KEPERAWATAN GERONTIK
OLEH :
1018031051
PENDAHULUAN
Tua adalah masa yang utama bagi para lanjut usia. Mulai dari sistem anggota gerak
atas sampai sistem tubuh anggota gerak bawah terjadi perubahan entah itu dari segi
anatomis ataupun segi fisiologis (Christiany, Ongko W dan Febriani, 2010). Masa
lansia mengakibatkan penurunan fisik yang sangat besar di banding masa
sebelumnya. Proses penuaan akan menyebabkan kemunduran kemampuan fisik dan
mental seseorang (Masfufah, 2015).
Dari pengertian tersebut dapat di simpulkan bahwa lansia adalah seseorang yang telah
berusia ≥ 60 tahun, mengalami penurunan fisik dan penurunan kemampuan
beradaptasi, dan tidak berdaya untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari seorang diri
(Ratnawati, 2017). Berdasarkan defenisi secara umum, seseorang dikatakan lansia
apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan
tahap lanjut dari suatu proses kehidupan dengan penurunan kemampuan tubuh untuk
beradaptasi dengan stress lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh
kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres
fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup
serta peningkatan kepekaan secara individu (Efendi,2009).
2. Batasan Lansia
a. Batasan umur lansia menurut World Health Organization (1999) adalah sebagai
berikut :
1) Usia lanjut (Elderly) antara usia 60-74 tahun
2) Usia tua (Old) 75-90 tahun
3) Usia sangat tua (Very Old) adalah usia > 90 tahun
2. Stress
Tekanan dalam kehidupan sehari-hari baik lingkungan rumah, pekerjaan, ataupun
masyarakat yang tercermin dalam bentuk gaya hidup akan mempengaruhi proses
penuaan (Muhith & Sandu Siyoto 2016).
4. Pengalaman Hidup
a. Mengonsumsi alkohol : alkohol dapat memperbesar pembuluh darah kecil
pada kulit dan menyebabkan peningkatan aliran darah dekat permukaan kulit.
b. Kurang olahraga : olahraga dapat membantu pembentukan otot dan
mempengaruhi lancarnya sirkulasi darah.
c. Paparan sinar matahari : kulit yang tidak terlindungi akan mudah ternoda oleh
flek, kerutan, dan menjadikan kulit kusam (Muhith & Sandu Siyoto 2016).
5. Lingkungan
Proses menua pada umumnya secara bilogik berlangsung secara alami dan tidak
dapat kita hindari, melainkan seharusnya dapat tetap dipertahankan dalam status
sehat jasmani maupun rohani (Muhith & Sandu Siyoto 2016).
6. Status Kesehatan
Penyakit yang selama ini selalu dikaitkan dengan proses penuaan, sebenarnya
bukan disebabkan oleh proses penuaan itu sendiri melainkan disebabkan oleh
faktor luar yang merugikan yang berlangsung tetap dan berkepanjangan (Muhith
& Sandu Siyoto 2016).
2) Sistem Integumen : Pada lansia kulit mengalami atropi, kendur, tidak elastis
kering dan berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan
berbercak. Kekeringan kulit disebabkan atropi glandula sebasea dan glandula
sudoritera, timbul pigmen berwarna coklat pada kulit dikenal dengan liver
spot.
5) Sistem respirasi Pada proses penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru,
kapasitas total paru tetap tetapi volume cadangan paru bertambah untuk
mengkompensasi kenaikan ruang paru, udara yang mengalir ke paru
berkurang. Perubahan pada otot, kartilago dan sendi torak mengakibatkan
gerakan pernapasan terganggu dan kemampuan peregangan toraks berkurang.
b. Perubahan Kognitif
1) Memory (Daya ingat, Ingatan)
2) IQ (Intellegent Quotient)
3) Kemampuan Belajar (Learning)
4) Kemampuan Pemahaman (Comprehension)
5) Pemecahan Masalah (Problem Solving)
6) Pengambilan Keputusan (Decision Making)
7) Kebijaksanaan (Wisdom)
8) Kinerja (Performance)
9) Motivasi
e. Perubahan Psikososial
1) Kesepian
Terjadi pada saat pasangan hidup atau teman dekat meninggal terutama jika
lansia mengalami penurunan kesehatan, seperti menderita penyakit fisik berat,
gangguan mobilitas atau gangguan sensorik terutama pendengaran.
2) Duka cita (Bereavement)
Meninggalnya pasangan hidup, teman dekat, atau bahkan hewan kesayangan
dapat meruntuhkan pertahanan jiwa yang telah rapuh pada lansia. Hal tersebut
dapat memicu terjadinya gangguan fisik dan kesehatan.
3) Depresi
Duka cita yang berlanjut akan menimbulkan perasaan kosong, lalu diikuti
dengan keinginan untuk menangis yang berlanjut menjadi suatu episode
depresi. Depresi juga dapat disebabkan karena stres lingkungan dan
menurunnya kemampuan adaptasi.
4) Gangguan Cemas
Dibagi dalam beberapa golongan : fobia, panik, gangguan cemas umum,
gangguan stres setelah trauma dan gangguan obsesif kompulsif, gangguan-
gangguan tersebut merupakan kelanjutan dari dewasa muda dan berhubungan
dengan sekunder akibat penyakit medis, depresi, efek samping obat, atau
gejala penghentian mendadak dari suatu obat.
5) Parafrenia
Suatu bentuk skizofrenia pada lansia, ditandai dengan waham (curiga), lansia
sering merasa tetangganya mencuri barang-barangnya atau berniat
membunuhnya. Biasanya terjadi pada lansia yang terisolasi/diisolasi atau
menarik diri dari kegiatan sosial.
6) Sindroma Diogenes
Suatu kelainan dimana lansia menunjukkan penampilan perilaku sangat
mengganggu. Rumah atau kamar kotor dan bau karena lansia bermain-main
dengan feses dan urin nya, sering menumpuk barang dengan tidak teratur.
Walaupun telah dibersihkan, keadaan tersebut dapat terulang kembali.
Masalah Kesehatan yang perlu mendapat perhatian serius pada lanjut usia
adalah Osteoporosis.
2) Jenis Kelamin
Jenis kelamin juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya osteoporosis.
Wanita secara 4 signifikan memilki risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya
osteoporosis. Pada osteoporosis primer, perbandingan antara wanita dan pria
adalah 5 : 1. Pria memiliki prevalensi yang lebih tinggi untuk terjadinya
osteoporosis sekunder, yaitu sekitar 40-60%, karena akibat dari hipogonadisme,
konsumsi alkohol, atau pemakaian kortikosteroid yang berlebihan.Secara
keseluruhan perbandingan wanita dan pria adalah 4 : 1.
3) Riwayat Keluarga
Faktor genetika juga memiliki kontribusi terhadap massa tulang. Penelitian
terhadap pasangan kembar menunjukkan bahwa puncak massa tulang di bagian
pinggul dan tulang punggung sangat bergantung pada genetika. Anak perempuan
dari wanita yang mengalami patah tulang osteoporosis rata-rata memiliki massa
tulang yang lebih rendah daripada anak seusia mereka (kira-kira 3-7 % lebih
rendah). Riwayat adanya osteoporosis dalam keluarga sangat bermanfaat dalam
menentukan risiko seseorang mengalami patah tulang.
6) Penggunaan Kortikosteroid
Kortikosteroid banyak digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit, terutama
penyakit autoimun, namun kortikosteroid yang digunakan dalam jangka panjang
dapat menyebabkan terjadinya osteoporosis sekunder dan fraktur osteoporotik.
Kortikosteroid dapat menginduksi terjadinya osteoporosis bila dikonsumsi lebih
dari 7,5 mg per hari selama lebih dari 3 bulan. Kortikosteroid akan menyebabkan
gangguan absorbsi kalsium di usus, dan peningkatan ekskresi kalsium pada ginjal,
sehingga akan terjadi hipokalsemia.
7) Menopause
Wanita yang memasuki masa menopause akan terjadi fungsi ovarium yang
menurun sehingga produksi hormon estrogen dan progesteron juga menurun.
8) Kebiasaan Merokok
Tembakau dapat meracuni tulang dan juga menurunkan kadar estrogen, sehingga
kadar estrogen pada orang yang merokok akan cenderung lebih rendah daripada
yang tidak merokok. Wanita pasca menopause yang merokok dan mendapatkan
tambahan estrogen masih akan kehilangan massa tulang. Berat badan perokok
juga lebih ringan dan dapat mengalami menopause dini ( kira-kira 5 tahun lebih
awal ), daripada nonperokok. Dapat diartikan bahwa wanita yang merokok
memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya osteoporosis dibandingkan wanita
yang tidak merokok.
9) Konsumsi Alkohol
Konsumsi alkohol yang berlebihan selama bertahun-tahun mengakibatkan
berkurangnya massa tulang. Kebiasaan meminum alkohol lebih dari 750 mL per
minggu mempunyai peranan penting dalam penurunan densitas tulang. Alkohol
dapat secara langsung meracuni jaringan tulang atau mengurangi massa tulang
karena adanya nutrisi yang buruk.
3. Klasifikasi Osteoporosis
Osteoporosis terbagi menjadi 2 kelompok yaitu :
1) Osteoporosis primer yang terjadi bukan sebagai akibat penyakit yang lain,yang
dibedakan lagi atas :
a) Osteoporosis tipe I (pasca menopouse), yang kehilangan tulang terutama
dibagian trabekula.
b) Osteoporosis tipe II (senilis), terutama kehilangan Massa tulang daerah
Korteks.
c) Osteoporosis idiopatik yang terjadi pada usia muda dengan penyebab yang
tidak diketahui.
4. Manifestasi Klinis
Menurut (Nengse, 2021) Osteoporosis dimanifestasikan dengan :
1) Nyeri dengan atau tanpa fraktur yang nyata
2) Nyeri timbul mendadak
3) Sakit hebat dan terlokalisasi pada vertebra yang terserang
4) Nyeri berkurang pada saat istirahat di tempat tidur
5) Nyeri ringan pada saat bangun tidur dan akan bertambah jika melakukan aktivitas.
6) Deformitas vertebra thorakalis (Penurunan tinggi badan)
5. Patofisiologi
Setelah menopause, kadar hormon estrogen semakin menipis dan kemudian tidak
diproduksi lagi. Akibatnya, osteoblas pun makin sedikit diproduksi. Terjadilah
ketidakseimbangan antara pembentukan tulang dan kerusakan tulang. Osteoklas
menjadi lebih dominan, kerusakan tulang tidak lagi bisa diimbangi dengan
pembentukan tulang. Untuk diketahui, osteoklas merusak tulang selama 3 minggu,
sedangkan pembentukan tulang 11 membutuhkan waktu 3 bulan. Dengan demikian,
seiring bertambahnya usia, tulang-tulang semakin keropos (dimulai saat memasuki
menopause) dan mudah diserang penyakit osteoporosis.
Proses Osteoporosis sendiri di akibatkan faktor faktor berikut yaitu Genetik, gaya
hidup, alcohol, penurunan produksi hormon akibatnya produksi osteoblas semakin
sedikit maka terjadi ketidakseimbangan antara pembentukan tulang dan kerusakan
tulang hal ini menyebabkan osteoklas menjadi lebih dominan dan tidak lagi bisa
diimbangi dengan kerusakan tulang mengakibatkan penurunan masa tulang. Apabila
kerusakan tulang sendi lebih cepat dari kemampuannya untuk memperbaiki diri, maka
terjadi penipisan dan kehilangan pelumas sehingga kedua tulang akan bersentuhan.
Inilah yang menyebabkan rasa nyeri pada sendi. Setelah terjadi kerusakan sendi maka
tulang juga ikut berubah.
6. Komplikasi Osteoporosis
Mobilitas sendi dipengaruhi oleh panjang dan komposisi erat otot. Jika terjadi
imobilisasi, otot pada sendi akan memendek. Memendeknya otot dan penebalan
kartilago akan menyebabkan sendi menjadi kaku dan lansia akan semakin sulit
bergerak. Osteoporosis mengakibatkan tulang secara progresif menjadi panas, rapuh
dan mudah patah. Osteoporosis sering mengakibatkan fraktur. Selain terjadinya
komplikasi imobilitas dapat terjadi juga fraktur kompresi vertebra torakalis dan
lumbalis, fraktur daerah kolum femoris dan daerah trokhanter, dan fraktur colles pada
pergelangan tangan (Lukman, 2009).
7. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologik
Dilakukan untuk menilai densitas massa tulang sangat tidak sensitif. Gambaran
radiologik yang khas pada osteoporosis adalah penipisan korteks dan daerah
trabekuler yang lebih lusen.Hal ini akan tampak pada tulang-tulang vertebra yang
memberikan gambaran picture-frame vertebra.
4. CT-Scan
CT-Scan dapat mengukur densitas tulang secara kuantitatif yang mempunyai nilai
penting dalam diagnostik dan terapi follow up. Mineral vertebra di atas 110
mg/cm3baisanya tidak menimbulkan fraktur vertebra atau penonjolan, sedangkan
mineral vertebra di bawah 65 mg/cm3 ada pada hampir semua klien yang
mengalami fraktur.
5. Pemeriksaan Laboratorium
a) Kadar Ca, P, Fosfatase alkali tidak menunjukkan kelainan yang nyata.
b) Kadar HPT (pada pascamenoupouse kadar HPT meningkat) dan Ct (terapi
ekstrogen merangsang pembentukkan Ct).
c) Kadar 1,25-(OH)2-D3 absorbsi Ca menurun.
d) Eksresi fosfat dan hidroksipolin terganggu sehingga meningkat kadarnya.
8. Penatalaksanaan Medis
1) Penatalaksanaan Farmakoogi
a) Meningkatkan pembentukan tulang, obat-obatan yg dapat meningkatkan
pembentukan tulang adalah Na-fluorida dan steroid anabolic .
b) Menghambat resobsi tulang, obat-obatan yang dapat mengahambat resorbsi
tulang adalah kalsium, kalsitonin, estrogen dan difosfonat.
2) Penatalaksanaan Non Farmakologi
a) Diet
b) Pemberian kalsium dosis tinggi
c) Pemberian vitamin D dosis tinggi
d) Pemasangan penyangga tulang belakang (spinalbrace) untuk mengurangi nyeri
punggung
e) Pencegahan dengan menghindari faktor risiko osteoporosis : Merokok,
mengurangi konsumsi alkohol, berhati-hati dalam aktivitas fisik
f) Penanganan terhadap deformitas serta fraktur yang terjadi
3) Penatalaksanaan Keperawatan :
a) Membantu klien mengatasi nyeri.
b) Membantu klien dalam mobilitas.
c) Memberikan informasi tentang penyakit yang diderita kepada klien.
d) Memfasilitasikan klien dalam beraktivitas agar tidak terjadi cedera.
BAB 11
A. Anamnesa
1) Identitas
a) Identitas Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan,
tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register, diagnosa medik, alamat,
semua data mengenai identitas klien tersebut untuk menentukan tindakan
selanjutnya.
b) Identitas Penanggung Jawab
Untuk memudahkan menjadi penanggung jawab klien selama perawatan, data
yang terkumpul meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan
klien dan alamat.
2) Pengkajian
a) Riwayat Kesehatan
Tanyakan keluhan yang dirasakan oleh klien, biasanya pada penderita
osteoporosis adanya rasa nyeri pada sendi-sendi atau sakit di bagian kaki, di
tulang punggung bagian bawah, leher, dan pinggang. Bagaimana gejala awalnya
dan bagaimana klien mengatasinya, apakah ada kekakuan pada tangan atau kaki
dalam beberapa periode / waktu sebelum klien mengetahui dan merasakan adanya
perubahan sendi, adakah riwayat penyakit keturunan dari keluarga, obat-obatan
apa yang sering dikonsumsi oleh klien.
Apakah ada rasa nyeri pada saat digerakkan, ada bengkak atau tidak, ada
kemerahan atau tidak, apakah ada perubahan dalam melakukan aktivitas sehari-
harinya dan apakah ada perasaan khawatir terkait dengan psikososial dan adanya
perubahan tidak terhadap beribadah nya.
3) Pemeriksaan Fisik
Inspeksi persendian untuk masing-masing sisi, amati adanya kemerahan,
pembengkakan, teraba hangat, dan perubahan bentuk (deformitas).
a) Lakukan pengukuran rentang gerak pasif pada sendi. Catat jika terjadi
keterbatasan gerak sendi, krepitasi dan jika terjadinyeri saat sendi digerakkan.
b) Ukur kekuatan otot.
c) Kaji skala nyeri dan kapan nyeri terjadi.
4) Pemeriksaan Penunjang
a) Radiologi
Gejala radiologi yang khas adalah densitas atau massa tulang yang menurun yang
dapat dilihat pada vertebra spinalis.
b) CT Scan
Dapat mengukur densitas tulang secara kuantitatif yang mempunyai nilai penting
dalam diagnostik dan terapi follow up.
B. Pathway
C.
FAKTOR GENETIK FAKTOR MEKANIK
D. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal
3. Risiko Cedera berhubungan dengan kegagalan mekanisme pertahanan tubuh
E. Intervensi Keperawatan
DAFTAR PUSTAKA
BR Simanjuntak, M. V. (2021). Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Risiko Osteoporosis
Pada Lansia. Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan, 1-69.
Gaol, F. L. (2020). Gambaran Tingkat Kecemasan Lansia Penderita Osteoporosis Terhadap
Pemenuhan Kebutuhan Mobilisasi Di Puskesmas Pancur Batu. Politeknik Kesehatan
Kemenkes Medan, 1-19.
Hidayati, R. (2019). Sistem Pakar Untuk Penentuan Terapi Pada Penderita Osteoporosis.
Jurna Informatika Upgris, 1-6.
M.Kes, S. D., Wijayanti, S.Kp., M.Kep., Sp.Kom, H. R., Kuhu, S.K.M., M.P.H., M. M., &
dkk,. (2015). Asuhan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta : Andi Offset.
Nasrullah, D. (2016). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta: Cv. Trans Info Media.
Nengse, E. C. (2021). Asuhan Keperawatan Pada Lansia Tn.A Dengan Masalah Nyeri Akut
Pada Diagnosa Medis Osteoporosis Di Desa Rebalas Grati Kabupaten Pasuruan .
Politeknik Keperawatan Kerta Cendekia, 1-81.
PPNI, T. S. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI, T. S. (2016). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI, T. S. (2016). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Ratnawati. (2017). Konsep Dasar Lansia. Poltekes Jogja, 1-17.
Sari, N. K. (2017). Penyakit Yang Sering Terjadi Pada Lansia. Departemen Ilmu Penyakit
Dalam , 1-11.
Siahaan, S. C. (2019). Faktor - Faktor Terjadinya Osteoporosis Pada Lansia Di Puskesmas
Pancur Batu Kab. Deli Serdang Tahun 2019. Jurusan Keperawatan Poltekkes Negeri
Medan, 1-17.
Tulia, M. E. (2020). Kadar Kalsium Serum Pada Lansia. Program Studi Diploma III Analis
Kesehatan, 1-58.