Anda di halaman 1dari 12

1.

Kebijakan menyusui
Gambaran mengenai kebijakan menyusui di tiga rumah sakit, sesuai poin 1 dari 10
langkah untuk keberhasilan pemberian ASI menunjukkan bahwa sebanyak 90,6% responden
tenaga kesehatan menyatakan bahwa rumah sakit tempat mereka bekerja sudah memiliki
kebijakan menyusui sebagai langkah pertama mendukung keberhasilan menyusui sesuai
anjuran WHO. Hanya 7,3% responden yang menyatakan bahwa rumah sakit mereka tidak
memiliki kebijakan menyusui.
Namun, temuan penelitian menunjukkan bahwa kebijakan tersebut mungkin belum
merata diketahui oleh seluruh staf dan pengunjung rumah sakit. Meskipun sebanyak 96
responden menyatakan bahwa rumah sakit sudah memiliki kebijakan tertulis, hanya sebanyak
76,0% responden yang menyatakan bahwa kebijakan tersebut diketahui secara terbuka oleh
setiap pasien dan pengunjung rumah sakit.
Selanjutnya, terkait pelaksanaan kebijakan, sebanyak 83,3% responden menyatakan
bahwa kebijakan tersebut sudah dilaksanakan, namun ada beberapa yang mengatakan bahwa
pelaksanaannya belum optimal di seluruh ruangan, terutama di ruangan poli, KIA, nifas, dan
perinatologi.
Penerapan aturan larangan pemberian dot atau empeng di ruangan perawatan post
sectio caesarea juga menjadi perhatian. Meskipun sebagian besar rumah sakit (59,4%) telah
melarang pemberian dot atau empeng, masih ada beberapa tenaga kesehatan yang
berpendapat bahwa hal tersebut diperlukan sebagai alternatif untuk memberi ASI pada bayi
yang tidak dapat menyusu langsung dari ibunya.
Upaya untuk melaksanakan inisiasi menyusu dini atau skin to skin contact antara bayi
baru lahir dan ibunya dalam waktu 60 menit setelah persalinan diakui sebagai langkah
penting. Sebanyak 91,7% tenaga kesehatan menyatakan bahwa mereka menerapkan aturan
ini, khususnya untuk bayi-bayi sehat, namun 9,3% masih memiliki pandangan bahwa
penerapannya tergantung pada kondisi ibu dan bayi.
Poin lain yang diperhatikan adalah aturan rawat gabung bayi dan ibu post sectio
caesarea. Sebanyak 85,4% responden menyatakan bahwa rumah sakit memiliki aturan ini,
namun implementasinya baru dilaksanakan setelah 6-24 jam post sectio caesarea, dengan
variasi di antara rumah sakit.
Terakhir, dalam hal alternative pemberian susu formula bagi ibu yang belum berhasil
menyusui, sebanyak 78,1% responden menyatakan bahwa mereka memberikan alternatif
tersebut. Namun, ada rumah sakit tertentu yang, seperti Rumah Sakit Katolik Marianum
Halilulik, berkomitmen untuk tidak memberikan alternative pemberian susu formula bagi ibu
yang belum berhasil menyusui.

2. Keterampilan Tenaga Kesehatan


Poin kedua dari langkah-langkah untuk keberhasilan pemberian ASI menyoroti partisipasi
tenaga kesehatan dalam pelatihan konseling dan manajemen menyusui. Temuan penelitian
menunjukkan bahwa sebanyak 96,9% responden tenaga kesehatan telah mengikuti pelatihan
tersebut, sementara hanya 3,1% yang belum melakukannya. Hal ini mencerminkan komitmen
dan upaya tenaga kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam
mendukung praktik menyusui.

Selain itu, pemahaman tenaga kesehatan mengenai aturan pemberian ASI juga
menunjukkan hasil yang baik, dengan 99,0% responden menyatakan bahwa mereka
memahami aturan tersebut, dan hanya 1,0% yang menyatakan sebaliknya. Kesimpulan yang
dapat diambil dari temuan ini adalah bahwa aturan tentang pemberian ASI telah dipahami
dengan baik oleh mayoritas tenaga kesehatan, menciptakan dasar yang kuat untuk
memberikan dukungan optimal kepada ibu dan bayi dalam praktik menyusui.

Para tenaga kesehatan juga menekankan pentingnya "masa emas" pemberian ASI
selama enam bulan pertama dan lanjutannya hingga usia 2,5 tahun. Mereka mengakui bahwa
ASI dapat meningkatkan kekebalan tubuh bayi, memberikan dasar gizi yang optimal, dan
mempromosikan kesehatan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Keberhasilan salah
satu tenaga kesehatan sebagai fasilitator di Kabupaten Belu, NTT, dan sebagai fasilitator APN
bidan menunjukkan kontribusi positif dalam mendukung praktik menyusui di tingkat
komunitas.

Dengan demikian, temuan ini memberikan gambaran positif tentang kesiapan dan
kompetensi tenaga kesehatan dalam menghadapi aspek konseling dan manajemen menyusui,
serta pemahaman yang kuat terhadap aturan pemberian ASI. Upaya ini menjadi landasan
penting untuk mencapai keberhasilan dalam mendukung ibu dan bayi dalam praktik
menyusui, sesuai dengan anjuran WHO.

3. Pengetahuan Tenaga Kesehatan


Pentingnya pengetahuan tentang manfaat dan manajemen menyusui bagi tenaga
kesehatan dianggap sangat berpengaruh terhadap kualitas layanan yang diberikan
kepada ibu dan bayi post sectio caesarea. Upaya untuk meningkatkan kualitas layanan
ini dapat dilakukan melalui pembaharuan informasi mengenai manajemen laktasi bagi
seluruh tenaga kesehatan. Menurut temuan penelitian, sebanyak 63,5% responden
menjawab "ya/sudah," sementara 36,5% menjawab "tidak/belum." Di RS Katolik
Marianum Halilulik, mayoritas tenaga kesehatan sudah mengetahui tentang
manajemen laktasi, bahkan beberapa di antaranya telah mendapatkan informasi
melalui pelatihan khusus manajemen laktasi. Namun, di RS Sito Husada, mayoritas
tenaga kesehatan belum mendapatkan informasi terbaru melalui pelatihan manajemen
laktasi. Terakhir, di RSUD Mgr. Gabriel Manek SVD Atambua, hanya sebagian kecil
yang telah mendapatkan informasi melalui pelatihan, sementara beberapa
mendapatkan pembaruan melalui media sosial dan seminar kesehatan.

Poin yang tak kalah penting untuk mencapai keberhasilan pemberian ASI adalah
memberikan pelatihan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang manfaat dan
penatalaksanaan menyusui bagi tenaga kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa 70,8% responden menjawab "ya," sedangkan 29,2% menjawab "tidak." Di RS
Katolik Marianum Halilulik, mayoritas tenaga kesehatan telah mendapatkan pelatihan
komunikasi, informasi, dan edukasi tentang manfaat dan penatalaksanaan menyusui.
Bagi yang belum mengikuti pelatihan, mereka memperoleh informasi terbaru melalui
media sosial seperti YouTube. Di RS Sito Husada, sebagian besar tenaga kesehatan
belum mendapatkan pelatihan, berbeda dengan RSUD Mgr. Gabriel Manek SVD
Atambua dan RS Katolik Marianum Halilulik, di mana sebagian besar telah
mendapatkan KIE tentang manfaat dan penatalaksanaan menyusui.

Dengan demikian, langkah-langkah tersebut menegaskan perlunya pembaharuan


informasi dan pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam manajemen laktasi dan
pemberian pelatihan komunikasi, informasi, dan edukasi untuk mendukung
keberhasilan pemberian ASI. Ini menjadi kunci dalam memastikan bahwa tenaga
kesehatan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk
memberikan layanan yang berkualitas kepada ibu dan bayi pasca sectio caesarea.

4. Dukungan Tenaga Kesehatan Terhadap Pemberian ASI

Pemberian tindakan dan motivasi yang tepat oleh tenaga kesehatan kepada ibu nifas
maupun bayi baru lahir selama dalam perawatan di rumah sakit dianggap penting
untuk mendukung keberhasilan menyusui. Strategi ini mencakup pelatihan
manajemen laktasi dan memberikan motivasi kepada para ibu. Temuan penelitian
menunjukkan bahwa 86,5% responden di RS Katolik Marianum Halilulik, RS Sito
Husada, dan RSUD Mgr. Gabriel Manek SVD Atambua tetap memberikan motivasi
bagi para ibu untuk menyusui, terlepas dari apakah mereka telah mendapatkan
pelatihan atau tidak.

Tenaga kesehatan juga mengakui bahwa memberikan motivasi dapat dilakukan pada
ibu hamil, ibu yang baru melahirkan, terutama pada suami sebagai pendukung istri.
Dukungan lainnya mencakup sosialisasi tentang manfaat ASI dan edukasi mengenai
pentingnya air susu ibu sebelum kelahiran. Mayoritas tenaga kesehatan di rumah sakit
Kabupaten Belu memberikan sosialisasi tersebut, menunjukkan kesadaran akan
pentingnya informasi sejak awal kehamilan.

Selanjutnya, tenaga kesehatan memfasilitasi kegiatan inisiasi menyusu dini atau skin
to skin contact antara bayi baru lahir dan ibunya dalam waktu 60 menit segera setelah
persalinan. Temuan menunjukkan bahwa 91,7% responden telah melakukan kegiatan
tersebut, menandakan kesadaran akan pentingnya inisiasi menyusu dini untuk
keberhasilan pemberian ASI.

Dukungan lainnya yang diberikan oleh tenaga kesehatan adalah mengajarkan ibu post
sectio caesarea cara menyusui dan cara mempertahankan menyusui ketika berpisah
sementara dari bayinya. Mayoritas tenaga kesehatan telah melakukan hal ini,
menggambarkan komitmen untuk memastikan bahwa ibu post sectio caesarea
memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan.

Meskipun demikian, terdapat beberapa kelemahan dalam dukungan, seperti belum


disediakannya persetujuan tertulis kepada ibu post sectio caesarea bila bayinya akan
diberikan susu formula sebagai pengganti ASI yang belum keluar. Selain itu,
menerapkan rawat gabung ibu dengan bayinya sepanjang waktu 24 jam masih
menjadi hal yang belum diterapkan secara optimal oleh sebagian besar tenaga
kesehatan.

Namun, langkah-langkah dukungan lainnya, seperti menganjurkan ibu untuk tidak


membatasi pemberian ASI, menyusui sesuai permintaan bayi, dan tidak memberikan
dot pada bayinya, sudah cukup baik diterapkan oleh tenaga kesehatan. Begitu juga
dengan menganjurkan ibu untuk terus menyusui hingga bayinya berusia 6 bulan,
mayoritas tenaga kesehatan mendukung hal ini.

Kendati demikian, perlu perhatian lebih lanjut terkait dengan ketersediaan klinik
laktasi, kelompok pendukung menyusui, dan konselor laktasi yang masih kurang di
beberapa rumah sakit. Selanjutnya, pemberian ASI oleh ibu post sectio caesarea
selama dirawat di rumah sakit mendapat dukungan hampir sepenuhnya dari tenaga
kesehatan.

Terakhir, mayoritas tenaga kesehatan menyetujui aturan yang berlaku saat ini,
meskipun sebagian kecil masih merasa pelaksanaan IMD belum berjalan dengan
maksimal. Perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut untuk memastikan implementasi IMD
berjalan sesuai harapan dan memberikan dukungan yang maksimal bagi ibu dan bayi.

Pemangku kebijakan

Kebijakan tertulis tentang menyusui di ketiga rumah sakit di Kabupaten Belu sudah
ada, sebagaimana diindikasikan oleh jawaban pemangku kebijakan. Dari 13
responden, sebanyak 84,6% menyatakan bahwa rumah sakit telah memiliki kebijakan
tertulis mengenai menyusui. Ini menunjukkan komitmen dari pemangku kebijakan
untuk menciptakan landasan formal yang mendukung praktik menyusui di lingkungan
rumah sakit.

Selanjutnya, pengetahuan staf tentang aturan kebijakan menyusui juga cukup baik.
Sebanyak 84,6% responden menyatakan bahwa mereka sudah mengetahui aturan
kebijakan menyusui, sementara hanya 15,4% yang belum mengetahuinya. Hal ini
menunjukkan bahwa aturan kebijakan tersebut telah berhasil diterapkan dan dipahami
oleh sebagian besar staf rumah sakit.

Meskipun kebijakan dan pengetahuan sudah ada, pelatihan manajemen menyusui bagi
staf rumah sakit belum mencakup semua pihak. Dari 13 responden, hanya 53,8% yang
telah mendapatkan pelatihan, sementara 46,2% belum mendapatkannya. Pelatihan ini
perlu diperluas agar seluruh staf memiliki pemahaman yang mendalam tentang
manajemen menyusui, yang pada gilirannya dapat mendukung keberlanjutan
informasi mengenai kebijakan ASI.

Dukungan dari konselor ASI juga merupakan komponen penting dalam pelaksanaan
program menyusui di rumah sakit. RS Katolik Marianum Halilulik dan RSUD Mgr.
Gabriel Manek SVD Atambua sudah mempekerjakan konselor ASI, sementara RS
Sito Husada belum melakukannya. Ini menunjukkan adanya perbedaan dalam upaya
memastikan pelaksanaan program menyusui di setiap rumah sakit.

Waktu pemberian dukungan menyusui selama ibu dan bayi dirawat di rumah sakit
dapat dianggap baik dengan tersedianya dukungan pemberian ASI 24 jam. Namun,
perlu dicatat bahwa perjalanan penerapan waktu pemberian dukungan menyusui dapat
bervariasi di setiap ruangan, menunjukkan adanya potensi untuk peningkatan dan
konsistensi dalam penerapan kebijakan tersebut.

Ruangan khusus untuk memeras ASI dan menyusui bagi pasien maupun staf rumah
sakit sudah tersedia di sebagian besar rumah sakit. Dari 13 responden, sebanyak
84,6% menyatakan bahwa rumah sakit telah menyediakan ruangan khusus untuk
keperluan tersebut, terutama di ruangan perinatologi.

Namun, masih terdapat beberapa kelemahan dalam sistem pencatatan, terutama terkait
jumlah ibu post sectio caesarea yang menyusui. Dari 13 responden, sebanyak 61,5%
menyatakan bahwa mereka mencatat jumlah ibu yang menyusui, sementara 38,5%
tidak melakukannya. Selain itu, belum semua rumah sakit memiliki dokumen
persetujuan tertulis terkait pemberian ASI atau makanan lain pada bayi dengan
kondisi medis khusus.

Dukungan yang ditawarkan oleh rumah sakit kepada ibu menyusui melibatkan
berbagai aspek, seperti cara menyusui yang benar, posisi menyusui, pola makan, pola
istirahat, gizi pada ibu nifas, perawatan diri ibu dan anak, dukungan mental dan
moral, serta menganjurkan ibu untuk mengelola stres. Meskipun demikian, perlu
adanya evaluasi lebih lanjut terkait ketersediaan klinik laktasi, kelompok pendukung
menyusui, dan konselor laktasi, yang masih kurang di beberapa rumah sakit.

Terakhir, tingkat perawatan neonatal yang tinggi di rumah sakit, seperti ruangan
NICU/PICU, menunjukkan komitmen untuk menyediakan pelayanan yang
mendukung kesehatan bayi baru lahir. Meskipun donor ASI tidak digunakan di NICU,
rumah sakit memfasilitasi kegiatan inisiasi menyusu dini atau skin to skin contact
antara bayi baru lahir dan ibunya dalam waktu 60 menit segera setelah persalinan.
Proses penilaian bayi baru lahir juga dilakukan secara rutin oleh ketiga rumah sakit,
menunjukkan upaya dalam memastikan kesehatan dan keberhasilan menyusui.
Dalam penelitian ini, perhatian diberikan pada keberlanjutan praktik menyusui di tiga
rumah sakit Kabupaten Belu, khususnya terkait pelayanan kepada ibu post sectio
caesarea. Meskipun ketiga rumah sakit telah memiliki aturan tertulis mengenai
kebijakan menyusui, penyelenggaraannya masih belum merata diketahui oleh staf
rumah sakit dan belum terbuka untuk umum, sebagaimana terlihat dari kurangnya
distribusi kebijakan tertulis di ruangan-ruangan.

Hasil observasi selama tiga minggu menunjukkan bahwa pelaksanaan inisiasi


menyusui dini belum berjalan optimal. Dari 7 ibu sectio caesarea yang dihadiri oleh
peneliti, hanya 1 bayi baru lahir yang mendapatkan Inisiasi Menyusu Dini (IMD).
Selain itu, pelayanan rawat gabung segera pada bayi baru lahir juga belum terlaksana
dengan baik karena masing-masing rumah sakit memiliki aturan sendiri mengenai
rawat gabung bagi bayi post sectio caesarea. Sebagai contoh, RSUD Mgr. Gabriel
Manek dan SVD Atambua menerapkan aturan yang mengharuskan bayi baru lahir
diobservasi di ruang perinatologi pada hari pertama selama 1x24 jam.

Pemenuhan nutrisi bayi selama perawatan di perinatologi menggunakan metode ASI


perah yang diantarkan oleh keluarga ibu post sectio caesarea. Namun, jika bayi
mengalami kondisi medis yang membutuhkan perawatan lebih lama, ibu post sectio
caesarea dianjurkan untuk mendatangi bayinya di ruangan perinatologi untuk
menyusui sesuai jadwal. Kebijakan ini berbeda dengan RS Sito Husada dan RS
Katolik Marianum Halilulik, yang mewajibkan rooming in bagi ibu dan bayi setelah
bayi selesai diobservasi selama 6 jam post sectio caesarea.

Meskipun ketiga rumah sakit telah berkomitmen untuk menerapkan 10 Langkah


Menuju Keberhasilan Menyusui (10 LMKM) sesuai anjuran pemerintah, masih
terdapat kendala dalam optimalisasi aturan tersebut. Pelaksanaan IMD belum rutin
dilakukan, dan kebijakan rooming in bagi ibu dan bayi tidak selalu memperhitungkan
kebutuhan medis. Selain itu, terdapat ketidaksesuaian antara jawaban tenaga
kesehatan dan pemangku kebijakan terkait pelatihan manajemen menyusui,
menunjukkan adanya perbedaan persepsi yang dapat disebabkan oleh kurangnya
informasi dan komunikasi yang efektif di dalam rumah sakit.

Dalam rangka meningkatkan kualitas layanan menyusui, perlu adanya evaluasi dan
perbaikan terhadap pelaksanaan kebijakan dan prosedur di ketiga rumah sakit.
Distribusi kebijakan tertulis yang merata, peningkatan pelaksanaan IMD, dan
konsistensi dalam penerapan rooming in adalah beberapa aspek yang dapat
dioptimalkan untuk mendukung keberhasilan praktik menyusui di lingkungan rumah
sakit.
5.
Gambaran kebijakan menyusui di tiga rumah sakit menjadi fokus penelitian
mengungkapkan bahwa dari 96 responden tenaga kesehatan yang bekerja di ruang
operasi, ruang perawatan nifas, dan ruang perinatologi, sebanyak 90,6% menyatakan
bahwa rumah sakit telah menerapkan kebijakan menyusui sebagai langkah pertama
mendukung keberhasilan menyusui sesuai anjuran WHO. Hanya 7,3% yang menyatakan
bahwa rumah sakit tidak memiliki kebijakan menyusui.

Selanjutnya, temuan penelitian menunjukkan bahwa kebijakan tersebut sudah tertulis dan
dikomunikasikan secara rutin kepada seluruh karyawan rumah sakit, tetapi informasi ini
hanya terbatas di manajemen sehingga belum merata diketahui oleh seluruh staf dan
pengunjung rumah sakit. Selain itu, meskipun sebagian besar tenaga kesehatan
mengetahui kebijakan menyusui, hanya 76,0% yang menyatakan bahwa kebijakan
tersebut diketahui secara terbuka oleh pasien dan pengunjung rumah sakit.

Berdasarkan temuan penelitian tentang pelaksanaan kebijakan, sebanyak 83,3%


responden menyatakan bahwa kebijakan tersebut sudah dilaksanakan, namun terdapat
sebagian kecil yang belum optimal di seluruh ruangan, terutama di ruangan poli, KIA,
nifas, dan perinatologi.

Penerapan kebijakan juga melibatkan aturan larangan pemberian dot atau empeng di
ruangan perawatan post sectio caesarea. Sebanyak 59,4% responden menyatakan bahwa
rumah sakit telah melarang pemberian dot atau empeng, meskipun sebagian kecil tenaga
kesehatan masih berpendapat bahwa pemberian dot atau empeng diperlukan sebagai
alternatif untuk memberi ASI pada bayi yang tidak bisa menyusu langsung dari ibunya.

Penelitian ini juga menyoroti penerapan aturan inisiasi menyusu dini atau skin to skin
contact antara bayi baru lahir dan ibunya dalam waktu 60 menit setelah persalinan.
Ditemukan bahwa 91,7% tenaga kesehatan menerapkan aturan ini, khususnya untuk bayi-
bayi sehat, namun 9,3% masih mengatakan bahwa penerapannya tergantung pada kondisi
ibu dan bayi saat persalinan.

Selain itu, aturan rawat gabung bayi dan ibu post sectio caesarea juga diperhatikan.
Sebanyak 85,4% responden menyatakan bahwa rumah sakit memiliki aturan ini, namun
penerapannya baru dilaksanakan setelah 6-24 jam post sectio caesarea, dengan variasi di
antara rumah sakit.

Terakhir, penelitian membahas alternative pemberian susu formula bagi ibu yang belum
berhasil menyusui. Ditemukan bahwa 78,1% responden menyatakan memberikan
alternatif ini, namun rumah sakit Katolik Marianum Halilulik berkomitmen untuk tidak
memberikannya, sementara RS Sito Husada dan RSUD Mgr. Gabriel Manek SVD
Atambua memberikan alternatif melalui persetujuan orang tua bayi dengan indikasi
medis.
Kesimpulan
Kesimpulan dari analisis bagian ini adalah bahwa Rumah Sakit Kabupaten Belu memiliki
kebijakan menyusui sebagai langkah awal dalam mendukung menyusui sesuai anjuran
WHO. Namun, ada beberapa tantangan yang dihadapi, termasuk pemahaman yang belum
sepenuhnya konsisten tentang kebijakan tertulis, kurangnya sosialisasi, dan adanya
kebijakan lain yang tidak selaras, seperti IMD dan rawat gabung ibu dengan bayi post
sectio caesarea.

Perbedaan persepsi tenaga kesehatan terkait dengan dot, susu formula, dan pelaksanaan
IMD mempengaruhi pemberian pelayanan, sementara kurangnya komunikasi antara
manajemen dan tenaga kesehatan menciptakan ketidaksesuaian dalam penerapan
kebijakan. Alternatif pemecahan masalah mencakup sosialisasi, komunikasi, dan evaluasi
berkala, serta pelatihan manajemen laktasi, penyusunan SOP, ToT, dan seminar.

Meskipun mayoritas tenaga kesehatan telah mendapatkan edukasi tentang ASI,


implementasinya kurang percaya diri karena kekurangan pelatihan manajemen laktasi.
Keterampilan tenaga kesehatan perlu ditingkatkan melalui pelatihan, terutama bagi yang
berhubungan langsung dengan ibu hamil dan nifas.

Dukungan tenaga kesehatan terhadap pemberian ASI mayoritas ada, tetapi pemahaman
yang kurang optimal dapat mempengaruhi dukungan tersebut. Implementasi kebijakan
menyusui juga dipengaruhi oleh kendala seperti pendanaan yang tidak mencukupi,
dampak pandemi COVID-19, dan keterbatasan waktu dan kesempatan pelatihan.

Pemangku kebijakan mendukung kebijakan menyusui, tetapi kendala dana untuk


pelatihan perlu dievaluasi dan diperbaiki. Kendala lainnya termasuk kurangnya pelatihan
manajemen laktasi, kurikulum khusus kebijakan menyusui yang belum memadai, serta
konflik kepentingan politik. Solusi melibatkan penguatan pelatihan, advokasi multi-
sektoral, dan alokasi dana yang lebih baik untuk meningkatkan kompetensi penyedia
layanan dan mendukung implementasi kebijakan menyusui. Keseluruhan, upaya
perbaikan dan pengembangan melalui pelatihan, komunikasi, serta dukungan pemangku
kebijakan dapat meningkatkan implementasi kebijakan menyusui dan pemberian ASI
pada ibu post sectio caesarea di Rumah Sakit Kabupaten Belu.

Anda mungkin juga menyukai