KELOMPOK 1 SESI 1
FAKULTAS HUKUM
TAHUN 2021/2022
DAFTAR ISI
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul
“Mazhab Hukum Alam dan Mazhab Legal Positivisme” ini tepat pada
waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari
Bapak Dr. Anwar Hidayat,S.H.,M.H, pada mata kuliah “Filsafat Hukum”. Selain
itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang mazhab dalam
filsafat hukum bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.Anwar Hidayat,S.H.,M.H,
selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat Hukum yang telah memberikan tugas
ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang
studi yang penulis tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.
Karawang, 20 Oktober 2022
Penulis
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
dengan yang lain. Sebagai makhluk individu dan makhluk sosial (zoon
sebagai instrumen.2
sosial selalu menjadi diskursus yang menarik di kalangan ahli hukum. Apa
(sintesis) dari yang lain. Selain itu, pertanyaan yang bersifat filsafati yang
1
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, 2009, hlm.59-72.
2
Bernard L. Tanya, dkk., Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
Yogyakarta: Genta Publishing, 2010, hlm.44.
1
2
itu mengikat?” atau dengan kata lain “apa landasan mengikatnya hukum?”.
karena para ilmuwan hukum juga memandang hukum dari perspektif dan
hukum yang paling terkenal, yakni mazhab hukum alam dan mazhab legal
ahli hukum.
3
perlu secara tegas memisahkan antara hukum dan moral (antara hukum
yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan das sollen).3
Positivisme hukum sebagai sistem filsafat muncul pada abad 19, sistem ini
makalah ini.
B. Rumusan Masalah
3
Dr. Aprita,Serlika. S.H.,M.H dan Rio Adhitya,S.T.,S.H.,M.H. Filsafat Hukum,Depok:
Rajagrafindo Persada.2020,. Hlm 102.
4
Kamarusdiana,M.H. Filsafat Hukum, Jakarta: UIN Jakarta Press. 2018.hlm 65
4
positivisme?
C. Tujuan
legal positivisme.
TINJAUAN PUSTAKA
ilmu hokum. Pada dasarnya aliran hokum alam ini dapat dibedakan
Menurutnya ada pengetahuan yang tidak dapat ditembus oleh akal dan
a. Lex aeterna; hukum rasio Tuhan ayng tidak dapat ditangkap oleh
b. Lex divina; hukum rasio yang dapat ditangkap oleh panca indera
manusia.
c. Lex naturalis; hukum alam, yaitu penjelmaan dari lex divina dan
lex aeterna.
5
Sofyan Hadi, Kekuatan Mengikat Hukum Dalam Perspektif Mazhab Hukum Alam dan Mazhab
Positivisme Hukum, Jurnal Ilmiah, Volume 25, Nomor 1, Maret 2017 – Agustus 2017, hlm. 88.
5
6
dunia.6
2. Menurut Aristoteles
seperti hukum perang dan damai serta hukum laut. Menurut Grotius,
itu.8
6
Prof. Dr. H. Zainal Asikin, SH, SU, Mengenal Filsafat Hukum, Yogyakarta: Penerbit ANDI,
2020, hlm. 44.
7
Ibid. hlm. 43.
8
Ibid. hlm. 47.
7
manusia yang berasal dari rasio (sudah ada terlebih dahulu tanpa
aliran hukum positif, yang mana aliran ini perlu memisahkan secara tegas
antara hukum dan moral atau dengan kata lain memisahkan antara das sein
dan das sollen. Menurut Austin, Hukum adalah perintah dari penguasa
negara, dimana ”penguasa” ini merupakan hakekat dari hukum itu sendiri
dan hukum adalah perintah yang berdaulat. Bagi Austin, “No Law no
Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap logis, dan tertutup.
Austin membedakan hukum antara dua jenis yaitu, pertama, hukum dari
Tuhan untuk manusia (the divine laws); dan hukum yang di buat oleh
9
Ibid,hlm. 48
10
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op, Cit, hlm 89.
11
Darji darmodjiharjo dan Sidharta, Loc.Cit.
8
hukuman. Walaupun sampai saat ini, ini merupakan sebuah cara yang jelas
mengarahkan untutuk menjauh dari gagasan bahwa hukum itu terdiri dari
ini, tetapi ajaran ini tidak lepas dari kritik atas sifatnya yang kaku dan
kehidupan di jagad raya. Pemisahan tegas antara hukum dan moral oleh
12
Yavita A Mangesti san Bernard L, Moralitas Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing, 2014. Hlm
32-33.
9
hukum yang tidak adil bukan hukum. Karenanya, hukum hukum memiliki
dilepaskan dari moral dan etika. Hukum yang tidak berlandaskan pada
moral dan etika dikategorikan sebagai hukum yang jelek dan tidak
hukum bukan objek yang bebas nilai namun penuh dengan nilai
instrumen keadilan yang tidak bisa lepas dari moral dan etika, maka
kepastian hukum, maka harus dipisahkan dari nilai baik atau buruk,
serta nilai adil atau tidak adil. Bagi mazhab positivisme hukum,
13
Hilaire McCoubrey dan Nigel D. White, Op.cit, hlm. 60
11
harus dilepaskan dari etika. Hukum harus lepas dari nilai-nilai “baik atau
buruk”, “benar atau salah”, atau “adil atau tidak adil”. Tidak penting,
apakah hukum itu adil atau tidak, yang penting “perintah yang berdaulat”,
maka itu-lah hukum yang sesungguhnya dan semua orang diminta untuk
ada unsur “perintah” yang dapat dipaksakan kepada subjek yang dituju
14
Ibid, hlm. 53
15
Bernad L. Tanya, Op.cit, hlm. 94-95.
12
oleh hukum. Dari dua pandangan di atas, ada perbedaan yang tajam antara
merupakan refleksi dari moral, etika dan keadilan. Hukum tidak dapat
dilepaskan dari keadilan. Bahkan ada adegium “lex iniusta non est lex”.
tidak berisi nilai keadilan, maka tidak dapat dikatakan sebagai hukum dan
menganggap hukum tidak ada kaitannya dengan moral, etika dan keadilan.
Cita hukum atau tujuan hukum lebih pada kepastian hukum. Adil atau
tidak adil, hukum wajib ditaati. Untuk itu, mengikatnya hukum karena ia
dilanggar, dan sebaiknya. Menurut penulis, hukum yang adil dan hukum
Dworkin yakni kasus Riggs Palmer atau dikenal dengan kasus Elmer.
namun hakim berani untuk mengadili berdasarkan prinsip hukum atau nilai
speaker of the law), namun hakim harus berani keluar dari hukum
penyebab suatu fakta hukum muncul. Dengan demikian, maka hakim akan
16
Lihat Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, hal.154-155
BAB III
PEMBAHASAN
ilmu hukum. Dalam memandang hukum, mazhab ini dibagi menjadi dua,
titik pangkal dari mazhab ini adalah “hukum dijadikan sebagai instrumen
hukum alam didasarkan pada hukum yang didasarkan pada moral alamiah
17
Hilaire McCoubrey and Nigel D. White, Textbook on Jurisprudence, London:Blackstone
Press Limited, 1996, hal.59
18
Hilaire McCoubrey, The Devolopment of Naturalist Legal Theory, London: Croom Helm, 1987,
hal.xii
15
16
sebagai pengemban nilai keadilan, menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya
tata hukum. Nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum.
Keadilan menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolak ukur system
hukum positif.
adalah unsur esensial dari hukum. Apabila hukum itu tidak berkeadilan,
tersebut lepas dari nilai keadilan, maka hukum tersebut tidak mempunyai
kekuatan mengikat.19
beranggapan bahwa teori hukum itu dikonsepsikan sebagai ius yang telah
19
Bernard L. Tanya, dkk., Op.cit, hal.129-130
17
antara yang terbilang hukum atau tidak. Oleh karena itu hukum dapat
positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik
atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitas hukum dalam
masyarakat.20
dalam arti yang mutlak dan memisahkan antara hukum dengan moral dan
agama serta memisahkan antara hukum yang berlaku dan hukum yang
seharusnya, antara das sein dan das sollen. Bahkan tidak sedikit
(law is command from the lawgivers), hukum itu identik dengan undang-
20
Adji Samekto, Pergeseran Pemikiran Hukum dari Era Yunani Menuju Postmodernisme, Jakarta,
Konpress, 2015, hal. 42
21
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Adtya Bakti, Bandung, 1995, hal. 267.
22
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1993, hal. 87
23
Adji Samekto, Op. Cit., hal 66.
18
tentang esensi.
(diprediksi).
dapat diamati.
yang benar, semua didasarkan pada data empiris, real, nyata, konkret dan
24
Adji Samekto, Op. Cit., hal. 48
19
juga bertujuan untuk memandang hukum sebagai realitas yang lepas dari
boleh ditawar, lepas apakah hukum itu efektif atau tidak, adil atau tidak.
25
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Yogyakarta, PT. Kanisius, 2009, hal. 33
20
hukum tergantung “hanya” kepada lima faktor itu sajakah ? Ternyata tidak
. Hal ini, karena terdapat satu unsur lagi yang menyebabkan tidak
alasan dan saat ini bertambah satu yang dapat mempengaruhi penegakan
hukum yaitu aliran positivisme hukum. Hal ini, karena aliran ini
berpendapat bahwa hukum harus tertulis, sehingga tidak ada norma hukum
bermuara kepada positivisme hukum. Hal ini, karena tanpa disadari dan
sendiri. Hal ini jika dilakukan dan dijalankan sebagai dasar, penegakan
hukumnya. Hal ini berbahaya, karena para penegak hukum tidak dapat
hanya berpegang pada “rule and procedure“-nya saja dan tidak mendalami
kerugian yang tidak hanya merugikan pencari keadilan, tetapi juga semua
26
Lili Rasyid, FIlsafat Hukum, Mazhab dan Refleksinya,(Bandung:Remaja
Rosdakarya,1994),hlm17.
22
sini sama artinya dengan faktual, yaitu apa-apa yang berdasarkan fakta-
pernah dapat melebihi fakta-fakta yang ada. Hal ini menjadikan ilmu
acuannya. Para penegak hukum tanpa disadari telah berpegang teguh dan
dasar bekerjanya.
positif, sehingga yang dikenalnya hanya ada satu jenis hukum, yakni
hukum positif saja . Sisi kelam positivisme hukum adalah yang dikaji
nilai itu tidak dapatditangkap oleh panca indera manusia. Di samping itu,
atau berlaku (positif) dengan hukum yang seharusnya ada, yang berisi
antara hukum dengan moral, antara hukum yang ada (das sein) dengan
dengan jelas bahwa aliran ini memiliki pengaruh terhadap filsafat hukum,
yang berwujud dengan nama sebagai positivisme hukum. Sebelum itu, ada
24
yang baik, maka hidup bersama akan berlangsung dengan baik namun
yang terkandung dalam peraturan dan tidak hanya secara data datar begitu
hukum yang tanpa disadari dalam pikirnya para penegak hukum. Untuk
penegakan menjadi sulit diteggakan jika ada dan hadir di antara para
penegak hukum. Sebuah ironi memang, namun hal ini harus dicapai dan
filsafat, namun jika dinilai lebih besar dan dahsyat pola berpikirnya
penegak hukum yang tidak dapat dilihat sebelah mata dan biasa. Harus ada
hukum yang demikian legalistik hitam putih tidak benar dan mulai
pada yang biasanya dilakukan oleh para penegak hukum selama ini.
negatif. Kekhawatiran itu ada, karena penggunaan kaca mata kuda dalam
positivistik yang kaku dan tidak membumi. Untuk itu hukum progresif
Nilai keadilan dan kemanfaatan semakin jauh dari ilmu dan penegakan
Untuk itu hukum progresif pilihan jalan keluanya, karena positivisme telah
melepaskan diri dari kungkungan pola berpikir positivistik yang kaku dan
tidak membumi. Untuk itu hukum progresif pilihan jalan keluanya, karena
27
1. Hukum Alam
Seperti yang sudah dijelaskan mazhab hukum alam memandang
hukum sebagai instrumen untuk mencapai keadilan. Keadilan adalah
unsur esensial dari hukum. Apabila hukum itu tidak berkeadilan, maka
sesungguhnya bukan hukum. Dengan demikian, maka mazhab hukum
alam memandang bahwa hukum mempunyai kekuatan mengikat
karena hukum tersebut mempunyai “nilai keadilan”. Apabila, hukum
tersebut lepas dari nilai keadilan, maka hukum tersebut tidak
mempunyai kekuatan mengikat. Menurut mazhab hukum alam, hukum
merupakan keadilan, sehingga hukum yang tidak adil bukan hukum.
Karenanya, hukum hukum memiliki kekuatan mengikat apabila hukum
berisi keadilan, bermoral, berisi kebenaran, dan sesuai etika.
Keadilan yang seperti apakah yang menjadi dasar atau landasan
mengikatnya hukum, Ulpianus menyatakan bahwa “justitia est
27
Zainuddin Ali,Filsafat Hukum,(Jakarta:Sinar Grafika,2006),hlm54
28
28
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, 2009, hlm.139.
29
Bernard L. Tanya, dkk., Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
Yogyakarta: Genta Publishing, 2010, hlm.55.
30
Robin West, Normative Jurisprudence: An Introduction, Cambridge: Cambrigde University
Press, 2011, hlm.13.
29
“Hukum positif manusia itu adil atau tidak adil. Jika mereka adil,
mereka memiliki kekuatan mengikat dalam hati nurani”. Hukum dikatakan
adil jika:
31
Robin West, Op.cit, hlm.31
30
2. Hukum Positivesme
Jika mazhab hukum alam memandang hukum sebagai instrumen
keadilan yang tidak bisa lepas dari moral dan etika, maka mazhab
positivisme hukum memandang hukum sebagai saran untuk menciptakan
kepastian hukum, maka harus dipisahkan dari nilai baik atau buruk, serta
nilai adil atau tidak adil.33
Jeremy Bentham menyatakan bahwa tendensi alamiah dari doktrin
hukum alam adalah mendorong seseorang dengan kekuatan hati nurani
untuk melawan hukum (positif) apapun yang terjadi. Menurut Jeremy
Bentham, hukum bukanlah refleksi moral dan etika sehingga hanya
dipaksakan berdasarkan kesadaran etis manusia, namun hukum adalah
perintah dari penguasa yang berdaulat34.
Di samping itu, dengan “stufentheorie-nya” Hans Kelsen menyatakan
bahwa validitas hukum ditentukan apabila norma hukum yang memiliki
kedudukan yang lebih rendah bersumber dan tidak bertentangan dengan
norma hukum yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi, dan validitas
tertinggi ada pada Grund norm yang bersifat presupposed.35
32
Bernard L. Tanya, dkk., Op.cit, hlm.60.
33
Hilaire McCoubrey and Nigel D. White, Op.cit, hlm. 11.
34
Hilaire McCoubrey and Nigel D. White, Op.cit, hlm. 11.
35
Bernad L. Tanya, Op.cit, hlm. 91.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
bahwa:
dapat ditembus oleh akal dan untuk itulah diperlukan iman, berbicara
31
32
sebagai ius yang telah mengalami positifisasi sebagai lege atau lex,
berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan das sollen.
keadilan yang tidak bisa lepas dari moral dan etika, maka mazhab
atau buruk, serta nilai adil atau tidak adil. Menurut Jeremy Bentham,
B. Saran
mazhab hukum alam dan mazhab legal positivisme serta sebagai pedoman
34