Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH KEPERAWATAN JIWA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA GANGGUAN HALUSINASI

Disusun Oleh :

Natasya Monicah Patoh


22210044

Tugas ini disusun untuk memenuhi nilai Ujian Tengah Semester pada mata kuliah
keperawatan jiwa yang dibimbing oleh dosen Ns.Noifke Kaghoo,S.Kep.,M.Kes

AKADEMI KEPERAWATAN RUMKIT TK.III MANADO


T.A 2023/2024
ASUHAN KEPERAWATAN PADA GANGGUAN HALUSINASI

A. Pengertian
Merupakan salah satu dari gangguan jiwa dimana seseorang tidak mampu
membedakan antara kehidupan nyata dengan kehidupan palsu. Dampak yang
muncul dari pasien dengan gangguan halusinasi mengalami panik, perilaku
dikendalikan oleh halusinasinya, dapat bunuh diri atau membunuh orang, dan
perilaku kekerasan lainnya yang dapat membahayakan dirinya maupun orang
disekitarnya.
Halusinasi merupakan salah satu gejala yang sering ditemukan pada klien
dengan gangguan jiwa, halusinasi sering diidentikkan dengan skizofrenia.
Dari seluruh klien skizofrenia sebagian besar diantaranya mengalami
halusinasi. Gangguan jiwa lain yang juga disertai dengan gejala halusinasi
adalah gangguan manik depresif dan delerium. Halusinasi merupakan
gangguan persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya
tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar.
Suatu penghayatan yangdialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa
stimulus eksteren persepsi palsu.

B. ⁠Masalah Utama
Gangguan Sensori Persepsi : Halusinasi

1. Proses Terjadinya Masalah


Halusinasi yang dialami pasien bisa berbeda intensitas dan
keparahannya. Semakin berat fase halusinasinya, pasien semakin berat
mengalami ansietas dan makin dikendalikan oleh halusinasinya. Berikut
4 fase halusinasi menurut Sutejo (2017):
a) Fase I Comforting (Halusinasi menyenangkan)
Pasien mengalami perasaan yang mendalam seperti ansietas,
kesepian, rasa bersalah, takut sehingga mencoba untuk berfokus
pada pikiran menyenangkan untuk meredakan ansietas. Individu
mengenali bahwa pikiran-pikiran dan pengalaman sensori
berada dalam kendali kesadaran jika ansietas dapat ditangani.
Gejala yang dapat terlihat seperti tersenyum atau tertawa yang
tidak sesuai, menggerakan bibir tanpa suara, pergerakan mata
cepat, respon verbal lambat jika sedang asyik dan diam serta
asyik sendiri (non psikotik).
b) Fase II Condeming (Halusinasi menjadi menjijikan)
Pengalaman sensori yang menjijikan, pasien mulai lepas
kendali dan mungkin mencoba mengambil jarak dirinya dengan
sumber yang dipersepsikan, menarik diri dari orang lain, merasa
kehilangan kontrol, tingkat kecemasan berat. Gejala yang dapat
terlihat seperti meningkatnya tanda-tanda sistem saraf otonom
akibat ansietas, rentang perhatian menyempit, asyik dengan
pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan membedakan
halusinasi dan realita, menyalahkan, menarik diri dengan orang
lain dan konsentrasi terhadap pengalaman sensori kerja (non
psikotik). Wicaksono (2017), Teknik distraksi sangat
berpengaruh pada pasien yang mengalami gangguan jiwa
terutama halusinasi pendengaran yang dilakukan dengan cara
mengalihkan perhatian pasien dan menurunkan tingkat
kewaspadaan pasien ke hal lain sehingga stimulus sensori yang
menyenangkan dapat merangsang sekresi endorphin dan sudah
berhasil dilakukan, ditandai dengan klien mampu mengontrol
rasa takut saat halusinasi muncul. Teknik distraksi tersebut
antara lain teknik menghardik, melakukan kegiatan secara
terjadwal dan bercakap-cakap dengan orang lain.
c) Fase III Controling (Pengalaman sensori jadi berkuasa)
Pasien berhenti melakukan perlawanan terhadap halusinasi
dan menyerah pada halusinasi tersebut, isi halusinasi menjadi
menarik, pasien mungkin mengalami pengalaman kesepian jika
sensori halusinasi berhenti. Gejala yang dapat terlihat seperti
kemauan yang dikendalikan halusinasi akan diikuti, kesukaran
berhubungan dengan orang lain, rentang perhatian hanya
beberapa detik atau menit, adanya tanda-tanda fisik ansietas
berat: berkeringat, tremor, dan tidak mampu mematuhi perintah,
dan isi halusinasi menjadi atraktif (psikotik).
d) Fase IV Conquering (Umumnya menjadi melebur
dalamhalusinasinya)
Pengalaman sensori menjadi mengancam jika pasien mengikuti
perintah halusinasinya, halusinasi berakhir dari beberapa jam
atau hari jika tidak ada intervensi terapeutik. Gejala yang dapat
terlihat seperti perilaku eror akibat panik, potensi kuat suicide
atau homicide aktivitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti
perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, atau katatonik, dan
tidak mampu merespon lebih dari satu orang (psikotik)
2. Rentang Respon
a) Respon adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima oleh
normanorma sosial budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu
tersebut dalam batas normal jika menghadapi suatu masalah akan
dapat memecahkan masalah tersebut, respon adaptif :
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada
kenyataan.
2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada
kenyataan.
3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang
timbul dari pengalaman.
4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih
dalam batas kewajaran
5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang
lain dan lingkungan.
b) Respon psikososial
1) Proses pikir terganggu.
2) Ilusi adalah interpretasi atau penilaian yang salah tentang
penerapan yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena
rangsangan panca indera.
3) Emosi berlebihan atau berkurang.
4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang
melebihi batas kewajaran.
5) Menarik diri yaitu percobaan untuk menghindar interaksi
dengan orang lain.
c) Respon maladaptif
Respon individu dalam menyelesaikan masalah yang
menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan lingkungan.
Adapun respon maladaptif meliputi:
1) Kelainan pikiran (Waham) adalah keyakinan yang secara
kokoh dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang
lain dan bertentangan dengan kenyataan sosial.
2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau
persepsi eksternal yang tidak realita atau tidak ada.
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang
timbul dari hati.
4) Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang
tidak teratur.
5) Isolasi sosial adalah kondisi dimana seseorang merasa
kesepian tidak mau berinteraksi dengan orang dan
lingkungan
3. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala halusinasi dinilai dari hasil observasi terhadap
pasien serta ungkapan pasien. Adapun tanda dan gejala pasien halusinasi
menurut Sutejo (2017) adalah sebagai berikut :
a) Data Subyektif:
Pasien mengatakan :
1) Mendengar suara-suara atau kegaduhan.
2) Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap.
3) Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang
berbahaya.
4) Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun,
melihat hantu atau monster
5) Mencium bau-bauan seperti bau darah, urin, feses, kadang-
kadang bau itu menyenangkan.
6) Merasakan rasa seperti darah, urin atau feses
7) Merasa takut atau senang dengan halusinasinya
b) Data Obyektif
1) Bicara atau tertawa sendiri
2) Marah-marah tanpa sebab
3) Mengarahkan telinga ke arah tertentu
4) Menutup telinga
5) Menunjuk-nunjuk ke arah tertentu
6) Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas.
7) Mencium sesuatu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu.
8) Menutup hidung.
9) Sering meludah
10) Muntah
11) Menggaruk-garuk permukaan kulit
4. Mekanisme Koping
Mekanisme koping merupakan perilaku yang mewakili upaya untuk
melindungi diri sendiri, mekanisme koping halusinasi menurut,
diantaranya:
a) Regresi
Proses untuk menghindari stress, kecemasan dan
menampilkan perilaku kembali pada perilaku perkembangan
anak atau berhubungan dengan masalah proses informasi dan
upaya untuk menanggulangi ansietas.
b) Proyeksi
Keinginan yang tidak dapat di toleransi,
mencurahkan emosi pada orang lain karena kesalahan yang
dilakukan diri sendiri (sebagai upaya untuk menjelaskan
kerancuan identitas).
c) Menarik diri
Reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik
maupun psikologis.
Reaksi fisik yaitu individu pergi atau lari menghindar
sumber stressor, sedangkan reaksi psikologis yaitu
menunjukkan perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak
berminat, sering disertai rasa takut dan bermusuhan.

C. ⁠Penyebab Masalah Utama


Faktor predisposisi pasien halusinasi menurut :
1. Faktor predisposisi
a) Faktor perkembangan
Tugas perkembangan pasien terganggu misalnya rendahnya
control dan kehangatan keluarga menyebabkan pasien tidak
mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri.
b) Faktor sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima di lingkungan sejak
bayi akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada
lingkungan
c) Faktor biologis
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa.
Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam
tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogen
neurokimia. Akibat stress berkepanjangan menyebabkan
teraktivasinya neurotransmitter otak.
d) Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh
pada ketidakmampuan pasien dalam mengambil keputusan yang
tepat demi masa depannya, pasien lebih memilih kesenangan
sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam khayal.
e) Faktor genetik dan pola asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh
orang tua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil
studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan
hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini
2. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi merupakan stimulus yang dipersepsikan oleh
individu sebagai tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memerlukan
energi ekstra untuk menghadapinya. Seperti adanya rangsangan dari
lingkungan, misalnya partisipasi pasien dalam kelompok, terlalu lama
tidak diajak komunikasi, objek yang ada di lingkungan dan juga suasana
sepi atau terisolasi, sering menjadi pencetus terjadinya halusinasi. Hal
tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang
tubuh mengeluarkan zat halusinogenik. Penyebab Halusinasi dapat
dilihat dari lima dimensi yaitu :
a) Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik
seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaaan obat-obatan,
demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk
tidur dalam waktu yang lama.
b) Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang
tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi
dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan.
Pasien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga
dengan kondisi tersebut pasien berbuat sesuatu terhadap
ketakutan tersebut.
c) Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu
dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan
fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego
sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun
merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang
dapat mengambil seluruh perhatian pasien dan tidak jarang akan
mengontrol semua perilaku pasien.
d) Dimensi Sosial
Pasien mengalami interaksi sosial dalam fase awal
(comforting), pasien menganggap bahwa hidup bersosialisasi di
alam nyata sangat membahayakan. Pasien asyik dengan
Halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk
memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan
harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata.
e) Dimensi Spiritual
Secara spiritual pasien Halusinasi mulai dengan kehampaan
hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan
jarang berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri. Saat
bangun tidur pasien merasa hampa dan tidak jelas tujuan
hidupnya. Individu sering memaki takdir tetapi lemah dalam
upaya menjemput rezeki, menyalahkan lingkungan dan orang
lain yang menyebabkan takdirnya memburuk

D. ⁠Efek Masalah
Halusinasi dapat menjadi suatu alasan mengapa pasien melakukan
tindakan perilaku kekerasan karena suara-suara yang memberinya perintah
sehingga rentan melakukan perilaku yang tidak adaptif. Perilaku kekerasan
yang timbul pada pasien skizofrenia diawali dengan adanya perasaan tidak
berharga, takut dan ditolak oleh lingkungan sehingga individu akan menyingkir
dari hubungan interpersonal dengan orang lain. Efek masalah yang dapat terjadi
pada klien dengan masalah utama gangguan sensori persepsi: halusinasi, antara
lain:
1. Gangguan dalam hubungan dan interaksi sosial
2. Tindakan menyakiti diri sendiri dan orang lain
3. Percobaan bunuh diri

E. ⁠Intervensi Standar Pelaksanaan (SP)


Serangkaian kegiatan yang dilakukan perawat untuk membantu klien dari
masalah status kesehatan yang dihadapi menuju status kesehatan yang
baik/optimal. Pelaksanaan tindakan merupakan realisasi dari rencana/intevensi
keperawatan yang mencakup perawatan langsung atau tidak langsung.

Masalah Tujuan Intervensi


Gangguan Tujuan umum: SP 1
Sensori Persepsi
Pasien berinteraksi Pasien Mendiskusikan jenis, isi, waktu, frekuensi, situasi,
: Halusinasi
dengan orang lain dan respons pasien terhadap halusinasi, melatih pasien
sehingga tidak terjadi untuk mengontrol halusinasi dengan cara menghardik, dan
menarik diri dari memotivasi pasien memasukkan cara mengontrol dengan
lingkungan menghardik pada jadwal harian.

Tujuan khusus : SP 2
Setelah dilakukan asuhan Pasien Mengevaluasi kemampuan pasien dalam
keperawatan diharapkan: mengontrol halusinasi dengan menghardik, melatih pasien
1. pasien menunjukkan mengendalikan halusinasi dengan cara bercakap-cakap
ekspresi wajah yang dengan orang lain, dan menganjurkan pasien memasukkan
bersahabat dalam jadwal kegiatan harian.
2. menunjukkan rasa
senang, ada kontak SP 3
mata, mau berjabat Pasien Mengevaluasi kemampuan pasien mengontrol
tangan, mau halusinasi yaitu dengan cara menghardik dan ngobrol,
menyebutkan nama, melatih pasien mengendalikan halusinasi dengan
mau menjawab melakukan kegiatan, dan memotivasi pasien memasukkan
salam, jadwal harian.

SP 4
Pasien Mengevaluasi kemampuan pasien mengontrol
halusinasi yaitu dengan cara menghardik dan ngobrol serta
kegiatan teratur, memberikan pendkes tentang minum obat
secara teratur, dan memotivasi pasien memasukkan dalam
jadwal harian

Anda mungkin juga menyukai