Anda di halaman 1dari 33

ANALISIS PENGARUH SOSIAL DAN BUDAYA SUKU JAWA AKIBAT

DARI PENERAPAN BURUH KONTRAK PADA ZAMAN


KOLONIALISME BELANDA DI SURINAME

Tugas Akhir

Oleh

ELIA YUSA DA FLOJA

NPM 2216071116

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

2023
i

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ..................................................................................................ii


DAFTAR SINGKATAN ......................................................................................iii
I. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................1
1.2 Penelitian Terdahulu ................................................................................... 4
1.3 Rumusan Masalah ....................................................................................... 7
1.4 Tujuan Penelitian ....................................................................................8
1.5 Manfaat Penelitian ......................................................................................8
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 10
2.1 Landasan Konseptual ................................................................................ 10
2.1.2 Konsep Sosial Budaya .........................................................................14
2.1.3 Teori Hak Asasi Manusia ................................................................... 17
2.2 Kerangka Pemikiran ................................................................................. 20
............................................................................................................................... 22
III. METODOLOGI PENELITIAN ..................................................................23
3.1 Jenis Penelitian ...........................................................................................23
3.2 Fokus Penelitian .........................................................................................24
3.3 Sumber Data ...............................................................................................25
3.4 Teknik Pengumpulan Data ....................................................................... 25
3.5 Teknik Analisis Data ................................................................................. 25
ii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kerangka Pemikiran Penelitian…………………………………..


iii

DAFTAR SINGKATAN

1. HAM : Hak Asasi Manusia


2. UU : Undang-Undang
3. DUHAM : Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
4. ICCPR : International Covenant on Civil and Political Rights
1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keberadaan kolonialisme secara historis menyebabkan perubahan yang


bersifat indimidatif dengan keberadaan sosial dan budaya suku Jawa pada masa
penjajahan Belanda di Hindia-Belanda (sebutan sebelum menjadi Indonesia) yang
menimbulkan perubahan siklus hidup masyarakatnya dan mempengaruhi adanya
perbudakan di zaman penjajahan. Kondisi tersebut menjadi tantangan bagi
masyrakat suku Jawa yang dijadikan buruh kontrak dengan penuh tidak pasti
mengalami berbagai tindakan yang melanggar hak asasi manusia. Di Masa Kini,
keberadaan suku Jawa di Suriname menjadi jejak penerapan buruh kontrak yang
pernah terjadi pada masa kolonial Belanda yang memiliki perkembangan yang
signifikan dengan berbagai akulturasi budaya dan pola hidup, sebagai dampak
dari persebaran penduduk suku Jawa di negara Suriname.
Secara historis, Suriname dikolonisasi oleh Belanda dari tahun 1667
hingga kemerdekaannya pada 25 November 1975. Kolonialisme Belanda
menyebabkan orang Jawa tinggal di Suriname. Abad ke-19 Pemerintah Kolonial
Belanda ingin mengembangkan pertanian tanaman tembakau, tebu, dan kopi di
Suriname. Pemerintah Belanda mengambil berbagai kebijakan untuk memenuhi
kebutuhan tenaga kerja kebun, termasuk membeli budak Afrika dan
mempekerjakan tenaga kontrak dari Tionghoa dan India. Namun, kebijakan
tersebut tidak efektif. Akibatnya, pemerintah kolonial kemudian berusaha
menarik orang Jawa, yang sudah akrab dengan iklim dan tanah tropis Suriname.
Meskipun ada faktor ekonomi dan pribadi yang mendorong emigrasi,
banyak orang Jawa Suriname tidak menganggap faktor ini sebagai alasan utama.
Banyak orang Jawa yang lahir di Jawa mengaitkan emigrasi mereka dengan hal-
hal di luar kendali mereka. Salah satu penjelasan paling umum yang diberikan
oleh para informan ini adalah penggunaan sihir oleh para perekrut. Menurut cerita
yang beredar di Suriname saat ini, perekrutan selalu terjadi di luar desa asal, dan
pelakunya adalah orang asing yang mendekati informan saat dia sendirian. Setelah
itu, orang asing itu menggunakan sihir untuk membuat petani yang bodoh
2

melupakan keluarganya. Hanya setelah dia menandatangani kontrak dan dibawa


ke atas kapal bahwa ingatannya kembali—saat itu sudah terlambat.
Meskipun demikian, pulang ke Jawa bukanlah pilihan yang mudah karena
pulang jauh lebih sulit daripada menetap di Suriname. Pemerintah Belanda tidak
memberikan biaya pulang pekerja secara gratis; sebaliknya, mereka
melakukannya menetapkan 100 Gulden sebagai biaya pulang (Ehrenburg &
Meyer, 2015). Karena itu, karena biaya yang mahal, sebagian besar karyawan
menolak untuk pulang (Hoefte, 1990). Tercatat bahwa 8.400 migran Jawa hanya
pulang ke Hindia Belanda sebelum perang dunia kedua. Selain itu, ada beberapa
alasan lain mengapa migran tidak pulang ke tanah air. Misalnya, mereka merasa
malu karena tidak bisa menjadi orang kaya di Suriname, menemukan jodoh di
sana, melihat peluang lebih baik untuk kehidupan di sana, masalah kesehatan, dan
sebagainya. Bagi beberapa orang Jawa yang menetap di Suriname, mereka
menyebut perasaan mereka sebagai "ndungke jangkar" atau "menurunkan
jangkar", yang berarti mereka telah mengikat hatinya di Suriname (Susanti, 2016).
Mulai tahun 1930-an, para pekerja Jawa memperoleh kebebasan dan
kehidupan yang lebih baik setelah sistem penahanan disiplin dihapus. Selain itu,
pekerjaan yang ditekuni semakin beragam, mulai dari peternak hingga seniman.
Dalam hal keagamaan orang Jawa Suriname madep ngulon (kiblat barat) dan
madep ngetan (kiblat timur). Orang-orang Jawa Suriname bersemangat untuk
kembali ke Indonesia selama revolusi nasional Indonesia. Dengan gerakan mulih
njowo pada tahun 1954, sebagian kecil orang Jawa Suriname pulang ke Indonesia.
Setelah Suriname menjadi negara otonom pada tahun 1954, orang-orang Jawa
berubah dari suku yang diremehkan menjadi orang yang sangat berpengaruh
dalam hal sosial, ekonomi, dan politik.
Hubungan bilateral antara Negara Indonesia dan Suriname dimulai pada
bulan Agustus tahun 1951, ketika Suriname masih berada di bawah pemerintahan
penjajahan Belanda. Penduduk Suriname, yang sebagian besar berasal dari orang
Jawa, berusaha untuk mencari atau menciptakan suatu perkumpulan. Hubungan
antara kedua negara semakin baik karena para pemimpin kedua negara saling
berkunjung. yang dimulai dengan kunjungan presiden Suriname Ronald
3

Venetiaan pada tahun 1994, yang diikuti oleh kunjungan balasan presiden
Indonesia Soeharto setahun kemudian.
Dalam bidang sosial dan budaya, terdapat beberapa penjelasan tentang
kerjasama antara Indonesia dan Suriname. Kedua negara melakukan kerjasama
sosial dan budaya, seperti kerjasama teknis, diplomatik, dan Sister City.
Hubungan bilateral kedua negara telah meningkat secara signifikan sebagai hasil
dari kerjasama ini. Ketiga, Indonesia dan Suriname saling mendukung pencalonan
di berbagai organisasi internasional.
Beralih pada keadaan Sosial dan Budaya suku Jawa di Suriname Menurut
Diah (2020), orang Jawa di Suriname masih sering mengadakan slametan dan
berbicara menggunakan bahasa Jawa kromo inggil. Selain itu, praktik budaya
Jawa masih digunakan, seperti ketika sholat kiblat menghadap ke arah barat
(Islam madep ngulon). Masyarakat Jawa Suriname sangat mencintai dan
menjunjung tinggi budaya Jawa. Meskipun mereka jauh lebih jauh dari tempat
asalnya, mereka tetap mewariskan dan melestarikan budaya tersebut. Namun,
tinggal di negara orang membuat semuanya tidak semudah di negeri sendiri. Sulit
untuk menyesuaikan diri dengan budaya baru, menghadapi orang dari berbagai
suku, dan menghindari konflik suku yang pernah terjadi di Suriname.
Terakhir, berkaitan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang tercatat
sejarah telah terjadi kepada suku Jawa selama masa kolonialisme Belanda.
Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi kepada para pekerja migran dalam
penerapan buruh kontrak pada zaman kolonialisme Belanda antara lain :
1. Penipuan terhadap masyarakat suku Jawa yang dipaksa bekerja sebagai buruh
kontrak pada zaman kolonialisme Belanda
2. Penganiayaan dan eksploitasi buruh migran;
3. Pembungkaman aktivis sipil, masyarakat, dan hak asasi manusia;
4. Perlakuan, intimidasi dan persekusi;
5. Diskriminasi dalam pemberian upah diantara etnis buruh kontrak yang tidak
merata.
Berdasarkan poin-poin tersebut dan pelanggaran yang terjadi pada para
pekerja migran, kita dapat melihat bahwa ada keterkaitan di antara sistem buruh
kontrak dan pelanggaran HAM.
4

1.2 Penelitian Terdahulu


Dalam penyusunan penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa
penelitian terdahulu sebagai acuan dalam pengadopsian konsep, teori, dan
pembangunan kerangka berpikir. Penelitian pertama adalah penelitian yang
ditulis oleh Anwar Firdaus Mutawally dan Wawan Darmawan yang diterbitkan
oleh Jurnal Penelitian Multidisiplin ARMADA, pada tahun 2023 (Muttawaly dan
Darmawan, 2023). Metode penelitian yang digunakan dalam artikel jurnal ini
adalah penelitian sejarah yang terdiri dari empat tahapan yaitu heuristik, kritik,
interpretasi, dan historiografi.
Tahap heuristik meliputi pencarian sumber relevan terkait topik penelitian
melalui dokumentasi dan studi literatur. Sumber tersebut meliputi sumber primer
seperti laporan sensus dan surat kabar yang diperoleh melalui lembaga kearsipan,
serta sumber sekunder seperti buku dan jurnal. Tahap kritik melibatkan
pemeriksaan dan evaluasi sumber yang diperoleh dalam tahap heuristik. Tahap
interpretasi melibatkan analisis fakta yang disaring untuk memperoleh
pemahaman komprehensif tentang hubungan peristiwa. Terakhir, tahap
historiografi meliputi penulisan sejarah dalam bentuk artikel jurnal.
Data dari penelitian ini merupakan data sekunder, data penelitian dalam
artikel jurnal ini terutama berfokus pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat
Jawa di Suriname pada masa Kolonial Belanda (1890-1975). Dalam jurnal ini
dibahas juga dampak peristiwa sejarah seperti penghapusan poenale sanctie,
gerakan njowo, dan peralihan masyarakat Jawa dari marginal menjadi terkemuka
di Suriname setelah kemerdekaannya pada tahun 1975. Data diperoleh dari
berbagai sumber. Termasuk laporan sensus, surat kabar, buku, dan literatur
relevan lainnya. Tujuan utama penelitian dalam artikel jurnal ini adalah untuk
mengetahui kehidupan sosial ekonomi masyarakat Jawa di Suriname pada masa
Kolonial Belanda.
Penelitian bertujuan untuk memberikan pemahaman komprehensif
mengenai kondisi kehidupan, pengaturan kerja, dan perkembangan sosial
masyarakat Jawa di Suriname pada periode tersebut. Selain itu, penelitian ini
berupaya untuk mengeksplorasi dampak peristiwa-peristiwa sejarah seperti
penghapusan poenale sanctie, gerakan njowo, dan peralihan komunitas Jawa dari
5

kelompok marginal menjadi kelompok terkemuka di Suriname setelah


kemerdekaannya pada tahun 1975. Secara keseluruhan, penelitian ini bertujuan
untuk berkontribusi pada pemahaman tentang sejarah masyarakat Jawa dan
perannya dalam pembangunan sosial ekonomi Suriname.
Hasil penelitian ini terdiri dari lima bagian utama, penelitian dalam artikel
jurnal ini memberikan beberapa temuan penting terkait kehidupan sosial ekonomi
masyarakat Jawa di Suriname pada masa Kolonial Belanda. Pertama, orang Jawa
datang ke Suriname sebagai pekerja kontrak di perkebunan, pertambangan, atau
pabrik. Pengiriman tenaga kerja kontrak dari Pulau Jawa berlangsung pada tahun
1890 hingga tahun 1939 dengan tiga periode. Kehidupan masyarakat Jawa di
Suriname sangat memprihatinkan dan jauh dari kata layak untuk dijalani.
Kedua, penelitian menemukan bahwa kehidupan masyarakat Jawa
membaik ketika poenale sanctie dihapuskan pada tahun 1930an. Sejak saat itu,
pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja kontrak semakin bervariasi, mulai dari
petani, peternak hingga seniman. Ketiga, pada masa Revolusi Nasional Indonesia
muncul gerakan untuk kembali ke Indonesia dan berhasil dilaksanakan dengan
gerakan njowo pada tahun 1954. Keempat, sejak Suriname menjadi daerah
otonom, masyarakat Jawa berubah dari yang dipandang remeh menjadi orang
yang paling menonjol di Suriname.
Terakhir, sejak kemerdekaan tahun 1975, masih ada suku Jawa yang
bertahan di Suriname, bahkan ada pula yang merantau ke Belanda. Secara
keseluruhan, penelitian ini memberikan pemahaman komprehensif tentang sejarah
masyarakat Jawa dan perannya dalam pembangunan sosial ekonomi Suriname
pada masa Kolonial Belanda.
Penelitian kedua adalah penelitian yang ditulis oleh Rosemarijn Hoefte
yang diterbitkan oleh Journal on International Labor and Working-Class Histoy
pada tahun 1998 (Hoefte, 1998). Hoefte menggunakan metode kualitatif untuk
menganalisis narasi sejarah, laporan pemerintah, dan sumber-sumber lain yang
memberikan wawasan mendalam tentang pengalaman para pekerja kontrak Asia
di Suriname. Pendekatan kualitatif memungkinkan Hoefte untuk mengeksplorasi
aspek-aspek kualitatif dari pengalaman tersebut, seperti resistensi, perlawanan,
dan adaptasi budaya, yang tidak selalu dapat diukur secara kuantitatif. Dengan
6

demikian, penelitian ini lebih menekankan pada analisis kualitatif daripada


analisis kuantitatif. Data yang diperoleh dari penelitian ini merupakan data
sekunder yang berasal dari dokumen, literatur, dan artikel online.
Secara umum, jurnal ini mengkaji tentang pengalaman para pekerja
kontrak Asia di Suriname selama periode sistem kontrak kerja. Fokus utama
penelitian adalah pada resistensi, perlawanan, dan adaptasi budaya yang
ditunjukkan oleh para pekerja kontrak dalam menghadapi tuntutan dan tekanan
dari pihak majikan dan sistem kolonial. Selain itu, penelitian juga mengkaji
perbedaan pengalaman antara kelompok pekerja kontrak Asia, seperti Jawa dan
India, serta bagaimana faktor-faktor budaya, politik, dan sosial memengaruhi
strategi resistensi yang digunakan oleh masing-masing kelompok. Dalam
mengkaji hal tersebut, penelitian ini terdiri dari dua konsep yakni migrant cycle
life. Hasil dari penelitian ini merupakan wawasan yang berharga tentang adaptasi
budaya, perlawanan, dan resistensi dalam konteks sejarah pekerja kontrak Asia di
Suriname.
Penelitian ketiga adalah penelitian yang ditulis oleh Acep Rahmat, Nana
Supriatna, dan Eryk Kamsori yang diterbitkan oleh FACTUM: Jurnal Sejarah dan
Pendidikan Sejarah pada 2018 (Rahmat.et.al, 2018). Penelitian ini membahas
mengenai peran politik Etnis Jawa di Suriname pada tahun 1991-2015. Penelitian
ini mengeksplorasi alasan ketertarikan mereka terhadap politik Suriname,
kontribusi mereka, dan dampak keterlibatan politik mereka. Kajian ini juga
menggali sejarah perkembangan politik Suriname pada periode tersebut, dengan
menggunakan metode sejarah untuk menganalisis dan menafsirkan dinamika
politik. Selain itu, penelitian ini menggunakan pendekatan interdisipliner,
menggabungkan konsep-konsep dari ilmu politik, antropologi, dan sosiologi untuk
memberikan pemahaman komprehensif tentang peran kelompok etnis Jawa dalam
politik Suriname. Peneliti menggunakan data sekunder yang bersumber dari
wawancara stakeholder, pernyataan resmi, serta berbagai data dari artikel, koran,
dan lain-lain. Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah metode
kualitatif, yang menekankan pada pemahaman mendalam tentang fenomena yang
diteliti melalui analisis deskriptif dan interpretatif. Dalam metode kualitatif,
peneliti cenderung menggunakan data non-angka seperti teks, citra, atau suara
7

untuk memahami konteks, makna, dan pengalaman yang terlibat dalam topik
penelitian. Dalam hal ini, penelitian lebih fokus pada pemahaman mendalam
tentang peran politik etnis Jawa di Suriname dari tahun 1991 hingga 2015
daripada pada pengumpulan dan analisis data kuantitatif.
Hasil dari penelitian ini adalah sebuah karya ilmiah berjudul "Peranan
Etnis Jawa dalam Politik di Suriname (1991-2015)" yang membahas peran politik
etnis Jawa di Suriname selama periode tersebut. Penelitian ini mengungkapkan
bagaimana keberadaan kebijakan diskriminasi oleh pemerintah otonomi khusus
Suriname terhadap etnis Jawa yang dianggap sebagai pendatang, mendorong
sebagian etnis Jawa untuk terlibat dalam politik di Suriname. Mereka mendirikan
partai politik berbasis Jawa, masuk ke dalam pemerintahan dan parlemen, yang
kemudian berdampak pada peran etnis Jawa dalam politik modern Suriname.
Penelitian ini juga menyoroti tokoh-tokoh politik penting dari etnis Jawa di
Suriname yang menjabat sebagai Ketua Parlemen, Menteri, dan bahkan menjadi
kandidat Presiden Suriname.

1.3 Rumusan Masalah


Berkaitan dengan sosial, budaya, serta etnis, Suriname merupakan negara
Suriname adalah sebuah negara kecil yang terletak di pesisir utara Amerika
Selatan. Suriname memiliki populasi yang beragam etnis, termasuk kelompok-
kelompok seperti Hindustani, Jawa, Kreol, dan Maroon. Sejarah Negara ini
melibatkan perdagangan budak, imigrasi kontrak buruh dari India dan Jawa, serta
perkembangan komunitas Maroon.
Keberadaan suku Jawa di Suriname memberikan berbagai dampak baik dari
segi sosial dan budaya yang ada disana, dibuktikan dari jurnal Britannica, dengan
adanya etnis Jawa yang besar disana, sehingga memiliki bahasa Jawa yang
berkolaborasi dengan bahasa Suriname, yaitu Sranan Tongo yang merupakan
bahasa campuran yang berkembang di Suriname dan mencakup unsur-unsur
bahasa Jawa, bahasa Inggris, bahasa Portugis, dan bahasa lainnya. Sranan Tongo
menjadi bahasa lingua franca di Suriname, dan banyak orang Jawa di Suriname
juga menggunakan bahasa ini dalam interaksi sehari-hari. Namun, berbagai
penelitian dan data muncul mengenai keunikan dan sejarah suku Jawa di
8

Suriname yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Dan masih banyak
yang belum mengetahui asal usul adanya etnis Jawa di Suriname.
Adanya gap pelanggaran hak asasi manusia ini memunculkan pertanyaan
penelitian: “Mengapa suku Jawa yang berada di Suriname saat ini memilih untuk
tetap bertahan ? Bagaimana perkembangan penduduk suku Jawa yang ada di
Suriname terhadap aspek kebudayaan dan pola hiudp ? Apa kah kebijakan
pemerintah Suriname mempengaruh kehidupan suku Jawa disana ??”

1.4 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah menegtahui sejarah dan keberadaan suku Jawa di
negara Suriname dengan peranannya dalam perkembangan kebudayaan dan sosial
adalah agar masyarakat global dapat mengetahui hal apa yang menjadikan suku
Jawa dapat tersebar berdasarkan sejarahnya yang meiliki banyak pelanggaran
berat terhadap hak asasi manusia demi terciptanya perdamaian dunia di seluruh
penjuru. Serta mengetahui dan mengeksplorasi perkembangan sosial dan budaya
suku Jawa terhadap keberadaannya di masa kini dalam persebaran penduduk suku
Jawa di Suriname.

1.5 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi:
a. Manfaat Bidang Akademik: penulis berharap hasil penelitian ini bisa
berkontribusi dalam kajian penelitian dan pendidikan tinggi jurusan
Hubungan Internasional, khususnya kajian kemanusiaan. Penelitian ini
juga diharapkan mampu memberikan wawasan dan menjadi acuan bagi
peneliti lainnya yang ingin meneliti permasalahan yang sama untuk
penelitian selanjutnya.
b. Manfaat Praktis: penulis berharap hasil penelitian ini dapat menjadi
media yang akan membuat semakin banyak pihak sadar akan mengerti dan
tahu mengenai etnis Jawa yang bisa bertumbuh pesat di Suriname.
Penelitian ini juga bisa menyadarkan pembaca mengenai pentingnya
penegakkan hak asasi manusia bagi seluruh umat manusia tanpa terkecuali.
9

Penelitian ini juga diharapkan mampu menjadi bahan rekomendasi dan


bahan pertimbangan bagi pemangku kepentingan terkait.
10

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Landasan Konseptual

Landasan konseptual akan digunakan sebagai kerangka analisis penelitian


ini. Penelitian ini menggunakan dua konsep utama yaitu konsep Hak Asasi
Manusia dan Konsep Sosial Budaya. Penjelasan mengenai konsep HAM berisi
definisi, teori akar konsep HAM yaitu teori hak (relativisme budaya), sifat HAM,
variabel konsep yang digunakan dalam penelitian, serta bagaimana sistem buruh
kontrak berdasarkan konsep HAM. Selanjutnya, penjelasan mengenai konsep
sosial budaya berisi definisi terkait sosial budaya yang menjadi tolak ukur
perkembangan budaya dan pola hidup masyarakat suku Jawa di Suriname.

2.1.1 Konsep Hak Asasi Manusia

Manusia dan HAM merupakan konsepsi yang berkaitan satu sama lain dan
tidak dapat dipisahkan. Sejak dari baru lahir ke dunia, manusia sudah memiliki
kodratnya sendiri, manausia merupakan makhluk yang bebas. Sebagaimana
menurut pendapat Jean Jaquas Rousseau bahwa manusia akan semakin
berkembang potensinya dan merasakan nilai-nilai kemanusiaan dalam suasana
kebebasan alamiah. Gagasan mengenai hak asasi manusia ditandai dengan
munculnya konsep hak kodrati (natural rights theory) dimana pada zaman kuno
yaitu filsafat stoika hingga ke zaman modern dengan tulisan-tulisan hukum
kodrati Thomas Aquinas, Hugo de Groot dan selanjutnya pada zaman pasca
Reinaisans, John Locke mengajukan pemikiran tentang hukum kodrati sehingga
melandasi munculnya revolusi yang terjadi di Inggris , Amerika Serikat dan
Perancis pada abad 17 dan 18.

Disisi konsepsi HAM ini, manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa
hidup sendiri dan membutuhkan orang lain. Sebagaimana menurut para ahli
seperti Elly M.Setiadi , Muhammad Zuhri, Dr. Johannes Garang, Liturgis, dan
Aristoteles . Kesimpulan dari para ahli tersebut makhluk sosial adalah makhluk
yang tidak dapat hidup sendiri, di dalam hidupnya manusia saling berhubungan
satu sama lain yang tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh orang lain yang
dikodratkan untuk hidup bermasyarakat serta berhubungan dengan orang lain.
11

Dari kedua konsep ini munculah konsep HAM (Hak Asasi Manusia) yang
kompleks, karena manusia memiliki hak masing-masing dan kebebasan.

Berbagai pendapat mengenai HAM dari para ahli, pada dasarnya pendapat
mereka memiliki konsep yang yang walaupun ada beberapa perbedaan. Menurut
Mariam Budiardjo, HAM adalah hak-hak yang dimiliki oleh manusia yang telah
diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran dan kehadirannya dalam
hidup masyarakat. Hak ini ada pada manusia tanpa membedakan bangsa, ras,
agama, golongan, jenis kelamin, karena itu bersifat asasi dan universal. Dasar dari
semua hak asasi adalah bahwa semua orang harus memperoleh kesempatan
berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya. (Mariam Budiardjo, 1982, 120).

Pendapat lain mengenai HAM adalah oleh Thomas Jefferson yang


menyatakan bahwa HAM pada dasarnya adalah kebebasan manusia yang tidak
diberikan oleh Negara. Kebebasan ini berasal dari Tuhan yang melekat pada
eksistensi manusia individu. Pemerintah diciptakan untuk melindungi
pelaksanaaan hak asasi manusia. (Majalah What is Democracy, 8). Sedangkan
Hak asasi adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati,
universal dan abadi sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang berfungsi untuk
menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan
masyarakat yang tidak boleh diganggu gugat dan diabaikan oleh siapapun.
(Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998).

Pada zaman kolonial terdahulu, HAM masih belum diindahkan dan di


galakkan dengan marak. Sejarah mengenai perkembangan pemikiran hak asasi
manusia telah berlangsung lama dan mengalami evolusi dari yang sangat
sederhanya yang mewakili zaman awal dan yang sangat kompleks yang mewakili
zaman modern. Karel Vasak seorang sarjana berkebangsaan Perancis
mengemukakan suatu model perkembangan hak asasi manusia dikutip oleh Jimly
Asshidiqie yaitu terbagi menjadi tiga generasi.

Generasi Pertama, mewakili hak-hak sipil dan politik yakni hak asasi
manusia yang “klasik”. Hak-hak ini muncul dari tuntutan untuk melepaskan diri
dari kungkungan kekuasaan absolutisme negara dan kekuatan sosial lainnya.
12

Pemikiran mengenai konsepsi hak asasi manusia yang sejak lama berkembang
dalam wacana para ilmuwan sejak era enlightenment di Eropa, meningkat menjadi
dokumen-dokumen hukum internasional yang resmi. Dalam konsepsi generasi
pertama ini elemen dasar konsepsi hak asasi manusia itu mencakup soal prinsip
integritas manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan
politik. Adapun hak asasi manusia pada generasi pertama berkenaan dengan hak-
hak sipil dan politik yang mencakup antara lain:

1. Hak untuk menentukan nasib sendiri

2. Hak untuk hidup

3. Hak untuk tidak dihukum mati

4. Hak untuk tidak disiksa

5. Hak untuk tidak ditahan secara sewenang-wenang

6. Hak untuk peradilan yang adil, independen, dan tidak berpihak

7. Hak untuk berekspresi atau menyampaikan pendapat

8. Hak untuk berkumpul dan berserikat

9. Hak untuk mendapatkan persamaan perlakuan di depan hukum

10. Hak untuk memilih dan dipilih

Generasi Kedua, di samping adanya International Couvenant on Civil and


Political Rights, konsepsi hak asasi manusia mencakup pula upaya menjamin
pemenuhan kebutuhan untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan kebudayaan,
termasuk hak atas pendidikan, hak untuk menentukan status politik, hak untuk
menikmati ragam penemuan penemuan-penemuan ilmiah, dan lain-lain
sebagainya. Hak-hak generasi kedua pada dasarnya tuntutan akan persamaan
sosial yang sering dikatakan sebagai “hak-hak positif” karena pemenuhan hak-hak
tersebut sangat membutuhkan peran aktif negara. Sementara itu, adapun hak asasi
13

generasi kedua berkenaan dengan hak-hak di bidang ekonomi, sosial, dan budaya.
Yang menyangkut hak-hak sosial dan ekonomi antara lain:

1. Hak untuk bekerja

2. Hak untuk mendapatkan upah yang sama

3. Hak untuk tidak dipaksa bekerja

4. Hak untuk cuti

5. Hak atas makanan

6. Hak atas perumahan

7. Hak atas kesehatan

8. Hak atas pendidikan

9. Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan kebudayaan

10. Hak untuk menikmati kemajuan ilmu pengetahuan

11. Hak untuk memperoleh perlindungan atas hasil karya cipta (hak cipta)

Generasi Ketiga, yaitu mencakup pengertian mengenai hak untuk


pembangunan atau rights to development. Hak atas atau untuk pembangunan ini
mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju yang berlaku bagi segala
bangsa, dan termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai bagian dari kehidupan
bangsa tersebut. Hak untuk atau atas pembangunan ini antara lain meliputi hak
untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, dan hak untuk menikmati hasil-
hasil pembangunan tersebut, menikmati hasil-hasil dari perkembangan ekonomi,
sosial dan kebudayaan, pendidikan, kesehatan, distribusi pendapatan, kesempatan
kerja, dan lain-lain sebagainya. Adapun generasi ketiga mencakup yaitu
pengertian hak-hak dalam pembangunan. Hak-hak dalam bidang pembangunan ini
antara lain mencakup:

1. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat


14

2. Hak untuk memperoleh perumahan yang layak

3. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai

Lebih lanjut menurut Jimly Asshidiqqie bahwa Persoalan hak asasi


manusia tidak cukup hanya dipahami dalam konteks hubungan kekuasaan yang
bersifat vertikal, tetapi mencakup pula hubungan-hubungan kekuasaan yang
bersifat horizontal, antar kelompok masyarakat, antara golongan rakyat atau
masyarakat, dan bahkan antar satu kelompok masyarakat di suatu negara dengan
kelompok masyarakat di negara lain. Sehingga perkembangan selanjutnya yaitu
generasi keempat adalah konsep hak asas manusia yang dilihat dari perspektif
yang bersifat horizontal dari generasi satu, dua dan generasi keempat yang
melahirkan konsepsi baru tentang hak asasi manusia, yaitu konsepsi yang
didasarkan atas ketidakseimbangan struktural yang menindas diluar pengertian
yang selama ini timbul dari pola hubungan vertikal antara negara dengan
rakyatnya.

2.1.2 Konsep Sosial Budaya


Sistem sosial budaya ialah konsep untuk menelaah asumsi-asumsi dasar
dalam kehidupan masyarakat. Pemberian makna konsep sistem sosial budaya
dianggap penting karena tidak hanya untuk menjelaskan apa yang dimaksud
dengan sistem sosial budaya itu sendiri tetapi memberikan eksplanasi
deskripsinya melalui kenyataan di dalam kehidupan masyarakat.

Menurut Tatang A.Amirin, Sosial berarti segala sesuatu yang beralian


dengan sistem hidup bersama atau hidup bermasyaakat dari orang atau
sekelompok orang yang didalamnya sudah tercakup struktur, organisasi, nila-nilai
sosial, dan aspirasi hidup serta cara mencapainya.Sedangkan budaya berarti cara
atau sikap hidup manusia dalam hubungannya secara timbal balik dengan alam
dan lingkungan hidupnya yang didalamnya tercakup pula segala hasil dari cipta,
rasa, karsa, dan karya, baik yang fisik materiil maupun yang psikologis, idiil, dan
spiritual.(Amirin,2010).
15

Alvin L. Bertrand, berpendapat bahwa suatu sistem sosial terdapat : (a)


Dua orang atau lebih (b) Terjadi interaksi antara mereka (c) Bertujuan (d)
Memiliki struktur, harapan-harapan bersama yang didomaninya. Dalam sistem
sosial pada umumnya terdapat proses yang saling mempengaruhi. Hal ini
disebabkan karena adanya saling keterkaitan antara satu unsur dengan unsur
lainnya (Bertrand, 1980).

Margono Slamet, sistem sosial dipengaruhi oleh ekologi; demografi;


kebudayaan; kepribadian; waktu, sejarah, dan latar belakang.Ciri utama sistem
sosial menerima unsur-unsur dari luar (terbuka). Namun juga menimbulkan
terjalinnya ikatan antarunsur-unsur dengan unsur lainnya (internal) dan saling
pertukaran antara sistem sosial itu sendiri dengan lingkungannya (eksternal)
(Slamet, 2006).

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah,


yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-
hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris,
kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah
atau mengerjakan. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam
bahasa Indonesia.Edward Burnett Tylor berpendapat, kebudayaan merupakan
keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan
lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat (Tylor, 1871).

Dapat disimpulkan kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi


tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam
pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat
abstrak.

Menurut J.J. Hoenigman (2003), wujud kebudayaan dibedakan menjadi


tiga :

A. Gagasan ( Wujud Ideal )


16

Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk


kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan
sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh.

B . Aktifitas ( Tindakan )

Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola


dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan
sistem sosial.

C . Artefak ( Karya )

Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari


aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa
benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan.

Selanjutnya Dr. Dodih Heryadi, M.Pd. dalam disertasi yang berjudul Peran
Mitos Maung Panjalu dalam Konservasi Hutan di Panjalu Kabupaten Ciamis
(2014:6) menyebutkan, bahwa kebudayaan tercipta karena ada masyarakat sebagai
pendukungnya. Demikian pula sebaliknya, keteraturan masyarakat ditentukan
oleh kondisi kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat (cultural
determinism).

Raymond firth mengemukakan bahwa konsep struktur social merupakan


analytical tool, yang diwujudkan untuk membantu pemahaman tentang tingkah
laku manusia dalam kehidupan social. Dasar yang penting dalam struktur sosial
ialah relasi-relasi sosial yang jelas penting dalam menentukan tingkah laku
manusia, yang apabila relasi sosial itu tidak dilakukan, maka masyarakat itu tak
terwujud lagi.

Struktur sosial juga dapat ditinjau dari segi status, peranan, nilai-nilai,
norma, dan institusi sosial dlm suatu relasi. Nilai adalah pembentukan mentaliatas
yang dirumuskan dari tingkah laku manusia sehingga menjadi sejumlah anggapan
yang hakiki, baik, dan perlu dihargai. Dari pendapat Raymond firth dan max
weber, system nilai yang harus diwujudkan atau diselenggarakan dalam
17

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ditemukan dalam proses


pertumbuhan pancasila sebagai dasar falsafah atau ideologi Negara.

Jadi, struktur system sosial budaya indonesia dapat merujuk pada nilai-
nilai yang terkandung dalam pancasila yang terdiri atas :

a. Tata nilai

Tata nilai ini meliputi:

a) Nilai agama

b) Nilai kebenaran

c) Nilai moral

d) Nilai vital

e) Nilai meterial

b. Tata sosial

NKRI adalah Negara hukum, semua orang adalah sama di mata hukum.
Tata hukum di Indonesia adalah system pengayoman yang mewujudkan keadilan
dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

c. Tata laku

Dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, maka tata laku
harus berpedoman pada norma- norma yang berlaku, yaitu : norma agama, norma
kesusilaan/kesopanan, norma adat istiadat, norma hukum setempat, norma hukum
Negara.

2.1.3 Teori Hak Asasi Manusia


Secara teoretis, konsep HAM memiliki akar pada teori hak. Teori hak
merupakan sebuah teori turunan yang berasal dari perspektif liberalisme yang
secara spesifik membahas mengenai hak dan kebebasan. John Locke
menginterpretasikan hak sebagai hal yang alamiah melekat pada manusia yang
18

dimiliki oleh setiap individu (Forsythe, n.d.). Soetandyo Wignjosoebroto,


berpendapat hak asasi manusia adalah hak mendasar (fundamental) yang diakui
secara universal sebagai hak yang melekat pada manusia karena hakikat dan
kodratnya sebagai manusia. HAM disebut universal karena hak ini dinyatakan
sebagai bagian dari kemanusiaan setiap sosok manusia, apapun warna kulit, jenis
kelamin, usia, latar belakang budaya, agama, atau kepercayaan. Sedangkan sifat
inheren karena hak ini dimiliki setiap manusia karena keberadaannya sebagai
manusia, bukan pemberian dari kekuasaan manapun. Karena melekat, maka HAM
tidak bisa dirampas (Wignjosoebroto, 1948).

Muladi memiliki hasil pikir berupa HAM adalah hak yang melekat secara
alamiah (inheren) pada diri manusia sejak manusia lahir, dan tanpa hak tersebut
manusia tidak dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang utuh. Karena
keberadaan HAM yang begitu penting, tanpa HAM manusia tidak dapat
mengembangkan bakat dan memenuhi kebutuhannya (Muladi, 2005). Sedangkan
Pengertian HAM adalah jalan keluar untuk mengatasi keadaan “homo homini
lupus, bellum omnium contra omnes“ yaitu manusia dapat menjadi serigala bagi
manusia lain. Keadaan seperti ini mendorong terbentuknya perjanjian masyarakat
di mana rakyat menyerahkan hak-haknya kepada penguasa (Hobbes, 1651).

Secara normatif, definisi HAM di Indonesia dapat Anda temukan


dalam Pasal 1 angka 1 UU HAM yang berbunyi:

“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia.”

Selanjutnya terkait instrumen hukum internasional yang mendefinisikan


arti HAM, sepanjang penelusuran kami, instrumen hukum internasional tidak
memberikan definisi harafiah tentang HAM. Namun, Pasal 1 Universal
Declaration of Human Rights/Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM) menyebutkan:
19

“All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are
endowed with reason and conscience and should act towards one another in a
spirit of brotherhood.”

Pasal tersebut jika diartikan adalah semua manusia dilahirkan merdeka dan
memiliki martabat dan hak yang sama. Manusia dikaruniai akal dan hati nurani
dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan. Selain itu,
definisi HAM secara tersirat diatur dalam preamble/konsideran International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah disahkan di
Indonesia UU 12/2005, yaitu “… these rights derive from the inherent dignity of
the human person” yang artinya hak-hak ini (HAM) berasal dari martabat yang
inheren atau melekat pada diri manusia.

Berdasarkan teori yang diangkut, teori relativisme budaya memandang


Hak Asasi Manusia berbeda-beda, terbatas pada wilayah tempat tinggal dan
kebudayaan. Apa yang menjadi hak bagi satu kelompok masyarakat belum tentu
menjadi hak bagi kelompok masyarakat yang lain. Salah satunya datang dari
Costas Douzinas, profesor hukum dari Yunani. Pendapat Douzinas mengenai Hak
Asasi Manusia adalah sebagai berikut:

“Rights turn real people into abstract ciphers. The abstract man of the
declarations has no history or tradition, gender or sexuality, colour or ethnicity,
those elements that make people real. All content is sacrificed at the altar of
abstract humanity. This gesture of universalisation conceals however their real
subject: a human-all- too- human, wealthy, white, heterosexual, male bourgeois
standing in for universal humanity who combines the dignity of humanity with the
privileges of the elite. The emancipation of universal man subjects real people to
a very concrete rule: ‘the rights of man as distinct from the rights of the citizen
are nothing but the rights of the member of bourgeois society, i.e. egotistic man,
man separated from other man and the community.”

Perbedaan persepsi tentang hak ini didukung juga oleh Todung Mulya
Lubis yang menyebutkan, “Perbedaan-perbedaan tradisi budaya di antara
masyarakat menyebabkan perbedaan-perbedaan pula pada pemikiran dan persepsi
20

tentang manusia, termasuk dalam hal hak asasi manusia.” Teori relativisme
budaya berseberangan dengan teori universalisme yang memandang bahwa setiap
manusia memiliki Hak Asasi Manusia yang sama.

Joshua Preiss, seorang profesor filosofi dari Minnesota State University,


sebagaimana dikutip oleh Pranoto Iskandar, menyebutkan karakter dari teori
relativisme budaya, antara lain:

1. Tiap budaya yang berbeda memiliki kode moral yang berbeda pula;

2. Tiada standar obyektif yang dapat digunakan untuk menilai kode sosial yang
satu.

2.2 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran merupakan alat yang digunakan peneliti untuk


mengonstruksi alur berpikir yang diterapkan dalam penelitian serta untuk menjelaskan
bagaimana masyarakat suku Jawa di Suriname mendapatkan hak asasi manusia sebagai
imigran dan perkembangan adat istiadatnya.
21

Tabel 2.1 Kerangka Pemikiran Penelitian


Perekrutan Buruh Kontrak
Pada Zaman Kolonialisme
Belanda

Dugaan Penipuan Terhadap Suku


Jawa yang Dipaksa untuk Menjadi
Buruh Kontrak

Sikap Diskriminatif Larangan untuk


Penunggakan pemerintah Belanda
Pembayaran Gaji kembali ke tanah
kepada suku Jawa kelahiran

Hak pekerja buruh kontrak berdasarkan Teori Ham generasi pertama :

1. Hak untuk menentukan nasib sendiri

2. Hak untuk hidup

3. Hak untuk tidak dihukum mati

4. Hak untuk tidak disiksa

5. Hak untuk tidak ditahan secara sewenang-wenang

6. Hak untuk peradilan yang adil, independen, dan tidak berpihak

7. Hak untuk berekspresi atau menyampaikan pendapat

8. Hak untuk berkumpul dan berserikat

9. Hak untuk mendapatkan persamaan perlakuan di depan hukum

10. Hak untuk memilih dan dipilih.


22

Analisis Sosial dan Budaya


Suku Jawa yang menetap di
Suriname Akibat Penerapan
Buruh Kontrak secara historis
23

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis
deskriptif. Melalui penelitian ini, peneliti ingin memberikan pemahaman
mengenai fenomena yang dikaji serta masalah yang ada di dalamnya, khususnya
pada pengaruh sosial dan budaya suku Jawa di Suriname akibat dari Penerapan
Buruh Kontrak pada Zaman Kolonialisme Belanda di Suriname. Pada penelitian
ini, peneliti akan menitikberatkan analisis menggunakan konsep yang telah dipilih
dan didukung dengan fakta-fakta yang ditemukan. Analisis secara deskriptif
bertujuan untuk mengeksplorasi permasalahan ini secara lebih luas, tidak hanya
pada bagaimana masalah ini terjadi, melainkan juga bagaimana kronologi, hingga
penyelesaian masalah.

Dalam jurnal "What is Qualitative in Qualitative Research" yang


diterbitkan oleh Qualitative Sociology pada tahun 2019, menyimpulkan bahwa
penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan penelitian yang bertujuan untuk
memahami fenomena sosial melalui interpretasi dan pemahaman mendalam
terhadap konteks, makna, dan karakteristik yang kompleks. Penelitian kualitatif
juga menggunakan pengumpulan data yang bersifat deskriptif, seperti wawancara,
observasi, dan analisis teks, untuk menggali pemahaman yang mendalam tentang
subjek penelitian. Selain itu, jurnal ini juga menekankan bahwa terdapat dimensi
kualitatif dalam penelitian kuantitatif, dan menyediakan sebuah definisi yang
dapat membantu memperbaiki desain penelitian dan komunikasi antar peneliti.
(Aspers & Corte, 2019).

Penelitian kualitatif memiliki fokus multimetode, melibatkan pendekatan


interpretatif dan naturalistic pendekatan terhadap pokok bahasannya. Artinya
peneliti kualitatif mempelajari sesuatu dalam sudut pandang mereka pengaturan
alam, mencoba untuk memahami, atau menafsirkan, fenomena dalam kaitannya
dengan makna yang dibawa orang kepada mereka. Penelitian kualitatif melibatkan
penggunaan dan pengumpulan yang dipelajari dari berbagai materi empiris, studi
kasus, pengalaman pribadi, introspektif, kisah hidup, teks wawancara, observasi,
24

sejarah, interaksional, dan visual – yang menggambarkan rutinitas dan momen


dan makna bermasalah dalam kehidupan individu. (Denzin & Lincoln, 2005)
Dengan langkah-langkah tersebut, pendekatan penelitian ini akan menjawab
permasalahan yang diangkat.

3.2 Fokus Penelitian


Penelitian ini penitikberatannya adalah untuk memahami dinamika
resistensi, perlawanan, dan adaptasi budaya para pekerja kontrak suku Jawa di
Suriname. Fokus penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi peran politik Etnis
Jawa di Suriname. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab tiga pertanyaan utama:
(1) Mengapa suku Jawa yang berada di Suriname saat ini memilih untuk tetap
bertahan? (2) Bagaimana perkembangan penduduk suku Jawa yang ada di
Suriname terhadap aspek kebudayaan dan pola hiudp? (3) Apa kah kebijakan
pemerintah Suriname mempengaruh kehidupan suku Jawa disana?.

Penelitian ini menggunakan metode sejarah dan pendekatan interdisipliner


untuk memberikan pemahaman topik secara komprehensif. Pengaruh sosial dan
budaya menjadi fokus utama penelitian ini karena banyaknya suku Jawa yang
menetap di Suriname setelah kontrak kerja selesai dan beradaptasi di Suriname.
Adapun aspek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah uraian suku Jawa
yang memilih tetap tinggal meski kontrak kerjanya sudah habis. Buhan hanya
tinggal namun, etnis Jawa yang tinggal dan menetap ini pasti berkembang dan
menghasilkan kebudayaan tersendiri.

Dengan adanya adaptasi ini mereka juga pasti akan menyesuaikan pola
hidup mereka di Negara Suriname ini. Peneliti juga menguraikan bagaimana
kebijakan yang ditulis oleh pemerintahan Suriname mengenai masalah ini.
Dengan begitu fokus dari penelitian ini akan terjawab dengan uraian-uraian serta
data yang terkumpul melalui data sekunder yang ditemukan oleh peneliti.
25

3.3 Sumber Data


Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa studi dokumen sebagai
sumber data. Alan Bryman mengkategorikan dokumen menjadi beberapa jenis,
seperti dokumen resmi negara, dokumen resmi organisasi, laporan, publikasi,
jurnal, hingga sumber daring terpercaya (Bryman & Bell, 2019). Dalam konteks
ini, sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi berbagai sumber
sekunder seperti buku, artikel, dan makalah akademis yang berkaitan dengan topik
tersebut. Selain itu, peneliti juga menggunakan buku, jurnal, tesis, dan surat kabar
yang berkaitan dengan topik ini dan banyak lagi. Peneliti juga melakukan
verifikasi untuk menguji keabsahan sumber yang diperoleh.

3.4 Teknik Pengumpulan Data


Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi
dokumen dengan mempelajari dokumen-dokumen yang dikeluarkan oleh instansi
atau lembaga terkait. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi
arsip, wawancara dengan narasumber yang relevan, analisis dokumen historis, dan
penelusuran literatur. Selain itu, penelitian ini juga mungkin menggunakan
pendekatan kualitatif untuk menganalisis pengalaman individu dan kelompok,
serta untuk memahami dinamika resistensi dan adaptasi budaya dalam konteks
sejarah kolonial.

3.5 Teknik Analisis Data


Dalam proses analisis data, peneliti menggunakan teknik analisis reduksi
data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan dari data yang didapat. Pada tahap
reduksi data, dilakukan reduksi terhadap data-data yang didapat mengenai HAM
pada masa kolonial, keputusan etnis Jawa untuk tetap tinggal di Suriname
walaupun kontrak kerja sudah habis, dan perkembangan pola hidup serta budaya
yang dihasilkan. Reduksi data ditujukan untuk memilih data yang spesifik
mendukung proses analisis data. Selanjutnya pada tahap penyajian data, penelitian
ini akan menyajikan berbagai data yang telah direduksi. Data tersebut kemudian
dipaparkan dan dielaborasikan menggunakan landasan konsep yakni konsep HAM,
26

konsep sosial budaya, dan teori hak asasi manusia guna menjawab rumusan
masalah dalam penelitian ini. Terakhir dilakukan proses penarikan kesimpulan
berdasarkan data dan elaborasi yang dilakukan. Dengan demikian, masalah dalam
penelitian ini dapat terpecahkan.

Selain itu dalam proses analisis data, penelitian ini harus diakui dan abash.
Menurut Zuldafrial (2012:89) “keabsahan data merupakan padanan dari konsep
kesahihan (validitas) dan keandalan (realibilitas) menurut versi penelitian
kuantitatif dan disesuaikan dengan tuntunan pengetahuan, kreteria, dan paradigma
sendiri”. Keabsahan data merupakan derajat kepercayaan atau kebenenaran hasil
suatu penelitian. Menurut Lincoln dan Guba (1985) dalam Wijaya (2018),
keabsahan data di dalam penelitian kualitatif, suatu realistis itu bersifat majemuk
dan dinamis, sehingga tidak ada yang konsisten dan berulang seperti semula.
Keabsahan data dapat dicapai dengan menggunakan proses pengumpulan data
dengan teknik triangulasi data.

Menurut Sugiyono (2015:83) triangulasi data merupakan teknik


pengumpulan data yang sifatnya menggabungkan berbagai data dan sumber yang
telah ada. Menurut Wijaya (2018:120-121), triangulasi data merupakan teknik
pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu.
Maka terdapat triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data dan
triangulasi waktu.

1. Triangulasi Sumber
Triangulasi sumber untuk menguji kredibiltas suatu data dilakukan dengan
cara melakukan pengecekan pada data yang telah diperoleh dari berbagai
sumber data seperti hasil wawancara, arsip, maupun dokumen lainnya.
2. Triangulasi Teknik
Triangulasi teknik untuk menguji kredibiltas suatu data dilakukan dengan
cara melakukan pengecekan pada data yang telah dipeoleh dari sumber
yang sama menggunakan teknik yang berbeda. Misalnya data yang
diperoleh dari hasil observasi, kemudian dicek dengan wawancara.
3. Triangulasi Waktu
27

Waktu dapat mempengaruhi kredibilitas suatu data. Data yang dipeoleh


dengan teknik wawancara dipagi hari pada saat narasumber masih segar
biasanya akan menghasilkan data yang lebih valid. Untuk itu pengujian
kredibilitas suatu data harus dilakukan pengencekan dengan observasi,
wawancara dan dokumentasi pada waktu atau situasi yang berbeda sampai
mendapatkan data yang kredibel.
28

DAFTAR PUSTAKA

Aprita, Serlika, Yonani Hasyim. (2020). Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bogor:
Mitra Wacana Media.

Arifin, Firdaus. (2019). Hak Asasi Manusia: Teori, Perkembangan dan


Pengaturan. Yogyakarta: Thafa Media.

Aspers, Patrick, Ugo Corte. (2019). What is Qualitative in Qualitative Research.


Cross Mark Journal: Qualitative Sociology. 139–160.

Bertrand, Alvin L. (1980). Sosiologi : kerangka acuan, metode penelitian, teori


sosialisasi, kepribadian dan kebudayaan. Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia. Bina Ilmu.

Sumaadmadja, Nursid. (2012). Manusia Dalam Konteks Sosial, Budaya, dan


Lingkungan Hidup. Bandung: Alfabeta. hlm. 7.

Demartoto, Argyo. (2008). Sistem Sosial Budaya Indonesia. Surakarta:


Universitas Sebelas Maret.

Hastita1, Dinda Hindira, Silia Yuslim, dan Marselinus Nirwan Luru. (2020).
Kajian fungsi sosial-budaya ruang terbuka hijau publik Kecamatan
Serpong, Kota Tangerang Selatan. Jurnal Arsitektur Lansekap Vol. 6, No.
2, Oktober. 272-278.

Hoefte, Rosemarijn.(1998). A Passage to Suriname? The Migration of Modes of


Resistance by Asian Contract Laborers. Royal Institute of Linguistics and
Anthropology. International Labor and Working-Class History. 19-39.

International Covenant on Civil and Political Rights. Di akses pada 29 Desember


2023, pukul 10.00 WIB.

Mutawally, Anwar Firdaus, Wawan Darmawan. (2023). Kehidupan Sosial-


Ekonomi Suku Jawa di Suriname Pada Masa Kolonial Belanda (1890-
1975). ARMADA : Jurnal Penelitian Multidisiplin, Vol. 1, No. 8 August.
803-814.
29

Rahmat, Acep, Nana Supriatna, dan Eryk Kamsori . (2018). Dari Imigrasi Menuju
Integrasi: Peranan Etnis Jawa Dalam Politik di Suriname (1991- 2015).
FACTUM: Jurnal Sejarah dan Pendidikan sejarah, Vol. 7 No. 1. 1-14.

Riyadi, Eko. (2018). Hukum Hak Asasi Manusia: Perspektif Internasional,


Regional dan Nasional. Depok: PT Raja Grafindo Persada.

Sertiawan, Nerisa, Ayu Lestari Nasution, dan Ade Chia Syafira.(2023). Konsep
Dasar Sistem Sosial Indonesia Dan Masyarakat Sebagai Suatu Sistem.
Jurnal Faidatuna, Vol.4, No.2 Mei. 124-134.

Universal Declaration of Human Rights. Di akses pada 29 Desember 2022, pukul


11.00 WIB.

Wilujeng, Sri Rahayu. (n.d). Hak Asasi Manusia: Tinjauan Dari Aspek Historis
dan Yuridis.

http://repository.stei.ac.id/4853/3/BAB%203.pdf

http://repositori.unsil.ac.id/7964/5/14.%20BAB%20I.pdf

Anda mungkin juga menyukai