Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

“ANAK TUNALARAS , ANAK TUNADAKSA ”

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Pendidikan Jasmani Adaktif

Dosen Pengampu

Siska, S.Si., M.Pd.

Disusun Oleh :

1. Pramuda Fauzan Mustaqimmubin (2202008)


2. Devi Indriani (2202004)

PRODI PENDIDIKAN JASMANI KESEHATAN DAN REKREASI

UNIVERSITAS ROKANIA

PASIR PANGARAIAN

2023/2024

1
KATA PENGANTAR

Puja dan Puji Syukur atas kehadirat Allah S.W.T yang telah melimpahkan Rahmat dan
Karunia_Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah ini yang berjudul
“Anak Tuna Laras, Anak Tuna Daksa”.

Makalah ini berisikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan juga manfaat yang
nantinya diharapkan Makalah ini memberikan informasi kepada kita semua tentang konsep
model keperawatan. Penulis menyadari bahwa Makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu diharapkan demi
kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat sebesar-
besarnya bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umunya, semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kita. Aamiin

Pasir pangaraian ,24 Februari 2024

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................4

A. Latar Belakang..............................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................4
C. Tujuan............................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................5

2.1 Pengertian Tunalaras .......................................................................................... 5


2.2 Teknik Mengenal Anak Tunalaras ..................................................................... 5
2.3 Faktor Penyebab Tunalaras .................................................................................6
2.4 Klasifikasi Tunalaras .......................................................................................... 6
3.1 Pengertian Anak Tunadaksa .................................................................... 7
3.2 Klarifikasi Tunadaksa ............................................................................ 7
3.3 Karakteristik Anak Tunadaksa ................................................................. 8
3.4 Rehabilitasi Anak Tunadaksa ................................................................... 13
BAB III PENUTUP................................................................................................... 16

 KESIMPULAN ............................................................................................ 16
 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 17

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam sistem pendidikan nasional diadakan pengaturan pendidikan khusus yang


diselenggarakan untuk peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan atau mental. Peserta
didik yang menyandang kelainan demikian juga memperoleh pendidikan yang layak,
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang dalam hal ini menyatakan
dengan singkat dan jelas bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”
yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang menyatakan bahwa “Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional,
mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus” Hak masing-masing
warga negara untuk memperoleh pendidikan dapat diartikan sebagai hak untuk memperoleh
pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan yang sekurang-kurangnya setara dengan
pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan tamatan pendidikan dasar. Tentu saja kelainan yang
disandang oleh peserta didik yang bersangkutan menuntut penyelenggaraan pendidikan sekolah
yang lain dari pada penyelenggaraan pendidikan sekolah biasa. Oleh sebab itu, jenis pendidikan
yang diadakan bagi peserta didik yang berkelianan disebut Pendidikan Luar Biasa.

Mencari informasi tentang Anak Tunalaras dan Anak Tunadaksa, dan membagikannya
dengan pembaca. Semoga makalah ini dapet membatu pembaca untuk lebih mengenal Anak
tunalarasdan tunadaksa.

1.3 Rumusan Masalah

a) Bagaimana sejarah olahraga Berenang?


b) Apa saja macam – macam gaya pada olahraga berenang?
c) Apa resiko yang terdapat pada olahraga berenang?
d) Apasaja perlengkapan yang dibutuhkan pada saat melakukan olahraga berenang?

4
BAB I

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tunalaras


Bukan masalah yang sederhana untuk menentukan batasan mengenai anak yang
mengalami gangguan tingkah laku atau lebih dikenal dengan istilah tunalaras. Hingga kini belum
ada suatu defenisi yang dapat diterima secara umum serta memuaskan semua pihak. Kenyataan
batasan atau definisi yang telah dikemukakan oleh profesional dan para ahli yang berkaitan
dengan masalah ini berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang disiplin ilmu masing-masing
untuk keperluan profesionalnya. Namun demikian, hampir semua batasan yang dikemukakan
oleh para ahli menganggap bahwa tunalaras menampakkan suatu perilaku penentangan yang
terus-menerus kepada masyarakat, kehancuran suatu pribadi, serta kegagalan dalam belajar di
sekolah (Somantri, 2006).
Anak tunalaras sering disebut juga dengan anak tuna sosial karena tingkah laku anak
tunalaras menunjukkan penentangan yang terus-menerus terhadap norma-norma masyarakat
yang berwujud seperti mencuri, mengganggu dan menyakiti orang lain (Somantri, 2006).
Definisi anak tunalaras atau emotionally handicapped atau behavioral disorder lebih terarah
berdasarkan definisi dari Eli M Bower (1981) yang menyatakan bahwa anak dengan hambatan
emosional atau kelainan perilaku, apabila menujukkan adanya satu atau lebih dari lima
komponen berikut ini: tidak mampu belajar bukan disebabkan karena faktor intelektual, sensori
atau kesehatan; tidak mampu untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan guru-
guru; bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya; secara umum mereka selalu dalam
keadaan tidak gembira atau depresi; dan bertendensi ke arah simptom fisik seperti merasa sakit
atau ketakutan yang berkaitan dengan orang atau permasalahan di sekolah (Delphie, 2006). Dari
banyak pendapat menurut para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa anak tunalaras adalah anak
yang mengalami hambatan emosi dan tingkah laku sehingga kurang dapat atau mengalami
kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungannya dan hal ini akan
mengganggu situasi belajarnya. Situasi belajar yang mereka hadapi secara monoton akan
mengubah perilaku bermasalahnya menjadi semakin berat (Somantri, 2006).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa anak tunalaras yang dimaksud disini
adalah anak yang mengalami hambatan atau kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap
lingkungan sosial, bertingkah laku menyimpang dari norma-norma yang berlaku dan dalam
kehidupan sehari-hari sering disebut anak nakal sehingga dapat meresahkan atau mengganggu
lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

2.2 Teknik Mengenal Anak Tunalaras


1. Melakukan psikotest
Test untuk mengetahui kematangan sosial dan ganguan emosi.

5
2. Melakukan sosimetri
Test yang di gunakan untuk mengetahui suka tdknya seseorang.
3. Konsultasi ke Biro Konsultasi psikolog
Dengan konsulsasi seseorang yg mengalami ganguan emosi sosial atau tidak bisa diketahui.
4. Konsultasi ke Psikiari Anak
Dengan berkonsultasi dengan psikiaterdiharapkan dapat menetapkan seorang mengalami
kelainan atau tidak sehingga dapat diberikan program rehabilitasi dan terapi bagi mereka yg
mengalami ganguan perilaku.
5. Membandingkan dengan tingkah laku anak umunya.

2.3 Faktor Penyebab Tunalaras


Anak Tunalaras disebabkan oleh aneka faktor antara lain:
1. Kondisi keluarga yg tidak harmonis (broken home).
2. Kurangnya kasih sayang orang tua karena kehadirannya tidak diharapkan.
3. Kemapuan sosial dan ekonomi rendah.
4. Adanya konflik budaya yaitu adanya perbedaan pandangan hidup antara keadaan sekolah dan
kebiasaan keluarga.
5. Berkercerdasan rendah atau kurang dapat mengikuti tuntutan sekolah.
6. Adanya pengaruh negatif dari geng-geng atau kelompok.
7. Adanya ganguan atau kerusakan pada otak (brain damage).
8. Memiliki ganguan kejiwaan bawaan.

2.4 Klasifikasi Tunalaras


Secara garis besar anak tunalaras dapat diklasifikasikan menjadi anak yang mengalami
kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan anak yang mengalami
gangguan emosi. Sehubungan dengan itu, William M.C (1975) mengemukakan kedua klasifikasi
tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Anak yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial:
 The Semi-socialize child
 Children arrested at a primitive level of socialization
 Children with minimum socialization capacity

2. Anak yang mengalami gangguan emosi, terdiri dari:


a. Neurotic behavior
Anak pada kelompok ini masih bisa bergaul dengan orang lain akan tetapi mereka mempunyai
masalah pribadi yang tidak mampu diselesaikannya. Mereka sering dan mudah dihinggapi
perasaan sakit hati, perasaan cemas, marah, agresif dan perasaan bersalah. Disamping juga
kadang mereka melakukan tindakan lain seperti mencuri dan bermusuhan. Anak seperti ini

6
biasanya dapat dibantu dengan terapi seorang konselor. Keadaan neurotik ini biasanya
disebabkan oleh sikap keluarga yang menolak atau sebaliknya, terlalu memanjakan anak serta
pengaruh pendidikan yaitu karena kesalahan pengajaran atau juga adanya kesulitan belajar yang
berat.
b. Children with psychotic processes
Anak pada kelompok ini mengalami gangguan yang paling berat sehingga memerlukan
penanganan yang lebih khusus. Mereka sudah menyimpang dari kehidupan yang nyata, sudah
tidak memiliki kesadaran diri serta tidak memiliki identitas diri. Adanya ketidaksadaran ini
disebabkan oleh gangguan pada sistem syaraf sebagai akibat dari keracunan, misalnya minuman
keras dan obat-obatan.

3.1 Pengertian Anak Tunadaksa

Tunadaksa merupakan suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau
hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat
disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir
(White House Conference, 1931). Tunadaksa sering juga diartikan sebagai suatu kondisi yang
menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot,
sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan dan untuk berdiri
sendiri.

Dari berbagai pengertian di atas dapatkami simpulkan bahwa anak tunadaksa adalah seseorang
yang mengalami kerusakan atau kelainan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya secara
normal sehingga mengakibatkan gangguan pada komunikasi, bersosialisasi, dan berkembang
bagi dirinya.

3.2 Klasifikasi Tunadaksa

Menurut Frances G. Koening, tunadaksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau kerusakan yang merupakan keturunan, meliputi:

 Club-foot (kaki seperti tongkat).


 Club-hand (tangan seperti tongkat).
 Polydactylism (jari yang lebih dari lima pada masing-masing tangan atau kaki).
 Syndactylism (jari-jari yang berselaput atau menempel satu dengan yang lainnya).
 Torticolis (gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke muka).
 Spina-bifida (sebagian dari sumsum tulang belakang tidak tertutup).
 Cretinism (kerdil/katai).
 Mycrocephalus (kepala yang kecil, tidak normal).
 Hydrocepalus (kepala yang besar karena berisi cairan).
 Clefpalats (langit-langit mulut yang berlubang).
 Herelip (gangguan padabibir dan mulut.
 Congenital hip dislocation (kelumpuhan pada bagian paha).

7
 Congenital amputation (bayi yang dilahirkan tanpa anggota tubuh tertentu)
 Fredresich ataxia (gangguan pada sumsum tulang belakang)
 Coxa valga (gangguan pada sendi paha, terlalu besar)
 Syphilis (kerusakan tulang dan sendi akibat penyakit syphilis).

b. Kerusakan pada waktu kelahiran

 Erb’s palsy (kerusakan pada syaraf lengan akibat tertekan atau tertarik waktu kelahiran).
 Fragilitas osium (tulang yang rapuh dan mudah patah).

c. Infeksi:

 Tuberkulosis tulang (menyerang sendi paha sehingga menjadi kaku).


 Osteomyelitis (radang di dalam dan di sekeliling sumsum tulang karena bakteri).
 Poliomyelitis (infeksi virus yang mungkin menyebabkan kelumpuhan).
 Pott’s disease (tuberkulosis sumsum tulang belakang).
 Still’s disease (radang pada tulang yang menyebabkan kerusakan permanen pada tulang)
 Tuberkulosis pada lutut atau pada sendi lain.

d. Kondisi traumatik atau kerusakan traumatik:

 Amputasi (anggota tubuh dibuangakibat kecelakaan).


 Kecelakaan akibat luka bakar.
 Patah tulang.

e. Tumor:

 Oxostosis (tumor tulang).


 Osteosisfibrosa cystica (kista atau kentang yang berisi cairan di dalam tulang).

3.3.1 Ketunadaksaan dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

a. Sebab-sebab yang timbul sebelum kelahiran, yaitu faktor keturunan, trauma dan infeksi
pada waktu kehamilan, usia ibu yang sudah lanjut pada waktu melahirkan anak, pendarahan
pada waktu kehamilan, dan keguguran yang dialami ibu.

b. Sebab-sebab yang timbul pada waktu kelahiran, yaitu penggunaan alat-alat pembantu
kelahiran (seperti tang, tabung, vacum, dll.) yang tidak lancar, serta penggunaan obat bius pada
waktu kelahiran..

c. Sebab-sebab sesudah kelahiran, yaitu infeksi, trauma, tumor.

3.3 Karakteristik Anak Tunadaksa

1. Perkembangan Fisik Anak Tunadaksa

Aspek fisik merupakan potensi yang berkembang dan harus dikembangkan oleh individu. Pada
anak tunadaksa, potensi itu tidak utuh karena ada bagian tubuh yang tidak sempurna. Potensi itu

8
tidak utuh karena ada bagian Secara umum perkembangan fisik anak tunadaksa dapat dikatakan
hampir sama dengan anak normal kecuali bagian-bagian tubuh yang mengalami kerusakan atau
bagian-bagian tubuh lain yang terpengaruh oleh kerusakan tersebut.

2. Perkembangan Kognitif Anak Tunadaksa

Implikasi dalam konteks perkembangan kognitif menurut Gunarsa dalam Efendi (2006:124) ada
empat aspek yang turut mewarnai, yaitu:

a) Kematangan, kematangan merupakan perkembangan susunan saraf misalnya mendengar


yang diakibatkan kematangan susunan sarat tersebut.

b) Pengalaman, yaitu hubungan timbal balik antara organism dengan lingkungan dan
dunianya.

c) Transmisi sosial, yaitu pengaruh yang diperoleh dalam hubungannya dengan lingkungan
sosial.

d) Ekuilibrasi, yaitu adanya kemampuan yang mengatur dalam diri anak.

Untuk mengembangkan fungsi kognitif sebagai alat adaptasi terhadap lingkungan, dapat
dilakukan melalui dua proses yang saling memengaruhi. Proses tersebut yakni asimilasi
(integritas elemen-elemen dari luar terhadap struktur yang sudah lengkap pada organism) dan
akomodasi (proses dimana terjadi perubahan pada subjek agar bisa menyesuaikan terhadap objek
yang ada di luar dirinya).

Tunadaksa di bagi menjadi dua yaitu tunadaksa ortopedi dan tunadaksa saraf, meski keduanya
termasuk dalam tunadaksa yang memiliki gejala kesulitan yang sama, namun jika ditelaah lebih
lanjut terdapat perbedaan yang mendasar. Dari segi kognitif misalnya, wujud konkretnya dapat
dilihat dari angka indeks kecerdasan (IQ). Kondisi ketunadaksaan pada anak sebagian besar
menimbulkan kesulitan belajar dan perkembangan kognitif. Khususnya anak cerebral
palsy, selain mengalami kesulitan dalam belajar dan perkembangan fungsi kognitifnya, mereka
pun seringkali mengalami kesulitan dalam komunikasi, presepsi, maupun control geraknya,
bahkan beberapa penelitian sebagian besar diketahui terbelakang mental (tunagrahita).

1) Klasifikasi Cerebral Palsy

Menurut Bakwin-Bakwin, cerebral palsy dapat dibedakan sebagai berikut:

 Spasticity, yaitu kerusakan pada cortex cerebri yang menyebabkan hiperactive


reflex dan stretch reflex. Spasticity dapat dibedakan menjadi:

ü Paraplegia, apabila kelainan menyerang kedua tungkai.

ü Quadriplegia, apabila kelainan menyerang kedua lengan dan kedua tungkai.

ü Hemiplegia, apabila kelainan menyerang satu lengan dan satu tungkai yang terletak pada
belahan tubuh yang sama.

9
 Athetosis, yaitu kerusakan pada basal banglia yang mengakibatkan gerakan-gerakan
menjadi tidak terkendali dan tidak terarah.
 Ataxia, yaitu kerusakan pada cerebellum yang mengakibatkan adanya gangguan pada
keseimbangan.
 Tremor, yaitu kerusakan pada basal ganglia yang berakibat timbulnya getaran-getaran
berirama, baik yang bertujuan maupun yang tidak bertujuan.
 Rigidity, yaitu kerusakan pada basal ganglia yang mengakibatkan kekakuan pada otot-
otot.

2) Keadaan Intelegensi Anak Tunadaksa

Untuk mengetahui tingkat intelegensi anak tunadaksa dapat digunakan tes yang telah
dimodifikasi agar sesuai dengan anak tunadaksa. Tes tersebut antara lain Hausserman
Test (untuk anak tunadaksa ringan), Illinois Test (The Psycholinguistis Ability), dan Peabody
Picture Vocabulary Test. Lee dalam Soemantri (2007:129) mengungkapkan hasil penelitian yang
menggunakan tes Binet untuk mengukur tingkat intelegensi anak tunadaksa yang berumur antara
3 sampai 16 tahun sebagai berikut:

i. IQ tunadaksa berkisar (range) antara 35-138

ii. Rata-rata (mean) mereka adalah IQ

iii.Klasifikasi tunadaksa yang lain yaitu:

(i)Anak polio mempunyai rata-rata intelegensi yang tinggi yaitu IQ 92

(ii) Anak yang TBC tulang rata-rata IQ 88

(iii) Anak yang cacat kongenital rata-rata IQ 61

(iv) Anak yang spastis rata-rata IQ 69

(v) Anak cacat pada pusat syaraf rata-rata IQ 74

Pada anak cerebal palsy, kelainan yang mereka derita secara langsung menimbulkan kesulitan
belajar dan perkembangan intelegensi. Mereka lebih banyak mengalami kesulitan daripada anak
tunadaksa pada umumnya. Mereka banyak mengalami kesulitan baik dalam komunikasi,
persepsi, maupun kontrol gerak. Hasil pengukuran intelegensi anak cerebral palsy tidak
menunjukkan kurva normal, semakin tinggi IQ semakin sedikit jumlahnya.

3. Perkembangan Bahasa/Bicara Anak Tunadaksa

Setiap manusia memilki potensi untuk berbahasa, potensi tersebut akan berkembang menjadi
kecakapan berbahasa melalui proses yang berlangsung sejalan dengan kesiapan dan kematangan
sensori motoriknya. Pada anak tunadaksa jenis polio, perkembangan bahasa/bicaranya tidak
begitu anak normal, lain halnya dengan anak cerebral palsy. Terjadinya kelainan bicara pada
anak cerbral palsy disebabkan oleh ketidakmampuan dalam kondisi motorik organ bicaranya

10
akibat kerusakan atau kelainan sistem neumotor. Gangguan bicara pada anak cerebral palsy
biasanya berupa kesulitan artikulasi, phonasi, dan sistem respirasi.

Adanya gangguan bicara pada anak cerebral palsy mengakibatkan mereka mengalami problem
psikologis yang disebabkan kesulitan dalam mengungkapkan pikiran, keinginan, atau
kehendaknya. Mereka biasanya menjadi mudah tersinggung, tidak memberikan perhatian yang
lama terhadap sesuatu, merasa terasing dari keluarga dan temannya.

4. Perkembangan Emosi Anak Tunadaksa

Banyak masalah yang muncul sehubungan dengan sikap dan perlakuan anak-anak normal yang
berinteraksi dengan anak-anak tunadaksa. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa usia ketika
ketunadaksaan mulai terjadi turut mempengaruhi perkembangan emosi anak tersebut. Anak
tunadaksa sejak kecil mengalami perkembangan emosi sebagai tunadaksa secara bertahap.
Sedangkan anak yang mengalami ketunadaksaan setelah besar mengalaminya sebagai suatu hal
yang mendadak, disamping anak yang bersangkutan pernah menjalani kehidupan sebagai orang
yang normal sehingga keadaan tunadaksa dianggap sebagai suatu kemunduran dan sulit untuk
diterima oleh anak yang bersangkutan. Dukungan orang tua dan orang-orang di sekelilingnya
merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan emosi anak
tunadaksa. Orang tua anak tunadaksa sering memperlakukan anak-anak mereka dengan sikap
terlalu melindungi, misalnya dengan memenuhi segala keinginannya dan memenuhi secara
berlebihan. Di samping itu ada juga orang tua yang menyebabkan anak-anak tunadaksa
merasakan ketergantungan sehingga merasa takut serta cemas dalam menghadapi lingkungan
yang tidak dikenalnya.

5. Perkembangan Sosial Anak Tunadaksa

Keanekaragaman pengaruh perkembangan yang bersifat negatif menimbulkan resiko bertambah


besarnya kemungkinan munculnya kesulitan dalam penyesuaian diri pada anak tunadaksa.
Sebenarnya kondisi sosial yang positif menunjukkan kecenderungan untuk menetralisasi akibat
keadaan tunadaksa tersebut. Nampak atau tidak nampaknya keadaan tunadaksa itu merupakan
faktor yang penting dalam penyesuaian diri anak tunadaksa dengan lingkungannya, karena hal
itu sangat berpengaruh terhadap sikap dan perlakuan anak-anak normal terhadap anak-anak
tunadaksa.

Sikap orang tua, keluarga, teman sebaya, teman sekolah, dan masyarakat pada umumnya sangat
berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri anak tunadaksa. Dengan demikian akan
mempengaruhi respon sebagian terhadap lingkungannya. Ejekan dan gangguan anak-anak
normal terhadap anak tunadaksa akan menimbulkan kepekaan efektif pada anak tunadaksa yang
tidak jarang mengakibatkan timbulnya perasaan negatif pada diri mereka terhadap lingkungan
sosialnya. Keadaan ini menyebabkan hambatan pergaulan sosial anak tunadaksa. Di jaman yang
sudah demikian maju seperti sekarang ini, keberhasilan seseorang sering diukur dari prestasinya
dan di dalam masyarakat dikenal norma tertentu bagi prestasi individu. Keterbatasan
kemampuan anak tunadaksa seringkali menyebabkan mereka menarik diri dari pergaulan
masyarakat yang mempunyai prestasi yang jauh di luar jangkauannya.

11
Secara umum anak-anak normal menunjukkan sikap yang berbeda terhadap anak-anak tunadaksa
bila dibadingkan dengan sikap mereka terhadap anak-anak normal. Demikian pula hanya sikap
guru. Perbedaan perlakuan ini nampaknya berkaitan dengan refrence group yang berbeda antara
anak normal dan anak tunadaksa.

6. Perkembangan Kepribadian Anak Tunadaksa

Terdapat hal yang tidak menguntungkan bagi perkembangan kepribadian anak tunadaksa, antara
lain:

 Terhambatnya aktivitas normal sehingga menimbulkan perasaan frustasi.


 Timbulnya kekhawatiran orang tua yang berlebihan yang justru akan menghambat
terhadap perkembangan kepribadian anak karena orang tua biasanya cenderung over
protective.
 Perlakuan orang sekitar yang membedakan terhadap anak tunadaksa menyebabkan anak
merasa bahwa dirinya berbeda dengan orang lain.

Hal-hal sebagaimana dijelaskan diatas, efek tidak langsung akibat ketunadaksaan yang dialami
seseorang dapat menimbulkan sifat hargadiri rendah, kurang percaya diri, kurang memiliki
inisiatif, atau mematikan kreatifitasnya. Faktor dominan yang memengaruhi perkembangan
kepribadian atau emosi anak adalah lingkungan. Atas dasar itulah presepsi sosial yang dapat
menjatuhkan perasaan anak tunadaksa akan berpengaruh terhadap self concept-nya. Hal ini
disebabkan sikap belaskasihan dari orang lain sering digunakan oleh tunadaksa.

Hal lain yang menjadi problem penyesuaian anak tunadaksa adalah perasaan bahwa orang lain
terlalu membesar-besarkan ketidakmampuannya. Ketiadaan kesempatan untuk berpartisipasi
praktis menyebabkan anak tunadaksa sukar untuk mengadakan penyesuaian sosial yang baik.
Demikian juga sikap masyarakat, secara langsung atau tidak langsung memiliki pengaruh yang
besar terhadap penyesuaian anak tunadaksa. Sikap masyarakat terhadap anak kondisi ketunaan
yang dialami anak tunadaksa seringkali bertentangan dengan penilaian penderita sendiri.
Konfrontasi antara sikap masyarakat dengan penilaian anak sendiri terhadap ketunaan, dalam
mencari penyelesaiannya terdapat kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:

 Anak tunadaksa mungkin sekali menolak respons lingkungan terhadap dirinya.


 Mungkin pula anak tunadaksa meninggalakan sama sekali penilaian terhadap dirinya.
 Atau mungkin pula anak tunadaksa mencari jalan tengah antara kedua respons di atas.

Berdasarkan latar belakang anak tunadaksa yang mengalami kesulitan dalm proses penyesuaian
sosialnya, berikut ini beberapa petunjuk yang dapat digunakan anak tunadaksa dalam mencapai
proses penyesuaian sosial yang sehat antara lain:

 Hendaknya penderita menghadapi kenyataan secara objektif.


 Menyadari masalah yang dihadapi di dalam interaksi sosial.
 Mengusahakan mendapatkan pengobatan atau terapi semaksimal mungkin.
 Mencari alat bantu atau prothese yang akan membantu meringankan hambatan yang
disebabkan oleh kenetraannya.

12
 Berusaha mendapatkan pendidikan.
 Berupaya memberikan bimbingan dan penyuluhan.
 Berusaha memusatkan perhatian pada kemampuan yang dimiliki.

3.4 Rehabilitasi Anak Tunadaksa

Maksud rehabilitasi disini adalah suatu upaya yang dilakuakan pada penyandang kelainan fungsi
tubuh atau tunadaksa, agar memiliki kesanggupan untuk berbuat sesuatu yang berguna baik bagi
dirinya maupun orang lain. Sebagaimana telah di singgung pada bagian sebelumnya bahwa
kelainan pada fungsi anggota tubuh, baik yang tergolong pada tunadaksa ortopedi maupun
neurologis akan berpengaruh terhadap kemampuan fisik, mental, dan sosial dalam meniti tugas
perkembangannya. Oleh karena itu, tekanan rehabilitasi penderita tunadaksa hendaknya
menitikberatkan kepada aspek-aspek tersebut. Jenis rehabilitasi bagi penyandang tunadaksa
menurut kebutuhannya antara lain:

a) Rehabilitasi Medis

Dalam rehabilitasi medis ada beberapa teknik yang dapat digunakan, antara lain operasi
ortopedi, fisioterapi, actives in daily living (ADL), occupational therapy atau terapi tugas,
pemberian pemberian protease, pemberian alat-alat ortopedi, dan bantuan teknis lainnya.

 Operasi ortopedi dilakukan sebagai usaha untuk memperbaiki salah bentukdan salah
gerak dengan mengurangi atau menghilangkan bagian yang menyebabkan terjadinya
kesalahan bentuk atau gerak.
 Fisioterapi adalah melatih otot-otot bagian badan yang mengalami kelainan, yang
dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan tindakan medis. Dalam latihan ini melibatkan
otot atau gerak secara aktif melalui berbagai kegiatan fisik, latihan berjalan, latihan
keseimbangan, dan lain-lain. Untuk latihan fisioterapi ini sarana dan metode yang
digunakan sangat bervariasi, meliputi pengunaan air (bydrotherapy), penggunaan panas
sinar (thermotherapy), penggunaan listrik (electric therapy), penggunaan gerak-gerak
(kinesiotherapy), atau melalui pemijatan (massage)
 Activities daily living adalah latihan berbagai kegiatan sehari-hari, dengan maksud untuk
melatih penderita agar mampu melakukan gerakan atau perbuatan menurut keterbatasan
kemampuan fisiknya. Latihan kegiatan sehari-hari dapat dikaitkan dengan aktivitas di
lingkunganrumah maupun dalam hubungannya dengan pekerjaan dan kehidupan
sosialnya
 Occupational therapy adalah bentuk usaha atau aktifitas bersifat fisik dan psikis dengan
tujuan membantu penderita tunadaksa agar menjadi lebih baik dan kuat dari kondisi
sebelumnya melalui sejumlah tugas atau pekerjaan tertentu. Sarana yang dapat digunakan
dalam kegiatan terapi tugas ini antara lain melukis, memahat, membuat kerajinan tangan,
menyulam, merajut, untuk melatih kemampuan tangan. Pemberian protease adalah
pemberian perangkat tiruan untuk mengganti bagian-bagian dari tubuh yang hilang atau
cacat, misalnya kaki tiruan, tangan tiruan, mata tiruan, gigi tiruan, dan sebagainya.
Dilihat dari kegunaannya protease bagi penyandang tunadaksa dapat bersifat fungsional

13
(mampu menggantikan funfsi tubuh lain) dan bersifat kosmetik (sebagai pelengkap untuk
menambah kepantasan atau keindahan).
 Perangkat ortopedi adalah perangkat yang berfungsi untuk menguatkan bagian-bagian
tubuh yang lemah atau layu. Perangkat tersebut dapat berupa brance dan spint. Dilihat
dari fungsinya perangkat ortopedi dapat dibagi menjadi:
 Perangkat yang berfungsi sebagai penguat bagian tulang punggung dan badan.
 Perangkat yang berfungsi sebagai penguat bagian-bagian anggota gerak atas.
 Perangkat yang berfungsi sebagai penguat anggota gerak bawah.

Adapun fungsi kedua dari alat tersebut antara lain:

1 Menguatkan dan mengembalikan fungsi.


2 Mencegah agar tidak menimbulkan salah bentuk.
3 Pembatasan gerak.
4 Perbaikan salah bentuk.

b) Rehabilitasi Vokasional

Rehabilitasi vokasional atau karya adalah rehabilitasi penderita kelainan fungsi tubuh bertujuan
member kesempatan anak tunadaksa untuk bekerja. Metode atau pendekatan yang lazim
digunakan dalam rehabilitasi vokasi ini antara lain:

 Counseling, adalah penyuluhan yang bertujuan untuk menumbuhkan keberanian atau


kemauan penderita tunadaksa yang diperoleh setelah lahir, sebeb ada kalanya mereka
tidak memahami jalan keluarnya setelah menderita ketunaan, untuk bangkit kembali.
 Revalidasi, merupakan upaya mempersiapkan fisik, mental, dan sosial anak tunadaksa
untuk memperoleh bimbingan jabatan dan latihan kerja.
 Vocasional guide, adalah pemberian bimbingan kepada penderita tunadaksa dalam
kaitannya pemilihan jabatan yang sesuai dengan kondisinya.
 Vocasional assessment, merupakan penialian terhadap kemampuan penyandang kelainan
melalui sebuah bengkel kerja dalam melakukan berbagai aktivitas keterampilan.
 Team work, adalah kerjasama antar berbagai ahli yang tergabung dalam tim rehabilitasi,
seperti kedokteran, ahli terapi fisik, pekerja sosial, konselor, psikolog, ortopedagog, dan
tenaga ahli lainnya.
 Vocasional training, adalah pemberian kesempatan latihan kerja agar penyandang
tunadaksa mandiri dan produktif, serta berguna bagi masyarakat di sekitarnya.
 Selective placement, adalah penempatan para penyandang tunadaksa pada jabatan setelah
selesai menjalani pendidikan dan latihan selama rehabilitasi.
 Follow up, adalah tindak lanjut yang dilaksanakan setelah penyandang tunadaksa
menempati jabatan pekerjaan.

c) Rehabilitasi Psikososial

Rehabilitasi psikososial adalah rehabilitasi yang dilakukan dengan harapan mereka dapat
mengurangi dampak psikososial yang kurang menguntungkan bagi perkembangan dirinya.
Pelaksanaan rehabilitasi psikososial dalam kaitannya dengan program rehabilitasi yang lain
14
dilakukan secara bersamaan dan terintegrasi. Sasaran yang hendak dicapai dalam program
rehabilitasi psikososial ini secara khusus yaitu:

Meminimalkan dampak psikososial sebagai akibat kelainan yang dideritanya, seperti rendah diri,
putus asa, mudah tersinggung, cemas, lekas marah, dan lain-lain.

Meningkatkan kemampuan dan kepercayaan diri, memupuk semangat juang dalam meraih
kehidupan dan penghidupan yang lebih baik, serta menyadarkan pada tanggungjawab diri
sendiri, keluarga, masyarakat dan Negara.

Mempersiapkan mental penyandang kelainan kelak setelah terjun di masyarakat sehingga dapat
berperan aktif tanpa harus merasa canggung atau terbebani oleh ketunaan atau kelainannya.

15
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa tunadaksa
adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan oleh
berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal akibat luka,
penyakit, atau pertumbuhan yang tidak sempurna sehingga untuk kepentingan pembelajarannya
perlu layanan secara khusus. Seperti juga kondisi ketuntasan yang lain, kondisi kelainan pada
fungsi anggota tubuh atau tunadaksa dapat terjadi pada saat sebelum anak lahir (prenatal), saat
lahir (neonatal), dan setelah anak lahir (postnatal). Insiden kelainan fungsi anggota tubuh atau
ketunadaksaan yang terjadi sebelum bayi lahir atua ketika dalam kandungan, diantaranya
dikarenakan faktor genetik dan kerusakan pada system saraf pusat. Tujuan diselenggarakannya
layanan pendidikan bagi anak tunalaras adalah untuk membantu anak didik penyandang perilaku
sosial dan emosi, agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai
pribadi maupun anggota masyarakat dalam menggalakkan hubungan timbal balik dengan
lingkungan sosial budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam
dunia kerja atau mengikuti pendidikan selanjutnya.

Pendidikan jasmani adaptif merupakan suatu sistem penyampaian layanan yang bersifat
menyeluruh (comprehensif) dan dirancang untuk mengetahui, menemukan dan memecahkan
masalah dalam ranah psikomotor. Hampir semua jenis ketunaan ABK memiliki problim dalam
ranah psikomotor. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa peranan pendidikan jasmani bagi
anak berkebutuhan khusus (ABK) sangat besar dan akan mampu mengembangkan dan
mengkoreksi kelainan dan keterbatasan tersebut, dalam hal ini adalah bagi mereka para
penyandang tunalaras. Anak tunalaras sering disebut juga dengan anak tuna sosial karena
tingkah laku anak tunalaras menunjukkan penentangan yang terus-menerus terhadap norma-
norma masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu dan menyakiti orang lain.
Sehingga dibutuhkan pembelajaran pendidikan jasmani khusus yang harus diterapkan pada
mereka para tunalaras.

16
DAFTAR PUSTAKA

Arma Abdoellah, Prof.,M.sc., (1996): Pendidikan Jasmani Adaptif, Ditjen Dikti, Depdikbud, Jakarta

Bucher, C.A., (1985): Foundations of physical Education and Sport, St.LOUIS: The CV. Mosby
Company.

http://duniapsikologi.dagdigdug.com/cirri-tuna-laras/

http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2008/12/13/anak-tuna-laras/

Dra. Hj. T. Sutjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa, (Bandung: PT. Refika Aditama,
2005), hlm.121

Ibid, hlm. 123-125.

[Ibid, hlm. 129.

17

Anda mungkin juga menyukai