Anda di halaman 1dari 74

ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS PENDIDIKAN KESEHATAN

OPEN KINETIC CHAIN DALAM UPAYA PENGURANGAN NYERI


PADA LANSIA AKIBAT RHEUMATOID ARTHTRITIS
DI KELURAHAN BATANG KABUANG GANTING
LUBUK BUAYA KOTA PADANG
TAHUN 2022

Karya Ilmiah Akhir Ners


SIKLUS ELEKTIF

Diajukan oleh :

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALIFAH PADANG


TAHUN 2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perubahan menjadi lansia atau tua merupakan suatu fase kehidupan yang

pasti dialami setiap orang dan setiap manusia. Proses menua ditandai dengan

perubahan yang meliputi anatomi dan fisiologi organ sistem, sehingga dapat

mempengaruhi fungsi bagian tubuh dan kemampuan secara keseluruhan pada

tubuh. Penyakit-penyakit yang dialami lansia mengalami kenaikan seperti

penyakit rematik dari 0,1 % menjadi 0,3% menunjukan bahwa pada orang yang

berusia 55 tahun keatas banyak mengalami penyakit muskuloskelete. Penyakit ini

mengalami tingkat kedua setelah penyakit kardiovaskuler (Suharjono, Haryono,

& Indarwati, 2019).

Lanjut usia (lansia) menurut World Health Organization (WHO) adalah

kelompok penduduk yang berumur 60 tahun atau lebih. Badan kesehatan dunia

WHO mengatakan bahwa penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2020

mendatang sudah mencapai angka 11,34% atau tercatat 28,8 juta orang.

Penduduk Lanjut usia dua tahun terakhir mengalami peningkatan yang

signifikanpada tahun 2007, yakni jumlah penduduk lanjut usia sebesar 18,96 juta

jiwa. Jumlah ini termasuk terbesar keempat setelah China, India dan Jepang.

Jumlah lansia di Indonesia mencapai 20,24 juta jiwa, setara dengan 8,03% dari

seluruh penduduk Indonesia tahun 2014. Pada tahun 2017 terdapat 23,66 juta

jiwa penduduk lansia di Indonesia (Kementerian Kesehatan RI, 2017).


Seiring dengan bertambahnya usia, fungsi fisiologis mengalami

penurunan. Masalah degeneratif dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga

rentan terkena infeksi penyakit yang dikarenakan menurunnya fungsi tubuh dan

terganggunya psikologis pada lansia. Salah satunya nyeri pada persendian yang

sering dialami oleh lansia yaitu Rheumatoid arthritis (Yuni, 2018). Penyakit

Rheumatoid Arthtritis umumnya disertai dengan rasa nyeri, peradangan dan

kekakuan sendi pada pagi hari (Iltchev et al., 2016). Rheumatoid Arthtritis (RA)

merupakan gangguan autoimun kronis di mana sistem kekebalan tubuh

menyerang sendi, mengarah kepada peradangan, erosi (pengikisan), dan kelainan

bentuk (Di et al., 2016).

Rheumathoid Arthtritis sendiri merupakan penyakit yang berada di

peringkat ke-42 tertinggi yang dapat menyebabkan kecacatan, dengan morbiditas

wanita dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki (Dargham et al.,

2018). WHO mendata penderita gangguan sendi di Indonesia mencapai 81% dari

populasi, hanya 24% yang pergi kedokter, sedangkan 71% nya cenderung

langsung mengkonsumsi obat-obatan pereda nyeri yang terjual bebas. Angka ini

menempatkan Indonesia sebagai Negara yang paling tinggi menderita gangguan

sendi jika dibandingkan Negara-negara di Asia lainnya seperti Hongkong,

Malaysia, Singapura, dan Taiwan (Anugrah, 2020).

Dikutip dari Bastian et al.,(2020) di Indonesia persentase penduduk lansia

juga bertambah setiap tahunnya. Menurut data World Population Prospects

jumlah lansia pada tahun 2013 adalah 8,9% dari jumlah penduduk Indonesia,

persentase tersebut akan terus meningkat dan diperkirakan menjadi 21,4% pada

tahun 2050. Menurut RIKESDAS Tahun 2018, jumlah penderita rheumathoid


arthritis berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan di indonesia mencapai 11,9%.

Sedangkan prevelensi berdasarkan gejala atau dignosis sebesar 24,7%.

Dikutip dari Prio et al., (2017) bahwa berbagai penelitian telah dilakukan

terkait efektifitas latihan isotonik Open kinetic chain Exercise terhadap

penurunan nyeri yaitu oleh fehr G.L; Junior A.C; Cacho E.W.A; dan Miranda J.B

(2006); Kachanathu S.J; Kaur H; Natho M; dan Nuhmani S (2013). Serta

pengaruh Open Kinetik Chain Exercise terhadap peningkatan aktivitas fungsional

oleh Nugroho H.B. (2015).

Penatalaksanaan nyeri sendi dapat mencakup terapi farmakologi, non

farmakologi serta pembedahan. Lansia memiliki resiko untuk mengalami

kerugian atau efek samping akibat pengobatan medis, sehingga diperlukan

pendekatan alternative yaitu non farmakologi (Arthritis Foundation, 2012 dalam

Angraini, 2020). Penatalaksanaan untuk Rheumathoid Arthtritis diantaranya

adalah dengan menggunakan obat, istrahat, relaksasi, olahraga, diet, intruksi

tentang penggunaan sendi yang baik, dan cara menghemat energy tubuh.

Aktivitas gerak fisik atau olahraga dapat mengurangi nyeri dan kekakuan sendi,

serta dapat meningkatkan kelenturan, otot yang kuat dan ketahanan.

Upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga kesehatan lansia adalah

melalui peran perawat sebagai edukator yang berkewajiban memberikan

informasi tentang status kesehatan kepada klien dan keluarga dalam mencapai

keperawatan diri yang sesuai dengan kemampuannya (Potter & Perry, 2017).

Menurut Tabloski (2014), edukasi yang dapat diberikan kepada lansia dan

keluarga dapat mencakup beberapa hal diantaranya deteksi penyakit, penuaan

yang sehat, pengobatan terhadap penyakit yang dialami serta rehabilitasi penyakit
pada lansia dan keluarga. Latihan gerak sendi merupakan salah satu cara

rehabilitasi yang dianjurkan pada penderita Rheumathoid Arthtritis serta dinilai

efektif dan efisien karena pelaksanaannya lebih fleksibel dan berfokus pada sendi

yang sakit (Monayo & Akuba, 2019). Latihan ini menekankan pada pikiran,

gerakan fisik, dan pernafasan. Gerakan pada latihan ini juga terkoordinasi dari

otot-otot tubuh sehingga diperoleh stabilitas dan fleksibilitas tubuh yang baik

sehingga dapat membantu meningkatkan keseimbangan dan mengurangi keluhan

(Wong, 2018 dalam Angraini, 2020).

Menurut Mujib (2016), nyeri yang dialami oleh penderita dapat dikurangi

dengan melakukan latihan gerak sendi dan ROM, dimana pada saat latihan

dilakukan akan terjadi tekanan secara fisiologis sehingga dapat meningkatkan

pembentukan proteoglikan oleh sel kartilago dewasa, sehingga sendi mampu

menopang beban dan juga dapat meningkatkan metabolisme cairan sensi synovil

yang akan memberikan nutrisi pada tulang rawan disekitarnya.

Penelitian Prio et al. (2017) yang berjudul Pengaruh Latihan Gerak Aktif

Kaki dengan Teknik Open Kinetic Chain Exercise terhadap Penurunan Intensitas

Nyeri pada Lansia dengan Nyeri Sendi Osteoartritis dan Rheumatoid yang

diketahui hasil bahwa ada efektivitas latihan kaki dengan metode rantai kinetik

terbuka untuk menurunkan tingkat rasa sakit pada orang tua dengan rasa sakit

yang disebabkan oleh Osteoarthritis dan Rheumatoid di Minaula lembaga sosial

Lansia di Kendari 2016 (nilai p = 0000).

Selain itu, pengobatan Rheumatoid dapat dilakukan dengan melakukan

terapi lutut. Menurut Marlina (2015), latihan lutut secara intensif dapat

menurunkan nyeri, Dullu (2016) menambahkan 40% pasien menggunakan terapi


lutut guna mengurangi nyeri sendi pada Osteoarthritis. Terapi lutut yang

digunakan adalah dengan cara melakukan gerakan Open Kinetic Chain. Tujuan

gerakan Open Kinetic Chain adalah menghambat terjadinya atrofi otot dan

meningkatkan sirkulasi darah, mengubah serabut matriks yang tidak beraturan

melalui gerak antar persendian secara berlahan yang akan menstimulasi mechano

growth faktor karena terjadinya peningkatan lubrication sebagai syarat

meningkatnya jumlah zat plastin, zat plastin sebagai prekusor perangsang

glucosaminoglycans (GAG‟s) sehingga dapat meningkatan kemampuan

fungsional sendi lutut.

Hasil survey yang dilakukan mahasiswa profesi keperawatan STIKes

Alifah Padang di RW X RT 03 Kelurahan Batang Kabung Kecamatan Koto

Tangah tanggal 19 November sampai 5 Desember tahun 2021. Di RW X RT 03

Kelurahan Batang Kabung Kecamatan Koto Tangah didapatkan 33 Kepala

Keluarga (KK) dengan jumlah lansia sebanyak 41 orang. yang satu diantaranya

dengan Osteroartritis dan mengeluhkan nyeri sendi. Dari data yang didapatkan

telah dilakukan intervensi keperawatan dengan terapi Open Kinetic Chain

Exercise.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk membuat suatu

Karya Ilmiah Akhir NERS dengan “Asuhan Keperawatan Komunitas Pendidikan

Kesehatan Open Kinetic Chain Dalam Upaya Pengurangan Nyeri Pada Lansia

Akibat Rheumatoid Arthtritis Di Kelurahan Batang Kabuang Ganting Lubuk

Buaya Kota Padang Tahun 2022”.


B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti tertarik untuk membuat Karya

Ilmiah Ners yang berjudul “Asuhan Keperawatan Komunitas Pendidikan

Kesehatan Open Kinetic Chain Dalam Upaya Pengurangan Nyeri Pada Lansia

Akibat Rheumatoid Arthtritis Di Kelurahan Batang Kabuang Ganting Lubuk

Buaya Kota Padang Tahun 2022’’.

C. Tujuan

1. Tujuan umum

Mampu melakukan Asuhan Keperawatan Komunitas Pendidikan

Kesehatan Open Kinetic Chain Dalam Upaya Pengurangan Nyeri Pada Lansia

Akibat Rheumatoid Arthtritis Di Kelurahan Batang Kabuang Ganting Lubuk

Buaya Kota Padang Tahun 2022.

2. Tujuan khusus

a. Mampu melakukan pengkajian Asuhan Keperawatan Komunitas

Pendidikan Kesehatan Open Kinetic Chain Dalam Upaya Pengurangan

Nyeri Pada Lansia Akibat Rheumatoid Arthtritis Di Kelurahan Batang

Kabuang Ganting Lubuk Buaya Kota Padang Tahun 2022.

b. Mampu merumuskan analisa Asuhan Keperawatan Komunitas

Pendidikan Kesehatan Open Kinetic Chain Dalam Upaya Pengurangan

Nyeri Pada Lansia Akibat Rheumatoid Arthtritis Di Kelurahan Batang

Kabuang Ganting Lubuk Buaya Kota Padang Tahun 2022.

c. Mampu merumuskan diagnosa Asuhan Keperawatan Komunitas

Pendidikan Kesehatan Open Kinetic Chain Dalam Upaya Pengurangan


Nyeri Pada Lansia Akibat Rheumatoid Arthtritis Di Kelurahan Batang

Kabuang Ganting Lubuk Buaya Kota Padang Tahun 2022.

d. Mampu menyusun rencana Asuhan Keperawatan Komunitas Pendidikan

Kesehatan Open Kinetic Chain Dalam Upaya Pengurangan Nyeri Pada

Lansia Akibat Rheumatoid Arthtritis Di Kelurahan Batang Kabuang

Ganting Lubuk Buaya Kota Padang Tahun 2022.

e. Mampu melakukan Asuhan Keperawatan Komunitas Pendidikan

Kesehatan Open Kinetic Chain Dalam Upaya Pengurangan Nyeri Pada

Lansia Akibat Rheumatoid Arthtritis Di Kelurahan Batang Kabuang

Ganting Lubuk Buaya Kota Padang Tahun 2022.

f. Mampu melakukan Evaluasi Asuhan Keperawatan Komunitas Pendidikan

Kesehatan Open Kinetic Chain Dalam Upaya Pengurangan Nyeri Pada

Lansia Akibat Rheumatoid Arthtritis Di Kelurahan Batang Kabuang

Ganting Lubuk Buaya Kota Padang Tahun 2022.

D. Manfaat

1. Teoritis

a. Diharapkan dapat menambah pengetahuan peneliti dan pembaca dibidang

keperawatan khususnya tentang penatalaksanaan keperawatan pada lansia

dengan nyeri akibat Reumatik melalui Open Kinetic Chain.

b. Diharapkan dapat menjadi bahan bacaan bagi pengunjung perpustakaan

STiKes Alifah Padang.


2. Praktisi

a. Mampu memberikan informasi mengenai masalah keperawatan pada

pasien dan keluarga Reumatik dan pegurangan nyeri dengan Open Kinetic

Chain.

b. Diharapkan bisa menjadi bahan masukan bagi keluarga dan tahu

bagaimana cara mengatasi nyeri sendi terhadap Rheumatoid Arthtritis

pada Lansia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Lansia

1. Pengertian

Lansia adalah seseorang yang telah berusia >60 tahun dan tidak

berdaya mencari nafkah sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-

hari (Ratnawati, 2017).

Infodatin Situasi Lanjut Usia (Lansia) di Indonesia tahun 2016,

mendifinisikan Lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas,

berdasarkan Undang Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan

Lanjut Usia. Lansia dalam Buku Keperawatan Gerontik adalah seseorang

yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Menua bukanlah suatu penyakit,

tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan

kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam

menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh (Kholifah, 2016) .

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa lansia adalah

seseorang yang telah berusia > 60 tahun, mengalami penurunan kemampuan

beradaptasi, dan tidak berdaya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari

seorang diri.

2. Batasan Usia Lansia

WHO dalam Kholifah (2016) menjelaskan batasan lansia adalah

sebagai berikut :

a. Usia lanjut (elderly) antara usia 60-74 tahun,


b. Usia tua (old) :75-90 tahun, dan

c. Usia sangat tua (very old) adalah usia > 90 tahun.

Depkes RI dalam Kholifah (2016) menjelaskan bahwa batasan lansia

dibagi menjadi tiga katagori, yaitu:

a. Usia lanjut presenilis yaitu antara usia 45-59 tahun,

b. Usia lanjut yaitu usia 60 tahun ke atas,

c. Usia lanjut beresiko yaitu usia 70 tahun ke atas atau usia 60 tahun ke atas

dengan masalah kesehatan.

3. Ciri–Ciri Lansia

Ciri-ciri lansia menurut Kholifah (2016) adalah sebagai berikut :

a. Lansia merupakan periode kemunduran.

Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan

faktor psikologis. Motivasi memiliki peran yang penting dalam

kemunduran pada lansia. Misalnya lansia yang memiliki motivasi yang

rendah dalam melakukan kegiatan, maka akan mempercepat proses

kemunduran fisik, akan tetapi ada juga lansia yang memiliki motivasi

yang tinggi, maka kemunduran fisik pada lansia akan lebih lama terjadi

(Kholifah, 2016).

b. Lansia memiliki status kelompok minoritas.

Kondisi ini sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak

menyenangkan terhadap lansia dan diperkuat oleh pendapat yang kurang

baik, misalnya lansia yang lebih senang mempertahankan pendapatnya


maka sikap sosial di masyarakat menjadi negatif, tetapi ada juga lansia

yang mempunyai tenggang rasa kepada orang lain sehingga sikap sosial

masyarakat menjadi positif (Kholifah, 2016).

c. Menua membutuhkan perubahan peran.

Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai

mengalami kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada lansia

sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar

tekanan dari lingkungan. Misalnya lansia menduduki jabatan sosial di

masyarakat sebagai Ketua RW, sebaiknya masyarakat tidak

memberhentikan lansia sebagai ketua RW karena usianya (Kholifah,

2016).

d. Penyesuaian yang buruk pada lansia.

Perlakuan yang buruk terhadap lansia membuat mereka

cenderung mengembangkan konsep diri yang buruk sehingga dapat

memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Akibat dari perlakuan yang

buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk pula. Contoh :

lansia yang tinggal bersama keluarga sering tidak dilibatkan untuk

pengambilan keputusan karena dianggap pola pikirnya kuno, kondisi

inilah yang menyebabkan lansia menarik diri dari lingkungan, cepat

tersinggung dan bahkan memiliki harga diri yang rendah (Kholifah,

2016).

4. Perubahan – perubahan Yang Terjadi Pada Lansia


Dikutip dari Buku Keperawatan Gerontik, perubahan pada lansia yaitu

(Kholifah, 2016):

a. Perubahan Fisik

1) Sistem Indra

Sistem pendengaran; Prebiakusis (gangguan pada

pendengaran) oleh karena hilangnya kemampuan (daya) pendengaran

pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada

yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit dimengerti kata-kata, 50%

terjadi pada usia diatas 60 tahun.

2) Sistem Intergumen: Pada lansia kulit mengalami atropi, kendur, tidak

elastis kering dan berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga

menjadi tipis dan berbercak. Kekeringan kulit disebabkan atropi

glandula sebasea dan glandula sudoritera, timbul pigmen berwarna

coklat pada kulit dikenal dengan liver spot.

3) Sistem Muskuloskeletal

Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia: Jaaringan

penghubung (kolagen dan elastin), kartilago, tulang, otot dan sendi..

Kolagen sebagai pendukung utama kulit, tendon, tulang, kartilago dan

jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi bentangan yang

tidak teratur. Kartilago: jaringan kartilago pada persendian menjadi

lunak dan mengalami granulasi, sehingga permukaan sendi menjadi

rata. Kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang dan

degenerasi yang terjadi cenderung kearah progresif, konsekuensinya

kartilago pada persendiaan menjadi rentan terhadap gesekan. Tulang:


berkurangnya kepadatan tulang setelah diamati adalah bagian dari

penuaan fisiologi, sehingga akan mengakibatkan osteoporosis dan

lebih lanjut akan mengakibatkan nyeri, deformitas dan fraktur. Otot:

perubahan struktur otot pada penuaan sangat bervariasi, penurunan

jumlah dan ukuran serabut otot, peningkatan jaringan penghubung dan

jaringan lemak pada otot mengakibatkan efek negatif. Sendi; pada

lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligament dan fasia

mengalami penuaan elastisitas.

4) Sistem kardiovaskuler

Perubahan pada sistem kardiovaskuler pada lansia adalah

massa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertropi

sehingga peregangan jantung berkurang, kondisi ini terjadi karena

perubahan jaringan ikat.

5) Sistem respirasi

Pada proses penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru,

kapasitas total paru tetap tetapi volume cadangan paru bertambah

untuk mengkompensasi kenaikan ruang paru, udara yang mengalir ke

paru berkurang. Perubahan pada otot, kartilago dan sendi torak

mengakibatkan gerakan pernapasan terganggu dan kemampuan

peregangan toraks berkurang.

6) Pencernaan dan Metabolisme

Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan, seperti

penurunan produksi sebagai kemunduran fungsi yang nyata karena

kehilangan gigi, indra pengecap menurun, rasa lapar menurun


(kepekaan rasa lapar menurun), liver (hati) makin mengecil dan

menurunnya tempat penyimpanan, dan berkurangnya aliran darah.

7) Sistem perkemihan

Pada sistem perkemihan terjadi perubahan yang signifikan.

Banyak fungsi yang mengalami kemunduran, contohnya laju filtrasi,

ekskresi, dan reabsorpsi oleh ginjal.

8) Sistem saraf

Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan atropi

yang progresif pada serabut saraf lansia. Lansia mengalami penurunan

koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.

9) Sistem reproduksi

Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan

menciutnya ovary dan uterus. Terjadi atropi payudara. Pada laki-laki

testis masih dapat memproduksi spermatozoa, meskipun adanya

penurunan secara berangsur-angsur.

b. Perubahan Kognitif

1) Memory (Daya ingat, Ingatan)

2) IQ (Intellegent Quotient)

3) Kemampuan Belajar (Learning)

4) Kemampuan Pemahaman (Comprehension)

5) Pemecahan Masalah (Problem Solving)

6) Pengambilan Keputusan (Decision Making)


7) Kebijaksanaan (Wisdom)

8) Kinerja (Performance)

9) Motivasi

c. Perubahan mental

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental :

1) Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa.

2) Kesehatan umum

3) Tingkat pendidikan

4) Keturunan (hereditas)

5) Lingkungan

6) Gangguan syaraf panca indera, timbul kebutaan dan ketulian.

7) Gangguan konsep diri akibat kehilangan kehilangan jabatan.

8) Rangkaian dari kehilangan , yaitu kehilangan hubungan dengan teman

dan famili.

9) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap

gambaran diri, perubahan konsep diri.

d. Perubahan spiritual
Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya.

Lansia semakin matang (mature) dalam kehidupan keagamaan, hal ini

terlihat dalam berfikir dan bertindak sehari-hari.

e. Perubahan Psikososial

1) Kesepian

Terjadi pada saat pasangan hidup atau teman dekat meninggal

terutama jika lansia mengalami penurunan kesehatan, seperti

menderita penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan

sensorik terutama pendengaran.

2) Duka cita (Bereavement)

Meninggalnya pasangan hidup, teman dekat, atau bahkan

hewan kesayangan dapat meruntuhkan pertahanan jiwa yang telah

rapuh pada lansia. Hal tersebut dapat memicu terjadinya gangguan

fisik dan kesehatan.

3) Depresi

Duka cita yang berlanjut akan menimbulkan perasaan kosong,

lalu diikuti dengan keinginan untuk menangis yang berlanjut menjadi

suatu episode depresi. Depresi juga dapat disebabkan karena stres

lingkungan dan menurunnya kemampuan adaptasi.

4) Gangguan cemas

Dibagi dalam beberapa golongan: fobia, panik, gangguan

cemas umum, gangguan stress setelah trauma dan gangguan obsesif

kompulsif, gangguan-gangguan tersebut merupakan kelanjutan dari


dewasa muda dan berhubungan dengan sekunder akibat penyakit

medis, depresi, efek samping obat, atau gejala penghentian mendadak

dari suatu obat.

5) Parafrenia

Suatu bentuk skizofrenia pada lansia, ditandai dengan waham

(curiga), lansia sering merasa tetangganya mencuri barang-barangnya

atau berniat membunuhnya. Biasanya terjadi pada lansia yang

terisolasi/diisolasi atau menarik diri dari kegiatan sosial.

6) Sindroma Diogenes

Suatu kelainan dimana lansia menunjukkan penampilan

perilaku sangat mengganggu. Rumah atau kamar kotor dan bau karena

lansia bermain-main dengan feses dan urin nya, sering menumpuk

barang dengan tidak teratur. Walaupun telah dibersihkan, keadaan

tersebut dapat terulang kembali.

B. Konsep Dasar Nyeri Pada Reumathoid Artrhitis

1. Pengertian

Nyeri menurut International Association for the Study of Pain dalam

Dewi (2020) adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial. Mc

Caffery mendefinisikan nyeri sebagai suatu fenomena yang sulit dipahami,


kompleks, dan bersifat misteri yang mempengaruhi seseorang, serta

eksistensinya diketahui bila seseorang mengalaminya (Zakiyah, 2015).

Nyeri adalah pengalaman subyektif sama seperti ketika seseorang

mencium bau wangi atau busuk,mengecap rasa manis atau pahit yang

semuanya merupakan persepsi yang dirasakan manusia sejak dilahirkan,

meskipun begitu nyeri berbeda dengan stimulus panca indera itu dikarenakan

karena stimulus nyeriadalah hal yang berasal dari kerusakan pada jaringan

atau yang berpotensi menyebabkan kerusakan jaringan (Oliver, 2017).

2. Tanda dan gejala nyeri

Pasien dengan keluhan nyeri memiliki manifestasi klinis mayor dan

minor sebagai berikut (Oliver, 2017):

a. Tanda gejala mayor :

1) Pasien mengeluh tentang nyeri yang dialami

2) Pasien tampak merasa kesakitan dan meringis, bersifat protektif

terhadap dirinya, muncul rasa gelisah, frekuensi nadi meningkat dan

mengalami gangguan tidur.

b. Tanda gejala minor :

1) Secara subyektif tidak ada gejala minor dari seseorang yang

mengalami nyeri

2) Secara obyektif nyeri ditandai dengan tekanan darah yang

meningkat,pola nafas yang berubah, proses berfikir yang terganggu,

menarik diri, fokus tertuju pada diri sendiri dan diaphoresis.

3) Penilaian respon Intensitas nyeri


Intensitas nyeri adalah sebuah gambaran tentang seberapa

parah tingkat nyeri yang dirasakan penderitanya, pengukuran tingkat

intensitas rasa nyeri sangat subyektif dan individual dan kemungkinan

nyeri dalam tingkat intensitas yang sama dirasakan dengan berbeda

oleh dua orang yang berbeda.

3. Dampak Nyeri

Nyeri menimbulkan perasaan yang tidak nyaman pada pasien. Apabila

nyeri tidak segera diatasi secara adekuat akan memberikan efek yang

membahayakan seperti kardiofaskuler, gastrointestinal, endokrin, dan

immunologik (Solehati, 2015).

4. Pengukuran Intensitas Nyeri

Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang disarankan adalah

melalui respon fisiologi tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Penilaian intensitas

nyeri pada penyakit umumnya sama dan dapat dilakukan dengan

menggunakan skala yaitu (Oliver, 2017):

a. Skala Penilaian Numerik

Penilaian nyeri menggunakan metode skala penilaian Numerical

Rating Scale (NRS) bisa digunakan sebagai alat untuk pendeskripsian

kata. Dalam hal ini pasien menilai nyeri yang dirasakan dengan

menggunakan skala 0-10. Skala ini efektif untuk digunakan sebagai alat

untuk mengkaji tingkat intensitas nyeri sebelum dan sesudah intervensi

terapeutik
Gambar 2. 1. Skala Penilaian Numerik
Sumber : Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar (Mubarak et al., 2015)

Skala Keterangan

0 : Pasien tidak merasakan nyeri


1-3 : Nyeri ringan (secara obyektif pasien bisa berkomunikasi
dengan baik)
4-6 : Nyeri sedang (secara obyektif pasien meringis kesakitan,dapat
menunjukan lokasi nyeri,dapat mengikuti perintah )
7-9 : Nyeri berat (secara obyektif pasien tidak bisa mengikuti
perintah dengan baik tetapi masih berespon terhadap
tindakan,dapat menunjukan lokasi nyeri, tidak dapat diatasi
dengan teknik relaksasi dan distraksi)
10 : Pasien sudah tidak mampu lagi untuk berkomunikasi

C. Konsep Dasar Reumathoid Artrhitis

1. Pengertian

American College of Rheumatology (2012) menyatakan bahwa,

Rheumatoid Arthritis adalah penyakit kronis (jangka panjang) yang

menyebabkan nyeri, kekakuan, pembengkakan serta keterbatasan gerak dan

fungsi banyak sendi (Afwa et al., 2018). Reumatoid arthritis menurut Noor

(2016) adalah penyakit peradangan sistemis kronis yang tidak diketahui

penyebabnya dengan manifestasi pada sendi perifer dengan polasimetris.

Konstitusi gejala, termasuk kelelahan, malaise, dan kekakuan sendi dipagi


hari. Pada reumatoid artritis sering melibatkan organ ekstra-artikuler seperti

kulit, jantung, paru-paru, dan mata. Reumatoid arthritis menyebabkan

kerusakan sendi dan demikian sering menyebabkan morbiditas dan kematian

yang cukup besar (Anugrah, 2020).

Rheumatoid Arthritis (RA) adalah suatu penyakit autoimun inflamasi

kronik yang sistemik,mengenai banyak jaringan akan tetapi pada prinsipnya

menyerang sendi sertai nyeri sendi. Penyakit ini dapat menyebabkan sinovitis

profilatif non supuratif yang dapat merusak tulang rawan dan tulang

bawahnya yang menyebabkan peradangan. Mula-mula mengenai sendi-sendi

sinovial disertai dengan edema, kogesti vaskuler eksudat dan infiltrasi seluler.

Apabila penyakit rheumatoid arthritis dan melibatkan jaringan ekstra

artikular sebagai contoh kulit, jantung, pembulu darah, otot dan paru,

rheumatoid arthritis dapat menyerupai lupus atau scleroderma. Arthitis

(radang sendi) ada 3 jenis yang paling sering yang diderita adalah

osteoarthritis, arthritis goug, dan rheumatoid arthritis yang menyebabkan

benjolan pada sendi atau juga bisa menyebabkan peradangan pada sendi.

Penyakit yang dapat diuraikan sebagai penyakit jaringan ikat karena

mengefek rangka pendukung tubuh dan organ-organ internalnya (Saifudin,

2018).

Rheumatoid arthritis merupakan penyakit inflamasi sistemik kronik

atau penyakit autoimun dimana rheumatoid arthritis ini memiliki

karakteristik terjadinya kerusakan pada tulang sendi, ankilosis dan

deformitas. Penyakit ini adalah salah satu dari sekelompok penyakit jaringan

penyambung difus yang diperantarai oleh imunitas (Yuni, 2018).


Reumatoid arthritis menurut Black & Hawks (2014) dalam Anugrah

(2020) dalam merupakan gangguan autoimun sistemik kronis dengan tanda

inflames erosive, kronis, dan simetris pada jaringan sendi sinovial sendi.

Tingkat keparahan penyakit sendi dapat berfluktuasi sepanjang waktu, namun

pertambahan derajat kerusakan sendi, deformitas, dan kecacatan merupakan

hasil akhir umum dari penyakit yang menetap. Gejala non artikuler dapat

terjad iantara lain nodus subkutan, vaskulitis, nodulus paru, atau fibrosisusus

dan perikarditis.

2. Etiologi dan Faktor Resiko

Penyebab reumatoid artritis tidak diketahui. Faktor genetik diyakini

memainkan peran dalam perkembangannya, kemungkinan kombinasi dengan

faktor lingkungan. Diperkirakan bahwa agen infeksius, seperti mikoplasma,

virus Epstein Barr, atau virus lain dapat memainkan peran dalam memulai

respons imun abnormal yang tampak di reumatoid artritis (LeMone, 2015).

Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan terjadinya

rheumatoid artritis antara lain jenis kelamin, ada riwayat keluarga yang

menderita reumatoid artritis, umur lebih tua, paparan salisilat, dan merokok.

Konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir sehari, khususnya kopi decaffeinated

mungkin juga berisiko. Makanan tinggi vitamin D, konsumsi teh dan

penggunaan kontrasepsi oral berhubungan dengan penurunan risiko. Tiga dari

empat perempuan dengan reumatoid artritis mengalami perbaikan gejala

yang bermakna selama kehamilan dan biasanya akan kambuh kembali setelah

melahirkan. Hiperprolaktinemia dapat menjadi faktor risiko reumatoid

artritis (Saifudin, 2018).


Faktor genetic menurut Black & Hawks (2014) dalam Saifudin (2018)

penting dalam epidemologi penyakit. Predisposisi genetic reumatoid artritis

terlibat pada indeks yang lebih tinggi pada 32% untuk kembar identik

dibandingkan 9% pada kembar fraternal. Penelitian menunjukkan laporan

konsisten mengenai hilangnya nyeri sendi dan bengkak ketika kehamilan

pada klien wanita dengan reumatoid artritis, yang mungkin disebabkan

perbedaan genetik antara ibu dan anak. Ini merupakan area yang menarik

untuk diteliti. Bukti genetik terkait terlihat pada hubungan antara reumatoid

artritis dan HLA-DR4, yang merupakan alel di MHC pada lengan pendek

kromosom 6.

Adapun faktor risiko yang akan meningkatkan risiko terkenanya

Artritis Reumatoid adalah (Anugrah, 2020)

a. Jenis Kelamin.

Perempuan lebih mudah terkena AR dari padal aki-laki.

Perbandingannya adalah 2-3:1.

b. Umur

Rheumatoid biasanya timbul antara umur 40 sampai 60 tahun. Namun

penyakit ini juga dapat terjadi pada dewasa tua dan anak-anak (arthritis

rheumatoid juvenil)

c. Keluarga.

Apabila anggota keluarga anda ada yang menderita penyakit Arthritis

Reumatoid maka anda kemungkinan besar akan terkena juga.

d. Merokok.
Dapat meningkatkan risiko terkena Artritis Reumatoid.

3. Patofisiologi

Dipercaya bahwa pajanan terhadap antigen yang tidak teridentifikasi

(misalnya virus) menyebabkan respon imun menyimpang pada pejamu yang

rentan secara genetik. Sebagai akibatnya, antibodi normal (imunoglobulin)

menjadi autoantibodi dan menyerang jaringan pejamu. Antibodi yang

berubah ini, biasanya terdapat pada orang yang mengalami reumatoid artritis,

disebut faktor reumatoid. Antibodi yang dihasilkan sendiri berikatan dengan

antigen target mereka dalam darah dan membran sinovial, membentuk

kompleks imun. Komplemen diaktivasi oleh kompleks imun, memicu respon

inflamasi pada jaringan synovial (LeMone, 2015).

Leukosit tertarik ke membran sinovial dari sirkulasi, tempat neutrofil

dan makrofag mengingesti kompleks imun dan melepaskan enzim yang

mendegradasi jaringan sinovial dan kartilago artikular. Aktivasi limfosit B

dan T menyebabkan peningkatan produksi faktor reumatoid ddan enzim yang

meningkatkan dan melanjutkan proses inflamasi (LeMone, 2015).

Membran sinovial rusak akibat proses inflamasi dan imun. Membran

sinovial membengkak akibat infiltrasi leukosit dan menebal karena sel

berpoliferasi dan membesar secara abnormal. Prostaglandin memicu

vasodilatasi, dan sel sinovial dan jaringan menjadi hiperaktif. Pembuluh

darah baru tumbuh intuk menyokong hiperplasia sinovial, membentuk

jaringan granulasi vaskular disebut pannus (LeMone, 2015).

4. Manifestasi Klinis
Ada beberapa gejala klinis yang lazim ditemukan pada penderita

rheumatoid artritis. Gejala klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat

yang bersamaan oleh karena itu penyakit ini memiliki gejala aran klinis yang

sangat bervariasi.

a. Gejala-gejala konstutional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan

menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.

b. Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi di

tangan, namun biasanya melibatkan sendi-sendi interfalangs distal.

Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.

c. Pentingnya membedakan nyeri yang disebabkan perubahan mekanis

dengan nyeri yang disebabkan inflamasi. Nyeri yang timbul setelah

aktivitas dan hilang setelah istirahat serta tidak timbul pada pagi hari

merupakan tanda nyeri mekanis. Sedangkan nyeri inflamasi akan

bertambah berat pada pagi hari saat bangun tidur dan disertai kaku sendi

atau nyeri yang hebat pada awal gerak dan berkurang setelah melakukan

aktivitas.

d. Kekakuan sendi di pagi hari lebih dari 1 jam, dapat bersifat generalisata

tetapi terutama menyerang sendi-sendi, kekakuan ini berbeda dengan

kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung

selama beberapa menit dan selalu kurang dari 1 jam.

e. Artritis erosif merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik.

Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi ditepi tulang.

f. Deformitas, kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan

perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, sublukasi sendi


metakarpofalangeal, leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yang

sering dijumpai pada penderita. Pada kaki terdapat protusi (tonjolan)

kaput metatarsal yang timbul sekunder dari sublukasi metatarsal. Sendi-

sendi yang besar juga dapat terangsang dan mengalami pengurangan

kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerak ekstensi.

g. Nodula-nodula reumatoid , lokasi paling sering dari deformitas ini adalah

bursa olekranon (sendi siku) atau disepanjang permukaan ekstensor dari

lengan walaupun demikian nodula-nodula ini dapat juga timbul pada

tempat-tempat lainnya.

h. Manifestasi ekstra artikular, reumatoid artritis juga dapat menyerang

organ- organ lain diluar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis),

mata dan pembuluh darah dapat rusak (Saifudin, 2018).

5. Jenis Rematik

Dikutip dari Anugrah (2020) ada beberapa jenis reumatik yaitu:

a. Reumatik Sendi (Artikuler).

Reumatik yang menyerang sendi dikenal dengan nama reumatik

sendi (reumatik artikuler).

b. Artritis Reumatoid.

Merupakan penyakit autoimun dengan proses peradangan

menahun yang tersebar diseluruh tubuh, mencakup keterlibatan sendi dan

berbagai organ di luar persendian.Peradangan kronis dipersendian

menyebabkan kerusakan struktur sendi yang terkena. Penyebab Artritis

Rematoid belum diketahui dengan pasti. Ada yang mengatakan karena

mikoplasma, virus, dan sebagainya. Namun semuanya belum terbukti.).


c. Osteoatritis.

Adalah sekelompok penyakit yang tumpang tindih dengan

penyebab yang belum diketahui, namun mengakibatkan kelainan biologis,

morfologis, dan keluaran klinis yang sama. Pada stadium lanjut, rawan

sendi mengalami kerusakan yang ditandai dengan adanya fibrilasi, fisur,

dan ulserasi yang dalam pada permukaan sendi. Etiologi penyakit ini

tidak diketahui dengan pasti. Ada beberapa faktor risiko yang diketahui

berhubungan dengan penyakit ini, yaitu : Usia lebih dari 40 tahun, Jenis

kelamin wanita lebih sering, Suku bangsa, genetik, kegemukan dan

penyakit metabolik, cedera sendi, pekerjaan, dan olah raga, kelainan

pertumbuhan, kepadatan tulang, dan lain-lain.

d. Atritis Gout.

Penyakit ini berhubungan dengan tingginya asam urat darah

(hiperurisemia). Reumatik gout merupakan jenis penyakit yang

pengobatannya mudah dan efektif. Namun bila diabaikan, gout juga dapat

menyebabkan kerusakan sendi. Penyakit ini timbul akibat kristal

monosodium urat di persendian meningkat. Timbunan kristal ini

menimbulkan peradangan jaringan yang memicu timbulnya reumatik gout

akut. Pada penyakit gout primer, 99% penyebabnya belum diketahui

(idiopatik. Penyakit gout sekunder disebabkan antara lain karena

meningkatnya produksi asam urat karena nutrisi, yaitu mengkonsumsi

makanan dengan kadar purin yang tinggi. Produksi asam urat meningkat

juga bisa karena penyakit darah (penyakit sumsum tulang, polisitemia),


obat-obatan (alkohol, obatobat kanker, vitamin B12). Penyebab lainnya

adalah obesitas (kegemukan), penyakit kulit (psoriasis), kadar trigliserida

yang tinggi.

e. Reumatik Jaringan Lunak (Non-Artikuler).

Merupakan golongan penyakit reumatik yang mengenai jaringan

lunak di luar sendi (soft tissue rheumatism) sehingga disebut juga

reumatik luar sendi (ekstra artikuler rheumatism). Jenis – jenis reumatik

yang sering ditemukan yaitu:

1) Fibrosis. Merupakan peradangan di jaringan ikat terutama di batang

tubuh dan anggota gerak. Fibrosis lebih sering ditemukan oleh

perempuan usia lanjut, penyebabnya adalah faktor kejiwaan.

2) Tendonitis dan tenosivitis. Tendonitis adalah peradangan pada tendon

yang menimbulkan nyeri lokal di tempat perlekatannya. Tenosivitis

adalah peradangan pada sarung pembungkus tendon.

3) Entesopati. Adalah tempat di mana tendon dan ligamen melekat pada

tulang. Entesis ini dapat mengalami peradangan yang disebut

entesopati. Kejadian ini bisa timbul akibat menggunakan lengannya

secara berlebihan, degenerasi, atau radang sendi.

4) Bursitis. Adalah peradangan bursa yang terjadi di tempat perlekatan

tendon atau otot ke tulang. Peradangan bursa juga bisa disebabkan

oleh reumatik gout dan pseudogout

5) Back Pain. Penyebabnya belum diketahui, tetapi berhubungan dengan

proses degenerarif diskus intervertebralis, bertambahnya usia dan

pekerjaan fisik yang berat, atau sikap postur tubuh yang salah sewaktu
berjalan, berdiri maupun duduk. Penyebab lainnya bisa akibat proses

peradangan sendi, tumor, kelainan metabolik dan fraktur.

6) Nyeri pinggang. Kelainan ini merupakan keluhan umum karena

semua orang pernah mengalaminya. Nyeri terdapat kedaerah

pinggang kebawah (lumbosakral dan sakroiliaka) Yang dapat

menjalar ke tungkai dan kaki.

7) Frozen shoulder syndrome. Ditandai dengan nyeri dan ngilu pada

daerah persendian di pangkal lengan atas yang bisa menjalar ke

lengan atas bagian depan, lengan bawah dan belikat, terutama bila

lengan diangkat keatas atau digerakkan kesamping. Akibat pergerakan

sendi bahu menjadi terbatas.

6. Tanda Dan Gejala

Reumatoid Arthritis dapat mengenai sendi-sendi besar maupun kecil.

Distribusi (RA) Reumatoid Arthritis dapat mengenai sendi leher, bahu,

tangan, kaki, pinggul, lutut.

a. Nyeri

Nyeri adalah sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman

perasaan emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan

kerusakan jaringan yang bersifat aktual maupun potensial, atau yang

dirasakan dalam kejadian- kejadian dimana terjadi kerusakan (Prasetyo,

2010). Nyeri terjadi ketika melakukan aktifitas berat. Pada tahap yang

lebih parah hanya dengan aktifitas minimal sudah dapat membuat

perasaan sakit, hal ini bisa berkurang dengan istirahat.


b. Kekakuan sendi

Kekakuan pada sendi sering dikeluhkan ketika pagi hari ketika

setelah duduk yang terlalu lama atau setelah bangun pagi.

c. Krepitasi sensasi

Suara gemeratak yang sering ditemukan pada tulang sendi rawan:

1) Pembengkakan pada tulang biasa ditemukan terutama pada tangan

sebagai nodus heberden karena adanya keterlibatan sendi Distal

Interphalangeal (DIP) atau nodus Bouchard karena adanya

keterlibatan sendi Proximal Phalangeal (PIP). Pembengkakan pada

tulang dapat menyebabkan penurunan kemampuan pergerakan sendi

yang progresif.

2) Deformitas sendi pasien seringkali menunjukkan sendinya perlahan-

lahan mengalami pembesaran, biasanya terjadi pada sendi tangan atau

lutut (Davey, 2013 dalam Anugrah, 2020)).

7. Faktor yang mempengaruhi Rheumatoid Arthritis

Faktor yang mempengaruhi Rheumatoid Arthritis adalah faktor

genetik, jenis kelamin, usia, obesitas, infeksi, dan lingkungan. Salah satu

yang berperan penting dalam terjadinya rheumatoid arthritis adalah faktor

genetik. Faktor genetik memiliki angka kepekaan dan ekspresi penyakit

sebesar 60%. Hubungan antara gen HLA-DRBI dengan kejadian rheumatoid

arthritis. Beberapa lokus nun-HLA juga berhubungan dengan rheumatoid

artritis seperti daerah 18q21 dari gen TNFRSR11A yang memberi kode

aktivator reseptor faktor nuklear kappa B. Gen ini memiliki peran penting
dalam resorpsi tulang pada rheumatoid arthritis (Yuni, 2018).

Faktor genetik juga berperan dalam aktivitas enzim seperti

methyltransferase untuk metabolisme methotrexate dan azathioprine. Pada

kembar monozigot, rheumatoid arthritis lebih mudah berkembang lebihdari

30%, sedangkan pada orang dengan kulit putih rheumatoid arthritis

mengekspresikan HLA-DR1 memiliki angka kesesuaian 80% (Yuni, 2018).

8. Nyeri pada Rheumatoid Artritis

Faktor pencetus nyeri pada Rheumatoid Arthritis yakni autoimun atau

infeksi, dilanjutkan dengan adanya poliferasi makrofag dan fibroblas sinovial.

Limfosit menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi proliverasi sel-sel

endotel, yang mengakibatkan terjadinya neovaskularisasi. Pembuluh darah

pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan-bekuan kecil atau sel-

sel inflamasi (Yuni, 2018).

Inflamasi didukung oleh sitokin yang penting dalam inisiasi yaitu

tumor necrosis factor (TNF), interleukin-1 dan interleukin-6, selanjutnya

akan mengakibatkan terjadinya pertumbuhan iregular pada jaringan sinovial

yang mengalami inflamasi. Substansi vasoaktif (histamin, kinin,

prostaglandin) dilepaskan pada daerah inflamasi, meningkatkan aliran darah

dan permeabilitas pembuluh darah. Hal ini menyebabkan edema, rasa hangat,

erythema dan rasa sakit atau nyeri.(Suarjana, 2009 dalam Yuni, 2018).

9. Pemeriksaan Penunjang

Untuk menentukan diagnostik (RA), Reumatoid Arthritis selain

melalui pemeriksaan fisik juga diperlukan pemeriksaan penunjang seperti


radiologis dan pemeriksaan laboratorium. Foto polos dapat digunakan untuk

membantu penegakan diagnosis (RA) walaupun sensivitasnya rendah

terutama pada (RA) tahap Reumatoid Arthritis awal. USG juga menjadi

pilihan untuk menegakkan diagnosis (RA) karena selain murah, mudah

diakses serta lebih aman dibanding sinar-X, CT-scan atau MRI (Amoako dan

Pujalte, 2014). Radiologi setiap sendi yang menyangga berat badan dapat

terkena, seperti panggul, lutut, selain itu bahu, tangan, pergelangan tangan,

dan tulang belakang juga sering terkena. Gambaran radiologi (RA)

Reumatoid Arthritis sebagai berikut, pembentukan osteofit pertumbuhan

tulang baru (semacam taji) yang terbentuk di tepi sendi. Penyempitan rongga

sendi hilangnya kartilago akan menyebabkan penyempitan rongga sendi yang

tidak sama. Badan yang longgar terjadi akibat terpisahnya kartilago dengan

osteofit. Kistasubkondral dan sklerosis peningkatan densitas tulang di sekitar

sendi yang terkena dengan pembentukan kista degenerative bagian yang

sering terkena RA lutut dan sering terjadi hilangnya kompartemen

femorotibial kompartemen bagian medial merupakan penyangga tubuh yang

utama, tekanannya lebih besar sehingga hampir selalu menunjukkan terjadi

penyempitan rongga diskus (Yuni, 2018).

Badan sering terjadi hilangnya kompartemen femorotibial

kompartemen bagian medial merupakan penyangga tubuh yang utama,

tekanannya lebih besar sehingga hampir selalu menunjukkan penyempitan

paling dini (Yuni, 2018).

Tulang belakang terjadi penyempitan rongga diskus. Pembentukan

tulang baru (spuring/ pembentukan taji) antara vertebra yang berdekatan


sehingga dapat menyebabkan keterlibatan pada akar syaraf atau kompresi

medula spinalis pada sklerosis dan osteofit pada sendi-sendi apofiseal

invertebrata. Penyempitan pada sendi disebabkan karena menyangga berat

badan yang terlalu berat, sehingga disertai pembentukan osteofit femoral dan

asetabular. sklerosis dan pembentukan kista subkondral. penggantian total

sendi panggul menunjukkan ( RA) Rheumatoid Arthritis panggul yang sudah

berat yaitu (Yuni, 2018):

a. Biasanya mengenai bagian basal metakarpal pertama.

b. Sendi-sendi interfalang proksimal ( Nodus Bouchard ).

c. Sendi-sendi interfalang distal ( Nodus Heberden Patel, 2007).

d. Klasifikasi Menurut Kellgren dan Lawrence (RA) Reumatoid Arthritis

dalam pemeriksaan radiologis.

10. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanan Reumatoid Arthritis adalah mengurangi nyeri,

mengurangi inflamasi, menghentikan kerusakan sendi dan meningkatkan

fungsi dan kemampuan mobilisasi penderita (Lemone & Burke, 2001 dalam

(Yuni, 2018).

a. Pemberian terapi

Pengobatan pada Rheumatoid Arthritis meliputi pemberian aspirin

untuk mengurangi nyeri dan proses inflamasi, NSAIDs untuk mengurangi

inflamasi, pemberian corticosteroid sistemik untuk memperlambat

destruksi sendi dan imunosupressive terapi untuk menghambat proses

autoimun.
b. Pengaturan aktivitas dan istirahat

Pada kebanyakan penderita, istirahat secara teratur merupakan hal

penting untuk mengurangi gejala penyakit. Pembebatan sendi yang

terkena dan pembatasan gerak yang tidak perlu akan sangat membantu

dalam mengurangi progresivitas inflamasi. Namun istirahat harus

diseimbangkan dengan latihan gerak untuk tetap menjaga kekuatan otot

dan pergerakan sendi.

c. Kompres panas dan dingin

Kompres panas dan dingin digunakan untuk mendapatkan efek

analgesik dan relaksan otot. Dalam hal ini kompres hangat lebih efektif

dari pada kompres dingin.

d. Diet

Untuk penderita Rheumatoid Arthritis disarankan untuk mengatur

dietnya. Diet yang disarankan yaitu asam lemak omega-3 yang terdapat

dalam minyak ikan (Yuni, 2018).

e. Terapi konservatif kepada pasien, pengaturan gaya hidup, apabila pasien

termasuk obesitas harus mengurangi berat badan, jika memungkinkan

tetap berolah raga (pilihan olaraga yang ringan seperti bersepeda,

berenang) (Yuni, 2018).

f. Fisioterapi

Fisioterapi untuk pasien (RA) Reumatoid Arthritis termasuk

traksi, stretching, akupuntur, transverse friction (teknik pemijatan khusus

untuk penderita (RA), latihan stimulasi otot, elektroterapi (Yuni, 2018).


g. Pertolongan ortopedi.

Pertolongan ortopedi kadang-kadang penting dilakukan seperti

sepatu yang bagian dalam dan luar di desain khusus pasien (RA),

Rheumatoid Arthritis juga digunakan untuk mengurangi nyeri dan

meningkatkan fungsi sendi (Yuni, 2018).

h. Analgesik anti-inflammatory agents. Memiliki efek anti inflamasi

spesifik. Keamanan dan kemanjuran dari obat anti inflamasi harus selalu

dievaluasi agar tidak menyebabkan toksisitas. Contoh: Ibuprofen : untuk

efek anti inflamasi dibutuhkan dosis 1200-2400 mg sehari. Naproksen :

dosis untuk terapi penyakit sendi adalah 2 x 250 - 375 mg sehari. Bila

perlu diberikan 2 x 500 mg sehari (Yuni, 2018).

i. Glucocorticoids Injeksi glukokortikoid intra artikular dapat

menghilangkan perfusi sendi akibat inflamasi. Contoh: Injeksi

triamsinolon asetonid 40mg/ml suspensi hexacetonide 10 mg atau 40 mg.

j. Pembedahan makoterapi Artroskopi merupakan prosedur minimal operasi

dan menyebabkan rata infeksi yang rendah (di bawah 0,1%). Pasien

dimasukkan ke dalam kelompok 1 debridemen artroskopi, yang signifikan

khondroplasti: menghilangkan fragmen kartilago. Prosedur digunakan

untuk mengurangi gejala osteofit pada kerusakan meniskus (Yuni, 2018).

k. Celecoxib adalah obat yang lebih spesefik dan memiliki efek samping

yang lebih kecil terhadap lambung (Yuni, 2018).

l. Golongan obat (Kortikosteroid) digunakan sebagai obat anti peradangan.

Obat ini dapat menekan sistem kekebalan tubuh sehingga reaksi radang

pada rematik berkurang (Yuni, 2018).


m. Senam Rematik

Senam rematik merupakan metode senam yang dapat membantu

mengurangi resiko timbulnya rematik dan berfungsi sebagai terapi

tambahan bagi penderita rematik dalam fase tenang. Tetapi senam ini

adalah program olaraga ringan yang terdiri dari beberapa tahapan seperti

pemanasan, latihan inti satu (low impact untuk menguatkan kerja jantung

dan paru-paru). Latihan inti dua (dasar pencegahan dan terapi rematik).

Dan pendinginan dengan melakukan latihan ini secara teratur, diharapkan

dapat mengurangi gejala kekakuan sendi dan nyeri pada rematik (Yuni,

2018).

n. Terapi Pemijatan

Terapi ini sering dipilih oleh sebagian besar orang untuk

menghilangkan rasa dan linu yang juga dapat melancarkan peredaran

darah. Sebenarnya manfaat pemijatan bukan hanya itu. Pemijatan juga

berfungsi untuk mengobati rematik. Jenis pemijatan yang dapat

digunakan untuk mengobati rematik adalah jenis chiropractic. Jenis

pemijatan ini menggunakan teknik terapi jasmani yaitu yaitu perpaduan

antara gerakan pijat spesifik, massage, dan jenis gerakan pijat yang dapat

mengatasi masalah tulang syaraf (Yuni, 2018).

o. Untuk membantu meredakan nyeri pada sendi, anda bisa menggunakan

obat oles berbentuk krim ke bagian yang sedang sakit. Salah satu obat

yang bisa digunakan adalah Voltaren. Voltaren aman digunakan oleh

dewasa dan anak-anak di atas umur 12 tahun karena mengandung zat non-

steroid dan anti peradangan (NSAID). Selain itu, krim ini juga
mengandung diklofenak yang dapat membantu meredakan rasa nyeri,

melawan peradangan serta mempercepat proses penyembuhan (Yuni,

2018).

11. Komplikasi RA

Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan

ulkus peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat anti

inflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit

(disease modifying anti rheumatoid drugs, (DMRAD) Yang Menjadi

Penyebab Mordibitas Dan Mortalitas Utama Pada Artitis Reumatoid.

a. Komplikasi syaraf yang terjadi tidak memberikan gambaran jelas,

sehingga sukar dibedakan antara akibat lesi artikular dan lesi neuropatik.

Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat ketidakstabilan verterbra

servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis. (Mansjoer, 2001 dalam

Yuni, 2018). Vaskulitis (inflamasi sistem vaskuler) dapat menyebabkan

trombosis dan infark.

b. Nodulus reumatoid ekstrasinovial dapat terbentuk pada katup jantung atau

pada paru, mata, atau limpa. Fungsi pernapasan dan jantung dapat

terganggu. Glaukoma dapat terjadi apabila nodulus yang menyumbat

aliran keluar cairan okular terbentuk pada mata (Yuni, 2018).

c. Penurunan kemampuan untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari ,

depresi, dan stres keluarga dapat menyertai eksaserbasi penyakit.

(Corwin, 2009 dalam Yuni, 2018).

1) Osteoporosis.

2) Nekrosis sendi panggul.


3) Deformitaas sendi.

4) Kontraktur jaringan lunak.

5) Sindrom Sjogren (Bilotta, 2011 dalam Yuni, 2018).

D. Konsep Dasar Open Kinetic Chain

Salah satu terapi non farmakologi yaitu terapi lutut. Terapi lutut yang

digunakan adalah dengan cara melakukan gerakan Open Kinetic Chain. Menurut

Colby & Kisner, Open kinematic chain exercise merupakan suatu bentuk latihan

dengan gerakan satu sendi, hanya terjadi pergerakan pada segmen distal tanpa

disertai pergerakan segmen proksimal. Open kinematic chain exercise pada

umumnya dilakukan pada posisi Non-Weight Bearing. Pada latihan jenis ini,

bagian distal dari segmen yang akan dilatih dapat bebas bergerak, tanpa

melibatkan pergerakan pada sendi di sekitarnya. Dalam open kinematic chain

exercise, pembebanan yang diberikan diaplikasikan pada bagian distal dari

segmen yang bergerak (Purnama, 2016).


Gambar 2.2
Open Kinematic Chain Exercise
(Sumber : Colby & Kisner, 2007 dalam Purnama, 2016)

Open Kinematic Chain Exercise lebih efektif digunakan untuk

meningkatkan kemampuan otot secara individual. Individual diartikan sebagai

kontraksi pada salah satu otot saja atau satu kelompok otot saja. Selama Open-

Chain Exercise, akan dihasilkan kontrol gerakan yang lebih baik karena hanya

terjadi pergerakan sendi tunggal saja dibandingkan dengan Close-Chain Exercise

yang terjadi pergerakan pada multiple joint. Pada Open Kinematic Chain

Exercise, stabilisasi diaplikasikan oleh fisioterapis dengan melakukan manual

kontak pada bagian proksimal sendi. Kontrol pergerakan yang lebih besar pada

Open-Chain Exercise dapat bermanfaat pada fase awal dalam proses rehabilitasi

(Colby & Kisner, 2007; Purnama, 2016).

Bentuk-bentuk latihan open kinematic chain pada penderita osteoerthritis

lutut merupakan kombinasi dari leg extension dan leg curl. Berikut rincian

bentuk latihan:

1. Leg Curl

Latihan ini dapat membantu meningkatkan definisi otot paha bagian

belakang terutama otot hamstring. Ini merupakan gerakan isolasi untuk paha

belakang. Latihan ini dapat dilakukan sebanyak 3-5 sets dengan 6-12 repetisi

(Darren, 2015).
Gambar 2.3
Open Kinematic Chain Exercise dengan Leg Curl
(Sumber : Colby & Kisner, 2007; Purnama, 2016)

2. Leg Extension

Latihan ini dapat membantu meningkatkan definisi otot quadriceps.

Duduk pada bangku leg extension dan posisikan kaki di belakang bantalan

penyangga. Dorong dan ekstensikan kaki (luruskan) setinggi mungkin, tahan

sebentar lalu kembali ke posisi semula. Gambaran gerakan leg extension

dapat dilihat pada gambar 2.4. Latihan ini dapat dilakukan sebanyak 3-5 sets

dengan 6-12 repetisi (Darren, 2015; Purnama, 2016).


Gambar 2.4
Open Kinematic Chain Exercise dengan Leg Extension
(Sumber: human kinetics, 2014; Purnama, 2016)

Ko-aktivasi pada otot agonis dan otot antagonis terjadi selama proses

latihan open kinematic chain exercise. Beberapa latihan yang bersifat open

kinematic chain yang dapat menghasilkan ko-aktivasi tersebut antara lain

seperti metode stabilisasi dalam PNF (Stabilizing Reversal, Rhythmic

Stabilization). Latihan ini juga dapat meningkatkan kekuatan otot fleksor dan

ekstensor knee yang kemudian dapat meningkatkan stabilisasi daerah lutut .

Meningkatnya stabilitas di daerah lutut akan mencegah pembebanan yang

berlebih pada sendi lutut dan mengurangi nyeri. Beberapa peneliti

menyebutkan bahwa open kinematic chain exercise dengan intensitas tinggi

memiliki efek samping pada sendi yang tidak stabil, cidera, atau sendi yang

sedang berada dalam proses penyembuhan akut (Colby & Kisner, 2007;

(Purnama et al., 2016)


BAB III
TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian

1. Data inti

a. Lokasi :

1) Provinsi : Sumatera Barat

2) Kota : Padang

3) Kecamatan : Koto Tangah

4) Kelurahan : Batang Kabung

5) RT :X

6) RW : 03

b. Demografis

Di RW X RT 03 Kelurahan Batang Kecamatan Koto Tangah

memiliki jumlah penduduk lansia sebanyak 41 Jiwa.

c. Etnis

Dari hasil pengkajian didapatkan Status perkawinan lansia di RW

X RT 03 Kelurahan Batang Kecamatan Koto Tangah sudah Menikah

semua, tetapi masih ada yang utuh dan ada juga yang tidak utuh.

d. Nilai, kepercayaan dan agama

Mayoritas responden beragama islam yaitu 100 %. Berdasarkan

survey terdapat masjid untuk beribadah dan sebagian besar lansianya suka

mengkitu pengajian rutinan di masjid terdekat.


2. Pengkajian Sub sistem

a. Lingkungan

RW X RT 03 Kelurahan Batang merupakan salah satu kelurahan

di Kecamatan Koto Tangah. RW X RT 03 Kelurahan Batang dengan

jumlah penduduk 76 jiwa (per 31 Desember 2021) yang tersebar pada 33

kepala keluarga. Sebagian besar lahan pada RW X RT 03 Kelurahan

Batang digunakan untuk rumah dan pekarangan. Berdasarkan hasil

wawancara dengan kader di kelurahan Kelurahan Batang jarang

mengadakan kegiatan olahraga terhadap lansia.

b. Pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial

Berdasarkan hasil wawancara bahwa pihak puskesmas atau

pelayanan kesehatan jarang memberikan edukasi tentang penyakit

reumatik dan yang lainnya karna jangkauan dari puskesmas sangat tidak

terjangkau dan kurangnya tenaga kesahatan di desa tersebut. Berdasarkan

hasil angket 49% lansia yang menderita reumatik, 29% menderita

hipertensi dan 22% menderita Diabetes. Dari lansia dengan beberapa

penyakit diatas 50% berobat ke Rumah Sakit, 22% berobat ke Praktek

Dokter, 21% berobat Ke Puskesmas dan 7% melakukan pengobatan

alternative.

c. Ekonomi

Berdasarkan hasil studi dokumen bahwa 85% penduduk lansia

kebanyakan sudah tidak bekerja dan hanya mengandalkan anak nya yang

bekerja.
d. Politik dan pemerintahan

Berdasarkan hasil wawancara kader bahwa mereka jarang

mengkaji kesehatan pada lansia. Pada subsistem politik dan

pemerintahan, terdapat kader kesehatan namun belum terlalu memahami

tentang penyakit reumatik.

e. Transportasi

Berdasarkan hasil wawancara jenis transportasi yang digunakan

angkutan umum dan kendaraan pribadi.

f. Komunikasi

Media komunikasi yang digunakan untuk memperoleh informasi

pengetahuan tentang kesehatan melalui televisi.

g. Pendidikan

Berdasarkan hasil angket 75% tidak paham mengenai penyakit

rematik dan akibat yang ditimbulkannya. Berdasarkan hasil wawancara

mereka belum pernah mendapatkan penyuluhan terkait Rematik..

h. Rekreasi

Berdasarkan hasil wawancara, tidak ada lansia yang melakukan

rekreasi.
B. Analisa Data

Berdasarkan kuesioner Asuhan keperawatan komunitas di RW X RT 03

Kelurahan Batang Kabung Kecamatan Koto Tangah dilaksanakan dari tanggal 19

November sampai 5 Desember tahun 2021 yang dibagikan kepda lansia,

didapatkan hasil sebagai berikut:

1. Posyandu Lansia

Lansia tahu tentang posyandu


Tidak Pernah
36%

Pernah
64%

Diagram 3.1
Pengetahuan Lansia Tentang Posyandu

Berdasarkan diagram 3.1 diatas, diketahui bahwa 64 % Lansia

mengetahui tentang adanya Posyandu Lansia dan 36% lainnya tidak

mengetahui tentang posyandu lansia.

2. Mengikuti Posyandu Lansia

Lansia Mengikuti Posyandu Lansia

Tidak Pernah
100%
Diagram 3.2
Mengikuti Posyandu Lansia

Berdasarkan diagram 3.2 diatas, diketahui bahwa 100% lansia tidak

pernah mengikuti posyandu lansia.


3. Penyakit yang diderita lansia

Penyakit yang diderita lansia


Darah
tinggi
Rematik 29%
49%

Kencing manis
22%

Diagram 3.3
Penyakit yang diderita Lansia

Berdasarkan diagram 3.3 diatas, diketahui bahwa 49% Lansia dengan

penyakit reumatik, 29% Lansia dengan penyakit Darah tinggi, dan 22%

Lansia dengan penyakit kencing manis.

4. Tindakan lansia untuk mengatasi penyakit

Tindakan Lansia Untuk mengatasi penyakit


Alternatif
Berobat Kepuskesmas 7%
21%

Berobat ke RS
50%
Berobat kepraktek Dokter
21%

Berobat ke RS Berobat kepraktek Dokter Berobat Kepuskesmas Alternatif

Diagram 3.4
Tindakan lansia untuk mengatasi penyakit

Berdasarkan diagram 3.4 diatas, diketahui bahwa 50% lansia berobat

ke rumah sakit tindakan yang dilakukan lansia untuk mengatasi penyakit,

21% lansia berobat ke praktek dokter, 21% berobat ke puskesmas, 7%

berobat ke alternatif.
5. Aktifitas lansia sehari-hari

Aktifitas lansia sehari hari

Dengan bantuan minimal dari 1


orang
7%
Mandiri/ tampa bantuan
93%
Mandiri/ tampa bantuan Dengan bantuan minimal dari 1 orang Dengan bantuan penuh

Diagram 3.5
Aktifitas lansia sehari-hari

Berdasarkan diagram 3.5 diatas, diketahui bahwa 93% lansia

melakukan aktivitas dengan mandiri/tanpa bantuan orang lain, dan 54 %

lansia melakukan kegiatan social, ibadah dll.

Tabel 3.1
Analisa Data
No Data Masalah
1 Berdasarkan hasil studi dokumen Defisiensi
Berdasarkan hasil studi dokumen bahwa 85% penduduk Kesehatan
lansia kebanyakan sudah tidak bekerja dan hanya Komunitas
mengandalkan anak nya yang bekerja
Berdasarkan hasil wawancara
- Berdasarkan hasil wawancara bahwa pelayanan
kesehatan sulit dijangkau oleh masyarakat
- Jumlah tenaga kesahatan yang tidak mencukupi,
sehingga sulit untuk melakukan kegiatan di luar
gedung
Berdasarkan hasil angket
- Berdasarkan hasil angket, hanya 21% lansia yang
mampu memanfaatkan fasilitas kesehatan serta
puskesmas. Yang melakukan kunjungan ke Rumah
Sakit sebanyak 50% karena masih tinggal dengan
anak sehingga diantar ke Rumah Sakit.
2 Berdasarkan hasil wawancara Ketidak
- Terdapat kader kesehatan namun belum terlalu efektifan
memahami tentang penyakit reumatik pemeliharaan
- Berdasarkan hasil wawancara kader bahwa mereka kesehatan
jarang mengkaji kesehatan pada lansia lansia
Berdasarkan hasil angket
- 75% lansia tidak paham mengenai penyakit rematik
dan akibat yang ditimbulkannya.
- Berdasarkan hasil wawancara terhadap 20 orang
lansia mereka belum pernah mendapatkan
penyuluhan terkait penyakit reumatik.
Berdasarkan hasil angket
- Berdasarkan hasil angket 49% lansia mengalami
masalah kesehatan reumatik
C. Intervensi

Analisa Data Diagnosis NOC (Hasil) NIC (Intervensi)


Komunitas
Berdasarkan hasil Defisiensi PREVENSI PREVENSI
studi dokumen Kesehatan PRIMER PRIMER
Berdasarkan hasil Komunitas Kompetensi - Pengembangan
studi dokumen Masyarakat Program
bahwa 85% Pencegahan dan
penduduk lansia Penanganan RA
Kebanyakan sudah - Pelatihan kader
tidak bekerja dan engenai : Deteksi dini
hanya penyakit RA
mengandalkan anak Pentingnya hidup
nya yang bekerja produktif saat usia
lanjut
Berdasarkan hasil PREVENSI PREVENSI
wawancara SEKUNDER SEKUNDER
- Berdasarkan kontrol terhadap Skrining Kesehatan
hasil kelompok beresiko - Kader melakukan
wawancara efektifitas program skrining kesehatan
bahwa masyarakat Status rutin terhadap
pelayanan kesehatan keluarga lansia
kesehatan sulit - Pembentukan
dijangkau oleh kelas lansia
masyarakat - Kunj. rumah utk
- Jumlah tenaga memberikan info
kesahatan yang tentang reumatik
tidak dan penanganan
mencukupi, nyeri dengan
sehingga sulit gerakan Open
untuk Kinetic Chain.
melakukan
kegiatan di luar
gedung
Berdasarkan hasil PREVENSI
PREVENSI
angket TERSIER
TERSIER
Berdasarkan hasil Partisipasi tim
- Pencatatan insiden
angket, hanya 21% kesehatan dalam
- Pemaparan hasil
lansia yang mampu keluarga.
okupasi lansia
memanfaatkan Pengembangan sumber
untuk
fasilitas kesehatan yang ada di komunitas
meningkatkan
serta puskesmas.
nilai ekonomi.
Yang melakukan
- Evaluasi
kunjungan ke
keberhasilan
Rumah Sakit
pelaksanaan
sebanyak 50%
penanganan nyeri
karena masih
dengan gerakan
tinggal dengan
Open Kinetic
anak sehingga
Chain.
diantar ke Rumah
Sakit.

Berdasarkan Ketidak PREVENSI PREVENSI


hasil efektifan PRIMER PRIMER
wawancara pemeliharaan - Pengetahuan: - Lakukan
- Terdapat kader kesahatan lansia perilaku sehat penyuluhan
kesehatan di RW X RT 03 - Pengetahuan : kesehatan tentang
namun belum Kelurahan promosi kesehatan reumatik kepada
terlalu Batang - Pengetahuan : gaya masyarakat dan
memahami hidup sehat lansia
tentang - Lakukan
penyakit penyuluhan
reumatik tentang
- Berdasarkan penanganan nyeri
hasil dengan gerakan
wawancara Open Kinetic
kader bahwa Chain.
mereka jarang
mengkaji
kesehatan pada
lansia PREVENSI PREVENSI
Berdasarkan hasil SEKUNDER SEKUNDER
angket - Perilaku promosi - Pelatihan kader
- 75% lansia kesehatan tentang lansia dan
tidak paham - Partisipasi dalam rheumatik
mengenai pengambilan - Seminar mengenai
penyakit keputusan lansia dan
rematik dan perawatan permasalahannya
akibat yang kesehatan bersama warga
ditimbulkannya
- Berdasarkan PREVENSI PREVENSI
hasil TERSIER TERSIER
wawancara Pengembangan sumber - Pencatatan insiden
terhadap 20 yang ada di komunitas - Meningkatkan
orang lansia dukungan
mereka belum pemerintahan
pernah - Evaluasi
mendapatkan keberhasilan
penyuluhan pelaksanaan
terkait penyakit penanganan nyeri
reumatik. dengan gerakan
Berdasarkan hasil Open Kinetic
angket Chain.
Berdasarkan hasil
angket 49% lansia
mengalami masalah
kesehatan reumatik
D. Implementasi

No Tanggal/ Diagnosa Implimentasi SOAP


Jam
1 2-12-2021 Defisiensi - Menggunakan pendekatan yang tenang dan S:
Jam 11.30 WIB Kesehatan meyakinkan - Lansia mengatakan mengerti cara
Komunitas - menyatakan dengan jelas harapan terhadap melakukan gerakan Open Kinetic
perilaku klien Chain
- Menjelaskan prosedur gerakan Open - Lansia mengatakan merasa lebih
Kinetic Chain kepada lansia RW X RT 03 nyaman setelah dilakukan gerakan
Kelurahan Batang Open Kinetic Chain
- menentukan tujuan dari dilakukannya - lansia mengatakan nyerinya berkurang
gerakan Open Kinetic Chain setelah dilakukan gerakan Open Kinetic
- memberikan prosedur tentang gerakan Chain
Open Kinetic Chain kepada lansia RW X O:
RT 03 Kelurahan Batang - Lansia tampak aktif mengikuti gerakan
- mendukung lansia untuk mampu gerakan Open Kinetic Chain
Open Kinetic Chain dengan - Setelah dilakukan intervensi
mempraktekkan gerakan Open Kinetic berdasarkan Penilaian nyeri
Chain untuk mengurangi nyeri menggunakan metode skala penilaian
- Memonitor respon lansia terhadap gerakan Numerical Rating Scale (NRS)
Open Kinetic Chain didapatkan data 8 dari 10 lansia sudah
- Mengumpulkan umpan balik terkait tidak mengalami nyeri berat dan masih
kenyamanan terhadap prosedur dan ada 2 orang lansia yang mengalami
pengalaman gerakan Open Kinetic Chain nyeri seperti sebelum dilakukan
gerakan Open Kinetic Chain
- Lansia tampak lebih rileks setelah
dilakukan gerakan Open Kinetic Chain
- Lansia mengikuti gerakan Open Kinetic
Chain sampai selesai.
A:
Masalah keperawatan nyeri pada lansia
akibat Rheumatoid Arthtritis teratasi
sebagian
P:
- Pertahankan intervensi
- Anjurkan lansia melakukan gerakan
Open Kinetic Chain secara mandiri.
2 3-12-2021 Ketidak - Menargetkan sasaran pada kelompok S:
Jam 11.30 WIB efektifan beresiko tinggi dan rentang usia yang akan - Lansia mengatakan mengerti tentang
pemeliharaan mendapat manfaat besar dari pendidikan rheumatic dan cara mengurangi nyeri
kesahatan lansia kesehatan dengan gerakan Open Kinetic Chain
- Merumuskan tujuan dalam program - Lansia mengatakan paham cara gerakan
di RW X RT 03
pendidikan kesehatan Open Kinetic Chain
Kelurahan
- Menekankan manfaat kesehatan positif
Batang yang langsung atau manfaat jangka pendek O:
yang bisa diterima masyarakat - Lansia tampak mempraktekan cara
- Mengembangkan materi pendidikan tertulis mengurangi nyeri dengan gerakan Open
yang tersedia dan sesuai dengan sasaran Kinetic Chain.
- Memberikan ceramah untuk menyampaikan - Lansia tampak mampu melakukan
informasi dalam jumlah besar gerakan Open Kinetic Chain
A:
Masalah keperawatan Ketidak Efektifan
pemeliharaan kesahatan lansia teratasi.
P:
Intervensi dilanjutkan
BAB V
PEMBAHASAN

Pada BAB ini penulis akan membahas tentang kesenjangan antara

teori dengan studi kasus Asuhan Keperawatan Komunitas Pendidikan

Kesehatan Open Kinetic Chain dalam upaya pengurangan nyeri pada lansia

akibat Rheumatoid Arthtritis Di Kelurahan Batang Kabuang Ganting Lubuk

Buaya Kota Padang Tahun 2022. Pembahasan ini akan dibuat berdasarkan

teori dan asuhan yang nyata, dalam hal ini penulis akan membahas melalui

tahapan-tahapan proses keperawatan yaitu: pengkajian, diagnose

keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi.

A. Analisis Pengkajian

Berdasarkan pengkajian mengenai Kelurahan Batang Kabuang Ganting

Lubuk Buaya yang memiliki 1unit fasilitas pelayanan kesehatan Puskesmas yang

masa praktik kesehatan masyarakat Kelurahan Batang Kabuang Ganting Lubuk

Buaya berjalan dengan baik dan juga kegiatan posyandu juga aktif di lakukan

untuk keberlangsungan kesehatan masyarakat di wilayah Kelurahan Batang

Kabuang Ganting Lubuk Buaya.

Namun kendala yang terjadi saat ini ialah lansia sulit mengakses layanan

puskesmas dan lebih memilih ke Rumah Sakit untuk berobat dan diatarkan oleh

keluarga. Hasil wawancara dengan petugas puskesmas, didapatkan keterangan

bahwa jumlah tenaga kesahatan yang tidak mencukupi, sehingga sulit untuk

melakukan kegiatan di luar gedung


B. Analisis Tinjauan Kasus

Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dalam proses

keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari pengumpulan data dan perumusan

kebutuhan atau masalah klien. Data yang dikumpulkan meliputi data klien,

komposisi keluarga dan riwayat kesehatan. Dalam pengumpulan data penulis

menggunakan metode wawancara dengan klien, observasi secara langsung

terhadap kemampuan dan perilaku klien.

Berdasarkan pengkajian yang di dapat di Kelurahan Batang Kabuang

Ganting yang di lakukan pada 2 Desember 2021 melalui wawancara ada beberapa

lansia yang mengalami nyeri akibat Rheumatoid Arthtritis yang menjadi

responden dengan penilaian nyeri menggunakan metode skala Numerical Rating

Scale (NRS) dan di dapatkan 7 orang lansia tersebut mengalami nyeri ringan

ringan dan 13 orang mengalami nyeri sedang dengan kekakuan sendi di pagi hari

lebih dari 1 jam.

Sesuai dengan pendapat Saifudin (2018), Gejala klinis ini tidak harus timbul

sekaligus pada saat yang bersamaan oleh karena itu penyakit ini memiliki gejala

aran klinis yang sangat bervariasi, salah satunya kKekakuan sendi di pagi hari

lebih dari 1 jam, dapat bersifat generalisata tetapi terutama menyerang sendi-

sendi, kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoartritis, yang

biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari 1 jam.

Lansia yang menderita Rheumatoid Arthritis umumnya mengeluh nyeri dan

kaku pada pagi hari. Nyeri yang dirasakan lansia dengan rheumatoid arthritis

dimulai dari adanya faktor pencetus, yaitu berupa autoimun atau infeksi,
dilanjutkan dengan adanya poliferasi makrofag dan fibroblas sinovial. Limfosit

menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi proliverasi sel-sel endotel, yang

mengakibatkan terjadinya neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang

terlibat mengalami oklusi oleh bekuan-bekuan kecil atau sel-sel inflamasi (Yuni,

2018).

Asumsi penulis, berdasarkan teori dan data pengkajian dapat disimpulkan

bahwa lansia yang menjadi responden sesuai dengan tanda dan gejala yang ada

diteori dan pengkajian dan tidak ada perbedaan yang signifikan antara teori dan

tinjauan kasus.

C. Analisis Intervensi

Intervensi (perencanaan) adalah kategori dalam prilaku keperawatan dimana

tujuan yang terpusat pada klien dan hasil yang diperkirakan dan ditetapkan

sehingga perencanaan keperawatan dipilih untuk mencapai tujuan tersebut (Potter

dan Perry, 2012).

Dalam penyusunan intervensi keperawatan penulis menggunakan rencana

keperawatan yang telah disusun oleh NANDA, NIC, NOC, dalam hal ini setiap

rencana keperawatan dikembangkan berdasarkan teori yang dapat diterima secara

logis dan sesuai dengan kondisi masyarakat. Penulis melakukan intervensi Open

Kinetic Chain untuk mengurangi nyeri yang di alami oleh lansia yang dikarenakan

Rheumatoid Arthritis.

Pada intervensi keperawatan yang diterapkan sesuai dengan evidence based

oleh Prio et al. (2017) yang berjudul Pengaruh Latihan Gerak Aktif Kaki dengan

Teknik Open Kinetic Chain Exercise terhadap Penurunan Intensitas Nyeri pada
Lansia dengan Nyeri Sendi Osteoartritis dan Rheumatoid yang diketahui hasil

bahwa ada efektivitas latihan kaki dengan metode rantai kinetik terbuka untuk

menurunkan tingkat rasa sakit pada orang tua dengan rasa sakit yang disebabkan

oleh Osteoarthritis dan Rheumatoid di Minaula lembaga sosial Lansia di Kendari

2016 (nilai p = 0000).

Salah satu terapi non farmakologi yaitu terapi lutut. Terapi lutut yang

digunakan adalah dengan cara melakukan gerakan Open Kinetic Chain. Open

Kinematic Chain Exercise merupakan jenis resistance exercise dimana bagian

distal dari segmen yang akan dilatih dapat bebas bergerak, tanpa melibatkan

pergerakan pada sendi di sekitarnya. Pergerakan ekstremitas hanya terjadi di

bagian distal dari sendi yang terkait dan aktivasi otot terjadi pada otot yang

melewati otot tersebut. Open Kinematic Chain Exercise pada umumnya dilakukan

pada posisi Non-Weight Bearing (tidak menumpu berat badan). Dalam Open

Kinematic Chain Exercise, pembebanan yang diberikan diaplikasikan pada bagian

distal dari segmen yang bergerak (Colby & Kisner, 2007).

Ini menunjukkan bahwa Open Kinematic Chain Exercise cukup

berpengaruh untuk mengurangi rasa nyeri pada lansia dengan Rheumatoid, hal ini

tidak memiliki kesenjangan dalam penelitian yang di lakukan dan di terapkan oleh

peneliti terhadap evidence based yang ada tentang penerapan Open Kinematic

Chain Exercise ini untuk mengatasi masalah nyeri pada penderita Rheumatoid

yang terjadi pada lansia khususnya pada 20 orang lansia yang ada Kelurahan

Batang Kabuang Ganting. Secara garis besar, tindakan yang dilakukan pada

intervensi tidak bertolak belakang dengan evidance besed yang di lakukan juga

oleh Prio et al. (2017) yang berjudul Pengaruh Latihan Gerak Aktif Kaki dengan
Teknik Open Kinetic Chain Exercise terhadap Penurunan Intensitas Nyeri pada

Lansia dengan Nyeri Sendi Osteoartritis dan Rheumatoid.

D. Implementasi Keperawatan

Implementasi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat

untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status

kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan.

Berdasarkan dari perencanaan keperawatan klien melakukan beberapa aktifitas

yang masing-masing diagnosa, peneliti melakukan komunikasi setiap tindakan

dan kegiatan yang dilakukan, konseling, penyuluhan, memberi asuhan

keperawatan langsung.

Implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan

keperawatan. Dalam implementasi pada kasus ini penulis sudah membuat

perencanaan yang sudah tertulis sebelum melakukan tindakan. Sebelum

melaksanakan tindakan yang sudah direncanakan, perawat perlu memvalidasi

dengan singkat, apakah rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhkan pasien saat

ini. Perawat juga menilai sendiri, apakah mempunyai kemampuan intepesonal,

intelektual, dan teknikal yang diperlukan untuk melakukan tindakan.

Perawat juga menilai kembali apakah tindakan aman bagi pasien. Setelah

tidak ada hambatan maka tindakan keperawatan boleh dilaksanakan. Pada saat

akan melaksanakan tindakan keperawatan, perawat membuat kontrak (inform

consent) dengan pasien yang isinya menjelaskan apa yang akan dilaksanakan

peran serta yang diharapkan dari pasien, dokumentasikan semua tindakan yang

telah dilaksanakan beserta respon pasien (Direja, 2011).


Menurut Marlina (2015) latihan lutut secara intensif dapat menurunkan

nyeri, Dullu (2016) menambahkan 40% pasien menggunakan terapi lutut guna

mengurangi nyeri sendi pada Osteoarthritis. Terapi lutut yang digunakan adalah

dengan cara melakukan gerakan Open Kinetic Chain. Tujuan gerakan Open

Kinetic Chain adalah menghambat terjadinya atrofi otot dan meningkatkan

sirkulasi darah, mengubah serabut matriks yang tidak beraturan melalui gerak

antar persendian secara berlahan yang akan menstimulasi mechano growth faktor

karena terjadinya peningkatan lubrication sebagai syarat meningkatnya jumlah zat

plastin, zat plastin sebagai prekusor perangsang glucosaminoglycans (GAG‟s)

sehingga dapat meningkatan kemampuan fungsional sendi lutut.

Setelah dilakukan Implementasi berupa memberikan edukasi tentang Open

Kinetic Chain kepada lansia, maka hasilnya sudah dapat dilihat bahwa lansia

sudah mengerti tentang Open Kinetic Chain dan dan data yang di dapatkan pada

kuesioner setalah di lakukan terapi relaksasi autogenik ini di dapatkan data 20

orang lansia yang mengalami nyeri mengalami pengurangan intensitas nyeri

menjadi 3 orang lansia dengan nyeri ringan.

Dapat di simpulkan bahwa jika di lakukan Open Kinetic Chain secara

berkesinambungan bisa menjadi suatu yang baik untuk penanganan masalah nyeri

pada lansia dengan Rheumatoid, hal ini dapat di jadikan sebagai keahlian mandiri

bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dan juga dapat

meningkatkan mutu perawat dalam memberikan pelayanan terhadap masalah

kecemasan yang di alami oleh klien dengan diagnosa Rheumatoid.


E. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi keperawatan adalah proses berkesinambungan yang perlu

dilakukan untuk menentukan seberapa baik rencana keperawatan dilakukan

(Potter dan Perry, 2012). Evaluasi keperawatan merupakan proses yang

berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan merupakan proses

yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada pasien,

evaluasi dilakukan secara terus menerus pada respon pasien terhadap tindakan

keperawatan yang telah dilaksanakan (Potter dan Perry, 2012).

Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP

diantaranya sebagai berikut: Subyektif: respon Subyektif pasien terhadap tindakan

keperawatan yang telah dilaksankan. Dapat diukur Obyektif : Respon obyektif

pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Dapat diukur

dengan mengobservasi perilaku pasien pada saat tindakan dilakukan, atau

menanyakan kembali apa yang telah diajarkan atau memberi umpan balik sesuai

dengan hasil observasi.

Assessment, analisis ulang atas data subyektif dan obyektif untuk

menyimpulkan apakah masalah masih tetap atau muncul masalah baru atau ada

data yang kontradiksi dengan masalah yang ada. Dapat pula membandingkan hasil

dengan tujuan. Planning, perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis

pada respon pasiennya yang terdiri dari tindak lanjut pasien dan tindak lanjut oleh

perawat (Direja, 2011).

Berdasarkan hasil penelitian dapat di lihat hasil dari Open Kinetic Chain

yang di lakukan kepada 20 responden, Kemudian di lakukan evaluasi post-test dan

di dapatkan terjadi penurunan nilai skala nyeri terhadap 17 dari 20 responden


tersebut dan terdapat 3 orang responden mengalami penurunan nilai skala nyeri

dari nyeri sedang menjadi nyeri ringan.

F. TELAAH JURNAL

Pengaruh Latihan Gerak Aktif Kaki Dengan Teknik Open Kinetik Chain
Exercise Terhadap Kekakuan Sendi Dan Aktivitas Fungsional Pada Lansia
Dengan Osteoarthritis Dan Rheumatoid Di Panti Sosial Tresna Werdha
Minaula Kendari
Judul : Pengaruh Latihan Gerak Aktif Kaki Dengan Teknik Open
Kinetik Chain Exercise Terhadap Kekakuan Sendi Dan
Aktivitas Fungsional Pada Lansia Dengan Osteoarthritis Dan
Rheumatoid Di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari
Peneliti : Asminarsih Zainal Prio, Sitti Rachmi Misbah, Fitri Wijayati

1. Abstrak

Osteoartritis dan rheumatoid arthritis adalah perubahan

muskuloskeletal yang umum di dunia yang menyebabkan gangguan dan

kecacatan pada orang tua. Dimanifestasikan oleh rasa sakit, sendi yang tidak

fleksibel, dan penurunan aktivitas fungsional. Tidak ada senam khusus

aktivitas sendi dan fungsional lansia yang tidak fleksibel yang disebabkan

oleh osteoarthritis dan reumatoid di Panti Werdha Minaula Kendari. Tidak

ada senaman khas untuk orang tua dengan aktiviti fleksibel dan fungsi

fleksibel yang disebabkan oleh osteoarthritis dan rheumatoid di Institusi

Sosial Minaula Orang Tua di Kendari.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh latihan kaki dengan

metode rantai kinetic terbuka terhadap aktivitas sendi dan fungsional yang
tidak fleksibel yang disebabkan oleh osteoarthritis dan reumatoid di Panti

Werdha Minaula Kendari.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalahquasi

eksperimental menggunakan pretest dan posttest dengan desain kelompok

kontrol. Pengumpulan data dilakukan dengan simple random sampling untuk

mencapai 60 peserta 930 pada kelompok intervensi dan 30 pada kelompok

kontrol).

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata tingkat nyeri kelompok

intervensi berkurang 4,83 setelah latihan kaki dengan metode rantai kinetik

terbuka (rata-rata sebelum 5,80, rata-rata setelah 0,97).

Kesimpulan dari penelitian ini terdapat efektifitas latihan kaki dengan

metode rantai kinetik terbuka terhadap ketidakfleksibelan sendi akibat

osteoartritis dan reumatoid di Lembaga Sosial Lansia Minaula di Kendari(p

value = 0,000), dan ada efektifitas latihan kaki dengan metode rantai kinetik

terbuka untuk aktivitas fungsional yang disebabkan oleh osteoarthritis dan

reumatoid di Panti Werdha Minaula Kendari (p value = 0,000). Implikasi

keperawatan penelitian ini adalah latihan kaki metode rantai kinetik terbuka

dapat menjadi kompetensi keperawatan dan diterapkan sebagai intervensi

keperawatan aktivitas sendi dan fungsional yang tidak fleksibel oleh

osteoartritis dan reumatoid. Buku manajemen osteoarthritis di panti atau di

rumah disarankan untuk dibuat dan perlu untuk simulasi latihan kaki dengan

metode rantai kinetik terbuka untuk orang-orang dengan osteoarthritis dan

rheumatoid oleh profesional kesehatan.


2. Latar Belakang

Osteoarthritis merupakan penyebab utama impairment dan disabilitas

terbanyak di dunia. Osteoartritis merupakan menurunnya elastisitas sendi

diakibatkan oleh terbentuknya osteofit pada kartilago hialin pada sendi lutut.

Apabila hal tersebut diabaikan secara terus menerus maka dapat

mengakibatkan penyempitan celah sendi dan deformitas. Selanjutnya akan

menimbulkan hidrops yang diakibatkan oleh adanya osteofit yang mengiritasi

membrane synovial yang banyak terdapat reseptor nyeri. Hal ini akan diikuti

oleh penebalan jaringan lunak di sekitar sendi sehingga kan menyebabkan

nyeri pada saat bergerak.

Penatalaksanaan untuk osteoatritis diantaranya adalah dengan

menggunakan obat, istrahat, relaksasi, olahraga, diet, intruksi tentang

penggunaan sendi yang baik, dan cara menghemat energy tubuh. Aktivitas

gerak fisik atau olahraga dapat mengurangi nyeri dan kekakuan sendi, serta

dapat meningkatkan kelenturan, otot yang kuat dan ketahanan. Latihan gerak

aktif adalah serangkaian gerakan yang dilakukaan untuk memperoleh

penyembuhan, meningkatkan kualitas hidup, pencegahan komplikasi yang

ditimbulkan oleh penyakit. Laatihan gerak aktif harus dibarengi dengan terapi

medis atau komplementer lain seperti pengaturan pola makan. Latihan gerak

aktif meningatkan berbagai stabilitas otot, khususnya pada sendi seperti

quadriceps terutama pada m. vastus medialis. Berbagai gerakan sendi ini

bermanfaat dalam mengurangi iritasi pada kartilago artikularis patella, serta

dapat memelihara dan meningkatkan nutrisi pada sinovial. Peningkatan kerja

otor yang diakibatkan gerak aktif juga akan membawa metabolisme kedalam

aliran darah sehingga nyeri berkurang.


Menurut Ulliya, Soempeno and Kushartanti, (2007) menyatakan

bahwa, terapi latihan adalah latihan fleksibilitas, kekuatan, dan daya tahan

otot yangditujukan untuk meningkatkan ROM, kekuatan, dan daya tahan pada

daerah kaki dan tungkai bawah, lutut, dan tungkai atas, serta bahu, dan lengan

lebih baik. Terapi latihan adalah salah satu metode fisioterapi dengan

menggunakan gerakan tubuh dalam rangka meningkatkan feleksibilitas,

ketahan, mobilitas, stabilitas keseimbangan fungsional. Sementara itu

menurut Arofah, (2007) terapi latihan kelenturan (fleksibilitas) untuk

meningkatkan range of movement (ROM).

3. Metode Penelitian

Desain pada penelitian adalah pra eksperimen yang bertujuan untuk

melihat dan membandingkan intervensi yang dilakukan sebelum dan sesudah

perlakuan.

Populasi penelitian ini seluruh usia lanjut yang mengalami nyeri sendi

di Panti Werdha Minaula dan Posyandu Lansia di wilayah kerja Puskesmas

Poasia Kendari yang berjumlah 63 orang, dengan jumlah sampel sebannyak

60 orang. Kelompok intervnsi sebanyak 30 orang dan 30 orang kelompok

kontrol. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari – Desember 2016 di

Panti Werdha Minaula Kendari di Wilayah Kerja Puskesmas Ranomeeto

Kendari dengan menggunakan instrument The Wertern Ontario and Mc

Master Universities Osteoarthritis Index (WOMAC) dan dianalisa

menggunakan uji statistik yaitu uji regresi logistik.


4. Hasil Penelitian

a. Analisis Multivariat Pengaruh Latihan Gerak Aktif Kaki Dengan Teknik


Open Kinetik Chain terhadap kekakuan otot

Untuk mengetahui pengaruh latihan gerak aktif kaki dengan

teknik open kinetic chain terhadap kekakuan otot setelah dikontrol

variabel perancu maka dilakukan analisis multivariate. Dari 5 variabel,

ada dua variabel yang dapat masuk dalam model multivariat yaitu

variabel riwayat dan IMT. Hal ini disebabkan karena kedua variabel ini

mempunyai nilai p value <0,25. Dengan demikian, dapat disimpulkan

bahwa variabel riwayat dan IMT dapat mempengaruhi kekakuan otot

lansia dengan nyeri sendi.

Dari hasil uji didapatkan bahwa variabel riwayat merupakan

variabel perancu pengaruh intervensi latihan gerak aktif kaki dengan

teknik open kinetic chain dan riwayat dengan kekakuan otot. Lansia yang

memiliki riwayat nyeri sendi akan menyebabkan terjadinya kekakuan

sendi sebesar 5,286 kali lebih besar dibandingkan lansia yang tidak

memiliki riwayat keluarga nyeri sendi. Dan variabel dominan yang

mempengaruhi kekakuan sendi penderita nyeri sendi adalah riwayat

keluarga dengan nilai coef B yaitu 4,894.

b. Analisis Multivariat Pengaruh Latihan Gerak Aktif Kaki Dengan Teknik


Open Kinetik Chain terhadap aktivitas Fungsional setelah dikontrol
variabel perancu
Diantara 5 variabel, ada dua variabel yang dapat masuk dalam

model multivariat yaitu variabel riwayat dan Latihan Gerak Aktif Kaki.

Hal ini disebabkan karena kedua variabel ini mempunyai nilai p value
<0,25. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa variabel riwayat dan

Latihan Gerak Aktif Kaki dapat mempengaruhi aktivitas fungsional lansia

dengan nyeri sendi. Hasil uji regresi logistik pada variabel yang

memenuhi syarat uji multivariate didapatkan bahwa ada variabel perancu

memiliki nilai p value > 0,05.

Faktor yang paling dominan mempengaruhi aktivitas fungsional lansia

dengan nyeri sendi adalah variabel yang memiliki nilai coef. B yang paling

tinggi. Dari tabel di atas diketahui bahwa variabel dominan yang

mempengaruhi aktivitas fungsional penderita nyeri sendi adalah IMT dengan

nilai coef B yaitu 4,505.

5. Kesimpulan

a. Ada pengaruh latihan gerak aktif kaki dengan teknik open kinetik chain

terhadap kekakuan sendi lansia dengan nyeri sendi di Panti Sosial Trena

Werdha Minaula Kendari.

b. Faktor dominan yang paling mempengaruhi kekakuan sendi lansia dengan

nyeri sendi di panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari adalah

riwayat keluarga.

c. Ada pengaruh latihan gerak aktif kaki dengan teknik Open Kinetik Chain

terhadap aktivitas fungsional lansia dengan nyeri sendi di Panti Sosial

Trena Werdha Minaula Kendari.

d. Faktor dominan yang paling mempengaruhi aktivitas fungsional lansia

dengan nyeri sendi di panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari

adalah IMT.
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil penulisan karya ilmiah Akhir Ners setelah praktek

profesi keperawatan elektif yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan :

1. Penulis mampu menerapkan konsep dasar keperawatan komunitas dan teori

Open Kinetik Chain dan asuhan keperawatan Rheumatoid Arthtritis di

Kelurahan Batang Kabuang Ganting

2. Penulis mampu melakukan pengkajian yang dilakukan maka penulis

merumuskan satu diagnosa keperawatan yaitu nyeri pada lansia dengan di

Kelurahan Batang Kabuang Ganting pada komunitas dengan Rheumatoid

Arthtriti.

3. Penulis mampu melakukan intervensi keperawatan yang disesuaikan dengan

kondisi/keadaan yaitu dilakukan intervensi pengurangan nyeri pada lansia

dengan Rheumatoid Arthtritis dengan intervensinya adalah penerapan Open

Kinetik Chain

4. Setelah dilakukannya implementasi penulis melakukan evaluasi yang mana

didapatkan 17 orang lansia sudah mengerti dan pengetahuan meningkat

setelah diberikan edukasi tentang penerapan Open Kinetik Chain guna

mengurangi nyeri.

5. Setelah disusunnya intervensi keperawatan maka penulis melakukan

implementasi sesuai dengan keadaan yang mana secara garis besar

implementasi yang dilakukan adalah memberikan edukasi kepada lansia


tentang Rheumatoid Arthtritis dan cara pengurangan nyeri dengan Open

Kinetik Chain.

6. Penulis mampu melakukan pendokumentasian keperawatan pada kasus Nyeri

pada lansia dengan Rheumatoid Arthtritis di Kelurahan Batang Kabuang

Ganting.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis memberikan saran yang

diharapkan bermanfaat :

1. Bagi Puskesmas

Dalam upaya peningkatan keluarga dan masyarakat pemberian

informasi melalui penyuluhan sangat di perlukan guna meningkatkan

kesadaran dan deteksi dini penyakit khususnya penyakit pada lansia, agar

penanganan dapat dilakukan dengan cepat tidak hanya secara farmakologi

bahkan dengan hon farmakologi.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil karya tulis ilmiah ini dapat menjadi bahan referensi bagi

institusi pendidikan khususnya dalam pengembangan pendidikan khususnya

informasi mengenai masalah keperawatan pada pasien dan keluarga

Rheumatoid Arthtritis dan cara penatalaksanaannya.

3. Bagi Bidang Keperawatan

Dari hasil penelitian ini adalah agar Latihan gerak aktif kaki dengan

teknik open kinetik chain menjadi salah satu kompetensi yang harus dimiliki

perawat dan dijadikan sebagai intervensi dalam asuhan keperawatan terkait


penatalaksanaan nyeri sendi nonfarmakologis dan diperlukan simulasi

pelaksanaan latihan gerak aktif kaki dengan teknik open kinetik chain oleh

kader kesehatan atau petugas kesehatan kepada masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Afwa, K., Darmawati, S., & Anggraini, H. (2018). Gambaran Pemeriksaan


Rheumatoid Faktor Pada Pegawai Usia 50-55 Tahun Di Universitas
Muhammadiyah Semarang Description Of Rheumatoid Factor On Employees
Ages 50-55 Years In Muhammadiyah University Of SemaranG hand-joint and
knee-joint that characterized by. Universitas Muhammadiyah Semarang.

Angraini, T. (2020). Asuhan Keperawatan Keluarga Pada Lansia Ny. E Dengan


Osteoartritis Melalui Penerapan Latihan Gerak Sendi Untuk Mengurangi Nyeri
Sendi Di Kenagarian Sarilamak Kecamatan Harau Kabupaten Lima Puluh Kota
Tahun 2020 [Universitas Andalas]. In Engineering, Construction and
Architectural Management (Vol. 25). http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/64179

Anugrah, F. D. (2020). Penerapan Terapi Musik Gambus Pada Nenek. D Untuk


Menurunkan Intensitas Nyeri Dengan Rheumatoid Arthritis, Kec. Baso,
Kab.Agam, Kota Bukittinggi Tahun 2020 [STIKes Perintis Padang].
http://repo.stikesperintis.ac.id/id/eprint/1207

Bastian, F., Muhammad, H., Nurjamjam, L., Lutfiani, R., & Eka N, R. (2020).
Asuhan Keperawatan Komunitas Pada Agregat Lansia Dengan Reumatik.
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Budi Luhur Cimahi.

Dargham, S. R., Zahirovic, S., Hammoudeh, M., Emadi, S. Al, Masri, B. K., Halabi,
H., Badsha, H., Uthman, I., Mahfoud, Z. R., Ashour, H., Haq, W. G. El,
Bayoumy, K., Kapiri, M., Saxena, R., Plenge, R. M., Kazkaz, L., & Arayssi, T.
(2018). Epidemiology and treatment patterns of rheumatoid arthritis in a large
cohort of Arab patients. PLoS ONE, 13(12), 1–12.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0208240

Dewi, L. P. K. (2020). Gambaran Asuhan Keperawatan Osteoarthritis Dengan Nyeri


Kronis Di Wilayah Kerja Puskesmas II Denpasar Barat. Politeknik Kesehatan
Kemenkes Denpasar.

Di, W. T., Vergara, F., Bertiller, E., De Los Angeles Gallardo, M., Gandino, I.,
Scolnik, M., Martinez, M. J., Schpilberg, M. G., Rosa, J., & Soriano, E. R.
(2016). Incidence and prevalence of rheumatoid arthritis in a health
management organization in Argentina: A 15-year Study. Journal of
Rheumatology, 43(7), 1306–1311. https://doi.org/10.3899/jrheum.151262

Dullu, S. K. A. (2016). Osteoartritis Lutut Di Instalasi Rehabilitasi Medik. 1(1), 1–5.


Iltchev, P., Śliwczyński, A., Czeleko, T., Sierocka, A., Tłustochowicz, M.,
Tłustochowicz, W., Timler, D., Brzozowska, M., Szatko, F., & Marczak, M.
(2016). Epidemiology of Rheumatoid Arthritis (RA) in rural and urban areas of
Poland – 2008–2012. Annals of Agricultural and Environmental Medicine,
23(2), 350–356. https://doi.org/10.5604/12321966.1203904

Kementerian Kesehatan RI. (2016). SITUASI LANJUT USIA (LANSIA) di Indonesia.


Pusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.

___________________. (2017). Situasi lansia di Indonesia tahun 2017: Gambar


struktur umur penduduk indonesia tahun 2017. Pusat Data Dan Informasi, 1--9.

__________________. (2018). RIKESDAS.


https://www.depkes.go.id/www.depkes.go.id › resources › download › info-
terkini › hasil-riskesda...%0A%0A

Kholifah, S. N. (2016). Keperawatan Gerotik (M. Dwisatyadini (ed.)). Kementerian


Kesehatan Republik Indonesia.

LeMone, P. (2015). Buku Ajar Medikal Bedah (3rd ed.). EGC.

Marlina, T. (2015). Efektivitas Latihan Lutut Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri


Pasien Osteoarthritis Lutut di Yogyakarta. Jurnal Keperawatan Sriwijaya, 2(1),
44–56.

Monayo, E. R., & Akuba, F. (2019). Pengaruh Stretching Exercise Terhadap


Penurunan Skala Nyeri Sendi Lutut Pada Pasien Osteoartrtis. Jambura Nursing
Journal, 1(1), 1–10. https://doi.org/10.37311/jnj.v1i1.2074

Mubarak, W. I., Indrawati, L., & Susanto, J. (2015). Buku Ajar Ilmu Keperawatan
Dasar. Salemba Medika.

Mujib, H. (2016). Pengaruh Range Of Motion Terhadap Penurunan Skala Nyeri Pada
Lansia Dengan Osteoartritis Di Posyandu Lansia Kecamatan Kalianget
Kabupaten Sumenep. JURNAL ILMU KESEHATAN, 1(2), 55–62.
https://doi.org/https://doi.org/10.24929/jik.v1i2.382

Potter, P. A., & Perry, A. G. (2017). Fundamental Of Nursing: Consep, Proses and
Practice (7. Vol. 3). EGC.

Prio, A. Z., Misbah, S. R., & Wijayati, F. (2017). Pengaruh Latihan Gerak Aktif Kaki
dengan Teknik Open Kinetic Chain Exercise terhadap Penurunan Intensitas
Nyeri pada Lansia dengan Nyeri Sendi Osteoartritis dan Rheumatoid. Health
Information : Jurnal Penelitian, 9(1), 15–25.
https://doi.org/10.36990/hijp.v9i1.76
Purnama, N. M. D., Andayani, N., Wahyuni, N., & Sugiritama, I. W. (2016).
Intervensi Ultrasound Dan Closed Kinematic Chain Exercise Lebih Efektif
Daripada Intervensi Ultrasound Dan Open Kinematic Chain Exercise Dalam
Menurunkan Nyeri Pada Pasien Osteoarthritis Lutut Dengan Skor Nyeri 8-20 Di
Daerah Badung. Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, 5(1), 5–8.

Purwanto, H. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Ny. E Dengan Osteoartritis Di


Ruang Kirana Rs Tk.III Dr.Soetarto Yogyakarta. Poloteknik Kesehatan
Kementerian Kesehatan Yogyakarta.

Ratnawati, A. (2017). Asuhan Keperawatan Gerontik. Pustaka Baru Press.

Saifudin, D. M. (2018). Asuhan Keperawatan pada Lansia Ny. S dan Tn. S yang
Mengalami Reumatoid Artritis dengan Masalah Keperawatan Nyeri Kronis di
UPT PSTW Jember Tahun 2017.
http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/87633

Solehati, T. (2015). Konsep dan aplikasi relaksasi : dalam keperawatan maternitas.


Refika Aditama.

Tabloski, P. A. (2014). Gerontology Nursing (3rd ed.). Jones & Bartlett.

Yuni, N. Ma. S. D. (2018). Gambaran Asuhan Keperawatan pada Lansia


Rheumatoid Arthritis dengan Nyeri Kronis di Wilayah Kerja UPT Kesmas
Sukawati I Tahun 2018. Politeknik Kesehatan Kemenkes RI Denpasar.

Zakiyah, A. (2015). Nyeri Konsep dan Penatalaksanaan dalam Praktik Keperawatan


Berbasis Bukti. Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai