Dewi Afifa 23003081 Pert 1 Tunalaras
Dewi Afifa 23003081 Pert 1 Tunalaras
NIM : 23003081
KELOMPOK 5
1. Defenisi
Undang-undang IDEA tahun 2004 mendefinisikan gangguan emosional sebagai kondisi
yang menunjukkan satu atau lebih dari 5 karakteristik berikut ini dalam jangka waktu
yang lama dan pada tingkat yang nyata, sehingga memengaruhi kinerja pendidikan.
1) Ketidakmampuan untuk belajar yang tidak dapat dijelaskan oleh faktor
intelektual, sensorik, atau kesehatan.
2) Ketidakmampuan untuk membangun atau mempertahankan hubungan
interpersonal yang memuaskan dengan teman sebaya dan guru.
3) Jenis perilaku atau perasaan yang tidak pantas dalam keadaan normal.
Contohnya bisa seperti anak-anak dengan gangguan emosional mungkin akan
kesulitan fokus saat belajar karena mereka merasa cemas atau takut tanpa alasan
tertentu. Mereka juga mungkin sulit bersosialisasi dengan teman sekelas dan
guru karena mereka memiliki masalah dalam membentuk hubungan
interpersonal yang baik. Selain itu, mereka mungkin juga mengalami ledakan
emosi secara tiba-tiba tanpa alasan jelas. Dalam hal ini penting bagi kita untuk
memberi dukungan kepada anak-anak dengan gangguan emosional agar mereka
dapat mencapai potensi maksimalnya di sekolah dan hidup sehari-hari.
4) Suasana hati yang tidak bahagia atau depresi secara umum. Depresi merupakan
kondisi ketika seseorang merasa sedih dan putus asa dalam jangka waktu yang
lama sehingga dapat memengaruhi kesehatan mental dan fisiknya. Orang
dengan depresi cenderung kehilangan minat pada aktivitas sehari-hari, sulit
tidur, kurang nafsu makan, serta mudah marah atau lelah.
5) Kecenderungan untuk mengembangkan gejala fisik atau ketakutan yang terkait
dengan masalah pribadi atau sekolah. Gejala fisik tersebut bisa berupa sakit
kepala, sakit perut, mual-muntah, berkeringat berlebihan dan lain-lain.
Sedangkan ketakutan bisa berupa rasa takut gagal dalam ujian sekolah atau
khawatir akan ditolak oleh teman-temannya.
Ketika seseorang mengalami suasana hati yang tidak bahagia atau depresi serta
memiliki kecenderungan untuk mengembangkan gejala fisik ataupun ketakutan
seperti ini maka sangat disarankan agar mencari bantuan dari ahli psikologi
maupun dokter agar dapat memperoleh penanganan yang tepat guna membantu
pemulihan kondisi mereka menjadi lebih baik lagi.
Emosi sosial dan prilaku yang sehat dapat memiliki beberapa ciri-ciri, termasuk:
1) Kemampuan untuk mengendalikan stress: Orang yang memiliki emosi yang
sehat mampu mengendalikan stres dan tidak mudah putus asa.
2) Kesadaran diri yang tinggi: Memiliki kesadaran diri atau self-awareness yang
tinggi merupakan ciri kecerdasan emosional yang baik.
3) Pengendalian diri yang tinggi: Kemampuan untuk mengendalikan diri atau self-
regulation yang tinggi juga merupakan bagian dari kecerdasan emosional yang
baik.
4) Mampu menerima dan mengelola berbagai perasaan: Bisa menerima dan
mengelola berbagai perasaan atau emosi merupakan salah satu ciri mental sehat.
5) Kemampuan menjadi pendengar yang baik: Orang dengan kecerdasan
emosional tinggi mampu menjadi pendengar yang baik.
Dengan memahami dan mengembangkan ciri-ciri ini, seseorang dapat mencapai
kesehatan emosional dan prilaku yang lebih baik.
Penyebab EBD sangat kompleks dan saling terkait. Sebagian besar masalah perilaku
terjadi bersamaan dengan masalah lain, sehingga pengaruh sebab akibat dapat dilihat
dari perspektif biologis dan lingkungan. Menurut Kauffman (2005), penyebab EBD
dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori umum:
1) Anak Individu
Semua perilaku merupakan perpaduan dinamis antara disposisi biologis dan
konteks lingkungan. Beberapa faktor biologis yang diduga berkontribusi
terhadap gangguan emosi atau perilaku adalah: (1) genetika, (2) kerusakan atau
disfungsi otak, (3) nutrisi, (4) biokimia, (5) penyakit fisik atau kecacatan, dan
(6) temperamen (Kauffman, 2005). Masing-masing faktor tersebut dapat
berkontribusi secara individu atau bercampur dengan faktor lainnya untuk
membantu menjelaskan adanya EBD.
2) Keluarga
Berbagai pengaruh, seperti struktur keluarga, status sosial ekonomi, dan gaya
disiplin orang tua, dapat menjadi faktor yang berkontribusi terhadap
perkembangan EBD. Interaksi yang kompleks antara kondisi yang ditunjukkan
oleh indikator sosial demografi dan dinamika keluarga telah terbukti berkorelasi
dengan keberadaan EBD. Indikator-indikator ini termasuk kemiskinan,
ketidakhadiran ayah, perceraian atau perpisahan, dan hubungan keluarga yang
tidak harmonis (Rutter, 1985). Namun, para peneliti menunjukkan bahwa
meskipun faktor-faktor ini dapat meningkatkan risiko untuk mengembangkan
EBD, mereka mungkin tidak menjadi penyebabnya (Kauffman, 2005).
3) Sekolah
Ada beberapa faktor yang ditemukan di sekolah yang dapat berkontribusi
terhadap keberadaan EBD. Para peneliti mengindikasikan adanya korelasi yang
kuat antara prestasi akademik yang buruk dan adanya EBD. Perilaku yang tidak
teratur dan prestasi akademik yang buruk dapat mengakibatkan kon- disi sosial
yang dapat memupuk lebih banyak perilaku yang tidak diinginkan. Kauffman
(2005) menyarankan enam cara yang dapat dilakukan sekolah untuk
berkontribusi terhadap kegagalan akademik dan perilaku tidak teratur, yaitu:
a. ketidakpekaan terhadap individualitas siswa,
b. ekspektasi yang tidak sesuai untuk siswa,
c. manajemen perilaku yang tidak konsisten,
d. instruksi dalam keterampilan yang tidak fungsional dan tidak relevan,
e. kontingensi penguatan yang buruk, dan
f. model perilaku sekolah yang tidak diinginkan.
Selain itu, sulitnya menemukan guru yang berkualitas untuk siswa dengan ABK
memberikan tekanan yang sangat besar bagi personil distrik untuk memberikan
pengajaran yang berkualitas kepada siswa-siswa yang seringkali paling sulit
untuk dikelola dan juga paling sulit untuk diajar. Kekurangan guru yang kronis
dalam pendidikan khusus dan fakta bahwa banyak guru yang tidak memiliki
perlengkapan yang memadai dan tidak memenuhi syarat, terutama di bidang
EBD (Blake dan Monahan, 2007; Hampton dan Hess-Rice, 2003), dapat
mengganggu pengajaran berkualitas tinggi yang diperlukan dalam pengajaran
akademik dan pembelajaran sosial dan emosional.
4) Budaya
Selain faktor budaya yang mempengaruhi perilaku siswa dalam keluarga dan
sekolah, standar dan nilai dari budaya yang lebih besar di mana mereka tinggal
juga dapat berpengaruh. Pengaruh budaya populer dengan iklan, media massa,
videogame, dan film kekerasan dapat berperan dalam meningkatkan perilaku
yang tidak pantas (Coyne et al., 2006). Budaya kelompok teman sebaya,
komunitas, etnis, dan kelas sosial adalah faktor-faktor yang juga dapat
mempengaruhi perkembangan gangguan perilaku. Jarang sekali perkembangan
EBD dikaitkan dengan satu penyebab tertentu. Sebagian besar masalah perilaku
yang signifikan, seperti EBD, disebabkan oleh kombinasi faktor yang terjadi
pada banyak tingkatan dan lokasi. Fisiologi, pengasuhan, pengajaran, dan
budaya semuanya dapat berperan dalam perkembangan suatu gangguan, tetapi
harus dipertimbangkan secara unik untuk setiap individu.
Smith S W and Taylor G G (2010), Educating Students with Emotional and Behavioral
Disorders. In: Penelope Peterson, Eva Baker, Barry McGaw, (Editors), International
Encyclopedia of Education. volume 2, pp. 678-687. Oxford: Elsevier
Mahabbati Aini. 2006. Identifikasi Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku di Sekolah
Dasar. Yogyakarta