bioteknologi di bidang pertanian Tak hanya terkait budidaya, bibit unggul, atau peningkatan produksi,
bioteknologi untuk mendukung industri agrobisnis juga mencakup teknologi pascapanen. Salah satu
buah hasil riset terbaru dari Pusat Teknologi Agroindustri (PTA) yang merupakan bagian dari Badan Riset
dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah teknologi pascapanen buah mangga. Buah mangga sebagai salah satu
buah yang tumbuh subur di Indonesia yang beriklim tropis ini mampu mencapai jumlah panen sebanyak
2,8 juta ton, nomor 4 terbanyak di dunia. Masalahnya, mangga merupakan buah musiman dan harganya
jatuh saat puncak musim panen. Selain itu, mangga juga termasuk buah yang tidak bertahan lama,
hanya 10 hari pada suhu ruang. Untuk mengatasi masalah ini, diciptakanlah teknologi coating dari
bahan turunan kelapa sawit dan pati sagu. Coating atau pelapis ini berfungsi untuk memperlambat laju
metabolisme buah mangga agar lebih tahan lama hingga 4 minggu.
bioteknologi di bidang pangan Makanan hasil inovasi bioteknologi sesungguhnya tidak asing lagi di
antara masyarakat Indonesia. Inovasi bioteknologi untuk pangan paling mudah ditemukan adalah proses
fermentasi. Proses ini melibatkan aktivitas mikroba, seperti bakteri atau jamur, dalam memproduksi
makanan. Pada awalnya, proses ini dilakukan untuk mengawetkan makanan yang sifatnya musiman dan
cepat rusak. Seiring perkembangan alternatif pengawetan makanan, produk hasil fermentasi tetap
diminati karena alasan lain, misalnya rasa, tekstur, dan aroma yang unik. Pangan fermentasi juga
membawa dampak positif untuk kesehatan, yaitu lebih mudah dicerna dibandingkan bahan asalnya, juga
peningkatan kandungan vitamin, antioksidan, serta probiotik yang baik untuk kesehatan.
Selain vaksin, Nusantics sebagai startup bioteknologi lokal juga berinovasi menciptakan alat pengambil
sampel untuk mendiagnosis Covid-19 dengan metode kumur, yaitu PCR kumur atau PUMU.
Penggunaannya yang tidak invasif cocok mereka yang sensitif terhadap metode usap nasofaring (swab
PCR), seperti penderita sinusitis dan anak-anak.
bioteknologi di bidang lingkungan Isu pencemaran sampah plastik merupakan salah satu masalah
lingkungan secara global yang masih belum terselesaikan. Sebab tak hanya membuat kotor, namun
plastik dan limbahnya yang sulit terurai membawa dampak buruk untuk makhluk hidup, termasuk
manusia. Sebagai usaha mengurangi limbah plastik, berbagai pihak terdorong berinovasi menciptakan
plastik biodegradable yang mudah terurai dan tidak meninggalkan jejak kimia berbahaya. Plastik
biodegradable ini terbuat dari bahan dasar pati tanaman yang mudah didapat di Indonesia, yaitu sagu
dan ubi kayu. Sayangnya, jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia lainnya, perkembangan
bioteknologi di Indonesia masih tergolong tertinggal dan lambat. Mengutip artikel publikasi dalam Jurnal
Rekayasa tahun 2019, terdapat beberapa faktor yang menjadi penghambat pertumbuhan bioteknologi
di Indonesia, di antaranya:
Anggaran riset yang rendah dari pemerintah, bahkan terendah di Asia Tenggara. Anggaran riset di
Indonesia hanya 0,2% (sekitar 17 triliun), sedangkan Singapura dan Thailand 2,5%, atau Malaysia 1,8%.
Keterbatasan fasilitas dan bahan baku yang masih harus diimpor.Kontroversi dengan nilai dan norma
yang berlaku di masyarakat Indonesia.Kurangnya kualitas sumber daya manusia.Regulasi industri dan
pasar yang rumit dan kurang mendukung.Setelah mengetahui beberapa inovasi bioteknologi karya anak
bangsa, berapa banyak yang sudah pernah kamu coba makan atau gunakan? Kalau kamu penasaran
dengan PUMU, kunjungi halaman ini untuk informasi lebih lanjut, ya!