Anda di halaman 1dari 4

Tim Dosen Pengampu Mata Kuliah:

1. Dr. Ichlas Nanang Afandi, S.Psi., M.A.


2. Triani Arfah, S.Psi., M.Psi., Psikolog
3. Rizky Amalia Jamil, S.Psi. M.A.
4. Syurawasti Muhiddin, S.Psi., M.A.
5. St. Muthia Maghfirah M. S.Psi., M.Psi., Psikolog

Resume Psikologi Sosial II


05/05/2023

KELAS B
PRODI PSIKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
AGRESI

Manusia terdiri atas unsur-unsur kompleks yang terbentuk sejak dia dalam kandungan,
melalui pembelajaran dalam kehidupan individu bertumbuh dan berkembang beriringan dengan
waktu secara bertahap, memperoleh eksistensi fisiologis dan psikologis yang cenderung tidak
disadari. Dalam ilmu psikologi yang mengkaji proses mental yang terjadi dalam diri manusia,
dapat dikatakan manusia terdiri bukan hanya sebagai makhluk yang hakikatnya baik, namun
‘baik’ itu hanya penilaian yang subjektif, manusia begitu kompleks mereka tersusun atas unsur-
unsur yang dapat membangun dan menghancurkan. Kedua unsur yang saling berlawanan ini bisa
tumbuh dalam diri manusia dengan harmoni karena insting naluri, DNA atau bahkan apa yang
sudah dipelajari dan dipahaminya. Merujuk pada konteks sisi-sisi yang manusia miliki, selain
afeksi dan kecenderungan untuk menyayangi atau melindungi, manusia juga dilengkapi dengan
kecenderungan untuk agresi, atau menimbulkan luka dan sakit pada individu lain dengan
sengaja. Sigmund Freud percaya bahwa tiap orang memiliki dorongan kuat tertentu untuk mati
yang disebabkan oleh tekanan atau kesulitan dalam kegiatan sehari-hari. Dalam rangka
mengayomi dorongan tidak sadar ini individu perlu mengalirkannya pada arah tertentu, jika
diarahkan ke dalam kemungkinan dapat memunculkan perilaku self destructive dan jika
diarahkan keluar maka perilaku yang muncul berupa agresi terhadap orang lain.

Para psikolog sosial, agresi didefinisikan sebagai perilaku disengaja yang bertujuan untuk
menyebabkan rasa sakit secara fisik atau psikologis. Perlu digaris bawahi bahwa definisi agresi
di sini berbeda dengan istilah ‘agresif’ yang sering dianggap sebagai lawan kata asertif dalam
kehidupan sehari-hari. Agresi sesungguhnya melibatkan intensi untuk melukai yang lain,
singkatnya, jika ada intensi barulah dapat disebut sebagai agresi. Adapun violence atau kekerasan
merupakan wujud ekstrim dari agresi, seperti halnya tindakan perang, pembunuhan dan
penyerangan. Agresi juga dapat dibedakan menjadi 2 menurut Berkowitz, pertama hostile
aggression. Agresi bentuk ini berasal dari amarah dan tujuannya adalah menyakiti atau melukai.
Kedua, instrumental aggression, yakni wujud agresi yang maksudnya juga untuk melukai,
namun tindakan melukai tersebut dimaksudkan untuk mencapai tujuan selain menimbulkan rasa
sakit.
Telah banyak dilakukan penelitian dalam memahami lebih dalam tentang penyebab dari
agresi, faktor biologis, sosial, kultural dan faktor situasional. Banyaknya wujud agresi dan faktor
penyebabnya memberi kesimpulan bahwa agresi ini tidak dapat dihindari dan tidak dapat diubah.
Dalam pandangan evolusi, para psikolog menemukan kalau wujud agresi fisik secara genetis
diprogram untuk laki-laki karena membuat mereka mampu mempertahankan dan melangsungkan
kelompok. Hal ini mudah dibuktikan pada awal bermulanya agresi, yakni pada masa kanak-
kanak. Dibandingkan anak perempuan, anak laki-laki yang masih kecil cenderung berlaku tidak
menyenangkan kepada seusianya dengan mendorong dan memukul (Deaux & La France, 1998;
Maccoby Jacklin, 1974). Lalu bagi perempuan, mereka baru berlaku agresif umumnya untuk
melindungi anaknya. Pada teori insting Lorenz, Konrad Lorenz melihat agresi sebagai motivasi
alami dan sifatnya berdasarkan insting, dalam teorinya menyatakan bahwa hasrat individu untuk
hidup mengarahkan pada perilaku agresi terhadap orang lain. Insting ini dapat berkembang
karena umumnya pada hewan dapat dilihat, jika menunjukkan agresi mereka dapat bertahan
hidup.

Banyak kepercayaan menyatakan bahwa hormon juga berperan dalam perilaku agresi,
hormon yang diakui dapat memantik agresi ialah testosteron, salah satu hormon yang dimiliki
laki-laki dan perempuan, akan tetapi pada laki-laki kadarnya lebih banyak. Penemuan ini dapat
dibilang terbukti akurat pada sebuah percobaan, hewan laboratorium yang testosteronnya
disingkirkan jadi lebih jinak, dan hewan yang disuntikkan testosteron berperilaku lebih agresif
(Moyer, 1993; Sapolsky, 1998). Ada juga penelitian yang dilakukan pada narapidana, level
testosteron pada narapidana yang ditahan karena tindak kekerasan lebih tinggi dibanding yang
tidak melakukan tindak kekerasan (Dabbs, 2000; Dabbs, Carr, Frady & Riad, 1995). Sebagian
besar penelitian mengungkapkan bahwa hormon testosteron sendiri dapat menimbulkan agresi
walau sedikit, namun berada pada lingkungan kompetitif, agresif atau sexual dapat
meningkatkan jumlah testosteron (Mazur, Booth, & Dabbs, 1992; Thompson, Dabbs, & Frady,
1990). Masih berkaitan dengan unsur intrinsik yang ada dalam tubuh manusia, beberapa
penelitian juga menyoroti faktor genetika dapat mempengaruhi agresi. Sebuah penelitian
mengindikasikan bahwa anak-anak yang agresif sejak dini akan lebih menunjukkan
agresivitasnya di usia dewasa. Beberapa penelitian lain juga membuktikan bahwa sifat agresi ini
stabil. Walau acuan awalnya berupa faktor genetik, anak-anak lebih banyak belajar dengan
meniru atau metode modeling dari orang tua atau wali mereka sehingga faktor genetika sendiri
tidak bisa dijadikan alasan utama atas timbulnya agresi.

Menurut social learning theory, laki-laki dan perempuan diajarkan hal yang berbeda
terkait dampak dan keuntungan dari agresi (Eagly & Steffen, 1986). Perbedaan jenis kelamin
juga menjadi salah satu faktor dari bentuk agresi yang bermacam-macam. Pria dan anak lelaki
lebih cenderung bertindak agresi fisik dibanding wanita dan anak perempuan, namun sedikit
lebih tinggi pada agresi bentuk verbal dan cenderung rendah pada agresi relasional (maksudnya
perilaku yang dimaksudkan untuk mengganggu hubungan; Archer, 2004; Archer & Coyne, 2005;
Buss & Perry, 1992; Crick, Casas & Mosher, 1997; Crick & Grotpeter, 1995). Pada kasus ini pun
dilihat bahwa pria lebih cenderung beraksi agresif menghadapi sakit fisik, sedangkan wanita
cenderung bereaksi agresif pada ancaman atau sakit psikologis.Hal ini juga mengindikasikan
bahwa agresi kemungkinan besar disebabkan oleh peran sosial dan pembelajaran.

Referensi:
Aronson, Elliot. Et al. (2015). Social Psychology 9th Edition. Pearson
Sanderson, Catherine A. (2010). Social Psychology. John Wiley & Sons

Anda mungkin juga menyukai