Disusun Oleh:
PASCASARJANA
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
1
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
T.A. 2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena berkat dan
kasihNYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul
“Teori Perilaku dalam Kesehatan Masyarakat” ini dengan baik. Kiranya makalah ini
dapat memberi atau menambah wawasan bagi kita mahasiswa Pascasarjana Ilmu
Kesehatan Masyarakat tentang teory perubahan perilaku ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih terdapat kekurangan,
sehingga perlu ada kritik, saran dan masukan dari berbagai pihak untuk dapat
memperbaiki penyusunan makalah ini. Semoga dengan adanya makalah ini dapat
membantu pembaca terlebih civitas Pascasarjana Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat Universitas Samratulangi.
Penulis
2
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan 3
BAB II PEMBAHASAN 4
2.1 Konsep Perilaku 4
2.2 Perilaku Kesehatan 6
2.3 Determinan Perilaku Kesehatan 7
2.4 Teori Perubahan Perilaku 11
2.5 Stimulus Organism Respon Theory 13
2.6 Social Congnitive Theory 18
2.7 Health Belief Model 21
2.8 Theory Of Planned Behavior 26
2.9 Trans Theoretical Model 27
2.10 Social Capital Theory 29
2.11 Contoh Pola Perubahan Perilaku Saat Pandemi Covid-19 30
BAB III PENUTUP 34
3.1 Kesimpulan 34
DAFTAR PUSTAKA 35
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
minimum keseluruhan untuk aktivitas fisik di seluruh dunia. Misalnya, di AS dan
Eropa, terdapat 80% pada orang dewasa kurang aktif, enam dari setiap 10 orang
di atas usia 15 tahun tidak pernah atau jarang berolahraga atau berolahraga, dan
lebih dari setengahnya tidak pernah atau jarang melakukan jenis aktivitas fisik
lainnya, seperti bersepeda, menari atau berkebun [3, 4].
Status kesehatan dipengaruhi oleh berbagai faktor umum yang turut
memengaruhi kesehatan, dikenal sebagai determinan sehat. Dalam beberapa
penelitian merumuskan bahwa determinan sehat terdiri dari genetik, perilaku,
lingkungan dan pelayanan kesehatan. WHO (2017) [5] menjabarkan determinan
kesehatan terdiri dari; lingkungan sosial dan ekonomi, lingkungan fisik,
karakteristik individu (gender, pendidikan, penghasilan dan status sosial),
perilaku individu, genetika dan pelayanan kesehatan. Menurut Centre for Disease
Control and Prevention/CDC, determinan pada kesehatan secara umum dapat
dikelompokkan menjadi lima kategori besar yaitu: genetika, perilaku, pengaruh
lingkungan dan fisik, perawatan medis dan faktor sosial, di mana kelima kategori
ini saling berhubungan [6].
Intervensi perubahan perilaku kesehatan biasanya terjadi dengan komplek.
Hal ini dipengaruhi oleh banyak dan kompleksnya komponen-komponen
perilaku, perilaku yang terlibat, kelompok organisasi, individu yang ditargetkan,
dan lain-lain [7]. Bukti-bukti menunjukkan bahwaintervensi promosi kesehatan
yang secara eksplisit menggunakan model dan teori yang berakar pada ilmu
sosial dan perilaku lebih efektif daripada intervensi tanpa kerangka teoritis [8].
Teknik perubahan perilaku mengacu pada strategi khusus yang digunakan dalam
intervensi untuk mendorong perubahan perilaku. Misalnya, beberapa intervensi
yang dirancang untuk mempromosikan larangan merokok, segera
mengidentifikasi penghalang dan pemecahan masalah, sedangkan intervensi lain
mendorong peserta untuk memantau perilaku mereka [9].
5
Teori perubahan perilaku dapat diterapkan dalam kondisi apapun yang
sedang menimpa masyarakat. Salah satu masalah yang sedang dihadapi oleh
masyarakat dunia saat ini adalah pandemi Covid 19 [9].
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui konsep perilaku?
1.3.2 Mengetahui perilaku kesehatan?
1.3.3 Mengetahui determinan perilaku kesehatan?
1.3.4 Mengetahui teori perubahan perilaku?
1.3.5 Mengetahui stimulus respon theory?
1.3.6 Mengetahui social cognitive theory?
1.3.7 Mengetahui health belief model?
1.3.8 Mengetahui theory of planned behavior?
1.3.9 Mengetahui trans theoretical model?
1.3.10 Mengetahui social capital theory?
1.3.11 Mengetahui contoh perubahan perilaku saat pandemi covid-19?
6
BAB II
PEMBAHASAN
7
2.1.2.1 Perilaku tertutup (covert behavior), hal ini ditunjukan dalam bentuk perhatian,
persepsi, pengetahuan / kesadaran dan reaksi lain.
2.1.2.2 Perilaku terbuka (overt behavior) yaitu dalam bentuk tindakan nyata misalnya
meminum obat ketika dirinya merasa sakit sebagai perilaku kesehatan. [34
8
Faktor ini merupakan konsekuensi positif dari perilaku, seperti
penerimaan kelompok, atau konsekuensi negatif seperti sanksi sosial.
2.1.4.3 Faktor Enabling
Faktor ini adalah kondisi lingkungan yang secara umum
memungkinkan suatu perilaku dilakukan atau menghalangi perilaku tersebut.
9
perawatan dari layanan kesehatan. Menurut Parsons, ada empat komponen
sick role yaitu:
a. Seseorang tidak bertanggung jawab atas penyakitnya
b. Penyakit memberi individu alasan yang sah untuk tidak berpartisipasi
dalam tugas dan kewajiban
c. Seseorang yang sakit diharapkan menyadari bahwa penyakit merupakan
kondisi yang tidak diinginkan dan mereka harus dimotivasi untuk sembuh.
d. Sembuh diasumsikan terkait dengan mencari bantuan layanan kesehatan
10
Usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan
agar tidak sakit dan upaya penyembuhan bilamana sakit. Perilaku
pemeliharaan kesehatan terdiri dari 3 aspek.
a. Perilaku pencegahan dan penyembuhan penyakit serta pemulihan
kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.
b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan
sehat sehingga dapat mencapai tingkat kesehatan yang optimal.
c. Perilaku gizi makanan dan minuman dapat memelihara dan
meningkatan kesehatan tetapi dapat juga menjadi penyebab
menurunnya kesehatan seseorang bahkan dapat mendatangkan
penyakit.
2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan,
(health seeking behavior).
Perilaku yang menyangkut tindakan seseorang saat sakit/kecelakaan,
mulai dari mengobati diri sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan
keluar negeri.
3. Perilaku kesehatan lingkungan
Hal ini berkaitan dengan cara seseorang merespon lingkungan baik
fisik, sosial, budaya, dan sebagainya agar tidak mengganggu kesehatannya
sendiri, keluarga dan masyarakat. Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau
masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap,
kepercayaan, tradisi dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang
bersangkutan. Di samping itu ketersediaan fasilitas, sikap dan perilaku para
petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat
terbentuknya perilaku. Menurut Leavel dan Clark yang disebut pencegahan
adalah segala kegiatan yang dilakukan baik langsung maupun tidak langsung
untuk mencegah suatu masalah kesehatan atau penyakit. Pencegahan
berhubungan dengan masalah kesehatan atau penyakit yang spesifik dan
meliputi perilaku menghindar.
11
Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap
stimulus atau rangsangan dari luar individu, namun dalam memberikan
respons sangat tergantung pada karakteristik dari individu yang bersangkutan.
Hal ini berarti meskipun stimulusnya sama bagi beberapa individu, namun
respons tiap individu bisa berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respons
terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku [6]. Determinan
perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: [6]
1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik individu yang
bersangkutan, yang bersifat bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat
emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.
2. Determinan atau faktor eksternal, yakni pengaruh dari lingkungan atau
luar individu yang bersangkutan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya,
ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering
merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang.
Meningkatkan perilaku sehat dan mengurangi perilaku yang
berisiko terhadap kesehatan adalah tantangan utama yang dihadapi para
profesional kesehatan. Berikut adalah strategi perubahan perilaku
kesehatan yang dapat digunakan oleh tenaga kesehatan untuk dapat
mengubah perilaku kesehatan klien mereka [21].
a. Meningkatkan kesadaran
Model transtheoretical menekankan pentingnya meningkatkan
kesadaran ketika klien tidak berniat melakukan perubahan perilaku
atau baru mulai mempertimbangkan untuk mengubah perilaku.
Penting untuk menilai alasan kenapa seseorang tidak ingin
berkomitmen pada perubahan, seperti kurangnya pengetahuan,
kurangnya keterampilan, kurangnya sumber daya dan dukungan, dan
kurangnya waktu. Peningkatan kesadaran sangat penting untuk
membantu klien menyadari masalah kesehatan atau perilaku yang
perlu ditangani. Perawat dapat menggunakan alat bantu berupa literasi
12
maupun audio visual yang sesuai dengan budaya dan pilihan pribadi
pasien.
b. Mengevaluasi kembali diri sendiri
Hal ini mengacu pada Social Cognitive Theory yang
menjelaskan bahwa perubahan dihasilkan dari adanya ketidakpuasan
dalam diri seseorang yang mengarah pada penilaian seseorang terkait
dengan perilakunya. Misalnya, apakah saya akan lebih menyukai diri
saya jika saya berhenti merokok? Ketika klien yakin bahwa mereka
dapat mengatasi hambatan, mereka akan cenderung mengubah
perilakunya. Ketika klien tidak yakin bahwa mereka dapat berubah,
maka perawat harus menilai alasan kenapa klien menolak untuk
berubah dan hambatan yang dirasakan saat klien ingin berubah.
c. Menetapkan tujuan untuk berubah
Jika klien sudah siap untuk berubah, maka mereka harus
membuat komitmen dan mengembangkan rencana tindakan untuk
memulai perilaku yang baru. Membuat komitmen adalah strategi
efektif untuk memulai perubahan. Tujuan sebaiknya ditetapkan oleh
klien dan perawat dapat memberikan saran terhadap klien. Misalnya,
klien membuat tujuan untuk berjalan kaki 10 menit setiap hari selama
satu minggu. Klien harus yakin bahwa tujuan dapat dicapai karena
dapat membangun kepercayaan dirinya.
d. Mempromosikan efikasi diri
Klien harus difasilitasi untuk dapat melakukan perilaku sesuai
dengan tujuan. Perawat juga harus memberikan umpan balik positif
sehingga mampu meningkatkan efikasi diri klien. Belajar dari
pengalaman orang lain serta mengamati perilaku orang lain adalah
salah satu strategi kognitif sosial yang paling efektif untuk
meningkatkan efikasi diri.
e. Meningkatkan manfaat dari adanya perubahan
13
Memberikan penghargaan atau reinforcement merupakan
suatu cara untuk meningkatkan manfaat dari perubahan perilaku.
Pentingnya reinforcement didasarkan pada premis bahwa semua
perilaku ditentukan oleh konsekuensi. Jika konsekuensi positif,
kemungkinan besar perilaku tersebut akan terjadi kembali. Namun jika
konsekuensi negatif, kemungkinan kecil perilaku tersebut akan
terulang kembali. Pemberian reinforcement positif lebih efektif dalam
perubahan perilaku dibandingkan dengan pemberian reinforcement
negatif atau hukuman (pengalaman yang tidak menyenangkan).
f. Menggunakan clue untuk melakukan perubahan
Penggunaan clue tidak dapat sepenuhnya dapat dihilangkan
tetapi dapat dikurangi atau dibatasi. Misalnya ketika makan hanya
memilih salad dan sayuran daripada makanan lainnya.
g. Mengelola hambatan untuk berubah
Adanya hambatan untuk berubah adalah konstruksi utama
dalam Health Belief Model, The Social Cognitive Model, dan The
Health Promotion Model.
14
Mencoba untuk mengubah perilaku dapat memerlukan pemahaman menyeluruh
tentang faktor-faktor yang menentukan perilaku itu, dan mempelajari faktor-
faktor penentu psikologis perilaku dapat menjelaskan mengapa intervensi berhasil
dalam mengubah perilaku dan bagaimana memperbaikinya. Teori perilaku
kesehatan atau Health behavior theories (HBT) adalah teori perilaku yang
berkaitan dengan kesehatan manusia dan hasil kesehatan. Idealnya, teori
berkembang secara berulang dalam konteks pengawasan empiris yang ketat.
Namun, banyak teori yang tidak terlalu spesifik atau belum diuji secara ketat. Ini
biasanya disebut sebagai model atau kerangka kerja teoritis atau konseptual [10].
Teori dan model perilaku kesehatan dapat digunakan untuk berbagai
alasan, seperti mencoba memahami perilaku kesehatan dan determinannya,
mengubah perilaku kesehatan, mewujudkan kemajuan ilmiah, tetapi juga
menerjemahkan pengetahuan ke dalam praktik. Teori dan model terkenal yang
digunakan dalam ilmu perilaku kesehatan, misalnya, Social Cognitive Theory
(SCT), Health Belief Model (HBM), Theory of Planned Behavior (TPB), Theory
of Planned Behavior (TPB), dan Trans Theoretical Model (TTM). Model-model
tersebut tidak hanya berkembang tetapi juga merupakan hasil integrasi konstruk
dari, dan temuan dari teori dan model lain. Teori kognitif sosial dikembangkan
dari teori pembelajaran sosial yang menggabungkan prinsip-prinsip teori asosiasi
diferensial, prinsip-prinsip pengkondisian operan dan menambah efikasi diri.
Theory of Planned Behavior (TPB) yang dihasilkan dari Theory of Reasoned
Action dan TTM keduanya meningkatkan efikasi diri. TTM juga menggabungkan
beberapa prinsip dari 18 sistem terapi [11].
Teori dan model yang merangkum elemen-elemen teoretis utama semuanya
mereduksi realitas untuk memberikan gambaran tentang prinsip-prinsip utama
dan jalur-jalur perubahan perilaku. Model dan teori juga menjadi sasaran kritik,
bukan hanya karena reduksionisme ini, tetapi juga karena pendirian yang diambil,
metodologi yang digunakan atau penemuan (kombinasi) faktor baru, yang dapat
15
mengarah pada saran untuk memperluas atau menghapus sama sekali suatu teori
seperti TPB [12].
Namun, TRA dan TPB menghasilkan peningkatan pemahaman yang luar
biasa tentang fakta bahwa setidaknya empat faktor berbeda dapat memengaruhi
perilaku, sedangkan gagasan korespondensi pengukuran dengan jelas
menunjukkan bahwa jika kita ingin memprediksi perilaku 'A', kita juga perlu
memastikan bahwa pertanyaan yang mengukur determinan harus mengacu pada
perilaku yang sama misalnya pada perilaku 'A' [11].
16
menyikapi bentuk stimulus tersebut. Dalam mempelajari sikap ada tiga
variabel yang penting menunjang proses belajar tersebut yaitu: perhatian,
pengertian, penerimaan. Ketiga variabel imi menjadi penting sebab akan
menentukan bagaimana kemudian respon yang akan diberikan oleh
komunikan setelah menerima stimulus. Sikap yang dimaksud disini adalah
kecendrungan bertindakan, berpikir, berpersepsi, dan merasa dalam
menghadapi objek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukanlah perilaku, tetapi lebih
merupakan kecendrungan untuk berprilaku dengan cara tertentu terhadap
objek sikap, dengan demikian pada kenyataan tidak ada istilah sikap yang
berdiri sendiri. Sikap juga bukanlah sekedar rekaman masa lalu, tetapi juga
menentukan apakah seseorang harus setuju atau tidak setuju terhadap sesuatu,
menentukan apa yang disukai dan diharapkan.
2.5.4 Efek (Respon, R): perubahan sikap
Proses perubahan perilaku pada hakekatnya sama dengan proses
belajar. Proses perubahan perilaku tersebut menggambarkan proses belajar
pada individu yang terdiri dari :
2.5.4.1 Stimulus (rangsang) yang diberikan pada organisme dapat diterima atau
ditolak. Apabila stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak berarti stimulus
itu tidak efektif mempengaruhi perhatian individu dan berhenti disini. Tetapi
bila stimulus diterima oleh organisme berarti ada perhatian dari individu dan
stimulus tersebut efektif.
2.5.4.2 Apabila stimulus telah mendapat perhatian dari organisme (diterima) maka ia
mengerti stimulus ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya.
2.5.4.3 Setelah itu organisme mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan
untuk bertindak demi stimulus yang telah diterimanya (bersikap).
2.5.4.4 Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungan maka
stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari individu tersebut (perubahan
perilaku).
17
2.5.4.5 Dalam proses perubahan sikap tampak bahwa sikap dapat berubah, hanya jika
stimulus yang menerpa benar-benar melebihi semula. Stimulus atau pesan
yang disampaikan kepada komunikan mungkin diterima atau mungkin
ditolak. Komunikasi akan berlangsung jika ada perhatian dari komunikan.
Proses berikutnya komunikan mengerti. Kemampuan komunikan inilah yang
melanjutkan proses berikutnya. Setelah komunikan mengolahnya dan
menerimanya, maka terjadilah kesediaan untuk mengubah sikap [34]
18
Dalam proses perubahan sikap tampak bahwa sikap dapat berubah hanya
jika stimulus yang menerpa melebihi semula. Dalam menelaah sikap yang
baru ada tiga variabel penting, yaitu perhatian, pengertian dan penerimaan.
Respon atau perubahan sikap bergantung pada proses terhadap individu.
Stimulus yang merupakan pesan yang disampaikan kepada komunikan dapat
diterima atau ditolak, komunikasi yang terjadi dapat berjalan apabila
komunikan memberikan perhatian terhadap stimulus yang disampaikan
kepadanya. Sampai pada proses komunikan tersebut memikirkannya sehingga
timbul pengertian dan penerimaan atau mungkin sebaliknya. Perubahan sikap
dapat terjadi berupa perubahan kognitid, afektif atau behavioral. Selanjutnya
teori ini mengatakan bahwa perilaku dapat berubah hanya apabila stimulus
(rangsang) yang diberikan benar-benar melebihi dari stimulus semula [34]
Stimulus yang dapat melebihi stimulus semula ini berarti stimulus yang
diberikan harus dapat meyakinkan organisme ini, faktor reinforcement
memegang peranan penting. Stimulus atau pesan yang disampaikan kepada
komunikan mungkin diterima atau mungkin ditolak. Komunikasi akan
berlangsung jika ada perhatian komunikan. Proses berikutnya komunikan
mengerti. Kemampuan komunikan inilah yang melanjutkan proses berikutnya.
Setelah komunikan mengolahnya dan menerimanya, maka terjadilah
kesediaan untuk mengubah sikap. Teori ini mendasarkan asumsi bahwa
penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung kepada kualitas rangsang
(stimulus) yang berkomunikasi dengan organisme. Artinya kualitas dari
sumber komunikasi (sources) misalnya kredibilitas, kepemimpinan, gaya
berbicara sangat menentukan keberhasilan perubahan perilaku seseorang,
kelompok atau masyarakat [31]
Dengam demikian, dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa
karakteristik Komunikasi Stimulus respons adalah bahwa kualitas stimulus
yang diberikan oleh pemimpin, pegawai di sebuah instansi sangat
mempengaruhi sikap seseorang yang menerima ransangan. Dalam hal ini
19
proses perubahan sikap seseorang dapat berubah jika stimulus yang diberikan
sesuai dengan keadaan yg sebenarnya. Pesan yang di sampaikan mungkin
diterima atau mungkin ditolak secara langsung sehingga Komunikasi yang
diberikan harus dipahami dan harus memiliki Reinforcement atau penguatan
oleh komunikan agar proses selanjutnya dapat dilakukan [31]
Organisme:
STIMULUS Perhatian
Pengertian
Penerimaan
Response
20
reaksi begitu juga dalam komunikasi. Kemudian hal-hal yang patut diperhatian
agar terjadi perubahan sikap maka stimulus yang disampaikan harus memenuhi
tiga unsur yaitu: perhatian, pengertian dan penerimaan. Oleh karena itu, sebagai
seorang Humas sebelum menyampaikan panjang lebar tentang berbagai
pelayanan ada baiknya membuka pembicaraan dengan memberikan perhatian
dan pengertian kepada penanam modal [34]
Teori ini dikembangkan oleh Albert Bandura (1986) yang tidak hanya
berfokus pada psikologi perilaku kesehatan tetapi juga pada aspek sosial. Teori
ini menjelaskan bahwa perilaku individu terbentuk sebagai respon terhadap
pembelajaran observasional dari lingkungan sekitarnya. Adapun 5 elemen dari
Social Cognitive Theory: [6, 11]
2.6.1 Pengetahuan tentang risiko dan manfaat kesehatan
Meskipun bukan satu-satunya faktor yang diperlukan untuk perubahan
perilaku, pengetahuan tentang risiko dan manfaat sangat penting dan menjadi
prasyarat dalam perubahan perilaku. Misalnya, orang yang merokok selama
bertahun-tahun tanpa motivasi untuk berhenti dan kemudian dia mengetahui
bahwa merokok akan membahayakan kesehatannya. Setelah itu, dengan
berhenti merokok akan membawa manfaat bagi kesehatannya.
2.6.2 Efikasi diri
21
perilaku negatif (misalnya merokok) dan melakukan perilaku positif (olahraga
teratur) agar berhasil mencapai perilaku yang diinginkan.
2.6.3 Hasil yang diharapkan
Social Cognitive Theory mengacu pada konsekuensi sebagai hasil
yang diharapkan baik secara fisik dan material maupun sosial sebagai hasil
dari perubahan perilaku. Hasil secara fisik dan material misalnya adalah
seorang wanita yang ingin berhenti merokok sehingga batuk yang dialaminya
berkurang dan kesehatannya lebih baik. Selain itu, dia mengharapkan lebih
banyak uang di dompetnya sebagai akibat dari tidak lagi membeli rokok.
Hasil secara sosial misalnya wanita yang berhenti merokok ingin
mengabaikan anak-anaknya yang tidak setuju jika ibunya merokok atau dia
menginginkan persetujuan anak-anak jika dia ingin berhenti merokok.
2.6.4 Tujuan kesehatan pribadi
Tujuan dibagi menjadi dua yaitu tujuan jangka panjang dan jangka
pendek. Tujuan jangka panjang dianggap menjadi sebuah tantangan karena
banyak orang kewalahan dengan kebiasaan yang harus dilakukan. Social
Cognitive Therapy mendorong tujuan jangka pendek dibandingkan tujuan
jangka panjang. Misalnya Misalnya, pria yang mengalami obesitas memiliki
tujuan jangka panjang untuk menurunkan berat badan sebanyak 100 kg agar
mencapai indeks massa tubuh yang sehat. Namun, penurunan berat badan
sebanyak 100 kg terkesan menakutkan. Tujuan jangka pendek dengan
menurunkan berat badan sebanyak 10 kg dalam jangka waktu yang lebih
singkat akan dipandang sebagai suatu pencapaian.
2.6.5 Fasilitator dan hambatan yang dirasakan
Fasilitator dan hambatan yang dirasakan merupakan konstruksi
penting dalam SCT dan secara langsung memengaruhi selfefficacy. Seorang
perokok mungkin melihat bahwa keberhasilan mereka dalam berhenti
merokok akan difasilitasi dengan adanya pengganti nikotin. Hambatan yang
dialami seseorang yang ingin berhenti merokok mungkin adalah ketakutan
22
akan kenaikan berat badan. Secara keseluruhan teori ini, mengonsep individu
sebagai aktor rasional. Sementara ada penekanan lanjutan pada konsep nilai
harapan, kemajuan utama SCT adalah fokusnya pada agensi pribadi dan
pentingnya konteks sebagai penentu perilaku kesehatan. Selain itu, SCT
berguna dalam memahami mengapa orang melakukan perilaku kesehatan
tertentu, SCT juga memiliki pengaruh besar pada intervensi untuk perubahan
perilaku [13].
Self-efficacy, atau kemampuan yang dirasakan seseorang untuk
melakukan tindakan tertentu dalam konteks tertentu, adalah konstruksi inti
dalam SCT. Keyakinan kemanjuran bersifat dinamis, mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh beberapa konstruksi hilir yang disorot dalam SCT (lihat
Gambar 1). Ini termasuk harapan hasil dan hambatan/fasilitator perilaku yang
muncul dari hubungan sosial dan kekuatan budaya. Individu dengan efikasi
diri yang lebih tinggi untuk suatu perilaku cenderung memiliki harapan yang
lebih tinggi untuk hasil yang terkait. Mereka juga merasakan dukungan yang
lebih besar dari lingkungan sosial dan fisik dan terlibat dalam perilaku
pengaturan diri yang lebih baik daripada mereka yang memiliki efikasi diri
rendah [13].
23
Sukses dengan perilaku memicu efikasi diri, terutama ketika
kesuksesan terjadi dalam menghadapi tantangan. Selain itu, dorongan dari
orang lain dan mengamati rekan-rekan yang berhubungan atau mereka yang
kurang terampil yang berhasil dengan perilaku tertentu juga meningkatkan
efikasi diri. Akhirnya, keadaan fisiologis seseorang memiliki pengaruh
langsung pada efikasi diri. Misalnya, Bandura memunculkan citra
mempersiapkan acara public speaking. Ketika kecemasan meningkat dalam
mempersiapkan diri untuk berbicara, beberapa individu menjadi hipersensitif
terhadap gejala fisik seperti detak jantung yang meningkat, telapak tangan
yang semakin berkeringat, dan perut yang mual. Hasilnya adalah mereka
mengalami penurunan yang tajam pada saat itu dalam efikasi diri terkait
wicara mereka.
24
keparahan, manfaat dan hambatan melakukan tindakan pencegahan serta
pengingatan untuk bertindak dan sosiodemografi.
25
Persepsi individu Faktor yang dapat dimodifikasi kemungkinan untuk
bertindak
Persepsi manfaat :
Persepsi kerentahan :
26
(Adaptasi dari Health Beliefes Model Component and Linkage, Glantz, Rimer,
Viswanath, 2008, hal 49).
27
produk dari kerentanan yang dirasakan terhadap penyakit dan keparahan
penyakit yang dirasakan. [31]
Model ini juga menekankan keseimbangan keputusan: bobot relatif
dari manfaat yang dirasakan dibandingkan dengan hambatan yang dirasakan
untuk terlibat dalam suatu perilaku. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2,
hasil perilaku kesehatan dari efek gabungan dari ancaman yang dirasakan dan
keseimbangan keputusan atas hasil yang diantisipasi. HBM mengakui
masukan pada perilaku kesehatan dari faktor lain seperti variabel psikososial
dan isyarat lingkungan, tetapi mengkonseptualisasikan efek ini sebagai
tindakan baik melalui ancaman yang dirasakan atau keseimbangan keputusan.
Sebagai catatan, praktisi HBM telah lama menyadari keterbatasan ruang
lingkup model. Misalnya, seperti yang dicatat Janz dan Becker: “Jelas bahwa
kekuatan lain juga mempengaruhi tindakan kesehatan; misalnya, beberapa
perilaku (misalnya, merokok; menyikat gigi) memiliki komponen kebiasaan
yang kuat yang menghalangi proses pengambilan keputusan psikososial yang
sedang berlangsung”. [13]
28
mengharapkan kegiatan terkait kesehatan yang mengarah pada peningkatan
kesehatan dan pencegahan penyakit. Terdapat enam elemen utama dari
Health Belief Model: [6]
29
2.7.3 Perceived Benefits
Hal ini mengacu pada keyakinan seseorang bahwa perubahan perilaku
berdampak pada kesehatan misalnya, penghematan biaya.
2.7.4 Perceived Barriers
Hal ini mengacu pada keyakinan seseorang pada dampak negatif dari
perubahan perilaku, misalnya mempertimbangkan biaya, waktu, kenyamanan,
dan efek samping.
2.7.5 Cues to action
Adanya suatu pemicu yang memotivasi seseorang untuk mengubah
perilaku.
2.7.6 Self Efficacy
Merupakan suatu keyakinan bahwa seseorang dapat berhasil
mengubah perilaku.
30
Gambar 4. Theory of Planned Behavior dan Theory of Reasoned Action [15]
31
2.9.3 Preparation
Pada tahap ini individu memiliki niat yang jelas untuk mengubah
perilaku sehat dalam waktu tiga puluh hari ke depan, misalnya mengikuti
program penurunan berat badan atau berhenti merokok.
2.9.4 Action
Pada tahap ini individu sudah membuat perubahan perilaku yang dapat
diamati dalam enam bulan terakhir. Individu yang tidak mengalami fase
persiapan kemungkinan sangat rentan untuk gagal karena kurangnya
persiapan.
2.9.5 Maintenance
Pada tahap ini individu telah berhasil mengubah perilaku dan
mempertahankan perubahan itu setidaknya selama enam bulan. Individu pada
tahap ini berada pada risiko kegagalan yang lebih rendah dibandingkan pada
tahap action. Misalnya, ketika individu tidak merokok selama lima tahun
berturut-turut maka tingkat kekambuhan untuk merokok biasa hanya 7%.
2.9.6 Termination
Pada tahap ini individu telah mencapai perubahan total tanpa risiko
kambuh dan perilakunya menjadi permanen.
32
Hingga saat ini para ilmuwan pada bidang perilaku kesehatan
mencurahkan banyak upaya untuk pengembangan dan evaluasi model dan
teori yang dirancang untuk memahami dan/atau mempengaruhi perilaku
kesehatan. Sebagai teori telah maju, para ilmuwan telah mengadopsi
peningkatan spesifisitas dalam definisi konseptual dan pengukuran konstruksi
sementara menjadi lebih tertarik pada perubahan perilaku memahami
mengapa individu terlibat dalam perilaku kesehatan tertentu. Selain itu, telah
terjadi peningkatan minat dalam pengaruh serta masukan fisiologis dan
lingkungan terhadap perilaku kesehatan dan perubahan perilaku kesehatan.
Untuk mengilustrasikan evolusi model/teori yang masih ada dan state-of-the-
art [13].
33
sukarelawan, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, atau berkontribusi pada
pembangunan masyarakat.
2.10.3 Mengurangi Ketidakpastian: Dengan memiliki akses ke jaringan sosial yang
luas, individu dapat memperoleh informasi dan sumber daya yang dapat
membantu mengurangi ketidakpastian dalam kehidupan mereka. Ini dapat
meningkatkan kepercayaan diri dan kemampuan untuk mengatasi tantangan.
2.10.4 Mendorong Inovasi dan Pembelajaran: Dalam konteks organisasi dan bisnis,
teori modal sosial dapat mendorong kolaborasi dan pertukaran ide
antarindividu atau kelompok. Ini dapat memicu inovasi dan pembelajaran
organisasi yang lebih cepat karena adanya pertukaran pengetahuan dan
pengalaman.
2.10.5 Membentuk Identitas dan Norma Bersama: Melalui interaksi sosial, individu
dapat menginternalisasi norma dan nilai-nilai yang ada dalam jaringan sosial
mereka. Hal ini dapat membentuk identitas sosial mereka dan mempengaruhi
perilaku mereka sesuai dengan norma yang diterima secara sosial.
Secara keseluruhan, teori modal sosial memberikan landasan bagi
pemahaman tentang bagaimana hubungan sosial memengaruhi perilaku
individu dan kelompok, serta bagaimana kekuatan dan kualitas jaringan sosial
dapat membentuk dinamika sosial yang kompleks.
34
deliberatif biasanya absolut (misalnya, persentase kemungkinan penyakit)
atau komparatif (misalnya, kemungkinan penyakit dibandingkan dengan yang
lain) [25].
Model teoretis keyakinan kesehatan dan persepsi risiko adalah alat
penting untuk memahami faktor-faktor di balik pengambilan keputusan
dengan menilai apa yang memotivasi dan menghambat orang untuk
mengadopsi perilaku yang berhubungan dengan kesehatan. HBM merupakan
salah satu model yang paling banyak digunakan untuk menguji hubungan
antara perilaku kesehatan dan penggunaan pelayanan kesehatan. Ini
dikembangkan pada 1950-an oleh psikolog sosial di U.S. Public Health
Service [26].
S ategi ini berusaha menjelaskan dan memprediksi perilaku kesehatan
preventif dalam hal pola kepercayaan tertentu. Secara khusus, HBM
menunjukkan bahwa keterlibatan individu (atau kurangnya keterlibatan)
dalam perilaku mempromosikan kesehatan dapat dijelaskan oleh keyakinan
mereka tentang masalah kesehatan, manfaat yang dirasakan dari tindakan dan
hambatan untuk bertindak, dan self-efficacy. Isyarat untuk bertindak, juga
harus ada untuk memicu perilaku yang meningkatkan kesehatan. HBM telah
banyak digunakan dalam konteks vaksinasi, dan khususnya dalam konteks
vaksinasi influenza. Sebuah tinjauan sistematis yang dilakukan oleh Bish et
al., 2011 meneliti faktor psikologis dan demografis yang terkait dengan
pengambilan vaksinasi influenza, menunjukkan penggunaan HBM secara
ekstensif [27].
Theory of Planned Behavior (TPB) adalah model teoretis lain yang
digunakan untuk memprediksi perilaku individu dalam hal niat untuk
divaksinasi. Model tersebut diusulkan oleh Icek Ajzen sebagai penerus dari
Theory of Reasoned Action. Menurut model TPB, niat untuk mendapatkan
vaksinasi influenza tergantung pada beberapa prediktor, termasuk sikap
terhadap vaksin, norma subjektif untuk melakukan vaksinasi, dan persepsi
35
kontrol perilaku atau perception of behavioral control (PBC) vaksinasi. Self-
efficacy untuk vaksinasi adalah prediktor lain yang ditambahkan ke model
asli, karena telah terbukti bahwa perbedaan harus dibuat antara persepsi
kontrol perilaku dan self-efficacy. Self-efficacy ditemukan menjadi prediktor
yang paling penting untuk niat perilaku kesehatan. Beberapa penelitian
terbaru telah menggabungkan pendekatan TPB dan HBM untuk
mengidentifikasi perilaku yang berhubungan dengan kesehatan dan niat untuk
menerima vaksin influenza di antara masyarakat umum [26, 28].
Dalam konteks COVID-19, beberapa keyakinan kesehatan juga
berkorelasi dengan penerimaan vaksin. Misalnya, peserta penelitian yang
melaporkan tingkat kemungkinan yang lebih tinggi untuk mendapatkan
infeksi COVID-19 di masa depan dan yang merasakan tingkat keparahan
infeksi COVID-19 lebih mungkin untuk bersedia divaksinasi [29]. Konstruk
manfaat yang dirasakan dalam HBM juga ditemukan signifikan dalam
memprediksi penerimaan vaksin [30]. Namun, meskipun beberapa penelitian
telah menggunakan model TPB dalam konteks menghubungkan COVID-19
dengan perilaku preventif (misalnya menjaga jarak, mencuci tangan, dll.).
Belum ada laporan yang menjelasakan penelitian yang menggunakan model
ini untuk memprediksi penerimaan vaksin COVID-19. Menurut
Shmueli (2021), belum ada penelitian di mana kedua model digunakan untuk
mengidentifikasi faktor kesediaan masyarakat umum untuk menerima vaksin
COVID-19 [26].
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Shmueli (2021), menyimpulkan
bahwa, survei terkini tentang niat masyarakat umum untuk memvaksinasi
COVID-19, dan pada prediktor sosiodemografis, terkait kesehatan, dan
perilaku untuk niat tersebut, berdasarkan penggunaan gabungan model HBM
dan TPB. Hasil penelitian ini menyoroti bahwa sementara banyak orang
dewasa bersedia menerima vaksin COVID-19, niat vaksinasi berbeda menurut
36
sejumlah sosiodemografi, karakteristik terkait kesehatan dan perilaku
termasuk: jenis kelamin, tingkat pendidikan, vaksinasi terhadap influenza
pada musim sebelumnya, persepsi tinggi manfaat, tingkat keparahan yang
dirasakan tinggi, isyarat untuk bertindak, norma subjektif dan efikasi diri [26].
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Perubahan perilaku individu atau masyarakat ke arah tercapainya derajat
kesehatan yang optimal menjadi tantangan yang sangat berat bagi profesional
kesehatan. Hal ini membutuhkan berbagai strategi ataupun model untuk
melakukan kearah perubahan perilaku individu ataupun masyarakat. Perilaku
individu itu sendiri merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan dalam
mempengaruhi derajat kesehatan seseorang. Di mana, selain faktor perilaku yang
mempengaruhi derajat kesehatan individu adalah genetik, lingkungan dan juga
faktor pelayanan kesehatan.
Perilaku manusia tidak timbul dengan sendirinya, tetapi didasarkan pada
ransangan yang diberikan, sehingga menghasilkan respon terhadap ransangan
tersebut. Hingga saat ini para ilmuwan pada bidang perilaku kesehatan
mencurahkan banyak upaya untuk pengembangan dan evaluasi model dan teori
yang dirancang untuk memahami dan/atau mempengaruhi perilaku kesehatan.
Sebagai teori telah maju, para ilmuwan telah mengadopsi peningkatan spesifisitas
dalam definisi konseptual dan pengukuran konstruksi sementara menjadi lebih
tertarik pada perubahan perilaku memahami mengapa individu terlibat dalam
perilaku kesehatan tertentu.
37
Dengan kata lain bisa mendukung kehidupan individu maupun kehidupan
kelompok masyarakat. Pada akhirnya individu ataupun kelompok masyarakat bisa
mengatasi permasalahannya sendiri. Inilah yang disebut dengan pemberdayaan
masyarakat. Proses pemberdayaan ini dapat dikatakan akan mampu menciptakan
keberlanjutan (Sustainability) dalam mencapai derajat kesehatan masyarakat yang
optimal. Karena sehat dimulai dari diri kita sendiri, dan sehat adalah investasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pender, N., Murdaugh, C., & Parsons, M. A. (2019). Health Promotion in Nursing
Practice Seventh Edition. Pearson Education, Inc.
2. CDC & AARP. (2013). Use of Clinical Preventive Services and Prevalence of
Health Risk Factors Among Adults Aged 50-64.
3. Harris, C., Watson, K., Carlson, S., et al. (2013). Adult participation in aerobic and
muscle-strengthening physical activities - United States, 2011 Morbidity and
Mortality Weekly Report. Center for Disease Control, 62(17), 326–330.
6. Pakpahan, M., Siregar, D., Susilawaty, A., et al. (2021). Promosi Kesehatan dan
Perilaku Kesehatan. Yayasan Kita Menulis.
38
7. Araújo-Soares, V., Hankonen, N., Presseau, J., et al. (2019). Developing behavior
change interventions for self-management in chronic illness: An integrative overview.
European Psychologist, 24(1), 7.
8. Panahi, R., Pishvaei, M., & Ghaderi, N. (2018). Multi-theory model of behavior
change: an appropriate model for creating health behaviors. Journal of Research and
Health, 8(6), 483-484.
10. Simoni, J., Ronen, K., & Aunon, F. (2018). Health Behavior Theory to Enhance
eHealth Intervention Research in HIV: Rationale and Review. Curr HIV/AIDS Rep.,
15(6), 423-430.
12. Sniehotta, F., Presseau, J., & Araújo-Soares, V. (2014). Time to retire the theory
of planned behaviour. Health psychology review, 8(1), 1-7.
13. Rejeski, W., & Fanning, J. (2019). Models and theories of health behavior and
clinical interventions in aging: a contemporary, integrative approach. Clin Interv
Aging, 14, 1007-1019.
39
14. Clark, N., & Janevic, M. (2014). Individual theories In: Riekert KA, Okene JK,
Pbert L, editors. Handbook of Health Behavior Change, 4th ed. New York, New York
(NY), 3–26.
16. Ferron, M., & Massa, P. (2013). Ranstheoretical model for designing technologies
supporting an active lifestyle. In Proceedings of the Biannual Conference of the
Italian Chapter of SIGCHI, 1, 1-8.
17. Pierce, W. D., & Cheney, C. D. (2013). Behavior Analysis and Learning (5th ed.).
Psychology Press.
18. Kholid, A. (2018). Promosi Kesehatan dengan pendekatan teori perilaku, media,
dan aplikasinya. Raja Grafindo Persada.
19. Kemenkes. (2016). Rencana Aksi Kegiatan Pusat Analisis Determinan Kesehatan
2016-2019. Kemenkes RI.
20. Hasnidar, & et al. (2020). Ilmu kesehatan masyarakat. Yayasan Kita Menulis.
21. Pender, N., Murdaugh, C., & Parsons, M. A. (2019). Health Promotion in Nursing
Practice Seventh Edition. Pearson Education, Inc.
40
23. Hul, V. T., & et al. (2020). Promosi kesehatan masyarakat. Yayasan Kita
Menulis.
24. Edelman, C., & Kudzma, E. (2018). Health promotion: Throughout the life spam
(9th ed.). Elsevier.
25. Ferre, R. & Klein, W. (2015). Risk perceptions and health behavior. Curr Opin
Psychol., 1(5), 85-89.
26. Shmueli, L. (2021). Predicting intention to receive COVID-19 vaccine among the
general population using the health belief model and the theory of planned behavior
model. BMC Public Health, 21(1), 804.
27. Kan, T. & Zhang, J. (2018). Factors influencing seasonal influenza vaccination
behaviour among elderly people: a systematic review. Public Health, 156, 67–78.
28. Yang, Z. (2015). Predicting young adults’ intentions to get the H1N1 vaccine: an
integrated model. J Health Commun, 20(1), 69–79.
29. Reiter, P., Pennell, M., & Katz, M. (2020). Acceptability of a COVID-19 vaccine
among adults in the United States: how many people would get vaccinated? Vaccine,
38(42), 6500–6507.
30. Wong, et al. (2020). Full article: The use of the health belief model to assess
predictors of intent to receive the COVID-19 vaccine and willingness to pay. Hum
Vaccin Immunother, 16(9), 2204–2214.
41
31. Yayi, P., Retna, P., Supriyati, H., & Fatwa, D. (2020). Ilmu Sosial Perilaku Untuk
Kesehatan Masyarakat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.Cookson, M.D. &
Stirk, P.M.R. (2019). "Strategi Komunikasi Stimulus Respon." Ilmu Komunikasi, pp.
26–51.
33. Notoatmodjo, S. (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka
Cipta.
35. Proctor, R.W., Vu, K.-P.L., & Vu, P. (no date). "Data, Theory, and Application
Stimulus-Response Compatibility Principles Stimulus-Response Compatibility
Principles Stimulus-Response Compatibility."
36. Wicaksono, R.R., Aniriani, G.W., & Nasihah, M. (2017). "Penggunaan Stimulus
Response Theory dalam Sosialisasi Budaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja di
Perusahaan." Jurnal Enviscience, 1(1), p. 7.
42