Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

KONSEP DAN ASKEP


APPENDISITIS DAN ILEUS OBSTRUKTIF

DOSEN PENGAMPU
Ernawati, S.Kep.,Ners.,M.Kep

DI SUSUN OLEH:
KELOMPOK IV

1. Nadia Purnama Sari (225STYC22)


2. Hana Nabila (211STYC22)
3. Abidatul Rosidah (192STYC22)
4. Lestari Fitri (216STYC22)
5. Nurul Wahida (230STYC22)
6. Dian Utari (204STYC22)
7. Cani Cahya (200STYC22)
8. Rifka Sartika (234STYC22)
9. Siti Wahida Suroyya (242STYC22)
10. Satria Izza Irawan (238STYC22)
11. Usman (246STYC22)
12. Muhamad Naufal Rifqi (220STYC22)
13. Hardiawan (212STYC22)

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM (RSI) NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
TAHAP AKADEMIK 2023/2024

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberikan kami
kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongannya kami tidak akan mampu untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas limpahan nikmat
sehatnya baik itu berupa sehat fisik maupun pikiran, sehingga kami dapat menyelesaikan
pembuatan makalah tentang “KONSEP DAN ASKEP PADAKASUS APPENDISITIS DAN
ILEUS OBSTRUKTIF”.

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta
saran supaya makalah ini nantinya dapat menjadi lebih baik lagi. Kami juga mengucapkan
terimakasih kepada dosen pembimbing yang memberikan tugas ini. Demikian makalah ini
kami buat semoga dapat bermanfaat untuk kita semua aamiin.

Mataram, 11 Maret 2024

Penyusun
Kelompok IV

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1

1.1 Latar Belakang........................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................2
1.3 Manfaat Penulisan...................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................3

2.1 Konsep Dasar Appendisitis.....................................................................................3


2.1.1 Pengertian..........................................................................................................3
2.1.2 Etiologi..............................................................................................................3
2.1.3 Patofisiologi.......................................................................................................3
2.1.4 Manifestasi Klinis..............................................................................................3
2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik....................................................................................3
2.1.7 Komplikasi........................................................................................................3
2.1.8 Penatalaksanaan…………………………………………………………….…4
2.2 Asuhan Keperawatan Pada Kasus Appendisitis.....................................................4
2.3 Konsep Dasar Ileus Obstruktif................................................................................5
2.3.1 Pengertian..........................................................................................................3
2.3.2 Etiologi..............................................................................................................3
2.3.3 Patofisiologi.......................................................................................................3
2.3.4 Manifestasi Klinis..............................................................................................3
2.3.5 Pemeriksaan Diagnostik……………………………………………………….3
2.3.6 Komplikasi........................................................................................................3
2.3.7 Penatalaksanaan.................................................................................................3
2.4 Asuhan Keperawatan Pada Kasus Ileus Obstruktif................................................7

BAB III PENUTUP.......................................................................................................14

3.1 Kesimpulan...........................................................................................................14
3.2 Saran.....................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................15

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Ileus obstruktif merupakan penyakit pada saluran cerna yang kompleks dimana
ketika lumen usus tersumbat sebagian atau seluruhnya akan menyebabkan sakit perut,
mual, muntah, konstipasi atau sembelit, distensi abdomen, flatus dan mencegah
pergerakan normal produk yang dicerna (Dewi, 2020). Bahaya umum dari ileus
obstruktif apabila tidak segera di tangani akan menyebabkan sepsis, toksinemia bahkan
syok sehingga memerlukan tindakan segera (Arif, 2020).

Berdasarkan data dari World Health Orgnization (WHO), insiden ileus obstruktif
pada tahun 2012 sebanyak 140 juta pasien diseluruh rumah sakit di dunia (WHO, 2012).
Kasus ileus obstruktif di Amerika Serikat diperkirakan mencapai 0,13%. Di Indonesia,
ileus obstruktif menduduki peringkat ke 6 dari 10 penyakit penyebab kematian tertinggi
dengan prevalensi 3,34% (Kemenkes RI, 2019). Menurut data rekam medis RSUD Simo
Boyolali dari tahun 2020-2022 kejadian ileus obstruktif meningkat 100%, dimana setiap
tahun ada peningkatan sekitar 7 kasus yang dilaporkan (Rekam Medis RSUD Simo
Boyolali, 2022).

Komplikasi lain yang terjadi setelah tindakan laparatomi yaitu distensi abdomen,
konstipasi, perdarahan, shock, infeksi pada luka pembedahan, nyeri akibat tindakan
pembedahan, gangguan istirahat dan merasa kurang nyaman (Yuliana, 2021). Hal ini lah
yang menyebabkan penting dilakukan tindakan mobilisasi dini pasca operasi.

Mobilisasi dini merupakan tindakan yang dilakukan gerakan-gerakan tertentu dan


mempunyai tujuan untuk mendorong kemandirian (Mubarak, 2015). Mobilisasi dini
mempengaruhi waktu pemulihan peristaltik usus pasien post pembedahan, apabila
mobilisasi dapat dilakukan lebih awal, maka aktifasi peristaltik usus pasien juga akan
lebih cepat (Kiik, 2013 dalam Prayitno & Haryati, 2013).

1.2 Rumusan Masalah


1. Konsep Penyakit Appendisitis
2. Konsep Penyakit Ileus Obstruktif
3. Asuhan Keperawatan Pada Kasus Appendisitis dan Ileus Obstruktif

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep dari penyakit appendisitis
2. Untuk mengetahui konsep dari penyakit obstruktif
3. Untuk mengetahui langkah-langkah pembuatan asuhan keperawatan pada kasus
appendisitis dan ileus obstruktif

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Appendisitis


2.1.1 Pengertian
Apendisitis adalah kondisi dimana terjadi infeksi pada usus buntu. Dalam
banyak kasus, penyakit ringan dapat diatasi tanpa intervensi medis; namun, banyak
kasus memerlukan pembedahan untuk mengangkat tali pusat yang terinfeksi
(Anonim, 2016).
Radang usus buntu adalah penyebab paling umum dari nyeri akut perut. Ini adalah
peradangan pada usus buntu vermiformis. Kondisi ini menyerang semua orang,
termasuk kaum muda, antara usia 10 dan 30 tahun. Kondisi ini merupakan penyebab
paling umum dari peradangan akut pada perut bagian bawah dan penyebab paling
umum dari distensi perut (Smeltzer & Bare, 2013).
Apendiks adalah payung kecil yang menutupi tepat sekum bagian bawah tutup
ileosekal. Akibat kurang efektifnya pengosongan isi apendiks ke dalam kolon dan
ukuran lumen yang kecil, apendik mudah patah dan terkoyak. pendisitis, terinfeksi.
Pendiks yang berkembang akan menimbulkan edema dan radang, yang pada akhirnya
akan kolaps menjadi nanah (push). Apendisitis adalah penyebab utama peradangan
akut di perut bagian bawah dan penyebab sekunder dari kembung yang terus-menerus.
Meskipun dapat menyerang semua kelompok orang, radang usus buntu paling sering
terjadi pada mereka yang berusia antara 10 dan 30 tahun (Brunner & Suddarth, 2014).
Apendisitis adalah pembengkakan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai
cacing (apendiks). Bibir bawah disebut sekum (sekum). Infeksi ini berpotensi
menyebabkan serangan akut sehingga memerlukan perhatian medis segera untuk
mengatasi komplikasi yang biasanya memburuk. 2014-2016 NANDA NIC NOC.
Berdasarkan ketiga penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa radang usus
buntu merupakan suatu kondisi yang menyerang usus buntu yang disebabkan oleh
adanya sumbatan pada lumen usus buntu. Salah satu penyebab utama nyeri perut akut
adalah radang usus buntu. Apendisitis terjadi dalam rentang waktu yang luas. Ketika
radang usus buntu semakin parah, maka risiko terjadinya komplikasi juga akan
meningkat.

2.1.2 Etiologi
Apendisitis akut adalah infeksi bakteri. Berbagai faktor berkontribusi terhadap
situasi ini. Faktor yang dianggap sebagai pencetus selain hiperplasia jaringan limfe,
fekalit, tumor usus buntu, dan cacing askaris yang juga dapat menyebabkan sumbatan
adalah lumen usus buntu. Faktor lain yang juga dapat menyebabkan terjadinya radang
usus buntu adalah erosi usus buntu yang disebabkan oleh parasit seperti E. Histolyca
(Jong, 2017).

Etiologi dari appendisitis menurut (S. Bakhri, 2015) meliputi :


a. Hiperplasi jaringan limfoid.
Istilah medis hipertrofi jaringan limfoid dan hiperplasia limfatik
umumnya menyebabkan radang usus buntu pada anak-anak.
Kondisi ini biasanya diidentifikasi dengan pemeriksaan lebih lanjut
di laboratorium patologi. Pembesaran jaringan limfoid akibat
perubahan struktur dinding apendiks dapat menyebabkan inflamasi.
Perubahan ini umumnya terkait dengan penyakit radang usus (IBD),
infeksi saluran cerna maupun Chorn’s disease.

b. Fekalit.
Fekalit / timbunan tinja yang keras dan menjadi penyebab utama
seseorang dapat mengalami radang usus buntu. Keadaan statis /
diam secara terus-menerus menyebabkan banyak kuman
berkambang biak. Ini menginduksi peradangan di sekitar struktur
dan sekum, menyebabkan gejala pada pasien. Secara umum,
apendisitis akibat penutupan tinja sering terjadi pada anak-anak dan
orang tua. Hal ini dipengaruhi oleh gaya hidup yang sangat sedikit
mengkonsumsi makanan yang mengandung serat atau membatasi
aktivitas fisik.

c. Tumor apendiks
Tumor langka ini terbentuk dibagian bawah saluran pencernaan
yang dapat menyebabkan peradangan pada usus buntu. Tumor lebih
cenderung menyebabkan peradangan yang mengganggu struktur
sekum yang sedang tumbuh.

d. Infeksi parasit.
Infeksi parasit seperti cacing gelang (Ascaris lumbricoides), amuba
(Entamoeba histolica), cacing benang (Strongiloides stercoralis),
cacing kremi (enterobiasis), dan Blastocystis hominis merupakan
penyebab peradangan pada usus buntu. Biasanya infeksi parasit
ditularkan dari hewan maupun cara hidup yang tidak sehat, seperti
kurang menjaga kebersihan diri. Adanya infeksi parasit
menyebabkan perlukaan atau erosi di lapisan usus buntu, sehingga
peradangan dapat terjadi dengan mudah.

e. Makanan rendah serat


Seseorang yang mengkonsumsi sedikit makanan berserat akan
mengalami feses yang kering, keras dan kecil yang memerlukan
kontraksi otot yang lebih besar untuk mengeluarkannya sehingga
menyebabkan konstipasi. Konstipasi menyebabkan terjadinya
obstruksi fekalit dalam usus sehingga meningkatkan produksi
mukus di saluran pencernaan. Peningkatan tekanan dinding
appendiks meningkatkan tekanan kapiler dan menyebabkan iskemia
mukosa dan translokasi bakteri menembus dinding appendiks
menyebabkan terjadinya inflamasi di appendiks yaitu appendisitis.

f. Konstipasi
Pengerasan tinja (konstipasi) dalam waktu lama, sangat mungkin
ada bagiannya yang terselip masuk ke saluran appendiks yang pada
akhirnya akan menjadi tempat bakteri bersarang dan berkembang
biak, sebagai infeksi . Hal ini akan meningkatkan tekanan intra
sekal, sehingga timbul sumbatan fungsional appendiks dan
meningkatkan pertumbuhan kuman flora pada kolon. Penyumbatan
yang tetjadi pada lapisan usus buntu yang menyebabkan infeksi
diduga menjadi penyebab usus buntu. Bakteri yang berkembang
biak dengan cepat akhirnya menyebabkan appendiks menjadi
meradang, bengkak, dan penuh nanah. Bila tidak segera diobati usus
buntu bisa pecah (Wedjo, 2019).

2.1.3 Patofisiologi
Pada stadium awal dari appendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa.
Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan lapisan muskular dan
serosa (peritoneal). Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada permukaan serosa
dan berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang bersebelahan, seperti usus atau
dinding abdomen, menyebabkan peritonitis lokal (Burkitt, 2017).

Trauma adalah cedera / rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosiaonal.


(Dorland 2017.) Trauma adalah luka atau cedera fisik lainya atau cedera fisiologis
akibat gangguan emosional yang hebat. Trauma adalaha penyebab kematian paling
utama pada anak dan orang dewasa kurang dari 44 tahun. Penyalagunaan alkohol
adalah obat yang telah menjadi faktor komplikasi pada trauma tumpul dan tembus serta
trauma yang disengaja atau tidak disengaja. trauma abdomen adalah cedera pada
abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta gtrauma yang disengaja atau
tidak disengaja. Trauma abdomen merupakan luka pada isi rongga perut bisa terjadi
dengan atau tanpa tembusnya dinding perut dimana pada penanganan /penatalaksanaan
dapat bersifat kedaruratan dapat pula dilakukan tindakan laparatomi. tusukan /
tembakan, pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman dapat
mengakibatkan terjadinya trauma abdomen sehingga harus dilakukan laparatomi.

Trauma tumpul abdomen dapat mengakibatkan individu kehilangan


darahmemar / jejas pada dinding perut, kerusakan oragan organ nyeri, iritasi cairan
usus. Sedangkan trauma tembus abdomen dapat mengakibatkan hilangnya seluruh atau
6 xix sebagian fungsi organ, respon stres simpatis, perdarahan atau pembekuan darah,
kontaminasi bakteri, kematian sel. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ dan
respon stres dari saraf simpatis akan menyebabkan terjadinya kerusakan integritas kulit,
syok dan perdarahan, kerusakan pertukaran gas, resiko tinggi terhadap infeksi, nyeri
akut. (Doland, 2017).

2.1.4 Manifestasi Klinis


Apendisitis dapat mempengaruhi semua kelompok umur, tetapi sangat jarang pada
bayi dan anak kecil, apendisitis akut dapat berkembang dari waktu ke waktu, membuat
diagnosis apendisitis jauh lebih sulit dan terkadang tertunda. Nyeri yaitu gejala pertama
yang muncul. Seiring waktu, rasa sakit terlokalisasi di perut kanan bawah. Rasa sakit
meningkat seiring perkembangan penyakit. Perubahan letak anatomis apendisitis dapat
mengubah gejala nyeri yang terjadi. Pada anak-anak retro-apendiks atau intra-panggul,
nyeri di sekitar saluran empedu tidak muncul terlebih dahulu dan nyeri dapat terjadi pada
hipokondrium kanan. Unilateral, nyeri punggung, dan nyeri testis terkait juga merupakan
gejala umum pada anak-anak dengan apendisitis panggul posterior. Jika radang usus buntu
terjadi di dekat ureter atau kandung kemih, gejalanya mungkin termasuk rasa sakit ketika
buang air kecil atau ketidaknyamanan dengan urin dan kandung kemih penuh. Anoreksia,
mual dan muntah ringan, dan diare dapat terjadi akibat infeksi sekunder dan inflamasi
ileum terminal atau apendiks. Gejala gastrointestinal yang parah sebelum timbulnya nyeri
sering merupakan tanda diagnostik apendisitis. Meskipun demikian, keluhan GIT
(gastrointestinal trake) ringan seperti indigesti atau perubahan feses dapat terjadi pada
anak dengan appendisitis. Pada appendisitis tanpa koplikasi biasanya ringan, jika suhu
tubuh sudah diatas 38,6℃ menandakan terjadi pervorasi. Anak dengan appendisitis,
biasanya cenderung untuk berbaring di tempat tidur dengan lutut diflexikan dan
menghindari diri untuk bergerak. Anak yang mengeliat dan berteriak jarang menderita
appendisitis, kecuali pada anak dengan appendisitis, retrocekal, nyeri seperti kolik renal
akubat perangsangan ureter (Warsinggih, 2016).

2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik


a) Laboratorium
..........Ini termasuk hitung kelengkapan darah dan protein penghasil (CRP). Tes darah
menunjukkan jumlah sel darah putih 10.000- 18.000/mm3 leukositosis dan lebih dari 75%
neutrofil, tetapi CRP menunjukkan peningkatan jumlah serum.

b) Radiologi
Termasuk ultrasound (USG) dan komputer tomography scanning (CTscan). Ultrasound
menemukan bagian longitudinal dari apendiks yang meradang, tetapi CT menunjukkan
apendiks yang meradang dan bagian apendiks yang melebar.

c) Pemeriksaan abdomen singkat


Pemeriksaan ini tidak menunjukkan tanda-tanda apendisitis yang jelas. Namun, penting
untuk membedakan penyakit apendisitis dari batu ureter kanan atau obstruksi usus halus
(Sulekale, 2016).

2.1.6 Komplikasi
Anak mempunyai dinding appendiks yang belum tebal, sekum pendek yang belum
berkembang dengan sempurna, sehingga terjadi perforasi, dan orang yang lebih tua
mengalami pengurangan pembuluh darah. Komplikasinya antara lain:
a) Abses
Abses yaitu peradangan pada usus buntu yang mengandung nanah. Massa jaringan
lunak dapat teraba di kuadran kanan bawah atau di panggul. Benjolan ini awalnya
selulit dan berkembang menjadi rongga berisi nanah. Ini terjadi ketika apendisitis
memiliki mikrofosil yang ditutupi dengan kelenjar getah bening atau perikardium.

b) Perforasi
Usus buntu pecah berisi nanah yang memungkinkan bakteri menyebar dalam perut.
Perforasi akan jarang dalam rentang waktu 12 jam setelah timbulnya nyeri, tetapi
meningkat dengan cepat setelah 24jam.

c) Peritonitis
Peradangan peritoneum atau komplikasi berbahaya yang dapat terjadi. Peritonitis
sistemik ditimbulkan oleh infeksi luas pada permukaan peritoneum. Peristaltik
mengembangkan ileus paralitik dan berkurang sampai usus meregang dan
kehilangan elektrolit, menyebabkan dehidrasi, syok, gangguan peredaran darah, dan
pollakiuria (Sulekale, 2016).

2.1.7 Penatalaksanaan
Adapun pengobatan/penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk radang usus buntu
yaitu :
a) Terapi Konservatif
Terapi ini diterapkan untuk pasien yang tidak dapat menerima layanan bedah berupa
antibiotik. Mengkonsumsi antibiotik dapat membantu mencegah infeksi.

b) Operasi
Sudah jelas telah terdeteksi apendisitis maka tindakan yang dilakukan yaitu operasi
pengangkatan apendiks. Operasi pengangkatan usus buntu disebut appendikomi
(Wedjo, 2019).

2.2 Asuhan Keperawatan Pada Kasus Appendisitis


1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan merupakan suatu dari komponen dari proses
keperawatan yaitu suatu usaha yang dilakukan oleh perawat dalam menggali
permasalahan dari klien meliputi usaha pengumpulan data tentang status kesehatan
seorang klien secara sistematis, menyeluruh, akurat, singkat, dan berkesinambungan
(Arif Muttaqin, 2020) dalam (Nurfadilah, 2020).
1) Pengkajian Umum
Pada pengkajian pasien di unit rawat inap, poliklinik, bagian bedah sehari, atau
unit gawat darurat dilakukan secara komprehensif di mana seluruh hal yang
berhubungan dengan pembedahan pasien perlu dilakukan secara seksama.
a. Identitas pasien : Meliputi Nama, umur, Tanggal lahir, jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, status perkawinan, suku bangsa dan Nomor
Rekam medis. Pengkajian ini diperlukan agar tidak terjadi duplikasi nama
pasien. Umur pasien sangat penting untuk diketahui guna melihat kondisi
pada berbagai jenis pembedahan. Selain itu juga diperlukan untuk
memperkuat identitas pasien.
b. Keluhan Utama
Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan klien pada saat dikaji.
Pada umumnya keluhan yang di rasakan oleh pasien post operasi ileus
obstruktif adalah keluhan haus dan lapar. Pasien biasanya menanyakan kapan
boleh minum atau makan pada perawat.
2) Riwayat kesehatan
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Mengungkapkan hal-hal yang menyebabkan klien mencari pertolongan,
Metode untuk pengkajian nutrisi adalah “ABCD”.
I. Antropometri measurements.
II. Bio chemical data.
III. Clinicals signs.
IV. Diet history.
i. Antropometri measurements
Pengkajian nutrisi yang meliputi:
a) Sistem pengukuran dan susunan tubuh dan proporsi tubuh
manusia.
b) Mengevaluasi pertumbuhan, mengkaji status nutrisi, dan
ketersediaan energi tubuh.
c) Identifikasi masalah nutrisi, meliputi : Tinggi badan, berat badan,
indeks massa tubuh, lipatan trisep, LLA, LOLA.
ii. Bio Chemical Data
Pengkajian nutrisi menggunakan nilai biokimia seperti: Total limfosit,
serum albumin, zat besi, creatinin, HB, HT, keseimbangan nitrogen,
kadar kolesterol, dll.
iii. Clinical signs
Pemeriksaan fisik pada pasien yang berhubungan dengan adanya mal
nutrisi.
Prinsip: head to feet/ chephalo caudal.
iv. Diet History Mengkaji riwayat diet, meliputi :
a) Fead recall 24 jam : pola, jenis, dan frekuensi makanan yang
dikonsumsi dalam 24 jam.
b) Alergi, dan intoleransi terhadap makanan.
c) Faktor yang mempengaruhi pola makan.
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit yang sama,
riwayat ketergantungan terhadap makanan/minuman, zat dan obat-obatan,
apakah klien sebelumnya pernah mengalami penyakit pada sistem
pencernaan atau adanya riwayat operasi pada sistem pencernaan. Pada ileus
obstruksi harus dicari adanya riwayat operasi sebelumnya, tumor atau hernia.
c. Riwayat Penyakit Keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang mempunyai riwayat penyakit yang sama
dengan klien.
3) Activity Daily Living
a. Nutrisi : Pada pasien post operasi pemenuhan nutrisi biasanya terganggu
karena adanya mual dan muntah, nyeri abdomen, pasien yang diharuskan
puasa, dan sistem pencernaan yang belum optimal.
b. Eliminasi : Pada pasien post operasi, sering mengalami konstipasi dan tidak
bisa flatus karena peristaltik usus menurun.
c. Istirahat : Nyeri abdomen pasca operasi umumnya akan menggangu pola
istirat klien.
d. Aktivitas : Pasien post operasi ileus biasanya mengalami kesulitan dalam
ambulasi karena adanya kelelahan dan nyeri yang dirasakan.
4) Pemeriksaan Fisik
Ada berbagai pendekatan yang digunakan dalam melakukan pemeriksaan
fisik, mulai dari pendekatan head to toe hingga pendekatan per-system. Perawat
dapat menyesuaikan konsep pendekatan pemeriksaan fisik dengan kebijakan
prosedur yang digunakan institusi tempat bekerja. Pada pelaksanaannya,
pemeriksaan yang dilakukan bisa mencakup sebagian atau seluruh sistem,
bergantung pada banyaknya waktu yang tersedia dan kondisi preoperatif pasien.
a. Keadaan umum
Lemah, kesadaran menurun sampai syok hipovolemia suhu meningkat,
pernapasan meningkat, nadi meningkat, tekanan darah meningkat.
b. Pemeriksaan fisik
1. Sistem kardiovaskular: tidak ada distensi vena jugularis, tidak ada
oedema, tekanan darah meningkat, BJ I dan BJ II terdengar normal.
2. Sistem respirasi: pernapasan meningkat, bentuk dada normal, dada
simetris, sonor (kanan kiri), tidak ada wheezing dan tidak ada ronchi.
3. Sistem hematologi: terjadi peningkatan leukosit yang merupakan tanda
adanya infeksi.
4. Sistem perkemihan : produksi urin menurun BAK < 500 cc.
5. Sistem muskuloskeletal: badan lemah, tidak bisa melakukan aktivitas
secara mandiri.
6. Sistem integumen: tidak ada edema, turgor kulit menurun, tidak ada
sianosis, pucat.
7. Sistem gastrointestinal:
A. Inspeksi : Dapat ditemukan tanda tanda dehidrasi, yang mencakup
turgor kulit jelek maupun mulut dan lidah kering. Pada abdomen
harus dilihat adanya distensi, parut abdomen. Pada pasien post operasi
akan ditemukan luka bedah atau luka lubang colon. Inspeksi pada
penderita yang kurus/sedang juga dapat ditemukan “darm contour”
(gambaran kontur usus) maupun “darm steifung” (gambaran gerakan
usus), biasanya nampak jelas pada saat penderita mendapat serangan
kolik yang disertai mual dan muntah dan juga pada ileus obstruksi
yang berat. Penderita tampak gelisah dan menggeliat sewaktu
serangan kolik.
B. Palpasi : Pada palpasi didapatkan distensi abdomen. Palpasi bertujuan
mencari adanya tanda iritasi peritoneum apapun atau nyeri tekan,
yang mencakup “defance musculair” involunter atau rebound dan
pembengkakan atau massa yang abnormal. Nyeri yang terlokasi dan
terabanya massa menunjukkan adanya strangulasi. Pada ileus paralitik
pasien hanya menyatakan perasaan tidak enak pada perutnya. Tidak
ditemukan adanya reaksi peritoneal (nyeri tekan dan nyeri lepas
negatif).
C. Auskutasi : Pada auskultasi ileus obstruksi, terdengar borborygmus
nada tinggi bersamaan dengan nyeri kolik, tetapi temuan ini sering
tidak ada beberapa waktu lamanya pada obstruksi strangulasi dan
non-strangulasi. Bising usus yang meningkat dan metallic sound
dapat didengar sesuai dengan timbulnya nyeri pada obstruksi di
daerah distal.
D. Perkusi : Pada pasien ileus obstruksi terdengar suara timpani saat
melakukan pemeriksaan dengan cara perkusi. Pada ileus paralitik,
perkusi timpani dengan bising usus yang lemah dan jarang bahkan
dapat tidak terdengar sama sekali.
8. Pemeriksaan rektum dan pelvis :
Bagian akhir yang diharuskan dari pemeriksaan adalah
pemeriksaan rektum dan pelvis. Pada pemeriksaan colok dubur akan
didapatkan tonus sfingter ani biasanya cukup namun ampula recti sering
ditemukan kolaps terutama apabila telah terjadi perforasi akibat obstruksi.
Mukosa rektum dapat ditemukan licin dan apabila penyebab obstruksi
merupakan massa atau tumor pada bagian anorectum maka akan teraba
benjolan yang harus kita nilai ukuran, jumlah permukaan, konsistensi,
serta jaraknya dari anus dan perkiraan diameter lumen yang dapat dilewati
oleh jari. Nyeri tekan dapat ditemukan pada lokal maupun general
misalnya pada keadaan peritonitis. Kita juga menilai ada tidaknya feses di
dalam kubah rektum. Pada ileus obstruktif usus feses tidak teraba pada
colok dubur dan tidak ditemukan pada sarung tangan. Pada sarung tangan
dapat ditemukan darah apabila penyebab ileus obstruktif adalah lesi
intrinsic di dalam usus (Sjamsuhidajat & Jong, 2005)
5) Data psikologis
a. Status emosi : Apakah klien mampu mengontrol emosinya.
b. Kecemasan klien : Bagaimana tingkat kecemasan klien, bagian terpenting
dari pengkajian kecemasan perioperative adalah untuk menggali peran orang
terdekat, baik dari keluarga atau sahabat pasien. Adanya sumber dukungan
orang terdekat akan menurunkan kecemasan.
c. Konsep diri : Pasien dengan konsep diri positif lebih mampu menerima
operasi yang dialaminya dengan tepat.
d. Citra tubuh : perawat mengkaji perubahan citra tubuh yang pasien anggap
terjadi akibat operasi. Reaksi individu berbeda-beda bergantung pada konsep
diri dan tingkat harga dirinya.
e. Data sosial
- Pola komunikasi : Bagaimana gaya bicara klien pola interaksi.
- Bagaimana interaksi klien dengan keluarga, perawat,dan
lingkungan sekitar.
f. Data spiritual
- Motivasi religi klien : Bagaimana keyakinan klien terhadap
penyakit yang di deritanya.
- Persepsi klien terhadap penyakit nya : Bagaimana persepsi
klien terhadap penyakit nya.
- Pelaksanaan ibadah sebelum dan sesudah sakit : Bagaimana
pelaksanaan ibadah klien sebelum dan sat sakit, apakah ada
perubahan atau tidak.
g. Sumber koping : perawat perioperative mengkaji adanya dukungan yang
dapat diberikan oleh anggota keluarga atau teman pasien.
h. Pengetahuan, persepsi, pemahaman : dengan mengidentifikasi pengetahuan,
persepsi, pemahaman, pasien dapat membantu perawat merencanakan
penyuluhan dan tindakan untuk mempersiapkan kondisi emosional pasien.
6) Pemeriksaan Penunjang
Sebelum pasien menjalani pembedahan, dokter bedah akan meminta
pasien untuk menjalani pemeriksaan diagnostic guna memeriksa adanya kondisi
yang tidak normal. Perawat bertanggung jawab mempersiapkan dalam klien
untuk menjalani pemeriksaan diagnostic dan mengatur agar pasien menjalani
pemeriksaan yang lengkap. Perawat juga harus mengkaji kembali hasil
pemeriksaan diagnostic yang perlu diketahui dokter untuk membantu
merencanakan terapi yang tepat.
a. Pemeriksaan Radiologi
i. Foto polos abdomen.
ii. Pemeriksaan radiologi dengan Barium Enema.
iii. CT-Scan.
iv. MRI.
v. USG Abdomen.
b. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium mungkin dapat
membantu mencari kausa penyakit dan menunjukkan gambaran dehidrasi dan
kehilangan volume plasma. Pemeriksaan yang penting untuk dimintakan
yaitu leukosit darah, kadar elektrolit, ureum, glukosa darah dan amilasi.
Leukositosi mungkin menunjukkan adanya strangulasi. Pada urinalisa
mungkin menunjukkan dehidrasi. Analisa gas darah dapat mengindikasikan
asidosis atau alkalosis metabolik.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons
pasien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang
beransung aktual maupun potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan untuk
mengidentifikasi respon pasien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi
yang berkaitan dengan kesehatan (PPNI, 2017) dalam (Nurfadilah, 2020).
Menurut SDKI (2017), diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus
Ileus Obstruktif meliputi:
1) Nyeri Akut (D.0077).
2) Risiko Ketidakseimbangan Cairan (D.0036).

3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah segala pengobatan yang dikerjakan oleh
perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai
luaran yang diharapkan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018) dalam (Nurfadilah, 2020).
No. Diagnosa Tujuan Keperawatan dan
Intervensi Keperawtan
DX Keperawatan Kriteria Hasil

1 Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan O :


berhubungan keperawatan selama …. x
- Identifikasi respons nyeri non verbal.
dengan agen 24 jam diharapkan rasa
- Identifikasi faktor yang memperberat dan
pencedera fisik. nyeri teratasi atau
memperingan nyeri.
terkontrol.
- Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
tentang nyeri.
- Identifikasi pengaruh budaya terhadap
respon nyeri.
- Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
hidup.
- Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah diberikan.
- Monitor efek samping
penggunaan analgetik.
T:

- Berikan teknik nonfarmakologis untuk


mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
hipnotis, akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat, aromaterapi,
teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain).
- Kontrol lingkungan yang memperberat
rasa nyeri (mis. suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan).
- Fasilitasi istirahat dan tidur.
- Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri.
E:
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
nyeri.
- Jelaskan strategi meredakan nyeri.
- Anjurkan memonitoring nyeri secara
mandiri.
- Anjurkan menggunakan analgetik secara
tepat.
- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
K:

- Kolaborasi pemberian analgetik,


jika perlu.
2 Kekurangan Setelah dilakukan asuhan O :
Volume Cairan keperawatan selama …. x
- Monitor status hidrasi (mis. frekuensi
berhubungan 24 jam diharapkan
nadi, kekuatan nadia, akral, pengisian
dengan mual, kebutuhan cairan terpenuhi.
kapiler, kelembapan mukosa, turgor
muntah, demam
kulit, tekanan darah).
dan diforesis.
- Monitor berat badan harian.
- Monitor berat badan sebelum dan
sesudah dialisis.
- Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
(mis. hematokrit, Na, K, Cl, berat jenis
urine, BUN).
- Monitor status hemodinamik (mis. MAP,
CVP, PAP, PCWP jika tersedia).
T:

- Catat intake-output dan hitung balanc


cairan 24 jam.
- Berikan asupan cairan, sesuai kebutuhan.
- Berikan cairan intravena, jika perlu.
K:
- Kolaborasi pemberian diuretik,
jika perlu.

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan dimana
rencana keperawatan dilaksanakan. Pada tahap ini, perawat harus melakukan tindakan
keperawatan yang ada dalam rencana keperawatan. Tindakan dan respon pasien
tersebut langsung dicatat dalam format tindakan keperawatan. Dalam format
implementasi keperawatan yang harus didokumentasikan adalah tanggal dilakukannya
tindakan, waktu, nomor diagnosis, implementasi dan respon, paraf dan nama terang
perawat (Dinarti, dkk., 2013) dalam (Nurfadilah, 2020).

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yaitu menilai
efektifitas rencana yang telah dibuat, strategi dan pelaksanaan dalam asuhan
keperawatan serta menentukan perkembangan dan kemampuan pasien dalam
mencapai sasaran yang telah diharapkan. Tahapan evaluasi menentukan kemajuan
pasien terhadap pencapaian hasil yang diinginkan dan respons pasien terhadap dan
keefektifian intervensi keperawatan kemudian mengganti rencana perawatan jika
diperlukan. Tahap akhir dari proses keperawatan perawat mengevaluasi kemampuan
pasien ke arah pencapaian hasil (Nurfadilah, 2020).

2.3 Konsep Dasar Ileus Obstruktif


2.3.1 Pengertian
Obstruksi usus atau ilieus adalah gangguan aliran normal isi usus sepanjang saluran usus
(Price, 1997 : 502). Obstruksi usus atau illeus adalah obstruksi saluran cerna tinggi artinya
disertai dengan pengeluaran banyak aliran cairan dan elektrolit baik didalam lumen usus
bagian oral dari obstruksi maupun oleh muntah (Syamsuhidayat, 1997 : 842)

Obstruksi usus atau illeus adalah sumbatan yang terjadi pada aliran isi usus baik secara
mekanis maupun fungsional. Aliran ini dapat terjadi karena dua tipe proses : a).Mekanis :
terjadi obstruksi mural dari tekanan pada dinding usus. Contoh : intususepsi, perlengketan,
tumor, hernia dan abses. b).Fungsional : muskulatur usus tidak mampu mendorong isi
sepanjang usus. Contoh : gangguan endokrin. (Smeltzer dan Suzzane, 2001 : 1121)
2.3.2 Etiologi
Menurut (Smeltzer dan Suzzane, 2001 : 1121) etiologi dari obstruksi usus atau illeus yaitu:
a) Perlengketan
b) Intususepsi yaitu salah satu bagian usus menyusup kedalam bagian lain yang ada
dibawahnya.
c) Volvulus yaitu usus memutar akibatnya lumen usus tersumbat.
d) Hernia yaitu protrusi usus melalui area yang lemah dalam usus.
e) Tumor

2.3.3 Patofisiologi

Pengaruh obstruksi kolon tidak sehebat pengaruh pada obstruksi usus halus, karena pada
obstruksi kolon, keculai pada volvus, hampir tidak pernah terjadi stragulasi, kolon
merupakan alat pemompaan feses sehingga secara relatif fungsi kolon sebagai alat penyerap
sedikit sekali. Oleh karena itu kehilangan cairan dan elektrolit berjalan lambat pada
obstruksi kolon distal. Gambaran klinik ini disebut obstruksi rendah, berlainan dengan ileus
usus halus yang dinamai ileus tinggi.

Obstruksi kolon yang berlarut-larut akan menimbulkan destensi yang amat besar
bersamaan katup ileosekal tetap utuh. Bila terjadi lusufisiensi katup, timbul reflek dari
kolon ke dalam ileum terminal sehingga ileum turut membesar karena itu gejala dan tenda
obstruksi rendah tergantung kompetensi valvula bauhin.

Dinding usus halus kuat dan tebal, karena itu tidak timbul distensi berlebihan atau ruptur.
Dinding usus besar tipis, sehingga mudah mengalami distensi. Dinding sekum merupakan
bagian kolon yang paling tipis, karena itu dapat terjadi ruptur bila terlalu terenggang (Jong,
1997).

2.3.4 Manifestasi Klinis


Terdapat 4 tanda kardinal gejala ileus obstruktif :
1. Nyeri kolik abdomen
2. Muntah
3. Distensi
4. Kegagalan buang air besar atau gas (konstipasi).
Gejala ileus obstruktif tersebut dapat bervariasi tergantung kepada :
1. Lokasi obstruksi
2. Lamanya obstruksi
3. Penyebab obstruksi
4. Ada atau tidaknya iskemia usus

Gejala utama dari obstruksi ialah nyeri kolik, mual, muntah dan obstipasi.
Nyeri kram abdomen bisa merupakan gejala penyerta yang berhubungan dengan
hipermotilitas intestinal proksimal daerah obstruksi. Nyeri menyebar dan jarang
terlokalisir, namun sering dikeluhkan nyeri pada bagian tengah abdomen.

Tanda-tanda obstruksi pada usus halus meliputi, distensi abdomen yang akan
sangat terlihat pada obstruksi usus halus bagian distal ileum, atau distensi bisa tak
terjadi bila obstruksi terjadi di bagian proksimal usus halus, dan peningkatan
bising usus. Hasil laboratorium terlihat penurunan volume intravaskuler, adanya
hemokonsentrasi dan abnormalitas elektrolit. Mungkin didapatkan leukositosis
ringan.

Kegagalan untuk defekasi dan flatus merupakan tanda yang penting untuk
membedakan terjadinya obstruksi komplit atau parsial. Defekasi masih terjadi
pada obstruksi letak tinggi karena perjalan isi lumen di bawah daerah obstruksi.
Diare yang terus menerus dapat juga menjadi tanda adanya obstruksi partial.
Tanda-tanda pada pemeriksaan fisik dapat saja normal pada awalnya, namun
distensi akan segera terjadi, terutama pada obstruksi letak rendah. Tanda awal
yang muncul ialah penderita segera mengalami dehidrasi. Massa yang teraba
dapat di diagnosis banding dengan keganasan, abses, ataupun strangulasi.

Tanda-tanda terjadinya strangulasi seperi nyeri terus menerus, demam,


takikardia, dan nyeri tekan bisa tak terdeteksi pada 10-15% pasien sehingga
menyebabkan diagnosis strangulasi menjadi sulit untuk ditegakkan. Pada
obstruksi karena strangulasi bisa terdapat takikardia, nyeri tekan lokal, demam,
leukositosis dan asidosis. Level serum dari amylase, lipase, lactate dehidrogenase,
fosfat, dan potassium mungkin meningkat. Penting dicatat bahwa parameter ini tak
dapat digunakan untuk membedakan antara obstruksi sederhana dan strangulasi
sebelum terjadinya iskemia irreversible
2.3.5 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Syamsuhidayat (1997) pemeriksaan penunjang dari obstruksi usus atau
illeus yaitu :
Pemeriksaan rontgen dengan enteroklisis.
Menggunakan cairan kontras encer berguna untuk menentukan diagnosis sebab
memberikan gambaran ke sepanjang usus halus.
Enteroskopi.
Yaitu meneropong usus dapat dilakukan sebagai refleksi bagian ligament treiz,
sampai permulaan yeyenum.
Sonogram
Berguna untuk menentukan adanya ruang yang mengandung cairan seperti kista,
abses atau cairan bebas didalam rongga perut atau ruang yang berisi jaringan padat.

2.3.6 Komplikasi
Komplikasi dari ileus obstruksi dapat berupa nekrosis usus, perforasi usus yang
dapat menyebabkan peritonitis, syok septik, dan kematian. Usus yang strangulasi
mungkin mengalami perforasi yang mengakibatkan materi dalam usus keluar ke
peritoneum dan mengakibatkan peritonitis. Meskipun tidak mengalami perforasi,
bakteri dapat melintasi usus yang permeabel dan masuk ke sirkulasi darah yang
mengakibatkan syok septik.

1. Obstruksi Usus Halus


Dekompresi pada usus melalui selang usus halus atau nasogastrik bermanfaat dalam
mayoritas kasus obstruksi usus halus. Apabila usus tersumbat secara lengkap, maka
strangulasi yang terjadi memerlukan tindakan pembedahan, sebelum pembedahan,
terapi intra vena diperlukan untuk mengganti kehilangan cairan dan elektrolit
(natrium, klorida dan kalium ). Tindakan pembedahan terhadap obstruksi usus halus
tergantung penyebab obstruksi. Penyebab paling umum dari obstruksi seperti.
Penyebab paling umum dari obstruksi seperti hernia dan perlengketan. Tindakan
pembedahannya adalah herniotomi.
2. Obstruksi Usus Besar
Apabila obstruksi relatif tinggi dalam kolon, kolonoskopi dapat dilakukan untuk
membuka lilitan dan dekompresi usus. Sekostomi, pembukaan secara bedah yang
dibuat pasa sekum, dapat dilakukan pada pasien yang berisiko buruk terhadap
pembedahan dan sangat memerlukan pengangkatan obstruksi. Tindakan lain yang
biasa dilakukan adalah reseksi bedah utntuk mengangkat lesi penyebab obstruksi.
Kolostomi sementara dan permanen mungkin diperlukan.

2.3.7 Penatalaksanaan
Penderita penyumbatan usus harus di rawat dirumah sakit (Kusuma dan Nurarif,
2015). Penatalaksanaan pasien dengan ileus obstruktif adalah:
a. Persiapan
Pipa lambung harus dipasang untuk mengurangi muntah, mencegah aspirasi
danmengurangi distensi abdomen (dekompresi). Pasien dipuasakan, kemudian
dilakukan juga resusitasi cairan dan elektrolit untuk perbaikan keadaan umum.
Setelah keadaan optimum tercapai barulah dilakukan laparatomi. Pada obstruksi
parsial atau karsinomatosis abdomen dengan pemantauan dan konservatif.

b. Operasi
Operasi dapat dilakukan bila sudah tercapai rehidrasi dan organ-organ vital
berfungsi secara memuaskan. Tetapi yang paling sering dilakukan adalah
pembedahan sesegera mungkin. Tindakan bedah dilakukan bila :
1) Strangulasi
2) Obstruksi lengkap
3) Hernia inkarserata
4) Tidak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif (dengan pemasangan NGT,
infus,oksigen dan kateter) (Kusuma dan Nurarif, 2015)

c. Pasca bedah
Pengobatan pasca bedah sangat penting terutama dalam hal cairan dan elektrolit.
Kita harus mencegah terjadinya gagal ginjal dan harus memberikan kalori yang
cukup. Perlu diingat bahwa pasca bedah usus pasien masih dalam keadaan paralitik
(Kusuma dan Nurarif, 2015).
2.4 Asuhan Keperawatan Pada Kasus Ileus Obstruktif
1) Identitas atau biodata

Berisikan nama pasien, alamat tempat tinggal, tempat tanggal lahir, status perkawinan dan
riwayat pendidikan, jenis kelamin, status agama, kepercayaan serta pekerjaan, riwayat social
ekonimi dan nomor rekam medis.

2) Keluhan utama

Sebagian besar mayoritas pasie ileus obstruktif mengalami beberapa gejala seperti, nyeri
perut, mual, muntah, distensi abdomen dan konstipasi.

3) Riwayat kesehatan dahulu

Apakah pasien sebelumnya pernah mengalami penyakit pada system pencernaan atau
penyakit yang lain.

4) Riwayat kesehatan keluarga

Apakah ada anggota keluarga yang memilili penyakit yang sama dengan pasien.

5) Pola aktifitas sehari-hari (ADL)

Meliputi:

a) Pola nutrisi Saat mengkaji status nutrisi dan metabolisme, perlu dilakukan pengukuran
tinggi dan berat badan untuk menentukan status nutrisi klien. Perlu ditanyakan tentang
kebiasaan makan sebelum dan sesudah masuk rumah sakit.

b) Pola eliminasi Saat mengkaji pola eliminasi, penting untuk menanyakan tentang kebiasaan
buang air besar dan kecil sebelum dan sesudah masuk rumah sakit. Karena biasanya penderita
ileus obstruktif sulit untuk melakukan defekasi.

c) Pola istrihat dan tidur

Rasa nyeri yang timbul akibat ileus obstruktif membuat pasien merasa tidak nyaman sehingga
mengganggu aktivitas pasien termasuk pola istirahat dan tidur pasien dengan ileus obstruktif
maka perlu dilakukan pengkajian terkait status kualitas tidurnya. d) Pola aktifitas dan latihan
Pasien dengan ileus obstruktif merasa lemah, tidak dapat melakukan aktivitas secara mandiri.
Untuk memenuhi kebutuhan ADL, kebutuhan pasien didukung oleh perawat dan
keluarganya.

e) Pemeriksaan fisik

a. Gambaran umum :

Pemeriksaan fisik umum dimulai dengan memeriksa tanda-tanda vital, termasuk denyut nadi,
suhu, tekanan darah, dan laju pernapasan. Keadaan umum dengan gangguan pada sistem
pencernaan dapat dinilai dengan menilai kondisi fisik setiap bagian tubuh dan dengan menilai
kesadaran klien.
b. Kepala Inspeksi:

Bentuk kepala, pertubuhan rambut, kulit kepala (lesi, massa), kesimetrisan. Palpasi: nyeri
tekan.

c. Mata Inspeksi:

Kelengkapan dan kesimetrisan mata, kelopak mata. Amati daerah orbital ada tidaknya edema,
kemerahan atau jaringan lunak dibawah bidang orbital, amati konjungtiva dan sklera (untuk
mengetahui adanya anemis atau tidak). Perhatikan warna, edema, dan lesi. Inspeksi kornea
(kejernihan dan tekstur kornea) dengan berdiri disamping klien dengan menggunakan sinar
cahaya tidak langsung. Inspeksi pupil, iris. Palpasi : ada tidaknya pembengkakan pada orbital
dan kelenjar lakrimal.

d. Hidung Inspeksi:

Kesimetrisan bentuk, adanya deformitas atau lesi dan cairan yang keluar. Palpasi: bentuk dan
jaringan lunak hidung adanya nyeri, massa, penyimpangan bentuk

e. Telinga Inspeksi :

Amati kesimetrisan bentuk, dan letak telinga, warna, dan lesi. Palpasi : kartilago telinga
untuk mengetahui jaringan lunak, tulang teling ada nyeri atau tidak.

f. Mulut dan faring Inspeksi :

Warna dan mukosa bibir, lesi dan kelainan kongenital, kebersihan mulut, faring.

g. Leher Inspeksi :

Bentuk leher, kesimetrisan, warna kulit, adanya pembengkakan, jaringan parut atau massa.
Palpasi : kelenjar limfa/kelenjar getah bening, kelenjar tiroid

h. Thorak dan tulang belakang Inspeksi :

Kelainan bentuk thorak, kelainan bentuk tulang belakang, pada wanita (inspeksi payudara:
bentuk dan ukuran). Palpasi : ada tidaknya krepitus pada kusta, pada wanita (palpasi
payudara: massa).

i. Paru Inspeksi :

Kesimetrisan paru, ada tidaknya lesi. Palpasi : dengan meminta pasien menyebutkan angka
missal 77 Bandingkan paru kanan dan kiri. Pengembangan paru dengan meletakkan kedua
ibu jari tangan ke prosesus xifoideus dan minta pasien bernapas panjang. Perkusi : dari
puncak paru kebawah (suprakapularis/3-4 jari dari pundak sampai dengan torakal 10), catat
suara perkusi: sonor/hipersonor/redup. Auskultasi : bunyi paru saat inspirasi dan aspirasi
(vesikuler, bronchovesikuler, bronchial, tracheal: suara abnormal wheezing, ronchi, krekels).

j. Jantung Inspeksi :
Titik impuls maksimal, denyutan apikal Palpasi : area orta pada intercostae ke-2 kiri, dan
pindah jarijari ke intercostae 3, dan 4 kiri daerah trikuspidalis, dan mitral pada intercostae 5
kiri. Kemudian pindah jari dari mitral 5-7 cm ke garis midklavikula kiri. Perkusi : untuk
mengetahui batas jantung (atas- bawah, kanankiri). Auskultasi : bunyi jantung I dan II untuk
mengetahui adanya bunyi jantung tambahan.

k. Perut Inspeksi :

Ada tidaknya pembesaran, datar, cekung/cembung, kebersihan umbilikus. Palpasi :


epigastrium, lien, hepar, ginjal Perkusi : 4 kuadran (timpani, hipertimpani, pekak)
Auskultasi : 4 kuadaran (peristaltik usus diukur dalam 1 meniT, bising usus).

l. Genetalia Inspeksi:

Kebersihan rambut pubis, adanya lesi, eritema, keputihan, peradangan, lubang uretra. m.
Ektremitas Inspeksi : kesimetrisan, lesi, massa. Palpasi : tonus otot, kekuatan otot. Kaji
sirkulasi : akral hangat/dingin, warna, Capillary Refiil Time (CRT). Kaji kemampuan
pergerakan sendi. Kaji reflek fisiologis : bisep, trisep, patela, arcilles. Kaji reflek patologis :
reflek plantar. Palpasi adanya edema pada ekstremitas.

2. Konsep diri

Bagaimana klien melihat dirinya sebagai seorang pria/wanita, apa yang disukai dan tidak
disukainya, bagaimana menurutnya orang lain menilai dirinya sendiri.

3. Gaya komunikasi

Kaji cara klien berbicara, cara memberikan informasi, penolakan untuk respon, komunikasi
nonverbal, kecocokan bahasa verbal dan nonverbal.

4. Pola interaksi

Yaitu Kepada siapa klien menceritakan tentang dirinya, hal yang menyebabkan klien
merespon pembicaraan, kecocokan ucapan dan perilaku terhadap orang lain.

5. Pola koping

Apa yang dilakukan klien dalam mengatasi masalah, kepada siapa klien mengadukan
masalahnya.

6. Data Sosial

Bagaimana hubungan sosial klien dengan orang-orang sekitar di rumah sakit, dengan
keluarganya, dengan tenaga kesehatan lainnya.

7. Data Spiritual Kaji

Arti kehidupan yang penting dalam kehidupan yang dialami klien, keyakinan tentang
penyakit dan proses kesembuhan, hubungan kepercayaan dengan Tuhan, ketaatan
menjalankan ibadah, keyakinan bantuan Tuhan dalam proses penyembuhan dan keyakinan
tentang kehidupan dan kematian.

8. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan darah lengkap

b. Radiografi abdomen

9. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul:

a. Disfungsi motilitas gastrointestinal

b. Nyeri akut

c. Gangguam pola tidur


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Konsep dasar asuhan keperawatan pada apendisitis dan ileus obstruktif


melibatkan pemahaman yang mendalam tentang kondisi medis tersebut dan upaya
perawatan yang tepat.

Dengan memperhatikan konsep dasar asuhan keperawatan ini, perawat dapat


memberikan perawatan yang holistik, efektif, dan berorientasi pada pasien kepada
individu yang mengalami apendisitis atau ileus obstruktif.

3.2 Saran

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan yang
diharapkan, karena masih terbatasnya pengetahuan kami.oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Makalah ini perlu dikaji
ulang agar dapat sempurna dan makalah ini harus digunakan sebagaimana mestinya
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, E. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Appendicitis Yang Di Rawat
Di Rumah Sakit. In Jurnal Ilmiah Kesehatan.
http://repository.poltekkes-kaltim.ac.id/id/eprint/1066

Mooy, D. Z., Suwedagatha, I. G., & Golden, N. (2020). Faktor-faktor risiko yang berperan
terhadap terjadinya infeksi luka operasi pada pasien post appendectomy di RSUP Sanglah
Denpasar. Intisari Sains Medis, 11(2), 439. https://doi.org/10.15562/ism.v11i2.714

Wibowo, W. J., Wahid, T. O. R., & Masdar, H. (2020). Hubungan Onset Keluhan Nyeri
Perut Dan Jumlah Leukosit Dengan Tingkat Keparahan Apendisitis Akut Pada Anak. Health
& Medical Journal, 2(2), 26–36. https://doi.org/10.33854/heme.v2i2.538

Anda mungkin juga menyukai