Keperawatan Dewasa K.4 Bu Erna
Keperawatan Dewasa K.4 Bu Erna
DOSEN PENGAMPU
Ernawati, S.Kep.,Ners.,M.Kep
DI SUSUN OLEH:
KELOMPOK IV
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberikan kami
kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongannya kami tidak akan mampu untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Kami mengucapkan syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas limpahan nikmat
sehatnya baik itu berupa sehat fisik maupun pikiran, sehingga kami dapat menyelesaikan
pembuatan makalah tentang “KONSEP DAN ASKEP PADAKASUS APPENDISITIS DAN
ILEUS OBSTRUKTIF”.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta
saran supaya makalah ini nantinya dapat menjadi lebih baik lagi. Kami juga mengucapkan
terimakasih kepada dosen pembimbing yang memberikan tugas ini. Demikian makalah ini
kami buat semoga dapat bermanfaat untuk kita semua aamiin.
Penyusun
Kelompok IV
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1
3.1 Kesimpulan...........................................................................................................14
3.2 Saran.....................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Ileus obstruktif merupakan penyakit pada saluran cerna yang kompleks dimana
ketika lumen usus tersumbat sebagian atau seluruhnya akan menyebabkan sakit perut,
mual, muntah, konstipasi atau sembelit, distensi abdomen, flatus dan mencegah
pergerakan normal produk yang dicerna (Dewi, 2020). Bahaya umum dari ileus
obstruktif apabila tidak segera di tangani akan menyebabkan sepsis, toksinemia bahkan
syok sehingga memerlukan tindakan segera (Arif, 2020).
Berdasarkan data dari World Health Orgnization (WHO), insiden ileus obstruktif
pada tahun 2012 sebanyak 140 juta pasien diseluruh rumah sakit di dunia (WHO, 2012).
Kasus ileus obstruktif di Amerika Serikat diperkirakan mencapai 0,13%. Di Indonesia,
ileus obstruktif menduduki peringkat ke 6 dari 10 penyakit penyebab kematian tertinggi
dengan prevalensi 3,34% (Kemenkes RI, 2019). Menurut data rekam medis RSUD Simo
Boyolali dari tahun 2020-2022 kejadian ileus obstruktif meningkat 100%, dimana setiap
tahun ada peningkatan sekitar 7 kasus yang dilaporkan (Rekam Medis RSUD Simo
Boyolali, 2022).
Komplikasi lain yang terjadi setelah tindakan laparatomi yaitu distensi abdomen,
konstipasi, perdarahan, shock, infeksi pada luka pembedahan, nyeri akibat tindakan
pembedahan, gangguan istirahat dan merasa kurang nyaman (Yuliana, 2021). Hal ini lah
yang menyebabkan penting dilakukan tindakan mobilisasi dini pasca operasi.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep dari penyakit appendisitis
2. Untuk mengetahui konsep dari penyakit obstruktif
3. Untuk mengetahui langkah-langkah pembuatan asuhan keperawatan pada kasus
appendisitis dan ileus obstruktif
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Etiologi
Apendisitis akut adalah infeksi bakteri. Berbagai faktor berkontribusi terhadap
situasi ini. Faktor yang dianggap sebagai pencetus selain hiperplasia jaringan limfe,
fekalit, tumor usus buntu, dan cacing askaris yang juga dapat menyebabkan sumbatan
adalah lumen usus buntu. Faktor lain yang juga dapat menyebabkan terjadinya radang
usus buntu adalah erosi usus buntu yang disebabkan oleh parasit seperti E. Histolyca
(Jong, 2017).
b. Fekalit.
Fekalit / timbunan tinja yang keras dan menjadi penyebab utama
seseorang dapat mengalami radang usus buntu. Keadaan statis /
diam secara terus-menerus menyebabkan banyak kuman
berkambang biak. Ini menginduksi peradangan di sekitar struktur
dan sekum, menyebabkan gejala pada pasien. Secara umum,
apendisitis akibat penutupan tinja sering terjadi pada anak-anak dan
orang tua. Hal ini dipengaruhi oleh gaya hidup yang sangat sedikit
mengkonsumsi makanan yang mengandung serat atau membatasi
aktivitas fisik.
c. Tumor apendiks
Tumor langka ini terbentuk dibagian bawah saluran pencernaan
yang dapat menyebabkan peradangan pada usus buntu. Tumor lebih
cenderung menyebabkan peradangan yang mengganggu struktur
sekum yang sedang tumbuh.
d. Infeksi parasit.
Infeksi parasit seperti cacing gelang (Ascaris lumbricoides), amuba
(Entamoeba histolica), cacing benang (Strongiloides stercoralis),
cacing kremi (enterobiasis), dan Blastocystis hominis merupakan
penyebab peradangan pada usus buntu. Biasanya infeksi parasit
ditularkan dari hewan maupun cara hidup yang tidak sehat, seperti
kurang menjaga kebersihan diri. Adanya infeksi parasit
menyebabkan perlukaan atau erosi di lapisan usus buntu, sehingga
peradangan dapat terjadi dengan mudah.
f. Konstipasi
Pengerasan tinja (konstipasi) dalam waktu lama, sangat mungkin
ada bagiannya yang terselip masuk ke saluran appendiks yang pada
akhirnya akan menjadi tempat bakteri bersarang dan berkembang
biak, sebagai infeksi . Hal ini akan meningkatkan tekanan intra
sekal, sehingga timbul sumbatan fungsional appendiks dan
meningkatkan pertumbuhan kuman flora pada kolon. Penyumbatan
yang tetjadi pada lapisan usus buntu yang menyebabkan infeksi
diduga menjadi penyebab usus buntu. Bakteri yang berkembang
biak dengan cepat akhirnya menyebabkan appendiks menjadi
meradang, bengkak, dan penuh nanah. Bila tidak segera diobati usus
buntu bisa pecah (Wedjo, 2019).
2.1.3 Patofisiologi
Pada stadium awal dari appendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa.
Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan lapisan muskular dan
serosa (peritoneal). Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada permukaan serosa
dan berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang bersebelahan, seperti usus atau
dinding abdomen, menyebabkan peritonitis lokal (Burkitt, 2017).
b) Radiologi
Termasuk ultrasound (USG) dan komputer tomography scanning (CTscan). Ultrasound
menemukan bagian longitudinal dari apendiks yang meradang, tetapi CT menunjukkan
apendiks yang meradang dan bagian apendiks yang melebar.
2.1.6 Komplikasi
Anak mempunyai dinding appendiks yang belum tebal, sekum pendek yang belum
berkembang dengan sempurna, sehingga terjadi perforasi, dan orang yang lebih tua
mengalami pengurangan pembuluh darah. Komplikasinya antara lain:
a) Abses
Abses yaitu peradangan pada usus buntu yang mengandung nanah. Massa jaringan
lunak dapat teraba di kuadran kanan bawah atau di panggul. Benjolan ini awalnya
selulit dan berkembang menjadi rongga berisi nanah. Ini terjadi ketika apendisitis
memiliki mikrofosil yang ditutupi dengan kelenjar getah bening atau perikardium.
b) Perforasi
Usus buntu pecah berisi nanah yang memungkinkan bakteri menyebar dalam perut.
Perforasi akan jarang dalam rentang waktu 12 jam setelah timbulnya nyeri, tetapi
meningkat dengan cepat setelah 24jam.
c) Peritonitis
Peradangan peritoneum atau komplikasi berbahaya yang dapat terjadi. Peritonitis
sistemik ditimbulkan oleh infeksi luas pada permukaan peritoneum. Peristaltik
mengembangkan ileus paralitik dan berkurang sampai usus meregang dan
kehilangan elektrolit, menyebabkan dehidrasi, syok, gangguan peredaran darah, dan
pollakiuria (Sulekale, 2016).
2.1.7 Penatalaksanaan
Adapun pengobatan/penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk radang usus buntu
yaitu :
a) Terapi Konservatif
Terapi ini diterapkan untuk pasien yang tidak dapat menerima layanan bedah berupa
antibiotik. Mengkonsumsi antibiotik dapat membantu mencegah infeksi.
b) Operasi
Sudah jelas telah terdeteksi apendisitis maka tindakan yang dilakukan yaitu operasi
pengangkatan apendiks. Operasi pengangkatan usus buntu disebut appendikomi
(Wedjo, 2019).
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons
pasien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang
beransung aktual maupun potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan untuk
mengidentifikasi respon pasien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi
yang berkaitan dengan kesehatan (PPNI, 2017) dalam (Nurfadilah, 2020).
Menurut SDKI (2017), diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus
Ileus Obstruktif meliputi:
1) Nyeri Akut (D.0077).
2) Risiko Ketidakseimbangan Cairan (D.0036).
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah segala pengobatan yang dikerjakan oleh
perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai
luaran yang diharapkan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018) dalam (Nurfadilah, 2020).
No. Diagnosa Tujuan Keperawatan dan
Intervensi Keperawtan
DX Keperawatan Kriteria Hasil
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan dimana
rencana keperawatan dilaksanakan. Pada tahap ini, perawat harus melakukan tindakan
keperawatan yang ada dalam rencana keperawatan. Tindakan dan respon pasien
tersebut langsung dicatat dalam format tindakan keperawatan. Dalam format
implementasi keperawatan yang harus didokumentasikan adalah tanggal dilakukannya
tindakan, waktu, nomor diagnosis, implementasi dan respon, paraf dan nama terang
perawat (Dinarti, dkk., 2013) dalam (Nurfadilah, 2020).
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yaitu menilai
efektifitas rencana yang telah dibuat, strategi dan pelaksanaan dalam asuhan
keperawatan serta menentukan perkembangan dan kemampuan pasien dalam
mencapai sasaran yang telah diharapkan. Tahapan evaluasi menentukan kemajuan
pasien terhadap pencapaian hasil yang diinginkan dan respons pasien terhadap dan
keefektifian intervensi keperawatan kemudian mengganti rencana perawatan jika
diperlukan. Tahap akhir dari proses keperawatan perawat mengevaluasi kemampuan
pasien ke arah pencapaian hasil (Nurfadilah, 2020).
Obstruksi usus atau illeus adalah sumbatan yang terjadi pada aliran isi usus baik secara
mekanis maupun fungsional. Aliran ini dapat terjadi karena dua tipe proses : a).Mekanis :
terjadi obstruksi mural dari tekanan pada dinding usus. Contoh : intususepsi, perlengketan,
tumor, hernia dan abses. b).Fungsional : muskulatur usus tidak mampu mendorong isi
sepanjang usus. Contoh : gangguan endokrin. (Smeltzer dan Suzzane, 2001 : 1121)
2.3.2 Etiologi
Menurut (Smeltzer dan Suzzane, 2001 : 1121) etiologi dari obstruksi usus atau illeus yaitu:
a) Perlengketan
b) Intususepsi yaitu salah satu bagian usus menyusup kedalam bagian lain yang ada
dibawahnya.
c) Volvulus yaitu usus memutar akibatnya lumen usus tersumbat.
d) Hernia yaitu protrusi usus melalui area yang lemah dalam usus.
e) Tumor
2.3.3 Patofisiologi
Pengaruh obstruksi kolon tidak sehebat pengaruh pada obstruksi usus halus, karena pada
obstruksi kolon, keculai pada volvus, hampir tidak pernah terjadi stragulasi, kolon
merupakan alat pemompaan feses sehingga secara relatif fungsi kolon sebagai alat penyerap
sedikit sekali. Oleh karena itu kehilangan cairan dan elektrolit berjalan lambat pada
obstruksi kolon distal. Gambaran klinik ini disebut obstruksi rendah, berlainan dengan ileus
usus halus yang dinamai ileus tinggi.
Obstruksi kolon yang berlarut-larut akan menimbulkan destensi yang amat besar
bersamaan katup ileosekal tetap utuh. Bila terjadi lusufisiensi katup, timbul reflek dari
kolon ke dalam ileum terminal sehingga ileum turut membesar karena itu gejala dan tenda
obstruksi rendah tergantung kompetensi valvula bauhin.
Dinding usus halus kuat dan tebal, karena itu tidak timbul distensi berlebihan atau ruptur.
Dinding usus besar tipis, sehingga mudah mengalami distensi. Dinding sekum merupakan
bagian kolon yang paling tipis, karena itu dapat terjadi ruptur bila terlalu terenggang (Jong,
1997).
Gejala utama dari obstruksi ialah nyeri kolik, mual, muntah dan obstipasi.
Nyeri kram abdomen bisa merupakan gejala penyerta yang berhubungan dengan
hipermotilitas intestinal proksimal daerah obstruksi. Nyeri menyebar dan jarang
terlokalisir, namun sering dikeluhkan nyeri pada bagian tengah abdomen.
Tanda-tanda obstruksi pada usus halus meliputi, distensi abdomen yang akan
sangat terlihat pada obstruksi usus halus bagian distal ileum, atau distensi bisa tak
terjadi bila obstruksi terjadi di bagian proksimal usus halus, dan peningkatan
bising usus. Hasil laboratorium terlihat penurunan volume intravaskuler, adanya
hemokonsentrasi dan abnormalitas elektrolit. Mungkin didapatkan leukositosis
ringan.
Kegagalan untuk defekasi dan flatus merupakan tanda yang penting untuk
membedakan terjadinya obstruksi komplit atau parsial. Defekasi masih terjadi
pada obstruksi letak tinggi karena perjalan isi lumen di bawah daerah obstruksi.
Diare yang terus menerus dapat juga menjadi tanda adanya obstruksi partial.
Tanda-tanda pada pemeriksaan fisik dapat saja normal pada awalnya, namun
distensi akan segera terjadi, terutama pada obstruksi letak rendah. Tanda awal
yang muncul ialah penderita segera mengalami dehidrasi. Massa yang teraba
dapat di diagnosis banding dengan keganasan, abses, ataupun strangulasi.
2.3.6 Komplikasi
Komplikasi dari ileus obstruksi dapat berupa nekrosis usus, perforasi usus yang
dapat menyebabkan peritonitis, syok septik, dan kematian. Usus yang strangulasi
mungkin mengalami perforasi yang mengakibatkan materi dalam usus keluar ke
peritoneum dan mengakibatkan peritonitis. Meskipun tidak mengalami perforasi,
bakteri dapat melintasi usus yang permeabel dan masuk ke sirkulasi darah yang
mengakibatkan syok septik.
2.3.7 Penatalaksanaan
Penderita penyumbatan usus harus di rawat dirumah sakit (Kusuma dan Nurarif,
2015). Penatalaksanaan pasien dengan ileus obstruktif adalah:
a. Persiapan
Pipa lambung harus dipasang untuk mengurangi muntah, mencegah aspirasi
danmengurangi distensi abdomen (dekompresi). Pasien dipuasakan, kemudian
dilakukan juga resusitasi cairan dan elektrolit untuk perbaikan keadaan umum.
Setelah keadaan optimum tercapai barulah dilakukan laparatomi. Pada obstruksi
parsial atau karsinomatosis abdomen dengan pemantauan dan konservatif.
b. Operasi
Operasi dapat dilakukan bila sudah tercapai rehidrasi dan organ-organ vital
berfungsi secara memuaskan. Tetapi yang paling sering dilakukan adalah
pembedahan sesegera mungkin. Tindakan bedah dilakukan bila :
1) Strangulasi
2) Obstruksi lengkap
3) Hernia inkarserata
4) Tidak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif (dengan pemasangan NGT,
infus,oksigen dan kateter) (Kusuma dan Nurarif, 2015)
c. Pasca bedah
Pengobatan pasca bedah sangat penting terutama dalam hal cairan dan elektrolit.
Kita harus mencegah terjadinya gagal ginjal dan harus memberikan kalori yang
cukup. Perlu diingat bahwa pasca bedah usus pasien masih dalam keadaan paralitik
(Kusuma dan Nurarif, 2015).
2.4 Asuhan Keperawatan Pada Kasus Ileus Obstruktif
1) Identitas atau biodata
Berisikan nama pasien, alamat tempat tinggal, tempat tanggal lahir, status perkawinan dan
riwayat pendidikan, jenis kelamin, status agama, kepercayaan serta pekerjaan, riwayat social
ekonimi dan nomor rekam medis.
2) Keluhan utama
Sebagian besar mayoritas pasie ileus obstruktif mengalami beberapa gejala seperti, nyeri
perut, mual, muntah, distensi abdomen dan konstipasi.
Apakah pasien sebelumnya pernah mengalami penyakit pada system pencernaan atau
penyakit yang lain.
Apakah ada anggota keluarga yang memilili penyakit yang sama dengan pasien.
Meliputi:
a) Pola nutrisi Saat mengkaji status nutrisi dan metabolisme, perlu dilakukan pengukuran
tinggi dan berat badan untuk menentukan status nutrisi klien. Perlu ditanyakan tentang
kebiasaan makan sebelum dan sesudah masuk rumah sakit.
b) Pola eliminasi Saat mengkaji pola eliminasi, penting untuk menanyakan tentang kebiasaan
buang air besar dan kecil sebelum dan sesudah masuk rumah sakit. Karena biasanya penderita
ileus obstruktif sulit untuk melakukan defekasi.
Rasa nyeri yang timbul akibat ileus obstruktif membuat pasien merasa tidak nyaman sehingga
mengganggu aktivitas pasien termasuk pola istirahat dan tidur pasien dengan ileus obstruktif
maka perlu dilakukan pengkajian terkait status kualitas tidurnya. d) Pola aktifitas dan latihan
Pasien dengan ileus obstruktif merasa lemah, tidak dapat melakukan aktivitas secara mandiri.
Untuk memenuhi kebutuhan ADL, kebutuhan pasien didukung oleh perawat dan
keluarganya.
e) Pemeriksaan fisik
a. Gambaran umum :
Pemeriksaan fisik umum dimulai dengan memeriksa tanda-tanda vital, termasuk denyut nadi,
suhu, tekanan darah, dan laju pernapasan. Keadaan umum dengan gangguan pada sistem
pencernaan dapat dinilai dengan menilai kondisi fisik setiap bagian tubuh dan dengan menilai
kesadaran klien.
b. Kepala Inspeksi:
Bentuk kepala, pertubuhan rambut, kulit kepala (lesi, massa), kesimetrisan. Palpasi: nyeri
tekan.
c. Mata Inspeksi:
Kelengkapan dan kesimetrisan mata, kelopak mata. Amati daerah orbital ada tidaknya edema,
kemerahan atau jaringan lunak dibawah bidang orbital, amati konjungtiva dan sklera (untuk
mengetahui adanya anemis atau tidak). Perhatikan warna, edema, dan lesi. Inspeksi kornea
(kejernihan dan tekstur kornea) dengan berdiri disamping klien dengan menggunakan sinar
cahaya tidak langsung. Inspeksi pupil, iris. Palpasi : ada tidaknya pembengkakan pada orbital
dan kelenjar lakrimal.
d. Hidung Inspeksi:
Kesimetrisan bentuk, adanya deformitas atau lesi dan cairan yang keluar. Palpasi: bentuk dan
jaringan lunak hidung adanya nyeri, massa, penyimpangan bentuk
e. Telinga Inspeksi :
Amati kesimetrisan bentuk, dan letak telinga, warna, dan lesi. Palpasi : kartilago telinga
untuk mengetahui jaringan lunak, tulang teling ada nyeri atau tidak.
Warna dan mukosa bibir, lesi dan kelainan kongenital, kebersihan mulut, faring.
g. Leher Inspeksi :
Bentuk leher, kesimetrisan, warna kulit, adanya pembengkakan, jaringan parut atau massa.
Palpasi : kelenjar limfa/kelenjar getah bening, kelenjar tiroid
Kelainan bentuk thorak, kelainan bentuk tulang belakang, pada wanita (inspeksi payudara:
bentuk dan ukuran). Palpasi : ada tidaknya krepitus pada kusta, pada wanita (palpasi
payudara: massa).
i. Paru Inspeksi :
Kesimetrisan paru, ada tidaknya lesi. Palpasi : dengan meminta pasien menyebutkan angka
missal 77 Bandingkan paru kanan dan kiri. Pengembangan paru dengan meletakkan kedua
ibu jari tangan ke prosesus xifoideus dan minta pasien bernapas panjang. Perkusi : dari
puncak paru kebawah (suprakapularis/3-4 jari dari pundak sampai dengan torakal 10), catat
suara perkusi: sonor/hipersonor/redup. Auskultasi : bunyi paru saat inspirasi dan aspirasi
(vesikuler, bronchovesikuler, bronchial, tracheal: suara abnormal wheezing, ronchi, krekels).
j. Jantung Inspeksi :
Titik impuls maksimal, denyutan apikal Palpasi : area orta pada intercostae ke-2 kiri, dan
pindah jarijari ke intercostae 3, dan 4 kiri daerah trikuspidalis, dan mitral pada intercostae 5
kiri. Kemudian pindah jari dari mitral 5-7 cm ke garis midklavikula kiri. Perkusi : untuk
mengetahui batas jantung (atas- bawah, kanankiri). Auskultasi : bunyi jantung I dan II untuk
mengetahui adanya bunyi jantung tambahan.
k. Perut Inspeksi :
l. Genetalia Inspeksi:
Kebersihan rambut pubis, adanya lesi, eritema, keputihan, peradangan, lubang uretra. m.
Ektremitas Inspeksi : kesimetrisan, lesi, massa. Palpasi : tonus otot, kekuatan otot. Kaji
sirkulasi : akral hangat/dingin, warna, Capillary Refiil Time (CRT). Kaji kemampuan
pergerakan sendi. Kaji reflek fisiologis : bisep, trisep, patela, arcilles. Kaji reflek patologis :
reflek plantar. Palpasi adanya edema pada ekstremitas.
2. Konsep diri
Bagaimana klien melihat dirinya sebagai seorang pria/wanita, apa yang disukai dan tidak
disukainya, bagaimana menurutnya orang lain menilai dirinya sendiri.
3. Gaya komunikasi
Kaji cara klien berbicara, cara memberikan informasi, penolakan untuk respon, komunikasi
nonverbal, kecocokan bahasa verbal dan nonverbal.
4. Pola interaksi
Yaitu Kepada siapa klien menceritakan tentang dirinya, hal yang menyebabkan klien
merespon pembicaraan, kecocokan ucapan dan perilaku terhadap orang lain.
5. Pola koping
Apa yang dilakukan klien dalam mengatasi masalah, kepada siapa klien mengadukan
masalahnya.
6. Data Sosial
Bagaimana hubungan sosial klien dengan orang-orang sekitar di rumah sakit, dengan
keluarganya, dengan tenaga kesehatan lainnya.
Arti kehidupan yang penting dalam kehidupan yang dialami klien, keyakinan tentang
penyakit dan proses kesembuhan, hubungan kepercayaan dengan Tuhan, ketaatan
menjalankan ibadah, keyakinan bantuan Tuhan dalam proses penyembuhan dan keyakinan
tentang kehidupan dan kematian.
8. Pemeriksaan Penunjang
b. Radiografi abdomen
b. Nyeri akut
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan yang
diharapkan, karena masih terbatasnya pengetahuan kami.oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Makalah ini perlu dikaji
ulang agar dapat sempurna dan makalah ini harus digunakan sebagaimana mestinya
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, E. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Appendicitis Yang Di Rawat
Di Rumah Sakit. In Jurnal Ilmiah Kesehatan.
http://repository.poltekkes-kaltim.ac.id/id/eprint/1066
Mooy, D. Z., Suwedagatha, I. G., & Golden, N. (2020). Faktor-faktor risiko yang berperan
terhadap terjadinya infeksi luka operasi pada pasien post appendectomy di RSUP Sanglah
Denpasar. Intisari Sains Medis, 11(2), 439. https://doi.org/10.15562/ism.v11i2.714
Wibowo, W. J., Wahid, T. O. R., & Masdar, H. (2020). Hubungan Onset Keluhan Nyeri
Perut Dan Jumlah Leukosit Dengan Tingkat Keparahan Apendisitis Akut Pada Anak. Health
& Medical Journal, 2(2), 26–36. https://doi.org/10.33854/heme.v2i2.538