hukum, yang kurang berpengaruh atas pengertian
hukum lainnya.
2. Hukum ilahi positif (lex divino positiva) hukum Allah
yang terkandung dalam wahyu agama, terutama
mengenai prinsip-prinsip keadilan.
3. Hukum alam (lex naturalis) hukum Allah
sebagaimana nampak dalam aturan semesta alam
melalui akal budi manusia.
4. Hukum bangsa-bangsa (ius gentium) hukum yang
diterima oleh semua atau kebanyakan bangsa.
Hukum itu yang berasal dari hukum romawi, lambat
Iaun hilang sebab diresepsi dalam hukum positif.
5. Hukum positif (lex humana positiva) hukum
sebagaimana ditentukan oleh yang berkuasa; tata
hukum negara. Hukum ini pada zaman modem
ditanggapi sebagai hukum yang sejati.

Thomas Aquinas, menyatakan undang-undang


atau hukum adalah merupakankumpulan rasio manusia
dan yang berbentuk kemauan. Maka undang-undang
merupakan pokok pangkal pikirannya, dan yang
merupakan rasio kepentingan umum.

136 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


Thomas Aquinas membedakan perbedaan hukum
menjadi empat golongan yaitu :143
1. Hukum abadi ataulex aeterna, ini adalah hukum dari
keseluruhan yang berakar dari jiwa tuhan.
2. Hukum Alam, manusia adalah sebagai makhluk yang
berpikir, maka ia merupakan bagian daripadanya. Ini
adalah merupakan hukum alam.
3. Hukum Positif, ini adalah pelaksanaan daripada
hukum alam oleh manusia, yang disesuaikan dengan
syarat-syarat khususyang diperlukan untuk mengatur
soal-soal keduniawian yang ada di Negara.
4. Hukum Tuhan, ini adalah yang mengisi kekurangan
daripada pikiran manusia dan memimpin manusia
dengan wahyunya kearah kesucian untuk hidup
dialam baka, dan cara yang tidak mungkin salah,
wahyu inilah yang terhimpun dalam kitab-kitab suci.

Tentang keadilan Thomas Aquinas menyatakan


bahwa, keadilan adalah kemauan, yaitu kemauan untuk
memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi
haknya. Disamping itu orang juga harus mengusahakan
kepatutan seperti apa yang telah dijabarkan Aristoteles.

143 Ibid,. hal.62

Filsafat Hukum | 137


Undang-undang yang tertulis dapat dianggap sebagai
hukum dan keadilan, dan yang mendapatkan
kekuasaanya dari hukum alam.144
Thomas Aquinas (1225-1275 M), pemikir abad
pertengahan memberi pengertian hukum sebagai:
“Quendam rationis ordinatio ad bo-num commune, ab
eo curam communitatis ha-bet, promulgata” (perintah
yang masuk akal, yang ditujukan untuk kesejahteraan
umum, dibuat oleh mereka yang mengemban tugas
suatu masyarakat dan dipromulgasikan atau
diundangkan).145 Thomas Aquinas merumuskan bahwa
tu-juan hukum tidak lain menghadirkan kesejah-teraan
bagi rakyat secara umum. Rakyat dalam suatu Negara
haruslah menikmati kesejahtera-an umum itu.
Pemerintah yang tidak menjamin rakyatnya menikmati
kesejahteraan umum adalah pemerintah yang
mengkhianati mandat yang diembannya. Pemerintah
haruslah melak-sanakan suatu Negara demi
kesejahteraan an-tara lain melalui hukumnya yang adil.

144 Ibid,. hal.63


145 E. Sumaryono, 2002, Etika dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat
Thomas Aquinas, Yogyakarta: Kanisius, hal. 5

138 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


Kesejahteraan umum selain merupakan tujuan
hukum, juga merupakan suatu prasyarat adanya masya-
rakat atau Negara yang memperhatikan rakyat-nya.
Kesejahteraan umum itu meliputi antara lain, keadilan,
perdamaian, ketentraman hidup, keamanan, dan
146
jaminan bagi warganya. Thomas Aquinas
menyebutkan hukum Kodrat berakar pada kodrat
manusia, bergerak pada hakikat manusia dan terarah
demi kesejahteraan dan kebahagiaaan manusia itu
sendiri. Dalam rangka itu, hukum haruslah adil dan
memperjuangkan keadilan.
Hukum yang tidak adil bertentangan dengan
hakikat hukum, dan haruslah diubah agar mencapai
sasarannya, yakni kesejahteraan umum. Relevansi
ajaran Thomas Aquinas tentang hukum kodrat terhadap
kritik atas positivisme hukum tampak terutama dalam
hal-hal yang berhubungan tentang keadilan; kebajikan;
dan keadilan sosial dalam keberlakuan hukum.
Thomas Aquinas mengkaji konsep keadilan pada
saat membahas hubungan antara hukum kodrat dengan
hukum positif dan pemberlakuannya dalam
penyelenggaraan negara. Asas-asas formal hukum

146 Ibid., hal 32.

Filsafat Hukum | 139


kodrat menjadi rambu-rambu keadilan dalam
pembuatan hukum dan kebijakan politik. 147 Thomas
Aquinas berpandangan bahwa hukum positif yang adil
memiliki daya ikat melalui hati nurani. Hukum positif
akan disebut adil jika memenuhi syarat: diperintahkan
atau diundangkan demi kebaikan umum; diperintah-kan
oleh legislator yang tidak menyalahgunakan
kewenangan legislatifnya; dan memberikan beban yang
setimpal demi kepentingan kebaikan umum. Mengenai
dasar pembentukan hukum po-sitif yang baik, Lon Fuller
dalam bukunya The Morality of the Law (Moralitas
148
Hukum) mem-perkenalkan dua macam moralitas,
yakni moralitas kewajiban (the morality of duty) dan
moralitas nilai atau moralitas ikhtiar atau moralitas
aspirasi (the morality of aspiration).149
Rasa kebaikan dan keadilan akan membingkai
moralitas dalam penegakan hukum. Moralitas penegak
hukum bisa ditegakkan dengan selalu mencerahkan
akal budianya untuk terus “sadar diri” atas
keberadaannya sebagai “tuan” atas perbuatan yang

147 Ibid., hal. 20.


148 Fuller, Lon. L., 1973. The Morality of Law, Revised edition Ninth Printing,
Yale University Press, New Haven and London, hal. 4
149 Ibid., hal. 6

140 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


dijalankan. “Sadar diri” inilah yang menjadi pangkal tolak
yang diajukan Aquinas dalam membingkai hubungan
etika dalam penegakan hukum. Kesadaran diri manusia
harus selalu diolah, karena bagi Aquinas, kesadaran diri
merupakan potensi yang harus ditafsirkan secara kritis,
sehingga akan melahirkan gagasan yang segar dan
mencerahkan. Mahluk yang “sadar diri” pastilah akan
membuka jalan baru kehidupan yang mencerahkan dan
membahagiakan.

B. Filsuf Hugo de Groot (Grotius)


Grotius hidup pada tahun 1583-1645, di negeri
Belanda. Pernah ia mengikuti perjalanan
Oldenbarneveld ke Perancis. Pernah ia pada tahun
1619 dijatuhi hukuman seumur hidup, karena ia menjadi
penganut kaum Remonstran. Akan tetapi pada tahun
1621 ia dapat melarikan diri dari Loevestein ke
Perancis. Dalam penjara itu ia telah mulai menulis buku
karangannya yang terkenal De Jure Belli ac Pacis
(hukum perang dan damai), yang kemudian setelah
selesai dipersembahkannya kepada raja Perancis Louis
XIII.150

150 Soehino, Op cit., hal. 94

Filsafat Hukum | 141


Dengan bukunya itulah Grotius menjadi seorang
ahli pemikir besar tentang negara dan hukum, serta
dianggap sebagai peletak dasar pertama, atau pelopor,
bahkan pencipta daripada hukum alam modern.
Meskipun Grotius adalah seorang pemeluk agama yang
tekun, dan percaya sekali dengan adanya Tuhan,
namun dalam pengantar dari bukunya terlihat
keangkuhan serta kelantangan dalam ucapannya,
sebagai berikut : "bahwa Tuhan sendiri tak dapat
mengadakan perubahan suatu apapun pada kebenaran,
bahwasanya dua kali dua itu adalah empat. Dengan
demikian dapatlah ditunjukkan suatu lapangan yang
berlaku umum, disamping keadaan terpecah belah di
lapangan agama itu. Hukum alam itu adalah suatu
peraturan dari akal murni dan karena itu demikian
tetapnya, hingga Tuhan sendiri tak dapat merubahnya.
Sebab bagaimanakah bisa terjadi bahwa Yang Maha
Esa dapat bertindak bertentangan dengan apa yang
patut menurut akal. Dalam kekuasaan pikiran itu
manusia mendapati kunci untuk pedoman hidup yang
bernilai moril. Bahkan, seandainya Tuhan itu tidak ada,
atau tidak memperdulikan manusia, maka akal itu akan

142 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


dapat memimpin manusia. Akal itu berlaku dengan tiada
bergantung pada kekuasaan yang gaib.151
Dengan demikian maka filsafat Grotius tentang
negara dan hukum adalah suatu usaha untuk mengatasi
segala perpecahan di lapangan agama, dengan
berdasarkan pada akal manusia yang berlaku umum itu.
Bahkan tidak hanya terbatas pada kaum Kristen saja,
melainkan juga berlaku untuk dan mengikat semua
orang kafir dan atheis. Meskipun Grotius dianggap
sebagai pencipta daripada ajaran hukum alam modern,
namun ajarannya itu banyak diilhami, dan hukum
alamnya itu lebih langsung berhubungan dengan :
hukum alam jaman kuno (Yunani kuno seperti
Aristoteles), kaum Stoa (Zeno), dan Cicero, daripada
dengan Thomas Aquinas dan Francesco Suarez.
Dalam menetapkan dasar-dasar modern untuk
pemikiran tentang negara dan hukum, misalnya, Grotius
sangat terpengaruh oleh ajaran Aristoteles, bahwa
manusia itu adalah makhluk sosial, sehingga karena itu
ia selalu mempunyai hasrat untuk hidup bermasyarakat.
Akan tetapi, demikian Grotius, manusia itu memiliki akal
atau rasio, lain halnya dengan hewan, maka dari itu

151 Ibid., hal. 95

Filsafat Hukum | 143


kepentingan dan keuntungan diri sendiri yang
menyingkirkan kepentingan umum, tidak dapat dijadikan
dasar daripada pikiran tentang keadilan. Dengan ini
Grotius menentang ajaran Carneades, seorang sofist
Yunani kuno. Tetapi ajaran Carneades ini nanti akan
menjadi pendirian dan pedoman ajaran Thomas
Hobbes.152
Grotius dalam menguraikan tentang apa yang
disebut hukum alam itu sebenarnya ada hubungannya
dengan soal lain, yaitu dengan hukum perang dan
hukum damai. Di sini dia mencari bukti bahwa antara
negara-negara yang masing-masing mempunyai hukum
sendiri-sendiri itu, ada unsur-unsur yang mengikat
negara-negara tersebut, baik dalam keadaan damai
maupun dalam keadaan perang. Maka is lalu mencari
hakekat dari hukum tersebut. Mufa-mula hukum itu
berlaku untuk negara itu sendiri, tetapi menurut Grotius
hukum tersebut juga harus dihormati oleh negara-
negara lain. Hanya dalam keadaan perang kadang-
kadang negara-negara itu dapat bertindak sendiri-
sendiri.153

152 Ibid., hal. 95


153 Ibid., hal. 96

144 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


Grotius hendak mencari sifat internasional daripada
hukum tersebut. Dengan demikian Grotius selain sebagai
peletak dasar hukum alam modern, juga termasyur karena
ajarannya mengenai hukum antar bangsabangsa. Grotius
membicarakan hukum ini dari segi peperangan.
Sedangkan dahulu, sepertinya pada Francesco Suarez,
orang membicarakan hukum an-tar negara itu terutama
dipandangnya sebagai hukum yang berlaku sama untuk
setiap negara. Sedangkan menurut Grotius hukum antar
negara itu diartikan sebagai hukum yang mengatur
hubungan antar negara-negara. Pengertian hukum antar
negara yang lama dalam pengertian yang pertama tadi
berasal dari kaum Stoa.
Kemudian dalam hukum antar negara ini yang
dibicarakan lebih lanjut oleh Grotius ialah norma-norma
apa yang berlaku di antara dua negara atau lebih, dalam
soal apa raja, baik dalam keadaan damai maupun dalam
keadaan perang. Sebab kalau masing-masing negara itu
berdaulat, lalu apa yang membatasi, karena tidak mungkin
kalau masing-masing negara itu bertindak sendiri semau-
maunya, tanpa menghiraukan kepentingan negara lain.
Jadi tentu ada yang membatasi agar dalam negara-negara
itu tercipta per damaian.

Filsafat Hukum | 145


Grotius menyatakan bahwa yang mengikat antara
negara-negara itu, atau hukum yang berlaku antara
negara-negara itu, adalah suatu norma tertentu, yang
norma itu meskipun tidak tertulis atau tidak ditetapkan
dalam hukum negara, toch norma itu berlaku juga. Jadi
sebenarnya norma itu bukan buatan negara atau bukan
buatan raja, tetapi itu adalah dari alam kodrat.
Menurut Grotius adalah : segala ketentuan yang
benar dan baik menurut rasio, dan tidak mungkin salah,
lagipula adil. Sebagai contoh misalnya :
1. Orang harus menghormati milik orang lain.
2. Orang harus menghormati orang lain.
3. Orang harus mengganti kerugian yang ditimbulkan
karena kesalahannya.
4. Orang harus menepati janji.
5. Orang harus mengembalikan milik orang lain yang
ada padanya secara tidak sah.154

Ketentuan-ketentuan ini di mana saja ada, balk


dalam negara modern, maupun dalam negara yang
masih primitif. Ketentuan-ketentuan tersebut sudah
berlaku dan terdapat di dalam sanubari manusia. Di

154 Ibid., hal. 97

146 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


samping itu ada ketentuan-ketentuan lainnya yang
sesuai dengan rasio. Dan inilah yang disebut hukum
alam. Jadi hukum alam itu adalah hukum yang
berdasarkan atas rasio. Dengan demikian inilah Grotius
telah meletakkan dasar baru bagi hukum alam, yaitu
rasio. Ini lain atau berbeda dengan hukum alam dari
Johannes Althusius yang menyatakan bahwa hukum
alam itu berasal dari Tuhan.
Menurut Grotius semua penganut aliran hukum
alam mengatakan bahwa negara itu adanya atau
terjadinya karena diselenggarakannya suatu perjanjian.
Jadi demikian pula pendapat Grotius. Bahkan
sebelumnya pun telah ada pendapat demikian. Misalnya
pendapat dari Marsilius. Grotius menyatakan bahwa,
perjanjian masyarakat terjadi karena orang itu adalah
makhluk sosial, karena itu padanya selalu ada hasrat
untuk hidup bermasyarakat, dan yang penting ialah
karena manusia itu memiliki rasio. Karena faktor-faktor
inilah manusia lalu hidup bermasyarakat, untuk men-
zapai tujuannya, ialah : ketertiban dan keamanan
umum. Dan tugas ini diserahkan kepada seorang raja
dalam suatu perjanjian.

Filsafat Hukum | 147


Inilah hasil pemikiran Grotius yang cukup penting
dan yang merupakan peristiwa besar dalam sejarah dari
pemikiran tentang negara dan hukum. Hal ini karena
Grotius telah memutuskan hubungan antara pemikiran
tentang negara dan hukum dengan pandangan teologis
yang telah berlangsung berabad-abad lamanya. Alam
pikiran Grotius yang demikian diikuti dan diteruskan oleh
Thomas Hobbes meskipun dalam keadaan serta cara
yang berbeda.

C. Perbedaan Pemikiran Thomas Aquinas dan Hugo de


Groot (Grotius)
Thomas Aquinas menyatakan bahwa, hukum
adalah ketentuan akal untuk kebaikan umum yang
dibuat oleh orang yang mengurus masyarakat. Dalam
pemikiran Thomas Aquinas Hukum kodrat
mempostulatkan bahwa hukum kodrat merupakan
bagian dari hukum Tuhan yang sempurna yang dapat
diketahui melalui penggunaan nalar manusia Ide bahwa
posisi masing-masing orang dalam kehidupan
ditentukan oleh Tuhan, tetapi semua orang – apapun
statusnya tunduk pada otoritas Tuhan. Dapat dikatakan
bahwa bukan hanya kekuasaan raja yang dibatasi oleh

148 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


aturan-aturan ilahiah, tetapi juga bahwa semua manusia
dianugrahi identitas individual yang unik, yang terpisah
dari Negara. Sedangkan Hugo de Groot (Grotius)
memiliki pemikiran bahwa, hukum alam dipandang
sebagai pencetusan rasio manusia yang berkaitan
dengan apakah suatu tingkah laku manusia itu dianggap
baik atau buruk, apakah tindakan manusia itu dapat
diterima atau ditolak atas dasar kesusilaan alam.
Thomas Aquinas berprinsip bahwa ada hukum
yang datang dari wahyu, dan hukum yang dibuat oleh
manusia. Hukum yang didapat dari wahyu dinamakan
hukum Ilahi positif. Hukum wahyu ada pada norma-
norma moral agama, sedangkan hukum yang datang
dari akal budi manusia ada tiga macam, yaitu hukum
alam, hukum bangsa-bangsa, dan hukum positif
manusiawi. Sedangkan menurut Hugo de Groot hukum
alam itu adalah suatu peraturan dari akal murni dan
karena itu demikian tetapnya, hingga Tuhan sendiri tak
dapat merubahnya. Sebab bagaimanakah bisa terjadi
bahwa Yang Maha Esa dapat bertindak bertentangan
dengan apa yang patut menurut akal. Dalam kekuasaan
pikiran itu manusia mendapati kunci untuk pedoman
hidup yang bernilai moril. Bahkan, seandainya Tuhan itu

Filsafat Hukum | 149


tidak ada, atau tidak memperdulikan manusia, maka
akal itu akan dapat memimpin manusia. Akal itu berlaku
dengan tiada bergantung pada kekuasaan yang gaib.
Thomas Aquinas membedakan antara hukum
yang berasal dari wahyu dan hukum yang dijangkau
akal budi manusia. Hukum yang didapat wahyu disebut
hukum ilahi positif (ius divinum positivum). Hukum yang
didapatkan berdasarkan akal budi adalah ‘hukum
alam’(ius naturale), hukum bangsa-bangsa (ius
gentium), dan hukum positif manusiawi (ius positivum
humanum). Sedangkan Grotius membedakan hukum
tentang negara dan hukum agama. Menurutnya hukum
adalah suatu usaha untuk mengatasi segala
perpecahan di lapangan agama, dengan berdasarkan
pada akal manusia yang berlaku umum itu.
Menurut Aquinas hukum alam itu agak umum, dan
tidak jelas bagi setiap orang, apa yang sesuai dengan
hukum alam itu. Oleh karenanya perlu disusun undang-
undang negara yang lebih kongkret mengatur hidup
bersama. Inilah hukum posisif. Jika hukum positif
bertentangan dengan hukum alam maka hukum alam
yang menang dan hukum positif kehilangan
kekuatannya. Ini berarti bahwa hukum alam memiliki

150 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


kekuatan hukum yang sungguh-sungguh. Hukum positif
hanya berlaku jika berasal dari hukum alam. Hukum
yang tidak adil dan tidak dapat diterima akal, yang
bertentangan dengan norma alam, tidak dapat disebut
sebagai hukum, tetapi hukum yang menyimpang.
Sedangkan menurut Hugo de groot hukum alam tetap
berlaku, juga seandainya tuhan tidak ada. Sebabnya
adalah bahwa hukum alam itu termasuk akal budi
manusia sebagai bagian dari hakekatnya. Dilain pihak
Grotius tetap mengaku, bahwa Allah adalah pencipta
alam semesta. Oleh karena itu secara tidak langsung
Allah tetap merupakan pundamen hukum alam.
Menurut Grotius semua penganut aliran hukum
alam mengatakan bahwa negara itu adanya atau
terjadinya karena diselenggarakannya suatu perjanjian.
Sedangkan menurut Thomas Aquinas lahirnya Negara
adalah karena perwujudan dan perwakilan tuhan.

Filsafat Hukum | 151


D. Persamaan Pemikiran Thomas Aquinas dan Hugo de
Groot (Grotius)
Berdasarkan uranan pemikiran antara Thomas
Aquinas dan Hugo de Groot (Grotius) maka dapat
diambil persamaan sebagai berikut:
1. Thomas Aquinas dan Hugo de Groot (Grotius) sama
sama menganut hukum alam.
2. Thomas Aquinas dan Hugo de Groot (Grotius) sama
sama membagi hukum alam yaitu hukum alam dan
hukum Negara.
3. Thomas Aquinas dan Hugo de Groot (Grotius) sama
sama mengkaji konsep keadilan pada saat
membahas hubungan antara hukum kodrat dengan
hukum positif dan pemberlakuannya

152 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


VII
PEMIKIRAN FILOSOFI FILSUF ISLAM
TENTANG NEGARA DAN HUKUM

A. Filsafat Al-Jumhuriyah wa al-Ahkam : Ibnu Rusyd


Ibnu Rusyd adalah seorang seorang hakim Istana
di Cordova (Spanyol Islam) yang juga dikenal sebagai
dokter istana. 155 Di samping itu ia juga seorang filosof
yang mempunyai pengaruh besar di kalangan istana,
terutama di zaman Sultan Abu Yusuf Ya’qub al-Mansyur
(1184-1199 M). Ibnu Rusyd hidup dalam situasi politik
yang sedang berkecamuk. Pemerintahan Almurafiah
digulingkan oleh golongan Almuhadiah di Marakusy
pada tahun 542/1147 M, yang menaklukan Cordova
pada tahun 543 H/ 1148 M. 156 Tiga orang pewarisnya

155 M. Harun Nasution, 1983, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Bulan
Bintang, Jakarta, hal. 45
156 M.M. Syarif. 1996, The Philosophies: History of Muslim Philosophy, terj.:

Ilyas Hasan, Mizan, Bandung, hal. 199.

Filsafat Hukum | 153


dari golongan Almuhadiah, Abd al-Mu’min, Abu Ya’kub
dan Abu Yusuf yang diabdi oleh Ibnu Rusyd, terkenal
karena semangat berilmu dan berfilsafat mereka. Di
sinilah sebenarnya awal perkenalan Ibnu Rusyd dengan
dunia filsafat. Awal keterlibatan Ibnu Rusyd dalam dunia
filsafat adalah ketika Abu Ya’kub yang saat itu menjadi
Amir, memerintahkannnya menuliskan ulasan-ulasan
atas buku-buku Aristoteles agar buku tersebut dapat
dipahami dengan mudah olehnya.157
Kondisi kultural pada saat itu, sebenarnya tidak
begitu mendukung terhadap aktivitas filsafat Ibnu
Rusyd, hanya saja pengaruhnya di kalangan istana
memberikan kesempatan yang besar dalam berfilsafat.
Sebagai seorang filosof, pengaruhnya di kalangan
istana kurang disenangi oleh kaum ulama dan fuqaha.
Sehingga, ketika terjadi peperangan antara Sultan
dengan kaum Kristen, Sultan menghajatkan bantuan
dari kalangan ulama dan fuqaha yang memang dikenal
lebih dekat umat. Kesempatan ini tentu saja tidak disia-
siakan oleh kaum Ulama dan Kaum Fuqaha untuk
menyingkirkan Ibnu Rusyd.

157 Ibid., hal. 200-201

154 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


Ibnu Rusyd dituduh membawa filsafat yang
menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam. Maka dengan
demikian, Ibnu Rusyd ditangkap dan diasingkn ke suatu
tempat bernama Lucena di daerah Cordova. Bukan
hanya itu saja, buku-bukunya dibakar di depan umum.
Namun penderitaan dan siksaan yang diderita oleh Ibnu
Rusyd tidak lama, karena Sultan memberikan
pengampunan terhadapnya.158
Ibnu Rusyd lebih dikenal dan dihargai di Eropa
Tengah daripada di Timur, dikarenakan beberapa sebab
antara lain tulisan-tulisannya yang banyak jumlahnya itu
diterjemahkan ke dalam bahasa latin dan diedarkan
serta dilestarikan, sedangkan teksnya yang asli dalam
bahasa Arab dibakar atau dilarang diterbitkan lantaran
mengandung semangat anti filsafat dan filosof.159 Selain
itu Eropa pada jaman Renaissance dengan mudah
menerima filsafat dan metode ilmiah sebagaimana
dianut oleh Ibnu Rusyd, sedangkan di Timur, ilmu-ilmu
filsafat mulai dikurbankan demi berkembangnya
160
gerakan-gerakan mistis dan keagamaan. Sebagai
seorang filosof, Ibnu Rusyd tentu saja harus melakukan

158
Ibid., hal. 203
159 M. Harun Nasution, Op cit., hal. 47
160 M.M. Syarif, Op cit., hal. 202

Filsafat Hukum | 155


pembelaan terhadap filsafat dari serangan-serangan Al-
Ghazali yang menuduh kaum filosof menjadi kafir
dengan berbagai pemikiran filosofis sebagaimana
disebutkan di atas.
Mungkin pada masa sekarang ini soal seperti ini
tidak begitu pantas dihebohkan. Tetapi pada abad ke-6
H/12 M masalah semacam itu memang sangat penting.
Para filosof dituduh berbuat bid’ah (kufr) atau tidak
beragama. Al-Ghazali dalam karyanya Thahafut
mengutuk para filosof sebagai orang yang tidak
beragama.. kalau tuduhan ini benar, maka para filosof
itu berdasarkan hukum Islam, harus dihukum mati,
kecuali kalau mereka mau melepaskan diri dari
berfilsafat atau membuat pernyataan di depan umum
bahwa mereka tidak percaya kepada ajaran-ajaran
filsafat mereka. Oleh karena itu, perlulah bagi para
filosof membela diri dan pendapat-pendapat mereka.161
Dalam risalahnya Ibnu Rusyd menyatakan bahwa
filsafat diwajibkan atau paling tidak diajurkan dalam
agama Islam, sebab fungsi filsafat hanyalah membuat
spekulasi atas yang maujud dan memikirkannya selama
membawa pada pengetahuan akan sang pencipta. Al-

161 Ibid., hal. 204

156 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


Qur’an memerintahkan untuk berpikir (i’tibar) dalam
banyak ayat seperti: “Berpikirlah, wahai yang bisa
melihat”. I’tibar merupkan suatu ungkapan Qur’ani yang
berarti sesuatu yang lebih dari sekedar spekulasi tau
repleksi (nazar).162
Ibnu Rusyd kembali ke bidang Fiqh dan
membandingkan metode logika filsafat dengan metode
tradisional fiqh. Dia menyebutkan prinsip fiqh berpijak
pada empat sumber, yaitu Al-Qur’an, Hadits, Ijma’
(konsensus) dan Qiyas (silogisme yang absah). Telah
dipahami bahwa Al-Qur’an mesti ditafsirkan secara
rasional, dan ijma’ merupakan buah kesepakatan secara
aklamasi dari para alim pada masa tertentu, tetapi tiada
konsensus pada masalah-masalah doktrinal. Karena
tidak ada konsensus pada masalah-masalah doktrinal
tersebut, maka Al-Ghazali, atas dasar ijma’ tidak berhak
mengutuk para filosof sebagai orang-orang tidak
beragama.163
Menurut Al-Ghazali, mereka pantas dituduh
sebagai ahli bid’ah (takfir) lantaran tiga hal, yaitu ajaran
mereka tentang keabadian dunia, penolakan mereka

162 Ibid., hal. 205


163 Ibid., hal. 206

Filsafat Hukum | 157


atas pengetahuan Tuhan tentang segalanya dan
penolakan meraka atas kebangkitan kembali secara
jasmaniah. 164 Menurut Ibnu Rusyd, agama didasarkan
pada tiga prinsip yang mesti diyakini oleh setiap Muslim,
yaitu eksistensi Tuhan, kenabian dan kebangkitan.
Ketiga prinsip ini merupakan pokok masalah agama.
Orang yang menolak prinsip yang manapun dari yang
disebut di atas, berarti ialah yang pantas disebut tak
beragama (kafir).165
Dalam konteks kenegaraan Ibnu Rusyd
menggunakaan konsep kenegaraan yang ia namakan
dengan “Al-Jumhuriyah wa al-Ahkam” (Republik dan
Hukum). Konsep ini melambangkan perpaduan antara
ilmu dan amal. Dalam hal politik ini , Ibnu Rusyd sangat
mengedepankan kebebasan atau dalam bahasa
kenegaraan bisa disebut sebagai kemerdekaan. Artinya,
Ibnu Rusyd menginginkan adanaya kemeredekaan
berpikir, kemerdekaan dalam berbuat dan lainnya.
Kemerdekaan yang ia maksudkan adalah bukan
kemerdekaan yang tidak punya aturan, melainkan
sebuah kemerdekaan dan kebebasan yang selaras

164 Ibid.
165 Ibid., hal. 207

158 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


dengan agama. Kemerdekaan atau kebebasan yang
seperti inilah yang merupakan cermin dari demokrasi.166
Dapat dikatakan pula bahwa menurut Ibnu Rusyd peran
agama dalam suatu negara sangatlah penting dalam
menciptakan sebuah negara yang ideal.
Bagi Ibnu Rusyd, adalah hal yang mustahil jika
seseorang bisa hidup tanpa Negara. kesempurnaan
manusia hanya bisa dicapai jika berada di dalam
sebuah bentuk tatanan masyarakat atau sistem dan
salah satu sistem tersebut adalah Negara. Ibnu Rusyd
menentang sebagian sufi yang mengharuskan manusia
melakukan zuhud dan keluar dari sistem masyarakat
agar bisa dekat dengan Allah.167
Keselarasan antara akal dan syari’at sangat
diperlukan dalam menciptakan tatanan dalam sebuah
negara dan bahkan lebih jauh lagi untuk menciptakan
Negara Ideal. Ibnu Rusyd mengatakan bahwa tujan
terbentuknya sebuah negara adalah untuk membawa
warga negaranya sampai kepada tujuan yang
diinginkan, dengan cara mengikuti undang-undang yang
paling tinggi yang mencerminkan kebijaksanaan Islam.

166
Fuad Mahbub Siraj, 2012, Ibnu Rusyd Cahaya Islam di Barat. Dian Rakyat,
Jakarta, hal. 84
167 Ibid., hal. 85

Filsafat Hukum | 159


Ibnu Rusyd banyak terinspirasi oleh pemikiran
Aristoteles dan Plato dalam konsep politiknya ini, yaitu
dengan menggunakan konsep negara yang berdasar
pada undang-undang namun dengan tambahan bahwa
untudang-undang tersebut bersumber dari Allah swt,
atau sesuai denan prinsip-prinsip syari’at Islam.168
Konsep Al-Jumhuriyah wa al-Ahkam yang
merupakan prinsip politik Ibnu Rusyd dapat dibagi
kepada lima prinsip pokok:
1. Hukum yang diuraikannya dalam prinsip bernama al-
syari’ah
2. Kedaulatan rakyat yang tegaskan dalam prinsip
Siyadat al-Ummah.
3. Hak asasi manusia yang dikupasnya dalam prinsip
al-Huquq al-Insaniyah.
4. Kepala negara yang dipilih di dalam suatu negara
Republik yang dibentangkan dalam prinsip al-
Riyasah atau al-Khilafah.
5. Hukum internasional yang dipecahkannya dalam
prinsip al-Ahkam al-Daulah.169

168 Ibid., hal. 86


169 Ibid., hal. 87

160 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


Dalam konsep kenegaraannya tersebut Ibnu
Rusyd ingin memadukan antara syari’at dan kebesan
berfikir yang dicerminkan dalam prinsip siyadat al-
ummah. Ia dengan tegas menolak kepala negara yang
ideal secara keagamaan (Imam Mahdi), kerena ia ingin
kepala negara yang memadukan antara syari’at dan
kebesan berfikir yang rasional sehingga akhirnya dapat
menjalin hubungan dengan dunia manapun.

B. Filsuf Al Ghazali
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Ahmad al-Ghazali ath-Thusi, populer dengan panggilan
al-Ghazali, lahir di kota Thus, Khurasan dekat Nisabur,
tahun 450 / 1058 M, 170 dari seorang ayah yang wara’
dalam kehidupan beragamanya, mencintai ilmu dan
ulama’ serta gemar menghadiri majlis keilmuan, untuk
menghidupi keluarganya ayah al-Ghazali bekerja
sebagai pemintal benang dan menjualnya di Thus,
karena pekerjaan ini ia dikenal dengan panggilan al-
Ghazali.171

170Ibnu Khilkan, 1948, Wafayât al-A’yân, Maktabah al-Nahdyan, Mesir, Cet, 1,


juz III, hal. 353.
171 Ahmad al-Syarbashi, al-Ghazâli wa al-Tasawuf al-Islâmi, Dar al-Hilal, t.k.,

t.t., hal. 23,24.

Filsafat Hukum | 161


Ayahnya meninggal ketika ia masih kecil, konon
berumur 6 tahun, sebelum meninggal ia menitipkan
kepada sahabatnya seorang sufi yang bernama Ali
Ahmad bin Muhammad al-Razakani, agar ia diurus dan
dididik bersama adiknya dan diserahkan pula sejumlah
uang simpanan. Pesannya, jika bekal itu habis, kedua
anaknya hidup mandiri dengan jalan mengajar. Semua
pesan itu dipenuhi dengan baik oleh sahabatnya.172
Al-Ghazali kemudian dimasukkan ke sebuah
sekolah yang menyediakan biaya hidup bagi para
muridnya. Di sini gurunya adalah Yusuf al-Nassj yang
juga seorang sufi, setelah tamat, ia melanjutkan
pelajarannya di kota Jurjan yang ketika itu juga menjadi
pusat kegiatan ilmiah. Di sini ia mendalami pengetahuan
bahasa Arab dan Persi, di samping belajar pengetahuan
agama, di antara gurunya adalah Imam Abu Naser al-
Isma’ili. Karena kurang puas ia kembali ke Thus.
Beberapa tahun kemudian, ia pergi ke Nisabur dan
sekolah di Madrasah Nidzamiyah yang dipimpin ulama’
besar, Imam al-Haramain al-Juaini. Melalui al-Juaini ia
memperoleh ilmu usul al-fiqh, ilmu mantik (logika) dan

172 Victor Said Basil, 1990, Manhaj al-Bahsi an al-Ma’rifa Inda al-Ghazali,
terjemahan Ahmadi Thaha, Pustaka Panji Mas, Jakarta, hal. 7.

162 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


ilmu kalam (teologi). 173 Ia memiliki kecerdasan yang
tinggi karena pandai menggunakan logika.
Kemampuannya menguasai ilmu dan diskusi ilmiah
diakui oleh teman-temannya.174
Al-Ghazali berpendapat bahwa manusia itu
makhluk sosial. Ia tidak dapat hidup sendirian, yang
disebabkan oleh dua faktor: pertama, kebutuhan akan
keturunan demi kelangsungan hidup manusia. Hal ini
hanya mungkin melalui pergaulan laki-laki dan
perempuan serta keluarga, dan kedua saling membantu
dalam menyediakan bahan makanan, pakaian, dan
pendidikan anak.
Manusia terbukti tidak bisa hidup sendirian. Ia
tidak mampu mengerjakan sawah atau ladang dengan
sempurna tanpa bantuan pande besi atau tukang kayu
untuk membuat alat-alat pertanian. Ia membutuhkan
penggilingan gandum dan pembuat roti untuk
menyediakan makanan. Ia membutuhkan tukang tenun
dan penjahit untuk pengadaan pakaian. Demi kesehatan
dan keamanannya dia memerlukan tempat tinggal atau
rumah yang kokoh dan kuat untuk melindunginya dari

173
Dewan Redaksi, 1994, Ensklopedi Islam, Juz 2, Ichtiar Van Hoeve, Jakarta,
hal. 25.
174 Victor Said Basil, Op.cit, hal. 8.

Filsafat Hukum | 163


udara panas, udara dingin, hujan dan gangguan orang-
orang jahat atau pencuri dan serangan dari luar. Untuk
itu semua diperlukan kerja sama dan saling membantu
antara sesama manusia, dari sinilah muncul teori asal
mula timbulnya negara.
Al-Ghazali berpendapat bahwa mengangkat
seorang pemimpin negara (khalifah) tidak berdasarkan
rasio, melainkan wajib syar’i karena tugas utama
khalifah adalah dalam rangka memelihara syariat.
Bertolak dari dasar pemikirannya ia mengatakan bahwa
dunia adalah ladang untuk mengumpulkan perbekalan
bagi kehidupan di akhirat, dunia merupakan wahana
untuk mencari ridha Tuhan, sedangkan pemanfaatan
dunia untuk tujuan ukhrawi hanya mungkin kalau
terdapat ketertiban, keamanan dan kesejahteraan yang
merata di dunia. Tujuan manusia dalam bermasyarakat
dan bernegara tidak semata-mata untuk memenuhi
kebutuhan material dan duniawi yang tidak mungkin ia
penuhi sendirian, tetapi lebih dari itu untuk
mempersiapkan diri bagi kehidupan yang sejahtera di
akhirat. Dan hal itu baru mungkin dalam suasana dunia
yang tertib, aman dan tentram, dan untuk menciptakan

164 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


dunia yang demikian yang diperlukan adalah kepala
negara yang ditaati.
Al-Ghazali mengibaratkan agama dan sultan
sebagai dua anak kembar, agama adalah pondasi,
sultan adalah penjaganya, sesuatu yang tanpa pondasi
akan mudah runtuh, dan sesuatu tanpa penjaga akan
hilang. Keberadaan sultan merupakan keharusan bagi
ketertiban dunia, ketertiban dunia merupakan keharusan
bagi ketertiban agama, dan ketertiban agama
merupakan keharusan bagi tercapainya kesejahteraan
akhirat. Dengan demikian terdapat ikatan erat antara
dunia dan agama bagi tegaknya wibawa dan kedaulatan
negara melalui kepala negara yang ditaati dan yang
mampu melindungi kepentingan rakyat, baik duniawi
maupun ukhrawi.

C. Persamaan Pemikiran Filsuf Ibnu Rusyd dan Al


Ghazali
1. Pemikiran Ibnu Rusyd dan Al Ghazali sama-sama
berkembang dari pemikiran Aristoteles dan Plato.
2. Pemikiran Ibnu Rusyd dan Al Ghazali sama-sama di
dasarkan pada konsep manusia tidak dapat hidup

Filsafat Hukum | 165


sendiri, oleh karena itu manusia membutuhkan
masyarakat dan Negara.
3. Pemikiran Pemikiran Ibnu Rusyd dan Al Ghazali
sama sama berkembang dan didasari oleh logika dan
kebebasan berfikir.
4. Pemikiran Pemikiran Ibnu Rusyd dan Al Ghazali
tentang Negara sama-sama dilandasi hukum islam/
syariah.
5. Pemikiran Ibnu Rusyd dan Al Ghazali sama sama
diterima dan berkembang di Negara barat.

D. Perbedaan Pemikiran Filsuf Ibnu Rusyd dan Al


Ghazali
Dalam catatan sejarah, Ibn Rusyd dan al Ghazali
menunjukkan suatu perbedaan pendapat yang sangat
signifikan sehingga pemikiran keduanya dinilai tidak
dapat dipertemukan. Namun, bukan berarti tidak ada
ruang persamaan dari pemikirannya yang menjadikan
pemikiran keduanya harmonis.
Perbedaan pemikiran itu mengakibatkan
terciptanya suatu perdebatan sengit antara keduanya.
Perdebatan tersebut tergores dalam suatu karya yang
berjudul tahaffut at al falasifah (al Ghazali) dan tahafut

166 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


attahafut (Ibn Rusyd). Kedua karya ini merupakan karya
yang sangat istimewa, karena mereka lah yang banyak
mempengaruhi pemikiran berikutnya, bahkan samapai
sekarang pengaruh pemikiran kedua tokoh tersebut
masih tampak begitu jelas.
Perdebatan itu bukan merupakan hal yang buruk.
Tetapi keadaan seperti itu sangat menunjang
terwujudnya suatu pemikiran baru, kreatif dan
menjadiakan pemikiran Islam semakin mengkilau di
mata dunia. Kegemilauan ini tampak dari terpesonanya
non muslim terhadap variasi pemikiran Islam sehingga
ia harus menerima pengaruh pemikiran mereka dalam
kegiatan berpikir, terutama yang sangat mempengaruhi
cara beropikir mereka adalah Ibn Rusyd.
Sepak terjang pemikiran keduanya bisa dilihat dari
beberapa aspek. Pertama, tentang status kekekalan
alam. Al Ghazali mengatakan bahwa alam tidak qodim
seperti yang diucapkan filusuf, namun tercipta dari
ketiadaan menjadi ada. Tidak ada alasan mengatakan
bahwa alam qodim, kata lain alam adalah baru.
Kalaupun alam harus qodim, pada akhirnya akan
terkesan terdapat sejumlah keqodiman yang merupakan

Filsafat Hukum | 167


suatu hal yang tidak mungkin terjadi dalam tatanan
ketuhanan.
Ibnu rusyd tampaknya menilai terciptanya alam
tersebut pada substasi alam itu sendiri. bahan
pembentuk dunia yang ada sebelum terbentuknya waktu
dianggap sebagian dari alam. Sedangkan sesuatu yang
ada sebelum lahirnya waktu merupakan hal yang qodim,
sehingga alam pun juga pasti qodim. Karena setiap
yang terbuat dari sesuatu yang qodim maka hasilnya
sama seperti pembentuknya. Sedangkan al Ghazali
memandangnya dari segi material. Alam menurutnya
adalah hanya seperti apa yang manusia rasakan
sekarang, yaitu yang terbentuk berbarengan dengan
waktu. Sedangkan unsure-unsur pembentuk alam itu
sendiri tidak dikategorikan sebagai alam. Pada akhirnya
ia secara langsung atau tidak mengatakan bahwa alam
itu baru, karena berbarengan dengan waktu.
Jadi tidak ada masalah yang akurat dalam
pandangan keduanya kecuali hanya terdapat suatu
perbedaan cara pandang saja. Perbedaan sudut
pandang itu sangat dipengaruhi oleh latar belakan
keilmuan yang berbeda yang menuntu perbedaan
keyakinan tentang apa yang ia pikirkan. Al Ghazali yaqin

168 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


bahwa pemikiran tentang definisi alam yang ia
definisikan itu lah yang benar. Sedangkan Ibn Rusyd
pun demikian.
Kedua, kedudukan pikiran / akal. Dalam
permasalah ini, al Ghazali lebih merendahkan akal dari
pada wahyu. Hal tampak pada penyataannya bahwa
akal harus mengalah dikala penemuan akal dan yang
terdapat dalam wahyu bertengana. Artinya, akal menjadi
tak berdaya ketika berhadapan dengan wahyu, akal
hanya menjadi alat menangkap mahsud atau sekedar
tahu isi wahyu. Selebihnya, akal tidak berhak bergerak
sebebas mungkin. Akal dibelenggu oleh wahyu., bahkan
bisa jadi bukan terbelenggu oleh wahyu tetapi lebih
cenderung terbatasi oleh interpretasi manusia saja.
Beda halnya dengan pandangan Ibn Rusyd yang
lebih mengangkat derajat akal menjadi satu level
dengan wahyu. Antara akal dan wahyu tidak mungkin
terdapat suatu pertentangan di antara keduanya. Hanya
saja cara untuk mendapatkan kebenaran yang berbeda.
Akal mendapatkan kebenaran melalui berpikir dan
berenung. Sedangkan wahyu didapatkan dari imajinasi
yang cukup kuat dan itu tuangan langsung dari tuhan.

Filsafat Hukum | 169


Perbedaan tersebut tidak lain karena perbedaan
sudut pandang tadi. ketika mengatakan bahwa akal
sangat begitu terbatas sedangkan wahyu tak terbatas
sehingga tak selamanya akal bisa menjangkau maksud
wahyu, al Ghazali menyamaratakan seluruh akal, baik
akal filosuf ataupun bukan, baik pemikiran yang melalui
cara yang benar ataupun yang salah. Hal ini merupakan
suatu bentuk kehati-hatiannya. Ia lebih menghindar dari
kesalahan dari hasil akal. Karena memang akal sering
dipengaruhi toleh ego, nafsu manusia.
Namun Ibn Rusyd terlihat sangat optimis dengan
kekuatan akal yang dimiliki manusia. Karena memang
titik fokusnya pada penerapan berpkir benar. Hal itu
sangat berdasar sekali, karena sebelum adanya kitab-
kitab suci, manusia dengan sendirinya mampu mencari
kebenaran.
Terakhir adalah pandangan terhadap hukum
kausalitas. Al Ghazali sungguh menulak hukum
kausalitas. Ia mengatakan sangat tidak mungkin
sesuatu terjadi murni disebabkan oleh sesuatu yang lain
selain tuhan juga berperan. Artinya, tuhan juga berperan
sangat penting atas terjadinya segala sesuatu. Hal ini
dibuktikan dengan tidak semua kejadian desebabkan

170 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


benda lain, banyak kejadian yang ada di luar hukum
kausalitas. tidak ada kemutlakan dalam hukum sebab
akibat. Karena di saming kejadian disebabkan penyebab
tuhan juga yang menjadikan kejadian itu terjadi.
Ibnu rusyd sangat yakin bahwa kejadian
merupakan sudah menunjukkan adanya hukum
kausalitas, sehingga manusia bisa memprediksi
kejadian berikutnya sesuai hukum kausalitas yang
berlaku. Misalkan buku akan terbakar jika ditaruk di atas
api. Selamanya akan terus demikian dan manusia bisa
meramal bahwa ketika buku diletakkan di atas api ia
akan terbakar. Dengan demikian manusia bisa
menghindar dari keadaan tersebut jika tidak ingin
bukunya terbakat. Terbakarnya buku ini tidak ada
campur tangan tuhan tetap ini sudah merupakan hukum
alam yang tidak bisa digangu gugat.
Kalau kita analisis hakikat hukum kausalita itu
sendiri bahwa ia adalah suatu kesimpulan dari dua
kejadian. Misalkan, gelas jatuh maka ia pecah. Dalam
keadaan ini sebenarnya terdapat dua kejadian. Pertama
gelas jatuh dan gelas pecah. Kedua kejadian tersebut
tidak bisa dicampur aduk, karena itu adalah dua
kejadian yang berlainan. Sedangkan hukum kausalitas

Filsafat Hukum | 171


adalah hasil kesimpulan dari dua kejadian tersebut,
sehingga kalau dua kejadian kita simpulkan akan
menjadi gelas dijatuhkan, maka ia pasti akan pecah.
Perbedaan hasil dari suatu penyeban kejadian itu
dikarenakan adanya penyeban diluar kejadian itu.
Sehingga perbedaan hasil juga disebabkan adanya
suatu sebab yang pasti berbeda pula. Keadaan ini tidak
lain adalah kesimpulan dari dua kejadia tersebut.
Kesimpulan tersebut adalah sebuah usaha manusia
memahami hukum alam, memantai, mengendalikan
kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. Adapun tetap
terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan adalah karena
ada sebab yang tidak seperti biasa, dengan kata lain
ada sebab lain yang merasuk dalam sebab awal.
Menurut Al-Ghazali alam itu muncul dengan
kehendak kekal dan bersamaan ketika waktu adanya
kehendak tersebut. Dengan kehendak Tuhan, ketiadaan
itu akan berlangsung sampai titik terakhir dan wujud
alam akan bermula saat kehendak untuk mewujudkan
itu bermula. Dengan demikian, berarti ketika Tuhan
belum berkehendak alam itu ada, maka wujud alam
tidak ada, dan ketika Tuhan berkehendak untuk
mewujudkan alam itu ada, maka alam itu ada. Dalam

172 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


membantah argumentasi Al-Ghazali tentang kehendak
kekal atau dalam penciptaan alam yang baru, Ibn Rusyd
memulainya dengan memperhatikan dengan seksama
perbedaan diantara dua konsep yaitu tindakan dan
kehendak yang mana dipredikatkan pada Tuhan.
Menurut Ibn Rusyd, menganggap bahwa alam itu
mewujud setelah adanya jarak waktu yang mana
dikehendaki Tuhan secara kekal itu bisa diterima, akan
tetapi tidak dengan diikuti oleh tindakan Tuhan. Artinya
ketika Tuhan bertindak, produk tindakan Tuhan pun
mestinya secara langsung ada, kecuali jika Tuhan itu
tidak maha kuasa. Maka dari itu tidak ada jarak waktu
antara tindakan Tuhan dengan produknya. Ini berarti
bahwa alam itu dipandang sebagai produk dari tindakan
Tuhan, bukan kehendak-Nya. Selain itu kehendak
merupakan hasrat untuk melakukan suatu tindakan
tertentu dan ketika itu telah dilakukan, maka hasrat akan
berhenti. Dengan demikian untuk menetapkan suatu
kehendak yang abadi dalam penciptaan alam yang baru
itu sesuatu yang bertentangan dengan apa yang
dimaksud dengan kehendak itu sendiri.

Filsafat Hukum | 173


VIII
KEADILAN DALAM
PERSPEKTIF ISLAM

Adil menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)


online adalah sama berat, tidak berat sebelah, tidak
memihak, berpihak pada yang benar dan tidak sewenang-
wenang. Sementara Keadilan diartikan sebagai suatu sifat
atau perbuatan atau perlakuan yang adil.175 Menurut bahasa
Arab, adil di sebut dengan kata ‘adilun yang berarti sama
dengan seimbang, dan al’adl artinya tidak berat sebelah,
tidak memihak, berpihak kepada yang benar, tidak
sewenang-wenang, tidak zalim, seimbang dan sepatutnya.
Menurut istilah, adil adalah menegaskan suatu kebenaran
terhadap dua masalah atau beberapa masalah untuk
dipecahkan sesuai dengan aturan- aturan yang telah
ditetapkan oleh agama.176

175 http://kbbi.web.id/adil. Mengacu pada KBBI Daring (Dalam Jaringan) Edisi III
Hak Cipta Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud,
176 Syamsuri, 2007, Pendidikan Agama Islam, Erlangga, Jakarta, hal.100

174 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


Menurut Kahar Masyhur dalam bukunya
mengemukakan pendapat-pendapat tentang apakah yang
dinamakan adil, terdapat tigal hal tentang pengertian adil,
yaitu:
a. “Adil” ialah : meletakan sesuatu pada tempatnya.
b. “Adil” ialah : menerimahak tanpa lebih dan memberikan
orang lain tanpa kurang.
c. “Adil” ialah : memberikan hak setiap yang berhak secara
lengkap tanpa lebih tanpa kurang antara sesama yang
berhak dalam keadaan yang sama, dan penghukuman
orang jahat atau yang melanggar hukum, sesuai dengan
kesalahan dan pelanggaran”. 177

Terminologi keadilan dalam Alquran disebutkan dalam


berbagai istilah,antara lain ‘adl, qisth, mizan, hiss, qasd,atau
variasi ekspresi tidak langsung, sementara untuk terminologi
ketidakadilan adalah zulm, itsm, dhalal, dan lainnya. Setelah
kata “Allah” dan “Pengetahuan” keadilan dengan berbagai
terminologinya merupakan kata yang paling sering
disebutkan dalam Alquran.

177 Kahar Masyhur, 1985, Membina Moral dan Akhlak, Kalam Mulia, Jakarta, hal.
71.

Filsafat Hukum | 175


Islam mendefinisikann adil sebagai “tidak mendzalimi
dan tidak didzalimi.” Implikasi ekonomi dari nilai ini adalah
bahwa pelaku ekonomi tidak dibolehkan untuk mengejar
keuntungan pribadi bila hal itu merugikan orang lain atau
merusak alam. Tanpa keadilan, manusia akan terkotak-kotak
dalam berbagai golongan. Golongan yang satu akan
mendzalimi golongan yang lain, sehingga terjadi eksploitasi
manusia atas manusia. 178 Dalam khazanah islam yang
lainnya, keadilan yang dimaksud adalah keadilan ilahi, yaitu
keadilan yang tidak terpisah dari moralitas, didasarkan pada
nilai-nilai absolut yang diwahyukan tuhan dan penerimaan
manusia terhadap nilai-nilai tersebut merupakan suatu
kewajiban.179
Hukum dan keadilan selalu berkaitan, begitupula
perintah agama yang menyuruh manusia berlaku adil.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat


kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. ” (QS An-Nahl [16] :
90).

178 Akhmad Mujahidin, 2014, Ekonomi Islam, Suskapress, Pekanbaru, hal.15


179 Muhammad, 2007, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, Graha Ilmu, Yogyakarta,
hal.7

176 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


Ayat ini termasuk ayat yang sangat luas dan dalam
pengertiannya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
sendiri dalam hadits riwayat Bukhari dan Ibnu Jarir dari Ibnu
Mas’ud, menyebutkan, “Ayat yang paling luas lingkupnya
dalam Al-Quran tentang kebaikan dan kejahatan ialah ayat
dalam surah An Nahl ayat ini. Sesungguhnya Allah
menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebaikan”.
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu Wa Ta’ala
memerintahkan manusia untuk berbuat adil dalam segala
aspek kehidupan, serta berbuat kebaikan dengan sesama.
Adil berarti mewujudkan kesamaan dan keseimbangan di
antara hak dan kewajiban. Hak asasi manusia tidaklah boleh
dikurangi disebabkan adanya kewajiban atas mereka.
Karenanya, hak setiap orang harus diberikan sebagaimana
mestinya. Kebahagiaan barulah dirasakan oleh manusia
bilamana hak-hak mereka dijamin dalam masyarakat, hak
setiap orang dihargai, dan golongan yang kuat mengayomi
yang lemah.
Adapun penyimpangan dari keadilan, merupakan
penyimpangan dari Sunah Allah. Allah menciptakan alam ini
tentulah bukan untuk menimbulkan kekacauan dan
keguncangan dalam masyarakat manusia, seperti putusnya
hubungan cinta kasih sesama manusia, tertanamnya dalam

Filsafat Hukum | 177


hati manusia rasa dendam, kebencian, iri, dengki dan
sebagainya. Semua itu justru akan menimbulkan
permusuhan yang menuju kehancuran. Oleh karena itu
agama Islam menegakkan dasar-dasar keadilan untuk
memelihara kelangsungan hidup masyarakat manusia itu.
Dalam Alquran banyak didapat ayat-ayat yang turun di
Mekah maupun di Madinah, memerintahkan manusia
berbuat adil dan melarang kedzaliman. Di antaranya firman
Allah:

“…. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan”. (QS Al-Ma’idah [5]: 8).

Allah Subhanahu Wa Ta’ala menetapkan keadilan


sebagai dasar umum bagi kehidupan masyarakat untuk
setiap bangsa dan masa, untuk setiap umat pada segala
zaman. Keadilan merupakan tujuan dan pengutusan Rasul-
Rasul utusan Allah ke dunia dan tujuan dari syariat dan
hukum yang diturunkan bersama mereka. Firman Allah
menyebutkan:

178 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan
membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan
bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia
dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang
padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi
manusia (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya
Allah mengetahui siapa yang menolong (agama) Nya dan Rasul-
rasul Nya. Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah
Maha Kuat lagi Maha Perkasa. ” (QS Al-Hadid [57]: 25).

Kata adil dalam kamusbesar Bahasa Indonesia berarti;


tidak berat sebelah (tidak memihak) atausepatutnya; tidak
sewenang-wenang. Dalam kamus Maurid (Arab-Ingris),
bermakna: justice, fairness, equitability, equetabliness,
impartiality, unbiasedness. Namun kata adil dalam ilmu
hadits bukanlah seperti pengertian umum. Adil yakniwadha’a
kulla syaiin fi maẖallihi atau meletakkansegala sesuatu pada
tempatnya. Ia merupakan sifat yang tertancap dalam jiwa
yang mendorong pemiliknyauntuk senantiasa bertakwa dan
memeliharaharga diri. Sehingga jiwa kita akan percaya akan
kejujurannya. Menjauhi dosa besar termasuk kedalamnya,
jugasebagian dosa kecil, seperti mengurangi timbangan
sebiji, mencuri sesuap makan,serta menjauhi perkara-
perkara mubah yang dinilai mengurangi harga diri,

Filsafat Hukum | 179


sepertimakan di jalan, buang air kecil di jalan, berteman
dengan orang-orang keji danterlalu berlebihan dalam
berkelakar.180

180 Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, 2007, Ushul al-Alhadits,Penerjm, H.M.Qodirun


Nur dan AhmadMusyafiq, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Gaya Media Pratama,
Jakarta, hal. 203

180 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


IX
PENUTUP

Filsafat dapat diartikan sebagai pandangan hidup


manusia, yang tercermin dalam berbagai pepatah, slogan,
lambang dan sebagainya. Filsafat dapat juga diartikan
sebagai ilmu. Dikatakan sebagai ilmu karena filsafat adalah
pengetahuan yang metodis, sistematis, dan koheren tentang
seluruh kenyataan dengan kata lain filsafat memiliki objek,
metode, dan sistematika tertentu, terlebih-lebih bersifat
universal.
Filsafat hukum merupakan perenungan dan
perumusan nilai-nilai, dan penyerasian nilai-nilai filsafat itu
mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar
dari hukum. Filsafat hukum mempelajari tentang dasar-
dasar/azas-azas hukum yang bersifat umum, tetap dan tidak
berubah yang menjadi latar belakang dan dasar umum bagi
beriakunya suatu sistem hukum positif pada suatu

Filsafat Hukum | 181


masyarakat. Filsafat hukum telah memegang peranan di
dalam memimpin semua telaah tentang lembaga-lembaga
manusia selama 2400 tahun yang lalu, mulai dari pemikir-
pemikir Yunani yang hidup dalam abad kelima sebelum
masehi, yang bertanya apakah hak itu, hak yang ditetapkan
oleh kodrat alam atau hanya oleh pengundangan dan
konvensi, sampai kepada ahli-ahli kemasyarakatan dewasa
ini.
Manusia mencari kebenaran dengan menggunakan
akal sehat (common sense) dan dengan ilmu pengetahuan.
Manusia hidup di dunia ini pada hakekatnya mempunyai
keinginan untuk mencari pengetahuan dan kebenaran.
Pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia
untuk tahu. Pengetahuan menurut arti sempit sebuah
keputusan yang benar dan pasti. Kebenaran merupakan
poin penting yang nantinya akan mengantar pada kepastian
hukum, kemanfaatan dan keadilan karena ketiganya
tentusaja memiliki perspektif kebenaran sendiri.
Manusia bukan hanya wajib untuk berfikir, ia juga wajib
memiliki pengetahuan, karena sejatinya manusia adalah
makhluk yang berakal bahkan perintah Allah Swt pada Nabi
Muhamad yang bertama bukan mendirikan masjid, namun
Iqro. Bacalah, bacalah situasi, bacalah kondisi, bacalah

182 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


suatu strategi dan pelajarilah. Berbekal pengetahuan yang
pasti tentang keberadaan dirinya sendiri, Descartes
berharap mampu membangun sebuah dasar yang kokoh
bagi semua bentuk pengetahuan manusia. Baginya
pengetahuan tentang obyek yang berada di luar dirinya
adalah kombinasi antara kesadaran akan keberadaan
dirinya sendiri (res cogitans dan res extensa) dan argumen
bahwa Tuhan itu ada, serta tidak menipunya dengan semua
bentuk pengetahuan yang masuk melalui indera.
Berfikir, memahami pengetahuan, dan memberikan
makna pada objek kajian merupakan kegiatan filosofis.
Roscoe Pound menyatakan, bahwa ahli filsafat berupaya
untuk memecahkan persoalan tentang gagasan untuk
menciptakan suatu hukum yang sempurna yang harus
berdiri teguh selama-lamanya, kemudian membuktikan
kepada umat manusia bahwa hukum yang telah selesai
ditetapkan, kekuasaannya tidak dipersoalkan lagi. Suatu
usaha untuk melakukan pemecahan menggunakan sistem
hukum yang berlaku pada masa dan tempat tertentu,
dengan menggunakan abstraksi terhadap bahan-bahan
hukum yang lebih tinggi.
Hukum sebagai suatu kenyataan dalam masyarakat
karena mengatur perilaku dalam kehidupan masyarakat

Filsafat Hukum | 183


yang dibuat oleh lembaga yang berwenang, untuk itu melalui
proses tertentu dan merupakan keputusan pejabat yang
berwenang serta berisi jalinan nilai-nilai yang ada dalam
kehidupan masyarakat. Hukum pada dasarnya mempunyai
banyak fungsi dalam usahanya mencapai tujuan-tujuan yang
telah ditetapkan. Pada masyarakat sederhana yang masih
kecil jumlahnya, dimana pola hubungan antara para anggota
masyarakat terjalin sangat erat berdasarkan azas
kekerabatan, selain itu sentimentil dan kepercayaan yang
sama dan mempunyai lingkungan yang relatif stabil maka
penyelenggara keadilan lebih nampak mudah.
Keadilan dalam cita hukum yang merupakan
pergulatan kemanusiaan berevolusi mengikuti ritme zaman
dan ruang, dari dahulu sampai sekarang tanpa henti dan
akan terus berlanjut sampai sekarang tanpa henti dan akan
terus berlanjut makhluk ciptaan Tuhan yang terdiri atas roh
dan jasad memiliki daya rasa dan daya pikir yang dua-
duanya merupakan daya rohani, dimana rasa dapat
berfungsi untuk mengendalikan keputusan-keputusan akal
agar berjalan di atas nilai-nilai moral seperti kebaikan dan
keburukan, karena yang dapat menentukan baik dan buruk
adalah rasa.

184 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


DAFTAR PUSTAKA

 LITERATUR
Abidin, Zainal. 2011. Pengantar Filsafat Barat. Rajawali
Pers. Jakarta.
Abidin, Zainal dan Afoduf. 1994. Pengantar Ilmu Hukum.
UII Press. Yogyakana.
Ahmad al-Syarbashi. al-Ghazâli wa al-Tasawuf al-Islâmi.
Dar al-Hilal. t.k.. t.t..
Ajaj al-Khathib, Muhammad. 2007. Ushul al-
Alhadits.Penerjm. H.M.Qodirun Nur dan
AhmadMusyafiq. Pokok-pokok Ilmu Hadits. Gaya
Media Pratama. Jakarta.
Al-Ghazali.1986. Tahafut al-Falasifah. Pustaka Panjimas.
Jakarta.
al-Syarbashi. al-Ghazâli wa al-Tasawuf al-Islâmi. Dar al-
Hilal. t.k.. t.t..
Anshori, Abdul Ghofur. 2006. Filsafat Hukum. Sejarah.
Aliran Dan Pemaknaan. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Apeldoorn, L.J. Van. 1993. Pengantar Ilmu Hukum. terj.
Oetarid Sadino. Pradnya Paramita. Jakarta.

Filsafat Hukum | 185


Bakhtiar, Amsal. 2010. Filsafat Ilmu. Rajawali Pers.
Jakarta.
------------. 2012. Filsafat Ilmu. Edisi Revisi. Raja Grafindo
Persada. Jakarta.
Basil, Victor Said. 1990. Manhaj al-Bahsi an al-Ma’rifa
Inda al-Ghazali. terjemahan Ahmadi Thaha.
Pustaka Panji Mas. Jakarta.
Darmodiharjo, Darji dan Arief Sidharta. 1995. Pokok-
pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
------------. 2006. Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia). PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Fautanu, Idzam. 2012. Filsafat Ilmu; Teori dan Aplikasi.
Referensi. Jakarta.
Friedrich, Carl Joachim. 2004. Filsafat Hukum : Perspektif
Historis. Nuansa dan Busamedis. Bandung.
-----------. 2004. The Philosophy of Law in Historical
Perspective. Raisul Muttaqien (penj.). filsafat
Hukum: Perspektif Sejarah. Nuansa dan
Nusamedia. Bandung.

186 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


Fuady, Munir. 2007. Dinamika Teori Hukum. Ghalia
Indonesia. Bogor.
Fuller. Lon. L. 1973. The Morality of Law. Revised edition
Ninth Printing. Yale University Press. New Haven
and London.
Griffel, Frank. 2009. Al-Gazali’s Philosophycal Theology.
Oxford University Press. New York.
Hadiwijono, Harun. 2006. Sari Sejarah Filsafat Barat 1.
Kanisius. Yogyakarta.
Hamersma, Harry. 1990. Filsafat Eksistensi Karl Jaspers.
PT. Gramedia. Jakarta.
Hanafi, Hassan. 2015. Studi Filsafat 2 Pembacaan Atas
Tradisi Barat Modern. LkiS. Yogyakarta.
Hardiman, F. Budiman. 2009. Melampaui Positivisme dan
Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode
Ilmiah dan Problem Modernitas. Penerbit Kanisius.
Yogyarakta.
Hart, Michael H. 1982. Seratus Tokoh yang Paling
Berpengaruh dalam Sejarah. Terjemahan H.
Mahbub Djunaidi. PT. Dunia Pustaka Jaya. Jakarta.
Hatta, Mohammad. 1986. Alam Pikiran Yunani. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia.

Filsafat Hukum | 187


Huijbers, Theo. 2007. Filsafat Hukum dalam Lintasan
Sejarah. Kanisius. Yogyakarta.
Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. 2004. Pokok-
Pokok Hukum Pidana. Hukum Pidana Tiap Orang.
Pradnya Paramita. Jakarta.
Kattsoff, Louis O. 1992. Pengantar Filsafat. Tiara
Wacana. Yogyakarta.
Khilkan, Ibnu. 1948. Wafayât al-A’yân. Maktabah al-
Nahdyan. Mesir.
Luthan, Salman. 2008. Filsafat Hukum. Program
Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam
Indonesia. Yogyakarta.
Maksum, Ali. 2010. Pengantar Filsafat. Ar-Ruzz Media.
Jogjakarta.
Marzuki, Peter Mahmud. 2008. Pengantar Ilmu Hukum.
Kencana. Jakarta.
Masyhur, Kahar. 1985. Membina Moral dan Akhlak.
Kalam Mulia. Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno. 2005. Mengenal Hukum Suatu
Pengantar. Liberty. Yogyakarta.
-----------. 2011. Teori Hukum. Cetakan ke 1. Universitas
Atma Jaya. Yogyakarta.

188 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


Montesquieu. 2013. The Spirit of Laws. Cetakan Ke 6.
Penerbit Nusa Media. Bandung.
Mudyaharjo, Redja. 2008. Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu
Pengantar. Bandung.
Mujahidin, Akhmad. 2014. Ekonomi Islam. Suskapress.
Pekanbaru.
Muhammad. 2007. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam. Graha
Ilmu. Yogyakarta.
Murphy, Anne. 2001. Thomas More Tokoh Seri Pemikir
Kristen. (terj). P. Hardono Hadi. Kanisius.
Yogyakarta.
Nasution, M. Harun. 1983. Filsafat dan Mistisisme Dalam
Islam. Bulan Bintang. Jakarta.
Nata, Abuddin. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Gaya
Media Pratama. Jakarta.
Noer, Deliar. 1982. Pemikiran Politik di Negeri Barat. CV
Rajawali Press. Jakarta.
Notohamidjojo, O. 1975. Soal-soal Pokok Filsafat Hukum.
Gunung Mulia. Jakarta.
Poedjawijatna. 1982. Etika: Filsafat Tingkah Laku. Rineka
Cipta. Yogyakarta.
-----------. 1997. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat.
Rineka Cipta. Jakarta.

Filsafat Hukum | 189


Pound, Roscoe. 1972. Interpretations of Legal History.
Havu. L.R. Holland.
-----------. diterjemahkan oleh Mohamad Radjab. 1996.
Pengantar Filsafat Hukum. PT. Bhratara Niaga
Media. Jakarta.
Prodjodikoro. Wirjono. 1992. Asas-asas Hukum Perdata.
Sumur. Bandung.
Purbacaraka, Purnadi & Soerjono Soekanto. 1979.
Perundang-undangan dan Yurisprudensi. Penerbit
Alumni. Bandung.
Rahardjo, Satjipto. 1982. Ilmu Hukum. PT. Alumni.
Bandung.
Rapar, H. 1993. Filsafat Politik Aristoteles. Penerbit Raja
Grafindo Persada. Jakrata.
Rasuanto, Bur. 2004. Keadilan Sosial: Pandangan
Deontologis Rawls dan Habermas. Dua Teori
Filsafat Politik Kontemporer. Gramedia. Jakarta.
Rasyidi, Lili. 1988. Filsafat Hukum. PT. Remaja Rosda
Karya. Bandung.
-----------. 1990. Dasar-Dasar Filsafat Hukum. Penerbit PT.
Citra Aditya Bakti. Bandung.
------------. 2002. Pengantar Filsafat Hukum. Mandar Maju.
Bandung.

190 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


Rawls, John. 1971. A Theory of Justice. The Belknap
Press. Cambridge.
-----------. 2006. Teori Keadilan: Dasar-Dasar Filsafat
Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan dalam
Negara. terj. Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo.
Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Rhiti, Hyronimus. 2011. Filsafat Hukum. Universitas
Atmadjaya. Yogyakarta.
Rusli. M. & Ridjal Fauzi (Ed.). 1992. Dinamika Ekonomi
dan Iptek dalam Pembangunan. Tiara Wacana.
Yogyakarta.
Russel, Betran. 2004. History of Western Philosophy and
its Connection with Political and Social
Circumstances from the Earliest Times to the
Present Day. terjemahan Sigit Jatmiko. Agung
Prihantoro. Imam Muttaqien. Imam Baihaqi.
Muhammad Shodiq (Penj.. Sejarah Filsafat Barat:
Kaitanya dengan Kondisi Sosio-politik zaman kuno
hingga sekarang. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Salam, Burhanuddin. 2000. Pengantar Filsafat. Bumi
Aksara. Jakarta.
Salman, Otje. 2009. Filsafat Hukum. PT Refika Aditama.
Bandung.

Filsafat Hukum | 191


Sidharta, Arief. 2007. Meuwissen Tentang
Pengembangan Hukum. Ilmu Hukum. Teori Hukum.
dan Filsafat Hukum. Refika Aditama. Bandung.
Siraj, Fuad Mahbub. 2012. Ibnu Rusyd Cahaya Islam di
Barat. Dian Rakyat. Jakarta.
Soehino. 2001. Ilmu Negara. Liberty. Yogyakarta.
Soelaeman, M. Munandar. 2001. Ilmu Sosial Dasar.
Refika Aditama. Bandung.
Soetandyo Wignjosoebroto. 2002. Hukum: Paradigma.
Metode dan Dinamika Masalahnya. Lembaga Studi
dun Advokasi Masyarakat. Jakarta.
Soetiksno. 1986. Filsafat Hukum Jilid 2. Pradnya
Paramita. Bandung.
Subhi, Ahmad Mahmud. 2001. Filsafat Etika. PT. Serambi
Ilmu Semesta. Jakarta.
Suhelmi, Ahmad. 2007. Pemikiran Politik Barat: Kajian
Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara.
Masyarakat dan Kekuasaan. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Sumaryono, E. 2002. Etika dan Hukum: Relevansi Teori
Hukum Kodrat Thomas Aquinas. Kanisius.
Yogyakarta.

192 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


Suriasumantri, Jujun S. 1996. Filsafat Ilmu. Sebuah
Pengantar Populer. Pustaka Harapan. Jakarta.
-----------. 1998. Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer.
Penerbit Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
-----------. 2005. Filsafat ilmu sebuah pengantar populer.
Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Suseno, Frans Magnis. 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis.
Kanisius. Yogyakarta.
-----------. 2005. Pijar-Pijar Filsafat : Dari Gotholoco ke
Filsafat Perempuan . dari Adam Müller ke
Postmodernisme. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Syahrani, Riduan. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum.
Penerbit Citra Aditya Bakti. Bandung.
Syamsuri. 2007. Pendidikan Agama Islam. Erlangga.
Jakarta.
Syarif, M.M. 1996. The Philosophies: History of Muslim
Philosophy. terj.: Ilyas Hasan. Mizan. Bandung.
Tafsir, Ahmad. 2007. Filsafat Umum.Remala Rosdakarya.
Bandung.
Tanya, Bernart L dkk. 2007. Teori Hukum (Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang dan Generasi). CV. Kita.
Surabaya.

Filsafat Hukum | 193


Ujan, Andre Ata. 2001. Keadilan dan Demokrasi: Telaah
Filsafat Politik John Rawl . Kanisius. Yogyakarta.
Utama, I Gusti Bagus Rai. 2013. Filsafat Ilmu Dan Logika.
Universitas Dhyana Pura. Badung.
Van Apeldorn. 1985. Pengantar Ilmu Hukum. Cet. Ke 22
Pradnya Paramita. Jakarta.
Wattimena, Reza A.A. 2010. Filsafat Kritis Immanuel Kant
Mempertimbangkan Kritik Karl Ameriks terhadap
Kritik Immanuel Kant atas Metafisika. PT Evolitera.
Jakarta.
Wibowo, Kurniawan Tri. 2020. Hukum dan Keadilan
(Peradilan Yang Tidak Kunjung Adil). Papas Sinar
Sinanti. Depok.
Wignjosoebroto. 2002. Hukum: Paradigma. Metode dan
Dinamika Masalahnya. Lembaga Studi dun
Advokasi Masyarakat. Jakarta.
Wiradipradja, E. Saefullah. 2009. Filsafat Ilmu. Unpad.
Bandung.

194 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


 SUMBER LAINNYA
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.
Dewan Redaksi. 1994. Ensklopedi Islam. Juz 2. Ichtiar
Van Hoeve. Jakarta.
Dwika. “Keadilan dari Dimensi Sistem Hukum”.
http://hukum.kompasiana.com. diakses pada
tanggal 5 Juli 2020. pukul 14.00 WIB.
http://kbbi.web.id/adil. Mengacu pada KBBI Daring
(Dalam Jaringan) Edisi III Hak Cipta
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kemendikbud.
Ismail, Fauzie Kamal. 2011. Kepastian Hukum Atas Akta
notaris Yang Berkaitan Dengan Pertanahan.
Fakultas Hukum. Universitas Indonesia. Depok.
Kalo, Syafruddin. “Penegakan Hukum yang Menjamin
Kepastian Hukum dan Rasa keadilan Masyarakat”
dikutip dari http://www.academia.edu.com
Mulyani, Sri. Rekonstruksi Pemikiran Yuridis Integral
Dalam Pembaharuan Sistem Hukum Jaminan
Fidusia Berpilar Pancasila. Jurnal Hukum Dan
Dinamika Masyarakat Vol.7 No.2 April 2010.

Filsafat Hukum | 195


Puji, Setyo. Polisi Tolak Laporan Anak yang Ingin
Memenjarakan Ibu Kandung. Ini Alasannya...".
https://regional.kompas.com/read/2020/06/29/14171
601/polisi-tolak-laporan-anak-yang-ingin-
memenjarakan-ibu-kandung-ini-
alasannya?page=all.
Sagama, Suwardi. Analisis Konsep Keadilan. Kepastian
Hukum Dan Kemanfaatan Dalam Pengelolaan
Lingkungan. Mazham. Jurnal Pemikiran Hukum
Islam. Mazahib.Vol XV. No. 1 (Juni 2016).
Sumardjono, Maria S.W. “Kepastian Hukum dalam
Pendaftaran Tanah dan Manfaatnya Bagi Bisnis
Perbankan dan Properti. “Makalah disampaikan
dalam seminar kebijaksanaan baru di bidang
pertanahan. dampak dan peluang bagi bisnis
properti dan perbankan”. Jakarta. 6 Agustus 1997.
Taufiq, Muhammad. Penyelesaian Perkara Pidana Yang
Berkeadilan Substansial. Yustisia UNS Vol.2 No.1
Januari – April 2013.
Wantu, Fence M. “Antinomi Dalam Penegakan Hukum
Oleh Hakim”. Jurnal Berkala Mimbar Hukum. Vol.
19 No. 3 Oktober 2007. Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta.

196 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


--------------. “Mewujukan Kepastian Hukum. Keadilan dan
Kemanfaatan Dalam Putusan Hakim di Peradilan
Perdata.” Jurnal Dinamika Hukum. (Gorontalo) Vol.
12 Nomor 3. September 2012.

Filsafat Hukum | 197


DR. Kurniawan Tri Wibowo
SH., MH., CPL, CCD lahir di Kota
Bekasi tanggal 29 Oktober 1987.
Jenjang pendidikan S1 Hukum ia
tamatkan di Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
(tahun 2005-2009) dengan
kekhususan hukum pidana. Setelah lulus program S1,
melanjutkan program Paska Sarjana (S2) di Magister Ilmu
Hukum Universitas Jenderal Soedirman dan melanjutkan
studi di PDIH Unisula Semarang sejak tahun 2014 dan
menjadi murid dari Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H.,M.H.
dan Dr. H. Jawade Hafidz, S.H., M.H.
Kurniawan, salah satu sapaan akrabnya saat ini aktif
menggeluti profesi Advokat dan tercatat sebagai advokat
PERADI. Landmark Decision 2017 pada putusan No 209K/
PID/2016 mengantarkannya sebagai advokat terbaik dalam
membela tukang batu yang dituduh melakukan tindak pidana
dan berakhir dengan putusan putusan onslag van alle
rechtsvervolging atau lepas dari segala tuntutan dan menjadi

198 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo


yurisprudensi Mahkamah Agung yaitu terhadap benda yang
masih terdapat perselisihan keperdataan diantara terdakwa
dan saksi korban dengan demikian haruslah dilepas dari
segala tuntutan hukum. Penulis juga aktif mengembangkan
spesialisasi advokat, dalam hal ini penulis memiliki
spesifikasi dibidang procurement lawyer (CPL) dan ahli
huukum kontrak yang tergabung di dalam Perkumpulan
Perancang dan Ahli Hukum Kontrak Indonesia (PAHKI) yang
dipimpin Profesor Hikmahanto Juwana SH, LLM, PhD.
Penulis juga merupakan Dosen sekaligus Kaprodi Fakultas
Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta yang telah
banyak melahirkan buku-bukum hukum acara pidana.
Di sela-sela kesibukannya, sosok yang konsisten ini juga
aktif dalam bidang tulis-menulis dalam beberapa jurnal
ilmiah internasional, serta mengembangkan konsultasi dan
bantuan hukum gratis di Facebook. Penulis juga aktif
berorganisasi di beberapa organisasi antara lain sebagai
Ketua Bidang Divisi Litigasi Lembaga Bantuan Hukum
Perisai Kebenaran Pusat, Sekretaris Komnas Anak
Purwokerto. Untuk berkorespondensi atau berdiskusi terkait
buku ini dengan kurniawan dapat
melalui: one_agp@yahoo.com atau kontak person
08895081176.

Filsafat Hukum | 199


Wagiman, SH., S.Fil., MH,
menyelesaikan studi S1 filsafat
hukum di Universitas Gajah Mada
(UGM) Yogyakarta; studi S1 hukum
transnasional dan diplomatik dan S2
hukum internasional di Universitas
Padjajaran (Unpad) Bandung;
Program S3 Hukum Tata Negara di Universitas Indonesia,
Jakarta (tidak selesai). Pengalaman kerja penelitian pada
Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia (YPHI), lembaga
nirlaba yang didirikan Prof. J.E. Sahetapy sekaligus sebagai
Direktur Eksekutifnya; Peneliti lepas di Komisi Hukum
Nasional Republik Indonesia (KHN). Aktifitas keprofesian
sebagai Advokat, yang tergabung pada Persatuan Advokat
Indonesia (Peradi); Pengacara Pajak tergabung dalam
Perkumpulan Pengacara Pajak Indonesia (Perjakin); dan
Dosen Filsafat Hukum.***

200 | Kurniawan Tri Wibowo & Wagiman Martedjo

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai