Anda di halaman 1dari 2

Berbaik Sangka Kepada Allah – Syarah

al-Hikam – asy-Syarqawi

Al-Ḥikam
Kitab Tasawuf Sepanjang Masa
Judul Asli: Syarḥ-ul-Ḥikami Ibni ‘Athā’illāh-il-Iskandarī

Pensyarah: Syaikh ‘Abdullāh asy-Syarqawī


Penerjemah: Iman Firdaus, Lc.
Diterbitkan oleh: Turos Pustaka

Berbaik Sangka Kepada Allah.


‫ِل ِد‬ ‫ِف‬
‫ ِإْن ْمَل ْحُتِس ْن َظَّنَك ِبِه َأِلْج ِل ُح ْس ِن َو ْص ِه َفَح ِّس ْن َظَّنَك ِبِه ُوُجْو ُمَعاَم َلِتِه َمَعَك‬.41
‫َفَه ْل َعَّوَدَك ِإاَّل َح َس ًنا َو َه ْل َأْس دى ِإَلْيَك ِإاَّل ِم َنًنا‬
Jika kau tidak bisa berbaik-sangka kepada Allah karena kebaikan sifat-sifatNya, berbaik-
sangkalah kepada-Nya atas kebaikan perlakuan-Nya terhadapmu. Bukankah Dia selalu
memberimu yang baik-baik dan mengaruniaimu berbagai kenikmatan?

– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –

Dalam hikmah ini, Ibnu ‘Atha’illah mengisyaratkan bahwa dalam berbaik sangka kepada Allah,
manusia terbagi menjadi dua golongan: golongan khusus dan golongan awam.

Golongan khusus berbaik sangka kepada Allah atas sifat-sifatNya yang baik. Sementara itu,
golongan umum berbaik sangka kepada Allah atas perlakuan-Nya yang baik terhadap diri
mereka, berupa karunia dan nikmat yang telah diberikan-Nya kepada mereka.

Ada perbedaan yang mencolok antara dua maqām tersebut. Ibnu ‘Atha’illah seakan berkata:
“Wahai murīd, kau harus berbaik sangka kepada Allah secara muthlak, baik itu atas manfaat
yang telah diberikan-Nya maupun bahaya yang telah dijauhkan-Nya darimu. Kau tidak boleh
berpaling kepada selain-Nya. Jika kau tak sanggup berbaik sangka kepada-Nya menurut
maqām orang khusus, kau bisa berbaik sangka kepada-Nya menurut maqām orang awam.
Sikap berbaik sangkamu kepada Allah atas kebaikan sifat-sifatNya akan menumbuhkan cinta
dan tawakkal yang benar kepada-Nya. Baik sangkamu kepada-Nya atas perlakuan-Nya yang
baik terhadapmu akan membuahkan syukur atas nikmat dan rahmat-Nya.”

‫َّمِما اَل اْنِف‬


‫َل‬ ‫ا‬ ‫َق‬ ‫اَل‬ ‫ا‬ ‫ُل‬‫ْط‬
‫ُه ُه َو َي ُب َم َب َء ُه َم َعُه‬ ‫ْن‬ ‫َع‬ ‫َل‬ ‫َك‬‫ا‬ ‫َك‬ ‫ اْلَعَج ُب ُك ُّل اْلَعَج ِب َّمِمْن َيْه َرُب‬.42
‫َفِإَّنَه ا اَل َتْع ى اَأْلْبَص ا لِكْن َتْع ى اْلُقُلْو ُب اَّل يِف الُّصُد ْو ِر‬
‫ْيِت‬ ‫َم‬ ‫ُر َو‬ ‫َم‬
Sungguh aneh! Orang menghindar dari sosok yang tak bisa dihindari, lalu mencari sesuatu yang
tidak kekal: “Sesungguhnya, mata kepala itu tidak buta, tetapi yang buta adalah mata hati yang
ada di dalam dada.”

– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –

Sungguh mengherankan! Orang ingin menghindari Allah dengan tidak melakukan apa yang
sudah ditetapkan-Nya untuknya dan lebih suka mencari dunia dan perkara-perkara selain-Nya
karena mengikuti hawa nafsu.

Tindakan seperti ini bersumber dari kebutaan mata hati dan kebodohannya tentang Tuhannya
karena ia menukar sesuatu yang teramat baik dengan sesuatu yang hina. Ia juga lebih
mengutamakan yang fanā’ daripada yang kekal dan tak bisa dihindarinya. Sekiranya ia
memiliki mata hati yang tajam, niscaya ia takkan melakukan hal itu.

Anda mungkin juga menyukai