Anda di halaman 1dari 23

UNIVERSITAS FALETEHAN

KEPERAWATAN GERONTIK

LAPORAN PENDAHULUAN PADA LANSIA DENGAN OSTEOPOROSIS

OLEH :

GINA CAROLIN APRILIANI

1018031051

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS FALETEHAN
SERANG – BANTEN
TAHUN 2021
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Konsep Teori Lansia


1. Definisi Lansia
Lanjut Usia (Lansia) merupakan tahap akhir dari kehidupan dan merupakan proses
alami yang tidak bisa dihindarkan oleh setiap individu (Gaol, 2020). Lansia adalah
seseorang yang telah berusia ≥ 60 tahun dan tidak berdaya mencari nafkah sendiri
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (Ratnawati, 2017). Organisasi
Kesehatan Dunia World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa lanjut usia
meliputi usia pertengahan (45-59 tahun), lanjut usia (60-74 tahun), usia tua (75-90
tahun), dan usia sangat tua (di atas 90 tahun) (Mubarak, 2006).

Tua adalah masa yang utama bagi para lanjut usia. Mulai dari sistem anggota gerak
atas sampai sistem tubuh anggota gerak bawah terjadi perubahan entah itu dari segi
anatomis ataupun segi fisiologis (Christiany, Ongko W dan Febriani, 2010). Masa
lansia mengakibatkan penurunan fisik yang sangat besar di banding masa
sebelumnya. Proses penuaan akan menyebabkan kemunduran kemampuan fisik dan
mental seseorang (Masfufah, 2015).

Dari pengertian tersebut dapat di simpulkan bahwa lansia adalah seseorang yang telah
berusia ≥ 60 tahun, mengalami penurunan fisik dan penurunan kemampuan
beradaptasi, dan tidak berdaya untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari seorang diri
(Ratnawati, 2017). Berdasarkan defenisi secara umum, seseorang dikatakan lansia
apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan
tahap lanjut dari suatu proses kehidupan dengan penurunan kemampuan tubuh untuk
beradaptasi dengan stress lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh
kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres
fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup
serta peningkatan kepekaan secara individu (Efendi,2009).

2. Batasan Lansia
a. Batasan umur lansia menurut World Health Organization (1999) adalah sebagai
berikut :
1) Usia lanjut (Elderly) antara usia 60-74 tahun
2) Usia tua (Old) 75-90 tahun
3) Usia sangat tua (Very Old) adalah usia > 90 tahun

b. Batasan umur lansia menurut Depkes RI (2005) adalah sebagai berikut :


1) Usia lanjut presenillis yaitu antara usia 45-59 tahun
2) Usia lanjut yaitu usia 60 tahun ke atas
3) Usia lanjut beresiko yaitu usia 70 tahun ke atas atau usia 60 tahun ke atas
dengan masalah kesehatan.

3. Teori Tentang Proses Menua (Aging Process)


Penuaaan adalah normal, dengan perubahan fisik maupun tingkah laku yang dapat
diramaikan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap
perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang kompleks
multidimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan berkembang sampai
pada keseluruhan system (Stanley,2006). Tahap dewasa merupakan tahap tubuh
mencapai titik perkembangan yang maksimal setelah tubuh mulai menyusut
dikarenakan berkurangnya jumlah sel-sel yang ada di dalam tubuh.
Sebagai akibatnya,tubuh juga akan mengalami penuruna fungsi secara perlahan-lahan
itulah yang dikatakan proses penuaan (Maryam,2008).
Menurut Maryam, dkk 2008 ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses
penuaan, yaitu : teori biologis,teori psikologi,teori sosial,dan teori spiritual.
1) Teori biologis : Teori biologis mencakup teori genetic dan mutasi, immology slow
theory,teori stress,teori radikal bebs,dan teori rantai silang.
2) Teori psikologis : Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan pula
dengan kekuatan mental dan keadan fungsional yang efektif. Adanya penurunan
dan intelektualitas yang meliputi persepsi,kemampuan kognitif,memori,dan
belajar pada usia lanjut menyebabkan mereka sulit untuk dipahami dan
berinteraksi.
3) Teori sosial : Ada beberapa teori sosial yang berkaitan dengan proses
penuaan,yaitu teori interaksi sosial (social exchange theory), teori penarikan diri,
teori kesinambungan, teori perkembangan, dan teori stratifikasi usia.
4) Teori spiritual : Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada
pengertian hubungan individu dengan alam semesta dan persepsi individu tentang
arti kehidupan.

4. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Proses Menua


Menurut Siti Bandiyah (2009) penuaan dapat terjadi secara fisiologis dan patologis.
Penuaan yang terjadi akan sesuai dengan kronologis usia. Faktor yang mempengaruhi
yaitu nutrisi atau makanan, stress, hereditas atau genetik, pengalaman hidup,
lingkungan, dan status kesehatan (Muhith & Sandu Siyoto 2016).
1. Nutrisi atau Makanan
Mengkonsumsi makan yang mengandung nutrisi berlebih atau pun yang kurang
cukup mengandung asupan nutrisi menggangu keseimbangan reaksi kekebalan
(Muhith & Sandu Siyoto 2016).

2. Stress
Tekanan dalam kehidupan sehari-hari baik lingkungan rumah, pekerjaan, ataupun
masyarakat yang tercermin dalam bentuk gaya hidup akan mempengaruhi proses
penuaan (Muhith & Sandu Siyoto 2016).

3. Hereditas atau Genetik


Kematian sel adalah seluruh program kehidupan yang dikaitkan dengan peran
serta DNA yang penting dalam mekanisme pengendalian fungsi sel. Secara
genetik, laki-laki ditentukan oleh kromosom Y dan perempuan ditentukan oleh
kromosom X. Kromosom X ini ternyata membawa unsur kehidupan sehingga
menjadikan perempuan berumur lebih panjang dari pada laki-laki (Muhith &
Sandu Siyoto 2016).

4. Pengalaman Hidup
a. Mengonsumsi alkohol : alkohol dapat memperbesar pembuluh darah kecil
pada kulit dan menyebabkan peningkatan aliran darah dekat permukaan kulit.
b. Kurang olahraga : olahraga dapat membantu pembentukan otot dan
mempengaruhi lancarnya sirkulasi darah.
c. Paparan sinar matahari : kulit yang tidak terlindungi akan mudah ternoda oleh
flek, kerutan, dan menjadikan kulit kusam (Muhith & Sandu Siyoto 2016).
5. Lingkungan
Proses menua pada umumnya secara bilogik berlangsung secara alami dan tidak
dapat kita hindari, melainkan seharusnya dapat tetap dipertahankan dalam status
sehat jasmani maupun rohani (Muhith & Sandu Siyoto 2016).

6. Status Kesehatan
Penyakit yang selama ini selalu dikaitkan dengan proses penuaan, sebenarnya
bukan disebabkan oleh proses penuaan itu sendiri melainkan disebabkan oleh
faktor luar yang merugikan yang berlangsung tetap dan berkepanjangan (Muhith
& Sandu Siyoto 2016).

5. Perubahan – Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia


(Siti Nur Kholifah, 2016) Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses
penuaan secara degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada
diri manusia, tidak hanya perubahan fisik, tetapi juga kognitif, perasaan, sosial dan
sexual (Azizah dan Lilik M, 2011, 2011).
a. Perubahan Fisik
1) Sistem Indra Sistem pendengaran ; Prebiakusis (gangguan pada pendengaran)
oleh karena hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam,
terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak
jelas, sulit dimengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas 60 tahun.

2) Sistem Integumen : Pada lansia kulit mengalami atropi, kendur, tidak elastis
kering dan berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan
berbercak. Kekeringan kulit disebabkan atropi glandula sebasea dan glandula
sudoritera, timbul pigmen berwarna coklat pada kulit dikenal dengan liver
spot.

3) Sistem Muskuloskeletal Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia :


Jaaringan penghubung (kolagen dan elastin), kartilago, tulang, otot dan sendi..
Kolagen sebagai pendukung utama kulit, tendon, tulang, kartilago dan jaringan
pengikat mengalami perubahan menjadi bentangan yang tidak teratur.
Kartilago: jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan mengalami
granulasi, sehingga permukaan sendi menjadi rata. Kemampuan kartilago
untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung kearah
progresif, konsekuensinya kartilago pada persendiaan menjadi rentan terhadap
gesekan. Tulang: berkurangnya kepadatan tulang setelah diamati adalah
bagian dari penuaan fisiologi, sehingga akan mengakibatkan osteoporosis dan
lebih lanjut akan mengakibatkan nyeri, deformitas dan fraktur. Otot:
perubahan struktur otot pada penuaan sangat bervariasi, penurunan jumlah dan
ukuran serabut otot, peningkatan jaringan penghubung dan jaringan lemak
pada otot mengakibatkan efek negatif. Sendi; pada lansia, jaringan ikat sekitar
sendi seperti tendon, ligament dan fasia mengalami penuaan elastisitas.

4) Sistem kardiovaskuler Perubahan pada sistem kardiovaskuler pada lansia


adalah massa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertropi sehingga
peregangan jantung berkurang, kondisi ini terjadi karena perubahan jaringan
ikat. Perubahan ini disebabkan oleh penumpukan lipofusin, klasifikasi SA
Node dan jaringan konduksi berubah menjadi jaringan ikat.

5) Sistem respirasi Pada proses penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru,
kapasitas total paru tetap tetapi volume cadangan paru bertambah untuk
mengkompensasi kenaikan ruang paru, udara yang mengalir ke paru
berkurang. Perubahan pada otot, kartilago dan sendi torak mengakibatkan
gerakan pernapasan terganggu dan kemampuan peregangan toraks berkurang.

6) Pencernaan dan Metabolisme Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan,


seperti penurunan produksi sebagai kemunduran fungsi yang nyata karena
kehilangan gigi, indra pengecap menurun, rasa lapar menurun (kepekaan rasa
lapar menurun), liver (hati) makin mengecil dan menurunnya tempat
penyimpanan, dan berkurangnya aliran darah.

7) Sistem perkemihan Pada sistem perkemihan terjadi perubahan yang signifikan.


Banyak fungsi yang mengalami kemunduran, contohnya laju filtrasi, ekskresi,
dan reabsorpsi oleh ginjal.
8) Sistem saraf Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan atropi
yang progresif pada serabut saraf lansia. Lansia mengalami penurunan
koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.

9) Sistem reproduksi Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan


menciutnya ovary dan uterus. Terjadi atropi payudara. Pada laki-laki testis
masih dapat memproduksi spermatozoa, meskipun adanya penurunan secara
berangsur-angsur.

b. Perubahan Kognitif
1) Memory (Daya ingat, Ingatan)
2) IQ (Intellegent Quotient)
3) Kemampuan Belajar (Learning)
4) Kemampuan Pemahaman (Comprehension)
5) Pemecahan Masalah (Problem Solving)
6) Pengambilan Keputusan (Decision Making)
7) Kebijaksanaan (Wisdom)
8) Kinerja (Performance)
9) Motivasi

c. Perubahan mental Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental :


1) Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa
2) Kesehatan umum
3) Tingkat pendidikan
4) Keturunan (hereditas)
5) Lingkungan
6) Gangguan syaraf panca indera, timbul kebutaan dan ketulian
7) Gangguan konsep diri akibat kehilangan kehilangan jabatan
8) Rangkaian dari kehilangan , yaitu kehilangan hubungan dengan teman dan
famili
9) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran diri,
perubahan konsep diri
d. Perubahan spiritual
Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya. Lansia semakin
matang (mature) dalam kehidupan keagamaan, hal ini terlihat dalam berfikir dan
bertindak sehari-hari.

e. Perubahan Psikososial
1) Kesepian
Terjadi pada saat pasangan hidup atau teman dekat meninggal terutama jika
lansia mengalami penurunan kesehatan, seperti menderita penyakit fisik berat,
gangguan mobilitas atau gangguan sensorik terutama pendengaran.
2) Duka cita (Bereavement)
Meninggalnya pasangan hidup, teman dekat, atau bahkan hewan kesayangan
dapat meruntuhkan pertahanan jiwa yang telah rapuh pada lansia. Hal tersebut
dapat memicu terjadinya gangguan fisik dan kesehatan.
3) Depresi
Duka cita yang berlanjut akan menimbulkan perasaan kosong, lalu diikuti
dengan keinginan untuk menangis yang berlanjut menjadi suatu episode
depresi. Depresi juga dapat disebabkan karena stres lingkungan dan
menurunnya kemampuan adaptasi.
4) Gangguan Cemas
Dibagi dalam beberapa golongan : fobia, panik, gangguan cemas umum,
gangguan stres setelah trauma dan gangguan obsesif kompulsif, gangguan-
gangguan tersebut merupakan kelanjutan dari dewasa muda dan berhubungan
dengan sekunder akibat penyakit medis, depresi, efek samping obat, atau
gejala penghentian mendadak dari suatu obat.
5) Parafrenia
Suatu bentuk skizofrenia pada lansia, ditandai dengan waham (curiga), lansia
sering merasa tetangganya mencuri barang-barangnya atau berniat
membunuhnya. Biasanya terjadi pada lansia yang terisolasi/diisolasi atau
menarik diri dari kegiatan sosial.
6) Sindroma Diogenes
Suatu kelainan dimana lansia menunjukkan penampilan perilaku sangat
mengganggu. Rumah atau kamar kotor dan bau karena lansia bermain-main
dengan feses dan urin nya, sering menumpuk barang dengan tidak teratur.
Walaupun telah dibersihkan, keadaan tersebut dapat terulang kembali.

6. Penyakit Yang Sering Terjadi Pada Lansia


1) Osteo Artritis (OA)
2) Osteoporosis
3) Hipertensi
4) Diabetes Mellitus
5) Dimensia
6) Penyakit Jantung Koroner
7) Kanker

Masalah Kesehatan yang perlu mendapat perhatian serius pada lanjut usia
adalah Osteoporosis.

B. Konsep Penyakit Osteoporosis


1. Definisi Osteoporosis
Osteoporosis adalah suatu penyakit yang di tandai dengan berkurangnya massa tulang
yang mengakibatkan menurunnya kekuatan tulang dan meningkatnya kerapuhan
tulang, sehingga menyebabkan tulang mudah patah (Gaol, 2020). Dengan begitu,
dapat diartikan bahwa penyakit osteoporosis adalah berkurangnya kepadatan tulang
yang progresif sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Tulang terdiri dari
mineral-mineral seperti kalsium dan fosfat sehingga tulang menjadi keras dan padat.
Jika tubuh tidak mampu mengatur kandungan mineral dalam tulang,mka tulang
menjadi kurang padat dan rapuh sehingga terjadilah osteoporosis.

Kelompok kerja World Health Organisation (WHO) dan konsensus ahli


mendefinisikan osteoporosis sebagai penyakit yang ditandai dengan rendahnya massa
tulang dan memburuknya mikrostruktural jaringan tulang yang menyebabkan
kerapuhan tulang sehingga meningkatkan risiko terjadinya fratur (Zaviera, 2007).
Osteoporosis juga dikenal sebagai suatu penyakit yang tidak dirasakan “Silent
Disease” karena kejadian penurunan massa tulang dapat terjadi bertahun-tahun tanpa
disertai gejala (asimptomatic) (Dr. Syafrida Hiliya Rambe, 2016).
2. Etiologi Osteoporosis
1) Usia
Semua bagian tubuh berubah seiring dengan bertambahnya usia, begitu juga
dengan rangka tubuh. Mulai dari lahir sampai kira-kira usia 30 tahun, jaringan
tulang yang dibuat lebih banyak daripada yang hilang. Seiring dengan
meningkatnya usia, pertumbuhan tulang akan semakin berkurang. Proporsi
osteoporosis lebih rendah pada kelompok lansia dini (usia 55-65 tahun) daripada
lansia lanjut (usia 65-85 tahun). Peningkatan usia memiliki hubungan dengan
kejadian osteoporosis. Jadi terdapat hubungan antara osteoporosis dengan
peningkatan usia.

2) Jenis Kelamin
Jenis kelamin juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya osteoporosis.
Wanita secara 4 signifikan memilki risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya
osteoporosis. Pada osteoporosis primer, perbandingan antara wanita dan pria
adalah 5 : 1. Pria memiliki prevalensi yang lebih tinggi untuk terjadinya
osteoporosis sekunder, yaitu sekitar 40-60%, karena akibat dari hipogonadisme,
konsumsi alkohol, atau pemakaian kortikosteroid yang berlebihan.Secara
keseluruhan perbandingan wanita dan pria adalah 4 : 1.

3) Riwayat Keluarga
Faktor genetika juga memiliki kontribusi terhadap massa tulang. Penelitian
terhadap pasangan kembar menunjukkan bahwa puncak massa tulang di bagian
pinggul dan tulang punggung sangat bergantung pada genetika. Anak perempuan
dari wanita yang mengalami patah tulang osteoporosis rata-rata memiliki massa
tulang yang lebih rendah daripada anak seusia mereka (kira-kira 3-7 % lebih
rendah). Riwayat adanya osteoporosis dalam keluarga sangat bermanfaat dalam
menentukan risiko seseorang mengalami patah tulang.

4) Indeks Massa Tubuh (IMT)


Berat badan yang ringan, indeks massa tubuh yang rendah, dan kekuatan tulang
yang menurun memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap berkurangnya massa
tulang pada semua bagian tubuh wanita.
5) Aktivitas Fisik
Latihan beban akan memberikan penekanan pada rangka tulang dan menyebabkan
tulang berkontraksi sehingga merangsang pembentukan tulang. Kurang aktivitas
karena istirahat di tempat tidur yang berkepanjangan dapat mengurangi massa
tulang. Hidup dengan aktivitas fisik yang cukup dapat menghasilkan massa tulang
yang lebih besar. Itulah sebabnya seorang atlet memiliki massa tulang yang lebih
besar dibandingkan yang non-atlet. Proporsi osteoporosis seseorang yang
memiliki tingkat aktivitas fisik dan beban pekerjaan harian tinggi saat berusia 25
sampai 55 tahun cenderung sedikit lebih rendah 5 daripada yang memiliki
aktivitas fisik tingkat sedang dan rendah.

6) Penggunaan Kortikosteroid
Kortikosteroid banyak digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit, terutama
penyakit autoimun, namun kortikosteroid yang digunakan dalam jangka panjang
dapat menyebabkan terjadinya osteoporosis sekunder dan fraktur osteoporotik.
Kortikosteroid dapat menginduksi terjadinya osteoporosis bila dikonsumsi lebih
dari 7,5 mg per hari selama lebih dari 3 bulan. Kortikosteroid akan menyebabkan
gangguan absorbsi kalsium di usus, dan peningkatan ekskresi kalsium pada ginjal,
sehingga akan terjadi hipokalsemia.

7) Menopause
Wanita yang memasuki masa menopause akan terjadi fungsi ovarium yang
menurun sehingga produksi hormon estrogen dan progesteron juga menurun.

8) Kebiasaan Merokok
Tembakau dapat meracuni tulang dan juga menurunkan kadar estrogen, sehingga
kadar estrogen pada orang yang merokok akan cenderung lebih rendah daripada
yang tidak merokok. Wanita pasca menopause yang merokok dan mendapatkan
tambahan estrogen masih akan kehilangan massa tulang. Berat badan perokok
juga lebih ringan dan dapat mengalami menopause dini ( kira-kira 5 tahun lebih
awal ), daripada nonperokok. Dapat diartikan bahwa wanita yang merokok
memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya osteoporosis dibandingkan wanita
yang tidak merokok.
9) Konsumsi Alkohol
Konsumsi alkohol yang berlebihan selama bertahun-tahun mengakibatkan
berkurangnya massa tulang. Kebiasaan meminum alkohol lebih dari 750 mL per
minggu mempunyai peranan penting dalam penurunan densitas tulang. Alkohol
dapat secara langsung meracuni jaringan tulang atau mengurangi massa tulang
karena adanya nutrisi yang buruk.

10) Riwayat Fraktur


Beberapa penelitian sebelumnya telah menyebutkan bahwa, riwayat fraktur
merupakan salah satu faktor risiko osteoporosis.

3. Klasifikasi Osteoporosis
Osteoporosis terbagi menjadi 2 kelompok yaitu :
1) Osteoporosis primer yang terjadi bukan sebagai akibat penyakit yang lain,yang
dibedakan lagi atas :
a) Osteoporosis tipe I (pasca menopouse), yang kehilangan tulang terutama
dibagian trabekula.
b) Osteoporosis tipe II (senilis), terutama kehilangan Massa tulang daerah
Korteks.
c) Osteoporosis idiopatik yang terjadi pada usia muda dengan penyebab yang
tidak diketahui.

2) Osteoporosis sekunder, yang terjadi pada/akibat penyakit lain, antara lain


hiperparatiroid, gagal jantung kronis, arthritis rematoid dan lain-lain.

4. Manifestasi Klinis
Menurut (Nengse, 2021) Osteoporosis dimanifestasikan dengan :
1) Nyeri dengan atau tanpa fraktur yang nyata
2) Nyeri timbul mendadak
3) Sakit hebat dan terlokalisasi pada vertebra yang terserang
4) Nyeri berkurang pada saat istirahat di tempat tidur
5) Nyeri ringan pada saat bangun tidur dan akan bertambah jika melakukan aktivitas.
6) Deformitas vertebra thorakalis (Penurunan tinggi badan)
5. Patofisiologi
Setelah menopause, kadar hormon estrogen semakin menipis dan kemudian tidak
diproduksi lagi. Akibatnya, osteoblas pun makin sedikit diproduksi. Terjadilah
ketidakseimbangan antara pembentukan tulang dan kerusakan tulang. Osteoklas
menjadi lebih dominan, kerusakan tulang tidak lagi bisa diimbangi dengan
pembentukan tulang. Untuk diketahui, osteoklas merusak tulang selama 3 minggu,
sedangkan pembentukan tulang 11 membutuhkan waktu 3 bulan. Dengan demikian,
seiring bertambahnya usia, tulang-tulang semakin keropos (dimulai saat memasuki
menopause) dan mudah diserang penyakit osteoporosis.

Proses Osteoporosis sendiri di akibatkan faktor faktor berikut yaitu Genetik, gaya
hidup, alcohol, penurunan produksi hormon akibatnya produksi osteoblas semakin
sedikit maka terjadi ketidakseimbangan antara pembentukan tulang dan kerusakan
tulang hal ini menyebabkan osteoklas menjadi lebih dominan dan tidak lagi bisa
diimbangi dengan kerusakan tulang mengakibatkan penurunan masa tulang. Apabila
kerusakan tulang sendi lebih cepat dari kemampuannya untuk memperbaiki diri, maka
terjadi penipisan dan kehilangan pelumas sehingga kedua tulang akan bersentuhan.
Inilah yang menyebabkan rasa nyeri pada sendi. Setelah terjadi kerusakan sendi maka
tulang juga ikut berubah.

6. Komplikasi Osteoporosis
Mobilitas sendi dipengaruhi oleh panjang dan komposisi erat otot. Jika terjadi
imobilisasi, otot pada sendi akan memendek. Memendeknya otot dan penebalan
kartilago akan menyebabkan sendi menjadi kaku dan lansia akan semakin sulit
bergerak. Osteoporosis mengakibatkan tulang secara progresif menjadi panas, rapuh
dan mudah patah. Osteoporosis sering mengakibatkan fraktur. Selain terjadinya
komplikasi imobilitas dapat terjadi juga fraktur kompresi vertebra torakalis dan
lumbalis, fraktur daerah kolum femoris dan daerah trokhanter, dan fraktur colles pada
pergelangan tangan (Lukman, 2009).

7. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologik
Dilakukan untuk menilai densitas massa tulang sangat tidak sensitif. Gambaran
radiologik yang khas pada osteoporosis adalah penipisan korteks dan daerah
trabekuler yang lebih lusen.Hal ini akan tampak pada tulang-tulang vertebra yang
memberikan gambaran picture-frame vertebra.

2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI dalam menilai densitas tulang trabekula melalui dua langkah yaitu pertama
T2 sumsum tulang dapat digunakan untuk menilai densitas serta kualitas jaringan
tulang trabekula dan yang kedua untuk menilai arsitektur trabekula.

3. Biopsi tulang dan Histomorfometri


Merupakan pemeriksaan yang sangat penting untuk memeriksa kelainan
metabolisme tulang.

4. CT-Scan
CT-Scan dapat mengukur densitas tulang secara kuantitatif yang mempunyai nilai
penting dalam diagnostik dan terapi follow up. Mineral vertebra di atas 110
mg/cm3baisanya tidak menimbulkan fraktur vertebra atau penonjolan, sedangkan
mineral vertebra di bawah 65 mg/cm3 ada pada hampir semua klien yang
mengalami fraktur.

5. Pemeriksaan Laboratorium
a) Kadar Ca, P, Fosfatase alkali tidak menunjukkan kelainan yang nyata.
b) Kadar HPT (pada pascamenoupouse kadar HPT meningkat) dan Ct (terapi
ekstrogen merangsang pembentukkan Ct).
c) Kadar 1,25-(OH)2-D3 absorbsi Ca menurun.
d) Eksresi fosfat dan hidroksipolin terganggu sehingga meningkat kadarnya.

8. Penatalaksanaan Medis
1) Penatalaksanaan Farmakoogi
a) Meningkatkan pembentukan tulang, obat-obatan yg dapat meningkatkan
pembentukan tulang adalah Na-fluorida dan steroid anabolic .
b) Menghambat resobsi tulang, obat-obatan yang dapat mengahambat resorbsi
tulang adalah kalsium, kalsitonin, estrogen dan difosfonat.
2) Penatalaksanaan Non Farmakologi
a) Diet
b) Pemberian kalsium dosis tinggi
c) Pemberian vitamin D dosis tinggi
d) Pemasangan penyangga tulang belakang (spinalbrace) untuk mengurangi nyeri
punggung
e) Pencegahan dengan menghindari faktor risiko osteoporosis : Merokok,
mengurangi konsumsi alkohol, berhati-hati dalam aktivitas fisik
f) Penanganan terhadap deformitas serta fraktur yang terjadi

3) Penatalaksanaan Keperawatan :
a) Membantu klien mengatasi nyeri.
b) Membantu klien dalam mobilitas.
c) Memberikan informasi tentang penyakit yang diderita kepada klien.
d) Memfasilitasikan klien dalam beraktivitas agar tidak terjadi cedera.
BAB 11

ASUHAN KEPERAWATAN OSTEOPOROSIS PADA LANSIA

A. Anamnesa
1) Identitas
a) Identitas Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan,
tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register, diagnosa medik, alamat,
semua data mengenai identitas klien tersebut untuk menentukan tindakan
selanjutnya.
b) Identitas Penanggung Jawab
Untuk memudahkan menjadi penanggung jawab klien selama perawatan, data
yang terkumpul meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan
klien dan alamat.

2) Pengkajian
a) Riwayat Kesehatan
Tanyakan keluhan yang dirasakan oleh klien, biasanya pada penderita
osteoporosis adanya rasa nyeri pada sendi-sendi atau sakit di bagian kaki, di
tulang punggung bagian bawah, leher, dan pinggang. Bagaimana gejala awalnya
dan bagaimana klien mengatasinya, apakah ada kekakuan pada tangan atau kaki
dalam beberapa periode / waktu sebelum klien mengetahui dan merasakan adanya
perubahan sendi, adakah riwayat penyakit keturunan dari keluarga, obat-obatan
apa yang sering dikonsumsi oleh klien.

Apakah ada rasa nyeri pada saat digerakkan, ada bengkak atau tidak, ada
kemerahan atau tidak, apakah ada perubahan dalam melakukan aktivitas sehari-
harinya dan apakah ada perasaan khawatir terkait dengan psikososial dan adanya
perubahan tidak terhadap beribadah nya.

3) Pemeriksaan Fisik
Inspeksi persendian untuk masing-masing sisi, amati adanya kemerahan,
pembengkakan, teraba hangat, dan perubahan bentuk (deformitas).
a) Lakukan pengukuran rentang gerak pasif pada sendi. Catat jika terjadi
keterbatasan gerak sendi, krepitasi dan jika terjadinyeri saat sendi digerakkan.
b) Ukur kekuatan otot.
c) Kaji skala nyeri dan kapan nyeri terjadi.

4) Pemeriksaan Penunjang
a) Radiologi
Gejala radiologi yang khas adalah densitas atau massa tulang yang menurun yang
dapat dilihat pada vertebra spinalis.
b) CT Scan
Dapat mengukur densitas tulang secara kuantitatif yang mempunyai nilai penting
dalam diagnostik dan terapi follow up.
B. Pathway
C.
FAKTOR GENETIK FAKTOR MEKANIK

Usia & JK Melemahnya daya serap Merokok, alkohol,


sel terhadap kalsium dari difisiensi vitamin, gaya
darah ke tulang hidup, imobilisasi

Tulang rapuh dan mudah patah


Pengeluaran kalsium
dalam urin meningkat

Fraktur Fraktur Fraktur


Penurunan Tidak tercapainya masa Colles femur patologi
masa tulang tulang yang maksimal

Gangguan ekstremitas atas &


OSTEOPOROSIS
bawah ; pergerakan fragmen
tulang & spasme otot
Collaps Carpus Kompresi fraktur asimtomatis
Vertebra pada vertebra
MK : Hambatan
MK : Nyeri
Mobilitas Fisik
Akut
Terdapat lengkung vertebra Tinggi badan
abnormal (kifosis) menurun Kemampuan
gerak menurun MK : Kurang
Perawatan Diri
Perubahan MK : Gangguan
postur tubuh Citra Tubuh MK : Resiko Cidera
C. Analisa Data

No Analisa Data Etiologi Diagnosa


1. Ds : Faktor Genetik Nyeri Akut
 Klien mengatakan nyeri 
pada sendi di bagian kaki Menopause

Do : Melemahnya daya serap sel
 Wajah klien tampak terhadap kalsium dari darah
meringis ke tulang
 Skala nyeri 8 
 TD : 130/80 mmHg Tidak tercapainya mssa
 N : 88 x/menit tulang yang maksimal
 RR : 20 x/menit 
 S : 36,5°C Penurunan massa tulang

Osteoporosis

Tulang rapuh dan mudah
patah

Fraktur colles

Gangguan pergerakan
fragmen tulang & spasme
otot

Nyeri Akut
2. Ds : Osteoporosis Gangguan Mobilitas
 Klien mengatakan sulit  Fisik
dalam beraktivitas Tulang rapuh dan mudah
patah
Do : 
 Kekuatan otot menurun Fraktur colles
 Rentang gerak (ROM) 
menurun Gangguan pergerakan
 Gerakan terbatas fragmen tulang & spasme
otot

Gangguan Mobilitas Fisik
3. Ds : - Osteoporosis Risiko Cedera

Do : - Tulang rapuh dan mudah
patah

Fraktur colles

Gangguan pergerakan
fragmen tulang & spasme
otot

Kemampuan gerak menurun

Risiko Cedera

D. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal
3. Risiko Cedera berhubungan dengan kegagalan mekanisme pertahanan tubuh

E. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa SLKI SDKI


1 Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri
dengan agen pencedera keperawatan selama 3 x 24 jam, Tindakan
fisiologis maka Tingkat Nyeri menurun Observasi
 Identifikasi lokasi, durasi, intensitas
dengan kriteria hasil : nyeri
 Keluhan nyeri menurun  Identifikasi skala nyeri
 Meringis menurun  Identifikasi faktor yang memperberat
 Frekuensi nadi membaik rasa nyeri
 Identifikasi pengetahuan tentang
nyeri
 Identifikasi pengaruh nyeri pada
kualitas hidup
Terapeutik
 Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi
 Informasikan penggunaan analgetik
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian analgetik
2 Gangguan mobilitas fisik Setelah dilakukan tindakan Latihan Rentang Gerak
berhubungan dengan keperawatan selama 3 x 24 jam, Tindakan
gangguan muskuloskeletal maka Mobilitas Fisik Observasi
meningkat dengan kriteria hasil :  Identifikasi indikasi dilakukan
 Pergerakan ekstremitas latihan
meningkat  Identifikasi keterbatasan pergerakan
 Kekuatan otot meningkat sendi
 Rentang gerak (ROM)  Monitor lokasi ketidaknyamanan
meningkat atau nyeri pada saat bergerak
Terapeutik
 Bantu mengoptimalkan posisi tubuh
untuk pergerakan sendi yang aktif
dan pasif
 Lakukan gerakan pasif dengan
bantuan sesuai indikasi
 Anjurkan pasien untuk melakukan
rentang gerak pasif dan aktif secara
sistematis
 Anjurkan pasien untuk duduk
ditempat tidur atau di kursi
Edukasi
 Ajarkan rentang gerak sesuai dengan
program latihan
 Informasikan tujuan dari latihan
Kolaborasi
 Berikan dukungan positif pada saat
melakukan latihan gerak sendi
4 Risiko Cedera Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Jatuh
berhubungan dengan keperawatan selama 3 x 24 jam, Tindakan
kegagalan mekanisme maka Tingkat Cedera menurun Observasi
pertahanan tubuh dengan kriteria hasil :  Identifikasi faktor risiko jatuh usia
 Toleransi aktivitas >65 tahun
meningkat  Identifikasi faktor lingkungan yang
 Gangguan mobilitas meningkatkan risiko jatuh
menurun  Monitor kemampuan berpindah dari
tempat tidur ke kursi roda dan
sebaliknya
Terapeutik
 Gunakan alat bantu jalan dengan
kursi roda atau walker
Edukasi
 Anjurkan berkonsentrasi untuk
menjaga keseimbangan tubuh
 Anjurkan melebarkan jarak kedua
kaki untuk meningkatkan
keseimbangan saat berdiri

DAFTAR PUSTAKA
BR Simanjuntak, M. V. (2021). Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Risiko Osteoporosis
Pada Lansia. Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan, 1-69.
Gaol, F. L. (2020). Gambaran Tingkat Kecemasan Lansia Penderita Osteoporosis Terhadap
Pemenuhan Kebutuhan Mobilisasi Di Puskesmas Pancur Batu. Politeknik Kesehatan
Kemenkes Medan, 1-19.
Hidayati, R. (2019). Sistem Pakar Untuk Penentuan Terapi Pada Penderita Osteoporosis.
Jurna Informatika Upgris, 1-6.
M.Kes, S. D., Wijayanti, S.Kp., M.Kep., Sp.Kom, H. R., Kuhu, S.K.M., M.P.H., M. M., &
dkk,. (2015). Asuhan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta : Andi Offset.
Nasrullah, D. (2016). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta: Cv. Trans Info Media.
Nengse, E. C. (2021). Asuhan Keperawatan Pada Lansia Tn.A Dengan Masalah Nyeri Akut
Pada Diagnosa Medis Osteoporosis Di Desa Rebalas Grati Kabupaten Pasuruan .
Politeknik Keperawatan Kerta Cendekia, 1-81.
PPNI, T. S. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI, T. S. (2016). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI, T. S. (2016). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Ratnawati. (2017). Konsep Dasar Lansia. Poltekes Jogja, 1-17.
Sari, N. K. (2017). Penyakit Yang Sering Terjadi Pada Lansia. Departemen Ilmu Penyakit
Dalam , 1-11.
Siahaan, S. C. (2019). Faktor - Faktor Terjadinya Osteoporosis Pada Lansia Di Puskesmas
Pancur Batu Kab. Deli Serdang Tahun 2019. Jurusan Keperawatan Poltekkes Negeri
Medan, 1-17.
Tulia, M. E. (2020). Kadar Kalsium Serum Pada Lansia. Program Studi Diploma III Analis
Kesehatan, 1-58.

Anda mungkin juga menyukai