Anda di halaman 1dari 48

TAFSIR

ASY’ARIYAH

TAFSIR LINTAS MADZHAB


SITI IYAM DAN SAKIRA
OUR PRESENTATION
CONTENT

1 2
EPISTEMOLOGI KITAB-KITAB
TAFSIR ASY’ARIYAH TAFSIR ASY’ARIYAH

3
CONTOH-CONTOH
PENAFSIRAN TAFSIR
ASY’ARIYAH
EPISTEMOLOGI
TAFSIR ASY’ARIYAH
Asy’ariah adalah aliran teologi Tradisional yang disusun oleh Abu Hasan
Al-Asy’ari (935) sebagai reaksi atas teologi Mu’tazilah. Dalam
penggolongan teologi Islam, Asy’ariah disebut Ahl Sunnah wal-Jamaah.
Aliran teologi Asy’ariah pada umumnya dianut oleh umat Islam yang
bermazhab Sunni.

ABU HASAN AL-ASY’ARI


W 324 H/935 M
Paham Asyariyah dalam sejarahnya dikenal dengan paham yang
menjadi jalan penengah antara golongan rasionalis dengan golongan
tekstualis, dan dalam perkembanganya faham ini banyak diterima
oleh masyarakat tidak terkecuali masyarakat Indonesia. Al-Asy’ariyah
pasalnya termasuk pengikut aliran Mu'tazilah sampai beliau berumur 40
tahun dan pada akhirnya beliau membentuk corak pemikiran yang
berbeda, beliau berusaha memadukan keduanya (akal dan naql)
dengan tetap berpedoman bahwa akal harus tunduk pada nash.
Abu al-Ḥasan al-Asy’ari melalui dua atau tiga fase dalam perjalanannya
telah mencari “kebenaran.” Secara singkat, beberapa kalangan
berpendapat bahwa beliau melalui tiga fase yakni fase pertamanya
berfaham Muktazilah, fase kedua mengikuti pemikiran-pemikiran Ibnu
Kullāb, dan fase yang ketiga dan terakhir kembali pada manhaj Salaf.
Namun, sebagian ulama menganggap “kembalinya” tersebut tidak secara
komprehensif. Hal ini dikarenakan masih ada beberapa pemahamannya
yang mengikuti pemahaman Ibnu Kullāb.
Adapun corak pemikiran Asy’ariyah mengenai perbuatan manusia
hubungannya dengan kehendak dan kekuasaan Tuhan ia namai dengan
istilah kasb (perolehan/perbuatan). Menurutnya, kasb adalah ciptaan
Allah. Dapat disimpulkan bahwa Tuhan pencipta semua perkara manusia
berarti Tuhanlah pembuat semuanya pula. Perbuatan yang timbul dari
manusia dengan perantaraan daya yang diciptakan adalah berarti
manusia sebenarnya merupakan tempat bagi perbuatan Tuhan.
Oleh karena itu, tampak bahwa tidak terdapat perbedaan-perbedaan
antara perbuatan gerakan terpaksa dengan kasb manusia. Kedua jenis
perbuatan tersebut dibuat oleh Tuhan. Dengan begitu, tampak jelas
bahwa manusia sangat dekat dengan paham predestination. Mereka
tidak mempunyai kekuasaan atas semua perbuatannya karena Allah
pencipta atau pembuat yang sebenarnya. Jadi, pada dasarnya, sesuatu
yang dikehendaki oleh Allah akan terjadi sedang sesuatu yang tidak
dikehendaki-Nya tidak akan terjadi.
kemudian, dalam pemakaian akal, Asy’ariyah menggunakannya secara
seimbang dengan wahyu, tidak berlebihan seperti halnya Muktazilah.
Namun, tampaknya ia lebih memprioritaskan wahyu ketimbang akal.
Dalam mengomentari empat masalah; mengetahui Tuhan, kewajiban
mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan jahat dan kewajiban
mengetahui baik dan jahat. Hanya satu yang dapat diketahui akal, yaitu
mengetahui Tuhan. Tiga hal lainnya hanya dapat diketahui melalui
informasi wahyu.
kemudian, dalam pemakaian akal, Asy’ariyah menggunakannya secara
seimbang dengan wahyu, tidak berlebihan seperti halnya Muktazilah.
Namun, tampaknya ia lebih memprioritaskan wahyu ketimbang akal.
Dalam mengomentari empat masalah; mengetahui Tuhan, kewajiban
mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan jahat dan kewajiban
mengetahui baik dan jahat. Hanya satu yang dapat diketahui akal, yaitu
mengetahui Tuhan. Tiga hal lainnya hanya dapat diketahui melalui
informasi wahyu.
OUR PRESENTATION
CONTENT

1 2
EPISTEMOLOGI KITAB-KITAB
TAFSIR ASY’ARIYAH TAFSIR ASY’ARIYAH

3
CONTOH-CONTOH
PENAFSIRAN TAFSIR
ASY’ARIYAH
Bahr al-Ulum

Lathaif al-Isyarat
KITAB-KITAB
TAFSIR ASY’ARIYAH Ruh al-Ma’ani

al-Muharrar al-Wajiz

Mafatih al-Ghaib
TAFSIR BAHR AL-ULUM
Tafsir ini ditulis oleh Abu al-Laits Nashr bin Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim as-
Samarqandi, yang dikenal dengan sebutan Imam al-Huda. Beliau dikenal sebagai
faqih, muhaddis, dan mufassir. Beliau lahir di desa Samarqan, Uzbekistan, salah
satu kota besar di Khurasan. Namun, tahun kelahirannya tidak diketahui secara
pasti, hanya dikatakan sekitar abad IV H, yakni antara tahun 301 H/913 M - 310
H/915 M. As-Samarqandi dalam penafsirannya menghimpun dua pendekatan
sekaligus, yaitu bir-riwayah dan bid-dirayah; namun, secara umum, beliau
menggunakan bentuk penafsiran bir-riwayah. Beliau juga mengutip kepada
pendapat para sahabat dan ahli-ahli bahasa. Sedangkan untuk sabab nuzul,
beliau mendasarkan pada kitab-kitab sejarah; beliau juga membicarakan nasikh-
mansukh dan ilmu qira`at.
Secara khusus, as-Samarqandi tidak menjelaskan karakteristik penafsirannya di
dalam mukaddimahnya, bahkan juga di pembahasan-pembahasan tafsirnya,
kecuali hanya memulainya, pada bab awal, dengan memberi dorongan dalam
mempelajari tafsir. Di dalam bab ini disebutkan beberapa hadis shahih berkenaan
dengan keutamaan al-Qur`an, keutamaan ilmu tafsir, syarat-syarat seorang
mufassir, dan larangan menafsirkan dengan ra`yu, baru kemudian beliau
menafsirkan ayat-ayat, yang dimulai dari surat al-Fatihah.
Dalam penafsirannya, beliau berpedoman kepada pendapat para
sahabat dan tabi'in, seperti Ibn 'abbas, Ibn Mas'ud, Ubay bin Ka'ab,
Mujahid bin Jabr, Hasan al-Bashri, dan lain-lain. Dalam bentuk tafsir
naqli, beliau banyak menyandarkan kepada pakar-pakar tafsir,
seperti Muqatil bin Sulaiman, Qatadah bin Da'amah. Sedangkan dari
sisi kebahasaan, beliau menyandarkan pendapatnya pada az-Zajjaj,
al-Farra`, Ibn Qutaibah ad-Dainuri, dan Abi 'Ubaidah Ma'mar bin
Mutsanna.
TAFSIR LATHAIF AL-ISYARAT
Tafsir ini ditulis oleh Abu al-Qasim 'Abd al-Karim bin Hawazin al-Qusyairi an-Naisyaburi,
yang lebih dikenal dengan sebutan "Abu al-Qasim al-Qusyairi". Beliau lahir di sebuah
desa kecil di daerah Naisyabur. Dalam perjalanan menuntut ilmunya, al-Qusyairi
ternyata menunjukkan kecenderungannya kepada ilmu tasawuf. Beliau memperoleh
pendidikan tasawuf secara intensif dari Abi al-Hasan ad-Daqqaq (w. 448 H), seorang
guru tasawuf utama di zamannya. Kemudian beliau menyempurnakan
pengetahuannya dengan mempelajari kitab-kitab al-Baqillani al-Asy'ari (w. 403 44 H).
Sehingga, pada akhirnya, al-Qusyairi muncul sebagai ulama yang paling disegani di
daerah Khurasan, tanpa ada satupun yang menyangkal. Sekaligus tokoh mazhab
Syafi'i, dalam bidang fiqh, dan tokoh mazhab Asy'ari, dalam ilmu kalam.
Kitab tafsir ini lengkap 30 juz, yang disusun dengan menggunakan pendekatan
tasawuf (tafsir isyari). Sebelum menulis kitab ini, al-Qusyairi pernah menyusun
kitab tafsir dengan manhaj yang biasa digunakan oleh mufassir-mufassir yang
lain, yaitu at-Taysir fi at-Tafsir. Baru kemudian, beliau menyusun kitab tafsir
dengan menggunakan pendekatan yang berbeda, yakni tafsir isyari. Meski
begitu, manhaj yang digunakan oleh al-Qusyairi berbeda dengan tafsir-tafsir
sufi lainnya. Beliau berusaha memadukan potensi kalbu dan akal.
Terhadap ayat-ayat yang berkenaan dengan ilmu kalam, beliau juga
menggunakan manhaj khusus tentang hal itu. Namun demikian, al-Qusyairi tidak
akan pernah keluar dari penafsiran isyarinya atau tasawufnya. Misalnya dalam
QS. Taha: 5, menurut al-Qusyairi, ‘Arsy Allah di langit sudah maklum, yakni Allah
istawa (bersemayam [sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya]);
sementara ‘arsy di bumi adalah qalbu para ahli tauhid. Dalam pandangannya,
lafaz-lafaz al-Qur'an, bahkan huruf-hurufnya, apalagi ayat dan suratnya, selalu
terdapat nuansa yang baru meskipun sudah berulang kali dibaca.
Sebagai seorang sufi, al-Qusyairi mengikuti aliran tasawuf suni Asy'ari. Hal ini,
sangat terlihat sekali, ketika beliau menjelaskan ayat-ayat yang bersentuhan
dengan ilmu kalam atau aqidah. Seperti itsbat as-shifah (penetapan sifat
bagi Allah), ru'yatullah (melihat Allah), kemakhluqan al-Qur'an, dan
perbuatan manusia. Berkenaan dengan melihat Allah di surga, misalnya,
menurut al-Qusyairi, adalah sesuatu yang mungkin, sebab term nazhara jika
dikaitkan dengan ila, maka berarti ru’yah (melihat). Dalam hal ini, Allah
menciptakan penglihatan bagi penduduk surga, berbeda dengan
penglihatan mereka ketika masih di dunia, yaitu sesuai dengan karakter
akhirat yang kekal.
TAFSIR RUH AL-MA’ANI
Nama lengkap penulisnya adalah al-Allamah Abu al-Fadhl Abu al-Tsana’ Syihab al-Din
al-Sayyid Mahmud al-Alusi al-Baghdadi. Beliau lahir pada 1217 H di Karkhi, sebuah
daerah dekat dengan Baghdad, Irak. Beliau dikenal orang yang sangat alim dalam
persoalan mazhab. Beliau juga membaca kitab al-Milal wa al-Nihal. Akidahnya lurus
mengikuti akidah para salaf al-shâlih, pengikut mazhab Hanafi. Beliau memiliki banyak
karangan, termasuk kitab tafsir ini, Rûh al-Ma’ânî, yang dianggap sebagai yang paling
masyhur.
Tafsir Rûh al-Ma‘ânî adalah sebuah tafsir yang besar dan lengkap 30 juz.
Banyak kitab-kitab tafsir sebelumnya yang menjadi sumber penafsiran
beliau, terutama tafsir al-Kasysyâf. Meski begitu, beliau pada akhirnya,
memegangi pendapatnya sendiri, tidak terikat pendapat mufassir-mufassir
sebelumnya. Bahkan, dalam banyak ayat, al-Alusi berhasil mengurai
beberapa makna yang tersirat.

Bisa dikatakan bahwa kitab tafsir Rûh al-Ma‘ânî adalah kitab tafsir terbesar
setelah tafsir al-Razi yang mengikuti metode ulama salaf, bahkan bisa juga
dibilang Rûh al-Ma‘ânî adalah copy dari kitab tafsir al-Razi, dengan
mendapat sedikit tambahan dan pengurangan, sehingga bagi pembaca
tafsir al-Alusi akan merasa seperti membaca tafsir al-Razi.
Al-Alusi adalah pengikuti mazhab Sunni Asy‘ari. Sementara mazhab fikihnya
mengikuti Hanafi. Oleh karena itu,walaupun karakteristik tafsir ini adalah
penafsiran model isyârî dan sufi, dalam tafsir al-Alusi banyak ditemukan
kritikan beliau terhadap pendapat Muktazilah dan Syi‘ah, serta mazhab-
mazhab lain yang berseberangan dengan mazhab beliau.
TAFSIR AL-MUHARRAR AL-WAJIZ
Ditulis oleh Abu Muhammad Abd al-Haqq bin Ghalib bin Abdurrahman bin Ghalib bin
Abdurrauf bin Tamam bin Abdullah bin Tamam bin Athiyyah bin Khalid bin Athiyyah al-
Muharibi. Ibnu Athiyyah lahir di Granada pada tahun 481 H pada masa awal
pemerintahan Dinasti Murabithun di Andalusia. Judul tafsir Ibnu Athiyyah dengan nama
al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-Aziz ini mulai dikenal pada abad ke-11 Hijriyah.
Hal ini disebabkan karena Ibnu Athiyyah sendiri tidak menyebut sebuah nama khusus
untuk tafsirnya, beliau hanya menyampaikan tujuan dan harapannya di awal kitabnya
agar kitabnya menjadi sebuah kitab yang jami’ wajiz muharrar.
Dalam menulis tafsirnya Ibnu Atiyyah terpengaruh oleh pemikiran mufassir
masyriq dengan menjadikan karya-karya mereka sebagai rujukan yang
hanya tidak terbatas pada karya-karya tafsir saja, namun juga kitab-kitab
qiraat, hadis, bahasa, nahwu, fikih, tauhid dan buku-buku sejarah. Kitab-kitab
tauhid yang menjadi rujukan Ibnu Athiyyah dalam tafsirnya merupakan
kitab-kitab tauhid karya ulama Asy’ariyyah, di antaranya kitab-kitab karya
Imam Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari (w. 334 H), kitab-kitab karya Abu
Bakar Muhammad bin al-Thayyib al-Asy’ari al-Baqilani (w. 403 H), kitab-kitab
karya Abu al-Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah al-Juwaini (w. 478 H) dan
lainnya. Karena itulah penjelasan-penjelasan Ibnu Athiyyah terhadap ayat-
ayat teologi banyak merujuk pada kitab-kitab ilmu kalam karya Asy’ariyyah,
meskipun Ibnu Athiyyah juga menyebutkan pendapat dari kelompok yang
lain seperti Muktazilah dan lainnya.
Ayat-ayat yang secara dzahir menunjukkan adanya penyerupaan Allah
terhadap makhluk seperti penyandaran wajah, tangan atau mata, maka
Ibnu Athiyyah menyebutkan pendapat ulama ahlussunnah, seperti ketika
menafsirkan Q.S. al-Maidah: 64 mengatakan bahwa akidah dalam ayat ini
bermakna meniadakan penyerupaan terhadap Allah, bahwa Allah bukanlah
jism yang memiliki anggota badan, Dia tidak menyerupai apapun, tidak
memiliki kriteria, tidak menempati ruang dan tidak ada makhluk yang
mengambil tempat (menyatu) padanya. Maha Suci Allah dari perkataan
orang-orang yang batil.
Selanjutnya Ibnu Athiyyah menyebutkan pendapat-pendapat para ulama ahlussunnah terkait
makna bal yadahu mabsuthatani, biyadayya, ’amilat aidina, yad Allah fawqa aidihim, litushna’a
‘ala ‘aini, tajri bia’yunina, ishbir lihukmi rabbika fainnaka bia’yunina, kullu syai’un halikun illa wajhah
yang terbagi menjadi tiga pendapat; Pertama; sebagian ulama di antaranya al-Sya’bi, Ibnu al-
Musayyab dan Sufyan berpendapat bahwa kita mengimani hal-hal tersebut dan menetapkan apa
yang Allah tetapkan dalam al-Qur’an tanpa memberikan penafsiran ataupun mempelajarinya.
Kedua; pendapat Jumhur al-ummah di antaranya madzhab Imam Abu al-Ma’ali al-Juwaini dan
al-Hadzdzaq yang menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut ditafsirkan sesuai dengan kaidah
bahasa Arab, majaz, metafora, dan sastra Arab lainnya. Kata ‘ain diartikan sebagai ungkapan
tentang ilmu dan pengetahuan, wajh berarti dzat dan sifat-Nya, sedangkan yad/yadain terkadang
bermakna kekuasaan (qudrah) dan terkadang bermakna nikmat. Makna-makna ini ketika
ditujukan pada Allah maka digunakan kata yad atau al-aidi atau yadain karena fashahah al-‘Arab
dan karena lebih sederhana (ijaz) dalam pemakaiannya. Ketiga; pendapat ulama di antaranya al-
Thabari dan al-Qadhi bin al-Thayyib yang mengatakan bahwa semua sifat tersebut adalah sifat
zaidah ‘ala al-dzat, tsabitah bagi Allah tanpa adanya penyerupaan ataupun pembatasan.
TAFSIR MAFATIH AL-GHAIB
Kitab Mafâtîh al-Ghaib atau Tafsîr al-Râzî adalah sebuah kitab tafsir yang lengkap 30
juz. Ia merupakan kitab tafsir yang paling banyak dirujuk oleh para ulama tafsir,
terutama dari segi penjelasan rasionalitasnya. Sebab, tidak ada satu ulama pun
setelahnya, dalam penafsiran rasionalnya, kecuali selalu merujuk kepada tafsir al-Razi
ini. Al-Razi berusaha menguasai hampir sebagian besar disiplin ilmu yang dipejalari
orang demi mewujudkan obsesinya melalui karya tafsirnya. Beliau berusaha
menggabungkan teori-teori ilmiah dengan al-Qur’an, terutama ayat-ayat yang
mengandung isyarat ilmiah. Beliau juga menjelaskan sedemikian gamblang dan
rasional sehingga tidak ditemukan pemikiran-pemikiran yang kontradiktif, terutama
menyangkut kebenaran akal dan wahyu.
Sebelum melanjutkan penafsirannya, biasanya al-Razi mendasari dulu pada riwayat, jika
ada, baik dari Rasulullah, sahabat, maupun tabi‘in. Juga menjelaskan nâsikh-mansûkh,
istilah hadis, seperti mutawâtir, âhâd, dan apa saja yang terkait jarh wa al-ta‘dîl. Baru
kemudian masuk ke dalam penafsiran, yang di dalamnya mencakup berbagai disiplin
ilmu dan pemikiran ilmu kalam: 1. Banyak ditemukan penafsiran terkait dengan ilmu
eksakta, filsafat, ilmu kealaman, dan lain-lain. 2. Banyak menampilkan pendapat para
filosof dan mutakallimin untuk ditanggapi dan dikritik. Beliau menggunakan manhaj ahl
al-sunnah Asy‘ariyah, dan selamanya bermusuhan dengan Muktazilah dan Karamiyah,
dan terkadang juga mengkritik Syi‘ah. 3. Pada ayat-ayat hukum, al-Razi selalu
menjelaskan pendapat berbagai macam mazhab, namun ia sendiri tetap konsisten
terhadap mazhab Syafi‘i.4. Beliau juga menjelaskan persoalan-persoalan sekitar ushûl al-
fiqh, nahwu, balaghah, tetapi tidak terlalu panjang.
OUR PRESENTATION
CONTENT

1 2
EPISTEMOLOGI KITAB-KITAB
TAFSIR ASY’ARIYAH TAFSIR ASY’ARIYAH

3
CONTOH-CONTOH
PENAFSIRAN TAFSIR
ASY’ARIYAH
CONTOH-CONTOH

PENAFSIRAN ASY’ARIYAH

1 2 4
3
ZAT DAN SIFAT- KEBEBASAN DALAM QADIMNYA KALAM
AKAL DAN WAHYU
SIFAT TUHAN BERKEHENDAK ALLAH

5 6
MELIHAT ALLAH KEDUDUKAN ORANG
YANG BERBUAT
DOSA
ZAT DAN SIFAT-SIFAT TUHAN
Persoalan sifat-sifat Allah merupakan masalah
yang banyak dibicarakan oeh ahli teologi Islam.
Berkaitan dengan itu berkembang dua teori
yaitu: teori isbat al-sifat dan naïf al- sifat. Teori
pertama mengajarkan bahwa Allah memiliki
sifat-sifat, seperti, mendengar, melihat dan
berbicara. Teori inilah yang dianut oleh kaum
Asy’ariyah. Sementara teori kedua
mengajarkan bahwa Allah tidak memiliki sifat-
sifat. Teori tersebut dianut oleh kaum Mu’tazilah
dan para ahli ahli falsafah.
Paham kaum Asy’ariyah berlawanan dengan paham Mu’tazilah.
Madzhab Muktazilah yang mengikuti teori bahwa Allah tidak
mempunyai sifat, sedangkan Mazhab Al-Asy’ari berpendapat bahwa
Allah mempunyai sifat diantaranya seperti al-‘Ilm, al-sama’, al-Bashar,
iradah, dan lain sebagainya. Namun semua ini dikatakan la yukayyaf
wa la yuhadd (tanpa diketahui bagaimana cara dan batasnya).
Menurut al-Asy’ari, Allah mempunyai ilmu karena alam yang diciptakan
demikian teratur, alam tidak akan ada kecuali diciptakan oleh Allah
yang memiliki ilmu.
Argumen tersebut diperkuat oleh firman Allah dalam
QS. al-Nisa/ 4: 166.

”ِِِِِِِِ Tetapi Allah menjadi saksi atas (Al-Qur'an) yang


diturunkan-Nya kepadamu (Muhammad). Dia
menurunkannya dengan ilmu-Nya, dan para malaikat
pun menyaksikan. Dan cukuplah Allah yang menjadi
saksi."
Kaum Asy’ariyah juga meyakini akan sifat-sifat Allah yang bersifat
khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, betis dan
seterusnya. Dalam hal ini al-Asya’ariyah mengartikannya secara
sombolis serta tidak melakukan takyif (menanyakan bagaimana
rupa wajah, tangan dan kaki Allah), ta'til (menolak bahwa Allah
punya wajah, tangan dan kaki ), tamsil (menyerupakan wajah,
tangan dan kaki Allah dengan sesuatu) serta tahrif
(menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan
makna lainnya).
Argument al-Asy’ariyah tersebut diperkuat dengan firman Allah, di
antaranya QS. Al-Rahman/55: 27.

"Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan


kemuliaan."
Dapat diambil kesimpulan bahwa, dalam paham Asy’ariyah sifat-
sifat Allah adalah sebagaimana yang tertera dalam al-Qur’an dan
hadis. Sifat-sifat tersebut merupakan sifat-sifat yang sesuai
dengan zat Allah sendiri dan sekali-kali tidak menyerupai sifat-
sifat makhluk. Allah melihat tidak seperti makhluk. Begitu pula
Allah mendengar tidak seperti makhluk. Bahkan al- Asy’ariyah
berpendapat bahwa Allah mempunyai muka, tangan, mata dan
sebagainya tanpa ditentukan bagaimananya (bila kaifa).
KEBEBASAN DALAM BERKEHENDAK
Al-Asy'ari, menggambarkan manusia sebagai
seorang yang lemah, tidak berdaya dan
kekuatan apa-apa disaat berhadapan dengan
kekuasaan absolut mutlak. Karena manusia
dipandang lemah, maka Manusia dalam
kelemahannya banyak tergantung kepada
kehendak dan kekuasaan Tuhan. Untuk
menggambarkan hubungan perbuatan
dengan kemauan dan kekuasaan mutlak
Tuhan, al-Asy’ari memakai istilah al- kasb.
Dalam teori kasb manusia tidak mempunyai pengaruh efektif dalam
perbuatannya. Kasb, kata al-Asy'ari, adalah sesuatu yang timbul dari
yang berbuat (al-muhtasib) dengan perantaraan daya yang
diciptakan. Jadi, di dalam paham al-Asy'ari, perbuatan-perbuatan
manusia adalah diciptakan Tuhan. Dan tidak ada pembuat (agen)
bagi kasb kecuali Allah. Dengan perkataan lain, yang mewujudkan
kasb atau perbuatan manusia, menurut al-Asy'ari, sebenarnya
adalah Tuhan sendiri.
AKAL DAN WAHYU
Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari dalam konsep
akal dan wahyu beliau dan pengikutnya
memiliki manhaj yang sangat baik yaitu
dengan menggabungkan dua dalil yaitu dalil
naql (Al-Quran dan Al-Hadits) dan dalil aqli
yang besifat yaqiniyat atau dalam ilmu mantiq
ulama menamakannya dengan istilah Al-
Burhan.
Pada dasarnya golongan Asy’ary dan Mu’tazilah mengakui
pentingnya akal dan wahyu. Namun, Al- Asy’ari mengutamakan
wahyu sementara Mu’tazilah mengutamakan akal. Mu’tazilah
memandang bahwa mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui
Tuhan, mengetahui baik dan buruk, kewajiban mengerjakan yang
baik dan menjauhi yang buruk adalah dapat diketahui lewat akal
tanpa membutuhkan wahyu.
Sementara dalam pandangan al-Asya’ariyah semua kewajiban agama
manusia hanya dapat diketahui melalui informasi wahyu. Akal menurut al-
Asya’ariyah tidak mampu menjadikan sesuatu menjadi wajib dan tak dapat
mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk
adalah wajib bagi manusia. Wajib mengenal Allah ditetapkan melalui wahyu
hanyalah sebagai alat untuk mengenal, sedangkan yang mewajibkan
mengenal Allah ditetapkan melalui wahyu. Bahkan dengan wahyu pulalah
untuk dapat mengetahui ganjaran kebaikan dari Tuhan bagi yang berbuat
ketaatan, serta ganjaran keburukan bagi yang tidak melakukan ketaatan.
“Dalil yang dikemukakan al-Asy’ariyah dalam melegitimasi argumen ini, antara
lain adalah firman Allah dalam QS. al-Isra’/17: 15.

“Tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul."

Berdasarkan konsepsi di atas, dapat dipahami bahwa dalam teologi


Asy’ariyah, institusi akal tidak memilki otoritas dalam mengetahui semua
kewajiban manusia. Oleh karena itu, otoritas wahyulah dalam menjelaskan
semua itu, atau dengan kata lain lewat wahyulah semua kewajiban
keagamaan manusia itu diketahui.
QADIMNYA KALAM ALLAH
Masalah Qadimnya alquran, Asy’ariyah
memiliki pandangan tersendiri. Asy’ari
mengatakan bahwa walaupun alquran terdiri
atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu
tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya
tidak qadim.
Pemikiran kalam al-Asy’ari tentang Kalam Allah yaitu alquran ini dibedakannya
menjadi dua, yaitu kalam nafsi dan kalam lafdzi. Kalam Nafsi yakni firman
Allah yang bersifat abstrak tidak berbentuk yang ada pada Zat (Diri) Tuhan, Ia
bersifat Qadim dan Azali serta tidak berubah oleh adanya perubahan ruang,
waktu dan tempat. Maka alquran sebagai kalam Tuhan dalam artian ini
bukanlah makhluk. Sedangkan kalam Lafzi adalah kalam Allah yang diturunkan
kepada para Rasul yang dalam bentuk huruf atau kata-kata yang dapat ditulis,
dibaca atau disuarakan oleh makhluk-Nya, yakni berupa alquran yang dapat
dibaca sehari-hari. Maka kalam dalam artian ini bersifat hadis (baru) dan
termasuk makhluk.
MELIHAT ALLAH
Al-Asy’ari berpandangan bahwa Allah dapat
dilihat oleh manusia kelak di akhirat, tapi tidak
bisa digambarkan. Hal ini dalam artian bisa
saja Allah dengan kehendak-Nya menghendaki
dapat dilihat.
Sebagaimana dalam Q.S. Al-Qiyamah ayat 22 dan 23

“Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.”(22) "Memandang


Tuhannya." (23)

Argumen logika yang dikemukakan ialah bahwa Tuhan itu ada, maka melihat-Nya
pada hari kiamat dengan mata kepala adalah hal yang mungkin. Karena sesuatu
yang tidak bisa dilihat dengan mata kepala, itu tidak bias diakui adanya, sama
seperti sesuatu yang tidak ada. Padahal Tuhan pasti ada. Pada hari kiamat, Allah
dapat dilihat seperti melihat bulan purnama. Dia dapat dilihat olehorang yang
beriman, dan bukan oleh orang kafir. Sebab mereka dihalangi untuk melihat-Nya.
Musa pernah meminta agar diperkenankan melihat Allah di dunia, kemudian
gunung pun bergetar sebagai penjelmaan kekuasaan-Nya. Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa Dia tidak dapat dilihat di dunia, sebaliknya di akhirat dapat dilihat.
KEDUDUKAN ORANG YANG
BERBUAT DOSA
al-Asy’ari mengatakan bahwa orang mu’min
yang melakukan dosa besar selama masih
mempunyai iman tidak kafir.
Mengakui pula bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan, dapat bertambah
dan berkurang. Tidak mengakui bahwa seorang mu’min yang melakukan dosa
besar berada di dalam neraka dan tidak pula menetapkan di surga, sampai Allah
menempatkannya karena itu adalah perkara Allah. Jika Allah menghendaki
mereka disiksa dan jika Allah menghendaki mereka diampuni. Percaya bahwa Allah
akan mengeluarkan orang yang beriman itu dari neraka. Dan dalam keterangan
beberapa ayat al-Qur’an, ditegaskan bahwa hanya orang-orang musyrik dan
kafirlah kekal di neraka.
THANK YOU
FOR YOUR ATTENTION

Anda mungkin juga menyukai