Meode Penelitian Hukum Tugas 1
Meode Penelitian Hukum Tugas 1
NIM : 050968504
Kode/Nama Mata Kuliah: HKUM4306/ Metode Penelitian Hukum
1) Permasalahan 1
Persoalan “bawaan” negara hukum adalah potensi disharmonis regulasi yang mengakibatkan
apa yang disebut Richard Susskind sebagai hyper regulations atau istilah yang kemudian
populer disebut obesitas hukum. Selain meningkatnya peran pengadilan dalam menentukan
validitas setiap regulasi maupun kebijakan negara, ternyata penyusunan regulasi yang
dilakukan secara TSM (tidak terstruktur dan tidak sistematis namun masif) merupakan bom
waktu bagi penyelenggaraan negara hukum yang demokratis. Dengan dianutnya konsepsi
negara hukum yang berarti berujung kepada kepastian hukum, persamaan di hadapan hukum,
dan perlindungan hak asasi manusia akan menjadi ilusi semata apabila tatanan regulasi
mengalami obesitas. Regulasi yang saling tumpang (dan tumbang) tindih (serta menindih)
merupakan faktor akut yang justru melahirkan ke (tidak) pastian hukum, kesenjangan
perlakuan dihadapan hukum, dan alienisasi HAM.
Dalam kurun 2000-2017 terdapat 35.901 peraturan, terdiri 1 UUD yaitu UUD 1945.
Sedangkan jumlah terbanyak adalah Peraturan Daerah (Perda) yaitu sebanyak 14.225 Perda.
Disusul dengan Peraturan Menteri (Permen) sebanyak 11.873 Permen. Dan di tempat ketiga
diduduki peraturan lembaga non kementerian sebanyak 3.163 peraturan. Masih tercatat pula
peraturan peninggalan Penjajah Belanda sebanyak 36 peraturan.Jumlah kuantitas yang
demikian itu tidak berjalan lurus dengan kualitas regulasi, hal ini nampak dari banyaknya
kaidah-kaidah hukum yang timbul dari proses pengujian norma di kekuasaan kehakiman.
Tercatat, hingga Maret 2017 terdapat 802 putusan Mahkamah Konstitusi, 203 putusan
Mahkamah Agung, dan kaidah hukum melalui menafsiran hukum seperti yang terdapat dalam
putusan pengadilan niaga yang berjumlah 168 putusan. Dengan kontur yang demikian itu,
nampak bahwa penerbitan regulasi di Indonesia masih belum sepenuhnya terencana. Apabila
penerbitan regulasi tidak segera diselesaikan maka tentu akan berakibat kontraproduktif
dengan upaya meningkatkan pergerakan dan pertumbuhan ekonomi. Parahnya, problem
ini seolah tidak terselesaikan dari tahun ke tahun sehingga regulasi kian menumpuk dan tak
terkendali meskipun dalam sejarah kebijakan penataan regulasi yang dimaksudkan untuk
mencapai tujuan kesejahteraan kerap dilakukan.
Di sisi lain peran Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
pembentukan perundang-undangan, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 20 Undang-
Undang Dasar 1945 (UUD 1945), seolah tak mampu membendung besarnya keinginan
pembentukan perundang-undangan yang diajukan oleh pemerintah maupun yang rancangan
undang-undang tersebut merupakan inisiatif DPR. Alhasil, fungsi sinkronisasi dan
harmonisasi peraturan perundang-undangan pun tak berjalan optimal. Masing-masing pihak
memiliki argumen yang kuat dalam mempertahankan suatu peraturan dalam daftar Program
Legislasi Nasional (Prolegnas). Prolegnas yang semestinya bisa menciptakan perencanaan
dan arahan yang sistematis dalam program pembangunan hukum nasional, sekaligus menjadi
pintu utama guna menyaring kebutuhan peraturan perundang-undangan yang menjadi aspirasi
sekaligus kebutuhan hukum masyarakat, justru menjadikan faktor ”kepentingan” sebagai
tolak ukur pembentukan regulasi. Akibatnya Kondisi ini akan melahirkan situasi hukum yang
serba multitafsir, konfliktual, dan tidak taat asas. Hal ini juga mengakibatkan lemahnya
efektivitas implementasi regulasi yang pada ujungnya menciptakan tidak harmonisnya antara
satu peraturan dan peraturan yang lain.
Jawaban:
Dalam menentukan pendekatan penelitian yang paling relevan, faktor-faktor seperti tujuan
penelitian, sumber data, dan kompleksitas masalah harus dipertimbangkan. Berdasarkan
wacana tentang "MENEMUKAN FORMULASI DIET REGULASI", pendekatan kualitatif
mungkin paling relevan digunakan karena penelitian ini memerlukan analisis makna dan
implikasi dari regulasi yang saling tumpang dan tindih, serta bagaimana masyarakat
memahami dan menginterpretasikan regulasi. Pendekatan kualitatif dapat membantu dalam
memahami dinamika sosial dan psikologis yang terkait dengan regulasi, serta bagaimana
regulasi mempengaruhi perilaku masyarakat.
2) Permasalahan 2
Setiap negara yang dibentuk, selalu memiliki tujuan. Indonesia salah satunya, dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, menjelaskan tujuan negara Indonesia,
yaitu:
Dari keempat tujuan negara Indonesia, upaya memajukan kesejahteraan umum, merupakan
ide Welfare State (negara kesejahteraan). Dengan begitu, negara mewujudkan kesejahteraan
masyarakat, melalui pemenuhan kebutuhan hidup sandang, pangan dan papan. Tentunya
upaya ini dilakukan dengan meningkatkan pembangunan ekonomi di segala bidang, dengan
mengupayakan peningkatan pendapatan negara.
Indonesia merupakan negara hukum, sesuai Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat dengan UUD NRI 1945). Secara
historis diartikan dalam Penjelasan UUD 1945 (sebelum amandemen), sebagai Negara yang
berdasar atas Hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).
Pemahaman akan konsep negara hukum itu menjadi suatu pandangan bahwa segala tindakan
dalam penyelenggaraan negara haruslah berdasarkan hukum. Hal ini juga dikenal dengan asas
legalitas yang berarti keabsahan tindakan pemerintah harus dilihat dari acuan peraturan
perundang- undangan yang mengatur. Sejarah Singkat Asas Legalitas berawal dari pungutan
Pajak. Di AS dikenal dengan istilah “taxation without representation is robbery” di Inggris
dikenal dengan istilah “no taxation without representation”.
Eksistensi asas legalitas, merupakan aktualisasi dari sistem hukum Eropa Kontinental
“Rechstaat”. Kemudian berdampak pada hadirnya setiap peraturan perundang-undangan
sebagai acuan dari setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan. Secara faktual di
Indonesia, Kementerian Hukum dan HAM RI pada akhir tahun 2016 lalu memberikan
informasi mengenai “obesitas” peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kurang lebih 62
ribu-an peraturan tersebar di berbagai instansi berdampak pada hambatan percepatan
pembangunan.482. Kondisi ini juga memunculkan ketidakpastian hukum dalam
menggunakan suatu peraturan perundang- undangan sebagai dasar hukum oleh pemerintah
dan pemerintah daerah. Pasalnya, ketentuan tersebut bertentangan dengan ketentuan yang
sejajar atau dengan yang lebih tinggi.
Selain itu ada pula undang-undang yang saling bertentangan, sehingga pemerintah daerah
menjadi kebingungan dalam implementasinya. Seperti halnya dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a,
b dan c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan
Mineral Dan Batubara, menentukan: Kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam
memberikan ijin usaha pertambangan (IUP) dan ijin pertambangan rakyat (IPR) serta
pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang kegiatannya berada di wilayah
kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil. Akan tetapi dalam bagian
Lampiran CC. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Energi Dan Sumber Daya Mineral
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, tidak lagi memberikan
kewenangan kepada Kabupaten/Kota dalam mengeluarkan Izin, dan mengalihkan semuanya
ke Pemerintah Daerah Provinsi. Menariknya Undang- Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, tidak mencabut Pasal 8 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara dalam bagian ketentuan penutup. Sehingga memunculkan perdebatan
sampai saat ini di daerah, terkait dengan pemberian kewenangan terhadap ijin galian C, yang
selama ini dilakukan oleh kabupaten/kota.
Jelaskan menurut saudara, berdasarkan latar Belakang diatas pendekatan penelitian
apa yang paling cocok dalam melakukan penelitian tersebut!
Jawaban:
Pendekatan kualitatif cocok digunakan karena penelitian ini memerlukan analisis makna dan
implikasi dari regulasi yang saling tumpang dan tindih, serta bagaimana masyarakat
memahami dan menginterpretasikan regulasi. Pendekatan kualitatif dapat membantu dalam
memahami dinamika sosial dan psikologis yang terkait dengan regulasi, serta bagaimana
regulasi mempengaruhi perilaku masyarakat. Selain itu, pendekatan kualitatif juga dapat
membantu dalam mengidentifikasi dan memahami perbedaan antara tujuan dan implikasi
regulasi yang saling tumpang dan tindih, serta bagaimana masyarakat memahami dan
menginterpretasikan regulasi yang saling tumpang dan tindih.
3) Permasalahan 3
Dimulai dari inisiatif Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), dkk.,
dilakukanlah pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah terhadap UUD 1945. Hasilnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para
Pemohon untuk sebagian, khususnya terkait norma pengujian atau pembatalan Perda
kabupaten/kota. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan 137/PUU-XIII/2015, bertanggal 5
April 2017 tegas menyatakan pengujian atau pembatalan peraturan daerah (Perda)
kabupaten/kota menjadi ranah kewenangan konstitusional Mahkamah Agung.
Inisiatif tersebut dilanjutkan oleh Abda Khair Mufti, dkk yang menguji norma pengujian atau
pembatalan Perda provinsi pada undang-undang yang sama. Dengan mendasarkan pada
pertimbangan hukum Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015, pembatalan Perda provinsi
melalui mekanisme executive review juga dinyatakan Mahkamah Konstitusi bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Hal
demikian tertuang dalam Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016, bertanggal 14 Juni 2017.
Putusan yang menguatkan posisi kewenangan konstitusional Mahkamah Agung tersebut akan
dipastikan memberi perhatian khusus publik terhadap hukum acara yang diterapkan oleh
Mahkamah Agung khususnya mengenai pengujian peraturan perundang-undangan (judicial
review) terhadap undang-undang sebagaimana termaktub dalam Pasal 24 UUD 1945.
Pada prinsipnya, setelah Perubahan UUD 1945, yang berwenang melakukan judicial review
tersebut adalah:
Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 memang tegas menyatakan, “Mahkamah Agung berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
undang-undang”. Dari ketentuan tersebut maka kewenangan Mahkamah Agung mengadili
peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang terhadap Undang- Undang
merupakan perintah langsung dari UUD 1945.
Hingga saat ini, banyak kritik yang timbul khususnya terkait dengan mekanisme beracara
pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung, bahkan sebelum kedua
putusan terkait Perda tersebut menjadi final dan mengikat. Khususnya terkait dengan
konstitusionalitas mekanisme pembatalan Perda baik provinsi maupun kabupaten/kota dan
pengaturan mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh
Mahkamah Agung. Selain itu, tulisan ini bermaksud untuk mengkaji Putusan
30/PUU-XIII/2015 yang menguji ketentuan yang mengatur mekanisme pengujian peraturan
perundang-undangan di Mahkamah Agung seperti yang tercantum dalam Pasal 31A ayat (4)
huruf h Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA).
Jawaban: