Petunjuk Inventarisasi Bambu
Petunjuk Inventarisasi Bambu
Petunjuk Teknis Inventarisasi Bambu pada KPH ini disusun dengan tujuan untuk
memperoleh data, informasi potensi, dan sebaran bambu secara lengkap, akurat dan sesuai
kebutuhan pengelolaan hasil hutan di wilayah KPH atau wilayah lain yang memiliki tegakan
bambu. Hal tersebut dikarenakan bambu merupakan salah satu produk hasil hutan bukan kayu
yang potensial dan tersebar keberadaannya di seluruh Indonesia.
Diharapkan dengan adanya petunjuk teknis ini dapat memberikan panduan agar
pelaksanaan inventarisasi bambu menjadi lebih mudah bagi pelaksana di lapangan baik oleh KPH
maupun oleh pihak lain yang memiliki kepentingan dalam pengelolaan dan penelitian bambu,
sesuai dengan kaidah yang berlaku dan dapat menghasilkan informasi yang akurat.
Semoga Petunjuk Teknis ini dapat memberikan manfaat bagi seluruh pihak yang
membutuhkan dan menjadi pedoman dalam penyusunan data dan informasi potensi bambu di
seluruh Indonesia.
A. Latar Belakang
Bambu selain memiliki fungsi ekonomi, sosial dan budaya, juga berperan dalam
keseimbangan ekologi. Bambu merupakan salah satu jenis tumbuhan yang mampu menjaga
sistem hidrologi dengan sangat baik. Sistem perakaran bambu yang sangat rapat membuat
bambu mampu menahan erosi tanah. Akar serabutnya menyebar dan menutup permukaan
tanah sehingga tanah tidak mudah terlepas dan menjadi sangat stabil sehingga tidak mudah
terkena erosi. Pada musim hujan, bambu menyimpan air karena bersifat kapiler dan akan
melepaskan air tersebut menjadi mata air di musim panas. Bambu memiliki batang yang kuat
dan lentur sehingga sangat cocok dijadikan tanaman penghijauan, terutama di daerah aliran
sungai (DAS). Bambu juga mempunyai sifat tahan kekeringan, mampu tumbuh di lahan curam
serta tumbuh pada ketinggian hingga 4.000 meter di atas permukaan laut, sehingga sangat
berguna untuk menahan tanah dari kelongsoran dan erosi (Hanafi, et.al, 2017).
Bambu merupakan salah satu bahan utama pembangunan rumah tradisional atau
pondok di berbagai wilayah di Indonesia. Di wilayah dengan resiko gempa bumi yang tinggi,
rumah dengan bahan bambu telah dikembangkan secara turun temurun. Banyak kerajinan
tangan, perkakas dan alat musik tradisional yang terbuat dari bambu (Arinasa dan Peneng,
2013). Hal ini menunjukkan pentingnya nilai budaya yang dapat disediakan oleh bambu.
Dari sisi ekonomi, bahan baku industri yang berasal dari bambu merupakan salah satu
hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang sangat potensial untuk dikembangkan karena secara
kuantitas, kualitas, maupun kontinuitasnya dapat dijaga. Produk-produk turunan dari bambu
memiliki nilai estetika tinggi yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan, seperti kerajinan,
furnitur, bahan bangunan, dan industri lainnya. Seiring dengan perkembangan teknologi, bambu
telah menjadi komoditas komersial yang bersaing dengan berbagai bahan untuk banyak
keperluan, tidak hanya untuk konstruksi dan furniture tetapi juga untuk pulp and paper, tekstil,
biokimia dan bioenergi (Van Dam et.al, 2018).
Pemanfaatan bambu terutama pada kawasan hutan sudah dilakukan sejak jaman dulu
(Priyanto dan Abdullah Lutfi, 2014). Pemanfaatan berbagai jenis bambu dalam kawasan hutan
banyak dilakukan oleh masyarakat sekitar dan dalam kawasan hutan secara turun temurun baik
untuk bahan makanan, bahan bangunan, kerajinan atau perkakas rumah tangga lainnya (Junisa
et.al, 2019; Hemmy et.al, 2020; Ritonga et.al, 2020). Untuk peningkatan industri yang berasal
bambu, KPH sebagai pengelola kawasan hutan diharapkan dapat menyediakan data bambu
dalam rangka pengelolaan hutan bersama masyarakat agar tercapainya peningkatan
kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.
Pendahuluan | 1
Pengelolaan bambu yang baik memerlukan data dan informasi yang akurat terkait dengan
potensi, jumlah dan sebarannya. Sampai saat ini potensi dan distribusi bambu secara nasional
belum terukur dengan baik. Untuk mengukur potensi bambu yang ada khususnya pada tingkat
KPH/Unit Pengelolaan, juga diperlukan inventarisasi potensi bambu pada unit pengelolaan hutan
terkecil. Kegiatan inventarisasi ini penting dilakukan agar pengelolaan HHBK di KPH sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan. Agar data dan informasi yang dihasilkan dari kegiatan
inventarisasi potensi bambu sesuai dengan standar kebutuhan pengelolaan, diperlukan petunjuk
teknis inventarisasi bambu yang dapat digunakan sebagai acuan pengelola kawasan untuk
persiapan, pelaksanaan inventarisasi serta pengelolaan data dan pelaporan potensi dan sebaran
bambu. Dengan terukurnya potensi bambu dalam areal KPH maka akan mempermudah
penentuan strategi pengelolaan di tingkat KPH serta arah kebijakan pengelolaan bambu di
tingkat nasional.
Seperti yang diamanatkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor 7 Tahun 2021, inventarisasi hasil hutan kayu dan non kayu perlu dilakukan hingga ke
tingkat tapak, dalam hal ini KPH. Data hasil inventarisasi tersebut diperlukan sebagai dasar untuk
perencanaan pengelolaan hasil hutan kayu dan non kayu.
Petunjuk Teknis ini dapat digunakan oleh pengelola KPH atau pihak lain yang terkait
dengan pengelolaan dan penelitian bambu, seperti pemegang perizinan pemanfaatan hutan,
lembaga perhutanan sosial, lembaga penelitian dan perguruan tinggi atau lembaga swadaya
masyarakat, baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan.
C. Ruang Lingkup
Pengukuran potensi dan pendugaan sebaran bambu dapat dibagi berdasarkan tingkat
inventarisasi. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun
2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan
Fungsi Kawasan Hutan, serta Penggunaan Kawasan Hutan bahwa inventarisasi hutan dilakukan
pada empat tingkat yakni tingkat nasional, wilayah provinsi, DAS, dan Unit Pengelolaan Hutan.
Pembagian tingkatan tersebut menentukan tingkat kedetailan data dan metode yang digunakan.
Pendahuluan | 2
Kegiatan pengukuran potensi dan sebaran bambu di wilayah KPH atau wilayah lain dapat
dilakukan jika berdasarkan survey atau inventarisasi sebelumnya di wilayah tersebut terdapat
dugaan potensi bambu yang cukup luas untuk dimanfaatkan secara lestari. Kegiatan survey atau
inventarisasi sebelumnya dapat berupa survey Inventarisasi Hutan Nasional (NFI), IHMB atau
lainnya. Kegiatan pengukuran potensi dan sebaran bambu melalui kegiatan inventarisasi
mencakup kegiatan pengukuran potensi di lapangan (terestris) dan pemetaan sebaran dengan
penginderaan jauh. Cakupan kegiatan inventarisasi bambu dapat disesuaikan dengan
kemampuan pelaksana inventarisasi potensi bambu, misalnya karena keterbatasan sumber
daya, maka hanya kegiatan pengukuran lapangan saja atau pemetaan dengan penginderaan jauh
saja. Penggabungan kedua kegiatan tersebut disarankan karena dapat menghasilkan data
sebaran dan potensi bambu untuk kegiatan perencanaan selanjutnya.
Petunjuk teknis ini memberikan penjelasan terkait berbagai aspek mulai dari (1)
perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengolahan/analisa data, (4) pelaporan hingga (5)
pengendalian dan pembinaan. Kegiatan perencanaan mencakup kegiatan penetapan lokasi
inventarisasi, disain sampling serta perencanaan pelaksanaan di lapangan. Petunjuk teknis ini
juga memberikan penjelasan mengenai prosedur pelaksanaan di lapangan, mulai dari
koordinasi, pengukuran plot serta kaidah-kaidah pengukuran yang perlu dipahami oleh
pelaksana inventarisasi. Pengolahan data mencakup analisa data vegetasi, potensi bambu serta
kajian spasial.
D. Dasar Penyelenggaraan
1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang;
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
4. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan;
5. Peraturan menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021 tentang
Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi
Kawasan Hutan, serta Penggunaan Kawasan Hutan.
6. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan di Hutan
Lindung dan Hutan Produksi.
Pendahuluan | 3
E. Pengertian dan Batasan
1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam
hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam dan lingkungannya, yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
2. Kawasan Hutan adalah Wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
Pengelolaan Hutan adalah kegiatan yang meliputi tata hutan dan penyusunan rencana
pengelolaan hutan; pemanfaatan hutan; penggunaan kawasan hutan; rehabilitasi dan
reklamasi hutan; perlindungan hutan dan konservasi alam.
Tata Hutan adalah kegiatan rancang bangun unit pengelolaan hutan, mencakup
pengelompokan sumber daya hutan sesuai dengan tipe ekosistem dan potensi yang
terkandung di dalamnya dengan tujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya
bagi masyarakat secara lestari yang terdiri atas kegiatan tata batas, inventarisasi hutan,
pembagian ke dalam blok atau zona, serta pembagian plot dan anak plot dan pemetaan
3. Inventarisasi hutan adalah kegiatan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi
tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap.
4. Kesatuan Pengelolaan Hutan yang selanjutnya disebut KPH adalah wilayah pengelolaan
hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dikelola secara efisien, efektif dan
lestari.
5. Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP), adalah kesatuan pengelolaan hutan yang luas
wilayah seluruhnya atau sebagian besar terdiri dari kawasan hutan produksi.
6. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), adalah kesatuan pengelolaan hutan yang luas
wilayah seluruhnya atau sebagian besar terdiri dari kawasan hutan lindung.
7. Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) adalah kesatuan pengelolaan hutan yang
luas wilayah seluruhnya atau sebagian besar terdiri dari kawasan hutan konservasi.
8. Hasil hutan adalah benda hayati, nonhayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari
hutan.
9. Hasil hutan bukan kayu adalah hasil hutan hayati selain kayu, baik nabati maupun hewani
serta produk turunan dan budidaya yang berasal dari hutan negara.
10. Intensitas sampling adalah perbandingan antara total luas unit contoh yang diukur dengan
total luas populasi, yang dinyatakan dalam persen.
11. Kesalahan yang diharapkan (expected error) adalah tingkat kesalahan yang diharapkan bisa
dihasilkan dari rencana disain sampling yang dibuat.
12. Stratifikasi adalah suatu cara atau kegiatan pembagian hutan sebagai populasi ke dalam
bagian yang lebih homogen atau seragam.
Pendahuluan | 4
13. Stratum adalah bagian-bagian hutan hasil stratifikasi yang kondisinya relatif seragam.
14. Areal berhutan adalah areal hutan yang ditumbuhi oleh pohon-pohon dengan tajuk yang
saling menutup dengan sekurang-kurangnya menutup 30% seluruh areal yang
bersangkutan serta dinyatakan sebagai areal penghasil kayu.
15. Areal tidak berhutan adalah areal hutan yang tidak produktif terhadap sumber daya hutan,
dapat berupa tanah kosong, semak belukar, ladang alang-alang dan lain-lain.
16. Wilayah tertentu adalah wilayah bukan kawasan hutan yang dapat berupa hutan atau
bukan hutan.
17. Plot ukur adalah suatu petak dengan bentuk dan ukuran tertentu yang digunakan untuk
pengukuran potensi pada suatu ekosistem.
18. Metode Transek Garis dan Plot Contoh (Transect Line Plot) adalah metode pencuplikan
contoh populasi suatu ekosistem dengan pendekatan plot contoh yang berada pada garis
yang ditarik melewati wilayah ekosistem tersebut.
19. Populasi adalah keseluruhan unit atau individu yang akan diduga karakteristiknya
20. Contoh (Sample) adalah kumpulan unit-unit contoh (sampling units) yang diambil dari
suatu populasi dengan prosedur tertentu.
Pendahuluan | 5
II. PERSIAPAN KEGIATAN INVENTARISASI
Gambar 1. Alur hirarki metode klasifikasi citra penginderaan jauh (Abburu and Golla, 2015)
Klasifikasi citra dapat dilakukan menggunakan tehnik klasifikasi digital , visual atau
hybrid (Gambar 1). Sebagian besar pemetaan bambu di wilayah Afrika dan Asia Tengah
menggunakan klasifikasi digital, baik terbimbing (supervised) maupun tidak terbimbing.
Dengan pendekatan klasifikasi digital, pemetaan-pemetaan tersebut menghasilkan akurasi
keseluruhan yang cukup bagus, berkisar antara 60% hingga lebih dari 90% (Du et al, 2018;
Wang et al, 2009; Liu et al, 2018).
Sebagian besar menggunakan pendekatan klasifikasi berbasis pixel. Han et al (2014)
menggunakan pendekatan object-based image analysis (OBIA) yang dipadukan dengan
metode nearest neighbor classifier menghasilkan overal accurracy sebesar 85%. Namun
yang membandingkan pendekatan pixel-based dan object based menyimpulkan bahwa
OBIA menghasilkan overall accuracy yang lebih baik.
B. Disain Sampling
1. Kerangka sampling
Kerangka sampling (sampling framework) yang digunakan untuk inventarisasi bambu
dapat berupa systematic sampling atau random sampling. Keduanya memiliki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Namun kedua kerangka sampling tersebut mampu
menghindari bias akibat pemilihan lokasi plot yang cenderung purposif (dekat akses, lebih
banyak bambu, dsb), jika penerapannya sesuai kaidah. Selain itu line plot sampling juga
banyak digunakan di wilayah dengan akses atau sumberdaya terbatas. Dengan satu jalur
transek, regu dapat mengakses banyak plot yang jaraknya sistematis tidak terlalu jauh.
Biasanya line plot sampling dipadukan dengan random start, atau random pada saat
penentuan awal jalur. Pemilihan kerangka sampling apakah systematic atau random
sebaiknya menyesuaikan dengan kondisi lapangan, pengalaman sebelumnya serta jenis
peta sebaran. Untuk jenis peta, jika peta yang tersedia berasal dari hasil klasifikasi digital
berbasis pixel, maka sebaiknya menggunakan random sampling.
Selain itu untuk menentukan apakah kerangka sampling menerapkan stratifikasi atau
tidak, tergantung dari ketersediaan peta tutupan bambu yang disediakan pada sub bab
sebelumnya. Jika kelas tegakan bambu yang tersedia dalam peta hanya satu kelas, maka
dapat menggunakan simple systematic sampling atau simple random sampling. Namun jika
kelas tutupan bambu lebih dari 1 (berarti minimal ada 2 stratifikasi), maka dapat
menggunakan stratified systematic sampling atau stratified random sampling. Kelas
tutupan bambu yang dipetakan akan menjadi strata yang akan digunakan untuk
membedakan tegakan bambu berdasarkan potensinya.
Gambar 3. Sebaran plot menggunakan stratified random (A) dan stratified systematic
sampling (B). Hanya strata yang memiliki potensi bambu yang akan disurvey.
Multistage sampling umumnya diterapkan jika wilayah yang akan disurvey terlalu
luas dan sumberdaya yang ada terbatas. Dalam kondisi dimana jarak antar plot sangat jauh,
multistage sampling akan memberikan informasi lebih banyak per unit biaya. Salah satu
pendekatan multistage sampling yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah cluster
sampling khususnya line plot sampling. Dalam line plot sampling, sebuah transek adalah
cluster, dan plot dalam transek adalah elemen. Format dan jumlah elemen cluster bisa
bervariasi tergantung kebutuhan dan pengalaman pelaksana (lihat Gambar 4).
Untuk inventarisasi bambu, cukup menggunakan single plot, atau plot dengan satu
ukuran, mengingat karakteristik bambu yang ukuran diameternya tidak terlalu besar
variasinya.
Titik awal plot adalah titik sebaran plot yang diperoleh dari hasil distribusi titik
menggunakan analisa GIS. Titik awal untuk plot lingkaran merupakan titik tengahnya,
sedangkan untuk titik awal plot bujur sangkar dan persegi panjang adalah titik sudut Barat
Daya plot.
𝑡 × 𝐶𝑉 2
𝑛=( )
𝐸%
Penelitian tentang potensi bambu di Indonesia, masih relatif terbatas. Sebuah inisiatif
pengukuran potensi bambu di Kabupaten Ngada, NTT oleh YBL (unpublished), yang menggunakan
3 plot transek seluas kira-kira 2,5 hektar, menunjukkan nilai rata-rata rumpun bambu sebesar 101
rumpun/hektar, dengan SE sebesar 10,45 rumpun/hektar. Maka nilai CV sebesar 20,9%. Penelitian
oleh William et.al (1995) di Malaysia, menyimpulkan bahwa CV tegakan bambu (jumlah rumpun atau
jumlah batang) berkisar antara 22% hingga 37%. Rata-rata rumpun per hektar mencapai 371 rumpun
per hektar, 3 kali lebih besar dibandingkan di Ngada. Namun penelitian ini hanya menggunakan 1
plot ukuran 5 hektar dan 1 buah plot ukuran 1 hektar. Sebuah kajian yang lebih komprehensif
menggunakan dua stratifikasi tegakan bambu (bambu murni dan bambu campuran) serta melibatkan
pengukuran lapangan pada 48 plot menyimpulkan bahwa nilai CV pada tegakan bambu murni
Dimana t adalah nilai t student atau 1,96. SE% adalah sampling error (SE) yang
diharapkan (dalam satuan persen). SE% biasanya berkisar antara 10-20%. Untuk
inventarisasi bambu, SE% maksimum sebesar 20%. Nilai CV dapat diperoleh dari penelitian
sebelumnya (lihat box). Untuk keperluan pendugaan jumlah plot yang diperlukan, nilai CV
tegakan bambu murni dapat menggunakan nilai 75%. Untuk tegakan bambu campuran,
nilai CV akan lebih tinggi yaitu 175% karena variasi antar plot yang tinggi yang dipengaruhi
tingkat dominansi vegetasi lainnya.
Sehingga jumlah plot (n) yang diperlukan dengan SE yang diharapkan sebesar 20%
dan CV sebesar 75%, diperoleh nilai sekitar 56 plot. Alokasi proporsional, membagi nilai 56
plot berdasarkan luas tiap strata. Semakin luas strata, semakin banyak proporsi plotnya.
Alokasi equal menggunakan pendekatan serupa, hanya saja alokasi jumlah plot pada tiap
strata sama rata, tanpa memperhatikan perbedaan luas masing-masing strata.
Alokasi optimum digunakan jika banyak informasi awal terkait dugaan potensinya.
Alokasi optimum tidak hanya mempertimbangkan luas strata, tetapi juga rata-rata tegakan
Dimana tingkat ketelitian yang diharapkan (sampling error- SE), sekitar 10 -20%, galat
baku (standard deviation) tiap stratum (Sh), berdasarkan literatur atau asumsi, rata-rata
dari estimasi potensi bambu (ӯ): berdasarkan literatur, serta ukuran populasi dalam stratum
h (Nh): adalah luas total strata dibagi luas plot. Untuk memudahkan penghitungan n dengan
metode alokasi optimum, bisa menggunakan excel spreadsheet (Winrock calculator) yang
dikembangkan oleh Winrock International.
Pendekatan lain untuk menentukan jumlah plot adalah dengan penetapan intensitas
sampling minimal. Pendekatan ini tidak mempertimbangkan variasi tegakan antar plot dan
stratifikasi. Untuk inventarisasi bambu, pendekatan intensitas sampling tidak digunakan
untuk menghitung jumlah plot, tetapi dapat dihitung pada akhir kegiatan inventarisasi
sebagai gambaran hasil inventarisasi yang telah dilaksanakan.
C. Perencanaan Kegiatan
Jika lokasi plot sangat jauh dan memerlukan tinggal di lokasi agar lebih dekat dengan
plot, maka regu perlu membangun tenda untuk menginap. Untuk itu diperlukan tenaga
tambahan berupa:
a. Tenaga logistik sebanyak 1- 2 orang
b. Juru masak sebanyak 1 orang
Adapun tugas dari masing-masing anggota dapat dilihat di tabel di bawah ini.
Tabel 3. Komposisi dan tugas anggota regu inventarisasi bambu
3. Perencanaan biaya
Penganggaran perlu disiapkan dan direncanakan sebelum kegiatan inventarisasi di
lapangan dimulai. Untuk itu diperlukan informasi terkait standard biaya komponen-
komponen pembiayaan yang diperlukan di wilayah masing-masing. Komponen biaya yang
diperlukan untuk kegiatan inventarisasi mencakup biaya untuk:
a. tenaga kerja,
b. transportasi,
c. akomodasi (termasuk makanan dan kebutuhan camp) serta
d. bahan dan alat.
Kondisi ini tentu saja bervariasi tergantung kondisi lapangan, metode sampling, serta
standard biaya di wilayah masing-masing.
A. Koordinasi
Koordinasi dengan pihak terkait perlu dilakukan agar kegiatan pelaksanaan di lapangan
diketahui oleh pihak terkait dan mendapatkan dukungan yang diperlukan. Sehingga jika terjadi
hal-hal di luar rencana, pihak terkait tersebut dapat membantu sesuai kemampuannya. Selain
itu selama kegiatan koordinasi sebelum pelaksanaan pengukuran, kegiatan pengumpulan data
awal tambahan juga dapat dilakukan untuk melengkapi data dan informasi awal yang diperlukan
(Lihat sub bab Pengumpulan informasi awal). Koordinasi dilakukan terhadap pihak terkait antara
lain:
- Pemegang izin pemanfaatan hasil hutan dan penggunaan kawasan hutan untuk
mendapatkan informasi tambahan terkait dengan aksesibilitas menuju plot serta
memperoleh data dan informasi tambahan lainnya.
Pelaksanaan Inventarisasi | 21
- Perangkat Desa/Kampung untuk menginformasikan rencana kegiatan, memperoleh tenaga
kerja lokal, sekaligus mendapatkan informasi tambahan terkait lokasi, dan sumber daya
hutan lainnya.
B. Pengukuran di lapangan
Tiap regu mendapatkan daftar alokasi sebaran plot yang akan diukur, berupa peta dan
koordinat. Tahapan pelaksanaan survey di lapangan adalah sebagai berikut:
Langkah 1: Tentukan nama plot atau titik awal jalur plot (jika menggunakan line plot sampling)
yang akan diukur sesuai perencanaan.
Langkah 2: Gunakan GPS untuk mencari titik plot atau titik awal transek. Titik koordinat plot yang
akan diukur dimasukkan sebelumnya ke dalam GPS. Untuk menghindari bias,
penentuan titik awal plot harus sesuai dengan titik GPS (dengan maksimal kesalahan
+ 10 m). Kecuali jika plot tersebut benar-benar tidak dapat diakses karena berbahaya,
misal berada di pinggir jurang, terendam air dlsb. Jika plot tidak dapat diakses maka
dapat dilakukan perpindahan plot. Jika menggunakan line plot sampling, maka untuk
menuju plot selanjutnya dalam transek bisa menggunakan kompas dan meteran,
misalnya ke arah Timur (azimuth 90o) sepanjang 50 m.
Langkah 3: Apabila lokasi rencana plot sudah ditemukan, lakukan pengukuran titik koordinat
lapangan menggunakan GPS dan catat pada Tally Sheet A (Lampiran 1). Hasil
pengukurun titik koordinat yang berada di layar GPS difoto sebagai dokumentasi
pelaporan. Jika plot berbentuk lingkaran, mata titik koordinat plot merupakan titik
tengah plot di lapangan. Jika plot berbentuk bujur sangkar atau persegi panjang,
maka titik koordinat plot merupakan titik sudut plot di bagian Barat Daya (lihat
Gambar ).
Langkah 4: Bangun plot pada titik sesuai koordinat plot. Jika plot berbentuk bujur sangkar atau
persegi panjang, maka perlu dibuat patok tanda batas di ke empat sudut plot, agar
terlihat di mana batas plot saat pengamatan di dalam plot dilakukan. Jika plot
berbentuk lingkaran, maka diperlukan patok di titik tengah plot. Pengukuran jarak
harus dilakukan pada rumpun atau pohon yang berada di dekat batas, untuk
memastikan apakah rumpun atau pohon masuk atau keluar plot.
Langkah 5: Amati parameter plot dan catat dalam Tally Sheet sesuai Lampiran 1, termasuk
koordinat plot, nama plot, nama anggota regu, tanggal pengukuran dan kondisi
vegetasi dalam plot. Jumlah total rumpun bisa diisi setelah langkah 5 selesai.
Langkah 6: Ukur semua rumpun bambu yang masuk ke dalam plot, lalu catat ke dalam Tally Sheet
sesuai Lampiran 1 yang disediakan, terkait pengukuran rumpun. Lakukan penandaan
Pelaksanaan Inventarisasi | 22
pada tiap rumpun yang ada dalam plot dengan tulisan hitam dan dipasang plat plastik/seng
atau pada pita lebar dengan warna terang (untuk keterangan lokasi). Penomoran atau
penandaan rumpun diurutkan dari arah utara bergerak searah jarum jam. Informasi
yang ditulis dalam tanda rumpun adalah:
- Nomor Jalur/plot
- Nomor rumpun
Langkah 7: Ukur semua batang atau lonjor bambu pada semua rumpun yang masuk dalam plot.
Lalu catat dalam Tally Sheet sesuai Lampiran 1 terkait pengukuran batang/lonjor.
Lakukan penandaan pada tiap batang bambu. Penandaan dilakukan untuk
menghindari pengukuran berulang dan untuk mengetahui individu mana yang sudah
dan belum dihitung.
Langkah 8: Ukur dan catat semua vegetasi lainnya yang masuk dalam plot, khususnya pohon
dengan DBH di atas atau sama dengan 10 cm. Catat dalam Tally Sheet sesuai
Lampiran 1 terkait pengukuran pohon.
C. Kaidah-Kaidah Pengukuran
1. Perpindahan plot
Perpindahan plot dilakukan hanya jika salah satu syarat di bawah ini terpenuhi:
a. Lokasi plot membahayakan keselamatan regu, baik terkait kondisi alam, seperti bahaya
longsor, terlalu curam atau binatang buas maupun kondisi konflik atau perang.
b. Secara adat maupun perizinan tidak diperbolehkan untuk masuk.
Plot dapat dipindahkan jika lokasi titik plot berada pada tempat yang berbahaya dan tidak
dapat diakses, misalnya berada di pinggir jurang, di areal yang sangat curam, berada di
sungai atau rawa yang sangat dalam, atau merupakan sarang binatang buas sehingga
mengancam keselamatan regu pengukur dalam melaksanakan pengukuran. Selain itu, jika
secara adat atau perizinan tidak diperbolehkan untuk memasuki wilayah tersebut, maka
plot dapat dipindah. Perpindahan plot tidak boleh dilakukan hanya karena tidak terdapat
tegakan bambu pada plot yang direncanakan.
Pelaksanaan Inventarisasi | 23
Gambar 7. Pindah plot dilakukan jika titik plot berada di daerah yang berbahaya (sangat
curam). Dalam contoh ini, perpindahan plot (tengah) bisa dilakukan ke bagian Selatan
atau Barat yang lebih landai.
Kaidah pindah plot dilakukan secara sistematis. Jika plot harus dipindah, maka opsi
pertama adalah pindah sejauh 50 m ke arah utara. Jika tidak memungkinkan, maka sejauh
50 m ke arah timur, dan seterusnya mengikuti arah mata angin. Jika masih tidak
memungkinkan, maka jaraknya ditambah tiap kelipatan 50 m, misal 100 m ke arah utara,
timur, selatan atau barat. Perpindahan plot hanya dapat dilakukan pada poligon atau kelas
tutupan yang sama. Jika tidak memungkinkan, maka plot tidak perlu diukur.
Pelaksanaan Inventarisasi | 24
3. Penentuan rumpun yang masuk plot
Untuk rumpun bambu yang tempat tumbuhnya sebagian besar berada di dalam plot ukur
dan sebagian sisanya di luar plot diukur utuh sebagai satu kesatuan plot ukur. Sebaliknya
apabila satu rumpun bambu sebagian besar terletak di luar plot ukur dan sisanya berada di plot
ukur maka rumpun tersebut tidak dihitung dalam pengukuran. Jika ada rumpun bambu yang
berada di tengah garis, dan regu sulit menentukan apakah rumpun di dalam atau di luar, maka
diterapkan kaidah selang-seling, pertama masuk, selanjutnya keluar, berikutnya lagi masuk
demikian seterusnya. Kaidah ini dapat diterapkan untuk mengakomodir peluang 50:50 dari
rumpun yang berada di tengah garis batas.
Pelaksanaan Inventarisasi | 25
Diameter diukur setinggi dada (Gambar 8). Panjang batang diukur dari panjang rata-rata
dan dapat ditaksir.
Gambar 9. Pengukuran keliling rumpun dan diameter lonjor bambu pada ketinggian setinggi
dada atau 1,3 m dari permukaan. Pastikan pengukuran dilakukan di sekitar bagian tengah
ruas bambu.
Untuk rumpun bambu yang padat sehingga penghitungan parameter tiap individu sulit
dilakukan, dapat diukur dengan alat khusus, seperti jangka sorong atau kaliper panjang yang
dapat mengukur batang-batang bambu di bagian dalam rumpun.
Jika tetap sulit untuk diukur langsung, regu dapat melakukan pendugaan diameter
berdasarkan perbandingan dengan diameter batang di dekatnya yang telah diukur. Pastikan
semua lonjor dalam rumpun yang masuk plot diukur dan dicatat diameternya.
Pelaksanaan Inventarisasi | 26
penumpukkan, semakin tua umur bambu. Penumpukkan pada bambu tua terjadi lebih dari 3
kali. Sedangkan pada bambu sedang, penumpukkan lumut kerak masih jarang atau 1 hingga
2 kali.
Bambu muda memiliki ciri cabang yang belum lengkap, warna batang lebih muda,
mengkilap, bersih tidak bertotol-totol karena lumut. Selain itu lonjor bambu muda juga dapat
diidentifikasi dari suara yang lebih nyaring jika dipukul dengan benda keras seperti parang,
dibandingkan dengan bambu sedang dan tua yang kepadatan dan kerapatan seratnya lebih
tinggi. Bambu muda juga dapat dicirikan dengan masih adanya kelopak di bagian pangkal
batang.
Gambar 10. Penentuan kelas umur lonjor bambu berdasarkan lumut kerak (lichen) yang
tumbuh pada lonjor. Lonjor yang bersih dan memiliki kelopak merupakan bambu muda (A),
sedangkan lonjor dengan lumut kerak yang sedikit bertumpuk merupakan umur sedang (B)
dan lonjor dengan lumut kerak yang bertumpuk merupakan bambu tua (C) (Foto: Solichin
Manuri)
Pelaksanaan Inventarisasi | 27
IV. ANALISIS DATA
Analisis dilakukan melalui pengolahan data primer maupun sekunder serta informasi
tambahan yang diperoleh dari lapangan. Analisis data dimaksudkan untuk menduga nilai potensi
bambu dan selang kepercayaannya serta merumuskan keterkaitan potensi bambu yang tersedia
dengan rencana pengelolaan hasil hutan non kayu.
Terdapat beberapa analisis dalam penghitungan potensi bambu, yakni analisis vegetasi,
analisis potensi, dan analisis GIS terhadap faktor biofisik lokasi (Priyanto dan Abdullah, 2014). Analisis
potensi bambu menggunakan pendekatan umum untuk menduga potensi bambu dalam satuan
luas hektar.
2
∑𝑛𝑖=1(𝑌𝑖 − ӯ)2
𝑠 =
𝑛−1
Standar deviasi (s) merupakan akar dari nilai keragaman. Untuk mengetahui koefisien
keragaman atau coefficient of variation (CV) dalam persen dapat menggunakan rumus di
bawah ini:
√𝑠 2
𝐶𝑉 = × 100%
ӯ
Untuk menghitung kesalahan baku dari nilai rata-rata (sӯ) menggunakan rumus di bawah
ini:
Analisis Data | 28
𝑠2 𝑁 − 𝑛
𝑠ӯ = √
𝑛 𝑁
Untuk menghitung variasi pada strata ke-j (sj2) menggunakan rumus di bawah ini:
2
∑𝑛𝑖=1(𝑌𝑖𝑗 − ӯ𝑗 )
𝑠𝑗2 =
𝑛𝑗 − 1
Untuk mengetahui koefisien variasi (CVj) pada strata ke-j dalam persen dapat menggunakan
rumus di bawah ini:
√𝑠𝑗2
𝐶𝑉𝑗 = × 100%
ӯ𝑗
Selanjutnya untuk menghitung kesalahan baku dan selang interval pada tiap strata, dapat
menggunakan rumus yang sama dengan rumus tanpa stratifikasi (IV.A.1).
Untuk menghitung nilai rata-rata potensi keseluruhan strata (ӯst) menggunakan rumus di
bawah ini:
∑𝑛𝑖=1 𝑁𝑗 ӯ𝑗
ӯ𝑠𝑡 =
𝑁
Dimana Nj adalah jumlah total unit sampling pada strata ke-j dan N adalah jumlah total unit
sampling keseluruhan.
Analisis Data | 29
Untuk menghitung kesalahan baku dari nilai rata-rata (sӯ st) dari semua strata menggunakan
rumus di bawah ini:
𝐿
1 𝑁𝑗2 𝑠𝑗2 𝑁𝑗 − 𝑛𝑗
𝑠ӯ 𝑠𝑡 = √ 2∑( )
𝑁 𝑛𝑗 𝑁𝑗
𝑗=1
Sedangkan untuk menghitung kesalahan baku dari nilai rata-rata dugaan (Sӯc)
menggunakan persamaan di bawah ini:
𝑁 − 𝑛 ∑𝑛𝑖=1(𝑦𝑖 − ӯ𝑖 𝑚𝑖 )2
𝑠ӯ𝑐 = √( )
𝑁𝑛Ḿ2 𝑛−1
Untuk menghitung nilai selang kepercayaan pada 95% (CI95%) dapat menggunakan
persamaan di bawah ini:
𝐶𝐼95% = ӯ𝑐 ± 2𝑠ӯ𝑐
Dimana :
N = jumlah cluster (transek) dalam populasi
Analisis Data | 30
n = jumlah cluster yang dipilih secara sampling
mi = jumlah elemen (plot) dalam cluster
M = Ʃ mi = jumlah elemen dalam populasi
Ḿ = M/N = rata-rata ukuran cluster
yi = total potensi di cluster-i
Metode pertama juga dikenal dengan double sampling, karena menggunakan sampling
lanjutan menggunakan citra dengan resolusi lebih tinggi (Avery and Brukhart, 2002).
Perbaikan data luas sebaran bambu menggunakan metode regresi atau rasio estimator ini
memerlukan data citra resolusi tinggi sebagai variabel tambahan (y) yang sebarannya
terbatas. Misalnya variable tambahan menggunakan beberapa citra drone pada lokasi yang
sama. Maka perlu dilakukan deliniasi sebaran bambu pada 50 poligon plot contoh,
(misalnya plot dengan ukuran 100 m x 100 m), sehingga diperoleh luas bambu pada lokasi
50 unit contoh. Selanjutnya pada 50 plot contoh, diekstrak data luas sebaran bambu dari
peta yang dihasilkan dari citra resolusi menengah, yang akan digunakan sebagai variabel
utama (x). Selanjutnya data luas dari masing-masing variable di setiap unit contoh
dibandingkan dan dibuat rasio atau persamaan regresinya.
Untuk menyusun persamaan regresi dapat menggunakan fungsi scatter x,y plot atau fungsi
regression di menu Data Analysis Tools pada aplikasi spread sheet.
a. Menggunakan scatter x,y:
- Masukan data luas variabel utama dan variable tambahan di dua kolom berbeda.
Baris adalah data per sub unit.
- Select kedua kolom data lalu Insert > Charts > Scatter XY
- Pilih atau klik sebaran titik pada grafik yang muncul, lalu klik kanan > Add
trendline > pilih Linear dan Display equation
- Maka diperoleh persamaan regresi Y = a + b(X). Lalu catat nilai R2 dari
persamaan tersebut.
b. Menggunakan fungsi regression:
- Klik Data > Data Analysis > Regression. Pastikan Add ins Data Analysis sudah
terinstall.
- Pilih data kolom variable utama untuk Input Y range dan kolom variable tambahan
untuk Input X Range.
Analisis Data | 31
- Tentukan lokasi dimana hasil akan ditampilkan, lalu klik OK.
- Bangun persamaan regresi berdasarkan hasil analisa. Y = a + b (X), dimana a
adalah nilai “intercept” dan b adalah nilai “X Variable”
Sehingga untuk menentukan nilai koreksi luas sebaran bambu (Y), menggunakan
rumus yang diperoleh dari langkah-langkah di atas dimana X adalah luas sebaran bambu
keseluruhan yang menggunakan citra resolusi menengah.
Sedangkan metode kedua (sample-based area estimator) masih dapat menggunakan
citra dengan resolusi yang sama untuk mendapatkan confusion matrix dan nilai overall
accuracy (Olofsson et al, 2013). Metode perbaikan luas dengan metode sample-based area
estimation dapat mengacu pada buku SOP penghitungan nilai akurasi dan uncertainty data
perubahan penutupan hutan dan lahan (Tosiani et.al, 2020).
Analisis Data | 32
selang kepercayaannya.
Tingkat kerapatan bambu juga dapat dianalisa berdasarkan wilayah, misalnya unit terkecil
pengelolaan, resort, atau batas administrasi seperti kecamatan atau desa. Sehingga dapat
diperoleh daftar rinci wilayah yang memiliki sebaran bambu berdasarkan kewenangan
pengelolaan atau administrasi seperti kecamatan atau desa.
Gambar 11. Contoh penyajian grafik nilai statistik (rata-rata dan simpangan baku) jumlah lonjor
bambu pada strata bambu murni (BAM) dan bambu campuran (BAC) di tiap kecamatan di
Kabupaten Ngada (sumber: Manuri et.al, 2021)
Analisis Data | 33
Tabel 4. Contoh penyajian tabel data jumlah lonjor bambu komersial di tiap kecamatan di
Kabupaten Ngada pada berbagai fungsi kawasan (sumber: Manuri et.al, 2021)
Analisa spasial lanjutan juga diperlukan untuk menyediakan basis data yang diperlukan
untuk pengelolaan pemanfaatan potensi bambu. Kajian terkait sebaran bambu yang berpotensi
untuk dikelola secara komersil dapat dilakukan dengan memilah sebaran bambu yang berada
dalam rentang wilayah yang dapat diakses dengan mudah. Analisa spasial juga dapat dilakukan
untuk mengetahui sebaran bambu berdasarkan tingkat aksesibilitasnya, misalnya jarak dari
jalan dan tingkat kelerengan. Informasi terkait tingkat aksesibilitas tersebut bermanfaat bagi
rencana pengelolaan pemanfaatan bambu, khususnya pemilihan wilayah prioritas pengelolaan
untuk meminimalkan biaya operasional.
Tabel 5. Contoh penyajian tabel sebaran jumlah lonjor berdasarkan jarak dari jalan dan tingkat
kelerengan (sumber: Manuri, et.al, 2021)
Jarak jalan 1. Sangat datar 2. Datar 3. Landai 4. Agak curam 5. Curam 6. Sangat curam Grand Total
0 - 100 m 100,614 309,376 416,360 485,817 468,356 276,320 2,056,844
100 - 200 m 71,862 190,209 274,168 361,977 387,234 311,941 3,654,237
200 - 500 m 125,446 352,189 581,331 804,133 1,060,611 1,329,494 5,850,596
500 - 1000 m 18,002 62,500 103,780 210,103 447,428 1,137,951 6,232,967
> 1000 m 13 336 543 2,017 3,271 4,887 1,990,831
Grand Total 315,938 914,610 1,376,182 1,864,047 2,366,901 3,060,594 9,898,271
Kajian ekologis habitat bambu dapat dilakukan menggunakan data sebaran yang tersedia
sebagai data variabel dependen, yang dihubungkan dengan sebaran variable penduga seperti
jenis tanah, geologi, iklim, topografi dan juga tutupan lahan atau data biofisik lainnya. Kajian
tersebut dapat bermanfaat untuk menduga sebaran potensi bambu di wilayah lainnya yang
masih memiliki karakterisktik ekologi atau bentang alam yang serupa. Penapisan dilakukan
dengan melakukan deliniasi dan penyesuaian poligon agar diperoleh poligon dengan tutupan
hutan berupa hamparan bambu. Namun hal ini memerlukan kajian khusus terkait hubungan
antara sebaran dan habitat bambu dengan kondisi biofisik.
Analisis Data | 34
V. PENGENDALIAN DAN PEMBINAAN
Kegiatan Pengendalian dan Pembinaan Inventarisasi Bambu pada KPH menjadi tanggung jawab
Penyelenggara Inventarisasi Hutan Tingkat Unit Pengelolaan Hutan (berkoordinasi dengan Unit Kerja
Eselon I yang memiliki tugas pokok dan fungsi pada bidang perencanaan kehutanan dengan
melibatkan unit kerja Eselon I lain yang bertanggung jawab dalam pengelolaan KPH dengan dapat
melibatkan perguruan tinggi atau lembaga lain yang profesional di bidangnya.
Penyelenggara inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan hutan dalam hal ini adalah
Gubernur. Sedangkan Unit eselon I terkait perencanaan kehutanan adalah Direktorat Jenderal
Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan. Unit eselon I terkait pengelolaan KPH adalah Direktorat
Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari atau Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistem. Kegiatan pengendalian inventarisasi dan pemantauan hutan meliputi kegiatan monitoring
dan/atau evaluasi.
Gambar 12. Alur Pengendalian dan Pembinaan Kegiatan Inventarisasi Bambu pada KPH
Laporan hasil pelaksanaan inventarisasi dilaporkan secara berjenjang dan terintegrasi ke dalam
Sistem Informasi Kehutanan Nasional. Format pelaporan kegiatan inventarisasi bambu dapat dilihat
pada Lampiran 5.
Penutup | 36
DAFTAR PUSTAKA
Abburu, S. and Golla, S.B., 2015. Satellite image classification methods and techniques: A
review. International journal of computer applications, 119(8).
Arinasa IBK, Peneng IN. 2013. Bamboo Species and Its Potential in Bali. LIPI Press, Jakarta.
[Indonesian]
Avery, T. E. and Burkhart, H.E. 2002. Forest Measurements. McGraw-Hills series in Forest
Resources, 5th Edition.
Azmy, Mohammed., Wan Razali Wan Mohd., Ahmad Fauzidah. 1993. Characteristics and Volume
Weight Relationships of Four Malaysian Bamboos. Journal of Tropical Forest Science 4
(1):87-93
Azmy, H.M., 1993. Relationships between height, diameter at breast height (DBH) and culm weight
of three Malaysian bamboos. J. Trop. For. Sci. 6, 85–86.
Chen, T.-H., Wang, D.-H., Hsieh, C.-Y., 2014. Growth and aboveground biomass of giant bamboo
(Dendrocalamus giganteus) in Lien-Hua-Chih area. Quart. J. For. Res. 36, 67–76 (in
Traditional Chinese with English abstract).
Direktorat Rencana, Penggunaan dan Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2018. Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Penyediaan
Data Areal Perhutanan Sosial-Jawa (SOP.1/REN/RKH/PLA.0/1/2018).
Du, H., Mao, F., Li, X., Zhou, G., Xu, X., Han, N., Sun, S., Gao, G., Cui, L., Li, Y. and Zhu, D., 2018.
Mapping global bamboo forest distribution using multisource remote sensing data. IEEE
Journal of Selected Topics in Applied Earth Observations and Remote Sensing, 11(5),
pp.1458-1471.
Ghosh, A. and Joshi, P.K., 2014. A comparison of selected classification algorithms for mapping
bamboo patches in lower Gangetic plains using very high resolution WorldView 2
imagery. International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation, 26,
pp.298-311.
Han, N., Du, H., Zhou, G., Sun, X., Ge, H. and Xu, X., 2014. Object-based classification using SPOT-5
imagery for Moso bamboo forest mapping. International journal of remote sensing, 35(3),
pp.1126-1142.
Hanafi Hanna R, Irawan Budi, Pertiwi Diah C, Litania Alif. 2017. Pemanfaatan dan pengelolaan
bambu berkelanjutan di Desa Cijedil, Cianjur, Jawa Barat sebagai upaya perwujudan
Sustainable Development Goals (SDGs). Prosiding Seminar Nasional Masyarakat
Biodiversity Indonesia Volume 3, Nomor 2, Mei 2017 Halaman: 230-235
Daftar Pustaka | 37
Hemmy, A.V., 2020. Strategi Pemasaran Bambu Butar (Gigantochloa Sp) dan Bambu Betung
(Dendrocalamus Asper) oleh Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Lindung HPHTI PT. Toba
Pulp Lestari.
Husch, B., Beers, T.W., and Kershaw, J.A., (2003). Forest Mensuration. Florida. The Ronal Press
Company
Junisa, J., Oramahi, H.A. and Tavita, G.E., 2019. Studi Pemanfaatan Jenis Bambu oleh Masyarakat
Dayak Bakati di Hutan Adat Desa Tanjung Kecamatan Teriak Kabupaten
Bengkayang. Jurnal Hutan Lestari, 7(3).
Kao, Y.P.; Chang, T.Y. 1989. The growth and biomass production of Dendrocalamus asper plantation.
Bulletin-of-the-Taiwan-Forestry-Research-Institute., 4(1), 31-41.
Liu, C., Xiong, T., Gong, P. and Qi, S., 2018. Improving large-scale moso bamboo mapping based on
dense Landsat time series and auxiliary data: a case study in Fujian Province,
China. Remote Sensing Letters, 9(1), pp.1-10.
Manuri, S., Kumara, I., Azwar, W., Irwan, M., Supriyanto, Firdaus, M., dan Somala, E. 2012.
Inventarisasi Tegakan Hutan dan Cadangan Karbon di KPH Kapuas Hulu. Forests and
Climate Programe – German International Cooperation.
Manuri, S., Prasetyo, A., Dipa, F.R, Mukti, A., Bukhari, Vernaz, F. 2021. Sebaran tutupan dan stok
bambu di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Daemeter Consulting dan Yayasan
Bambu Lestari.
Olofsson, Pontus., Foody Giles M., Stehman, Stephen V., Woodcock Curtis E. 2013. Making better
use of accuracy data in land change studies: Estimating accuracy and area and quantifying
uncertainty using stratified estimation. Elsevier. Remote Sensing of Environment 129
(2013) 122-131.
Othman, Abd. Razak. 1994. Culm Composition And Above-Ground Biomass Of Gigantochloa
Scortechinii In A Natural Stand And A Three-Year-Old Plantation. Journal of Tropical Forest
Science, Vol. 7, No. 2 (December 1994), pp. 280-285
Pasaribu, Sehat Martua , Latifah Siti dan Muhdi. 2015. Analisis Biomassa Dan Cadangan Karbon
Bambu Belangke (Gigantochola Pruriens Widjaja) Di Hutan Tanaman Rakyat Desa Durin
Serugun, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang.
http://download.garuda.ristekdikti.go.id/
Priyanto dan Abdullah Lutfi, 2014. Identifikasi dan Zonasi Kawasan Untuk Pengembangan Industri
Bambu Di Bali. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan.
Kementerian Kehutanan.
Ritonga, M.A., Navia, Z.I. and Arico, Z., 2020. Pemanfaatan tumbuhan bambu oleh masyarakat di
Kecamatan Tenggulun Kabupaten Aceh Tamiang. Biologica Samudra. 2(1), pp.10-19.
Daftar Pustaka | 38
Tosiani, A., Mohammad, AR., Sularso, Gamma N M., Lugina, M., Novita, Nita., Lestari, Nurul S., 2020.
Standar Operasional Prosedur (SOP) Penghitungan akurasi dan Uncertainty Perubahan
Penutupan Lahan. IPB Press.
Van Dam, J.E., Elbersen, H.W. and Montaño, C.M.D., 2018. Bamboo production for industrial
utilization. Perennial grasses for bioenergy and bioproducts, pp.175-216.
Venkatappa, M., Anantsuksomsri, S., Castillo, J.A., Smith, B. and Sasaki, N., 2020. Mapping the
natural distribution of bamboo and related carbon stocks in the tropics using google earth
engine, phenological behavior, landsat 8, and sentinel-2. Remote Sensing, 12(18), p.3109.
Wang, T.J., Skidmore, A.K. and Toxopeus, A.G., 2009. Improved understorey bamboo cover mapping
using a novel hybrid neural network and expert system. International journal of remote
sensing, 30(4), pp.965-981.
Widjaja, E.A., 2001. Identikit jenis-jenis bambu di Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi
– LIPI. Balai Penelitian Botani, Herbarium Bogoriense, Bogor, Indonesia.
Widjaja, E.A., 2001. Identikit jenis-jenis bambu di Kepulauan Sunda Kecil. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Biologi – LIPI. Balai Penelitian Botani, Herbarium Bogoriense, Bogor,
Indonesia.
Widjaja, E. A. 2019. The spectacular Indonesian Bamboo s. Polagrade. 188 hal.
Widjaja, E.A., Ervianti, D., dan Kusumaningtyas, H. 2020. Buku saku identifikasi bambu. Direktorat
IPSDH, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
William JT, Rao IVR and Rao AN. 1995. Genetic Enhancement of Bamboo and Rattan. India:
International Network for Bamboo and Rattan. 159 pp.
Yuen, Jia Qi. , Fun, Tak., Ziegler, Alan D. 2017. Carbon stocks in bamboo ecosystems worldwide:
Estimates and uncertainties. Forest Ecology and Management Volume 393, 1 June 2017,
Pages 113-138
Zhao, Y., Feng, D., Jayaraman, D., Belay, D., Sebrala, H., Ngugi, J., Maina, E., Akombo, R., Otuoma, J.,
Mutyaba, J. and Kissa, S., 2018. Bamboo mapping of Ethiopia, Kenya and Uganda for the
year 2016 using multi-temporal Landsat imagery. International journal of applied earth
observation and geoinformation, 66, pp.116-125.
Zhang, M., Gong, P., Qi, S., Liu, C. and Xiong, T., 2019. Mapping bamboo with regional phenological
characteristics derived from dense Landsat time series using Google Earth
Engine. International Journal of Remote Sensing, 40(24), pp.9541-9555.
Daftar Pustaka | 39
Lampiran 1. Tally Sheet Pengukuran Bambu
Keterangan:
(1) Nama plot sesuai peta atau daftar dalam tahap perencanaan;
(2) Jumlah rumpun yang terdapat dalam plot
(3) Nama anggota regu (Ketua dan anggota);
(4) Tanggal, bulan dan tahun pelaksanaan;
(5) Koordinat di lapangan dan sertakan foto layar GPS
(6) Kondisi sesuai pengamatan di lapangan : murni bambu, dominasi bambu, dominasi vegetasi lain, murni vegetasi lain;
(7) Potensi hasil hutan bukan kayu lain yang terdapat dalam Plot
(8) Diameter setinggi dada atau 1,3 m ( jika tinggi lonjor dibawah 1,3 m maka diameter = 0);
(9) Tinggi lonjor jika kesulitan, dapat melihat lonjor di bagian luar rumpun ; tinggi lonjor diukur sampai dengan ketinggian yang bisa dimanfaatkan
(10) Tingkatan kelas umur bambu : rebung, bambu muda dan bambu tua;
(11) Kondisi lonjor : hidup atau mati dengan tingkat keutuhan dalam %
(12) Diukur pada diameter setinggi dada atau 1,3 m, hanya pohon dengan diameter > 10 cm yang diukur
(13) Tinggi pohon diukur dari pangkal sampai dengan puncak pohon
Lampiran 2. Daftar Pertanyaan Utama Wawancara
Teknik wawancara yang digunakan adalah Wawancara Setengah Terstruktur. Pertanyaan-
pertanyaan bersifat terarah tetapi diajukan ke responden bukan berbentuk rentetan pertanyaan.
Teknik wawancara lebih ke arah dialog atau bertutur cerita. Proses yang terjadi dalam wawancara
akan terbentuk secara alami, berevolusi, dan berlangsung di lingkungan akrab, mestinya menjurus
pada informasi yang mengalir, cerita, mitos dan fakta tentang spesies bambu lokal, hutan dan
masyarakat pedalaman, dll.
Beberapa penggalian informasi utama yang dapat digunakan saat wawancara dapat mencakup
hal-hal sebagai berikut :
CONTROL POINT)
PEMBUATAN JALUR
TERBANG
OTOMATIS MANUAL
PERSIAPAN WAHANA UAV
DESAIN GCP
PEMERIKSAAN
KELENGKAPAN DAN
LOGISTIK UAV PEMBUATAN GCP
DI LAPANGAN
HASIL FOTO
Untuk mengkonversi parameter pengukuran lapangan menjadi nilai potensi yang diharapkan
misalnya untuk menduga biomassa bambu, memerlukan persamaan allometrik. Berikut adalah beberapa
persamaan alometrik yang digunakan untuk penghitungan biomassa bambu.
Tabel 6. Daftar persamaan allometrik dari berbagai sumber untuk pendugaan aboveground biomass (AGB)
dan biomass lonjor (CB) bambu
Untuk membangun persamaan allometrik biomassa dan volume diperlukan data penebangan dan
penimbangan berat basah lonjor, serta pengambilan contoh untuk analisa berat kering di laboratorium.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dan langkah-langkah dalam penyusunan allometrik biomassa
dan volume antara lain:
a. Sampel bambu yang ditebang harus mewakili jenis, umur dan diameter bambu pada lokasi target.
b. Jumlah minimal bambu yang ditebang adalah 50 lonjor.
c. Tiap lonjor yang akan ditebang, dicatat jenis, umur dan diameternya
d. Lonjor yang telah ditebang, dipisahkan antara batang, cabang dan daun.