Anda di halaman 1dari 4

BAB IV

PEMBAHASAN

Bab ini akan membahas tentang tinjauan kasus pada asuhan keperawatan Vulnus
Laceratum pada Tn. D di ruang Instalasi Gawat Darurat RSUD Raden Mattaher. Pada kasus
diketahui klien dengan inisial Tn. D dengan usia 42 tahun masuk IGD setelah mengalami
kecelakaan dan pasien mengalami luka robekan di bagian wajah, tepatnya dibagian dahi
menjalar ke bagian batang hidung dan pipi kiri. Selain itu mata sebelah kiri juga tidak dapat
dibuka. Tindakan penanganan awal adalah memperhatikan A-B-C yaitu airway, breathing,
dan circulation.

Pada pengkajian kasus Tn. D dilakukan primary survey dengan pengkajian airway
untuk melihat aliran nafas apakah ada sumbatan seperti benda asing, darah, sputum, dan
cidera servikal. Pada Tn. D tidak adanya sumbatan pada jalan napas, maka pada airway tidak
didapatkan masalah. Setelah mengkaji airway selanjutnya dilakukan pengkajian pada bagian
breathing yaitu melihat keadaan pernafasan seperti sesak atau tidak dengan indikasinya,
frekuensi napas, kedalaman, batuk, dan suara bunyi nafas tambahan. Pada Tn. D diketahui
bahwa frekuensi napas 22x/menit. Namun, pada pasien tidak ditemukan tanda-tanda lainnya
yang mengidentifikasi bahwa pasien sesak napas. Selanjutnya dilakukan pengkajian pada
circulation yaitu dengan melihat sirkulasi perifer berupa nadi, irama, jenis denyut, tekanan
darah, keadaan ekstremitas, warna kulit, lama CRT, dan adanya edema. Pada Tn. D nadi
pasien 93x/menit dengan irama regular, denyut kuat dengan tekanan darah 108/60 mmHg,
ekstremitas dingin dengan warna kulit pucat, lama CRT < 2 detik dan tidak ada edema.

Selain pengkajian A-B-C maka pengkajian selanjutnya yaitu disability dengan melihat
kesadaran pasien serta tingkat GCS, alert/perhatian, respon terhadap suara, respon terhadap
nyeri, atau tidak berespon dan reaksi pupil. Tn. D kesadaran masih tahap compos mentis
dengan GCS 15 dengan perhatian, berespon terhadap suara dan nyeri serta terdapat reaksi
pupil positif. Pengkajian secondary survey untuk melihat riwayat yang terjadi pada pasien
seperti RKS, RKD, dan RKK. Pada Tn. D dengan RKS mengalami kecelakaan mobil yang
mengakibatkan pasien mengalami Vulnus Laceratum dengan adanya luka robekan di bagian
dahi menjalar ke batang hidung dan pipi kiri. Pada mata kiri pasien saat dilakukan pengkajian
tidak dapat dibuka secara spontan dan tampak sudah memutih, pada RKD pasien mengatakan
tidak memiliki riwayat penyakit, dan RKK tidak ada riwayat penyakit keluarga.
Pada kasus vulnus laceratum terjadi akibat kekerasan benda tumpul, goresan, jatuh
dan kecelakan. Sehingga kontuinitas jaringan terputus. Pada umumnya respon tubuh terhadap
trauma akan terjadi proses peradangan atau inflamasi. Reaksi peradangan akan terjadi apabila
jaringan terputus. Dalam keadaan ini ada peluang besar timbulnya infeksi yang sangat hebat.
Penyebabnya cepat yang disebabakan oleh mikroorgnaisme yang biasanya tidak berbahaya.
Reaksi peradangan itu sebenarnya adalah peristiwa yang di kordinasikan dengan baik yang
dinamis dan kontinyu yang menimbulkan reaksi peradangan maka jaringan harus hidup dan
harus di mikrosekualasi fungsional. Jika jaringan yang nekrosis luas maka reaksi peradangan
tidak di temukan di tengah jaringan yang hidup dengan sirkulasi yang utuh terjadi pada tepi
nya antara jaringan mati dan hidup. Nyeri timbul karena kulit mengalami luka infeksi
sehingga terjadi kerusakan jaringan. Sel-sel yang rusak akan membentuk zat kimia sehingga
menurunkan ambang stimulus terhadap reseptor mekano sensitif dan hernosensitif. Apabila
nyeri diatas, hal ini dapat mengakibatkan gangguan rasa nyaman nyeri yang berlanjut
istirahat atau tidur terganggu dan terjadi keterbatasan gerak, (Potter &Perry 2010 dalam
Prayogi, R., kk. 2019).

Berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan pada Tn. D maka ditegakkan diagnosa
keperawatan yaitu Nyeri Akut berhubungan dengan Agen Pencedera Fisik, Gangguan
Integritas Kulit berhubungan dengan Faktor Mekanis dan Risiko Perfusi Serebral Tidak
Efektif berhubungan dengan Cedera Kepala. Penegakan diagnosa mengacu pada Standar
Diagnosa Keperawatan Indonesia dengan memperhatikan tanda dan gejala yang ada pada
klien. Setelah menegakkan diagnosa menyusun diagnosa prioritas dari diagnosa yang
ditegakkan. Diagnosa pertama adalah Nyeri Akut berhubungan dengan Agen Pencedera Fisik,
diagnosa kedua adalah Gangguan Integritas Kulit berhubungan dengan Faktor Mekanis dan
diagnosa ketiga Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif berhubungan dengan Cedera Kepala.

Diagnosa pertama Nyeri Akut berhubungan dengan Agen Pencedera Fisik adalah
pengalaman sensorik atau emosional yang berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual
atau fungsional dengan onset mendadak atau lambat dan beintensitas ringan hingga berat
yang berlangsung kurang 3 bulan. (SDKI, 2017). Diagnosa ditegakkan dengan kondisi yang
dimiliki pasien yaitu berdasarkan data subjektif pasien mengatakan nyeri pada luka terbuka
akibat robekan di bagian kepala, dahi dan pipi sebelah kiri, pasien mengatakan nyeri seperti
disayat-sayat. Dari data objektif tampak luka robekan pada bagian dahi sampai pada bagian
pipi sebelah kiri, luas luka robekan 30 cm dan kedalaman 5 cm, pasien tampak meringis
dengan pengkajian nyeri PQRST. P : Pada saat klien bergerak, Q : Terasa seperti disayat-
sayat, R : Nyeri pada bagian luka robekan serta kepala dan mata sebelah kiri, S : Skala 7 dan
T : Hilang timbul, durasi 3-5 menit. Dari hasil tanda-tanda vital TD : 108/60 mmHg, N :
93x/menit, RR : 22x/menit, S : 36, 5℃, SPO2 : 99%.

Penatalaksanaan yang diberikan pada masalah Nyeri Akut berhubungan dengan Agen
Pencedera Fisik adalah mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri, mengidentifikasi skala nyeri, mengidentifikasi respon nyeri non verbal,
mengidentifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri, memberikan analgetic
(inj. Ceftriaxone, Omeprazole dan Ketorolac), pemeriksaan Tanda- Tanda Vital. Setelah
dilakukan tindakan, pasien mengatakan nyeri pada bagian kepala dan mata sebelah kiri
sedikit berkurang. Pasien tampak tenang, tekadang sedikit meringis ketika diperiksa dengan
skala nyeri 5 dan tanda-tanda vital TD : 88/53 mmHg, N : 86x/menit, RR : 20x/ menit, S : 36,
4℃, SPO2 : 98%.

Diagnosa kedua Gangguan Integritas Kulit berhubungan dengan Faktor Mekanis


adalah kerusakan kulit (dermis atau epidermis) atau bisa disebut juga sebagai jaringan
(contohnya seperti: membran mukosa,kornea, fasia, otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul
atau sendi dan ligamen) (SDKI, 2017). Diagnosa ini ditegakkan dengan data subjektif pasien
mengatakan sakit dan perih pada luka robekan. Dari data objektif tampak luka pada bagian
dahi sampai pipi kiri, luas luka robekan 30 cm dan kedalaman 5 cm, pasien tampak meringis,
luka tampak berwana merah segar.

Penatalaksanaan pada diagnosa Gangguan Integritas Kulit berhubungan dengan


Faktor Mekanis adalah memonitor karakteristik luka, membersihkan luka dengan cairan
NaCL, memberikan obat/salep yang sesuai dengan pasien, memasang balutan luka,
mempertahankan teknik steril pada saat perawatan luka, berkolaborasi dalam pemberian
prosedur debridement, memberikan analgetic (Inj. Kalnex), memberikan analgetic (Inj.
Antitetanus serum), melakukan perawatan luka dengan mengganti balutan luka dan
melakukan persiapan pemindahan pasien ke ruang perawatan bedah. Setelah dilakukan
tindakan, pasien mengatakan terkadang mata sebelah kiri masih terasa perih, pasien tampak
tenang, luka robekan telah dilakukan penjahitan di sepanjang dahi hingga pipi kiri dari hasil
observasi berukuran panjang 9 cm dan kedalaman 1.5 cm.

Diagnosa ketiga Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif berhubungan dengan Cedera
Kepala ditegakkan berdasarkan data subjektif pasien hanya meringis dan mengerang. Dari
data objektif pasien tampak pucat dengan keadaan umum : lemah, tingkat kesadaran :
Composmentis GCS: 15 (E:4 M:6 V:5), CRT < 2 detik dengan tanda-tanda vital TD : 108/60
mmHg, N : 93x/menit, RR : 22x/menit, S : 36, 5℃, SPO2 : 99%.

Penatalaksanaan yang dilakukan untuk mengatasi masalah Risiko Perfusi Serebral


Tidak Efektif berhubungan dengan Cedera Kepala adalah mengidentifikasi penyebab
peningkatan TIK (misalnya: lesi, gangguan metabolism, edema serebral), memonitor
tanda/gejala peningkatan TIK, memonitor MAP (mean arterial pressure), memonitor status
pernapasan, mempertahankan suhu tubuh normal, melakukan pengambilan sampel darah
untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium, memberikan analgetic dan persiapan CT- Scan.
Setelah dilakukan tindakan, pasien mengatakan masih terasa lemas, pasien mengatakan
terkadang masih terasa pusing, pasien tampak lemah, GCS: 15 (E:4 M:6 V:5), CRT < 2 detik
dan tanda-tanda vital TD : 88/53 mmHg, N : 86x/menit, RR : 20x/ menit, S : 36, 4℃, SPO2 :
98%, MAP : 64,67 mmHg.

DAFTAR PUSTAKA

Randy Prayogi, N. O. L. (2019). Perbedaan Efektivitas Perawatan Vulnus Laceratum (Luka


Robek) Menggunakan Betadine dan NaCL Terhadap Kecepatan Penyembuhan.
Nursing Arts, 8(1), 69–75.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (1st ed.). DPP
PPNI.

Anda mungkin juga menyukai