Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

KAPITA SELEKTA KELOMPOK 3


Disusun untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah Kapita Selekta Pendidikan

Oleh :
Zaenul Fawaid : 220110069
Sartinah : 210110003
Tri Yunita Sari : 220110050

Dosen Pengampu : Diah Permasih, S.Pd., M.Pd

PROGRAM STUDY PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT MIFTAHUL HUDA AL AZHAR KOTA BANJAR


2024
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang mana sudah menyampaikan rahmat, karunia,
dan taufik serta hidayah-Nya. sehingga kami bisa menuntaskan makalah ini. Sholawat
dan salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi agung Muhammad
SAW, yang kita nanti nantikan syafaat-Nya di Yaumul Qiyamah nantinya, serta pula
kami berterima kasih kepada Ibu Diah Permasih, S.Pd., M.Pd. Selaku Dosen yang
telah membimbing kami.

kami sangat berharap makalah ini bisa bermanfaat untuk menambah wawasan
serta pengetahuan kita tentang materi Kapita Selekta Pendidikan. kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa pada dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan
dan jauh dari apa yang diharapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran
serta usulan demi pemugaran yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yangmembentuk.

Pangandaran, 19 Maret 2024


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG.......................................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH..................................................................................................4
C. TUJUAN MASALAH.......................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................5
A. Paradigma Baru Pendidikan Nasional...............................................................................5
1. Pendidikan Adalah Kerja Akademik..............................................................................6
2. Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003.......................................................8
3. Peran Serta Masyarakat................................................................................................10
4. Tantangan Globalisasi..................................................................................................13
B. Pendidikan Multikulturalisme Di Indonesia....................................................................15
1. Konsep Multikulturalisme............................................................................................17
2. Pendidikan Multikulturalisme......................................................................................17
3. Pendidikan Multikultural menuju civil society............................................................19
C. Strategi Pembangunan Pendidikan Berkualitas...............................................................24
D. Menghadapi Arus Globalisai...........................................................................................25
1. Dekadensi Moral Melemahkan Potensi.......................................................................26
2. Kesenjangan Sosial......................................................................................................27
3. Generasi Penyumbang..................................................................................................29
4. Penguatan Nilai Budaya...............................................................................................30
E. Pembaruan Pendidikan Agama Islam Suatu Keharusan..................................................32
BAB III PENUTUP.................................................................................................................35
A. Kesimpulan..................................................................................................................35
B. Saran.............................................................................Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................37
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu unsur dari aspek social budaya yang
berperan sangat strategis dalam pembinaan suatu keluarga, masyarakat atau
bangsa. Pendidikan merupakan sebuah yang tidak dapat dipisahkan dalam
kehidupan umat manusia. Karenanya manusia harus senantiasa mencari dan
menuntut imu pengetahuan Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
merupakan salah satu factor pentingyang mengharuskan manusia untuk selalu
mengembangkan keilmuannya agar dapat beradaptasi di dunia yang kaya akan
ilmu dan kemajuan teknologi.
B. Rumusan Masalah
1. apa itu paradigm pendidikan nasional?
2. Bagaimana pendidikan multikulturalisme di Indonesia?
3. Bagaimana strategi pendidikan yang berkualitas?
4. Bagaimana menghadapi arus globalisasi/
5. Apakah pembaruan pendidikan agama islam itu suatu keharusan?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui paradigm pendidikan
2. Untuk menambah wawasan tentang multikulturalisme di Indonesia
3. Untuk mengetahui strategi pendidikan yang berkualitas
4. Agar dapat menghadapi arus globalisasi
5. Agar mengetahui bagaimana pembaruan pendidikan agama islam
BAB II

PEMBAHASAN

A. Paradigma Baru Pendidikan Nasional


Paradigma ilmu dirumuskan oleh Kuhn sebagai kerangka teoritis, atau suatu
cara memandang dan memahami alam, yang telah digunakan oleh komunitas
ilmuwan sebagai pandangan dunianya. Paradigma ilmu ini berfungsi sebagai lensa,
sehingga melalui lensa ini para ilmuwan dapat mengamati dan memahami masalah-
masalah ilmiah dalam bidang masing-masing dan jawaban-jawaban ilmiah terhadap
masalah-masalah tersebut. Paradigma diartikan sebagai alam disiplin intelektual,
yaitu cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan
memengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku
(konatif). Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktek
yang diterapkan dalam memandang realitas kepada sebuah komunitas yang sama,
khususnya, dalam disiplin intelektual. Dengan pengertian-pengertian di atas,
Paradigma Pendidikan dan Paradigma Pendidikan Nasional dapat dirumuskan sebagai
berikut ini:

”Paradigma pendidikan adalah suatu cara memandang dan memahami pendidikan,


dan dari sudut pandang ini kita mengamati dan memahami masalah-masalah
pendidikan yang dihadapi dan mencari cara mengatasi permasalahan tersebut”.

“Paradigma pendidikan nasional adalah suatu cara memandang dan memahami


pendidikan nasional, dan dari sudut pandang ini kita mengamati dan memahami
masalah dan permasalahan yang dihadapi dalam pendidikan nasional, dan mencari
cara mengatasi permasalahan tersebut.”

Kedalam cara pandang itu termasuk tantangan dasar yang dihadapi manusia
dalam kaitannya dengan tata sosial, kebudayaan serta lingkungan alamnya.
Konsep paradigma Pendidikan Nasional yang disusun ini akan menjadi dasar
untuk menentukan kebijakan serta pelaksanaannya, dan melibatkan pula penentuan
persyaratan pelaksana-pelaksananya. Dalam kaitan dengan pelaksanaan pendidikan
ini, perlu diperhitungkan pengaruh berbagai sumber belajar, termasuk yang informal
dan di dunia maya yang kesemuanya dapat mempunyai pengaruh tersendiri kepada
peserta didik. Perumusan paradigma pendidikan nasional yang akan dianut ini, perlu
didasarkan pada tujuan, atau apa yang diharapkan dari hasil pendidikan kita yang
akan datang. Hal ini akan diuraikan dalam bagian tersendiri.

1. Pendidikan Adalah Kerja Akademik


Pendidikan sebagai kerja akademik adalah proses sistematis yang melibatkan
transfer pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi
berikutnya melalui berbagai aktivitas akademik. Ini mencakup pengajaran,
pembelajaran, dan penelitian dalam lingkungan pendidikan formal dan informal.
Berikut adalah penjelasan lebih lengkap tentang pendidikan sebagai kerja akademik:

a. Pengajaran: Pendekatan pengajaran yang efektif melibatkan


perencanaan, penyampaian, dan evaluasi materi pelajaran agar sesuai
dengan kebutuhan dan karakteristik siswa. Pengajar menggunakan
berbagai strategi dan metode pengajaran untuk mendukung
pemahaman dan penguasaan konsep oleh siswa.
b. Pembelajaran: Siswa aktif terlibat dalam proses pembelajaran yang
meliputi membaca, menulis, berdiskusi, melakukan eksperimen, dan
memecahkan masalah. Fokusnya adalah pada pengembangan
pemahaman, keterampilan, dan sikap yang diperlukan untuk berhasil
dalam kehidupan.
c. Penelitian: Di tingkat akademik, penelitian merupakan komponen
penting dari pendidikan. Dosen, peneliti, dan mahasiswa terlibat dalam
penyelidikan ilmiah untuk menghasilkan pengetahuan baru,
memecahkan masalah, dan meningkatkan pemahaman dalam berbagai
disiplin ilmu.
d. Kurikulum: Kurikulum mencakup semua materi pelajaran, kegiatan
pembelajaran, dan tujuan pendidikan yang disusun secara terstruktur.
Proses pengembangan kurikulum melibatkan pemilihan, organisasi,
dan penyajian materi pelajaran yang relevan dan bermanfaat bagi
siswa.
e. Penilaian Pembelajaran: Penilaian digunakan untuk mengukur
pemahaman, keterampilan, dan prestasi siswa dalam proses
pembelajaran. Ini melibatkan berbagai metode evaluasi, seperti ujian,
tugas, proyek, dan penilaian portofolio, untuk memberikan umpan
balik yang konstruktif kepada siswa.
f. Teknologi dalam Pendidikan: Perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi telah mengubah cara pendidikan disampaikan dan diakses.
Penggunaan teknologi, seperti e-learning, pembelajaran berbasis web,
dan aplikasi pendidikan, telah membuka peluang baru dalam
meningkatkan aksesibilitas dan efektivitas pendidikan.
g. Pengembangan Profesional: Pendidikan sebagai kerja akademik juga
melibatkan pengembangan profesional bagi para pendidik. Ini
mencakup pelatihan, peningkatan keterampilan mengajar, penelitian,
publikasi ilmiah, dan partisipasi dalam kegiatan profesional untuk
meningkatkan praktik pendidikan.
h. Kerjasama dengan Stakeholder: Pendidikan tidak hanya melibatkan
interaksi antara pendidik dan siswa, tetapi juga melibatkan kerjasama
dengan berbagai stakeholder, seperti orang tua, pemerintah, industri,
dan masyarakat umum, untuk menciptakan lingkungan pembelajaran
yang mendukung dan relevan.
Pendidikan sebagai kerja akademik merupakan upaya kolaboratif untuk
mengembangkan individu dan masyarakat melalui proses pembelajaran, penelitian,
dan pengembangan profesional yang berkelanjutan.
2. Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003
UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional atau biasa disebut
UU Sisdiknas adalah landasan hukum bagi pengelolaan pendidikan di Indonesia. UU
ini juga menjadi pijakan dalam pengembangan kurikulum dan penyelenggaraan
pendidikan di Indonesia. Dengan implementasi yang tepat, UU ini diharapkan dapat
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia dan membentuk generasi yang
berkualitas, berakhlak mulia, serta unggul dalam berbagai aspek. Oleh karena itu,
kenali apa saja hal penting terkait undang-undang ini.

Sesuai namanya, UU ini mengatur terkait sistem pendidikan di Indonesia dari


berbagai aspek. Hal ini sesuai dengan salah satu amanat pada pembukaan UUD 1945,
yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.Itu sebabnya, dibuatlah UU Sisdiknas ini
untuk menjamin sistem pendidikan nasional yang mampu menjamin pemerataan
akses pendidikan, peningkatan mutu, hingga relevansi dan efisiensi manajemen
pendidikan secara terarah, terencana, serta berkesinambungan.

Dalam undang-undang tersebut, disebutkan terkait beberapa ketentuan umum


dalam sistem pendidikan nasional, dasar, fungsi, tujuan, hingga hal-hal penting
lainnya. Berikut ini beberapa di antaranya:

a. Latar Belakang Lahirnya Undang- Undang Sisdiknas


Menurut sejarah, UU terkait Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20
tahun 2003 tidak lahir begitu saja, bahkan sempat melalui perdebatan sengit
yang berujung pada unjuk rasa dan ancaman disintegrasi.
Situasi dilematis yang mempersulit lahirnya undang-undang ini
disebabkan oleh kritik tajam dari berbagai pihak terhadap rumusan UU
tersebut yang dianggap terlalu menekankan pada agama dan mengabaikan
tujuan pendidikan nasional yang universal dan komprehensif. Di sisi lain, UU
ini dibuat dengan maksud sebagai solusi formal atas krisis pendidikan yang
tengah melanda Indonesia pada masa itu. Sehingga, UU Sisdiknas No 20
Tahun 2003 sebenarnya merupakan respon atas tuntutan reformasi pendidikan
yang semakin mendesak.
Maka pada peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2003, Presiden
Megawati Soekarnoputri yang saat itu menjabat menegaskan bahwa
kegagalan dan ketidakberhasilan dalam pendidikan mencerminkan kegagalan
dalam membentuk karakter bangsa Indonesia yang sedang dalam proses
membangun.
Kala itu, terdapat 4 isu sentral dalam reformasi pendidikan yang
meliputi:
 Pendidikan agama selaku basis pendidikan nasional
 Pemeratan kesempatan mengakses pendidikan
 Peningkatan mutu serta relevansi pendidikan
 Efisiensi dalam manajemen Pendidikan

Sementara itu, UU Sistem Pendidikan Nasional yang lama yaitu


Undang-Undang No 2 Tahun 1989 dianggap tidak bisa lagi menjawab dan
menyelesaikan keempat isu tersebut. Itulah sebabnya pemerintah kemudian
mengesahkan UU Sisdiknas baru yaitu Undang-Undang No 20 Tahun 2003.

b. Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Nasional Menurut UU No 20


Tahun 2003
Secara lebih rinci, undang-undang ini juga mengatur terkait prinsip
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia yang berlaku secara nasional,
meliputi 6 poin sebagai berikut:

 Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak


diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
 Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan
sistem terbuka dan multimakna.
 Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
 Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun
kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses
pembelajaran.
 Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca,
menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
 Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen
masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian
mutu layanan pendidikan.

Prinsip di atas wajib diterapkan dalam penyelenggaraan sistem


pendidikan nasional di Indonesia dalam rangka mencapai tujuan
mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat yang tercantum dalam
pembukaan UUD 1945.
Dengan demikian, kualitas sistem pendidikan nasional Indonesia juga
dapat ditingkatkan dan mampu bersaing dengan pendidikan dari negara luar.
Selain menerapkan berbagai prinsip di atas, penyelenggara pendidikan juga
bisa mengikuti sertifikasi di bidang pendidikan. Salah satunya yaitu ISO
21001 terkait Sistem Manajemen Organisasi Pendidikan yang digunakan
untuk menunjukkan bahwa suatu organisasi penyelenggara pendidikan sudah
memenuhi persyaratan tertentu dalam memaksimalkan pendidikan bagi
peserta didiknya.
3. Peran Serta Masyarakat
Meningkatkan peran serta masyarakat memang sangat erat berkait dengan
pengubahan cara pandang masyarakat terhadap pendidikan. Tentu bukan hal yang
mudah untuk dilakukan. Kepedulian adalah salah satu bentuk peran serta masyarakat
terhadap pendidikan. Kepedulian adalah salah satu bentuk peran masyarakat atas
penyelenggaraan pendidikan. Kepedulian di sini maksudnya adalah keterlibatan
masyarakat secara langsung dalam berbagai bentuk, seperti: ide, saran, pendapat,
dana, gagasan, ketrampilan, dan jasa. Keterlibatan masyarakat dalam bentuk
kepedulian tersebut, yaitu untuk meningkatkan kesadaran mereka akan hak dan
tanggung jawabnya dalam dunia pendidikan. Harapannya, dapat mensukseskan
program pendidikan yang telah dicanangkan.

Intinya, peran masyarakat dalam peyelenggaraan pendidikan agar sekolah


dapat berfungsi dengan baik. Tujuan peran masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan (Miarso, 2004:709), yaitu: pertama, adanya tanggung jawab bersama
dalam pendidikan akan terbentuk dalam kesadaran masyarakat dalam bentuk
kepedulian. Kedua, terselenggaranya kerja sama yang saling menguntungkan antara
pihak yang berkepentingan dengan pendidikan. Ketiga, tercapainya efektivitas dan
efisiensi dalam pemanfaatan sumber daya manusia, sumber daya alam (lingkungan),
dan sumber daya buatan seperti dana, fasilitas, dan peraturan-peraturan. Keempat,
meningkatkan kinerja sekolah, yang berarti pula meningkatnya produktivitas,
kesempatan memperoleh pendidikan, keserasian proses dan hasil pendidikan sesuai
dengan kondisi anak didik dan lingkungan, serta komitmen dari para pelaksana
Pendidikan.

Di era otonomi seperti saat sekarang ini, peran masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan merupakan wujud dari kesadaran pemilikan masyarakat akan keberadaan lembaga
pendidikan. Hal ini menjadi dorongan masyarkat, bahwa menciptakan sumber daya yang
unggul dan berkualitas adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya tanggung jawab pihak
sekolah saja. Sehingga, akan tumbuh dalam diri masyarakat untuk berperan aktif dalam
membangun pendidikan yang bermutu dan mandiri.
Dari semua keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan,
sebagaimana sudah dijelaskan di atas, adalah bentuk nyata implementasi otonomi
pendidikan. Sedangkan pemerintah hanya berfungsi sebagai fasilitator dan mitra kerja
masyarakat. Salah satu wujud dari peran tersebut adalah dengan dibentuknya komite
sekolah.

Terciptanya kemitraan antara masyarakat dengan sekolah merupakan bentuk


nyata peran serta masyarakat dalam pendidikan. Agar peran serta
masyarakat akan pendidikan terus ada, tentu hubungan kemitraan tersebut antara
sekolah dengan masyarat harus terus dibina dan dipupuk. Secara
umum, ada empat bentuk pelaksanaan agar hubungan kemitraan antara sekolah
dengan masyarakat terus terjalin dengan baik, yaitu: pertama,
mengikutkan peserta didik dalam kegiatan masyarakat. Peserta didik bisa diikutkan
secara langsung dengan kegiatan bersama masyarakat. Tujuannya, agar peserta didik
mengerti dan memahami betul bagaimana interaksi sosial di luar sekolah. Sehingga,
nantinya peserta didik tidak merasa canggung bila berhadapan dengan masyarakat
yang luas.

Kedua, penyediaan fasilitas sekolah untuk keperluan masyarakat. Sekolah bisa


memberikan bantuan berupa fasilitas kepada masyarakat untuk keperluan-keperluan
tertentu. keperluan tersebut tentu yang berhubungan dengan keperluan bersama dalam
kegiatan kemasyarakatan. Contohnya, sekolah bisa digunakan dalam
penyelenggaraan pemilihan kepala desa. Sekolah bisa dijadikan salah satu tempat
pemungutan suara. Atau, bisa juga dijadikan tempat pemeriksaan kesehatan bagi
lansia. Dan banyak kegiatan lain yang bersifat umum bagi masyarakat sekitar.

Ketiga, Guna menunjang kelancaran dan pengembangan pendidikan, tokoh-


tokoh masyarakat dilibatkan (diberdayakan) untuk memberikan materi yang tidak ada
di sekolah. Materi yang dimaksud adalah materi umum yang bersifat sebagai motifasi
sehingga dapat memberikan pengaruh terhadap sikap dan prilaku perserta didik.
Contohnya, ceramah-ceramah keagamaan dari tokoh agama setempat. Hasilnya, sikap
dan perilaku peserta didik semakin baik.

Keempat, Mengikutsertakan sekolah dalam menunjang pelaksanaan


pendidikan, yaitu mengikutkan warga madrasah dalam pelaksanaan pendidikan yang
ada di dalam lingkup madrasah maupun pelayanan pendidikan. Selain itu, masyarakat
dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil.

4. Tantangan Globalisasi
Era globalisasi ditandai dengan persaingan ekonomi secara hebat yang diikuti
dengan terjadinya revolusi teknologi informasi, komunikasi, dan industri. Persaingan
ini masih dikuasai oleh tiga raksasa ekonomi yaitu Jepang dari kawasan Asia, Uni
Eropa dan Amerika Serikat. Kondisi kemajuan teknologi informasi dan industri di
atas yang berlangsung dengan amat cepat dan ketat di era globalisasi menuntut setiap
negara untuk berbenah diri dalam menghadapi persaingan tersebut. Bangsa yang
yang mampu membenahi dirinya dengan meningkatkan sumber daya manusianya,
kemungkinan besar akan mampu bersaing dalam kompetisi sehat tersebut. Di sinilah
pendidikan diharuskan menampilkan dirinya, apakah ia mampu mendidik dan
menghasilkan para siswa yang berdaya saing tinggi (qualified) atau justru mandul
dalam menghadapi gempuran berbagai kemajuan dinamika globalisasi tersebut.

Menurut asal katanya, "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya
ialah universal. Globalisasi adalah keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan
antar manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya
populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara
menjadi semakin sempit. Era globalisasi adalah tantangan besar bagi dunia
pendidikan. Dalam konteks ini, Khaerudin Kurniawan (1999), mendeskripsikan
berbagai tantangan pendidikan dalam menghadapi arus globalisasi, antara lain:

a. Tantangan untuk meningkatkan nilai tambah, yaitu bagaimana meningkatkan


produktivitas kerja nasional serta pertumbuhan dan pemerataan ekonomi,
sebagai upaya untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan
berkelanjutan (continuing development).
b. Tantangan untuk melakukan riset secara komprehensif terhadap terjadinya era
reformasi dan transformasi struktur masyarakat, dari masyarakat tradisional-
agraris ke masyarakat modern-industrial dan informasi- komunikasi, serta
bagaimana implikasinya bagi peningkatan dan pengembangan kualitas
kehidupan SDM.
c. Tantangan dalam persaingan global yang semakin ketat, yaitu meningkatkan
daya saing bangsa dalam menghasilkan karya-karya kreatif yang berkualitas
sebagai hasil pemikiran, penemuan dan penguasaan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni.
d. Tantangan terhadap munculnya invasi dan kolonialisme baru di bidang
IPTEK, yang menggantikan invasi dan kolonialisme di bidang politik dan
ekonomi.

Semua tantangan tersebut menuntut adanya SDM yang berkualitas dan berdaya
saing di bidang-bidang tersebut secara komprehensif dan komparatif yang
berwawasan keunggulan, keahlian profesional, berpandangan jauh ke depan
(visioner), rasa percaya diri dan harga diri yang tinggi serta memiliki keterampilan
yang memadai sesuai kebutuhan.
B. Pendidikan Multikulturalisme Di Indonesia
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki keragaman budaya yang
sangat tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 1.340 suku
bangsa, 652 bahasa daerah, dan enam agama resmi yang diakui di Indonesia3. Oleh
karena itu, mulkulturalisme merupakan sebuah konsep yang relevan dan penting
untuk diterapkan di Indonesia.
Salah satu upaya untuk mewujudkan mulkulturalisme di Indonesia adalah
dengan mengadopsi Pancasila sebagai ideologi negara. Pancasila merupakan hasil
dari kesepakatan para pendiri bangsa yang berasal dari berbagai latar belakang
budaya. Pancasila mengandung nilai-nilai dasar yang dapat menjadi landasan bersama
bagi seluruh rakyat Indonesia, seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan,
dan keadilan.
Selain itu, mulkulturalisme juga dapat ditingkatkan melalui pendidikan,
media, seni, dan budaya. Pendidikan dapat menjadi sarana untuk menanamkan sikap
toleransi, saling menghormati, dan saling mengenal antara berbagai kelompok
budaya. Media dapat menjadi alat untuk menyebarkan informasi dan pesan-pesan
positif tentang keberagaman budaya. Seni dan budaya dapat menjadi media untuk
mengekspresikan dan mengapresiasi kekayaan budaya Indonesia.
Akar kata Multikulturalisme adalah kebudayaan, pengertian kebudayaan
menurut para ahli sangat beragam. Kebudayaan adalah ideologi yang dapat menjadi
alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaanya .
Multikulturalisme mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik
secara individual maupun secara kebudayaan .
Multikulturalisme memandang sebuah masyarakat mempunyai sebuah
kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat yang coraknya seperti sebuah
mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat
lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang
mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik tersebut.
Meskipun multikulturalisme memiliki banyak manfaat dan potensi untuk
membangun masyarakat yang harmonis dan dinamis, multikulturalisme juga
menghadapi beberapa tantangan dan hambatan. Beberapa tantangan tersebut antara
Iain adalah:
a. Adanya konflik dan ketegangan antara kelompok budaya yang disebabkan
oleh faktor-faktor seperti sejarah, politik, ekonomi, sosial, dan psikologis.
b. Adanya diskriminasi dan marginalisasi terhadap kelompok budaya
minoritas yang mengakibatkan ketimpangan dan ketidakadilan.
c. Adanya radikalisme dan ekstremisme yang menolak keberagaman budaya
dan mengancam persatuan dan keutuhan bangsa
d. Adanya globalisasi dan modernisasi yang dapat mengancam kelestarian
dan keaslian budaya lokal.
Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, diperlukan komitmen dan
kerjasama dari semua pihak, baik pemerintah, masyarakat sipil, maupun individu.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah:
 Meningkatkan dialog dan komunikasi antara berbagai kelompok budaya
untuk membangun kepercayaan, pengertian, dan kerja sama.
 Mendorong partisipasi dan keterlibatan kelompok budaya minoritas dalam
proses pembangunan dan pengambilan keputusan.
 Mencegah dan menyelesaikan konflik antar budaya dengan cara damai dan
adil.
 Menegakkan hukum dan hak asasi manusia untuk melindungi semua
kelompok budaya dari segala bentuk pelanggaran dan kekerasan.
 Melestarikan dan mengembangkan budaya lokal dengan cara kreatif dan
inovatif.
1. Konsep Multikulturalisme
Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara
lain adalah demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos,
kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat,suku bangsa,
kesukubangsaan, kebudayaan suku bangsa, keyakinan dan keagamaan
ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, hak asasi manusia,
hak budaya komunitas, dan konsep-konsep lainnya yang relevan.

Konsep Multikulturalisme ada beberapa konsep, yaitu :


a. Memberi konsep diri yang jelas
b. Membantu memahami pengalaman kelompok etnis dan budaya ditinjau
dari sejarahnya
c. Membantu memahami bahwa konflik antara ideal dan realitas itu memang
ada pada setiap masyarakat

2. Pendidikan Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah sebuah konsep yang mengakui dan
menghargai adanya perbedaan dan keragaman budaya dalam masyarakat.
Budaya di sini mencakup berbagai aspek, seperti nilai, adat, suku, bahasa,
agama, sistem politik, dan lain-lain. Multikulturalisme bertujuan untuk
menciptakan persatuan dan kesetaraan di antara berbagai kelompok budaya
yang berbeda, tanpa menghilangkan identitas dan kekhasan masing-masing.
Multikulturalisme juga merupakan sebuah praktik yang
mengimplementasikan konsep tersebut dalam kebijakan dan tindakan
nyata.

Praktik multikulturalisme dapat bervariasi tergantung pada konteks


dan kondisi masyarakat yang bersangkutan. Ada beberapa jenis
multikulturalisme yang dapat dibedakan berdasarkan tingkat interaksi dan
integrasi antara kelompok budaya. Jenis-jenis Multikulturalisme menurut
Parekh (1997) ada lima jenis yaitu:
a. Multikulturalisme Isolasionis : Masyarakat di mana berbagai kelompok
budaya menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang
hanya minimal satu sama Iain. Contoh: masyarakat Amish di Amerika
Serikat.
b. Multikulturalisme Akomodatif : Masyarakat yang memiliki budaya
dominan dan membuat penyesuaian bagi kebutuhan budaya kaum
minoritas. Kaum mayoritas memberikan kebebasan kepada kaum minoritas
untuk mempertahankan dan mengembangkan budaya mereka. Contoh.
masyarakat Kanada
c. Multikulturalisme Otonomis : Masyarakat plural di mana kelompok-
kelompok budaya utama berusaha mewujudkan kesetaraan dengan budaya
dominan dan menginginkan kehidupan otonom yang secara kolektif bisa
diterima. Contoh: masyarakat Belgia
d. Multikulturalisme Kritikal atau Interaktif : Masyarakat plural di mana
kelompok-kelompok budaya tidak terlalu terfokus dengan kehidupan
budaya otonom, tetapi menciptakan penegasan perspektif khas mereka.
Contoh: masyarakat Australia
e. Multikulturalisme Kosmopolitan : Masyarakat plural yang menghapus
batasbatas budaya untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap
individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu. Contoh: masyarakat
Singapura.
Pendidikan multikultural di indonesia lahir dari perjalanan panjang yaitu
pertama dari masa kolonial, pendidikan yang bercorak melting pot pada masa orde
baru, dan ketiga dari pendidikan multikultural dwngan semangat pada masa
demokrasi.
Pengembangan pendidikan multikulturalisme di indonesia dapat terbentuk yaitu
 Penambahan materi multikultural dalam aktualisasinya berupa pemberian
materi tentang berbagai budaya yang ada di tanah air budaya berbagai
belahan duni
 Berbentuk bidang studi atau mapel yang berdiri sendiri
Tujuan utama dari pendidikan multikultural ini adalah untuk memberi
pengetahuan dasar atas keberagaaman yang di miliki oleh bangsa indonesia dan
pentingnya upaya untuk menjaganya. Dengan adanya pendidikan multikultural ini
ungkapan ‘ bhineka tunggal ika’’ dapat terwujud.

3. Pendidikan Multikultural menuju civil society


Konsep civil society berasal dari pergolakan politik dan sejarah masyarakat
di wilayah Eropa bagian Barat. Jika ditinjau lebih jauh, konsep ini sudah
berkembang sejak Cicero sampai zaman Yunani Kuno, di masa Aristoteles.
Aristoteles menyebut konsep ini dengan Koinonia Politike yang diartikan sebagai
sistem kenegaraan atau biasa identik dengan Negara itu sendiri. Berbeda dengan
Aristoteles, Marcus Tullius Cicero mereka menyebutnya dengan Societas Civili
yang identik dengan the state (negara), yaitu komunitas yang mendominasi
sejumlah komunitas lainnya (Hikam, 1996). Konsep civil society juga
dikembangkan oleh Thomas Hobbes dan John Locke; konsep ini terus
berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Bukan hanya konsep barat,
Islam juga mempunyai konsep civil society dengan sebutan masyarakat madani.
Pemakaian istilah “masyarakat madani” lebih popular digunakan dalam
memahami istilah civil society di Indonesia.

Konsep masyarakat madani ini dibangun oleh Nabi Muhammad Saw.


ketika beliau menjadi pemimpin di kota Madinah, dengan memproklamirkan
Piagam Madinah. Dalam konteks piagam madinah menyiratkan pertama,
Ummatan Wahidah yaitu umat yang satu meskipun mereka berbeda suku. Kedua,
hubungan komunitas muslim dengan non-muslim yang didasarkan atas prinsip
kesetaraan. Hal itu dapat ditunjukkan dengan berinteraksi secara baik dengan
tetangga, bekerjasama melawan musuh Negara, membela yang teraniaya, dan
menghormati kebebasan beragama (Tibi, 1991; Sanaky, 1999). Nabi Muhammad
Saw. berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, kesetaraan hukum, serta
perlindungan terhadap kelompok minoritas. Dari pemikiran tersebut, para
pemikir Muslim menganggap masyarakat Madinah sebagai prototype dari
masyarakat ideal dari produk Islam sebagaimana konsep civil society.
Dalam mewujudkan masyarakat madani, terlebih dahulu perlu untuk diketahui
prasyarat yang tidak dapat dipisahkan antar elemen. Masyarakat madani memiliki
karakteristik sebagai berikut:
a. Free Public Sphere, yaitu setiap warga negara memiliki kebebasan untuk
mengemukakan aspirasi yang berkaitan dengan kepentingan publik oleh
seorang penguasa yang otoriter melalui ruang publik yang bebas.
b. Demokrasi adalah sistem yang menjunjung tinggi wacana masyarakat madani.
c. Toleran, yaitu melalui menunjukkan sikap saling menghargai perbedaan.
d. Pluralisme, yaitu dengan menciptakan tatanan masyarakat yang saling
mengakui, menghormati. Pluralisme berarti mengakui kebutuhan akan
pluralitas dan keragaman sekaligus secara aktif memberikan kontribusi
relevansinya dalam rangka mendukung dan mencontoh kehidupan berbangsa,
bernegara, dan beragama. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pluralisme
adalah usaha mewujudkan suatu realitas tentang adanya kemajemukan dan
kebhinekaan dalam rangka membina dan mewadahi kehidupan bangsa dan
negara.
e. Keadilan sosial yakni dengan memberikan, membagi hak dan kewajiban yang
mencakup seluruh aspek kehidupan setiap warga negara dengan seimbang dan
proporsional (Rosyada, 2003; Rahman, 2021).

Berbagai karakteristik masyarakat madani yang telah disebutkan di atas


memang mempersempit kemungkinan terjadinya monopoli dan pemusatan pada
kelompok masyarakat tertentu. Dalam mewujudkan civil society tidak semudah
membalikkan tangan khususnya di tengah masyarakat yang multikultural. Ungkapan
yang digunakan untuk menggambarkan pandangan tentang keragaman kehidupan di
dunia atau kebijakan budaya adalah multikulturalisme. Multikulturisme mulai ada di
Afrika dan menyebar ke Negara yang berbahasa Inggris pada akhir tahun 1900 an.
Hal ini bertolak belakang dengan monokulturalisme yang lebih dulu sudah ada di
dunia pada awal abad 19. Sebenarnya apabila ditarik kepada kajian ke-Islaman, maka
akan kita dapati konsep multikulturisme ini ada pada Q.S. Al-Hujurat ayat 13 yang
mengatakan bahwa: “Allah memang menjadikan manusia berbeda suku dan bangsa
agar saling mengenal”. Dari ayat ini, sebenarnya Islam sudah mengenal lebih dulu
tentang konsep multikulturisme. Dalam pendidikan Islam pun perbedaan pendapat itu
suatu hal yang lumrah, yang tidak diperkenankan sebenarnya adalah perdebatannya.
Yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw. dalam Q.S. Ali Imron adalah
bermusyawarah atau yang biasa disebut dengan diskusi, yang intinya adalah boleh
berbeda pendapat tapi tetap kembali pada substansi awalnya. Jangan sampai
substansinya berubah dan akhirnya menimbulkan konflik. Jadi, apabila kita berbicara
tentang multikultural di Indonesia ini sudah sangat cocok, mengingat Indonesia
adalah Negara dengan banyak suku, agama, ras, dan budaya. Apalagi bila dalam hal
pendidikan Islam, maka kita bisa temui macam macamnya, seperti di keluarga,
pondok pesantren, sekolah, maupun madrasah dengan gaya pendidikan mereka
masing-masing.
Dilihat dari karakteristik masyarakat madani di atas di tengah negara
multikultur, menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia belum memenuhi kriteria
masyarakat madani. Hal ini ditunjukkan dengan adanya diskriminasi, rendahnya
toleransi dan pluralisme; misalnya dengan pembantaian umat muslim di poso
Sulawesi Barat pada tahun 2000 silam, ketidakadilan hukum bagi koruptor. Kasus
diskriminasi antar suku juga mewarnai negara multikultural ini, yaitu kasus
pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya atas tuduhan beberapa aparat dan
ormas mengenai perusakan dan membuang bendera merah putih ke selokan.
Terjadinya konflik di Ambon pada tahun 1999 yang menyangkut perbedaan agama
antara Islam dan Nasrani. Konflik ini dipicu karena adanya kasus pemalakan oleh dua
orang Muslim kepada seorang Nasrani di Ambon.
Selain itu, terdapat pihak yang tidak bebas dalam meyuarakan pendapatnya,
seperti kasus pemboikotan situs-situs Islam yang dianggap radikal, padahal ada
diantara situs tersebut yang tidak terbukti demikian. Bukan hanya itu, moralitas
masyarakat Indonesia juga memprihatinkan mulai dari pergaulan bebas, hamil diluar
nikah, bayi-bayi dan anak anak yang terlantar, tidak dianggap, dibuang, bahkan ada
yang dibunuh, kasus perdagangan manusia di Maluku, penemuan ladang ganja serta
senjata api di Mandailing, dan masih banyak lagi.
Dalam upaya penegakan kehidupan masyarakat madani, perlu untuk adanya
penegak masyarakat yang dapat mengontrol serta mengkritisi jalannya kebijakan-
kebijakan penguasa, untuk menghindari terjadinya diskriminasi. Prasyarat ini mutlak
harus dilakukan demi terwujudnya kekuatan masyarakat madani. Memegang
lembagalembaga yang berfungsi sebagai kontrol sosial, seperti LSM (Lembaga
Swadaya Masyarakat), pers dan media massa, supremasi hukum, partai politik, dan
perguruan tinggi, merupakan salah satu cara penegakan masyarakat. Tidak cukup
hanya itu, pemerintah harus berbenah dalam menetapkan hukum terutama
menyangkut keadilan sosial, hak dan kewajiban warga negara. Pendidikan juga harus
diperhatikan utamanya pendidikan Islam. Pendidikan Islam sendiri dapat diartikan
sebagai suatu upaya menyiapkan atau mencetak generasi bangsa yang mana selain
mengenal dan memahami Islam juga dapat diaplikasikan dalam menjalani kehidupan
sehari-hari. Orientasinya bukan hanya fokus pada ajaran beribadah kepada Allah Swt.
melainkan di dalamnya terdapat ajaran yang menyangkut segala aspek kehidupan
manusia diantaranya ada aspek sosial, ekonomi, moral atau budi pekerti luhur, politik,
yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits. Berkaitan dengan topik yang dibahas,
dalam agama Islam mengajarkan umatnya untuk saling mengenal meski berbeda
agama, budaya, latar belakang, dan lain sebagainya. Mirip dengan bagaimana Nabi
Muhammad Saw. selalu memperlakukan baik Muslim maupun non-Muslim, kaya dan
miskin, tanpa diskriminasi. Mereka juga harus berpegang pada ajaran Islam yang
tercantum dalam Al-Qur’an dan hadits sebagai umat Islam.
Menurut Muhaimin, ada tiga tujuan utama pendidikan Islam. Yang pertama
adalah terwujudnya manusia yang sempurna (universal human), yang berwajah
persaudaraan dan meyakini bahwa semua manusia dilahirkan dengan hak dan
kewajiban yang sama (egalitarianisme). Kedua, penemuan istilah “insan kaffah” yang
mengacu pada orang yang mampu hidup menurut keyakinannya dalam berbagai
ruang dan dimensi. Ketiga, kesadaran manusia sebagai hamba Allah SWT. dan
khalifah bumi. Menjunjung cita-cita moral dan etika transendental sangat penting
karena tujuan ini sangat penting untuk mengembangkan masyarakat sipil, yang
merupakan komponen kunci dari masyarakat yang beradab (adat dan agama)
(Ma’arif, 1999). Untuk mencapai masyarakat madani dengan mengacu pada tujuan
pendidikan maka hendaknya masyarakat Indonesia sebagai anak bangsa diberikan
pendidikan berkualitas tidak hanya dari segi intelektual, pendidkan karakter juga
diutamakan. Hal ini dilakukan dengan tujuan perbaikan moral masyarakat Indonesia.
Berperadaban bukan hanya maju dalam teknologinya akan tetapi juga pemerintah dan
warga negaranya bermoral (Suparlan, 2002).
Civil society merupakan sebuah konsep yang mengindikasikan bahwa
masyarakat memiliki peradaban yang maju. Di Indonesia civil society lebih dikenal
dengan istilah masyarakat madani. Untuk terwujudnya masyarakat madani perlu
adanya upaya ekstra, apalagi di Negara yang multikultural seperti Indonesia. Salah
satu upaya untuk mewujudkan Masyarakat madani ini adalah dengan lebih
memperhatikan pendidikan, khususnya pendidikan Islam. Dengan pendidikan Islam
diharapkan generasi penerus bangsa bukan hanya memiliki kemampuan intelek yang
tinggi melainkan juga bermoral. Dengan memiliki bekal intelektualitas yang tinggi,
moral, serta didukung dengan sistem pemerintah yang bijak, maka besar
kemungkinan dapat terwujudnya masyarakat madani di Indonesia yang berkelanjutan.
C. Strategi Pembangunan Pendidikan Berkualitas
Dalam merumuskan strategi pengembangan pendidikan di daerah, tentunya
perlu ketahui peta permasalahan yang dewasa ini kerap kali menjadi faktor
penghambat terwujudnya percepatan perkembangan dunia pendidikan. Kondisi
objektif dunia pendidikan dewasa ini sesungguhnya masih dihadapkan kepada
beberapa permasalahan mendasar, permasalahan tersebut secara umum dapat
dikelompokan menjadi empat permasalahan utama yakni ;
Pertama, terkait dengan kualitas pendidikan, yang bisa dilihat dari tiga indikator
utama yakni proses pembelajaran yang masih konvensional, kinerja dan kesejahteraan
guru yang belum optimal, jumlah dan kualitas buku di sekolah yang belum memadai.
Kedua, pemerataan pendidikan, yang bisa dilihat dari tiga indikator utama yakni
kerusakan sarana dan prasarana ruang kelas, keterbatasan aksebilitas dan daya
tampung serta kekurangan tenaga guru.
Ketiga, efisiensi pendidikan, yang bisa dilihat dari tiga indiktaor yakni
penyelenggaraan otonomi pendidikan yang belum optimal (MBS belum optimal),
keterbatasan anggaran (kemampuan pemerintah yang terbatas dan rendahnya
partisipasi masyarakat), dan mutu SDM pengelola pendidikan.
Keempat, relevansi pendidikan, yang bisa dilihat dari tiga indikator yakni kemitraan
dengan Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI) yang belum optimal, kurikulum
yang belum berbasis masyarakat dan potensi daerah, serta kecakapan hidup (life skill)
yang dihasilkan belum optimal.
Substansi desentralisasi dalam bidang manajemen pendidikan, paling sedikit
berkenaan dengan aspek-apek :
1. Desentralisasi Perundang-Undangan Pendidikan
Hal ini merupakan perangkat kendali manajemen yang akan menentukan isi
dan luas wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan setiap bidang tugas
yang didisentralisasikan, artinya setiap penataan organisasi dan manajemen sebagai
konsekuensi dari wewenang yang diterima, tidak terlepas dari adanya asas legalitas
sebagai landasan berpijak dalam membangun perangkat-perangkat operasional
organisasi dan manajemen yang accountable bagi kepentingan masyarakat, sekaligus
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
2. Desentralisasi Organisasi Kelembagaan Pendidikan
Pembaharuan struktur kelembagaan pendidikan di daerah perlu meperhatian
tiga hal pokok, yaitu kewenangan, kemampuan dan kebutuhan. Masing-masing
daerah dengan berazazkan kepada demokratisasi, pemberdayaan dan pelayanan
umum di bidang pendidikan. Kewenangan merupakan rujukan yang dijadikan dasar
pijakan dalam menentukan substansi manajemen pendidikan yang patut dilakukan.
Kebutuhan berkaitan dengan permasalahan yang signifikan di daerah, dan pada aspek
kemampuan berkaitan dengan potensi daerah terutama dari hasil penggalian sumber
daya yang dituangkan dalam PAD.

D. Menghadapi Arus Globalisai


Ilmu pengetahuan dan teknologi pada zaman sekarang ini terus mengalami
perkembangan dan mengalami kemajuan yang pesat. Pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi juga diikuti dengan semakin meningkatnya upaya-upaya
untuk memanfaatkan hasil dari kemajuan teknologi tersebut. Teknologi yang semakin
canggih menjadi salah satu media utama pada era globalisasi saat ini.

Huckle & Sterling (1996) mengemukakan bahwa Globalisasi sendiri berasal dari
kata globalization, yang secara bahasa kata “global” memilik arti mendunia, dan kata
“ization” artinya mengarah kepada sebuah proses. Globalisasi dapat dijelaskan
sebagai sebuah proses yang mana kejadian, kegiatan, dan keputusan pada salah satu
bagian dunia, menjadi konsekuensi yang signifikan untuk individu dan masyarakat
jauh.(Hibatullah, 2022)

Banyak kalangan menyadari bahwa globalisasi banyak membawa dampak


positif, diantaranya komunikasi lebih canggih, transportasi lebih cepat dan lain–lain.
Tapi tanpa kita sadari Globalisasi juga banyak membawa dampak negatif. Pesatnya
proses globalisasi dapat dilihat dari cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang diterapkan pada berbagai bidang yang kemudian mempengaruhi
berbagai sektor lain dalam kehidupan kita dan telah mampu menyebar luas ke seluruh
dunia secara cepat dan mudah. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri, terutama
bagi bangsa indonesia dalam menghadapi era globalisasi ini.

1. Dekadensi Moral Melemahkan Potensi


Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat
dalam era globalisasi ini sangat berpengaruh dalam kehidupan kita sehari-
hari. Namun pengaruh kemajuan teknologi tersebut selain berdampak
positif juga berdampak negatif pada moral remaja. Terjadi kemerosotan
moral pada remaja atau yang sering kitakenal sebagai dekadensi moral,
seperti terlibat penggunaan narkoba, tawuran, penipuan, pencurian, seks
bebas, intoleran, dan lain-lain. Hal ini sangat memprihatinkan dikarenakan
remaja merupakan generasi penerus perjuangan bangsa. Fenomena ini
cukup meresahkan masyarakat dan harus mendapat perhatian dan kerja
sama dari orang tua dan sekolah serta masyarakat.
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang seharusnya dimanfaatkan sebaik-
baiknya untuk meningkatkan potensi, harkat serta martabat, namun
sebaliknya menyebabkan remaja mengalami kemerosotan moral dan etika
dalam bersikap dan berperilaku (dekadensi moral). Dekadensi moral dapat
diartikan sebagai suatu keadaan terjadinya kemerosotan moral yang
bermakna bahwa individu ataupun kelompok tidak mematuhi peraturan dan
tata cara yang berlaku dalam masyarakat (Listari, 2021).
Dalam kenyataanya, sekarang ini banyak dari generasi muda yang
moralnya rusak karena berbagai hal yang mempengaruhi mereka. Padahal
masyarakat mengharapkan remaja berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dan
norma-norma yang berlaku. Seperti berakhlak mulia, sopan dan santun,
sikap toleransi, tolong menolong, peka dengan kehidupan sosial orang lain
yang memerlukan bantuan, tahu tugas sebagai pelajar, serta berorientasi
pada masa depan.
Namun akibat pengaruh teknologi yang canggih, tidak jarang banyak
remaja yang terhanyut akibat pengaruh negatif budaya luar (asing) yang
tidak sesuai dengan norma-norma serta adat budaya lokal. Perilaku
antisosial dan sikap individualistis sering diperlihatkan remaja. Perbuatan-
perbuatan melanggar hukum pun bukan menjadi berita yang aneh dan
sering kita dengar. Fenomena ini membuktikan bahwa kemajuan
pengetahuan dan teknologi memiliki konsekuensi logis terciptanya kondisi
terjadinya dekadensi moral yang menjadi sebab melemahnya potensi yang
dimiliki remaja.
Menurut Susetyo (2018), motif terjadinya dekadensi moral adalah
Generasi muda merupakan kelompok orang muda yang pada umumnya
diidentikkan dengan karakter enerjik, dinamis dan terbuka terhadap
perubahan. Mereka adalah sosok- sosok yang sedang giat-giatnya belajar
dan beraktivitas untuk mencapai cita-cita dan mencari jati diri. Banyak
diantaranya yang mampu menemukan jati diri melalui prestasi yang
membanggakan, sementara di sisi lain ada generasi muda yang tumbuh
menjadi pribadi dengan karakter jalanan yang anarkis. Dua ilustrasi
tersebut merupakan gambaran karakter berbeda dari generasi muda yang
tumbuh dan berkembang dalam habitatnya masing- masing. (Nurcahya,
2019)

2. Kesenjangan Sosial
Globalisasi yang berdampak positif bagi kita, memiliki dampak negatif
jika terus dilakukan tanpa pertimbangan. Banyak generasi muda Indonesia
saat ini sudah terbiasa dengan kemudahan teknologi. Misalnya, sikap
gotong royong dan kekeluargaan di setiap desa atau daerah menjadi tidak
sekental dulu karena adanya media sosial, yang membuat mereka kurang
memperhatikan lingkungan sekitar. Selain itu, gaya hidup generasi muda
Indonesia telah mengalami banyak perubahan, mulai dari penampilan,
bahasa yang mereka gunakan setiap hari, interaksi sosial, dan bahkan gaya
rambut mereka, dan juga terjadi kesenjangan sosial di dalam masyarakat.
Kesenjangan sosial merupakan suatu kondisi dimana ada hal yang tidak
seimbang di dalam kehidupan masyarakat. Entah itu secara personal
maupun kelompok. Dimana ada ketimpangan sosial yang terbentuk dari
sebuah ketidakadilan distribusi banyak hal yang dianggap penting oleh
masyarakat. (Aris, 2021)
Robert Chambers mengungkapkan bahwa kesenjangan sosial
merupakan semua gejala yang terjadi di seluruh lapisan masyarakat. Gejala
ini muncul karena adanya perbedaan keuangan atau ekonomi antara
masyarakat yang berada di wilayah tertentu. Dalam KBBI (Kamus Besar
Bahasa Indonesia) arti dari kesenjangan sosial adalah ketidakseimbangan,
perbedaan, dan juga jurang pemisah yang hadir di dalam tatanan
masyarakat. (Aris, 2021)
Menurut (Abdain 2014) Kesenjangan sosial adalah suatu
ketidakseimbangan sosial yang ada di masyarakat sehingga menjadikan
suatu perbedaan yang sangat mecolok. Atau dapat juga diartikan suatu
keadaan dimana orang kaya mempunyai kedudukan lebih tinggi dan lebih
berkuasa dari pada orang miskin. Kesenjangan sosial merupakan sebuah
fenomena yang terjadi pada masyarakat Indonesia dan masyarakat di dunia
yang disebabkan oleh perbedaan dalam hal kualitas hidup yang sangat
mencolok. Fenomena ini pada hakikatnya dapat terjadi pada negara
manapun.(Septiani et al., 2022)
Kesenjangan tersebut muncul ketika sebagian masyarakat tidak mampu
beradaptasi dengan adanya globalisasi. Sehingga mereka akan tertinggal
dan tidak mendapatkan apa yang orang lain dapatkan. Ada beberapa
dampak dari kesenjangan sosial, diantaranya:
1) Kecemburuan sosial terhadap kelompok lain
2) Perbedaan tingkat kesejahteraan
3) Timbulnya kriminalitas. Pengangguran, dan kemiskinan.
(Sitoresmi, 2022)
3. Generasi Penyumbang
Dalam era globalisasi informasi menjadi kekuatan yang sangat
dahsyat dalam mempengaruhi pola pikir manusia. Budaya barat saat ini
diidentikkan dengan modernitas (modernisasi), dan budaya timur
diidentikkan dengan tradisional atau konvensional (Nahak, 2019).

Generasi penyumbang adalah istilah yang merujuk kepada generasi muda


atau individu dari berbagai lapisan masyarakat yang memiliki potensi dan
kemauan untuk memberikan kontribusi positif dalam menghadapi tantangan
globalisasi. Istilah ini menggambarkan mereka sebagai generasi yang tidak
hanya menerima dampak dari globalisasi, tetapi juga aktif berpartisipasi dalam
mengatasi perubahan-perubahan yang terjadi akibat fenomena tersebut.

Generasi penyumbang dalam konteks menghadapi arus globalisasi


mengacu pada kelompok individu, terutama generasi muda, yang aktif terlibat
dalam berbagai upaya untuk mengatasi tantangan dan memanfaatkan peluang
yang timbul akibat globalisasi. Mereka tidak hanya menerima dampak dari
globalisasi, tetapi juga berkontribusi secara positif dalam mengelola,
menyesuaikan diri, dan menciptakan perubahan yang dihasilkan oleh fenomena
globalisasi.

Generasi penyumbang secara umum ditandai oleh karakteristik-


karakteristik berikut:

1) Toleransi terhadap Keragaman Budaya. Mereka memiliki kemampuan


untuk menerima dan menghargai perbedaan budaya, nilai, dan
kepercayaan, serta dapat beradaptasi dalam lingkungan yang
multikultural.
2) Berpikir Kritis dan Kreatif. Generasi ini memiliki kemampuan untuk
menganalisis informasi dari berbagai sumber, berpikir secara kritis,
serta menciptakan solusi-solusi inovatif untuk mengatasi masalah
global.
3) Literasi Digital. Mereka terampil dalam menggunakan teknologi
informasi dan komunikasi (TIK) serta memanfaatkannya secara
produktif untuk tujuan pendidikan, pekerjaan, dan aktivitas sosial.
4) Kesadaran Lingkungan. Generasi penyumbang memiliki pemahaman
yang kuat tentang isu-isu lingkungan global dan bersedia untuk
mengambil tindakan nyata untuk mendukung keberlanjutan
lingkungan.
Generasi penyumbang diharapkan dapat berperan sebagai agen perubahan
yang positif dalam menghadapi tantangan-tantangan globalisasi, baik melalui
partisipasi dalam aktivitas sosial, kegiatan edukasi, penggunaan teknologi untuk
perubahan sosial, maupun aksi nyata untuk mendukung keberlanjutan
lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan.

4. Penguatan Nilai Budaya


Bangsa Indonesia kaya akan budaya yang memiliki unsur-unsur nilai,
moral, norma, dan etika kepribadian, saat ini mulai memudar dan
dilupakan oleh sebagian besar masyarakat akibat semakin majunya arus
globalisasi yang membuat proses pendidikan kurang mengedepankan
nilai-nilai budaya, sehingga berdampak pada tergesernya budaya bangsa.

Nilai merupakan suatu hal yang diyakini seseorang maupun kelompok


dalam menggerakkan tindakan dan perilaku. Nilai yang tumbuh dalam
masyarakat dan diterima dengan baik akan menjadi suatu pedoman dalam
menjalani kehidupan.

Adisusilo (2012:56) mengartikan nilai sebagai sesuatu yang dipandang


baik, bermanfaat, dan paling benar menurut keyakinan seseorang atau
sekelompok orang. Karena nilai dianggap memberi manfaat dan dianggap
baik, maka menjadikan nilai tersebut dihargai, dihayati dan
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan Menurut Esteban
(1990), nilai selalu berhubungan dengan kebaikan, kebajikan, dan keluhuran
budi yang akan selalu dikejar oleh seseorang agar ia menjadi manusia yang
sebenarnya; yakni manusia yang mampu memberi kebaikan pada orang lain.
(Iswatiningsih, 2019)

Setiap masyarakat pasti memiliki nilai, yang mana nilai ini akan mengatur
sistem kehidupan berdasarkan sistem nilai yang diberlakukan. Keadaan inilah
yang melahirkan kearifan lokal di setiap masyarakat yang memiliki sistem
nilai yang berbeda. Keraifan lokal dibangun dan ditumbuhkan dari pandangan
hidup dan nilai-nilai yang menjadi pedoman masyarakat dalam
menyelenggarakan kehidupannya. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan
salah satu bentuk budaya.

Kearifan lokal oleh Akhmar dan Syarifudin (2007) diartikan sebagai tata
nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan
lingkungan tempat hidupnya secara arif bijaksana. Secara substantif kearifan
lokal merupakan nilai- nilai yang berlaku dalam tatanan masyarakat, yang
kebenarannya menjadi pedoman dalam bertingkah laku sehari-hari (way of
life). (Iswatiningsih, 2019)

Melimpahnya kebudayaan Indonesia perlu dijaga dan dilestarikan,


sehingga tujuan untuk tetap mempertahankan nilai-nilai keluhuran bangsa
dapat terwujud. Usaha dalam membudayakan dan menumbuh kembangkan
budaya salah satunya dapat dilakukan melalui pendidikan.

Berbagai cara dapat dilakukan dalam melestarikan budaya, namun


yang paling penting yang harus pertama dimiliki adalah menumbuhkan
kesadaran serta rasa memiliki akan budaya tersebut, sehingga dengan
rasa memiliki serta mencintai budayasendiri, orangakan termotivasiuntuk
mempelajarinya sehingga budaya akan tetap ada karena pewaris
kebudayaannyaakan tetap terus ada.

Ada berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk melestarikan budaya lokal
diantaranya:

1) Menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya budaya sebagai jati


diri bangsa.
2) Ikut melestarikan budaya dengan cara berpartisipasi dalam
pelestarian dan pelaksanaannya.
3) Mempelajarinya dan ikut Mensosialisasikan kepada orang lain
sehingga mereka tertarik untuk ikut menjaga atau
melestarikannyabahkan mempertahankannya. (Nahak, 2019)
Penguatan nilai budaya merupakan proses atau upaya untuk memperkuat,
melestarikan, dan mengembangkan nilai-nilai, norma, tradisi, serta identitas
budaya suatu masyarakat. Hal ini penting dilakukan sebagai respons terhadap
pengaruh globalisasi yang sering kali membawa perubahan dan tantangan
terhadap keberlangsungan budaya lokal.

E. Pembaruan Pendidikan Agama Islam Suatu Keharusan


Esensi pendidikan Islam adalah intelektualisme Islam. Kerja intelektualisme
Islam menuntut studi analitis-kritis dan bersifat komprehensif dalam memahami
Islam. Studi ini sebagai upaya rekonstruksi pemahaman Islam lewat interpretasi,
secara kontinuitas, dengan menggunakan pendekatan berbagai disiplin ilmu
sesuai dengan perkembangan zaman. Kerja intelektualisme, sebenarnya
merupakan proses pengeinbangan ilmu-ilmu keIslaman yang berlangsung dalam
proses pendidikan. lnilah yang dimaksud bahwa esensi pendidikan Islam adalah
intelektualisme Islam. (Warid, 1998)
Pembaruan pendidikan agama Islam dalam saat ini merupakan suatu
kebutuhan penting untuk menjaga relevansi, keberlanjutan, dan kualitas
pendidikan agama Islam di tengah dinamika dan tantangan yang ditimbulkan
oleh globalisasi. Beberapa upaya pembaruan yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut:

1. Integrasi Nilai-Nilai Universal Mengintegrasikan nilai-nilai universal


seperti toleransi, perdamaian, keadilan, dan keberagaman dalam
kurikulum pendidikan agama Islam. Hal ini penting agar pendidikan
agama Islam tidak hanya bersifat lokal, tetapi juga mampu
mengajarkan prinsip-prinsip yang relevan dengan konteks global.
2. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Merancang
kurikulum pendidikan agama Islam yang berorientasi pada
pengembangan kompetensi, keterampilan, dan pemahaman yang
dibutuhkan oleh peserta didik dalam menghadapi tantangan global.
Kurikulum tersebut juga harus mampu mengakomodasi perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi (TIK) serta tren global lainnya.
3. Penggunaan Metode Pembelajaran Inovatif. Menerapkan metode
pembelajaran inovatif yang menarik dan interaktif, seperti
pembelajaran berbasis proyek, diskusi kelompok, simulasi, dan
penggunaan teknologi dalam pembelajaran. Hal ini bertujuan untuk
meningkatkan keterlibatan peserta didik serta memfasilitasi
pemahaman yang lebih mendalam tentang ajaran Islam dan aplikasinya
dalam konteks global.
4. Pelatihan Guru dan Pengembangan Sumber Daya Manusia.
Memberikan pelatihan dan pengembangan profesional yang terus-
menerus bagi para guru pendidikan agama Islam agar mampu
mengikuti perkembangan terbaru dalam dunia pendidikan, teknologi,
dan konteks global. Guru juga perlu didorong untuk meningkatkan
kemampuan berbahasa asing dan pemahaman tentang perkembangan
global.
5. Penguatan Pendidikan Karakter. Menekankan pentingnya pendidikan
karakter dalam konteks pendidikan agama Islam, dengan fokus pada
pembentukan kepribadian yang kokoh, berintegritas, dan bertanggung
jawab dalam menghadapi tantangan global. Pendidikan karakter harus
mengakomodasi nilai-nilai Islam yang relevan dengan kondisi sosial
dan budaya saat ini.
6. Penggunaan Media Sosial dan Teknologi. Memanfaatkan media sosial
dan teknologi digital sebagai sarana untuk menyebarkan informasi,
materi pembelajaran, dan diskusi tentang ajaran Islam serta nilai-nilai
yang relevan dengan konteks global. Hal ini dapat membantu
memperluas jangkauan pendidikan agama Islam dan mencapai
generasi muda yang lebih terhubung dengan dunia digital.
Dengan melakukan pembaruan-pembaruan tersebut, diharapkan pendidikan
agama Islam dapat tetap relevan dan bermanfaat dalam menghadapi tantangan
dan dinamika globalisasi, serta memberikan kontribusi yang positif dalam
membentuk individu muslim yang berkualitas dan mampu berperan aktif dalam
masyarakat global.
BAB III

PENUTUP
Kesimpulan

Pembaharuan struktur kelembagaan pendidikan di daerah perlu meperhatian


tiga hal pokok, yaitu kewenangan, kemampuan dan kebutuhan. Masing-masing
daerah dengan berazazkan kepada demokratisasi, pemberdayaan dan pelayanan
umum di bidang pendidikan. Kewenangan merupakan rujukan yang dijadikan
dasar pijakan dalam menentukan substansi manajemen pendidikan yang patut
dilakukan. Kebutuhan berkaitan dengan permasalahan yang signifikan di daerah,
dan pada aspek kemampuan berkaitan dengan potensi daerah terutama dari hasil
penggalian sumber daya yang dituangkan dalam PAD.

Banyak kalangan menyadari bahwa globalisasi banyak membawa dampak


positif, diantaranya komunikasi lebih canggih, transportasi lebih cepat dan lain–
lain. Tapi tanpa kita sadari Globalisasi juga banyak membawa dampak negatif.
Pesatnya proses globalisasi dapat dilihat dari cepatnya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang diterapkan pada berbagai bidang yang kemudian
mempengaruhi berbagai sektor lain dalam kehidupan kita dan telah mampu
menyebar luas ke seluruh dunia secara cepat dan mudah. Hal tersebut menjadi
tantangan tersendiri, terutama bagi bangsa indonesia dalam menghadapi era
globalisasi ini.

Penguatan nilai budaya merupakan proses atau upaya untuk memperkuat,


melestarikan, dan mengembangkan nilai-nilai, norma, tradisi, serta identitas
budaya suatu masyarakat. Hal ini penting dilakukan sebagai respons terhadap
pengaruh globalisasi yang sering kali membawa perubahan dan tantangan
terhadap keberlangsungan budaya lokal.
DAFTAR PUSTAKA

Aris. (2021). Grameedia Blog. Retrieved from Pengertian Kesenjangan Sosial: Bentuk,
Faktor, Dampak, dan Solusinya: https://www.gramedia.com/literasi/kesenjangan-
sosial/

Hibatullah, F. A. (2022). Pengaruh Globalisasi terhadap Pembangunan Karakter Generasi


Muda Bangsa Indonesia. Jurnal Pesona Dasar, 10(1), 1–9.
https://doi.org/10.24815/pear.v10i1.24283

Iswatiningsih, D. (2019). Penguatan Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-Nilai Kearifan Lokal


di Sekolah. Jurnal Satwika, 3(2), 155. https://doi.org/10.22219/satwika.vol3.no2.155-
164

Listari, L. (2021). Dekadensi Moral Remaja (Upaya Pembinaan Moral Oleh Keluarga Dan
Sekolah). Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora, 12(1), 7.
https://doi.org/10.26418/j-psh.v12i1.46320

Nahak, H. M. . (2019). Upaya Melestarikan Budaya Indonesia Di Era Globalisasi. Jurnal


Sosiologi Nusantara, 5(1), 65–76. https://doi.org/10.33369/jsn.5.1.65-76

Nurcahya, D. K. (2019). Analisis Dekadensi Moral dalam Proses Pembelajaran PPKn. Jurnal
Civic Hukum, 4(2), 114–121. http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jurnalcivichukum

Septiani, A., Fasa, M. I., & Suharto, S. (2022). Mengatasi Dan Menyikapi Kesenjangan
Sosial Dengan Menggunakan Penerapan Ekonomi Syariah. Jurnal Bina Bangsa
Ekonomika, 15(1), 140–148. https://doi.org/10.46306/jbbe.v15i1.130

Sitoresmi, A. R. (2022, 2 8). Liputan 6. Retrieved from Kesenjangan Sosial Adalah Kondisi
Masyarakat Tidak Seimbang, Kenali Penyebabnya:
https://liputan6.com/hot/read/5283576/kesenjangan-sosial-adalah-kondisi-masyarakat-
tidak-seimbang-kenali-penyebabnya?page=5

Warid, A. (1998). Pembaharuan Pendidikan Islam (Studi Analisis Konsep dan Sejarah). 103.

Anda mungkin juga menyukai