Tugas Kelompok Makalah Bahasa Kawi
Tugas Kelompok Makalah Bahasa Kawi
Nama Kelompok:
Dosen Pengampu:
I Kadek Widiantana, S.Pd.B., M.Pd.
TAHUN AJARAN
2022-2023
KATA PENGANTAR
Berkat asung kertha waranugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang
Maha Esa, kami mahasiswa pada Kelas B2 Semester 1 Jurusan Pendidikan Agama
Hindu (PAH) Denpasar dapat menyusun karya tulis berupa Makalah Bahasa Kawi
yang berjudul “Keunggulan Sastra Bahasa Kawi” tepat pada waktunya.
Makalah ini menguraikan secara singkat dan sederhana serta isinya kami
petik dan susun dari berbagai buku bahasa Kawi yang telah ada. Adapun tujuan
dari penulisan makalah ini adalah sebagai tugas kelompok dalam mata kuliah
Bahasa Kawi pada Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar.
Kami menyadari makalah ini jauh dari sempurna, mengingat luasnya ruang
lingkup permasalahan yang semestinya harus diuraikan. Dengan demikian kami
harapkan kepada para pembaca, agar sudi mengoreksi dan memberikan saran-
saran demi kesempurnaannya dan semoga makalah ini bermanfaat dalam belajar
dan memahami bahasa Kawi.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
1.1. Latar Belakang Penulisan Makalah................................................1
1.2. Rumusan Masalah..........................................................................1
1.3. Tujuan............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................3
2.1. Pengertian Bahasa Kawi................................................................3
2.2. Sejarah Bahasa Kawi......................................................................5
2.3. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Kawi..........................................10
2.4. Penggolongan Kesusastraan Kawi Sebagai Salah Satu
Keunggulan Sastra.......................................................................10
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3. Tujuan
Berangkat dari rumusan masalah di atas, maka kami juga dapat merumuskan
tujuan dari penulisan makalah ini sebagai berikut:
1.3.1. Untuk mengetahui pengertian dari Bahasa Kawi?
1.3.2. Untuk mengetahui alur sejarah perkembangan Bahasa Kawi?
1.3.3. Untuk memahami kedudukan dan fungsi dari Bahasa Kawi?
1.3.4. Untuk mengetahui penggolongan dari Kesusastraan Bahasa Kawi sebagai
salah satu keunggulan dalam perkembangan Sastra?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
kawi untuk menampung buah pikirannya. Karya- karya tersebut sebagian besar
adalah warisan Hindu Jawa dari abad IX sampai abad XV.
Menurut Prof. Dr.P.J.Zoetmulder (1985:35) mengatakan bahwa Bahasa
Jawa Kuna adalah bahasa Jawa yang umum dipergunakan oleh masyarakat Jawa
sealma periode Hindu Jawa sampai runtuhnya Majapahit. Ada pula yang
menyebutkan bahwa bahasa Jawa Kuna adalah salah satu bahasa dialek temporal
bahasa pribumi di Jawa. Maksudnya adalah bahasa Jawa yang pernah
dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari dalam kurun waktu tertentu, yaitu
selama periode Hindu-Jawa sampai runtuhnya Majapahit. Mulai runtuhnya
Majapahit (abad XV), masyarakat Jawa diperkirakan tidak lagi mempergunakan
bahasa Jawa Kuna sebagai bahasa sehari-hari. Oleh karena itu, bahasa Jawa Kuna
dan termasuk bahasa Kawi adalah merupakan bahasa mati, artinya bahasa yang
tidak dipergunakan sebagai bahasa pergaulan dan percakapan sehari-hari oleh
masyarakat Jawa sendiri. Bahasa Jawa Kuna yang sampai kepada kita, adalah
bahasa yang terdapat dalam dokumen-dokumen dan nakah - naskah. Oleh karena
itu bahasa Jawa Kuna dan juga bahasa Kawi disebut juga bahasa dokumenter.
Sama halnya dengan bahasa Sanskerta, Latin, Yunani, kuna dan lain-lainnya.
Bahasa Kawi adalah bahasa Jawa Kuna yang dewasa ini hanya dapat kita
jumpai dalam karya -karya tulis, seperti : Naskah - naskah keagamaan (lontar-
lontar Tattwa, Sasana, Niti dan lain-lain), naskah-naskah sastra (lontar Parwa,
Kakawin, Kidung dan lain-lain), Peninggalan-peninggalan sejarah (Prasasti,
Babad, Usana, Purana dan lain-lain), Naskah- naskah pengobatan (lontar Usada
dan lain-lain) dan Naskah- naskah pengetahuan lain (naskah arsitektur, Hukum,
Astronomi, Kesenian, Bahasa dan lain - lain).
Walaupun demikian Bahasa Kawi masih perlu kita pelajari mengingat
bahasa Kawi atau bahasa Jawa Kuna dan juga bahasa Sanskerta, merupakan induk
dari bahasa daerah yang ada di Indonesia, terutama bahasa Jawa, Sunda, Madura,
Bali, Sasak dan beberapa daerah lainnya. Disamping itu ketiga bahasa tersebut
merupakan bahasa yang dipergunakan dalam kitab- kitab dan lontar-lontar yang
merupakan sumber ajaran agama Hindu. Dengan mempelajari bahasa-bahasa
tersebut kita akan dapat menguak isi dari lontar-lontar sastra dan kesusastraan
4
yang merupakan sumber ajaran agama Hindu, khususnya yang ada di Bali dan
umumnya di Indonesia.
Banyak istilah-istilah yang dipakai terutama nama-nama angkatan, gedung-
gedung, wilayah-wilayah, tempat dan lain- lain, banyak kita lihat mempergunakan
bahasa Kawi atau bahasa Sanskerta.
Perlu diingat bahwa bahasa Kawi tidak sama dengan bahasa Sanskerta.
Bahasa Sanskerta adalah bahasa yang dipergunakan dalam Veda yang menjadi
pegangan orang Hindu. Bahasa Sanskerta ini datang ke Indonesia dengan pusat
perkembangannya terutama di kerajaan-kerajaan Sriwijaya dan kerajaan di Jawa
seperti Majapahit. Bahasa ini lalu bercampur baur dengan bahasa yang ada pada
waktu itu, kita warisi sampai kini, misalnya : sorga, naraka, sùrya, àkàúa, wighna,
dìrgha dan lain-lain.
5
Prof. Dr. RMG Poerbatjaraka dalam bukunya, Kepustakaan Jawa,
menyimpulkan hasil penelitiannya terhadap sejumlah naskah sastra Kawi sebagai
berikut : Naskah Kawi yang tertua adalah Candakarana, naskah ini berisikan
tentang pelajaran bagaimana membuat sebuah kakawin (syair dalam Jawa Kuna)
dan daftar kata-kata Kawi (semacam kamus Kawi). Dalam naskah tersebut
menyebut-nyebut seorang raja keturunan bangsa Sailendra yang mendirikan candi
Kalasan, kira-kira pada 700 śaka atau 778 masehi.
Berdasarkan gaya bahasa, tahun penulisan, dan nama raja- raja yang
disebut-sebut dalam naskah yang diteliti itu, Prof. Dr. RMG Poerbatjaraka,
kemudian mengelompokkan sastra Kawi itu atas tiga bagian, yaitu :
1. Kitab-kitab Jawa Kuna yang tergolong tua, seperti : naskah parwa/prosa
(Candakarana, Sanghyang Kamayanikan, Brahmandapurana, Agastyaparwa,
Uttarakanda, Adiparwa, Sabhaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa,
Bhismaparwa, Aśramawasanaparwa, Mosalaparwa, Prasthanikaparwa,
Swargarohanaparwa dan Kunjarakarna. Dan juga sebuah naskah puisi yaitu
Kakawin Rāmāyana. Keseluruhan naskah- naskah tersebut ditulis mulai
menjelang abad IX sampai abad X.
2. Kitab-kitab Jawa Kuna yang bertembang, yaitu seluruh karya sastra Kawi
(Kakawin) yang lahir di antara abad ke XI sampai abad XIII, yaitu antara
lain: Kakawin Arjuna Wiwaha, Krêṣṇāyana, Sumanasantaka, Smaradahana,
Bhomakawya, Bharatayuddha, Hariwangśa, Gatotkacaśraya.
3. Kitab-kitab Jawa Kuna yang tergolong baru, yaitu seluruh karya sastra
Kawi yang digubah menjelang abad ke XIV sampai runtuhnya kerajaan
Majapahit, yaitu antara lain: kakawin Brahmandapurana, Kunjarakarna,
Nagarakertagama, Arjunawijaya, Sutasoma, Parthayajña, Nitisastra,
Nirartaprakrêta, Dharmaúunya, dan Hariúraya.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa, bahasa Kawi sudah dipergunakan
untuk manggubah karya sastra mulai abad IX sampai abad XV. Namun
penggunaan bahasa Kawi secara lisan (diwariskan dari mulut ke mulut) sudah
mulai pada abad VIII atau sebelum abad IX.
6
Menurut Wayan Simpen AB. dalam tulisannya Riwayat Kesusastraan Jawa
Kuna, mengklasifikasikan kesusastraan Kawi atas lima bagian adalah sebagai
berikut :
1. Jaman sebelum abad IX, jaman ini dikenal dengan jaman prasejarah sastra
Kawi. Kehidupan sastra Jawa Kuna diduga secara lisan. Cerita-cerita
diwariskan secara lisan (dari mulut ke mulut).
2. Jaman Mataram, jaman ini mulai dari abad IX sampai abad X , yaitu jaman
pemerintahan Mpu Sindok (tahun 925-962 masehi), di Mataram sampai
jaman raja Dharmawangsa Teguh (991-1007 masehi). Karya sastra yang lahir
pada jaman ini adalah karaya sastra prosa dan puisi seperti kakawin
Rāmāyana.
3. Jaman Kediri, jaman ini mulai dari bertahtanya raja Kediri, Prabhu Airlangga
(1019-1049 M) sampai masa pemerintahan raja Kertanegara (1268-1292 M)
di Singasari. Karya sastra kawi yang lahir pada periode ini adalah karya sastra
yang tergolong bertembang.
4. Jaman Majapahi I, jamanini diawali sejak lahirnya kerajaan Majapahit (1293
M) sampai puncak keemasan kerajaan Majapahit, dengan raja Hayam Wuruk
(1350- 1389 M). Karya sastra yang lahir pada masa ini adalah kakawin:
Brahmanadapurana, Kuñjarakarna, Nagarakertagama, Arjunawijaya,
Sutasoma, dan Parthayajña.
5. Jaman Majapahit II, jaman ini mulai dari bertahtanya Wikramawardana
(1389-1428 M) sampai runtuhnya kerajaan Majapahit (1518 M). Adapun
karya sastra yang lahir pada masa ini antara lain : kakawin Nitisastra,
Nirartaprakerta, Dharmaśunya, Hariśraya.
Pada periode yang terakhir tersebut di atas, kehidupan para pujangga, rupa-
rupanya kurang mendapat perhatian. Situasi kerajaan semakin memprihatinkan.
Karenanya para ahli memperkirakan bahwa orang-orang Majapahit yang tidak
mau tunduk dan tidak mau menganut agama Islam, menyingkir ke arah pedalaman
dan ke arah timur, ada yang sampai di Bali. Mereka kemungkinan membawa hal-
hal yang dianggapnya penting untuk diselamatkan, yaitu seperti naskah-naskah
keagamaan, sastra dan yang lain -lainnya.
7
Dalam pustaka Raja Pūrwa dikisahkan : Mpu Arthati, seorang pujangga
keraton Majapahit, mendapat perintah untuk menggubah sebuah kakawin pada
tahun 1518 M. Tetapi sebelum selesai menggubah kakawin,karena kerajaan
Majapahit runtuh, beliau menyelamatkan diri ke Bali dengan membawa
seluruhpustaka miliknya. Di Bali beliau mengabdikan diri kepada raja Gelgel
yaitu Dalêm Waturenggong (1460 -1550 M). Dalêm Waturenggong, di samping
memperhatikan kesejahtraan rakyat secara materi, juga menaruh perhatian yang
besar terhadap hal-hal yang bersifat rohani. Kehidupan para rohaniawan terjamin.
Karya-karya keagamaan dan sastra Kawi dilanjutkan dan dipelajari secara
mendalam dalam perguruan- perguruan yang ada pada waktu itu. Kehidupan
keagamaan yang telah ada ditata disempurnakan bersama para rohaniawan yang
datang dari Jawa itu.
Dalam bidang bahasa, bahasa Kawi agaknya semakin berbaur dengan
bahasa Bali waktu itu. Dari pembauran inilah diperkirakan memunculkan istilah
bahasa Kawi-Bali (Jawa Tengahan atau Bali Tengahan). Model bahasa ini dapat
kita temukan dalam naskah-naskah seperti : Tutur, Usada, Babad, dan naskah
lainnya yang muncul abad XVI sampai abad XVIII. Pada abad ini muncul pula
sastra Kidung, di samping karya- karya Kakawin. Menurut Prof. Dr. PJ.
Zoetmulder menyatakan bahwa sastra Kidung adalah kelanjutan dari suatu bentuk
sastra (sastra kawi) yang berasal dari Jawa.
Di Jawa sendiri semenjak kedatangan agama Islam, bahasa Kawi (baca:
Jawa Kuna) berkembang menjadi dua yang berlainan. Di satu sisi bahasa Kawi
berkembang menjadi bahasa Jawa Pertengahan dan di sisi lain bahasa Kawi
berkembang menjadi bahasa Jawa Modern. Dapat dilihat ciri- cirinya sebagai
berikut :
1. Bahasa Jawa Tengahan memperlihatkan hubungan yang erat antara budaya
Hindu-Jawa-Bali, dimana pengaruh India (bahasa sanskerta) masih tetap
terasa. Karya sastra yang mempergunakan bahasa Jawa Pertengahan antara
lain: Tantu Panggêlaran, Calonarang, Tantri Kamandaka, Korawaśrama,
Pararaton, Kidung Harsawijaya, Kidung Ranggalawe, Babad Tanah Jawi dan
lain-lain.
8
2. Bahasa Jawa Modern, semakin menggeser kedudukan bahasa sanskerta, dan
menggantikannya dengan bahasa Arab.
9
seperti : Pūrwadigama, (Śiwagama), Kakawin Gayadijaya (Kakawin Cantaka),
Kakawin Candrabherawa (Kakawin Dharmawijaya), Kakawin
Singhalalayangyala, Kakawin Kalpasanghara, Kidung Pisaca Harana, Geguritan
Patitip, dan ratusan karya- karya turunan lainnya. 2) Ida Ketut Jelantik (wafat 18
Nopember 1961), karya-karya dari beliau anatara lain: Geguritan Lokika,
Geguritan Sucita-Sabudi, Geguritan Bhagawadgita, Satua Men Tingkes dan
sebuah kitab tattwa (filsafat), Aji Sangkhya adalah merupakan ringkasan dari
ajaran Śiwa Tattwa yang tertuang dalam lontar-lontar yang tersimpan di Bali.
Disamping itu beliau dijadikan nara sumber dan juru bahasa oleh peneliti-peneliti
bahasa Bali oleh Schwarts, kesusastraan dan agama Hindu di Bali oleh C
Hooykaas.
10
berdasarkan : ciri angka tahun, nama raja atau pahlawan yang disebut dalam
karya sastra itu, gaya bahasa dan induk (sumber) karangan itu, akhirnya
mengelompokkan kesusastraan Kawi atas tiga bagian yaitu : kitab-kitab Jawa
Kuna yang tergolong tua, kitab-kitab Jawa Kuna yang tergolong bertembang dan
kitab-kitab Jawa Kuna yang tergolong baru.
2.4.1. Kitab-kitab Jawa Kuna yang Tergolong Tua
1. Candakarana adalah kitab yang berisikan tentang kaida prosidi
(pedoman tentang metrum kakawin) dan berisikan semacam kamus
yang disusun secara Sanskerta. Kitab ini digubah kira-kira tahun 703,
karena di dalamnya disebut- sebut keturunan Sailedra yang
mendirikan candi Kalasan.
2. Kakawin Rāmāyana, kakawin yang tersohor ini digubah pada masa
pemerintahan Dyah Balitung (820- 832M). Isinya menceritakan
tentang kisah Rāma dan Sitā yang bersumber dari Rahwanawadha
(matinya Rahwana) gubahan Bhattikavya.
3. Sang Hyang Kamahayanikan, kitab ini berisikan tentang ajaran agama
Budha Mahāyana, digubah dalam bentuk prosa. Bagian epilognya
menyebut-nyebut raja Jawa Timur, Mpu Sindok (929-962 M ).
4. Brahmandapurana, kitab ini ditulis dalam bentuk prosa. Isinya
tentang pelajaran agama Hindu (Śiwa). Ditinjau dari gaya bahasanya,
usia kitab ini sejaman dengan Sang Hyang Kamahayanikan.
5. Agastyaparwa, kitab ini dalam bentuk prosa, berisikan percakapan
antara Drêshasyu dengan ayahnya, Bhagawan Agastya tentang ajaran
agama Hindu, misalnya tentang karmaphala, sorga, naraka dan lain-
lain.
6. Uttara Kaṇḍa, kitab ini berbentuk prosa, pada bagian manggalanya
menyebut-nyebut raja Jawa Timur Dharmawangsa Teguh (991-1007M
). Isinya bersumber dari Rāmāyana yang digubah oleh Bhagawan
Walmiki, yaitu bagian ke-7 yang disebut Uttara Kaṇḍa, yang isi
pokoknya adalah kisah kehidupan dewi Sitā sekembalinya ke
Ayodhya setelah gugurnya Rahwana.
7. Àdìparwa, kitab ini berbentuk prosa, bersumber pada bagian pertama
11
epos Mahābhārata, isi pokoknya mengisahkan tentang: asal usul
keluarga Bharata dan masa kecil Paṇḍawa dan Kaurawa, digubah pada
masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh.
8. Sabhaparwa, kitab ini berbentuk prosa, bersumber pada bagian kedua
epos Mahābhārata, isi pokoknya mengisahkan tentang : Peṇḍawa dan
Kaurawa main dadu.
9. Wirāṭaparwa, kitab ini berbentuk prosa, bersumber pada bagian
keempat epos Mahābhārata, isi pokoknya mengisahkan tentang :
pengembaraan Paṇḍawa (menyamar sebagai abdi) di Negeri Wirata.
10. Udyogaparwa, kitab ini berbentuk prosa, bersumber pada bagian
kelima epos Mahābhārata, isi pokoknya mengisahkan tentang :
persiapan perang keluarga Bharata (Bharata Yuddha).
11. Bhīṣmaparwa, kitab ini berbentuk prosa, bersumber pada bagian
keenam epos Mahābhārata, isi pokoknya mengisahkan tentang :
senapati Bhisma memimpin pasukan Kaurawa melawan Paṇḍawa.
12. Āśramawasikaparwa, kitab ini berbentuk prosa, bersumber pada
bagian kelima belas epos Mahābhārata, isi pokoknya mengisahkan
tentang : prabhu Dhrêstarastra bersama tetua Hastina lainnya
menjalani kehidupan bertapa.
13. Mosalaparwa, kitab ini berbentuk prosa, bersumber pada bagian
keenam belas epos Mahābhārata, isi pokoknya mengisahkan tentang:
pralayanya kerajaan Dwarawati akibat ulah Sambha memperolok-olok
Bhagawan Narada.
14. Mahāprasthanikāparwa, kitab ini berbentuk prosa, bersumber pada
bagian ketujuh belas epos Mahābhārata, isi pokoknya mengisahkan
tentang : hari-hari terakhirnya Paṇḍawa, setelah Paṇḍawa mengangkat
Parikêsit sebagai raja Hastina, mereka kemudian menjalani hidup
sebagai pertapa, berkeliling mendaki gunung Himalaya.
15. Kuñjarakarna, kitab ini berbentuk prosa, yang mengandung ajaran
Budha Mahāyana. Isi pokoknya mengisahkan tentang : seorang
raksasa Kuñjarakarna yang ingin ruat menjadi manusia. Maka ia
menghadap dan menerima ajaran dari Bhatara Wairacana (salah satu
12
Dyani Budha). Berdasarkan gaya bahasanya kitab ini sejaman
dengan kitab-kitab parwa di atas.
16. Swargārohaṇaparwa, kitab ini berbentuk prosa, bersumber pada
bagian kedelapan belas (terakhir) epos Mahābhārata, isi pokoknya
mengisahkan tentang: kesaksian Yuddhisthira di alam baka, ia
menyaksikan sanak keluarganya menerima pahala segala
perbuatannya di dunia. Perbuatan baik menerima pahala baik
demikian sebaliknya perbuatan buruk menerima pahala buruk.
13
6. Kakawin Bharatayuddha, digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh
pada masa pemerintahan Jayabaya, raja Kediri (1135-1157M), isi
pokoknya mengisahkan tentang: perang Bharata di medan Kuru.
7. Kakawin Hariwangsa, digubah oleh Mpu Kanwa pada masa
pemerintahan Erlangga, isi pokoknya mengisahkan kisah yang sama
dengan kakawin Krêṣṇayana.
8. Kakawin Gatotkacaśraya, digubah oleh Mpu Panuluh pada masa
pemerintahan Jayakreta (1188 M) raja Kediri pengganti dari Jayabaya,
isi pokoknya mengisahkan tentang : Sang Gatotkaca menolong
Abhimanyu untuk dapat mempersunting Dewi Siti Sundari.
9. Kakawin Wrêttasañcaya, digubah oleh Mpu Tanakung, isi tentang :
kaidah prosidi metrum kakawin.
10. Kakawin Lubdaka, atau sering disebut Kakawin Śiwarātrikalpa,
digubah oleh Mpu Tanakung (1466- 1478 M) pada masa kerajaan
Majapahit akhir atau dua setengah abad sejak pemerintahan Ken Arok
(Prof. Dr. Teeuw). Isi pokoknya mengisahkan tentang : kehidupan
seorang pemburu si Lubdaka, yang karena melaksanakan brata
Śiwaratri, akhirnya ia mencapai alam Śiwa. Pada bagian manggalanya
ada menyebutkan nama Girindrawangsaja, yang dikatakan nama
kebesaran Ken Arok, raja Singasari tahun 1222 Masehi.
14
Yaitu menguraikan keadaan Majapahit, khususnya perjalanan Hayam
Wuruk, ke daerah-daerah kekuasaannya.
4. Kakawin Arjunawijaya, digubah oleh Mpu Tantular pada masa
Hayam Wuruk bertahta di Majapahit. Inti ceritanya bersumber pada
Uttara Kaṇḍa. Isinya mengisahkan tentang : Rahwana menyerang
kakak tirinya Wairawana yang dilanjutkan dengan menyerang
kerajaan Mahispati. Dan akhirnya ia ditawan oleh Arjuna
Sahasrabahu.
5. Kakawin Sutasoma, digubah oleh Mpu Tantular pada masa Hayam
Wuruk bertahta di Majapahit. Isi pokoknya mengisahkan tentang :
petualangan rohani Sang Sutasoma (titisan Budha), sekembalinya ke
Hastina, ia berasil menyelamatkan sejumlah raja yang ditawan oleh
Purusada Santa, raja yang gemar makan daging manusia.
6. Kakawin Parthayajña, berdasarkan analisa bahasanya umur kakawin
ini sebaya dengan Kakawin Sutasoma. Isinya mengisahkan tentang :
kehidupan Paṇḍawa setelah kalah main dadu yang penekanannya pada
perjalanan Arjuna bertapa ke gunung Indrakila.
7. Kakawin Nitiśaṣtra, digubah pada akhir jaman Majapahit. Kakawin ini
merupakan kumpulan bait didaktis dan tidak bersifat naratif.
8. Kakawin Nirarthaprakrêta, ditulis pada tahun 1459 Masehi di desa
Kancana. Kakawin ini sama halnya dengan kakawin Nitiśaṣtra, bait –
baitnya berisi ajaran mistik yang bersifat didaktis.
9. Kakawin Dharmaśunya, kakawin ini penuh dengan ajaran mistik yang
bersifat Śiwaistis. Di bagian efilognya ada baris kalimat yang
memberi petunjuk kemungkinan ditulis pada tahun 1304 atau 1340
Śaka, pengarangnya tidak diketahui.
10. Kakawin Hariśraya, kakawin yang anonim digubah tahun 1574
Masehi. Isinya mengisahkan tentang : pertempuran antara Bhatara
Wiṣṇu melawan tiga raksasa yaitu : Mali, Maliawan dan Sumali yang
ingin menguasai Sorga.
15
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Bahasa Kawi adalah bahasa pilihan dan campuran antara bahasa Jawa Kuno
dan bahasa Sanskerta. Bahasa Kawi adalah bahasa Jawa Kuna yang dewasa ini
hanya dapat kita jumpai dalam karya -karya tulis, seperti : Naskah - naskah
keagamaan (lontar-lontar Tattwa, Sasana, Niti dan lain-lain), naskah-naskah sastra
(lontar Parwa, Kakawin, Kidung dan lain-lain), Peninggalan-peninggalan sejarah
(Prasasti, Babad, Usana, Purana dan lain-lain), Naskah- naskah pengobatan (lontar
Usada dan lain-lain) dan Naskah- naskah pengetahuan lain (naskah arsitektur,
Hukum, Astronomi, Kesenian, Bahasa dan lain - lain).
Bahasa Kawi sudah dipergunakan untuk manggubah karya sastra mulai abad
IX sampai abad XV. Namun penggunaan bahasa Kawi secara lisan (diwariskan
dari mulut ke mulut) sudah mulai pada abad VIII atau sebelum abad IX.
Kedudukan dan fungsi bahasa Kawi adalah amat penting. Bahasa Kawi
adalah kunci utama untuk mengungkapkan nilai-nilai kepustakaan Jawa Kuna,
dan bagi umat Hindu Indonesia, bahasa Kawi adalah bahasa sumber kedua setelah
bahasa Sanskerta yang dipergunakan dalam literaturnya. Di samping itu bahasa
Kawi juga merupakan sumber dan faktor penunjang dalam rangka penelitian
sejarah bahasa-bahasa daerah Indonesia dan dalam usaha pengembangan bahasa
Indonesia.
Kesusastraan Kawi dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) bagian yaitu :
kitab-kitab Jawa Kuna yang tergolong tua, kitab-kitab Jawa Kuna yang tergolong
bertembang dan kitab-kitab Jawa Kuna yang tergolong baru.
Demikianlah hasil kesimpulan yang dapat Kelompok kami rumuskan,
semoga kesimpulan yang dapat kami jabarkan menjadi suatu kesimpulan yang
dapat dijadikan sebagai bahan/refrensi untuk pengembangan tulisan-tulisan yang
lebih mendalam tentang pokok bahasan selanjutnya.
3.2. Saran.
16
Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari
pembaca sangat diharapkan guna penyempurnaan penyusunan makalah
selanjutnya. Kelompok kami sangat berharap untuk kedepannya, ada tulisan-
tulisan ilmiah yang dapat menkaji secara lebih mendalam mengenai Kesusastraan
Bahasa Kawi.
17
DAFTAR PUSTAKA
Agastia. IBG, 1982. Sastra Jawa Kuno dan Kita. Denpasar: Wyāsa
Sanggraha.
……,1982.Membaca dan Memahami Kakawin Śiwaratrikalpa. Denpasar: Wyāsa
Sanggraha.
……,1985. Keadaan Dan Jenis – Jenis Naskah Bali. Yogyakarta: Proyek
Javanologi.
……,1987. Segara Giri [Kumpulan Esei Sastra Jawa Kuno]. Denpasar: Wyāsa
Sanggraha.
……,1987. Wṛttasañcaya dan Gitasañcaya. Denpasar: Wyāsa Sanggraha.
.........,1994.Kesusastraan Hindu Indonesia [Sebuah Pengantar]. Denpasar:
Yayasan Dharma Sastra.
Jiwa, Ida Bagus Nyoman, 1992, Kamus Bali Indonesia. Denpasar: Upada
Sastra.