Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kecerdasan intelegensia bukanlah faktor yang paling menentukan keberhasilan dalam
hidup seseorang. Kecerdasan emosional sudah terbukti lebih berperan dalam kesuksesan dan
kesejahteraan seseorang. Pengembangan kecerdasan emosi seorang anak haruslah dimulai sejak ia
masih dalam kandungan ibundanya. Masa emas perkembangan emosi anak terjadi pada usia lahir
sampai usia pra-sekolah, dan dilanjutkan hingga ia memasuki kehidupan sekolah dasar. Anak yang
cerdas secara emosi, mempunyai modal besar untuk mandiri, mampu beradaptasi dengan situasi
baru dan bertahan dalam berbagai situasi yang sulit.
Mengingat bahwa banyak orang tua yang saat ini mempercayakan anaknya untuk dididik di
Kelompok Bermain ataupun Taman Kanak-kanak, maka tentu saja guru di lembaga pendidikan
tersebut hams memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk mengembangkan aspek sosial
emosional anak. Guru yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam mengembangkan aspek
sosial emosional anak, akan lebih mudah dalam mengantar anak menuju kemandiriannya.
Perkembangan sosial emosional anak merupakan salah satu aspek penting yang perlu
diperhatikan oleh guru anak usia dini (termasuk guru Taman Kanak-kanak) untuk membantu
perkembangan anak dengan optimal. Perkembangan sosial emosional ini mencakup berbagai
dimensi yang cukup luas, yang pemantauan dan pengembangannya tidak semudah aspek bahasa,
kognitif atau kemampuan dasar lain. Oleh karena itu, guru anak usia dini perlu mendapatkan bekal
yang komprehensif tentang perkembangan sosial emosional anak, sekaligus cara
mengembangkannya.

B. Rumusan masalah

1
BAB II
PEMBAHASAN

1. PERMASALAHAN EMOSI PADA ANAK USIA TAMAN KANAK-KANAK


Pada dasarnya fondasi emosi yang sehat dibangun atas dasar penerimaan dan penghargaan
terhadap dirinya. Perwujudan dari perasaan ini, yang paling awal adalah anak dapat merasakan kasih
sayang dari orang-orang terdekatnya. Jika anak kehilangan perasaan ini maka sulit baginya untuk
memiliki emosi yang sehat. Banyak bukti-bukti riset yang menemukan pokok pangkal timbulnya
permasalahan emosi adalah kurangnya kasih sayang atau sentuhan afeksi. Untuk lebih jelasnya
uraian tersebut dapat kita ikuti dalam pembahasan sebagai berikut.

A. KEKURANGAN AFEKSI
Afeksi dapat meliputi perasaan kasih sayang, rasa kehangatan, dan persahabatan yang
ditunjukkan pada orang lain. Setiap orang mempunyai kebutuhan untuk memberi dan menerima
afeksi. Saat yang paling penting dalam pemenuhan kebutuhan afeksi itu adalah pada masa
kanak-kanak. Dari berbagai penelitian ditemukan bahwa kurangnya afeksi pada masa bayi dan
anak dapat membahayakan perkembangan. Gangguan yang ditimbulkan akibat dari kurang
afeksi, dapat berupa hal-hal berikut ini.
1. Perkembangan fisik yang terlambat, dapat menyebabkan anak depresi, akibatnya terjadi
hambatan sekresi (pengeluaran) hormon pituitary, yaitu hormon yang berfungsi, antara lain
mengatur metabolisme dan pertumbuhan perkembangan badan sehingga perkembangan fisik
anak terganggu.
2. Gagap atau mengalami gangguan bicara.
3. Sulit konsentrasi dan mudah teralih perhatiannya.
4. Sulit mempelajari bagaimana membina hubungan dengan orang lain.
5. Mereka sering kali tampak agresif dan nakal.
6. Kurangnya minat terhadap orang lain, menarik diri, egois, dan penuntut.
7. Pada taraf berat dapat menyebabkan gangguan j iwa.

B. ANXIETY (CEMAS)
Anxieties atau cemas adalah rasa takut pada sesuatu tanpa sebab yang jelas, yang sering
kali berlangsung lama. Biasanya rasa takut ini juga disertai oleh kegelisahan dan dugaan-dugaan
akan terjadinya hal-hal buruk, seperti kematian, atau kecelakaan. Pada anak, rasa cemas
biasanya terjadi saat ia berusia sekitar 3 tahun, bentuknya bisa berupa cemas kehilangan kasih
sayang orang tua, cemas akan mengalami rasa sakit, cemas karena merasa berbeda dengan orang
lain, atau mengalami kejadian yang tidak menyenangkan.
Akibat dari kecemasannya, kemampuan, dan potensi anak sering kali tidak berfungsi secara
optimah Penyebab utama kecemasan adalah kurangnya rasa aman. Berikut sumber-sumber yang

2
menimbulkan rasa tidak aman pada anak.
1. Pendidik yang tidak konsisten. Hal ini dapat membuat anak merasa kehidupan sebagai
sesuatu yang tidak dapat diduga dan menakutkan.
2. Orang tua yang terlalu menuntut kesempurnaan atas prestasi anak.
3. Tidak adanya batasan atau aturan yang jelas dari orang tua, mana yang boleh dan tidak boleh,
mana yang buruk dan yang baik. Kecemasan muncul karena anak tidak dapat menentukan
batasan sendiri dalam bertingkah laku.
4. Kritik yang berlebihan dari orang tua atau orang dewasa lain dan kelompok sebaya.
5. Seringnya anak diingatkan mengenai tugas dan tanggung jawabnya apabila ia dewasa kelak.
6. Merasa bersalah. Ini biasanya karena anak membayangkan hukuman yang akan diterimanya.
7. Model dari orang tua. Orang tua yang pencemas sering kali mempunyai anak yang pencemas
pula karena anak belajar dari orang tuanya bagaimana peran orang tua secara umum
memandang kehidupan.
8. Frustrasi yang terus-menerus.

Adapun upaya yang dapat dilakukan pendidik untuk menangani anak yang cemas, di
antaranya seperti hal-hal berikut.
1. Menenteramkannya, anak pencemas butuh ditenteramkan oleh orang dewasa yang tenang.
Oleh karena itu, orang tua harus tetap tenang bila anak gelisah, rewel, menangis, pucat atau
panik. Anak akan merasa aman apabila kecemasannya diperhatikan dan tidak disalahkan
karena tingkah lakunya yang tampak bodoh.
2. Mencoba untuk mengalihkan perhatian anak dari hal-hal atau bayangan-bayangan yang
membuatnya cemas.
3. Tidak mendesak anak untuk memberikan penjelasan. Desakan orang tua tentang suatu
masalah sering kali membuat anak merasa tidak dimengerti.
4. Ajaklah anak untuk melakukan relaksasi. Sebelum melakukan relaksasi, anak harus
dikenalkan pada hal-hal yang membuatnya cemas. Dengan menarik napas dalam-dalam,
menghembuskan napas secara perlahan sambil berkata "Tenang", atau "Semua akan beres",
anak telah melakukan relaksasi yang termudah.
5. Melakukan hal-hal yang menenangkan, seperti mendengarkan musik, menggambar, atau
membaca ketika merasa cemas.
6. Membiasakan anak mengekspresikan perasaannya melalui permainan atau cerita.
7. Meminta bantuan ahli bila kecemasan anak berlarut-larut.

C. HIPERSENSITIVITAS
Hypersensitivities adalah kepekaan emosional yang berlebihan dan cukup sering
dijumpai pada anak-anak. Anak dikatakan hypersensitive apabila ia mudah sekali merasa sakit
hati dan menunjukkan respons yang berlebihan terhadap sikap dan perasaan orang lain. Anak
yang hypersensitive tidak bisa menerima penilaian, komentar, dan kritik orang lain tanpa rasa

3
sakit hati.
Penyebab tumbuhnya sikap hypersensitive di antaranya karena anak merasa kurang
atau tidak sama dengan orang lain. Anak merasa dirinya tidak sepandai, semenarik atau
sepopuler anak-anak lain. Apabila seorang anak secara mendasar merasa kurang atau tidak sama
dengan orang lain maka ia akan merasa sangat terganggu oleh kritik-kritik yang dilontarkan
padanya.
Adapun langkah yang dapat dilakukan pendidik dalam menangani anak hipersensitif di
antaranya sebagai berikut.
1. Menghindari sikap overprotective terhadap anak, sebaliknya orang tua hendaknya
menguatkan diri dalam menghadapi lingkungan sosial yang memang penuh dengan beragam
sifat manusia.
2. Dalam proporsi yang wajar anak perlu diperkenalkan pada kritik. Namun, harus diingat
sebaiknya pendidik tidak mengritik anak dengan cara merendahkan dirinya, tetapi
bangkitkan semangatnya untuk memperbaiki diri.
3. Pendidik hendaknya mengajarkan anak untuk memandang dirinya secara proporsional.
Tidak melebih-lebihkan segi positifhya, tidak juga menyepelekan kekurangannya.
4. Selain itu pendidik sebaiknya mengajarkan keterampilan untuk mengatasi masalah pada
anak.

D. FOBIA
Fobia adalah perasaan takut yang irasional terhadap suatu objek yang sebenaraya tidak
berbahaya atau tidak menyeramkan. Jadi, tidak ada sumber bahaya yang mengancam secara
nyata. Fobia merupakan suatu gangguan psikologis yang perlu diatasi, terutama bila
intensitasnya sangat kuat sehingga mengganggu kelancaran kehidupan sehari-hari.
Fobia terdiri dari aspek emosi dan tingkah laku. Jadi, penderita fobia biasanya merasakan
takut yang amat sangat terhadap suatu objek, kemudian menjerit, lalu berlari, mengunci diri di
kamar, atau menampilkan tingkah laku ketakutan. Penderita tidak mampu menahan atau
mengendalikan dirinya agar tidak melakukan tingkah laku tersebut.
Ada lima jenis fobia yang sering ditemui pada anak-anak :
1. Fobia terhadap ruang terbuka (Agoraphobia)
2. Fobia terhadap ruang tertutup (Claustrophobia)
3. Fobia terhadap tempat yang tinggi (Acrophobia)
4. Fobia terhadap tempat kotor dan infeksi akibat kuman (Mysophobia)
5. Fobia terhadap suatu benda, misalnya karet gelang, binatang atau serangga tertentu
(Photophobia).

E. FAKTOR PENYEBAB TIMBULNYA PERMASALAHAN EMOSI


Reynold (1987) mengemukakan beberapa faktor yang dapat
menyebabkan permasalahan emosi pada anak adalah sebagai berikut.

4
1. Latar belakang keluarga yang kasar.
2. Perasaan tertolak secara fisik ataupun emosional oleh pihak orang tua. Anak yang tidak
diinginkan biasanya merasakan perasaan ini.
3. Orang dewasa yang belum dewasa dan memiliki kematangan yang cukup untuk melakukan
pengasuhan anak.
4. Kehilangan terlalu dini untuk merasakan kedekatan dengan orang yang disayangi.
5. Orang tua yang tidak mampu mencintai anaknya, disebabkan mereka pun tidak pernah
merasakan kasih sayang.
6. Perasaan cemburu yang berlebihan dan tidak ditangani dengan baik, tatkala ia mendapatkan
adik baru dan merasa kehilangan kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya.
7. Situasi baru di mana anak belum siap dalam menghadapi dan tidak menemukan pasangan
yang cocok untuk menemaninya.
8. Mendapat gertakan, gangguan, dan ketidakramahan dari anak yang lain.
9. Cacat fisik atau memiliki postur tubuh yang berbeda dengan anak lain, jika tidak ditangani
dengan baik dapat menjadi gangguan emosional.

II. PERMASALAHAN SOSIAL PADA ANAK USIA TAMAN KANAK-KANAK


A. PERMASALAHAN PERILAKU SOSIAL
Beberapa permasalahan sosial yang biasa dihadapi oleh anak usia TK di antaranya adalah
berikut ini.
1. Maladjustment
Individu yang penyesuaian dirinya buruk disebut maladjustment. Anak yang demikian,
sering disebut sebagai anak yang bermasalah. Ada dua jenis maladjustment, yaitu sebagai
berikut :
a. Anak puas terhadap tingkah lakunya, tetapi lingkungan sosial tidak dapat menerima.
b. Tingkah laku diterima lingkungan sosial, tetapi menimbulkan konflik yang
berkepanjangan pada anak, misalnya anak berpenampilan sopan, ramah, dan memiliki
segala perilaku yang dapat diterima oleh lingkungan, padahal itu bukan tingkah laku yang
sebenarnya ingin ia tampilkan.
Adapun beberapa ciri yang biasa muncul pada anak dengan
maladjustmen di antaranya sebagai berikut.
1) Menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan yang berlebihan.
2) Sering tampak depresi dan jarang tersenyum atau bercanda.
3) Suka mencuri benda-benda kecil walaupun sering dihukum.
4) Sering tenggelam dalam lamunan.
5) Sering bertengkar dengan anak yang lebih kecil, tempat ia bisa menunjukkan kekuasaan.
6) Merasa diperlakukan tidak adil, misalnya dihukum lebih banyak dibanding anak lain.
7) Sangat cemas terhadap penampilan diri.
8) Tidak mampu mengubah tingkah laku yang salah walaupun sering dimarahi /dihukum.

5
9) Suka berbohong.
10) Sulit mengambil keputusan.
11) Melawan terhadap setiap bentuk otoritas.
12) Ngompol yang berkelanjutan.
13) Berkata atau mengancam mau bunuh diri.
14) Sering merusak.
15) Membadut untuk menarik perhatian.
16) Menyalahkan orang lain atau mencari alasan bila ditegur.
17) Suka mengadu untuk mendapat perhatian orang dewasa.
2. Egosentrisme
Seseorang dikatakan egosentris apabila lebih peduli terhadap dirinya sendiri daripada
orang lain. Mereka lebih banyak berpikir dan bicara mengenai diri sendiri dan aksi mereka
semata-mata untuk keuntungan pribadi. Umumnya, anak-anak masih egosentris dalam
berpikir dan berbicara. Hal ini bisa merugikan diri dan sosial jika berkelanjutan. Pada
umumnya begitu anak memasuki dunia sekolah, egosentrisme sedikit demi sedikit mulai
berkurang.
Tiga hal yang mendasari egosentrisme, yaitu berikut ini.
Pertama, merasa superior. Anakyang merasa superior, biasanya egosentris dan
berharap orang menunggunya, memuji sepak terjangnya, dan diberi peran pimpinan. Mereka
menjadi sok berkuasa, tidak peduli terhadap orang lain, tidak mau bekerja sama, dan sibuk
bicara mengenai diri sendiri.
Kedua, egosentrisme karena merasa inferior. Individu akan memfokuskan semua
permasalahan terhadap diri sendiri karena merasa tidak berharga di dalam kelompok. Anak
yang demikian, biasanya mudah dipengaruhi dan selalu mau disuruh orang lain. Oleh karena
selalu merasa bahwa andil mereka dalam kelompok sangat kecil maka sering kali mereka
justru diabaikan. Namun, bukan berarti mereka tidak disukai.
Ketiga, egosentrisme karena merasa menjadi korban. Perasaan tidak diperlakukan
secara adil membuat mereka marah kepada semua orang. Akibatnya, keinginan mereka
untuk ikut andil dalam kelompok sangat kecil dan kelompok cenderung mengabaikan
mereka. Apabila mereka menunjukkan kemarahannya secara agresif maka kelompok akan
menolaknya.
3. Anak yang Terisolasi
Isolated child merupakan anak yang terisolasi dari lingkungannya. la mengalami
masalah penerimaan sosial. Hal ini dapat terjadi karena sikap dan perilaku anak yang kurang
disukai teman-temannya atau anak sendiri yang tidak suka melakukan interaksi sosial, dan
menjalin hubungan pertemanan. Untuk mengidentifikasi anak yang mengalami masalah
penerimaan sosial, kita dapat melakukan sosiometri untuk menemukan kedudukan anak di
tengah teman-temannya. Dengan sosiometri ini guru akan menemukan siapakah anak yang
paling disukai dan yang paling tidak disukai. Dengan demikian, guru dapat menemukan anak

6
bermasalah dan perlu membimbingnya.
Adapun kategori penerimaan anak dalam lingkungan sosial sebagaimana yang
dikemukakan Hurlock (1978 ) adalah sebagai berikut.
a. Star, yaitu anak yang disenangi oleh lingkungan temannya sehingga populer.
b. Accepted, yaitu anak yang cukup dapat diterima lingkungan temannya sehingga cukup
populer.
c. Climber, yaitu anak yang berusaha untuk diterima oleh lingkungan teman sebayanya
dengan mengikuti keinginan/peraturan lingkungan. Anak di sini selalu takut apabila
tidak mengikuti akan kehilangan teman.
d. Finger (pinggiran). Anak seperti golongan climber, tetapi lebih takut tidak diterima.
e. Ineglected, yaitu anak yang ditolak lingkungan sebab mereka pemalu,menolak atau
membuat ulah yang negatif.
f. Isolate, yaitu anak yang terisolasi dari lingkungan teman sebayanya karena tidak ada
motivasi dalam diri anak itu untuk bergaul atau anak tidak menarik bagi lingkungannya.
4. Agresif
Agresif merupakan tingkah laku menyerang baik secara fisik maupun verbal atau baru
berupa ancaman yang disebabkan adanya rasa permusuhan. Tingkah laku ini sering kali
muncul sebagai reaksi terhadap frustrasi, misalnya karena dilarang melakukan sesuatu.
Agresi juga sering timbul karena tingkah laku agresif yang sebelumnya mengalami
penguatan. Hal ini terjadi karena ada beberapa keluarga di mana anak agresif justru dihargai.
Selain itu, tingkah laku orang tua sering dicontoh oleh anak. Biasanya tingkah laku yang
muncul pada anak dapat marah secara verbal maupun menyerang, temper tantrum, dan
merusak.
5. Negativisme
Negativisme adalah perlawanan terhadap tekanan dari pihak lain untuk berperilaku tertentu.
Perilaku ini biasanya dimulai pada anak usia dua tahun dan mencapai puncaknya antara usia
tiga sampai enam tahun. Ekspresi fisiknya mirip dengan ledakan kemarahan, namun secara
bertahap berubah menjadi penolakan secara lisan untuk menuruti perintah. Masa ini biasa
juga disebut sebagai masa "berkata tidak" karena hampir semua permintaan dijawab anak
dengan berkata "tidak". Negativisme ini akan menjadi masalah yang berarti jika orang
dewasa kurang memahami kelaziman masa ini. Masa ini akan berakibat buruk jika orang
dewasa memperlakukan anak dengan paksaan, tekanan ataupun menegurnya dengan
kata-kata celaan atau hardikan yang justru akan memperburuk keadaan.
6. Pertengkaran
Pertengkaran merupakan perselisihan pendapat yang mengandung kemarahan. Perilaku ini
umumnya dimulai apabila seseorang melakukan penyerangan terhadap orang lain yang tidak
beralasan.

7
7. Mengejek dan Menggertak
Mengejek merupakan serangan secara lisan terhadap orang Iain, sedangkan
menggertak merupakan serangan yang bersifat fisik. Dengan dua perilaku ini si
penyerang melampiaskan dendamnya dan menyaksikan ketidakenakan korban
akibat perilakunya.
8. Perilaku yang Sok Kuasa
Perilaku sok kuasa adalah perilaku yang berkecenderungan untuk mendominasi
orang lain atau menjadi "bos". Perilaku ini pada umumnya tidak disukai oleh
lingkungan sosial.
9. Prasangka
Menurut Hurlock (1991) prasangka ini terbentuk pada masa kanak-kanak tatkala
anak melihat adanya perbedaan sikap dan penampilan di antara mereka, dan
perbedaan ini dianggap sebagai tanda kerendahan. Pada perkembangan selanjutnya
prasangka muncul karena individu tidak berpikir positif terhadap kejadian yang
dialaminya.
B. FAKTOR PENYEBAB TERBENTUKNYA PERILAKU SOSIAL
BERMASALAH
Perilaku antisosial erat hubungannya dengan pengalaman dan penyesuaian
sosial ketika usia dini. Beberapa faktor penyebab thnbulnya sikap antisosial, antara
lain sebagai berikut.
1. Sikap Orang Tua yang Overprotected
Orang tua yang terlalu melindungi akan membatasi ruang gerak anak sehingga anak
kehilangan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan sosialisasi secara sehat
dalam lingkungannya. Banyak pembelajaran dan pengalaman berharga dari
lingkungan yang tidak diperoleh anak karena sikap terlalu melindungi anak yang
tidak pada tempatnya. Sikap overprotected dapat menjadi pemicu perilaku
agresif, mementingkan diri sendiri, pemberontak ataupun perilaku apatis.
2. Sikap Orang Tua yang Pencela, Membandingkan, dan Mencemooh
Anak
Interaksi yang buruk dengan orang tua, sangat berpengaruh dalam membentuk cara
pandang anak terhadap kehidupannya. Sejak usia dini anak melakukan imitasi
terhadap orang tuanya. Tatkala orang tua bersikap buruk terhadapnya maka anak
pun akan meniru dan melakukan hal yang sama. Sikap orang tua yang pencela,
membandingkan, dan mencemooh anak mencerminkan sikap penolakan terhadap
keberadaan anak apa adanya. Secara emosional, perilaku ini sangat melukai
anak.
3. Sempitnya Kesempatan Bergaul dengan Anak Lain
Perkembangan sosial emosional sangat tergantung pada terbukanya kesempatan
pada anak untuk bergaul dengan teman dan lingkungannya. Sebagaimana yang telah
dijelaskan pada bagian-bagian terdahulu bahwa lingkungan memiliki potensi yang
sangat kaya dalam memberikan pengalaman sosial pada anak. Mulai dari
pengalaman yang positif maupun pengalaman yang buruk. Anak akan menyerap dan
mengolah pembelajaran sosial melalui lingkungannya ini. Jika anak tidak
memiliki kesempatan bergaul yang cukup maka ia tidak memiliki kesempatan untuk
mempelajari respons lingkungan terhadap perilakunya ataupun melakukan
penyesuaian sosial.
4. Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter cenderung memicu perilaku antisosial pada anak, seperti
tumbuhnya sikap pemberontak, agresif, sikap sok kuasa, dan lain sebagainya.
Sikap yang keras serta penerapan disiplin yang tidak dijelaskan pada anak,
hanya akan menumbuhkan perilaku yang salah asuh. Individu dapat tumbuh
menjadi individu yang selalu ingin dituruti, kurang toleran terhadap

8
teman-temannya. Dengan sikap yang seperti ini maka anak akan ditolak oleh
kelompok sosialnya.
5. Lingkungan yang Buruk
Lingkungan yang buruk sangat potensial dalam mempengaruhi anak.
Lingkungan yang buruk akan menjadi contoh yang buruk bagi anak. Secara
umum anak melakukan proses imitasi terhadap lingkungannya, tanpa
mengenal lebih jauh apakah lingkungan itu baik atau buruk. Jika lingkungan
dapat menonjolkan perilaku terpuji maka anak pun dapat mempelajari
penyerapan dan mengaplikasikan perilaku yang luhur tadi. Sebaliknya, apabila
lingkungan tersebut kurang baik maka anak tetap akan menjadikannya sebagai
objek imitasi.

C. PENANGANAN GANGGUAN SOSIAL DI TAMAN KANAK-KANAK


Sosialisasi adalah proses penyesuaian diri anak terhadap adat istiadat, dengan
kebiasaan dan cara hidup lingkungan. Bagaimana sikap anak terhadap lingkungan
serta pengalaman sosialnya dan seberapa baik ia dapat bergaul dengan orang lain
sangat tergantung kepada pengalaman belajar selama tahun-tahun pertamanya.
Apakah anak akan belajar menjadi orang yang terampil bergaul atau justru
sebaliknya tergantung empat faktor berikut.
1. Adanya kesempatan untuk bergaul dengan orang-orang dari berbagai usia serta
latar belakang yang berbeda. Anak tidak mungkin bisa belajar bergaul bila lebih
banyak menghabiskan waktunya sendiri. Semakin banyak dan bervariasi
dengan lingkungan bergaulnya, maka semakin banyak hal-hal yang bisa
dipelajari anak sebagai bekal keterampilan dalam bersosialisasi dengan
lingkungannya.
2. Anak tidak hanya berkomunikasi dengan kata-kata yang dapat dipahami, tetapi
juga dapat membicarakan dengan topik yang dapat dimengerti dan menarik bagi
orang lain.
3. Anak punya motivasi untuk bergaul. Motivasi ini tergantung seberapa besar
perolehan kepuasan anak melalui aktivitas sosialnya. Apabila anak mendapat
cukup banyak kesenangan, penerimaan, dan pengalaman yang mengasyikkan
dari lingkungannya, motivasi atau keinginannya untuk meluaskan wawasan,
jaringan pergaulannya semakin luas. Namun, sebaliknya kalau ia lebih banyak
mendapat kekecewaan, motivasinya untuk bergaul pun semakin berkurang.
4. Adanya bimbingan. Metode yang paling efektif untuk dapat belajar bergaul
dengan baik adalah lewat bimbingan dari orang yang dapat dijadikan model
bergaul yang baik oleh anak. Anak memang bisa saja belajar bergaul sendiri
lewat trial and error (coba-coba) atau meniru tingkah laku orang lain, namun
akan lebih efektif apabila yang menjadi model adalah orang tua.

III. PERMASALAHAN DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER PADA ANAK USIA


TAMAN KANAK-KANAK
A. RAGAM PERMASALAHAN DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER
Sejumlah permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan karakter anak dipaparkan
sebagai berikut.
1. Permasalahan berkaitan dengan orang tua
Terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan orang tua, yaitu
berkaitan dengan harapan dan yang berkaitan dengan pemahaman dan kemampuan

9
orang tua. Kedua hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. a. Harapan orang tua:
Selalu Ingin cepat berhasil
Pernahkan Anda mendengar makna era superkidsl Yaitu era anak super, yang
pada umumnya disikapi secara keliru oleh orang tua. Kecenderungan orangtua ingin
menjadikan anaknva "be special " daripada "be average or normal" semakin hari
semakin marak terlihat. Banyak orangtua sangat ingin anak-anak mereka menjadi "to
excel to be the best". Bahkan, para orangtua saling berkompetisi dalam mendidik anak,
karena mereka percaya "earlier is better". Semakin dini dan cepat dalam
menginvestasikan beragam pengetahuan ke dalam diri anak mereka, maka itu akan
semakin baik. Sebetulnya tidak ada yang salah. Namun, ketika anak-anak mereka
digegas untuk mulai mengikuti berbagai kepentingan orangtua dan menyuruh
anak-anak mereka mengikuti beragam kegiatan, seperti kegiatan mental aritmatik,
sempoa, renang, basket, balet, tari ball, piano, biola, melukis, dan banyak lagi
lainnya...maka lahirlah anak-anak super yang disebut "SUPERKIDS". Apakah harapan
orang tua dan langkah-langkahnya itu tepat atau wajar? Ternyata hal itu berdampak
kurang baik terhadap anak. Hal itu merupakan hal yang tidak patut dilakukan terhadap
anak. Mengapa? Karena anak-anak menjadi tertekan.
Tekanan yang bertubi-tubi dalam memperoleh kecakapan akademik di sekolah
membuat anak-anak menjadi cepat mekar. Anak -anak menjadi b. Kemampuan
orang tua
Hal yang dipaparkan di atas sebetulnya tidak semata-mata berkaitan dengan
harapan orang tua, tetapi juga berkaitan dengan pemahaman dan ketidakmampuan
orang tua dalam mengantarkan anak-anak menjadi berkarakter. Disayangkan memang
masih banyak orang tua yang belum mampu menunjukkan cara yang tepat dalam
mendidik anak-anaknya. Menurut Megawangi (2003) ada beberapa kesalahan orang tua
dalam mendidik anak yang dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi anak
sehingga berakibat pada pembentukan karakternya, seperti berikut.
1. Kurang menunjukkan ekspresi kasih sayang baik secara verbal maupun fisik.
2. Kurang meluangkan waktu yang cukup untuk anaknya.
3. Bersikap kasar secara verbal, misalnya menyindir, mengecilkan anak, dan
berkata-kata kasar.
4. Bersikap kasar secara fisik, misalnya memukul, mencubit, dan memberikan
hukuman badan lainnya.
5. Terlalu memaksa anak untuk menguasai kemampuan kognitif secara dini.
6. Tidak menanamkan "good character' kepada anak.
2. Permasalahan pendidik (khususnya guru)
Permasalahan yang berkaitan dengan kemampuan guru dalam pengembangan
karakter diantaranya adalah kurangnya keterampilan dan wawasan guru dalam
memanfaatkan berbagai strategi dan metodologi mengajar yang tepat dan efektif dalam

10
mengembangkan karakter. Proses pengembangan karakter yang terjadi di sekolah saat
ini, pada umumnya masih berorientasi pada akademik dan transfer pengetahuan dalam
bentuk informasi dan hapalan. Sehingga yang terjadi adalah anak-anak yang sangat
hapal teori dan mendapat nilai 10 dalam ulangan moral-agama, namun tidak berdampak
terhadap perbaikan perilaku mereka. Jika kita tanya pada guru di lapangan, mereka
mengakui bahwa mereka kesulitan untuk mengajarkan nilai-nilai kepada anak didiknya,
upaya yang bisa dilakukan guru akhirnya mengajarkan nilai hanya sebatas hapalan dan
pendekatan akademik tadi.
Permasalahan yang lain adalah kurangnya keteladanan guru. Mengajarkan
karakter baik tidak bisa dilakukan hanya sebatas kata-kata, namun harus menjelma
dalam perilaku. Terkadang orang dewasa tidak menyadari bahwa anak sebetulnya
sangat memperhatikan dan mengidolakan dirinya. Anak akan meniru apa yang
dilakukan orang dewasa, dan mengabaikan nasehat atau pun informasi verbal. Apalagi
jika ucapan dan perbuatan guru bertentangan, maka sudah dapat dipastikan bahwa anak
akan lebih memilih untuk meniru dan mengikuti perbuatan guru, sekalipun itu
melanggar aturan atau perilaku buruk. Dalam pengembangan karakter, "memulai dari
diri sendiri" menjadi kunci utama bagi para pendidik sebelum ia mengajarkan kepada
anak didiknya.
3. Pengaruh media
Pengaruh media apapun jenisnya sangat besar terhadap pengembangan
karakter anak, termasuk mainan yang digunakan anak. Mengapa mainan dapat
berpengaruh? Karena terdapat ragam mainan dengan disertai dengan ragam pesan dan
tema. Permainan dengan tema kekerasan atau seksual tentunya akan berbahaya bagi
anak-anak. Permainan itu ada di sekitar anak-anak kita. Belum lagi jika permainan itu
dituangkan dalam bentuk media TV, Video Game dan media tayang lainnya, maka
tingkat bahayanya akan semakin tinggi pula. Orang tua yang membiarkan anak-anak
untuk menonton film dan program televisi atau bermain video game dengan tema
kekerasan atau seksual, akan menjauhkan anak dari pengembangan karakter baik yang
dibutuhkannya.
Oleh karena itu, dalam pendidikan anak usia dini, setiap orang dewasa harus
mampu membantu menghilangkan kekerasan dan kekacauan bagi anak-anak saat
mereka tumbuh menjadi dewasa. Membangun masa depan bagi anak-anak memakan
waktu lebih dari kognitif dan perkembangan fisik di dunia di mana anak-anak
dibombardir dengan kekerasan dalam media pesan dan mainan yang tidak pantas.
Memahami efek negatif dari media dan pengaruh lingkungan lainnya pada
perkembangan moral anak-anak membantu pendidik dalam membimbing
perkembangan anak-anak mereka
Sekolah sebagai faktor kunci harus dikelola dengan baik, jika tidak maka
anak-anak akan semakin jauh dengan tuntutan karakter yang seharusnya. Sekolah yang

11
bermasalah dalam pengembangan karakter adalah sebagai berikut.
a. Sekolah yang dibangun atas pandangan kurikulum yang sempit.
b. Sekolah yang terlalu terfokus dalam pencapaian akademik.
c. Sekolah yang gagal mendidik anak-anaknya dalam bidang karakter.
Sekolah-sekolah jenis tersebut harus diberikan pencerahan dan meriviu
kurikulum dan program-programnya sehingga lebih mengakomodasi kebutuhan
karakter anak.
5. Kebijakan
Masalah dukungan kebijakan, baik pada lingkup terbatas maupun luas akan
banyak mempengaruhi kesuksesan dalam bidang pendidikan karakter.
B. DAMPAK SALAH PENGASUHAN
Dampak yang ditimbulkan dari salah asuh, dalam hal ini dalam pendidikan karakter,
menurut Megawangi (2005) akan menghasilkan anak-anak yang mempunyai kepribadian
bermasalah atau mempunyai kecerdasan emosi rendah, diantaranya dapat digambarkan sebagai
berikut.
1. Anak menjadi acuh tak acuh, tidak butuh orang lain, dan tidak dapat menerima persahabatan.
Karena sejak kecil mengalami kemarahan, rasa tidak percaya, dan gangguan emosi negatif
lainnya. Ketika dewasa ia akan menolak dukungan, simpati, cinta dan respons positif lainnya
dari orang di sekitarnya. la kelihatan sangat mandiri, tetapi tidak hangat dan tidak disenangi
oleh orang lain.
2. Secara emosional tidak responsif, dimana anak yang ditolak akan tidak mampu memberikan
cinta kepada orang lain.
3. Berperilaku agresif, yaitu selalu ingin menyakiti orang baik secara verbal maupun fisik.
4. Menjadi minder, merasa diri tidak berharga dan berguna.
5. Selalu berpandangan negatif pada lingkungan sekitarnya, seperti rasa tidak aman, khawatir,
minder, curiga dengan orang lain, dan merasa orang lain sedang mengkritiknya.
6. Ketidakstabilan emosional, yaitu tidak toleran atau tidak tahan terhadap stress, mudah
tersinggung, mudah marah, dan sifat yang tidak dapat diprediksi oleh orang lain.
7. Keseimbangan antara perkembangan emosional dan intelektual. Dampak negatif lainnya
dapat berupa mogok belajar, dan bahkan dapat memicu kenakalan remaja, tawuran, dan
lainnya.
8. Orang tua yang tidak memberikan rasa aman dan terlalu menekan anak, akan membuat anak
merasa tidak dekat, dan tidak menjadikan orang tuannya sebagai "role modeV Anak akan
lebih percaya kepada "peer group"nya sehingga mudah terpengaruh dengan pergaulan
negatif.

C. SOLUSI MENGATASIPERMASALAHAN DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER


Perlu diupayakan secara seksama, solusi yang dapat mengatasi berbagai permasalahan di
atas; sehingga berbagai dampak negatif dapat dicegah dan dikurangai. Upaya terbesar, tentunya

12
adalah dengan mengembalikan pendidikan pada hakikatnya untuk menjadikan manusia yang
terang hati dan terang pikiran "good and smart", "cerdas jasmani dan rohaninya", "cerdas akal
dan budinya" atau dengan kata lain adalah menjadikan manusia Indonesia seutuhnya. Tentu
tidak semudah yang dibayangkan. Hal tersebut merupakan tugas kita bersama, karena
melakukan reformasi dalam pendidikan merupakan kerja keras yang mesti dilakukan secara
serempak, antara sekolah dan masyarakat, .khususnya antara guru dan orang tua. Apalagi,
pendidikan yang ada sekarang ini banyak yang tidak berorientasi kepada kebutuhan anak
sehingga tidak dapat memekarkan segala potensi yang dimiliki anak. Jika ada yang terjadi adalah
ketidakseimbangan yang cenderung memekarkan aspek kognitif dan mengabaikan faktor emosi
atau karakter. Tentu akan sangat baik jika semua reformasi sistem pendidikan diarahkan pada
pencapaian keberhasilan dengan pembangunan karakter. Upaya tersebut adalah yang diarahkan
pada:
1. konten yang menyampaikan prinsip-prinsip moral universal dan kebajikan, dan
2. metode pembelajaran yang memastikan terjadi internalisasi dan terciptanya budidaya moral,
komitmen moral, dan penalaran moral yang mendasari tindakan keseluruhan tindakan yang
bermoral.
Dalam rangka mencapai reformasi pendidikan yang efektif dalam pengembangan
karakter, maka hal-hal yang hendaknya dilakukan adalah:
1. mendefinisikan karakter moral paling tepat,
2. menjelaskan jalur perkembangan moral ke afah yang paling baik (kedewasaan),
3. menggunakan setiap dan semua strategi yang dianggap efektif setiap waktu,
4. menggunakan metode penilaian yang paling efektif.
Ilustrasi tersebut, secara sederhana dapat dikatakan bahwa untuk pengembangan karakter
kita harus mengetahui sifat-sifat karakter dan cara mempromosikan-nya. Dan melakukan
penelitian berkesinambungan tentang bagaimana dan apa yang bisa dilakukan oleh orang tua,
guru, dan warga negara dalam mengembangkan potensi moral dan karakter anak secara
sepenuhnya.

IV. KARAKTERISTIK EVALUASI PENDIDIKAN DI TAMAN KANAK-KANAK


A. PENGERTIAN DAN TUJUAN EVALUASI ANAK USIA TAMAN KANAK-KANAK
evaluasi adalah suatu proses memilih, mengumpulkan, dan menafsirkan informasi untuk
membuat keputusan. Meskipun terdapat berbagai alasan dilaksanakannya evaluasi, namun
tujuan umumnya adalah untuk membuat suatu keputusan. Evaluasi dapat dilakukan untuk
memperbaiki program, menghentikan program atau membandingkan program.
Dalam hubungannya dengan penilaian terhadap anak usia TK. The National Association of
Early Childhood Specialist (NAEYC, 1991) dalam Beaty (1994) merumuskan tujuan
mengevaluasi anak usia TK adalah sebagai berikut.
1. Untuk merencanakan pembelajaran individual dan kelompok, serta untuk
berkomunikasi dengan para orang tua.

13
2. Untuk mengidentifikasi apakah anak memerlukan bantuan atau layanan khusus.
3. Untuk mengevaluasi apakah tujuan program pendidikan TK sudah tercapai atau
belum.
Apabila ditelaah lebih lanjut maka tujuan penilaian tersebut adalah untuk merencanakan
kurikulum individual bagi anak, meningkatkan perkembangan kemampuan anak selanjutnya,
serta keberhasilan belajar anak di kelas. Dengan demikian, penilaian terhadap anak
usia TK adalah menilai

perkembangannya. Pelaksanaan evaluasi dalam pendidikan mempunyai kaitan yang erat


dengan pembelajaran (belajar dan mengajar). Di samping itu, evaluasi harus mampu
memberdayakan guru, anak, dan orang tua. Para pendidik TK harus memandang penilaian
sebagai suatu kesempatan untuk merefleksikan pengalaman anak serta sebagai alat untuk
mengetahui kemajuan proses maupun hasil belajar anak. Dalam pendidikan TK guru dan anak
adalah alat penilaian yang penting dari tes-tes yang dianjurkan oleh orang lain.
B. PRINSIP EVALUASI
Banyak metode, alat, dan prosedur untuk menilai perkembangan anak usia TK. Oleh karena
itu, sangatlah perlu bagi guru untuk mengetahui dan memahami jenis evaluasi yang tepat untuk
diterapkan. Sehubungan dengan hal tersebut, NAEYC dalam Beaty (Masitoh, 2000)
memberikan pedoman yang dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan evaluasi selama proses
pembelajaran di TK oleh guru. Pedoman yang dimaksud adalah berikut ini.
1. Penilaian harus dikaitkan dengan kurikulum, untuk mendapatkan hasil evaluasi yang
tepat sasaran dan tidak menyimpang dari tujuan maka pelaksanaan evaluasi harus terkait dengan
kurikulum.
2. Hasil penilaian harus dimanfaatkan untuk kepentingan anak. Penilaian bukan sekadar
angka atau ungkapan deskriptif yang tidak bermakna dan tidak memiliki manfaat untuk
kemajuan anak sendiri. Dalam pelaksanaannya sebaiknya guru memfokuskan pengamatan pada
proses sesuatu yang terjadi dianggap penting bagi anak, dan sebaiknya guru tidak sekadar
menuliskan laporan dalam buku pedoman.
3. Penilaian harus mencakup seluruh aspek perkembangan anak. Perkembangan
manusia adalah utuh dan menyeluruh. Dengan demikian, proses evaluasi diharapkan menyentuh
keseluruhan aspek perkembangan anak.
4. Penilaian melibatkan observasi yang teratur dan periodik dari anak dalam berbagai
keadaan yang menggambarkan tingkah laku anak setiap saat.
5. Penilaian didasarkan pada prosedur yang menggambarkan kegiatan anak secara
khusus dan menolak pendekatan yang menempatkan anak dalam situasi yang dibuat-buat.
6. Penilaian menggunakan suatu alat dan prosedur yang tersusun, seperti koleksi karya
anak, catatan observasi yang sistematis, catatan percakapan dan wawancara dengan guru-guru
lain, serta rangkuman kemajuan anak secara individual maupun dalam kelompok.

14
12.4 METODE PENQEMBANBAN SOSIAL EMOSIONAL •
7. Penilaian harus mengakui perbedaan individual anak.
8. -Penilaian tidak mengabaikan kenyamanan psikologis anak, baik perasaan maupun
harga dirinya.
9. Penilaian harus mendukung hubungan orang tua dengan anak, dan tidak merusak
kepercayaan orang tua pada anaknya atas kemampuan yang dimilikinya atau merendahkan
bahasa dan kultur keluarga.
10. Penilaian adalah suatu komponen yang esensial dari peranan guru. Guru adalah
penilai utama.
11. Penilaian menunjukkan keunggulan dan kemajuan anak. Apakah anak dapat
melakukan, dan tidak mengadili jawaban yang salah atau apa yang tidak dapat dilakukan anak
atau apa yang tidak diketahui mereka.
12. Penilaian adalah suatu proses kolaboratif yang melibatkan anak dan guru, guru dan
orang tua, sekolah dan masyarakat, dan informasi dari penilaian diberikan kepada orang tua
dengan bahasa yang dapat dipahami oleh mereka.
13. Penilaian mendorong anak untuk berpartisipasi dalam menilai dirinya, dan mencatat
apa yang dapat dilakukan anak secara mandiri maupun apa yang dapat dilakukan anak dengan
bantuan orang lain

14. Informasi tentang setiap perkembangan dan belajar anak dikumpulkan dan dicatat
secara sistematis untuk merencanakan pembelajaran-pembelajaran serta untuk berkomunikasi
dengan orang tua.
15. Ada suatu proses yang teratur untuk informasi yang dibagikan antara guru dan orang
tua tentang pertumbuhan, perkembangan, dan penampilan anak yang memberikan informasi
deskriptif yang bermakna dan tidak dalam bentuk angka.

V. TEKNIK EVALUASI PENGEMBANGAN SOSIAL-EMOSIONAL DI TAMAN


KANAK-KANAK
A. OBSERVASI
Observasi atau pengamatan adalah proses memperhatikan seorang anak dalam
melakukan suatu kegiatan atau melakukan permainan, tanpa mencampuri kegiatan anak
tersebut.
Pengamatan seorang guru haruslah peka, terperinci, dan deskriptif. Terutama dalam
mengungkap perkembangan sosial emosional anak. Sebagian besar anak-anak belum memiliki
kemampuan untuk menjelaskan dan memahami perasaan dan pikirannya sendiri. Anak-anak
sering kali mengungkapkan perasaannya melalui perbuatan. Berkenaan dengan hal ini Cohen
dan Stern (dalam CRI, 2000) mengungkapkan sebagai berikut.
Anak-anak berkomunikasi dengan kita melalui mata mereka, kualitas suara mereka,
sikap tubuh mereka, gerak isyarat mereka, kelakuan mereka, senyum mereka,

15
lompatan-lompatan mereka, kelesuan mereka. Mereka menunjukkan kepada kita, melalui
perbuatan mereka, dan juga melalui apa yang mereka buat, apa yang terjadi dalam diri mereka.
Ketika kita dapat menyelami arti dari perilaku anak-anak secara menyeluruh, kita berada di
jalur yang

12.10

METDDE PENGEMBANQAN SOSIAL EMOSIONAL •

benar dalam proses memahami mereka. Catatan guru tentang cara-cara mereka
berkomunikasi akan membantu dalam melihat mereka sebagaimana mereka adanya.
Lebih lanjut Beaty (1994) mengemukakan bahwa observasi harus didasarkan pada
kebaikan, kekuatan atau keunggulan yang diperlihatkan anak untuk membantu
perkembangannya, bukan ditekankan pada kesalahan yang dilakukan anak. Observasi harus
dilakukan dalam situasi natural (alamiah) atau tidak dibuat-buat {artificial).
Bagan 12.1 adalah salah satu contoh pedoman observasi untuk memantau
perkembangan sosial emosional anak TK yang dapat dipergunakan guru.
B. CATATAN ANEKDOT (ANECDOTAL RECORD)
Catatan anekdot adalah proses mendokumentasikan kegiatan atau perilaku yang
khusus yang teramati berupa catatan ringkas. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan
Patmonodewo (1993) yang mengatakan bahwa catatan anekdot atau anecdotal record adalah
kumpulan catatan tentang sikap dan perilaku anak yang khusus, baik secara positif maupun
negatif.
Catatan anekdot dilakukan berdasarkan pengamatan sepintas dan ditulis lebih singkat
dibandingkan laporan deskriptif. Hasil pengamatan guru dapat dituangkan ke dalam tiga atau
empat kalimat, dan hanya perlu menyisipkan catatan yang diingatnya saja. Catatan anekdot
jenis ini sangat membantu guru dalam memahami bagaimana proses tingkah laku bermula.
Selain itu juga guru dapat memahami bagaimana perkembangan tingkah laku tersebut dan
bagaimana akhirnya.
C. DAFTAR CEK (CHECKLIST)
Daftar Cek atau Checklist merupakan cara yang cepat dan mudah untuk mengukur
keberadaan tingkah laku khusus anak. Daftar cek juga dapat dipergunakan sebagai suatu cara
untuk mendokumentasikan kejadian penting tertentu yang sehubungan dengan perkembangan
anak atau sebuah tujuan atau sasaran instruksional. Daftar cek sangat berguna bagi guru yang
ingin mengetahui berapa kali dalam seminggu Ujang memukul temannya, berapa kali Dewi
menangis atau berapa kali Ratna meminta pertolongan guru.

D. ANALISIS GAMBAR ANAK


Dalam mengevaluasi gambar anak, guru dapat melakukannya dengan cara

16
mengumpulkan gambar-gambar anak yang pernah dibuat, kemudian melihat
perkembangannya dari hari ke hari.
Cara lain adalah dengan meminta anak menggambar tema tertentu, misalnya
menggambar tentang keluarga, kemudian guru meminta anak untuk menceritakan gambar
yang dibuatnya. Sebagai contoh, guru dapat meminta anak dengan perkataan "dapatkah kamu
menggambar anggota keluargamu?" Karya yang dihasilkan oleh anak adalah sebuah gambar
yang memberikan makna pada guru tentang kemampuan perkembangan motorik halus anak
dan daya tangkap anak serta perkembangannya. Selain itu, melalui gambar anak tersebut juga
akan dikenali bagaimana perasaan si anak terhadap anggota keluarganya, bagaimana anak
mengerti hubungan anggota keluarga satu sama lain, bagaimana anak menggunakan ruang dan
kesadarannya secara detail (rinci), dan lain sebagainya. Guru sebaiknya mencatat reaksi anak
terhadap pertanyaan tersebut, bagaimana ia melakukan proses menggambar hingga
menyelesaikan gambarnya, dan apa yang ia ceritakan tentang bermacam-macam komponen
yang ada dalam gambar ketika dalam tahap penyelesaian. Melalui gambar anak, guru ataupun
pengamat pendidikan lainnya akan mempelajari banyak hal tentang bagaimana proses berpikir
anak, apa yang diketahui anak tersebut, bagaimana ia mengatur atau mengorganisasi informasi
tersebut, dan bagaimana ia menghubungkannya dengan guru ketika ia melakukan respons
(tanggapan) khusus terhadap pertanyaan yang diajukan. Dari bermacam-macam bentuk
atau teknik informasi, bentuk wawancara/komunikasi jenis ini sangat menguntungkan ketika
pengamat merefleksikannya ke dalam narasi deskriptif.
Selain itu, melalui gambar yang dibuat anak, guru dapat melakukan analisis dan
menemukan permasalahan-permasalahan sosial emosional yang terjadi dalam diri anak yang
tercermin dalam produk gambar yang dibuatnya. Misalnya anak yang kurang punya
keberanian dan cenderung kurang percaya diri biasanya ia akan menggambar dengan
bentuk-bentuk yang kecil dan tidak sesuai dengan kertas gambar yang dimilikinya, ragu-ragu
atau menutupi kertas gambarnya dengan tangan atau badannya seolah takut dilihat orang.
Sementara anak yang sangat percaya diri dan yakin pada kemampuannya akan memenuhi
kertas dengan gambarnya yang berukuran besar atau proporsional, kertasnya terisi penuh, dan
berwarna-warni. Ia tidak ragu-ragu tatkala mencoret-coret gambarnya. Selain itu, pemilihan
warna pun dapat mencerminkan kondisi psikologisnya. Misalnya, anak yang tertekan ataupun
memiliki masalah emosional biasanya senang menggunakan warna hitam dan warna gelap
lainnya dalam menggambar. Ia biasa menggambar dengan nuansa yang gelap jauh dari
kecerahan. Kalaupun ia menggambar matahari, matahari pun diberi warna ungu tua atau hitam.
Namun, kita tidak bisa langsung menghakimi anak yang senang mewarnai dengan warna hitam
sebagai anak bermasalah. Guru harus mengonfirmasikan data ini dengan data lainnya yang
menunjang.

E. ANALISIS FOTO, VCD, DAN AUDIOTAPE


Melakukan pengumpulan informnsi perkembangan anak melalui foto, VCD (Video

17
Compact Disk) ataupun Audio Tape memang masih jarang dilakukan di sekolah-sekolah kita.
Namun, informasi yang akan diperoleh guru berdasarkan data-data visual ini sangat menarik
dan bermanfaat.
Pada awal tahun ajaran baru, guru mcngambil foto anak-anak dari berbagai sudut
kekhasan mereka. Dalam foto tampak anak sedang menangis

Gambar 12.2. Dokumentasi Anak di Tahun Ajaran Baru


ketika ditinggal ibunya, ada anak yang pemalu, pcndiam, lincah dan langsung
memimpin anak yang lain dan sebagainya. Guru juga dapat meng-ambil gambar interaksi
mereka melalui handy camera. Dalam bentuk audio guru pun dapat merekam suara anak, saat
ia diwawancarai pada pertama kali bertemu. Di akhir tahun ajaran, guru dapat melakukan
pengambilan foto kembali, merekam aktivitas anak melalui handycame dan atau merekam
suara mereka kembali. Dengan dua aktivitas ini, guru dapat membedakan dan melihat secara
jelas perubahan apa yang tampak dalam perkembangan sosial emosional mereka. Anak-anak
pun dapat dilibatkan untuk mengevaluasi diri mereka sendiri, dengan cara membandingkan
foto-foto mereka di awal dan di akhir tahun ajaran.
F. PERCAKAPAN ATAU WAWANCARA DENGAN ANAK
Patmonodewo (1998) mengatakan bahwa percakapan adalah metode penilaian yang
dilakukan melalui bercakap-cakap atau wawancara antara anak dengan guru baik di dalam
kelas maupun di luar kelas. Percakapan atau wawancara dengan anak merupakan suatu cara
pengumpulan informasi yang diperoleh secara langsung dari anak. Anak menyadari bahwa
Anda sebagai guru tertarik pada cara mereka berpikir dan merasakan emosi.

Percakapan sebagai metode penilaian terdiri atas dua kategori, yaitu:


1. Penilaian percakapan yang terstruktur. Artinya, percakapan ini dilaksanakan
dengan sengaja oleh guru dengan menggunakan waktu khusus dan pedoman khusus walaupun
sederhana. Melalui percakapan ini guru dengan sengaja ingin menilai sejauh mana pemahaman
anak untuk kemampuan-kemampuan tertentu
2. Penilaian percakapan tidak terstruktur. Artinya percakapan yang dilakukan
antara guru dan anak tanpa direncanakan secara khusus, di mana saja, kapan saja dalam situasi
informal.
Wawancara dengan anak dapat berjalan dengan baik selama anak merasa nyaman
untuk bercerita, dilakukan dengan santai, dan terdapat banyak waktu dan ruang bagi anak
untuk bebas berekspresi. Seorang guru dapat memulai percakapan, misalnya dengan
pertanyaan "Ceritakan tentang keluargamu" atau "Apa yang paling kamu sukai di sekolah hari
ini?" Dengan pertanyaan terbuka seperti ini maka guru hams siap menerima dan
mendengarkan jawaban anak apa adanya. la hams bersedia untuk mendengarkan cerita anak
dengan berbagai kemungkinan, bisa jadi ada anak yang suka berbicara sehingga ia akan
menjawabnya dengan panjang lebar atau mungkin pula ada anak yang pendiam sehingga

18
dibutuhkan keterampilan gum untuk menstimulasi anak sehingga mau dan suka untuk
bercerita.

VI. EVALUASI PENGEMBANGAN KARAKTER ANAK TAMAN KANAK-KANAK


A. EVALUASI TERHADAP AKTIVITAS PEMBIASAAN
Jika kita menggunakan standar yang digunakan oleh megawangi (2004) dalam
mengembangkan karakter, maka kita akan temukan 9 pilar karakter yang perlu ditanamkan sejak
dini. Sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya, adapun ke 9 pilar tersebut adalah
sebagai berikut.
1. Cinta Tuhan dan kebenaran
2. Tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian
3. Amanah dan kejujuran
4. Hormat dan sanlun
5. Kasih sayang, kepedulian, dan kerja sama
6. Percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah
7. Keadilan dan kepemimpinan
8. Baik dan rendah hati
9. Toleransi, cinta damai, dan persatuan.

Untuk menanamkan karakter tersebut kita dapat melakukannya melalui aktivitas


pembiasaan sehari-hari. Jika kita gambarkan ke 9 karakter tersebut dalam bentuk diagram
domain pembiasaan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Fauziah(2010) dapat dilihat melalui
gambar berikut;

B. MENGEVALUASI PERUBAHAN PERILAkU


1. Observasi dan Catatan Anekdot
Perubahan perilaku yang terjadi dapat dilihat melalui observasi yang dicatat dalam
catatan anekdot (anecdotal record). Guru dapat menilai perubahan yang terjadi berdasarkan data
kejadian yang telah ia catat.
Sebagai contoh dalam catatan anekdot misalnya tertulis bahwa:
" 5 januari 2010, Anis memukul temannya, karena berebut mainan"
pada 3 bulan berikutnya guru mencatat bahwa:
"Anis meminta dengan baik, mainan yang ingin digunakan kepada
temannya; ia mengatakan; "Diki, boleh enggak saya meminjam
mainannya, sebentarrr..aja"
Berdasarkan observasi dan penelahaan dari catatan anekdot tersebut, guru dapat menilai
bahwa Anis sudah mengalami kemajuan dan perubahan perilaku.
2. Pola Berkomunikasi
Perilaku anak saat berkomunikasi juga dapat dijadikan bahan evaluasi tentang tingkat

19
keberhasilan pengembangan karakter yang kita lakukan. Guru dapat mengamati bagaimana cara
anak memilih dan menggunakan kata-kata yang penuh respek dalam kesehariannya. Pada awal
tahun, sangat mungkin anak kurang memperhatikan "kata-kata ajaib" ini, namun dengan
berjalannya waktu, latihan, pembelajaran melalui permainan, sosiodrama dan lain sebagainya,
diharapkan anak dapat mengamalkan komunikasi positif dalam kesehariannya. Kata-kata positif
tersebut diantaranya sebagai berikut.
a. Bu maaf, tolong buatkan susu...
b. Terima kasih, sudah membantu saya..
c. Bu Guru, apakah bisa menolong saya untuk mengambilkan mainan itu...
d. Saya di sini menemani kamu ya...
e. Bolehkah saya membantu kamu untuk membuat mainan itu?
f. Terima kasih telah menungguku bermain
g. Silakan duluan , saya masih menunggu ibu
h. Saya bukakan pintu untuk kamu ya...
i. Maafkan saya ya...
j. Saya suka gambar kamu..
k. Saya mendengarkan ceritamu..

20

Anda mungkin juga menyukai