Anda di halaman 1dari 37

FILSAFAT HUKUM

MAZHAB HUKUM ALAM DAN MAZHAB LEGAL POSITIVISME

Dosen Pengampu Dr.Anwar Hidayat S.H.,M.H

KELOMPOK 1 SESI 1

1 Annisa Eka Wulandari 19416274201092 HK19A


2 Desyfa Nurhidayah 19416274201093 HK19A
3 Elsa Natasya 19416274201058 HK19D
4 Fauzi Muhammad Arif 1941627420116 HK19B
5 Fickry Irham Maulana 19416274201060 HK19D
6 Ina Maliana Putri 19416274201050 HK19D
7 Jasa Sudjana 19416274201047 HK19D
8 Jihan Alfadia 19416274201140 HK19A
9 Masnida Malau 19416274201096 HK19B
10 Neti Safitri 19416274201160 HK19A
11 R. Lita Nur Elita 19416274201120 HK19C
12 Samsudin 19416274201067 HK19A
13 Tira Habibah 19416274201061 HK19D
14 Vindy Agnes Silvani 19416274201011 HK19A
15 Wike Nopianti 19416274201031 HK19A

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BUANA PERJUANGAN KARAWANG

TAHUN 2021/2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii


KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 3
C. Tujuan ....................................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 5
A. Pengertian Mazhab Hukum Alam ............................................................ 5
B. Pengertian Legal Positivisme ................................................................... 7
C. Perbedaan dari mazhab hukum alam dan mazhab legal positivisme ........ 9
BAB III PEMBAHASAN ................................................................................... 15
A. Mazhab Hukum Alam ............................................................................ 15
B. Mazhab Legal Positivisme ..................................................................... 16
C. Perbedaan Mazhab Hukum Alam dan Mazhab Legal Positivisme ........ 20
D. Kekuatan Mengikat Hukum dalam Perspektif Mazhab Hukum Alam dan
Mazhab Positivisme Hukum ............................................................................. 27
BAB IV PENUTUP ............................................................................................. 31
A. Kesimpulan ............................................................................................. 31
B. Saran ....................................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 34

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul
“Mazhab Hukum Alam dan Mazhab Legal Positivisme” ini tepat pada
waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari
Bapak Dr. Anwar Hidayat,S.H.,M.H, pada mata kuliah “Filsafat Hukum”. Selain
itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang mazhab dalam
filsafat hukum bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.Anwar Hidayat,S.H.,M.H,
selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat Hukum yang telah memberikan tugas
ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang
studi yang penulis tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.
Karawang, 20 Oktober 2022

Penulis

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cicero menyatakan bahwa “ubi societas ibi ius”. Artinya bahwa

eksistensi masyarakat selalu diikuti dengan eksistensi hukum. Hal tersebut

menandakan bahwa masyarakat dan hukum tidak dapat dipisahkan satu

dengan yang lain. Sebagai makhluk individu dan makhluk sosial (zoon

politicum), hukum meliputi aspek fisik dan eksistensial manusia.1 Hukum

tidak hanya instrumen untuk menciptakan keamanan dan ketertiban

hubungan antara individu dengan individu yang lain dalam masyarakat.

Namun, hukum juga instrumen moralitas yang masuk ke dalam rasio

manusia untuk menciptakan keadilan. Aristoteles menyatakan bahwa

tujuan bermasyarakat adalah untuk mencapai hidup yang lebih baik

(keadilan), dan untuk mencapai keadilan tersebut maka dibutuhkan hukum

sebagai instrumen.2

Perdebatan mengenai eksistensi hukum sebagai sebuah norma

sosial selalu menjadi diskursus yang menarik di kalangan ahli hukum. Apa

hakikat hukum, apa itu keadilan, apakah tujuan hukum. Pertanyaan

mendasar tersebut sampai sekarang belum terjawab dengan tuntas dan

memuaskan, karena jawaban yang satu akan melahirkan bantahan

(sintesis) dari yang lain. Selain itu, pertanyaan yang bersifat filsafati yang

1
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, 2009, hlm.59-72.
2
Bernard L. Tanya, dkk., Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
Yogyakarta: Genta Publishing, 2010, hlm.44.

1
2

sampai sekarang masih menimbulkan tanda tanya adalah “mengapa hukum

itu mengikat?” atau dengan kata lain “apa landasan mengikatnya hukum?”.

Pertanyaan filsafati tersebut selalu menimbulkan perdebatan di antara

ilmuwan hukum sampai sekarang. Perdebatan tersebut disebabkan oleh

karena para ilmuwan hukum juga memandang hukum dari perspektif dan

sudut pandang yang berbeda-beda.

Terkait dengan pertanyaan filsafati tersebut, ada dua mazhab

hukum yang paling terkenal, yakni mazhab hukum alam dan mazhab legal

positivisme. Mazhab hukum alam dengan teorinya memandang hukum

sebagai instrumen untuk mencapai keadilan. Sedangkan, mazhab legal

positivisme dengan teorinya memandang hukum hanya sebagai perintah

yang berdaulat, sehingga akan tercipta kepastian hukum.

Adanya aliran hukum adalah ditentukan oleh masa dan

waktu yang sehingga oleh para ahli hukum membuat penafsiran

hukum berdasarkan waktu dan tempat. Sehingga pada saat ini

para ahli hukum selalu mengkaji hukum itu berdasarkan dengan

adanya atau timbulnya berbagai aliran dalam filsafat hukum

menunjukan pergulatan pemikiran yang tidak henti-hentinya

dalam lapangan ilmu hukum. Apabila pada masa lalu, filsafat

hukum merupakan produk sampingan dari para filsuf, dewasa

ini kedudukannya tidak lagi demikian karena masalah-masalah

filsafat hukum telah menjadi bahan kajian tersendiri bagi para

ahli hukum.
3

Pada mahzab legal Positivisme, aliran hukum positif memandang

perlu secara tegas memisahkan antara hukum dan moral (antara hukum

yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan das sollen).3

Positivisme hukum sebagai sistem filsafat muncul pada abad 19, sistem ini

didasarkan pada beberapa prinsip bahwa sesuatu dipandang benar apabila

ia tampil dalam bentuk pengalaman, atau apabila ia sungguh-sunguh dapat

dipastikan sebagai kenyataan atau apabila ia sungguh-sungguh dapat

dipastikan sebagai kenyataan, atau apabila dia tentukan melalui ilmu-ilmu

pengetahuan apakah sesuatu yang dialami merupakan sungguh-sungguh

suatu kenyataan4. Aliran positivisme hukum memandang bahwa hukum itu

identik dengan undang-undang yang tegas.

Dari uraian tersebut, terlihat perbedaan pendapat mengenai daya

mengikat hukum dalam masyarakat. Apakah orang taat hukum karena

hukumnya berkeadilan atau karena perintah penguasa. Untuk itu, penulis

akan mencoba untuk menguraikan pandangan-pandangan dari kedua

mazhab tersebut, sehingga penulis memilih judul makalah “Mazhab

Hukum Alam Dan Mazhab Legal Positivisme ” dalam penulisan

makalah ini.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :

1. Apa yang dimaksud dengan mazhab hukum alam?

3
Dr. Aprita,Serlika. S.H.,M.H dan Rio Adhitya,S.T.,S.H.,M.H. Filsafat Hukum,Depok:
Rajagrafindo Persada.2020,. Hlm 102.
4
Kamarusdiana,M.H. Filsafat Hukum, Jakarta: UIN Jakarta Press. 2018.hlm 65
4

2. Apa yang dimaksud dengan mazhab legal positivisme?

3. Bagaimana perbedaan dari mazhab hukum alam dan mazhab legal

positivisme?

4. Kekuatan mengikat hukum seperti apa dalam perspektif mazhab

hukum alam dan mazhab positivisme hukum?

C. Tujuan

Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui apa itu mazhab hukum alam.

2. Untuk mengetahui apa itu mazhab legal positivisme.

3. Untuk mengetahui perbedaan dalam mazhab hukum alam dan mazhab

legal positivisme.

4. Untuk Mengetahui Kekuatan mengikat hukum perspektif mazhab

hukum alam dan mazhab positivisme hukum.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Mazhab Hukum Alam

Mazhab hukum alam dapat dikatakan sebagai mazhab tertua dalam

ilmu hokum. Pada dasarnya aliran hokum alam ini dapat dibedakan

menjadi 2 yaitu irasional dan rasional. Aliran irasional memandang

hokum yang bersumber dari Tuhan secara langsung.5

1. Menurut Thomas Aquinas (1225-1274)

Filsafat Thomas Aquinas berkaitan erat dengan teologia. Ia mengakui

bahwa disamping kebenaran wahyu juga terdapat kebenaran akal.

Menurutnya ada pengetahuan yang tidak dapat ditembus oleh akal dan

untuk itulah diperlukan iman. Berbicara tentang hukum, Aquinas

mendefinisikan sebagai ketentuan akal untuk kebaikan umum yang

dibuat oleh orang yang mengurus masyarakat. Ada 4 macam hukum

yang diberika oleh Aquinas, yaitu :

a. Lex aeterna; hukum rasio Tuhan ayng tidak dapat ditangkap oleh

panca indera manusia.

b. Lex divina; hukum rasio yang dapat ditangkap oleh panca indera

manusia.

c. Lex naturalis; hukum alam, yaitu penjelmaan dari lex divina dan

lex aeterna.

5
Sofyan Hadi, Kekuatan Mengikat Hukum Dalam Perspektif Mazhab Hukum Alam dan Mazhab
Positivisme Hukum, Jurnal Ilmiah, Volume 25, Nomor 1, Maret 2017 – Agustus 2017, hlm. 88.

5
6

d. Lex positivis; penerapan lex naturalis dalam kehidupan manusia di

dunia.6

2. Menurut Aristoteles

Aristoteles menyatakan bahwa terdapat 2 macam hukum, yaitu hukum

yang berlaku karena penetapan penguasa Negara dan hukum yang

tidak tergantung dari pandangan manusia. Hukum yang kedua ini

adalah hukum alam, yaitu hukum yang tidak bergantung dari

pandangan manusia akan tetapi berlaku untuk semua manusia, kapan

saja dan dimana saja.7

Adapun aliran rasional memandang hukum yang berumber dari

rasio atau akal manusia :

1. Menurut Hugo de Groot alias Grotius (1583-1645)

Hugo dikenal dengan Bapak Hukum Internasional karena ialah yang

memperoleh konsep – konsep hukum dalam hubungan antarnegara,

seperti hukum perang dan damai serta hukum laut. Menurut Grotius,

sumber hukum adalah rasio manusia. Karakteristik yang membedakan

manusia dengan makhluk lain adalah kemampuan akalnya sehingga

seluruh kehidupan manusai harus berdasarkan kemampuan rasio/akal

itu.8

6
Prof. Dr. H. Zainal Asikin, SH, SU, Mengenal Filsafat Hukum, Yogyakarta: Penerbit ANDI,
2020, hlm. 44.
7
Ibid. hlm. 43.
8
Ibid. hlm. 47.
7

2. Immanuel Kant (1724-1804)

Kant dikenal sebagai filsuf kritis karena merupakan sintetis dari

rasionalisme dan empirisme. Kritisme adalah filsafat yang memulai

perjalannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas

– batas rasio. Kant menyelidiki unsur – unsur mana dalam pemikiran

manusia yang berasal dari rasio (sudah ada terlebih dahulu tanpa

dibantu oleh pengalaman) dan mana yang murni dari empiris.9

B. Pengertian Legal Positivisme

Legal positivism atau hukum postitive sering kali di kenal dengan

aliran hukum positif, yang mana aliran ini perlu memisahkan secara tegas

antara hukum dan moral atau dengan kata lain memisahkan antara das sein

dan das sollen. Menurut Austin, Hukum adalah perintah dari penguasa

negara, dimana ”penguasa” ini merupakan hakekat dari hukum itu sendiri

dan hukum adalah perintah yang berdaulat. Bagi Austin, “No Law no

sovereign, and no sovereign, no law”. 10


Selain itu, menurut Austin,

Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap logis, dan tertutup.

Austin membedakan hukum antara dua jenis yaitu, pertama, hukum dari

Tuhan untuk manusia (the divine laws); dan hukum yang di buat oleh

manusia (hukum positif).11

Dari beberapa ajaran aliran positivism dapat disimpulkan

bahwasanya aliran positivism hukum ini hadir untuk memberikan jawaban

9
Ibid,hlm. 48
10
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op, Cit, hlm 89.
11
Darji darmodjiharjo dan Sidharta, Loc.Cit.
8

atas aspek kepastian hukum. Hans Kelsen dalam padangan hukumnya

berhasil mematematiskan rumusan sebuah aturan hukum dalam bentuk,

subjek hukum ditambah bentuk kesalahan yang menghasilkan adanya

hukuman. Walaupun sampai saat ini, ini merupakan sebuah cara yang jelas

sangat berguna yang dapat digunakan oleh para praktisi untuk

mengidentifikasi pokok persoalan dari penyelidikannya tetapi Kelsen

mengarahkan untutuk menjauh dari gagasan bahwa hukum itu terdiri dari

proses-proses yang terkait dengan manusia.

Meskipun ajaran positivisme hukum menguasai praktek hukum saat

ini, tetapi ajaran ini tidak lepas dari kritik atas sifatnya yang kaku dan

formalistik. Namun kenyataannya pada saat ini, hukum tidak hanya

menyangkut manusia saja, tetapi semua hal yang berhubungan dengan

kehidupan di jagad raya. Pemisahan tegas antara hukum dan moral oleh

positivism hukum secara keseluruhan memiliki sisi positif dan negative.

Hukum adalah produk rasional dan modal meskiupun masuk kedalam,

hukum harusnya dibangun dengan argumentasi yang rasional dan

verifikatif. Hukum harus berkompeten dan juga adil serta mampu

mengenali keinginan masyarakat dan mempunya komitmen terhadap

tercapainya keadilan yang substantif. Tanpa mengenyampingkan pluralism

hukum, kondisi negara moderen memang keberadaan positivisme hukum

adalah sebuah keniscayaan. 12

12
Yavita A Mangesti san Bernard L, Moralitas Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing, 2014. Hlm
32-33.
9

C. Perbedaan dari mazhab hukum alam dan mazhab legal positivisme

Terdapat perbedaan pandangan antara mazhab hukum alam dan

mazhab positivisme hukum mengenai kekuatan mengikat hukum alam.

Menurut mazhab hukum alam, hukum merupakan keadilan, sehingga

hukum yang tidak adil bukan hukum. Karenanya, hukum hukum memiliki

kekuatan mengikat apabila hukum berisi keadilan, bermoral, berisi

kebenaran, dan sesuai etika. Adapun mazhab hukum alam memandang

hukum sebagai perintah dari penguasa. Sehingga, hukum memiliki

kekuatan mengikat karena adanya perintah.

1. Mazhab Hukum Alam

Mazhab hukum alam dapat dikatakan sebagai mazhab tertua dalam

ilmu hukum. Dalam memandang hukum, mazhab ini dibagi menjadi

dua, yakni irrasional dan rasional. Aliran ir-rasional memandang

hukum bersumber dari Tuhan dengan eksponen-nya yang terkenal

seperti St. Agustinus dan Thomas Aquinus. Adapun aliran rasional

memandang hukum bersumber dari rasio (akal) manusia dengan

eksponen-nya yang terkenal seperti Grotius, Immanual Kant, dan

lainnya. Namun demikian, titik pangkal dari mazhab ini adalah

“hukum dijadikan sebagai instrumen untuk mencapai keadilan”

Dari pandangan Thomas Aquinus di atas, maka hukum tidak dapat

dilepaskan dari moral dan etika. Hukum yang tidak berlandaskan pada

moral dan etika dikategorikan sebagai hukum yang jelek dan tidak

boleh dijadikan hukum dan dipaksakan kepada masyarakat. Untuk itu,


10

Hilaire McCoubrey dan Nigel D. White mengemukakan bahwa

hukum alam memiliki dua pilar, yakni doktrin tentang tujuan

pembentukan hukum yang baik; dan hakikat dan batasan kewajiban

untuk mentaati hukum.13 Hukum lahir tidak hanya untuk memenuhi

aspek fisik manusia, namun juga aspek eksistensial. Karenanya,

hukum bukan objek yang bebas nilai namun penuh dengan nilai

seperti nilai keadilan dan ketidakadilan, yang menjadi dasar hukum

bermakna dalam kehidupan manusia.

2. Mazhab Positivisme Hukum

Mazhab positivisme hukum memandang hukum dari sudut

pandang yang berbeda jika dibandingkan dengan mazhab hukum

alam. Jika mazhab hukum alam memandang Hukum sebagai

instrumen keadilan yang tidak bisa lepas dari moral dan etika, maka

mazhab hukum memandang hukum sebagai saran untuk menciptakan

kepastian hukum, maka harus dipisahkan dari nilai baik atau buruk,

serta nilai adil atau tidak adil. Bagi mazhab positivisme hukum,

hukum hanya dipandang sebagai perintah-perintah yang berdaulat.

Terkait dengan hal tersebut, Hilaire McCoubrey dan Nigel D. White

menyatakan bahwa mazhab positivisme hukum dapat digambarkan

sebagai mazhab yang berkonsentrasi untuk mendeskripsikan hukum

yang mempunyai tempat dan waktu, dengan memiliki kriteria formal

daripada pertimbangan moral atau etika. Mazhab ini menyangkal

13
Hilaire McCoubrey dan Nigel D. White, Op.cit, hlm. 60
11

kriteria moral untuk mengidentifikasi hukum.14 Salah satu eksponen

utama mazhab positivisme hukum, Jeremy Bentham sangat kuat

menolak pendapat mazhab hukum alam. Jeremy Bentham menyatakan

bahwa tendensi alamiah dari doktrin hukum alam adalah mendorong

seseorang dengan kekuatan hati nurani untuk melawan hukum

(positif) apapun yang terjadi.15 Menurut Jeremy Bentham, hukum

bukanlah refleksi moral dan etika sehingga hanya dipaksakan

berdasarkan kesadaran etis manusia, namun hukum adalah perintah

dari penguasa yang berdaulat. Untuk itu, Jeremy Bentham

menyatakan bahwa hukum merupakan suatu deklarasi dari yang

dibuat oleh penguasa negara mengenai perbuatan yang diobservasi

oleh seseorang yang diwajibkan tunduk kepada kekuasaan itu.

Hukum bukanlah cermin dari keadilan dan etika, karenanya hukum

harus dilepaskan dari etika. Hukum harus lepas dari nilai-nilai “baik atau

buruk”, “benar atau salah”, atau “adil atau tidak adil”. Tidak penting,

apakah hukum itu adil atau tidak, yang penting “perintah yang berdaulat”,

maka itu-lah hukum yang sesungguhnya dan semua orang diminta untuk

mentaatinya. Hukum juga bukan berasal dari jiwa masyarakat, namun

hukum berasal dari perintah yang berdaulat. Karenanya, hukum eksis

karena perintah penguasa yang berdaulat. Hukum yang valid adalah

hukum yang bersumber dari perintah penguasa. Hukum mengikat karena

ada unsur “perintah” yang dapat dipaksakan kepada subjek yang dituju

14
Ibid, hlm. 53
15
Bernad L. Tanya, Op.cit, hlm. 94-95.
12

oleh hukum. Dari dua pandangan di atas, ada perbedaan yang tajam antara

mazhab hukum alam dan mazhab positivisme hukum terkait dengan

landasan mengikatnya hukum. Mazhab hukum alam memandang, hukum

merupakan refleksi dari moral, etika dan keadilan. Hukum tidak dapat

dilepaskan dari keadilan. Bahkan ada adegium “lex iniusta non est lex”.

Hukum adalah keadilan. Satu-satunya cita dan tujuan hukum adalah

keadilan. Mengikatnya hukum, karena ia bernilai keadilan. Apabila hukum

tidak berisi nilai keadilan, maka tidak dapat dikatakan sebagai hukum dan

tidak wajib dipatuhi. Sedangkan mazhab positivisme memandang hukum

sebagai perintah yang berdaulat. Hukum didefinisikan “as a command of

souvereign backed by sanction”. Bukan hukum namanya, jika tidak

diperintahkan oleh yang berdaulat. Bahkan mazhab positivisme

menganggap hukum tidak ada kaitannya dengan moral, etika dan keadilan.

Cita hukum atau tujuan hukum lebih pada kepastian hukum. Adil atau

tidak adil, hukum wajib ditaati. Untuk itu, mengikatnya hukum karena ia

adalah perintah (command) dari yang berdaulat.

Dalam dunia praksis, kedua mazhab ini agak susah disatukan.

Ketika keadilan yang diutamakan, maka tidak jarang kepastian hukum

dilanggar, dan sebaiknya. Menurut penulis, hukum yang adil dan hukum

yang berkepastian tetap diperlukan. Namun, apabila hukum positif nyata-

nyata bertentangan dengan keadilan, maka penegak hukum harus berani

untuk menerobosnya, demi tegaknya hukum dan keadilan. Hukum positif


13

yang tidak berkeadilan hanya sekumpulan kalimat yang tidak bermakna

dan hanya alat penguasa untuk mengekang rakyatnya.

Satu contoh kasus menarik yang diungkapkan oleh Ronald

Dworkin yakni kasus Riggs Palmer atau dikenal dengan kasus Elmer.

Palmer meracuni kakeknya, karena curiga akan mengubah testamen yang

telah dibuatnya. Palmer kemudian dinyatakan bersalah oleh pengadilan.

Kemudian, anak-anak perempuan sang kakek mengajukan gugatan kepada

pengurus testamen atas dasar Elmer tidak layak untuk mendapatkan

warisan, karena membunuh Pewaris. Kebetulan di negara bagian New

York tidak ada larangan/halangan bagi pembunuh untuk mewarisi.

Terhadap gugatan tersebut, hakim memutus bahwa Elmer tidak berhak

menikmati harta yang diwasiatkan dalam testamen tersebut. Hakim

memutus berdasarkan prinsip hukum “tidak ada satupun orang boleh

diuntungkan dengan kejahatan yang dilakukan”. Dari kasus tersebut, dapat

diambil pemahaman bahwa walaupun hukum positif di New York tidak

ada aturan mengenai halangan bagi pembunuh untuk menikmati warisan,

namun hakim berani untuk mengadili berdasarkan prinsip hukum atau nilai

kepatutan. Dalam kasus tersebut, hukum positif dikesampingkan untuk

mewujudkan keadilan. Dalam konteks ke-Indonesia-an, Mahkamah

Konstitusi juga telah beberapa kali mengenyampingkan hukum positif

demi tegaknya hukum dan keadilan. Diantaranya adalah Putusan

Mahkamah Konstitusi No.41/PHPU-D-VI/2008 tentang penyelesaian

sengketa hasil Pilkada Jawa Timur. Dalam pertimbangannya, Mahkamah


14

Konstitusi menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran yang masif,

terstruktur dan sistematis yang mempengaruhi hasil Pilkada. Atas dasar,

tersebut, Mahkamah Konstitusi memerintahkan KPUD Provinsi Jawa

Timur untuk melakukan pemungutan suara ulang di bebeberapa daerah.

Tidak ada aturan hukum yang memberikan kewenangan kepada

Mahkamah Konstitusi untuk memerintahkan KPUD Provinsi Jawa Timur

untuk melakukan pemungutan suara ulang. Namun, demi tegaknya hukum

dan keadilan, Mahkamah Konstitusi mendasarkan putusannya atas dasar

prinsip hukum “tidak ada satupun orang boleh diuntungkan dengan

kejahatan yang dilakukan”. Putusan ini mengenyampingkan hukum positif

demi tegaknya keadilan. Putusan ini sampai sekarang menjadi

yurisprudensi dalam penyelesaian sengketa hasil Pilkada di Indonesia.16

Hakim tidak boleh hanya sebagai corong undang-undang (the

speaker of the law), namun hakim harus berani keluar dari hukum

positivistik-legalistik yang tidak berkeadilan. Untuk itu, maka dalam

menegakkan hukum, hakim tidak boleh kaku dengan hanya melihat

norma-norma hukum positif, namun juga harus melihat faktor-faktor

penyebab suatu fakta hukum muncul. Dengan demikian, maka hakim akan

bijak dalam menerapkan hukum untuk mencapai keadilan.

16
Lihat Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, hal.154-155
BAB III

PEMBAHASAN

A. Mazhab Hukum Alam

Mazhab hukum alam dapat dikatakan sebagai mazhab tertua dalam

ilmu hukum. Dalam memandang hukum, mazhab ini dibagi menjadi dua,

yakni irrasional dan rasional. Aliran ir-rasional memandang hukum

bersumber dari tuhan dengan eksponennya yang terkenal seperti St.

Agustinus dan Thomas Aquinus. Adapun aliran rasional memandang

hukum bersumber dari rasio (akal) manusia dengan eksponen-nya yang

terkenal seperti Grotius, Immanual Kant, dan lainnya. Namun demikian,

titik pangkal dari mazhab ini adalah “hukum dijadikan sebagai instrumen

untuk mencapai keadilan”. homas Aquinus menyatakan bahwa pandangan

hukum alam didasarkan pada hukum yang didasarkan pada moral alamiah

manusia (moral nature).17

Socrates merupakan eksponen pertama mazhab hukum alam

menyatakan bahwa hokum alam adalah tatanan kebajikan yang

mengutamakan keadilan bagi uum. Hukum bukanlah dibuat untuk

melanggengkan nafsu orang kuat, bukan juga untuk memenuhi naluri

hedonisme. Hukum itu tatanan yang objektif untuk mencapai kebajikan

dan keadilan umum.18

17
Hilaire McCoubrey and Nigel D. White, Textbook on Jurisprudence, London:Blackstone
Press Limited, 1996, hal.59
18
Hilaire McCoubrey, The Devolopment of Naturalist Legal Theory, London: Croom Helm, 1987,
hal.xii

15
16

Pendapat yang menyatakan bahwa keadilan merupakan esensi

hukum dikemukakanjuga oleh Gustav Radbruch. Ia menyatakan bahwa

cita hukum tidak lain adalah keadilan. Ia menyatakan bahwa hukum

sebagai pengemban nilai keadilan, menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya

tata hukum. Nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum.

Dengan demikian, keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif

bagi hukum. Keadilan normatif, karena berfungsi sebagai prasyarat

transendental yang mendasari tiap hukum positif yang bermartabat.

Keadilan menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolak ukur system

hukum positif.

Maka dapat diambil suatu pemahaman bahwa mazhab hukum alam

memandang hukum sebagai instrumen untuk mencapai keadilan. Keadilan

adalah unsur esensial dari hukum. Apabila hukum itu tidak berkeadilan,

maka sesungguhnya bukan hukum. Dengan demikian, maka mazhab

hukum alam memandang bahwa hukum mempunyai kekuatan mengikat

karena hukum tersebut mempunyai “nilai keadilan”. Apabila, hukum

tersebut lepas dari nilai keadilan, maka hukum tersebut tidak mempunyai

kekuatan mengikat.19

B. Mazhab Legal Positivisme

Positivisme adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang

beranggapan bahwa teori hukum itu dikonsepsikan sebagai ius yang telah

mengalami positifisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian

19
Bernard L. Tanya, dkk., Op.cit, hal.129-130
17

antara yang terbilang hukum atau tidak. Oleh karena itu hukum dapat

dikatakan sebagai aturan yang hanya bersangkut paut dengan hukum

positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik

atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitas hukum dalam

masyarakat.20

Filsafat hukum positivisme muncul pada abad XVIII-XIX dan

berkembang di Eropa Kontinental, khususnya Prancis.21 Aliran filsafat

hukum positivisme berpendapat bahwa hukum adalah positivisme yuridis

dalam arti yang mutlak dan memisahkan antara hukum dengan moral dan

agama serta memisahkan antara hukum yang berlaku dan hukum yang

seharusnya, antara das sein dan das sollen. Bahkan tidak sedikit

pembicaraan terhadap positivisme hukum sampai pada kesimpulan, bahwa

dalam kacamata positivisme tiada hukum lain kecuali perintah penguasa

(law is command from the lawgivers), hukum itu identik dengan undang-

undang. Keberadaan UU telah menjamin kepastian hukum, sehingga

penerapannya lebih mudah, dan di luar UU tidak ada hukum.22

Pumpun berfikir atau pokok-pokok berfikir dari ajaran filsafat

positivisme dalam kajian ilmu sosial dan alam, yakni :23

a. Filsafat positivisme hanya mendasar pada kenyataan (realitas,

fakta) dan bukti terlebih dahulu.

20
Adji Samekto, Pergeseran Pemikiran Hukum dari Era Yunani Menuju Postmodernisme, Jakarta,
Konpress, 2015, hal. 42
21
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Adtya Bakti, Bandung, 1995, hal. 267.
22
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1993, hal. 87
23
Adji Samekto, Op. Cit., hal 66.
18

b. Positivisme tidak akan bersifat metafisik dan tidak menjelskan

tentang esensi.

c. Positivisme tidak lagi menjelaskan gejala-gejala alam sebagai ide

abstrak. Gejala alam diterangkan berbasis hubungan sebab akibat

dan dari itu kemudian didaptkan dalil-dalil atau hukum-hukum

yang tidak tergantung ruang dan waktu.

d. Positivisme menempatkan fenomena yang dikaji sebagai obyek

yang dapat digeneralisasikan sehingga ke depan dapat diramalkan

(diprediksi).

e. Positivisme meyakini bahwa suatu realitas (gejala) dapat direduksi

menjadi unsur-unsur yang saling terkait membentuk sistem yang

dapat diamati.

Munculnya gerakan positivisme mempengaruhi banyak pemikiran

di berbagai bidang ilmu tentang kehidupan manusia termasuk ilmu sosial

dan alam. Positivisme sebagai suatu aliran filsafat ilmu pengetahuan,

menyatakan bahwa ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan

yang benar, semua didasarkan pada data empiris, real, nyata, konkret dan

kasat mata serta menggunakan metode ilmiah. Pengaruh aliran filsafat

positivisme, telah mendorong penggunaan rasio yang begitu kuat, hingga

melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berbasis pada

pengamatan dan pengalaman nyata yang tersusun secara sistematis.24

24
Adji Samekto, Op. Cit., hal. 48
19

Ilmu hukum yang dikembangkan oleh aliran filsafat positivisme

menunjukkan, bahwa hukum itu bersifat konkret, bebas nilai, imparsial,

impersonal dan obyektif.11 Tujuannya adalah supaya para pelaku hukum

dapat menegakkan keadilan dengan membuat keputusan atau aturan yang

berdasarkan ketentuan hukum yang telah disepakati bersama. Selain itu,

juga bertujuan untuk memandang hukum sebagai realitas yang lepas dari

kepentingan individu atau kelompok.

Ilmu hukum menurut aliran filsafat positivisme akan melahirkan

konsep hukum positif, yakni seperangkat ketentuan hukum tertulis yang

dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dan mengandung perintah.

Selain itu, hukum juga dikonsepsikan sebagai peraturan perundang-

undangan yang ditetapkan oleh penguasa atau negara, yang berwujud

perintah yang harus ditaati karena mengandung sanksi. Hukum positif

mengandung nilai-nilai yang telah ditetapkan berdasarkan kesepakatan,

kemudian diintegrasikan dalam norma yang tertuang dalam hukum

positif.25 Jadi dalam aliran hukum positivisme, konsep hukum juga

mengadung nilai-nilai (values) yang terdapat dalam hukum positif

(perundang-undangan), hanya nilai itu telah dibahas dan ditetapkan ketika

proses pembuatan hukum positif. Setelah ditetapkan menjadi

undangundang, maka hukum itulah yang berlaku secara mutlak, tidak

boleh ditawar, lepas apakah hukum itu efektif atau tidak, adil atau tidak.

25
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Yogyakarta, PT. Kanisius, 2009, hal. 33
20

C. Perbedaan Mazhab Hukum Alam dan Mazhab Legal Positivisme

Belajar dari Soerjono Soekanto dalam bukunya “Faktor-Faktor

Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum” yang berpendapat bahwa

terdapat lima faktor yang menjadi penyebab dapat atau tidaknya

penegakan hukum, maka pertanyaannya adalah apakah masalah penegakan

hukum tergantung “hanya” kepada lima faktor itu sajakah ? Ternyata tidak

. Hal ini, karena terdapat satu unsur lagi yang menyebabkan tidak

mudahnya penegakan hukum. Sehingga secara keseluruhan enam faktor

yang mendukung penegakan hukum tidak mudah dimana terdapat lima

alasan dan saat ini bertambah satu yang dapat mempengaruhi penegakan

hukum yaitu aliran positivisme hukum. Hal ini, karena aliran ini

berpendapat bahwa hukum harus tertulis, sehingga tidak ada norma hukum

di luar hukum positif. Keenam faktor ini, lima di antaranya Soerjono

Soekanto, menjadi bertambah sulit penegakan hukum sebenarnya

bermuara kepada positivisme hukum. Hal ini, karena tanpa disadari dan

diketahui para penegak hukum telah mengakuinya. Berpikir aliran ini

bagaikan mesin mekanis dan otomatis yang bekerja dalam penegakan

hukum dengan rasa keadilan dan kebenaran yang seharusnya ada.

Penegakan hukum yang bersifat matematisini berbahaya bagi pencari

keadilan dengan ekonomi terbatas, sebab tidak ada kesempatan untuk

menjelaskan masalah sesungguhnya. Lain halnya kelompok ekonomi yang

mapan dan kuat mereka dapat mempengaruhi kemanapun sesuai

kehendaknya sepanjang penegak hukum mau bekerja sama. Positivisme


21

hukum ini terlalu memberikan kelebihan-lebihan terhadap kekuasaan yang

membentuk dan menciptakannya hukum yang tertulis dan kekuasaan

adalah sumber hukum dari kekuasaan adalah hukum itu sendiri.26

Pola berpikir positivisme hukum di atas berakibatnya dalam

menegakan hukum hanya terbatas pada ketentuan undang-undang saja dan

tidak berkehendak menegakan keadilan dengan substansi hukum itu

sendiri. Hal ini jika dilakukan dan dijalankan sebagai dasar, penegakan

hukum bagaikan menggunakan kaca mata kuda dalam penegakan

hukumnya. Hal ini berbahaya, karena para penegak hukum tidak dapat

membedakannya kesalahan yang prosedural dan substansial dalam

menyelesaikan kasus yang dihadapinya. Dalam hal ini penegakan hukum

hanya berpegang pada “rule and procedure“-nya saja dan tidak mendalami

dibalik kenyataan sesungguhnya. Yang menyediakannya adalah parsial

saja dan seharusya menelah kasus dan menegakannya harus dengan

melihat secara komprehensif terhadap semua aspek hukum. Penegakan

hukum lebih legaslistik menghasilkan rasa ketidakadilan. Ketidakadilan

yang idealisme dan cita-cita pembentuk peraturan itu sendiri. Sebuah

kerugian yang tidak hanya merugikan pencari keadilan, tetapi juga semua

lapisan masyarakat yang sedang dan akan mencari keadilan di Indonesia

sekarang dan masa yang akan datang.

Positivisme hukum menjadi demikian kakunya penegakan

hukumnya, karena positivisme itu berasal dari kata “positif ”. Positif di

26
Lili Rasyid, FIlsafat Hukum, Mazhab dan Refleksinya,(Bandung:Remaja
Rosdakarya,1994),hlm17.
22

sini sama artinya dengan faktual, yaitu apa-apa yang berdasarkan fakta-

fakta. Dengan demikian, maka pengetahuan menurut positivisme tidak

pernah dapat melebihi fakta-fakta yang ada. Hal ini menjadikan ilmu

pengetahuan yang empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang

pengetahuan. Untuk maksud itu juga positivisme menolak cabang filsafat

metafisika. Menyakan “hakikat” benda-benda atau “penyebab yang

sebenar-benarnya”termasuk juga filsafat, tetapi hanya mencatat fakta-fakta

dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Selain itu positivisme

mengutamakan pengalaman. Yang berbeda dengan empirisme yang terjadi

di Inggris adalah menerima pengalaman batiniah atau subjektif sebagai

sumber pengetahuan melalui pengalaman batiniah tersebut, namun

demikian tetap mengandalkan fakta-fakta belaka. Melalui dasar berpikir

demikian menjadi jelas permasalahan penegakan hukum akan

menggunakan alur berpikir yang sederhana dan normatif saja sebagai

acuannya. Para penegak hukum tanpa disadari telah berpegang teguh dan

mengakui positivisme hukum kepada cara berpikir bahwa keseluruhan

proses dengan melihat fakta-faktanya di lapangan dan kemudian berusaha

mencari pembenaran dengan ketentuan aturan yang dilanggarnya sebagai

dasar bekerjanya.

Positivisme hukum adalah mengenal ilmu pengetahuan yang

positif, sehingga yang dikenalnya hanya ada satu jenis hukum, yakni

hukum positif saja . Sisi kelam positivisme hukum adalah yang dikaji

hanya aspekiahnya, sehingga muncul bagi realitas kehidupan sosial, tanpa


23

memandang nilai-nilai dan norma-norma seperti keadiln, kebenaran, dan

lain-lain yang melandasinya aturan-aturan hukum tersebut, karena nilai -

nilai itu tidak dapatditangkap oleh panca indera manusia. Di samping itu,

sebenarnya positivisme hukum tidak memisahkan antara hukum yang ada

atau berlaku (positif) dengan hukum yang seharusnya ada, yang berisi

norma-norma ideal, tetapi menganggap bahwa kedua hal itu harus

dipisahkan melalui bidang-bidang yang berbeda. mengenai apa yang

terdapat di balik hukum, yakni berupa nilai-nilai kebenaran, kesejahteraan

dan keadilan yang seharusnya ada dalam hukum, sehingga positvisme

hukum berpegangpada prinsip-prinsip a). Hukum adalah perintah-perintah

dari manusia (command of human being). b) Tidak perlu ada hubungan

antara hukum dengan moral, antara hukum yang ada (das sein) dengan

hukum yang seharusnya (das sollen). c) Analisis terhadap konsep-konsep

hukum yang layak dilanjutkan dan harus dibedakan dari penelitian-

penelitian historis mengenai sebab-usul dari undang-undang, serta

berlainan pula dari suatu penilaian kritis. d) Keputusan (hukum) dapat

dideduksikan secara logistik dari peraturan-peraturan yang sudah ada

terlebih dahulu, tanpa perlu menunjukan tujuan-tujuan sosial, tindakan,

dan moralitas. e) Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat

ditegakkan dan dipertahankan oleh rasional, pembuktian, atau pengujian.

Prinsip-prinsip yang dijadikan dasar positivisme hukum terlihat

dengan jelas bahwa aliran ini memiliki pengaruh terhadap filsafat hukum,

yang berwujud dengan nama sebagai positivisme hukum. Sebelum itu, ada
24

aliran pemikiran dalam ilmu hukum legisme. Pemikiran hukum ini

berkembang semenjak pertengahan abad pertengahan berpengaruh di

berbagai negara-negara, tidak ada pengaruh di Indonesia. Aliran ini

mengidentikkan hukum dengan undang-undang, tidak ada hukum selain

hukum di luar undang-undang tertulis. Satu-satunya sumber hukum adalah

undang-undang. Aliran legisme, menganggap undang-undang sebagai

“barang keramat”,dan mendorong para penguasa untuk memperbanyak

undang-undang sampai seluruh kehidupan diatur secara yuridis. Kaum

positivisme ini berpandangan bahwa dalam hal-hal yang terdapat peraturan

yang baik, maka hidup bersama akan berlangsung dengan baik namun

demikian selalu demikian. inilah kondisi yang mungkin kelemahan akan

terjadi di atas celah atau bunyi pasal-pasal undang-undang. Hukum

memang ada di dalam undang-undang, tetapi juga harus ditemukan

hakekatnya. Mencari dalam peraturan adalah menemukan makna atau nilai

yang terkandung dalam peraturan dan tidak hanya secara data datar begitu

saja. Hukum adalah sesuatu yang sarat makna dan nilai.

Berdasarkan pemaparan tersebut, maka jelaslah bahwa di samping

terdapat lima faktor yang dapat menjadi penghambat penegakan hukum,

tetapi di dalam prakteknya akan semakin meningkat karena positivisme

hukum juga memberikan pengaruh dan danil besar dalam penegakan

hukum yang tanpa disadari dalam pikirnya para penegak hukum. Untuk

itu, dalam menjalankan tugas para penegak hukum, sudah seharusnya,

berani menerapkan penegakan hukum progresif. Hukum progresif yang


25

digagas Prof. Satjipto Rahardjo memiliki sebuah konsep besar bahwa

dalam penegakan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dalam

peraturan (sesuai dengan surat), tetapi berlandaskan semangat dan makna

lebih dalam (untuk sangat berarti) dari teks undang-undang- undang.

Penegakan hukum tidak saja berangkat kecerdasan intelektual semata,

dengan berpegang pada kajian maka keseluruhannya menjadi jelas bahwa

penegakan menjadi sulit diteggakan jika ada dan hadir di antara para

penegak hukum. Sebuah ironi memang, namun hal ini harus dicapai dan

diakhiri segera. Tergambar bahwa positivisme hukum itu terbatas pada

filsafat, namun jika dinilai lebih besar dan dahsyat pola berpikirnya

penegak hukum yang tidak dapat dilihat sebelah mata dan biasa. Harus ada

upaya untuk menjelaskan dan mengingatkan bahwa cara-cara penegakan

hukum yang demikian legalistik hitam putih tidak benar dan mulai

ditinggalkan dengan menggunakan terobosan baru lebih dari obyektivitas

dan keadilan yang substansial dalam penegakan hukumnya di Indonesia.

Hukum Progressif adalah dapat menjadi alternatifnya.

Dengan kata lain, penegakan hukum dilakukan dengan penuh

determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap ketidakadilan dalam

penegakan hukum dengan keberanian untuk mencari jalan terobosan dari

pada yang biasanya dilakukan oleh para penegak hukum selama ini.

Hukum progresif dibutuhkan untuk menghambat dampak positivisme

negatif. Kekhawatiran itu ada, karena penggunaan kaca mata kuda dalam

penegakannya hanya dapat melihat penegakan hukum dalam satu arah


26

yaitu rumusan undang-undang secara tekstual normatif saja tanpa ada

kepedulian dan sensitivitas terhadap kondisi lingkungan sosial di

sekitarnya. Penegakan hukum harus menempatkan sisi keadilan dan

kebenaran di atas peraturan atau undang-undang. Sebab, jika penegakan

hukum yang dibuat hanya berdasarkan konstruksi-logistik yang ada dalam

formal, maka penegakan hukum hanya menjadi konstruksi UU. Penegakan

hukum yang progresif melepaskan diri dari kungkungan pola berpikir

positivistik yang kaku dan tidak membumi. Untuk itu hukum progresif

pilihan jalan keluanya, karena positivisme telah begitu mapan/mentradisi,

mendominasi begitu kuat sebagai satu-satunya cara berpikir baik dalam

ilmu maupun dalam penegakan hukum. Diasumsikan serangannya

terhadap ilmu dan penegakan hukumnya lebih negatif daripada positifnya.

Nilai keadilan dan kemanfaatan semakin jauh dari ilmu dan penegakan

hukum. Penegakan hukum yang progresif melepaskan diri dari

kungkungan pola berpikir positivistik yang kaku dan tidak membumi.

Untuk itu hukum progresif pilihan jalan keluanya, karena positivisme telah

begitu mapan/mentradisi, mendominasi begitu kuat sebagai satu-satunya

cara berpikir baik dalam ilmu maupun dalam penegakan hukum.

Diasumsikan serangannya terhadap ilmu dan penegakan hukumnya lebih

negatif daripada positifnya. Nilai keadilan dan kemanfaatan semakin jauh

dari ilmu dan penegakan hukum. Penegakan hukum yang progresif

melepaskan diri dari kungkungan pola berpikir positivistik yang kaku dan

tidak membumi. Untuk itu hukum progresif pilihan jalan keluanya, karena
27

positivisme telah begitu mapan/mentradisi, mendominasi begitu kuat

sebagai satu-satunya cara berpikir baik dalam ilmu maupun dalam

penegakan hukum. Diasumsikan serangannya terhadap ilmu dan

penegakan hukumnya lebih negatif daripada positifnya. Nilai keadilan dan

kemanfaatan semakin jauh dari ilmu dan penegakan hukum. Diasumsikan

serangannya terhadap ilmu dan penegakan hukumnya lebih negatif

daripada positifnya. Nilai keadilan dan kemanfaatan semakin jauh dari

ilmu dan penegakan hukum. Diasumsikan serangannya terhadap ilmu dan

penegakan hukumnya lebih negatif daripada positifnya. Nilai keadilan dan

kemanfaatan semakin jauh dari ilmu dan penegakan hukum27.

D. Kekuatan Mengikat Hukum dalam Perspektif Mazhab Hukum Alam

dan Mazhab Positivisme Hukum

1. Hukum Alam
Seperti yang sudah dijelaskan mazhab hukum alam memandang
hukum sebagai instrumen untuk mencapai keadilan. Keadilan adalah
unsur esensial dari hukum. Apabila hukum itu tidak berkeadilan, maka
sesungguhnya bukan hukum. Dengan demikian, maka mazhab hukum
alam memandang bahwa hukum mempunyai kekuatan mengikat
karena hukum tersebut mempunyai “nilai keadilan”. Apabila, hukum
tersebut lepas dari nilai keadilan, maka hukum tersebut tidak
mempunyai kekuatan mengikat. Menurut mazhab hukum alam, hukum
merupakan keadilan, sehingga hukum yang tidak adil bukan hukum.
Karenanya, hukum hukum memiliki kekuatan mengikat apabila hukum
berisi keadilan, bermoral, berisi kebenaran, dan sesuai etika.
Keadilan yang seperti apakah yang menjadi dasar atau landasan
mengikatnya hukum, Ulpianus menyatakan bahwa “justitia est

27
Zainuddin Ali,Filsafat Hukum,(Jakarta:Sinar Grafika,2006),hlm54
28

perpetua et constans voluntas jus suum cuique tribuendi”.28 Sesuatu


yang adil menurut Ulpianus adalah apabila orang diberikan sesuai
dengan haknya, dan sebaliknya. Ulpianus mengartikan keadilan
sebagai keadilan yang proporsional, bukan merata. Karenanya, hukum
yang adil adalah hukum yang berisi norma yang memberikan orang
sesuai dengan haknya, dan sebaliknya.
Pada abad pertengahan, lahir mazhab hukum alam yang berbasis
teologis dengan eksponen utama St. Agustinus dan Thomas Aquinus.
St. Agustinus mendasarkan teori hukumn-nya pada prinsip delicto
proximi atau cinta kepada sesama. Keadilan itulah menjadi dasar
hukum. Karenanya, St. Agustinus menyatakan “lex esse von vedatur,
quae justa non feurit”, artinya apabila tidak ada keadilan, maka tidak
layak disebut hukum.29 Hukum yang adil menurut St. Agustinus adalah
hukum yang berasal dari Tuhan (lex aeterna) yang bersifat abadi,
bahkan hukum positif (lex temporis/lex humana) dikatakan adil apabila
bersumber dari hukum Tuhan, dan sebaliknya. Seirama dengan hal
tersebut, Thomas Aquinus mengeluarkan teori “summa teologica
(Summa Theologiae)” yang berarti bahwa “hukum yang adil adalah
hukum yang memajukan kebaikan dan manusia”.30
Hukum menurut Thomas Aquinus harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
1. harus rasional untuk kebaikan bersama (rational regulation for the good
of the community);
2. dibuat oleh pemerintah yang berdaulat (made by the person (s)
having powers of government); dan
3. diumumkan (promulgated).
Thomas Aquinus mengartikan hukum sebagai instrumen untuk
menciptakan “goodness” atau kebaikan.

28
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, 2009, hlm.139.
29
Bernard L. Tanya, dkk., Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
Yogyakarta: Genta Publishing, 2010, hlm.55.
30
Robin West, Normative Jurisprudence: An Introduction, Cambridge: Cambrigde University
Press, 2011, hlm.13.
29

Untuk menentukan apakah hukum itu adil atau tidak, Thomas


Aquinus memberikan argumen sebagai berikut :

“Hukum positif manusia itu adil atau tidak adil. Jika mereka adil,
mereka memiliki kekuatan mengikat dalam hati nurani”. Hukum dikatakan
adil jika:

1. Dari akhir, yaitu ketika diperintahkan untuk Kebaikan Bersama;


2. Dari pemberi undang-undang, yaitu ketika undang-undang yang
disahkan tidak melebihi kewenangan pemberi undang-undang;
3. Dari bentuknya, yaitu ketika beban-beban dibebankan kepada subjek-
subjek menurut persamaan yang proporsional untuk Kepentingan
Bersama.

Demikian juga, hukum bisa menjadi tidak adil, karena


bertentangan dengan kebaikan manusia:

1. Baik dari akhir seperti ketika beberapa otoritas membebankan beban


pada subjek yang tidak berkaitan dengan utilitas umum melainkan
untuk keserakahan atau kemuliaan sendiri;
2. Atau dari pembuat undang-undang, seperti ketika seseorang membuat
undang-undang yang berada di luar kewenangan yang diberikan
kepadanya;
3. Atau dari bentuknya, seperti ketika beban didistribusikan secara tidak
merata di masyarakat, meskipun itu berkaitan dengan Kebaikan
Bersama.31

Dari pendapat tersebut, maka Thomas Aquinus meletakkan


keadilan sebagai sesuatu yang esensial dalam hukum. Tanpa bernilai
keadilan, maka sesungguhnya tidak dapat disebut sebagai hukum.
Keadilan yang dimaksud di sini adalah keadilan yang bersandar pada
hukum Tuhan.

31
Robin West, Op.cit, hlm.31
30

Thomas Aquinus menyatakan bahwa keadilan dapat dibagi


menjadi tiga, yaitu keadilan distributif (iustitia distributive) menunjuk
pada prinsip kepada yang sama diberikan sama, kepada yang tidak sama
diberikan yang tidak sama pula. Kemudian keadilan komutatif (iustitia
comutativa) menunjuk pada keadilan asimetris, yaitu penyesuaian yang
harus dilakukan apabila terjadi perbuatan yang tidak sesuai dengan hokum.
Dan keadilan hukum (iustitia legalis) menunjuk pada ketaatan pada
hukum.32

2. Hukum Positivesme
Jika mazhab hukum alam memandang hukum sebagai instrumen
keadilan yang tidak bisa lepas dari moral dan etika, maka mazhab
positivisme hukum memandang hukum sebagai saran untuk menciptakan
kepastian hukum, maka harus dipisahkan dari nilai baik atau buruk, serta
nilai adil atau tidak adil.33
Jeremy Bentham menyatakan bahwa tendensi alamiah dari doktrin
hukum alam adalah mendorong seseorang dengan kekuatan hati nurani
untuk melawan hukum (positif) apapun yang terjadi. Menurut Jeremy
Bentham, hukum bukanlah refleksi moral dan etika sehingga hanya
dipaksakan berdasarkan kesadaran etis manusia, namun hukum adalah
perintah dari penguasa yang berdaulat34.
Di samping itu, dengan “stufentheorie-nya” Hans Kelsen menyatakan
bahwa validitas hukum ditentukan apabila norma hukum yang memiliki
kedudukan yang lebih rendah bersumber dan tidak bertentangan dengan
norma hukum yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi, dan validitas
tertinggi ada pada Grund norm yang bersifat presupposed.35

32
Bernard L. Tanya, dkk., Op.cit, hlm.60.
33
Hilaire McCoubrey and Nigel D. White, Op.cit, hlm. 11.
34
Hilaire McCoubrey and Nigel D. White, Op.cit, hlm. 11.
35
Bernad L. Tanya, Op.cit, hlm. 91.
BAB IV

PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan sebelumnya

dalam kaitanya dengan pokok permasalahan yang ada, maka disimpulkan

bahwa:

1. Hukum alam bisa dikatakan sebagai mahzab tertua dalam dalam

ilmu hukum. Aliran ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu

irasional dan rasional. Aliran irasional memandang hukum yang

bersumber dari tuhan secara langsung, sedangkan rasional

memandang hukum yang bersumber dari rasio atau akal manusia.

Thomas Aquinas Berpendapat bahwa ada pengetahuan yang tidak

dapat ditembus oleh akal dan untuk itulah diperlukan iman, berbicara

tentang hukum ia mendefinisikan sebagai ketentuan akal untuk

kebaikan umum yang di buat oleh orang yang mengurus Masyarakat.

Disisi lain Hugo de Groot Berpendapat bahwa sumber hukum adalah

rasio manusia. Karakteristik yang membedakan manusia dengan

makhluk lain adalah kemampuan akalnya sehingga seluruh

kehidupan manusia harus berdasarkan kemampuan rasio/akal itu

sendiri. Dengan demikian maka dapat diambil suatu pemahaman

bahwa mazhab hukum alam memandang hukum sebagai instrument

untuk mencapai keadilan.

2. Legal Positivisme, Positivisme adalah suatu aliran dalam filsafat

hukum yang beranggapan bahwa teori hukum itu dikonsepsikan

31
32

sebagai ius yang telah mengalami positifisasi sebagai lege atau lex,

guna menjamin kepastian antara yang terbilang hukum atau tidak.

Filsafat hukum positivisme muncul pada abad XVIII-XIX dan

berkembang di Eropa Kontinental, khususnya Prancis. Aliran filsafat

hukum positivisme berpendapat bahwa hukum adalah positivisme

yuridis dalam arti yang mutlak dan memisahkan antara hukum

dengan moral dan agama serta memisahkan antara hukum yang

berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan das sollen.

dalam kacamata positivisme tiada hukum lain kecuali perintah

penguasa (law is command from the lawgivers), hukum itu identik

dengan undang-undang. Keberadaan undang-undang telah menjamin

kepastian hukum, sehingga penerapannya lebih mudah, dan di luar

Undang-undang tidak ada hukum.

3. Mazhab hukum alam memandang bahwa hukum mempunyai

kekuatan mengikat karena hukum tersebut mempunyai “nilai

keadilan”. Apabila, hukum tersebut lepas dari nilai keadilan, maka

hukum tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat. Ulpianus

menyatakan bahwa “justitia est perpetua et constans voluntas jus

suum cuique tribuendi”. Sesuatu yang adil menurut Ulpianus adalah

apabila orang diberikan sesuai dengan haknya, dan sebaliknya.

Ulpianus mengartikan keadilan sebagai keadilan yang proporsional,

bukan merata. Karenanya, hukum yang adil adalah hukum yang

berisi norma yang memberikan orang sesuai dengan haknya, dan


33

sebaliknya. Thomas Aquinus meletakkan keadilan sebagai sesuatu

yang esensial dalam hukum. Tanpa bernilai keadilan, maka

sesungguhnya tidak dapat disebut sebagai hukum. Keadilan yang

dimaksud di sini adalah keadilan yang bersandar pada hukum Tuhan.

4. Sedangkan, Jika Hukum alam memandang hukum sebagai instrumen

keadilan yang tidak bisa lepas dari moral dan etika, maka mazhab

positivisme hukum memandang hukum sebagai saran untuk

menciptakan kepastian hukum, maka harus dipisahkan dari nilai baik

atau buruk, serta nilai adil atau tidak adil. Menurut Jeremy Bentham,

hukum bukanlah refleksi moral dan etika sehingga hanya dipaksakan

berdasarkan kesadaran etis manusia, namun hukum adalah perintah

dari penguasa yang berdaulat.

B. Saran

Jadikanlah makalah ini sebagai media untuk memahami diantara

mazhab hukum alam dan mazhab legal positivisme serta sebagai pedoman

yang bersifat untuk menambah wawasan pengetahuan, acuan pemahaman

dalam memahami mazhab hukum alam dan mazhab legal positivisme.


DAFTAR PUSTAKA

Adji Samekto, Pergeseran Pemikiran Hukum dari Era Yunani Menuju


Postmodernisme, Jakarta, Konpress, 2015.
Bernard L. Tanya, dkk., Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010.
Dr.Aprita,Serlika.S.H.,M.H dan Rio Adhitya,S.T.,S.H.,M.H. Filsafat Hukum,
Depok: Rajagrafindo Persada.2020.
Hilaire McCoubrey and Nigel D. White, Textbook on Jurisprudence, London:
Blackstone Press Limited, 1996.
Hilaire McCoubrey, The Devolopment of Naturalist Legal Theory, London:
Croom Helm, 1987.
Kamarusdiana,M.H. Filsafat Hukum, Jakarta: UIN Jakarta Press. 2018.
Lili Rasyid, FIlsafat Hukum, Mazhab dan Refleksinya, Bandung:Remaja
Rosdakarya,1994.
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, 2009.
Prof. Dr. H. Zainal Asikin, SH, SU, Mengenal Filsafat Hukum, Yogyakarta:
Penerbit ANDI, 2020.
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1993.
Robin West, Normative Jurisprudence: An Introduction, Cambridge: Cambrigde
University Press, 2011.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Adtya Bakti, Bandung, 1995.
Sofyan Hadi, Kekuatan Mengikat Hukum Dalam Perspektif Mazhab Hukum
Alam dan Mazhab Positivisme Hukum, Jurnal Ilmiah, Volume 25, Nomor 1,
Maret 2017 – Agustus 2017.
Zainuddin Ali,Filsafat Hukum,Jakarta:Sinar Grafika,2006.

34

Anda mungkin juga menyukai