Anda di halaman 1dari 4

Pendahuluan

Manusia insan secara kodrati, sebagai ciptaan Allah SWT yang sempurna bentuknya dibandingkan
dengan ciptaan Allah lainnya. Manusia juga sudah dilengkapi dengan kemampuan mengenal dan
memahami kebenaran dan kebaikan yang terpancar dari ciptaan-Nya. Kemampuan lebih yang dimiliki
manusia itu adalah kemampuan akalnya Manusia, di samping sebagai pelaku atau subjek, juga
merupakan objek atau sasaran dari pendidikan. Manusialah yang menjadi bahan baku yang akan
dibentuk sesuai dengan keinginan pendidiknya. Para pendidik sebagai subjek yang bertugas
mengarahkan dan membimbing anak didiknya dituntut agar memahami dan memiliki konsep yang jelas
dan benar tentang hakikat dan karakteristik manusia, baik hakikat dan karakteristik manusia yang akan
dididik maupun hakikat dan karakteristik manusia ideal yang dicita-citakan. Hal ini tak ubahnya seperti
pandai besi yang harus mengetahui hakikat dan karakteristik besi yang akan ditempa dan dibentuk serta
produk yang akan dihasilkannya. Praktek pendidikan akan gagal atau berlangsung tanpa arah yang
terkendali bila diselenggarakan tanpa memperhatikan dan berdasarkan konsep yang jelas dan benar
mengenai manusia. Pelaksanaan pendidikan sangat ditentukan oleh pandangan pelakunya tentang
manusia itu sendiri.

Pengertian Fitrah

Dari segi bahasa, kata fitra berasal dari kata al-fathr, fatara, yafturu, fatran yang berarti belahan, dan
dari makna ini lahir makna-makna lain antara lain “penciptaan” atau “kejadian”. Jadi fitrah manusia
adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahir.

Ungkapan fitrah belum memberikan gambaran yang definitif tentang keadaan dan sifat manusia ketika
ia dilahirkan ibunya. Fitrah bukan kata sifat yang dapat menjelaskan secara langsung hakikat dan
karakteristik manusia pada saat ia dilahirkan.

Ungkapan manusia dilahirkan dalam keadaan suci sebagai terjemahan kata fitrah kurang tepat. Agaknya,
ungkapan itu lebih tepat diterjemahkan dengan pernyataan bahwa setiap anak dilahirkan dalam suatu
kondisi tertentu sesuai dengan program Allah. Hal itu tak ubahnya seperti kertas yang dibuat sebagai
alat tulis. Penggunaan kertas untuk tujuan lain adalah penyimpangan, tidak sesuai dengan tujuan dan
rencana pembuatnya. Melalui sabdanya ini, sesungguhnya, Nabi mengingatkan bahwa orang tua
mempunyai tanggung jawab bila anak-anak yang mereka lahirkan kemudian menyimpang dari program
yang telah dicanangkan Allah. Tentu saja sebaliknya, keberhasilan orang tua untuk membina anaknya
sesuai dengan rancangan Allah merupakan amal saleh yang layak mendatangkan pahala bagi mereka.
Hal ini erat kaitannya dengan hadis yang menyatakan bahwa anak yang saleh merupakan salah satu
investasi orang tua yang keuntungannya masih akan didapatkannya meskipun mereka telah wafat.

Pembicaraan tentang fitrah manusia melibatkan pembahasan tentang berbagai aspek yang terkait
dengan manusia itu sendiri ketika ia diciptakan, baik aspek yang terkait dengan fisik maupun dengan
psikisnya. Pembahasan tersebut mencakup keseluruhan hakikat, karakter, dan makna eksistensial
manusia. Kesucian boleh jadi merupakan salah satu aspek penting berkenaan dengan konsepsi Islam
tentang fitrah manusia. Namun, masih banyak aspek lain yang perlu dijelaskan untuk menggambarkan
keadaan manusia ketika diciptakan.

Fitrah manusia dalam perspektif islam

Dua macam fitrah yang dimiliki manusia sejak lahir

fitrah ilahiyah

Yang tercakup adalah fitrah tauhid Di dalam Al-Qur’an (QS. Al-Ruum 30) diungkapkan:

Artinya:

Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Merujuk kepada fitrah yang di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia sejak asal kejadiaannya
membawa potensi beragama yang lurus, dan dipahami oleh para ulama sebagai tauhid.

Fitrah jasadiyah

Yang terkait dalam alat-alat potensi manusia

Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa Fitrah (potensi) yang dijelaskan oleh Al-Qur’an antara lain;

Manusia sebagai makhluk sosial, artinya manusia itu membawa sifat ingin bermasyarakat. (QS. Al-
Hujurât 13)

Manusia sebagai makhluk yang ingin beragama (QS Al-Mâidah 3; Al-A‟râf 172), karena itu pendidikan
agama dan lingkungan beragama perlu disediakan bagi manusia.

Manusia itu mencintai wanita dan anak-anak, harta benda yang banyak, emas dan perak, kuda-kuda
pilihan (kendaraan sekarang), ternak dan sawah lading (QS. Ali „Imrân: 14)

Dalam perspektif Al-Qur‟an, manusia merupakan salah satu subjek yang dibicarakan, terutama yang
menyangkut asal-usul dengan konsep penciptaannya, kedudukan manusia dan tujuan hidupnyaHal ini
memperlihatkan bahwa manusia merupakan satu kesatuan yang utuh, antara aspek material
(fisik/jasmani), immaterial (psikis/ruhani) yang dipandu oleh Ruh Ilahiah dan akal. Aspek-aspek tersebut
saling berhubungan.

Kesatuan wujud manusia antara fisik, psikis dan akal serta didukung oleh potensi-potensi yang ada
membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan al-taqwim. Dalam hubungannya dengan Pendidikan Islam,
menempatkan manusia pada posisi yang strategis, yaitu:

a. Manusia sebagai makhluk yang mulia

b. Manusia sebagai Khalifah Allah di muka bumi

c. Manusia sebagai makhluk paedagogik

Manusia adalah makhluk paedagogik, karena memiliki potensi dapat dididik dan mendidik sehingga
mampu menjadi khalifah di bumi. Manusia dilengkapi dengan fitrah Allah, berupa bentuk atau wadah
yang dapat diisi dengan berbagai kecakapan dan keterampilan yang dapat berkembang, sesuai dengan
kedudukannya sebagai makhluk yang mulia. Pikiran, perasaan dan kemampuannya berbuat merupakan
komponen dari fitrah itu.

Fitrah sebagai alat potensi

al-lamsdan al-Syams (alat peraba dan alat pencium/pembau), sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-
An’am ayat 7 dan Q.S. Yusuf ayat 94.

Al-Syam’u (alat pendengaran). Penyebutan alat ini dihubungkan dengan penglihatan dan qalbu, yang
menunjukkan adanya saling melengkapi antara berbagai alat untuk mencapai ilmu pengetahuan,
sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-isra’ ayat 36, al-Mu’minun ayat 78, al-Sajdah ayah 9, al-Mulk
ayat 23 dan sebagainya.

Al-Absar (penglihatan ). Banyak ayat al-Qur’an yang menyeru manusia untuk melihat dan merenungkan
apa yang dilihatnya, sehingga dapat mencapai hakekatnya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-A’raf
ayat 185, Yunus ayat 101, al-Sajdah ayat 27 dan sebagainya.

Al-‘Aql (akal atau daya berfikir). Al-Qur’an memberikan perhatian khusus terhadap penggunaan akal
dalam berfikir, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Ali Imran ayat 191. Dalam al-Qur’an dijelaskan
bahwa penggunaan akal memungkinkan diri manusia untuk terus ingat dan memikirkan/merenungkan
ciptaan-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. al-Ra’d ayat 19. Dan penggunaan akal memungkinkan
manusia mengetahui tanda-tanda (kebesaran/keagungan) Allah serat mengambil pelajaran dari
padanya. Dalam berbagai ayat, kata al-nuha sebagai makna al-‘uqul sebagaimana firman-Nya dalam Q.S.
Thaha ayat 53-54 dan sebagainya.

Al-qalb (kalbu). Hal ini termasuk ma’rifah yang digunakan manusia untuk dapat mencapai ilmu,
sebagaimanan firman Allah Q.S. al-Hajj ayat 46, Q.S. Muhammad ayat v24 dan sebagainya. Kalbu ini
mempunyai kedudukan khusus dalam ma’rifah illahiyah, dengan kalbu manusia dapat meraih bergai
ilmu serta ma’rifah yang diserap dari sumber ilahi. Dan wahyu itu sendiri diturunkan ke dalam kalbu
Nabi Muhammad SAW sebagaimana firman Allah-Nya Q.S. al-Syu’ara ayat 192-194.

Setiap manusia dilengkapi dengan potensi akal, bakat, fantasi maupun gagasan. Potensi ini dapat
mengantarkan manusia memiliki peluang untuk bisa menguasai serta mengembangkan ilmu dan
teknologi dan sekaligus menempatkannya sebagai makhluk berbuday.

Kemampuan kemampuan dasar dan kecenderungan-kecenderungan yang murni sebagai individu.


Kemampuan-kemampuan dan kecenderungan tersebut lahir dalam bentuk yang sederhana dan terbatas
kemudian saling memengaruhi dengan lingkungan sehingga dapat tumbuh dan berkembang menjadi
lebih baik atau sebaliknya.

Potensi dasar yang dimiliki manusia tersebut masih merupakan barang yang terpendam dalam dirinya.
Bila potensi tersebut dibiarkan terus menerus maka ia akan menjadi statis dan tidak berkembang
walaupun dia telah memasuki usia yang panjang. Sentuhan-sentuhan dari pihak lain tetap merupakan
sebuah keharusan bagi nya agar potensi tersebut berubah menjadi dinamis dan dapat berkembang
sesuai dengan kehendak penciptanya.

Anda mungkin juga menyukai