Anda di halaman 1dari 29

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN

MASTITIS

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Keperawatan Maternitas Lanjut

Dosen Pembimbing:

Disusun oleh:

Palma Alfira 220120237013

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2024

1
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Mastitis
2.1.1 Definisi Mastitis
Mastitis merupakan kondisi radang akut yang nyeri, biasanya terjadi
pada minggu pertama setelah persalinan dengan Staphylococcus aureus
sebagai penyebab terbanyak. Mastitis dapat digolongkan berdasarkan
etiologi, yaitu infeksi dan bukan infeksi. Berdasarkan sifat radang, dapat
dibedakan menjadi radang granulomatosa spesifik dan tidak spesifik.
Mastitis tidak spesifik dapat bersifat akut yang apabila tidak tersembuhkan
akan masuk ke tahap kronik membentuk radang granulomatosa dengan
atau tanpa sarang abses mikro. Mastitis tidak spesifik akut paling sering
ditemukan saat laktasi akibat fisura puting oleh trauma yang disebabkan
isapan bayi atau karena hygiene yang buruk. Terdapat beberapa contoh
jenis radang misalnya mastitis tuberkulosa, mastitis sifilika, dan mastitis
mikotik yang biasanya berjalan kronik dengan tanda–tanda radang tidak
nyata seperti tidak nyeri, bertukak, dan ada indurasi keras sehingga sering
merupakan diagnosis banding karsinoma payudara (Underwood & Cross,
2010; Soetrisno, 2010).
Mastitis adalah suatu inflamasi atau infeksi jaringan mammae.
Mastitis sering terjadi pada pascapartum semasa awal laktasi, jika
mikroorganisme berhasil masuk dan mencapai jaringan payudara melalui
fisura pada putting. Pada infeksi yang berat atau tidak diobati, bisa
terbentuk abses mammae (penimbunan nanah di dalam mammae).
Infeksi Payudara (Mastitis) adalah suatu infeksi pada jaringan
payudara. Biasanya terjadi karena adanya bakteri jenis staphylococcus
aureus. Bakteri biasanya masuk melalui puting susu yang pecah-
pecah atau terluka. Pada infeksi yang berat atau tidak diobati, dapat
terbentuk abses payudara (penimbunan nanah di dalam payudara). Mastitis

2
adalah reaksi sistematik seperti demam, terjadi 1-3 minggu setelah
melahirkan sebagai komplikasi sumbatan saluran air susu (Masjoer, 2001).

2.1.2 Etiologi
Mastitis disebabkan oleh organisme S. aureus, Candida albican dan
Haemophilus parainfluenza yang berasal dari hidung dan tenggorokan
bayi. Factor-faktor yang mempengaruhi: penyumbatan saluran susu, daya
tahan ibu yang rendah, berkaitan dengan kelelahan atau stress, tangan yang
tidak bersih, keretakan atau keretakan atau terbelahnya puting.
Soetjiningsih (1997) menyebutkan bahwa peradangan pada
payudara (Mastitis) di sebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
a. Payudara bengkak yang tidak disusu secara adekuat, akhirnya
tejadi mastitis.
b. Puting lecet akan memudahkan masuknya kuman dan terjadi
payudara bengkak.
c. Penyangga payudara yang terlalu ketat, mengakibatkan
segmental engorgement sehingga jika tidak disusu secara
adekuat bisa terjadi mastitis.
d. Ibu yang memiliki diet jelek, kurang istirahat, anemia akan
mempermudah terkena infeksi.
Thomsen,dkk menghasilkan bukti tambahan tentang pentingnya
stasis ASI. Mereka menghitung leukosit dan bakteri dalam ASI dari
payudara dengan tanda klinis mastitis dan mengajukan klasifikasi berikut,
yaitu:
a. Stasis ASI
Statis ASI terjadi jika ASI tidak dikeluarkan dengan efisien
dari payudara. Hal ini terjadi jika payudara terbendung segera
setelah melahirkan, atau setiap saat jika bayi tidak mengisap
ASI, kenyutan bayi yang buruk pada payudara, pengisapan
yang tidak efektif, pembatasan frekuensi/durasi menyusui,
sumbatan pada saluran ASI, suplai ASI yang sangat berlebihan

3
dan menyusui untuk kembar dua/lebih. Statis ASI dapat
membaik hanya dengan terus menyusui, tentunya dengan
teknik yang benar.
b. Inflamasi non infeksiosa (atau mastitis noninfeksiosa)
Adanya bercak panas/nyeri tekan yang akut, bercak kecil
keras yang nyeri tekan, dan tidak terjadi demam dan ibu masih
merasa baik-baik saja. Mastitis non infeksiosa membutuhkan
tindakan pemerasan ASI setelah menyusui.
c. Mastitis infeksiosa
Ditandai dengan nyeri kepala seperti gejala flu, demam
suhu > 38,5 derajat celcius, ada luka pada puting payudara,
kulit payudara tampak menjadi kemerahan atau mengkilat,
terasa keras dan tegang, payudara membengkak, mengeras, dan
teraba hangat, dan terjadi peningkatan kadar natrium sehingga
bayi tidak mau menyusuikarena ASI yang terasa asin. Mastitis
infeksiosa hanya dapat diobati dengan pemerasan ASI dan
antibiotik sistemik.

2.1.3 Tanda dan Gejala


Tanda dan Gejala dari mastitis ini biasanya berupa:
a. Payudara yang terbendung membesar, membengkak, keras dan
kadang terasa nyeri.
b. Payudara dapat terlihat merah, mengkilat dan puting teregang
menjadi rata.
c. ASI tidak mengalir dengan mudah, dan bayi sulit mengenyut
untuk menghisap ASI sampai pembengkakan berkurang.
d. Ibu akan tampak seperti sedang mengalami flu, dengan gejala
demam, rasa dingin dan tubuh terasa pegal dan sakit.
e. Terjadi pembesaran kelenjar getah bening ketiak pada sisi yang
sama dengan payudara yang terkena.

4
Gejala yang muncul juga hampir sama dengan payudara
yang membengkak karena sumbatan saluran ASI antara lain:
a. Payudara terasa nyeri
b. Teraba keras
c. Tampak kemerahan
d. Permukaan kulit dari payudara yang terkena infeksi juga
tampak seperti pecah–pecah, dan badan terasa demam
seperti hendak flu, bila terkena sumbatan tanpa infeksi,
biasanya di badan tidak terasa nyeri dan tidak demam.
Pada payudara juga tidak teraba bagian keras dan nyeri
serta merah.
Namun terkadang dua hal tersebut sulit untuk dibedakan,
gampangnya bila didapat sumbatan pada saluran ASI, namun tidak
terasa nyeri pada payudara, dan permukaan kulit tidak pecah –
pecah maka hal itu bukan mastitis. Bila terasa sakit pada payudara
namun tidak disertai adanya bagian payudara yang mengeras, maka
hal tersebut bukan mastitis (Pitaloka, 2001 dalam Anonim, 2013).

2.1.4 Faktor Risiko


Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko mastitis
(Prasetyo, 2010), yaitu:
a. Umur
Wanita berumur 21-35 tahun lebih sering menderita
mastitis dari pada wanita di bawah usia 21 tahun atau di atas 35
tahun.
b. Serangan sebelumnya
Serangan mastitis pertama cenderung berulang, hal ini
merupakan akibat teknik menyusui yang buruk yang tidak
diperbaiki.
c. Melahirkan

5
Komplikasi melahirkan dapat meningkatkan risiko mastitis,
walupun penggunaan oksitosin tidak meningkatkan resiko.
d. Gizi
Asupan garam dan lemak tinggi serta anemia menjadi
faktor predisposisi terjadinya mastitis. Wanita yang mengalami
anemia akan beresiko mengalami mastitis karena kurangnya zat
besi dalam tubuh, sehingga hal itu akan memudahkan tubuh
mengalami infeksi (mastitis). Antioksidan dari vitamin E,
vitamin A dan selenium dapat mengurangi resiko mastitis.
e. Faktor kekebalan dalam ASI
Faktor kekebalan dalam ASI dapat memberikan mekanisme
pertahanan dalam payudara.
f. Pekerjaan di luar rumah
Interval antar menyusui yang panjang dan kekurangan
waktu dalam pengeluaran ASI yang adekuat sehingga akan
memicu terjadinya statis ASI.
g. Trauma
Trauma pada payudara yang disebabkan oleh apapun dapat
merusak jaringan kelenjar dan saluran susu dan haltersebut
dapat menyebabkan mastitis.

2.1.5 Patofisiologi
Secara garis besar, mastitis atau peradangan pada payudara dapat
terjadi karena proses infeksi ataupun noninfeksi. Namun semuanya
bermuara pada proses infeksi. Mastitis akibat proses noninfeksi berawal
dari proses laktasi yang normal. Namun karena sebab-sebab tertentu maka
dapat menyebabkan terjadinya gangguan pengeluaran ASI atau yang biasa
disebut sebagai stasis ASI.Hal ini membuat ASI terperangkap di dalam
ductus dan tidak dapat keluar dengan lancar.Akibatnya mammae menjadi
tegang.Sehingga sel epitel yang memproduksi ASI menjadi datar dan
tertekan.permeabilitas jaringan ikat meningkat, beberapa

6
komponen(terutama protein dan kekebalan tubuh dan natrium) dari plasma
masuk ke dalam ASI dan jaringan sekitar sel memicu respon imun. Terjadi
inflmasi hingga sehingga mempermudah terjadinya infeksi.Kondisi ini
membuat lubang duktus laktiferus menjadi port de entry bakteri, terutama
bakteri Staphylococcus aureus dan Strepcococcus sp.
Hampir sama dengan kejadian pada mastitis noninfeksi, mastitis
yang terjadi akibat proses infeksi terjadi secara langsung, yaitu saat timbul
fisura/robekan/perlukaan pada puting yang terbentuk saat awal laktasi
akan menjadikanport de entry/tempat masuknya bakteri. Proses
selanjutnya adalah infeksi pada jaringan mammae.

2.1.6 Pathway

Stasis ASI
Fisura pada
puting

Jaringan mammae
menjadi tegang

Lubang duktus
laktiferus lebih
terbuka Terbukanya
port de entry

Bakteri masuk

MASTITIS

Ketegangan Laktasi Proses infeksi


pada jaringan terganggu bakteri
mammae

7
Reaksi imun

Ukuran Penekanan Menyusui tidak


mammae reseptor nyeri efektif
membesar
Muncul pus

Kurang
pengetahuan
Gangguan Nyeri akut
citra tubuh
Resiko
Ansietas tinggi
infeksi

2.1.7 Komplikasi dan Prognosis


a. Komplikasi
Berikut beberapa komplikasi yang dapat muncul karena mastitis.
1) Abses payudara
Abses payudara merupakan komplikasi mastitis yang
biasanya terjadi karena pengobatan terlambat atau tidak adekuat.
Bila terdapat daerah payudara teraba keras, merah dan tegang
walaupun ibu telah diterapi, maka kita harus memikirkan
kemungkinan terjadinya abses. Kurang lebih 3% dari kejadian
mastitis berlanjut menjadi abses.
Pemeriksaan USG payudara diperlukan untuk
mengidentifikasi adanya cairan yang terkumpul. Cairan ini dapat
dikeluarkan dengan aspirasi jarum halus yang berfungsi sebagai
diagnostik sekaligus terapi, bahkan mungkin diperlukan aspirasi
jarum secara serial/berlanjut. Pada abses yang sangat besar
terkadang diperlukan tindakan bedah. Selama tindakan ini
dilakukan, ibu harus mendapatkan terapi medikasi antibiotik. ASI
dari sekitar tempat abses juga perlu dikultur agar antibiotik yang
diberikan sesuai dengan jenis kumannya.

8
2) Mastitis berulang/kronis
Mastitis berulang biasanya disebabkan karena pengobatan
terlambat atau tidak adekuat. Ibu harus benar-benar beristirahat,
banyak minum, mengonsumsi makanan dengan gizi berimbang,
serta mengatasi stress. Pada kasus mastitis berulang karena
infeksi bakteri biasanya diberikan antibiotik dosis rendah
(eritromisin 500 mg sekali sehari) selama masa menyusui.
3) Infeksi jamur
Komplikasi sekunder pada mastitis berulang adalah infeksi
oleh jamur seperti candida albicans. Keadaan ini sering
ditemukan setelah ibu mendapat terapi antibiotik.Infeksi jamur
biasanya didiagnosis berdasarkan nyeri berupa rasa terbakar yang
menjalar di sepanjang saluran ASI. Diantara waktu menyusui
permukaan payudara terasa gatal. Puting mungkin tidak nampak
kelainan. Pada kasus ini, ibu dan bayi perlu mendapatkan
pengobatan. Pengobatan terbaik adalah mengoles nistatin krim
yang juga mengandung kortison ke puting dan areola setiap
selesai bayi menyusu dan bayi juga harus diberi nistatin oral pada
saat yang sama.
b. Prognosis
Prognosis baik setelah dilakukan tindakan kepeerawatan dengan
segera. Dan keadaan akan menjadi fatal bila tidak segera diberikana
atau dilakukan tindakan yang adekuat.

2.1.8 Penatalaksanaan
Setelah diagnosa mastitis dipastikan, hal yang harus segera
dilakukan adalah pemberian susu kepada bayi dari mamae yang sakit
dihentikan dan diberi antibiotik. Dengan tindakan ini terjadinya abses
seringkali dapat dicegah, karena biasanya infeksi disebabkan oleh
Staphylococcus aureus. Penicilin dalam dosis cukup tinggi dapat diberikan
sebagai terapi antibiotik. Sebelum pemberian penicilin dapat diadakan

9
pembiakan/kultur air susu, supaya penyebab mastitis benar-benar
diketahui. Apabila ada abses maka nanah dikeluarkan kemudian dipasang
pipa ke tengah abses agar nanah dapat keluar terus. Untuk mencegah
kerusakan pada duktus laktiferus, sayatan dibuat sejajar dengan jalannya
duktus-duktus tersebut.
Prinsip-prinsip utama penanganan mastitis adalah:
a. Konseling suportif
Mastitis merupakan pengalaman yang paling banyakwanita merasa
sakit dan membuat frustasi.Selain dalam penanganan yang efektif dan
pengendalian nyeri, wanita membutuhkan dukungan emosional. Ibu
harus diyakinkan kembali tentang nilai menyusui, yang aman untuk
diteruskan, bahwa ASI dari payudara yang terkena tidak akan
membahayakan bayinya dan bahwa payudaranya akan pulih, baik
bentuk maupun fungsinya. Klien membutuhkan bimbingan yang jelas
tentang semua tindakan yang dibutuhkan untuk penanganan, dan
bagaimana meneruskan menyusui/memeras ASI dari payudara yang
sakit. Klien akan membutuhkan tindak lanjut untuk mendapat
dukungan terus menerus dan bimbingan sampai kondisinya benar-
benar pulih.
b. Pengeluaran ASI dengan efektif
Hal ini merupakan bagian terapi terpenting, antara lain:
1) Bantu ibu memperbaiki kenyutan bayi pada payudaranya
2) Dorong untuk sering menyusui, sesering dan selama bayi
menghendaki, tanpa pembatasan
3) Bila perlu peras ASI dengan tangan/pompa/botol panas, sampai
menyusui dapat dimulai lagi
c. Terapi antibiotic
Terapi antibiotik diindikasikan pada:
1) Hitung sel dan koloni bakteri dan biakan yang ada serta
menunjukkan infeksi
2) Gejala berat sejak awal

10
3) Terlihat puting pecah-pecah
4) Gejala tidak membaik setelah 12-24 jam setelah pengeluaran
ASI diperbaiki maka Laktamase harus ditambahkan agar
efektif terhadap Staphylococcus aureus. Untuk organisme gram
negatif, sefaleksin/amoksisillin mungkin paling tepat. Jika
mungkin, ASI dari payudara yang sakit sebaiknya dikultur dan
sensivitas bakteri antibiotik ditentukan.

Antibiotik Dosis
Eritromisin 250-500 mg setiap 6 jam
Flukloksasilin 250 mg setiap 6 jam
Dikloksasilin 125-250 mg setiap 6 jam per oral
Amoksasilin (sic) 250-500 mg setiap 8 jam
Sefaleksin 250-500 setiap 6 jam

d. Pada kasus infeksi mastitis, penanganannya antara lain:


1) Berikan antibiotik Kloksasilin 500 mg per oral 4 kali sehari setiap
6 jam selama 10 hari atau eritromisin 250 mg per oral 3 kali sehari
selama 10 hari.
2) Bantulah ibu agar tetap menyusui
3) Bebat/sangga payudara
4) Kompres hangat sebelum menyusui untuk mengurangi bengkak
dan nyeriyaitu dengan memberikan parasetamol 500 mg per oral
setiap 4 jam dan lakukan evaluasi secara rutin.
Pengobatan yang tepat dengan pemberian antibiotik, mintalah
pada dokter antibiotik yang baik dan aman untuk ibu yang menyusui,
selain itu bila badan terasa panas, ibu dapat minum obat turun panas,
kemudian untuk bagian payudara yang terasa keras dan nyeri, dapat
dikompres dengan menggunakan air hangat untuk mengurangi rasa
nyeri.

11
Bila tidak tahan nyeri, dapat meminum obat penghilang rasa
sakit, istirahat yang cukup amat perlu untuk mengembalikan kondisi
tubuh menjadi sehat kembali. Disamping itu, makan dan minum yang
bergizi, minum banyak air putih juga akan membantu menurunkan
demam, biasanya rasa demam dan nyeri itu akan hilang dalam dua atau
tiga hari dan ibu akan mampu beraktivitas seperti semula
e. Terapi simtomatik
Nyeri sebaiknya diterapi dengan analgesik. Ibuprofen
dipertimbangkan sebagai obat yang paling efektif dan dapat membantu
mengurangi inflamasi dan nyeri. Parasetamol merupakan alternatif
yang paling tepat. Istirahat sangat penting, karena tirah baring dengan
bayinya dapat meningkatkan frekuensi menyusui, sehingga dapat
memperbaiki pengeluaran susu.
Tindakan lain yang dianjurkan adalah penggunaan kompres hangat
pada payudara yang akan menghilangkan nyeri dan membantu aliran
ASI, dan yakinkan bahwa ibu cukup minum cairan. Dilakukan
pengompresan hangat pada payudara selama 15-20 menit, 4 kali/hari.
Diberikan antibiotik dan untuk mencegah pembengkakan, sebaiknya
dilakukan pemijatan dan pemompaan air susu pada payudara yang
terkena.
1) Mastitis (Payudara tegang / indurasi dan kemerahan)
- Berikan klosasilin 500 mg setiap 6 jam selama 10 hari. Bila
diberikan sebelum terbentuk abses biasanya keluhannya akan
berkurang.
- Sangga payudara.
- Kompres dingin.
- Bila diperlukan berikan Parasetamol 500 mg per oral setiap 4
jam.
- Ibu harus didorong menyusui bayinya walau ada PUS.
- Ikuti perkembangan 3 hari setelah pemberian pengobatan.

12
2) Abses Payudara (Terdapat masa padat, mengeras di bawah kulit
yang kemerahan).
- Diperlukan anestesi umum.
- Insisi radial dari tengah dekat pinggir aerola, ke pinggir supaya
tidak mendorong saluran ASI.
- Pecahkan kantung PUS dengan klem jaringan (pean) atau jari
tangan.
- Pasang tampon dan drain, diangkat setelah 24 jam.
- Berikan Kloksasilin 500 mg setiap 6 jam selama 10 hari.
- Sangga payudara.
- Kompres dingin.
- Berikan parasetamol 500 mg setiap 4 jam sekali bila diperlukan.
- Ibu dianjurkan tetap memberikan ASI walau ada pus.
- Lakukan follow up setelah peberian pengobatan selama 3 hari.
Jika terjadi abses, biasanya dilakukan penyayatan dan
pembuangan nanah, serta dianjurkan untuk berhenti
menyusui.Untuk mengurangi nyeri dapat diberikan obat pereda
nyeri (misalnya acetaminophen atau ibuprofen).Kedua obat
tersebut aman untuk ibu menyusui dan bayinya.

2.1.9 Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya mastitis dapat dilakukan beberapa
tindakan sebagai berikut (Soetjiningsih, 1997):
a. Menyusui secara bergantian antara payudara kiri dan kanan
b. Untuk mencegah pembengkakan dan penyumbatan saluran, kosongkan
payudara dengan cara memompanya
c. Gunakan teknik menyusui yang baik dan benar untuk mencegah
robekan/luka pada puting susu
d. Minum banyak cairan
e. Menjaga kebersihan puting susu
f. Mencuci tangan sebelum dan sesudah menyusui.

13
Tindakan-tindakan berikut ini juga dapat dilakukan untuk
mencegah terjadinya mastitis, yaitu:
a. Perbaikan pemahaman penatalaksanaan menyusui
- Menyusui sedini mungkin setelah melahirkan;
- Menyusui dengan posisi yang benar;
- Memberikan ASI On Demand dan memberikan ASI eklusif;
- Makan dengan gizi yang seimbang;
b. Pemberian infotentang hal-hal yang mengganggu proses menyusui,
membatasi, mengurangi isapan proses menyusui dan meningkatkan
statis ASI antara lain:
- Penggunaan dot;
- Pemberian minuman lain pada bayi pada bulan-bulan pertama;
- Tindakan melepaskan mulut bayi dari payudara pertama sebelum
bayi siapuntuk menghisap payudara yang lain;
- Beban kerja yang berat atau penuh tekanan;\
- Kealpaan menyusui bila bayi mulai tidur sepanjang malam
- Trauma payudara karena tindakan kekerasan atau penyebab lain.
c. Pemberian info tentang penatalaksaan yang efektif pada payudara
yangpenuh dan kencang. Adapun hal-hal yang harus dilakukan yaitu:
- Ibu harus dibantu untuk memperbaiki kenyutan pada payudara oleh
bayinya untuk memperbaiki pengeluaran ASI serta mencegah luka
pada punting susu.
- Ibu harus didorong untuk menyusui sesering mungkin dan selama
bayi menghendaki tanpa batas.
- Perawatan payudara dengan dikompres dengan air hangat dan
pemerasan ASI
d. Pemberian informasi tentang perhatian dini terhadap semua tanda
statis ASI Ibu harus memeriksa payudaranya untuk melihat adanya
benjolan, nyeri/panas/kemerahan:
- Bila ibu mempunyai salah satu faktor resiko, seperti kealpaan
menyusui.

14
- Bila ibu mengalami demam/merasa sakit, seperti sakit kepala.
- Bila ibu mempunyai satu dari tanda-tanda tersebut, maka ibu perlu
untuk: beristirahat di tempat tidur bila mungkin, sering menyusui
pada payudara yang terkena, mengompres panas pada payudara
yang terkena, berendam dengan air hangat/pancuran, memijat
dengan lembut setiap daerah benjolan saat bayi menyusui untuk
membantu ASI mengalir dari daerah tersebut, mencari pertolongan
dari nakes bila ibu merasa lebih baik selanjutnya.
e. Perhatian dini pada kesulitan menyusui lain
Ibu membutuhkan bantuan terlatih dalam menyusui setiap
saat dan ibu mengalami kesulitan yang dapat menyebabkan statis
ASI, seperti:
- Nyeri/puting pecah-pecah
- Ketidaknyaman payudara setelah menyusui
- Kompresi puting susu (garis putih melintasi ujung puting ketika
bayi melepaskan payudara)
- Bayi yang tidak puas, menyusu sangat sering, jarang atau lama
- Kehilangan percaya diri pada suplay ASI nya, menganggap
ASInya tidak cukup
- Pengenalan makanan lain secara dini
- Menggunakan dot
f. Pengendalian infeksi
Petugas kesehatan dan ibu perlu mencuci tangan secara
menyeluruh dan sering sebelum dan setelah kontak dengan bayi.
Kontak kulit dini, diikuti dengan rawat gabung bayi dengan ibu
merupakan jalan penting untuk mengurangi infeksi rumah sakit.

2.1.10 Pemeriksaan Penunjang


Data yang mendukung pemeriksaan yang tidak dapat diketahui
dengan pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan laboratorium dan rontgen.
Pada ibu nifas dengan mastitis tidak dilakukan pemeriksaan

15
laboratorium/rontgen (Wiknjosastro, 2005). Namuan World Health
Organization (WHO) menganjurkan pemeriksaan kultur dan uji
sensitivitas pada beberapa keadaan yaitu bila:
a. Pengobatan dengan antibiotik tidak memperlihatkan respons yang baik
dalam 2 hari;
b. terjadi mastitis berulang;
c. mastitis terjadi di rumah sakit; dan
d. penderita alergi terhadap antibiotik atau pada kasus yang berat.
Bahan kultur diambil dari ASI pancar tengah hasil dari perahan
tangan yang langsung ditampung menggunakan penampung urin steril.
Puting harus dibersihkan terlebih dulu dan bibir penampung diusahakan
tidak menyentuh puting untuk mengurangi kontaminasi dari kuman yang
terdapat di kulit yang dapat memberikan hasil positif palsu dari kultur.

2.2 Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Mastitis


2.2.1 Pengkajian
a. Identitas klien:
Nama : jelas dan lengkap, jika perlu tanyakan nama
panggilan sehari-harinya agar tidak salah pasien
ketika memberikan perawatan.
Umur : wanita yang berumur 21-35 tahun lebih sering
mengalami mastitis daripada wanita yang berumur
dibawah 21 tahun dan di atas 35 tahun. Umur <21
tahun diperkirakan bahwa alat-alat reproduksinya
masih belum matang, mental dan psikisnya juga
belum siap. Sedangkan umur >35 tahun akan rentan
sekali untuk terjadi perdarahan dalam masa nifas.
Hal tersebut akan memicu terjadinya mastitis ini.

16
Suku : berpengaruh pada adat istiadat/kebiasaan sehari-
hari, khususnya dalam hal teknik menyusui dan
perawatan payudara.
Agama : untuk mengetahui keyakinan pasien sehingga
dalam membimbing dan mengarahkannya lebih
mudah.
Pendidikan : biasanya wanita yang status pendidikannya rendah
akan banyak yang mengalami penyakit ini
dikarenakan mereka tidak mengetahui tentang
penyakit serta pengobatan dan teknik perawatan
payudara yang benar untuk kesehatan. Selain itu
aspek pendidikan juga akan mempengaruhi dalam
tindakan keperawatan yang akan diberikan,
sehingga perawat dapat memberi asuhan
keperawatan dan konseling yang sesuai dengan
kondisi pasien.
Pekerjaan : wanita yang bekerja di luar rumah (sebagai wanita
karier) saat mempunyai kewajiban untuk menyusui
anaknya adalah termasuk kelompok yang berisiko
tinggi mengalami mastitis. Hal itu disebabkan oleh
kesibukan kerjanya ini akan menjadi penghambat
pengeluaran ASI sehingga menimbulkan terjadinya
stasis ASI yang dapat menjadi salah satu pencetus
penyakit mastitis ini. Selain itu juga aspek pekerjaan
ini untuk mengetahui dan mengukur tingkat sosial
ekonomi pasien, karena hal itu dimungkinkan dapat
mempengaruhi dalam pemenuhan gizi pasien yang
memungkinkan timbulnya penyakit mastitis ini.
Alamat : perlu ditanyakan apabila pasien dirasa memerlukan
kunjungan rumah post perawatan

17
b. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan dahulu
Kemungkinan wanita yang mengalami mastitis ini karena adanya
faktor-faktor predisposisi seperti faktor kekebalan ASI yang rendah,
sehingga dapat dengan mudah mengalami infeksi utamanya pada
payudara (mastitis). Asupan nutrisi yang tidak adekuat dan lebih
banyak mengandung garam dan lemak juga dapat memicu terjadinya
mastitis, adanya riwayat trauma pada payudara juga dapat menjadi
penyebab terjadinya mastitis karena adanya kerusakan pada kelenjar
dan saluran susu. Selain itu juga dengan adanya faktor penyebab
yang pasti seperti stasis ASI karena bayi yang susah menyusu,
adanya luka lecet di area puting susu dan penggunaan bra yang tidak
tepat/teralalu ketat juga dapat menjadi penyebab terjadinya mastitis,
dimana hal-hal tersebut kemungkinan besar adalah merupakan hal
yang sering sekali diabaikan oleh wanita. Infeksi mammae pada
kehamilan sebelumnya juga dapat menjadi penyebab terjadinya
mastitis.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Pasien biasanya kelihatan lemah, suhu tubuh meningkat (>38 derajat
celcius), tidak ada nafsu makan, nyeri pada daerah mammae,
bengkak dan merah pada mammae. Jika tidak mendapatkan
pengobatan yang adekuat, maka dapat timbul berbagai komplikasi
seperti abses payudara, infeksi berulang dan infeksi jamur. Oleh
sebab itu, perlu dilakukan tindakan pencegahan yang tepat, misalnya
memberikan info tentang perawatan payudara, teknik menyusui yang
benar, dsb.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Faktor herediter tidak mempengaruhi kejadian mastitis.

c. Pengkajian Keperawatan
1) Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan

18
Persepsi: masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa nyeri
yang sering muncul saat masa menyusui adalah hal yang normal,
dimana tidak perlu mendapatkan perhatian khusus untuk
penanganannya. Pasien dengan mastitis biasanya kebersihan
badannya kurang terjaga terutama pada area payudara dan
lingkungan yang kurang bersih.
2) Pola Nutrisi / Metabolik
Asupan garam yang terlalu tinggi juga dapat memicu terjadinya
mastitis. Dengan adanya asupan garam yang terlalu tinggi maka akan
menyebabkan terjadinya peningkatan kadar natrium dalam ASI,
sehingga bayi tidak mau menyusu pada ibunya karena ASI yang
terasa asin. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya penumpukan ASI
dalam payudara (Stasis ASI) yang dapat memicu terjadinya mastitis.
Wanita yang mengalami anemia juga akan beresiko mengalami
mastitis karena kurangnya zat besi dalam tubuh, sehingga hal itu
akan memudahkan tubuh mengalami infeksi (mastitis). Pemenuhan
nutrisi juga seringkali menurun akibat dari penurunan nafsu makan
karena nyeri dan peningkatan suhu tubuh.
3) Pola Eliminasi
Secara umum pada pola eliminasi tidak mengalami gangguan yang
spesifik akibat terjadinya mastitis.
- Tidak ada nyeri saat berkemih
- Konsistensi dan warna normal
- Jumlah dan frekuensi berkemih normal.
4) Pola Aktivitas dan Latihan
Pola aktivitas terganggu akibat peningkatan suhu tubuh (hipertermi:
>38 derajat celcius) dan nyeri. Sehingga biasanya pasien akan
mengalami penurunan aktivitas karena lebih fokus pada gejala yang
muncul.
5) Pola Tidur dan Istirahat

19
Pola tidur terganggu karena kurang nyaman saat tidur, mengeluh
nyeri. Pasien akan lebih fokus pada gejala yang muncul pula.
6) Pola Kognitif dan Perseptual
Kurang mengetahui kondisi yang dialami, anggapan yang ada hanya
nyeri biasa. Pasien merasa biasa dan jika ada orang lain yang
mengetahui dapat terjadi penurunan harga diri.
7) Pola Persepsi Diri
Tidak ada gangguan.
8) Pola Seksual dan Reproduksi
Biasanya seksualitas terganggu akibat adanya penurunan libido dan
pasien pasti akan lebih fokus pada gejala yang muncul sehingga
untuk pemenuhan kebutuhan seksualitas ini sudah tidak lagi menjadi
prioritas.
9) Pola Peran dan Hubungan
Ada gangguan, lebih banyak untuk istirahat karena nyeri.
10) Pola Manajemen Koping-Stress
Pasien terlihat tidak banyak bicara, banyak istirahat.
11) Sistem Nilai dan Keyakinan
Biasanya akan mengalami gangguan, namun hal itu juga tergantung
pada masing-masing individu, kadangkala ada individu yang lebih
rajin ibadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan.namun di lain sisi
juga ada individu yang karena sakit itu, ia malah menyalahkan dan
menjauh dari Tuhan.

d. Pengkajian Fisik
1) Keadaan Umum
a) Keadaan Umum: pada ibu dengan mastitis keadaan umumnya
baik.
b) Derajat kesadaran : pada ibu dengan mastitis derajat
kesadarannya adalah compos mentis.
c) Derajat gizi : pada ibu dengan mastitis derajat gizinya cukup.

20
2) Pemeriksaan Fisik Head to too
a) Tanda-tanda Vital
- Tekanan darah: pada ibu dengan mastitis TD dalam keadaan
normal 120/80 mmHg\
- Nadi: pada ibu dengan mastitis nadi mengalami penaikan 90-
110/menit. Dimna normalnya 60-80/menit.
- Frekuensi Pernafasan: pada ibu dengan mastitis frekuensi
pernafasan mengalami peningkatan 30x/menit. Dimana
normalnya 16-20x/menit.
- Suhu: suhu tubuh waniti setelah partus dapat terjadi
peningkatan suhu badan yaitu tidak lebih dari 37,2ᵒ C dan
pada ibu dengan mastitis, suhu mengalami peningkatan
sampai 39,5ᵒ C.
b) Kulit
Tidak ada gangguan, kecuali pada area panyudara sehingga
perlu pemeriksaan fisik yang terfokus pada panyudara.
c) Kepala
Pada area ini tidak terdapat gangguan. Namun biasanya ibu
dengan mastitis mengeluh nyeri kepala seperti gejala flu.
d) Wajah
Wajah terlihat meringis kesakitan.
e) Mata
Pada ibu dengan mastitis konjungtiva terlihat anemis.
Dimana anemia merupakan salah satu faktor predisposisi
terjadinya mastitis, karena seseorang dengan anemis akan mudah
mengalami infeksi.
f) Hidung
Napas cuping hidung (-), sekret (-/-), darah (-/-), deviasi
(-/-). Tidak ada gangguan pada area ini.
g) Mulut

21
Mukosa basah (+), sianosis (-), pucat (-), kering (-). Tidak
ada gangguan pad area ini.
h) Telinga
Daun telinga dalam batas normal, sekret (-). Tidak ada
gangguan ada area ini.
i) Tenggorokan
Uvula di tengah, mukosa pharing hiperemis (-), tonsil T1 -
T1. Tidak ada gangguan pada area ini.
j) Leher
Pada area leher tidak di temukan adanya gangguan atau
perubahan fisik.
k) Kelenjar getah bening
Pada kelenjar bening yang terdapat pada area ketiak terjadi
pembesaran. pembesaran kelenjar getah bening ketiak pada sisi
yang sama dengan payudara yang terkena mastitis.
l) Panyudara
Pada daerah panyudara terlihat kemerahan atau mengkilat,
gambaran pembuluh darah terlihat jelas di permukaan kulit,
terdapat lesi atau luka pada puting panyudara, panyudara teraba
keras dan tegang, panyudara teraba hangat, terlihat bengkak, dan
saat di lakukan palpasi terdapat pus.
m)Toraks
Bentuk: normochest, retraksi (-), gerakan dinding
dada simetris. Tidak ada gangguan pada derah toraks.
Cordis:
- Inspeksi: iktus kordis tidak tampak
- Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
- Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
- Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo:
- Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri

22
- Palpasi : Fremitus raba dada kanan = kiri
- Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+) Suara tambahan:
(-/-)
Abdomen
- Inspeksi: dinding perut lebih tinggi dari dinding dada
karena post partum sehingga pembesaran fundus masih
terlihat.
- Auskultasi: bising usus (+) normal
- Perkusi: tympani
- Palpasi: supel, hepar dan lien tidak teraba
e. Pemeriksaan Penunjang
Pada ibu nifas dengan mastitis tidak dilakukan pemeriksaan
laboratorium/rontgen (Wiknjosastro, 2005). Namun jika dilakukan
pemeriksaan laboratorium biasanya ditemukan jumlah sel darah putih
(SDP) meningkat karena adanya reaksi inflamasi. Selain itu pada
pemeriksaan kultur ASI ditemukan beberapa bakteri penyebab mastitis.
Dimana pemeriksaan kultur ASI tersebut juga digunakan untuk
menentukan antibiotik yang tepat bagi klien.

2.3 Diagnosa Keperawatan


a. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi
b. Ketidakefektifan pemberian ASI berhubungan dengan terhentinya
menyusui sekunder akibat ibu yang sakit, bayi tidak mau menyusu
c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengankerusakan jaringan
d. Ansietas berhubungan dengan proses penyakit, kurang pengetahuan
e. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan fisik
akibat penyakit
f. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi

23
2.4 Intervensi Keperawatan

Diagnose Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional

a. Nyeri akut Tujuan: 1. Kaji tingkat nyeri (keluhan nyeri, 1. Membantudalammenentukan


berhubungan Setelah dilakukan tindakan lokasi, lamanya dan intensitas nyeri). identifikasiderajat, ketidaknyamanan
dengan proses keperawatan selama 1x24 jam dan dapat diberi tetapi yang tepat.
inflamasi nyeri dapat teratasi. 2. Kompres hangat dapat menyebabkan
2. Berikan kompres hangat.
Kriteria Hasil: vasodilatasi sehingga aliran darah
1. Ibu dapat menyusui lancar.
bayinya dengan nyaman 3. Ajarkan dan anjurkan klien untuk 3. Dengan perawatan yang benar dan
2. Ibu dapat beraktifitas melakukan perawatan payudara. konsisten (tepat) dapat mengurangi rasa
dengan normal nyeri.
3. Suhu tubuh menurun 4. Penyangga yang ketat dapat
4. Payudara tidak bengkak 4. Anjurkan klien untuk tidak menimbulkan rasa nyeri.
lagi dan lunak menggunakan penyangga yang terlalu 5. Antibiotik untuk mencegah penyebaran
5. Nyeri mulai ketat. infeksi secara berlebih dan analgetik
berkurang/hilang 5. Kolaborasi dalam pemberian analgetik

24
dan antibiotic. untuk mengurangi nyeri.
6. Mencegah komplikasi sejak awal.
6. Kolaborasi dalam melakukan insisiden
biopsy jika ada abses.
b. Ketidakefektif Tujuan : 1. Anjurkan ibu untuk mengoleskan 1. Mencegah terjadinya iritasi lanjut pada
an pemberian Setelah dilakukan tindakan baby oil pada puting sebelum dan putting.
ASI keperawatan selama 2x24 sesudah menyusui.
berhubungan jam pemberian ASI pada bayi 2. Ajarkan cara menyusui yang tepat
2. meminimalkan luka pada putting susu
denganterhenti efektif. agar tidak terjadi luka pada putting.
ibu.
nya menyusui Kriteria Hasil: 3. Lakukan perawatan payudara dan
3. Dengan perawatan yang tepat, dapat
sekunder 1. Ibu dapat menyusui anjurkan ibu untuk melakukan
mengatasi masalah menyusui.
akibat ibu bayinya dengan rileks perawatan payudara secara tepat.
yang sakit, 2. Bayi mau menyusu lagi 4. Anjurkan ibu menyusui dengan
bayi tidak mau 3. Tidak ada lagi puting susu menggunakan puting susu secara 4. Untuk mencegah terjadinya iritasi
menyusu. luka atau lecet perlahan-lahan. lanjut pada putting

c. Resiko tinggi Tujuan : 1. Kaji TTV dan tanda-tanda adanya 1. Peningkatan tanda vital dapat
infeksi Setelah dilakukan tindakan infeksi. menunjukkan terjadinya infeksi.
berhubungan keperawatan selama 1x24 jam 2. Lakukan perawatan luka/ abses dengan 2. Perawatan luka yang steril dapat

25
dengankerusak tidak terdapat tanda dan set yang steril. mengurangi terjadi pus atau resiko
an jaringan gejala terjadinya infeksi. infeksi.
3. Kolaborasi pemeriksaan darah 3. Deteksi dini kondisi penyebaran infeksi
lengkap. pada tubuh ibu.
Kriteria Hasil : 4. Kolaborasi dalam melakukan insisi/ 4. Untuk mengurangi abses dan
1. TTV dalam batas normal biopsy dan pemberian antibiotik. penyebaran infeksi.
2. Mamae tidak merah dan
regang lagi 5. Berikan informasi pentingnya menjaga 5. Menjaga personal hygiene dapat
3. Tidak ada tanda infeksi personal hygiene. mencegah penyebaran infeksi atau
bakteri.

26
BAB III
PENUTUP

1.1 Kesimpulan

27
DAFTAR PUSTAKA

Arulkumaran S. et al. (2005). The management of labour. India: Orient


Longman Private Limited.

Brunner dan Sudart. (2014). Buku ajar keperawatan maternitas edisi. 2


jakarta ; EGC

Davis DD, Roshan A, Canela CD, Varacallo M. Shoulder Dystocia. 2022


Sep 4. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2023 Jan–. PMID: 29261950.

Gill, P., Patel, . A. & Hook, J. W. V., 2021.


StatPearls. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493238

Hill DA, Lense J, Roepcke F. Shoulder Dystocia: Managing an Obstetric


Emergency. Am Fam Physician. 2020 Jul 15;102(2):84-90. PMID:
32667171.

Julie S. Moldenhauer. (2024). Shoulder Dystocia.


https://www.msdmanuals.com/home/women-s-health-issues/complications
-of-labor-and-delivery/shoulder-dystocia

Julie S. Moldenhauer , MD, C. H. of P. (2024). Fetal Presentation, Position,


and Lie (Including Breech Presentation).
https://www.msdmanuals.com/home/women-s-health-issues/complications
-of-labor-and-delivery/fetal-presentation,-position,-and-lie-including-
breech-presentation

Menticoglou S. Shoulder dystocia: incidence, mechanisms, and


management strategies. Int J Womens Health. 2018 Nov 9;10:723-732.
doi: 10.2147/IJWH.S175088. PMID: 30519118; PMCID: PMC6233701.

Nelson, David B, Nicole P Yost, and F Gary Cunningham. 2013. “Acute Fatty
Liver of Pregnancy: Clinical Outcomes and Expected Duration of
Recovery.” American journal of obstetrics and gynecology209(5): 456-e1

Resnick R. Management of shoulder dystocia girdle. Clin Obstet Gynecol


1980;23:559-64

Sarim, Budi Yulianto. 2020. “Manajemen Perioperatif Pada Perdarahan


Akibat Atonia Uteri.” Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia3(1): 47–58.

28
29

Anda mungkin juga menyukai