Eksistensi manusia, meng- ada- nya manusia (dasein)---makna “ada”---merupakan satu
fenomena yang tersembunyi.
1. Eksistensi sebagai “milik pribadi” dan berada dalam waktu
Setiap dasein mempunyai status personal atau individual.
Contoh; didi berbeda dg teman-teman dalam melihat setangkai bunga mawar.---
didi mempunyai pengalaman pahit dg bunga itu---ia memberikan bunga pada seorang gadis---tetapi ditolAK. ---Tindakan lebih lanjut si didi ---menghindari kontak dg bunga mawar---hingga sekarang. “milik pribadi”----lebih sekedar dari persepsi. Totalitas mengadanya si didi (misal dalam bentuk pemikiran, imajinasi, khayalan,cinta,benci) adalah juga milik pribadi si didi.
2. Ada -dalam –dunia
Ada----meng-ada-nya tidak bisa terlepas dari dunianya---tidak mungkin manusia dipisahkan dari dunianya. Makna: 1. Ada–Dalam artinya memiliki keterlibatan, keterikatan, komitmen dan keakraban 2. Ada----“dunia”---dimaksudkan dunia-manusia—yakni dunia pengalaman hidup keseharian, yang didalamnya manusia merasa terlibat, terikat, berkomitmen dan akrab. Dunia berpusat pada manusia (dasein) dan bersusaian dengan keadaan subyektif manusia----sehingga setiap kontak manusia dengan dunia sekitarnya (di luar dirinya) selalu ditandai dengan subyektivisnya. Benda-benda yang ada tidak dialami atau tidak dihayati oleh kita sebagai obyek- obyek fisik yang begitu saja, atau tanpa campur tangan kita. Tetapi sebaliknya benda-benda dihayati oleh kita dalam kaitanya dengan “cetak biru” pikiran, kemauan atau perasaan kita yg bersifat individu atau subyektif. Bagi saya (yg religius)----pantai adalah sebagai simbol kebesaran Tuhan YME Bagi wulan (pembisnis)---pantai adalah sebuah aset yang sangat berharga---sangat menguntungkan---untuk dibuat tempat wisata Dst. bagi orang lain---akan dipersepsikan seuai dengan kondisi subyek 3. Orang” (das man atau manusia impersonal) Siapakah dasaein yang ada dalam dunia itu?----yang pertama yaitu “orang” (das man) Manusia pada awalnya lari dari dirinya sendiri dan terperangkap dalam eksistensi yang anonim dan tidak otentik. Manusia enggan menerima ‘ADA-nya sendiri (milik sendiri) dan lebih suka memberikan atau menguasakan pada orang lain. ----manusia membuka lebar-lebar dirinya bagi orang lain dan mengizinkan mereka untuk membentuk dan mengarahkan eksistensinya. Yang dikejar adalah norma-norma atau konvensi- konvensi yang berlaku secara umum (publik) dan global. Misalnya cara berpakaian, bergaya, berpikir. Iklan dan media masa menjadi acuannya menjadi tujuan eksistensisnya. Ada alasan mengapa manusia memilih hidup menjadi “orang” (das man), menjadi tidak otentik. Hidup dengan tidak otentik----mengijinkan orang lain memutuskan apa yang terbaik baik bagi diri saya dan membiarkan mereka mengisi eksistensi saya.------ ini menjadi diri saya terbebaskan dari perasaan cemas yang akan menghimpit saya dan dari tanggung jawab yang akan membebani pundak saya. Memutuskan sendiri apa yang akan saya lakukan, seringkali menimbulkan rasa cemas, menanggung risiko apa yang akan terjadi, tetapi juga karena khawatir menjadi “lain” dari apa yang dipikirkan atau diperbuat oleh orang lain. Oleh karena itu bahwa manusia eksistensinya bertumpu pada orang lain, ia menyerah dan membiarkan dirinya terbawa arus di luar dirinya. Tidak ada perlawanan, selain dengan senang hati dan penuh suka cita, turut serta berpesta pora di dalam lingkungan orang lain. Bahkan untuk mengalami cita rasa, terkejut saja, kita tidak mau berbeda dari orang lain. Jadi eksistensi manusia pada awalnya memang adalah “orang”, jadi impersonal (anonim) dan tidak otentik
4. Suasana hati dan faktisitas
Manusia dalam kondisi terlempar—terdampar----manusia tidak memilih—tidak memiliki alternatif---misalnya untuk menjadi seorang perempuan atau laki-laki, ia tidak bisa memilih siapa ibunya. Ini adalah faktisitas manusia yang kemudian dibebankan pada dirinya dan menjadi miliknya pribadinya, tanpa diberi pilihan untuk menerima atau menolak. Manusia tidak lain adalah “ada” yang terdampar “di situ”, tetapi mempunyai tugas untuk menuju “ada-nya sendiri”. Dalam situasi seperti itu, perhubungan (keteritkatan, keterlibatan, komitmen dan keakraban) manusia dan dunianya ditandai oleh peran “suasana hati”. Suasana hati memberi peran/andil besar dalam memberi karakter-karakter tertentu pada benda pada manusia lain bahkan thd diri sendiri. 5. Kecemasan dan ketiadaan Kecemasan adalah kondisi mencekam, manusia berhadapan dengan ketiadaan. Berbeda dengan ketakutan---obyeknya jelas nampak. Obyek kecemasan— sesungguhnya adalah “tidak ada”, kapan dan dimanapun sesungguhnya tidak ada. Meskipun tidak ada---ketiadaan justru merupakan ancaman yang sangat nyata dan hebat. Mengancam eksistensi manusia. Eksistensi yg telah dibangun dengan susah payah—menjadi rentan, goyah, tidak pasti dan menggelandang karena terancam m3njadi tidak ada. Manusia tidak dapat melepaskan diri dari ketiadaan, karena ketiadaan selalu hadir di tengah-tengah ada dan manusia. Manusia hanyalah menunda ketiadaan, menunda kemungkinan untuk menjadi tidak ada. Adapun puncak dari ketiadaan itu adalah kematian. 6. Kematian dan hati nurani Menerima peristiwa kematian berarti menerima kenyataan bahwa manusia tidak lain adalah “ada-menuju-kematian---berarti membuka diri lebar-lebar menuju eksistensi yang ontentik atau diri yang solid. Dengan menerima kematian yang identik dengan ketiadaan dan kesendirian total yang mencekam, manusia terpanggil utnuk melepaskan diri dari kuasa kontrol orang lain—yang membuat eksistensi menjadi dangkal dan tidak otentik. Dengan demikian muatan eksistensinya akan diisi oleh dirinya sendiri.----yang berarti manusia bersedia mendengarkan panggilan “hati nurani-nya sendiri---yakni panggilan jiwa— panggilan dari dalam diri sendiri—panggilan hati nurani---pada taraf inilah manusia menjalani eksistensinya yang otentik.
7. Keprihatinan dan temporalitas
Akar dari suasana hati adalah keprihatinan---jauh dibawah ketaksadaran. Suasana hati adalah akibat dari keprihatinan ini. Manusia prihatin atas faktistas. Keprihatinan berhubungan dengan waktu (tempo). Setiap meng-ada-nya manusia selalu melibatkan waktu ---1) kemungkinan-kemungkinan eksistensinya di masa depan, 2) sudah terlempar dan terikat dengan masa lalu, dan 3) jatuh dalam kuasa (kontrol) orang lain dan hidup dalam rutinitas keseharian yang dangkal.