Anda di halaman 1dari 16

Nama : RAHAYANAH

Nim : J1B123015
Kelas : GIZI A
Mata kuliah : EPIDEMIOLOGI GIZI

MENILAI VALIDITAS KUESIONER FREKUENSI MAKANAN


YANG DIKELOLA SENDIRI (FFQ) PADA POPULASI ORANG
DEWASA DI NEWFOUNDLAND DAN LABRADOR, KANADA
Lin Liu1, Peizhong Peter Wang1,2,3*, Barbara Roebothan1, Ann Ryan4, Christina Sandra Tucker1,Jennifer
Colbourne1 ,Natasha Baker1, Michelle Cotterchio5, Yanqing Yi1dan Guang Sun6

Kuesioner Frekuensi Makanan dirancang untuk menilai kebiasaan makan


dengan menanyakan frekuensi konsumsi makanan tertentu selama periode referensi .
Alat ini telah menjadi metode penilaian pola makan yang paling sering digunakan dalam
studi epidemiologi skala besar dan penelitian nutrisi lainnya. Dibandingkan dengan
Metode penilaian pola makan lainnya, FFQ mudah dilakukan, memiliki biaya yang
relatif rendah, dan memberikan perkiraan cepat mengenai asupan makanan biasa . FFQ
dan asupan biasa yang sebenarnya . Penarikan kembali makanan berulang kali , catatan
makanan , dan biomarker umumnya dianggap sebagai ukuran referensi asupan nutrisi
yang lebih akurat, dan dengan demikian dapat digunakan dalam mengukur validitas
FFQ. Korelasi validasi bervariasi tergantung pada nutrisi, tetapi biasanya berkisar antara
0,40 hingga 0,70 .

FFQ banyak digunakan di seluruh dunia untuk survei epidemiologi nutrisi.


Namun karena adanya perbedaan pasokan pangan dan kebiasaan makan antara satu
populasi dengan populasi lainnya, tidak ada FFQ yang diterima secara universal dan
dapat digunakan untuk semua populasi.Contoh rekrutmen dan desain studi Berdasarkan
informasi yang diperoleh dari data FFQ proyek CRC yang sedang berjalan dan nilai
koefisien korelasi yang dapat diterima secara umum sebesar 0,6, ukuran sampel
minimum untuk penelitian ini ditentukan untuk menjadi 98 peserta. Studi validasi
berlangsung kurang lebih satu tahun dan setiap subjek dihubungi minimal tiga kali.
Tingkat gesekan sebesar 30% per langkah diharapkan. Oleh karena itu, diperlukan
ukuran sampel awal sebanyak 450 subjek. Selama bulan Februari 2011, pewawancara
telepon berpengalaman merekrut sampel dewasa NL dewasa berbasis populasi secara
acak, berusia 35-70 tahun, menggunakan daftar nomor telepon rumah yang dibeli dari
Info Canada.

Setelah mengecualikan nomor telepon non-perumahan, 683 subjek potensial


diidentifikasi memenuhi syarat dan 432 pada awalnya setuju untuk berpartisipasi dalam
penelitian ini. Kriteria yang memenuhi syarat mencakup penduduk dewasa yang tidak
dilembagakan di NL selama setidaknya dua tahun tanpa niat untuk pindah dalam 12
bulan ke depan; berusia 35–70 tahun inklusif pada saat wawancara ; mampu berbicara
dan membaca bahasa Inggris pada tingkat kelas 8; dan tanpa kondisi medis spesifik
yang teridentifikasi.Etika dalam Penelitian Manusia , Memorial University
ditambahkan. Hal ini menghasilkan daftar item instrumen. FFQ mengharuskan peserta
untuk mengingat berapa kali setiap jenis makanan dikonsumsi per hari, per minggu, per
bulan, atau jarang/ tidak pernah dikonsumsi selama 12 bulan terakhir. Hal ini juga
mengharuskan peserta untuk mengingat berapa bulan dalam setahun makanan tersebut
dikonsumsi untuk memperhitungkan musimanvariasi asupan. Recall diet 24 jam
dilakukan tanpa pemberitahuan sebelumnya dan dilakukan melalui telepon oleh
pewawancara terlatih. pola makan dan penyakit .

Penelitian ini menunjukkan bahwa FFQ mandiri sebanyak 169 item yang
dikembangkan sebelumnya cukup valid untuk penilaian pola makan pada populasi
orang dewasa umum di NL.namun tidak ada standar emas untuk pengukuran asupan
makanan. Sangat penting agar kesalahan kedua metode yang digunakan dalam
penelitian ini sedapat mungkin independen satu sama lain mengandalkan memori jangka
pendek. Selain itu, metode 24-HDR berbasis pewawancara dengan menggunakan
pertanyaan terbuka, sedangkan FFQ dilakukan sendiri dengan pertanyaan
tertutup.Terlalu salah klasifikasiTerdapat lebih banyak perempuan dibandingkan laki-
laki yang berpartisipasi dalam penelitian ini. Alasannya mungkin karena perempuan
lebih bersedia peduli terhadap asupan gizi dan kesehatan dibandingkan laki-laki.

Kesimpulannya, FFQ sebanyak 169 item yang dikembangkan khusus untuk


populasi NL memiliki validitas relatif sedang dan oleh karena itu dapat digunakan
dalam penelitian untuk menilai konsumsi makanan pada populasi umum NL. Selain itu,
FFQ inimampu mengklasifikasikan asupan individu ke dalam kuartil, yang berguna
dalam menguji hubungan antara pola makan dan penyakit kronis termasuk CRC.
Validasi tersebut tidak hanya membantu analisis dan interpretasi data yang dikumpulkan
selama penelitian CRC dengan segera, namun juga berkontribusi besar terhadap
penelitian epidemiologi di masa depan dan penelitian nutrisi lainnya di NL. Upaya lebih
lanjut harus dilakukan untuk mengevaluasi reproduktifitas FFQ saat ini.

ANALISIS GENDER DALAM PENGEMBANGAN DAN VALIDASI


FFQ: TINJAUAN SISTEMATIS
Hanna Lee1, Minji Kang2, Lagu Won Ok3, Jae Eun Shim4dan Hee Young Paik1,2*
1Departemen Pangan dan Gizi, Universitas Nasional Seoul, 1 Gwanak-ro, Gwanak-gu, Seoul 08826, Republik Korea
2Lembaga Penelitian Ekologi Manusia, Sekolah Tinggi Ekologi Manusia, Universitas Nasional Seoul, 1 Gwanak-ro, Gwanak-gu,
Seoul, Republik Korea
3Departemen Ilmu Pangan dan Gizi Manusia, Michigan State University, 220 Trowbridge Rd, East Lansing, MI 48824, AS
4Departemen Pangan dan Gizi, Universitas Daejeon, 62 Daehak-ro, Dong-gu, Daejeon 34520, Republik Korea
(Revisi final diterima 22 Desember 2014 – Dikirim 28 Agustus 2015 – Diterima 29 September 2015 – Pertama kali diterbitkan
online 11 Desember 2015)

FFQ umumnya digunakan dalam studi epidemiologi nutrisi mengenai pola


makan dan penyakit karena kemampuannya untuk mengukur secara bersamaan tingkat
asupan berbagai komponen makanan. Kuesioner ini juga sangat hemat biaya karena
dapat dikelola sendiri dan dibaca oleh komputer. FFQ terdiri dari daftar jenis makanan
yang dipilih oleh peneliti, kategori frekuensi untuk menentukan konsumsi yang biasa,
dan ukuran ukuran porsi. Responden FFQ diminta melaporkan frekuensi konsumsi dan
jumlah makanan yang rutin dikonsumsi. FFQ memiliki variasi besar dalam karakteristik
desain, termasuk perbedaan dalam jenis makanan yang disertakan dan pertanyaan
tentang ukuran porsi variabilitas seperti itu dapat sangat mempengaruhi respons dan
perhitungan asupan.

Pendekatan yang sering digunakan dalam mengembangkan FFQ yang


ditargetkan pada populasi tertentu adalah dengan mencari data pola makan spesifik
populasi terkini yang dapat digunakan untuk menentukan jenis makanan, ukuran porsi,
dan database nutrisi yang harus disertakan. Namun, masih belum diketahui apakah
perbedaan gender dalam jenis makanan dan ukuran porsi cukup diperhitungkan selama
pengembangan FFQ. Selain itu, penggunaan FFQ spesifik gender harus diperiksa untuk
menentukan apakah hasil keseluruhan akan terpengaruh.
Berdasarkan seleksi studi Untuk mengevaluasi apakah FFQ yang dipublikasikan
dikembangkan dan divalidasi dengan pertimbangan gender, literatur ditelusuri untuk
studi validasi yang dipublikasikan, dan proses pengembangan dan validasi kemudian
diperiksa. Pencarian PubMed menggunakan kombinasi 'FFQ' 'Validasi' dan 'Validitas'.
Berdasarkan klasifikasi studi pembangunan setelah meninjau prosedur pengembangan
196 FFQ, FFQ diklasifikasikan sebagai 'khusus gender' jika gender dipertimbangkan
ketika memilih jenis makanan, ukuran porsi, atau keduanya. Semua FFQ yang tersisa
diklasifikasikan sebagai FFQ 'tidak spesifik gender '. Beberapa metode kelompok lain
melakukan analisis regresi berganda bertahap untuk mengidentifikasi makanan yang
penting dalam memprediksi asupan nutrisi individu, dan analisis ini diikuti dengan
prosedur tambahan termasuk identifikasi makanan dan resep melalui analisis regresi
berganda bertahap, yang dilakukan secara terpisah untuk pria dan wanita. Dalam
penelitian lain, digunakan ukuran porsi rata-rata, menurut jenis kelamin dan usia yang
diperoleh dari survei nasional.

Ada empat faktor perilaku penggunaan tembakau ; a) aktivitas fisik yang tidak
memadai, b) penggunaan alkohol yang berbahaya,dan c) pola makan yang tidak sehat.
Telah diselidiki secara aktif dalam etiologi dan penatalaksanaan NCD. FFQ telah
banyak digunakan untuk memperkirakan tingkat asupan konstituen makanan untuk studi
tentang hubungan penyakit pola makan FFQ. Pemilihan item makanan dan ukuran porsi
yang terkait sangat penting untuk penilaian faktor makanan yang akurat. Perbedaan
gender dalam preferensi makanan dan jumlah konsumsi dapat dengan mudah diamati.

Tinjauan sistematis ini berfokus pada bagaimana perbedaan gender


dipertimbangkan selama pengembangan FFQ, dan bagaimana kekhususan gender
mempengaruhi hasil studi validasi FFQ. Di antara 196 studi pengembangan FFQ yang
ditemukan dalam literatur, perbedaan gender hanya diperhitungkan dalam 10 %
studi. Perbedaan gender lebih sering dipertimbangkan ketika menentukan ukuran porsi
dibandingkan pemilihan jenis makanan. Karena terjadinya banyak penyakit berbeda-
beda berdasarkan gender, masih belum diketahui secara pasti apakah validasi tanpa
desain atau analisis yang tepat berdasarkan gender dapat dilakukan untuk mendeteksi
hubungan antara pola makan dan penyakit.
Untuk 58 % dari empat puluh lima jenis makanan, yang semuanya dikonsumsi
dengan frekuensi yang cukup, rasionya lebih besar pada laki-laki . Oleh karena itu, perlu
adanya pertimbangan yang lebih matang dalam menentukan besaran porsi untuk pria
dan wanita. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa NGS-FFQ yang tidak
mempertimbangkan perbedaan ukuran porsi antara perempuan dan laki-laki mungkin
melebih-lebihkan asupan nutrisi perempuan dibandingkan dengan kadar yang diperoleh
dengan menggunakan metode referensi. Sebagai perbandingan, perkiraan asupan nutrisi
pria secara keseluruhan dengan menggunakan NGS-FFQ serupa dengan perkiraan yang
diperoleh dengan menggunakan metode referensi.

Hasil ini tampaknya sebagian disebabkan oleh fakta bahwa NGS-FFQ dan
metode referensi menunjukkan kesalahan pengukuran yang umum terjadi pada
pria. Dibandingkan dengan perempuan, laki-laki lebih cenderung melaporkan kesulitan
dalam mengingat apa dan berapa banyak yang mereka makan selama survei pola
makan. Sebaliknya, perkiraan asupan menggunakan GS-FFQ memiliki pola yang
sama, terlepas dari apakah itu terjadi pada pria atau wanita. Penelitian kami adalah
penelitian pertama yang menilai kinerja FFQ berdasarkan apakah gender
dipertimbangkan selama tahap pengembangan.
POLA MAKAN DAN FAKTOR- FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI STATUS GIZI ANAK DI POSYANDU
JAKARTA UTARA

Diet and Nutritional Status Profile of Under


Five Years Old Chiildren in Posyandu In North Jakarta
Barnadetha Beatrix Sibarani1, Made Astwan2, Nurheni Sri Palupi3
1
Peogran studi magister profesional Teknologi Pangan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
2
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Pola makan balita dinilai salah satunya menggunakan food recall 1x24 jam
diolah menggunakan program Nutrisurvei untuk mendapatkan nilai energi, protein,
lemak, karbohidrat, besi, kalsium, fosfor, vitamin A, C dan D. Nilai asupan zat gizi
dibandingkan dengan AKG 2013 untuk memperoleh persentase pemenuhan zat gizi dan
digunakan untuk menentukan terpenuhi atau tidaknya asupan zat gizi masingmasing
kelompok umur. Pola makan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi
beserta empat faktor lain sebagai variabel independen. Status gizi ditentukan
menggunakan acuan Berat Badan menurut Umur dan Lingkar Lengan Atas menurut
Umur . Jumlah responden 70 balita dari dua posyandu di Jakarta Utara. Posyandu
dipilih mewakili dua keadaan sosial demografi. Analisis data menggunakan korelasi
Chi-square. Selang kepercayaan yang digunakan 95%.

Masa balita merupakan masa yang paling penting dan perlu untuk mendapatkan
perhatian dalam proses partumbuhan dan perkembangan anak. Untuk itu dalam masa
ini, perlu untuk selalu melakukan pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak.
Anak menempati posisi strategis dalam pembangunan sumberdaya manusia masa depan.
Anak merupakan kelompok penduduk yang paling rentan terhadap gangguan kesehatan
dan gizi karena status imunitas, diet dan psikologi anak belum dewasa atau masih dalam
taraf perkembangan.

Data Riskesdas 2013 secara nasional, menunjukkan prevalensi berat-kurang


pada tahun 2013 adalah 19.6%, terdiri dari 5.7% gizi buruk dan 13.9% gizi kurang.
Kejadian tersebut meningkat dibandingkan dengan angka prevalensi nasional tahun
2007 dan tahun 2010. Perubahan terutama terjadi pada prevalensi gizi buruk yaitu dari
5.4% tahun 2007, 4.9% pada tahun 2010, dan 5.7% tahun 2013. Prevalensi gizi kurang
naik sebesar dari 2007 dan 2013. Untuk mencapai sasaran milenium development goal
tahun 2015 yaitu 15.5%maka prevalensi gizi buruk-kurang secara nasional harus
diturunkan sebesar 4.1% dalam periode 2013 sampai 2015 . Yang berarti masalah gizi
buruk-kurang di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, mendekati
prevalensi tinggi. Status gizi merupakan hasil masukan zat gizi makanan dan
pemanfaatannya di dalam tubuh, untuk mencapai status gizi yang baik diperlukan
pangan yang mengandung zat gizi cukup dan aman untuk dikonsumsi. Bila terjadi
gangguan kesehatan, maka pemanfaatan zat gizi pun akan terganggu.

Survei konsumsi merupakan metode yang dapat digunakan untuk menentukan


status gizi perorangan atau kelompok. Tujuan dari survei konsumsi yaitu untuk
mengetahui kebiasaan makan, gambaran tingkat kecukupan bahan makanan, dan zat gizi
pada tingkat kelompok, rumah tangga, serta perorangan. Metode yang dapat digunakan
untuk survei konsumsi terdiri dari metode kualitatif, kuantitatif, dan gabungan
keduanya. Metode yang bisa digunakan adalah food frequency questionnaire untuk
metode kualitatif dan repeated 24-H food recall untuk metode kuantitatif melalui
pengukuran konsumsi dua atau tiga hari untuk mendapatkan jumlah asupan zat gizi
yang dikonsumsi oleh balita. Pada penelitian ini data yang digunakan adalah data
kuantitatif yang berasal dari pengukuran asupan zat gizi melalui metode recall 1x24
jam. Selain faktor konsumsi makan dan faktor infeksi atau kesehatan. Di dukung dengan
faktor ketersediaan sumber daya keluarga seperti pendidikan dan pengetahuan ibu,
pendapatan keluarga, pola pengasuhan, sanitasi dan kesehatan rumah, ketersediaan
waktu serta dukungan ayah, sebagai faktor yang mempengaruhi status gizi. Status gizi
balita secara tidak langsung dipengaruhi oleh status sosial ekonomi keluarga.
Masyarakat yang tergolong miskin dan berpendidikan rendah merupakan kelompok
yang paling rawan gizi. Apabila status sosial ekonomi rendah maka kebutuhan makanan
keluarga kurang terpenuhi sehingga balita akan memiliki status gizi kurang. Faktor
lingkungan tempat tinggal sangat berperan penting terhadap pertumbuhan balita. ZT
120 dengan kapasitas maksimal 120 kilogram, pengukur tinggi badan merek SMIC ZT
120 dengan maksimal tinggi 190 cm, dan pita ukur LILA dari bahan fiberglass.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kuantitatif. Desain penelitian yang
digunakan adalah desain studi deskriptif cross sectional, yaitu suatu penelitian di mana
variabel-variabel yang termasuk efek diobservasi sekaligus dalam waktu yang
bersamaan. Penelitian dilakukan melalui wawancara terstruktur menggunakan kuesioner
dan lembar food recall 1x24 jam untuk melihat karakteristik dan gambaran pola
pemberian makan dan asupan makanan pada balita

Data antropometri diperoleh dengan melakukan pengukuran yang meliputi


pengukuran berat badan, tinggi badan, dan lingkar lengan bagian atas dari balita yang
dimiliki oleh responden. Data yang dikumpulkan meliputi: data primer dan sekunder.
Data primer diperoleh melalui metode kuesioner dan wawancara. Data primer yang
dikumpulkan meliputi identitas responden , pengetahuan gizi ibu, pola asuh kesehatan
anak balita, pola asuh diri anak balita dan data food recall 1x24 jam.

Jumlah balita yang berusia 24-59 bulan dari posyandu Sukapura berjumlah 77
balita, jika menggunakan rumus Slovin maka diperoleh jumlah responden minimal 65
balita. Terdapat perbedaan jumlah responden antara posyandu Kelapa Gading dan
Sukapura, karena pada posyandu Kelapa Gading secara keseluruhan, tidak semua balita
datang ke posyandu untuk mengikuti kegiatan penimbangan rutin setiap bulan. Warga
yang berada di sekitar posyandu Kelapa Gading banyak yang membawa balitanya ke
dokter pribadi atau rumah sakit untuk pemeriksaan rutin setiap bulannya sehingga
meskipun yang terdaftar di posyandu jumlah balitanya banyak, tetapi yang datang untuk
penimbangan ke posyandu jumlahnya sedikit. Jumlah responden yang ditetapkan adalah
mengikuti jumlah responden minimal yang berasal dari posyandu Kelapa Gading, yaitu
sejumlah 35 responden.

Data antropometri pengukuran berat badan balita dilakukan dengan cara balita
berdiri diatas timbangan berat badan kemudian dicatat berat badan balita. Tinggi badan
balita dilakukan pengukuran ketika balita berdiri diatas timbangan berat badan dengan
menarik Microtoise pada sisi depan timbangan kemudian dicatat tinggi badan balita.
Lingkar lengan bagian atas dari balita dilakukan pengukuran dengan menggunakan pita
ukur LILA dari bahan fiberglass. Pengukuran dilakukan pada pertengahan antara ujung
bahu dengan ujung sikut pada tangan yang tidak aktif kemudian dicatat lingkar lengan
atas dari balita. Analisis data dilakukan secara deskriptif
HUBUNGAN ANTARA GOLONGAN DARAH DAN PENYAKIT
JANTUNG KORONER: Desain Cross Sectional
Yoma Kristiani Tarukbua
Lucia Panda
Ventje Kawengian

Penyakit jantung Koroner adalah penyakit jantung yang disebabkan


penyempitan arteri koroner, mulai dari terjadinya aterosklerosis maupun yang sudah
terjadi penimbunan lemak pada dinding arteri koroner, baik disertai gejala klinis atau
tanpa gejala sekalipun.Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi penyakit kardiovaskuler
berkisar antara2,6% di Lampung hingga 12,6% di NAD dan proporsi kematian akibat
penyakit ini mencapai 4,6%.Faktor-faktor risiko yang berperan meningkatkan kematian
di negara-negara berkembang seperti Indonesia hipertensi, penggunaan tembakau
kolesterol tinggi alkohol, obesitas, rendahnya konsumsi buah sayuran underweight,
indoor smoke from solid fuels , defisiensi besi , serta sanitasi dan higine air yang tidak
sehat.
Menurut Meian He dkk dalam American Heart Association, tipe golongan darah
ABO menjadi salah satu faktor risiko PJK. Terdapat dua hasil riset berskala besar
berdasarkan Nurses’ Health Study yang melibatkan 62.073 perempuan dan Health
Professionals Follow-up Study yang melibatkan 27.428 laki-laki dilakukan penelitian
kohort prospektif dengan masa follow up > 20 tahun .Golongan darah ABO secara
bermakna dikaitkan dengan meningkatnya risiko PJK baik pada perempuan maupun
laki-laki. Harvard Study menyimpulkan bahwa pemilik golongan darah AB berisiko 23
persen lebih besar atau paling rentan terserang penyakit jantung bila dibandingkan
dengan orang-orang yang bergolongan darah B, A, O. Golongan darah B memiliki
peningkatan 11 persen terkena PJK, golongan darah 5 persen, dan yang paling kecil PJK
adalah golongan O. Prof. Dr. R. D Kandou, Manado. Dengan populasi yaitu penderita
PJK dan populasi terjangkau yaitu penderita PJK di rumah sakit tersebut. Jantung BLU
RSUP Prof. Dr.R.D Kandou, Manado yang bersedia dijadikan sebagai subjek
penelitian.Variabel bebas yaitu golongan darah dan variabel terikat yaitu PJK. RSUP
Prof. Dr. R. D Kandou, Manado.Instrumen yang digunakan untuk penelitian ini yaitu
jarum, kartu golongan darah, kapas steril, alkohol 70%, hand skun, dan alat tulis
menulis maksimal 20% dari jumlah sel, yang merupakan syarat uji Chi Square. Jumlah
subjek pada penelitian ini adalah 42 orang, sedangkan jumlah minimal yang dibutuhkan
berdasarkan cara pengambilan sampel adalah 20 orang. Karakteristik responden
karakteristik dari segi umur memperlihatkan, pada kelompok umur 4150 responden,
>70.14 responden. Analisis bivariat golongan darah dan PJK dijelaskan pada tabel
silang
Penelitian ini yaitu menggunakan pasien yang sudah terdiagnosis PJK.
Penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan bermakna atau korelasi antara
golongan darah dengan PJK. Adanya perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya dimungkinkan karena adanya perbedaan jumlah sampel yang signifikan dan
pada penelitian ini responden yang diambil adalah yang sudah menderita PJK.

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU MAKAN DENGAN STATUS


GIZI PADA REMAJA PUTRI
Hilda Rizki, Setyo Dwi Widyastuti, Depi Yulyanti, Saltsabilla Rahmani Putri

Remaja adalah usia perpindahan atau peranjakan dari masa anak-anak menuju
dewasa. Kemenkes RI telah menetapkan kategori periode usia remaja yaitu berusia
antara 10-18 tahun.Pada usia remaja akan mengalami pertumbuhan fisik, psikis serta
perilakunya. Pada usia ini, remaja mengalami proses pencarian identitas diri dan
berusaha mengenal dirinya sendiri, banyak remaja yang mengalami kegagalan di masa
ini dan menimbulkan berbagai masalah. Masalah yang dialami remaja cukup kompleks
dan dapat berpengaruh terhadap kesehatan dan perilakunya. Menurut Riset Kesehatan
Dasar tahun 2018, diketahui bahwa prevalensi gizi pada remaja di Indonesia mengalami
peningkatan dari tahun sebelumnya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena perilaku
makan remaja putri yang tidak baik sehingga dapat mempengaruhi status
gizinya. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan antara perilaku makan
dengan status gizi pada remaja putri. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian
Literature Review dengan pendekatan systematic literature review. Populasi dalam
penelitian ini adalah remaja putri. Proses pelaksanaan penelitian ini yaitu dengan
mengumpulkan artikel yang berhubungan dengan topik penelitian dan dirangkum dari
berbagai penelitian yang telah melalui proses pencarian, seleksi, penilaian dan sintesis
untuk menjawab pertanyaan peneliti. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan 4 artikel
yang menyatakan ada hubungan antara perilaku makan dengan status gizi pada remaja
putri dan 1 artikel yang mengatakan tidak ada hubungan. Perilaku merupakan kebiasaan
atau perilaku seseorang yang berhubungan dengan konsumsi makanan.

Ketidakseimbangan antara konsumsi gizi dengan kecukupan gizi yang


dianjurkan akan menyebabkan masalah gizi pada remaja, masalah gizi pada remaja akan
muncul dikarenakan perilaku gizi yang salah. Pada hasil observasi yang dilakukan oleh
peneliti sebagian besar remaja putri menikmati jajanan di sekolah, mengonsumsi
makanan siap saji, makanan rendah gizi dan tinggi kalori. Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh dengan judul hubungan antara perilaku dengan status gizi pada
remaja putri di SMAN 2 Tambang diketahui bahwa ada hubungan antara perilaku
makan dengan status gizi pada remaja putri di SMAN 2 Tambang. Faktor yang
mempengaruhi status gizi pada remaja secara tidak langsung yaitu salah satunya karena
faktor individu yang meliputi usia, jenis kelamin dan pengetahuan remaja. Umur
memiliki peran penting dalam pemilihan makanan begitupun karakteristik remaja yang
menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi yang cukup akan sulit menetukan asupan
gizi yang sesuai dengan kebutuhannya. Sehingga diperlukan peningkatan pengetahuan
gizi pada remaja putri di SMAN 2 Tambang agar tidak lagi membatasi porsi makan dan
dapat mengonsumsi makanan sesuai dengan kebutuhan dengan memperhatikan jenis
makanan, jumlah dan waktu konsumsi makanan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh dengan judul hubungan antara perilaku makan dengan citra tubuh
dengan status gizi remaja usia 15-18 tahun. Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2018,
diketahui bahwa prevalensi gizi pada remaja diIndonesia mengalami peningkatan dari
tahun sebelumnya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena perilaku makan remaja putri
yang tidak baik sehingga dapat mempengaruhi status gizinya.
FAKTOR RISIKO OBESITAS PADA REMAJA: STUDI CASE-
CONTROL
Risk Factors for Obesity in Aduolescent: A Case-Control Study
Pipiet Riany,Aripin Ahmad,Nizam Ismail

Masa remaja (10-18 tahun) merupakan periode rentan gizi karena


multifaktor,antara lain remaja memerlukan zat gizi yanglebih tinggi karena masa
peningkatan pertumbuhan fisik dan adanya perubahan gaya hidup dan kebiasaan
makan.Perubahan tersebut terjadi karena globalisasi secara luas. Remaja merupakan
salah satu kelompok sasaran yang berisikomengalami gizi lebihGizi lebih padaremaja
ditandai dengan berat badan yangrelatif berlebihan bila dibandingkan dengan usia atau
tinggi badan remaja sebaya,sebagai akibat terjadinya penimbunan lemak yang
berlebihan dalam jaringanlemak tubuh. Prevalensi obesitas di kalangan dewasa muda
dilaporkan menjadi 35,7% pada tahun2016. Demikian pula, remaja antara usia
1219tahun memiliki tingkat prevalensi obesitas yang dilaporkan sebesar 20,6%.
Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018 menunjukkan bahwa prevalensi
kejadian obesitas sentral pada umur 15 tahun sebesar 31% berdasarkan indikator lingkar
perut pada perempuan >80 cm dan laki-laki >90 cm serta mengalami trend peningkatan
mulai dari tahun 2007. Pada tahun 2007 prevalensi kejadian obesitas sentral pada umur
15 tahun sebesar 18,8%dan naik 7,8% pada tahun 2013. Provinsi Aceh merupakan
provinsi dengan prevalensi kejadian obesitas yang berada dibawah prevalensi nasional
yaitu dengan persentase 30% di tahun 2018.
Penelitian ini menganalisis multifaktor yang berkontribusi terhadap terjadinya
obesitas pada remaja yaitu pendapatan, pendidikan, pekerjaan dan umur, jenis kelamin
dan riwayat obesitas orang tua. Mengingat prevalensi obesitas pada remaja di Provinsi
Aceh yang cukup tinggi maka penelitian ini perlu dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian obesitas pada remaja. Banda
Aceh pada Bulan Januari s/d Maret Tahun 2020. Populasi pada penelitian ini adalah
seluruh siswa/i kelas I, II dan III yang terdaftar pada sekolah menengah atas sewilayah
Kota Banda Aceh pada periode penelitian. Berdasarkan hasil perhitungan sampel
diperoleh sebanyak 87 sampel. Perbandingan antara sampel kasus dan control adalah
1:1 sehingga total sampel adalah 174 sampel yang terdiri dari 87 sampel kelompok
kasus dan 87 sampel kelompok kontrol Sampling. Metode pengumpulan data pada
variabel obesitas dengan cara pengukuran antropometri yaitu penimbangan berat badan
dan pengukuran tinggi badan.
Hasil uji statistik menunjukkan pengaruh pendidikan tinggi terhadap obesitas
siswa didapat OR= 2,1 dengan p=0,085. sehingga dapat diketahui sampel dengan
pendidikan orang tua tinggi memiliki risiko mengalami obesitas 2 kali lebih besar
dibandingkan dengan sampel pendidikan orang tua rendah dan secara statistik tidak
berhubungan. Hasil analisis bivariat pada pekerjaan orangtua diperoleh proporsi
pekerjaan orang tua tetap pada kasus lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol 24,1%.
Hasil analisis bivariat diperoleh proporsi riwayat obesitas pada orang tua pada kasus
lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol 10,3%.
Riwayat obesitas orang tua merupakan faktor risiko obesitas pada remaja.
Obesitas dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Obesitas diturunkan dari
keluarga bisa merupakan faktor genetic. Ali & Nuryani dalam penelitian menyimpulkan
bahwa riwayat obesitas pada orang tua meningkatkan risiko obesitas Genetik
merupakan kondisi gen yang diwariskan pada generasi selanjutnya dimana kerentanan
genetik terhadap obesitas masih sangat tinggi. Obeistas monogenik telah terjadi secara
ekstensif dan kondisi ini sangat parah dan terdapat pada masa anak-anak. Sosial
ekonomi keluarga merupakan keadaan keluarga dilihat dari pendidikan orang
tua,penghasilan orang tua,status pekerjaan orang tua dan jumlah anggota keluarga.Kelas
sosial dan status sosial ekonomi mempengaruhi prevalensi terjadinya overweight.
Hasil uji statistik menunjukkan pengaruh pendidikan tinggi terhadap obesitas
siswa didapat OR= 2,1 dengan p=0,085. Sehingga dapat diketahui sampel dengan
pendidikan orang tua tinggi memiliki risiko mengalami obesitas 2 kali lebih besar
dibandingkan dengan sampel pendidikan orang tua rendah dan secara statistik tidak
berhubungan. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi tanpa disertai pengetahuan
tentang gizi yang baik, maka tidak memberi pengaruh pada kemampuan ibu untuk
menyediakan makanan sesuai dengan syarat gizi untuk anggota keluarga.
EFEK MODIFIKASI FAKTOR RISIKO MODIFIABLE PENYAKIT
JANTUNG KORONER: A HOSPITAL-BASED
MATCHED CASE CONTROL STUDY
Defriman Djafri,Monalisa Fauziah,Elytha Rizanda Machmud
Departemen Epidemiologi dan Biostatistik, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Andalas
Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Penyakit Tidak Menular merupakan penyebab kematian utama di dunia. 63%


dari total kematian disebabkan penyakit tidak menular, penyakit kardiovaskular
berkontribusi terbesar dibanding dengan penyakit yang lain yaitu 48%. 80% dari
kematian tersebut terjadi pada negara-negara berpendapatan rendah dan menengah
maka pada tahun 2015 diperkirakan sekitar 20 jutamorang akan meninggal akibat
penyakit kardiovaskular khususnya penyakit jantung. Berdasarkan Hasil Riset
Kesehatan Dasar 2007, prevalensi penyakit jantung di indonesia 7,2%. Sebanyak 16
provinsi memiliki prevalensi diatas rata-rata prevalensi nasional. Kejadian Darussalam.
Kejadian prevalensi hipertensi di Sumatera pada tahun sebesar 7,6% menjadi 9,5%.
Dengan terus meningkat nya kejadian dari tahun membuat ini mengkhawatirkan karena
hampir semua pasien PJK yang berobat ke fasi-litas kesehatan sudah dalam komplikasi
dengan penyakit lain sehingga risiko PJK akan semakin meningkat.

Global Atlas on Cardiovascular Disea ses Prevention and Control bahwa


diabetes mellitus, dan dislipin demia utama jantung koroner. Sedangkan faktor risiko
lain yang dapat dicegah adalah obesitas, merokok, aktifitas fisik yang kurang. World
Heart Federation menyatakan modifiable risk factor adalah hi pertensi, merokok,
diabetes mel-litus, kurang aktifitas fisik, diet tidak sehat, dislipidemia obesitas,
sedangkan non-modifiable risk factor adalah jenis kelamin keturunan. Selain itu juga
penelitian yang dilakukan Warni menunjukkan bahwa riwayat DM keluarga,
dislipidemia, merokok, kolesterol, trigleserida, hipertensi, diabetes, obesitas faktor
risiko PJK. Rumah Sakit Umum Pusat DR. M. Djamil merupakan rumah sakit umum
pusat dimana RSUP DR. M. Djamil sebagai rumah sakit rujukan sumatera bagian
tengah. RSUP DR. M. Dja mil Padang menunjukkan bermakna dari tahun. RSUP DR.
M. Djamil Padang 2016.
Penelitian ini merupakan studi kuanti-tatif yang menggunakan rancangan match
case control study. Penelitian ini menggunakan sampel dari kelompok kasus dan
kelompok kontrol dan kemudian melihat pengaruh faktor risiko modifiable terhadap
hubungan hipertensi dengan penyakit jantung koroner. RSUP DR.M. Djamil Padang
pada Bulan Desember sampai April 2015. Populasi kasus pada penelitian ini adalah
semua pasien rawat inap yang berusia 45 tahun di bagian Instalasi Penyakit Dalam yang
dinyatakan penyakit jantung koroner dan tercatat dalam rekam medik sebagai pasien
RSUP DR.M.

Responden yang menderita hipertensi berisisko 16,04 kali menderita penyakit


Penyakit Jantung Koroner daripada responden yang tidak menderita hipertensi.
Peningkatan tekanan da-rah merupakan beban yang berat untuk jantung, sehingga
menyebabkan hipertropi pada ventrikel kiri atau infard miokard. Tekanan darah yang
tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh
darah arteri koronaria, sehingga memudahkan terjadinya aterosklorosis. Hal ini
menyebabkan angina pectoris. Tekanan darah tinggi secara terus menerus menyebabkan
kerusakan sistem pembuluh darah arteri, dengan perlahan-lahan arteri tersebut juga
disebabkan oleh meningkatnya ka-dari kolesterol dalam darah, proses ini menyempit-
kan lumen yang terdapat dalam pembuluh da rah sehingga aliran darah menjadi
terhalang. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kapoor,
Nababan dan Siregar.

Pada variabel diabetes melitus ditemukan tidak terlihat adanya hubungan


signifikan antara riwayat diabetes melitus terhadap penyakit jantung. Diabetes salah
satu faktor risiko utama penyakit jantung koroner. Diabetes berhubungan dengan
obesitas, distribusi lemak tubuh abdominal dan tubuh bagian atas, hipertensi, dan
resistensi insulin. Semua kondisi ini diketahui berhubungan dengan peningkatan
penyakit arteri koroner.
Penelitan ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Warren dengan sepuluh
penelitian me nunjukkan diabetes mempunyai risiko relatif 2,58 kali lebih besar untuk
mortalitas akibat penyakit jantung koroner. Perbedaan pada penelitian ini disebabkan
karena proporsi antara responden kasus dan responden kontrol hampir sama sehingga
sama-sama memiliki risiko melitus, namun dari proporsi melitus lebih tinggi daripada
tidak diabetes melitus, disimpulkan risiko penyakit jantung meningkat pada responden
melitus.

Tingginya dalam darah adalah kondisi dimana terdapat banyak kolesterol di


dalam darah. Semakin tinggi level kolesterol semakin besar risiko terjadinya penyakit
jantung koroner dan serangan jantung.10%kenaikan berat badan , sistolik naik 6,5
mmHg, plasma kolesterol mg/dl dan kadar glukosa mg/dl. Diabetes melitus dua kali
lebih sering ditemukan pada penderita hipertensi. Rik juga membuktikan tedapat
hubungan yang signifikan antara obesitas dengan penyakit jantung koroner dengan
pooled RR 1,81. Adanya hubungan yang signifikan antara obesitas dengan penyakit
jantung koroner adalah karena obesitas dapat meningkatkan da rah, kadar kolesterol,
resitensi glukosa, serta pengumpalan darah.

Anda mungkin juga menyukai