Anda di halaman 1dari 30

Dosen Pengampu : Harlina Hamid, S. Psi., M. Si., M. Psi., Psikolog.

Novi Yanti Pratiwi, S. Psi., M. Psi., Psikolog.

PENGANTAR INTERVENSI PSIKOLOGI

“Gestalt Therapy”

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 6 / KELAS G

OLIVIANTY SAPUTRI (1971041042)

RR. ATIKAH PUSPITA P (1971042019)

RIFQAH NUR RIDWAN (1971042034)

RIZQI AMALIAH (1971041032)

SITI HAJAR AULIANNISA (1971040053)

SAPHIRA SALSABILAH SYAMSUDDIN (1971041050)

SATIFAH CAHYANI (1971042048)

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2021
A. KONSEP DASAR TERAPI GESTALT
Terapi gestalt dipelopori pada 1940-an oleh psikoanalis dan terapis
kreatif, Frederick (Fritz) dan Laura Pearls, dan kemudian dikembangkan
oleh orang lain. Terapis dan klien harus berfokus pada pengalaman
perseptual dan sensori mereka. Yang berlangsung dipersepsikan dan
dialami dianggap paling signifikan dalam terapi dan kehidupan. Itulah
basis fenomenologis terapi Gestalt yang menekankan bahwa pengalaman
manusiawi yang subjektif lebih bisa diandalkan daripada penjelasan dan
interprestasi. Tujuannya bagi klien adalah mereka menyadari pada apa
sedang dilakukannya dan bagaimana ia melakukannya, alih-alih
berkonsentrasi pada mengapa. Berfokus pada mengapa orang melakukan
hal-hal tertentu mendorong pertanyaan dan spekulasi yang tiada habisnya.
Pencarian penjelasan seperti itu sering membuat seseorang terlepas dari
kedekatan pengalaman ‘disini dan sekarang’ (here and now). Dalam
proses pemfokusan pengalaman kedekatannya itu, klien bisa belajar
bagaimana menghargai dan menerima dirinya dan mempercayai
pengalamannya sendiri. Singkatnya, terapi gestalt lebih tertarik pada apa
yang sedang terjadi (proses) dan apa yang sedang didiskusikan (isi). Oleh
karena itu, terapi ini dapat digambarkan sebagai terapi berorientasi proses.
Penekanan yang lebih diberikan pada yang sedang dialami saat ini
daripada yang telah, akan, atau seharusnya dialami.
Terapi gestalt dimulai dengan fokus pada dunia internal dan
interpersonal klien. Namun, yang cenderung berkembang di tahun-tahun
awal adalah fokus pada kesadaran klien mengenai proses mereka sendiri
darIpada hubungan antara klien dan terapis. Dalam Gestalt kontemporer,
ada lebih banya keseimbangan antara intrafisik (proses kesadaran internal
klien) dan interpersonal (hubungan terapiutik). Klien dan terapis saling
berbagi pengalaman (perspektif fenomenologis) masing-masing di
sepangjang sesi terapi. Perbedaan-perbedaan dalam hal bagaimana mereka
memandang proses antara mereka, menjadi topik diskusi selanjutnya.
B. KONSEP UTAMA TERAPI GESTALT
1. Pandangan tentang Sifat Manusia
Pandangan Gestalt adalah bahwa individu memiliki kesanggupan
memikul tanggung jawab pribadi dan hidup sepenuhnya sebagai
pribadi yang terpadu. Terapi menyajikan intervensi dan tantangan yang
diperlukan, yang bisa membantu individu memperoleh pengetahuan
dan kesadaran sambil melangkah menuju pemaduan dan pertumbuhan.
Dengan mengakui dan mengalami pernghambat-penghambat
pertumbuhannya, maka kesadaran individu akan penghambat tersebut
akan meningkat sehingga kemudian bisa mengumpulkan kekuatan
guna mencapai keberadaan yang lebih otentik dan vital.
2. Saat Sekarang
Salah satu sumbangan utama terapi gestalt adalah penekanannya
pada di sini-dan-sekarang serta pada belajar menghargai dan
mengalami sepenuhnya saat sekarang. Berfokus pada masa lampau
dianggap sebagai suatu cara untuk menghindari masa sekarang.
Pearls menerangkan kecemasan sebagai ‘senjang antara saat
sekarang dan saat kemudian’. Menurut Pearls, jika individu-individu
menyimpang dari saat sekarang dan menjadi terlalu terpaku pada masa
depan, maka mereka mengalami kecemasan. Sehingga mereka
berusaha menutup kesenjaangn antara saat sekarang dan hari kemudian
dengan resolusi-resolusi, rencana-rencana, dan visi-visi alih-alih hidup
pada saat sekarang.
Guna membantu klien untuk membuat kontak dengan saat
sekarang, terapis lebih suka mengajukan pertanyaan “apa” dan
“bagaimana” ketimbang “mengapa”. Sebagai contoh: Apa yang terjadi
sekarang ini? Apa yang sedang berlangsung sekarang? Apa yang
sedang Anda alami sekarang saat Anda duduk di sana dan mencoba
berbicara? Bagaimana kesadaran Anda saat ini? Bagaimana Anda
mengalami ketakutan Anda sendiri saat ini?
Pertnayaan-pertanyaan “mengapa” juga mengarah kepada
pemikiran yang tak berkesudahan tentang masa lampau yang hanya
akan membangkitkan penolakan terhadap sekarang. Tetapi, nukan
berarti terapi Gestalt mengabaikan masa lampau sama sekali. Masa
lampau itu penting apabila dengan cara tertentu berkaitan dengan
tema-tema yang signifikan yang terdapat pada fungsi individu saat
sekarang. Apabila klien berbicara tentang masa lampaunya, maka
terapis meminta klien agar membawa masa lampaunya itu ke saat
sekarang dengan menjalani nya seakan-akan masa lampau itu hadir
pada saat sekarang.
3. Urusan yang Tak Selesai
Dalam terapi Gestalt terdapat konsep tentang urusan yang tak
selesai (unfinished business), yakni mencakup perasaan-perasaan yang
tidak terungkapkan seperti dendam, kemarahan, kebencian, sakit hati,
kecemasan, dan sebagaiknya. Meskipun tidak bisa diungapkan,
perasaan tersebut diasosiasikan dengan ingatan-ingatan dan fantasi-
fantasi tertentu. Urusan-urusan yang tak selesai itu akan bertahan
sampai ia menghadapi dan menangani perasaan-perasaan yang tak
terungkapkan itu.

Asumsi dasar pendekatan gestalt tentang manusia adalah bahwa


individu dapat mengatasi sendiri permasalahannya dalam hidup, terutama
bila mereka menggunakan kesadaran akan pengalaman yang sedang
dialami dan dunia sekitarnya. Gestalt berpendapat bahwa individu
memiliki masalah karena menghindari masalah. Oleh karena itu
pendekatan gestalt mempersiapkan individu dengan intervensi dan
tantangan untuk membantu konseli mencapai integrasi diri dan menjadi
lebih autentik.
Area yang paling penting yang harus diperhatikan dalam konseling
menurut pendekatan ini adalah pemikiran dan perasaan yang individu
alami pada saat sekarang. Perilaku yang normal dan sehat terjadi bila
individu bertindak dan bereaksi sebagai organisme yang total, yaitu
memiliki kesadaran pada pemikiran, perasaan dan tindakan pada masa
sekarang. Banyak orang yang memisahkan kehidupannya dan
berkonsentrasi serta memfokuskan perhatiannya pada poin-poin dan
kejadian-kejadian tertentu dalam kehidupannya. Hal ini menyebabkan
fragmentasi dalam diri yang dapat terlihat dari gaya hidup yang tidak
efektif yang berakibat pada produktifitas yang rendah bahkan membuat
masalah kehidupan yang lebih serius.
Pendekatan gestalt berpendapat bahwa individu yang sehat secara
mental adalah:
1. Individu yang dapat mempertahankan kesadaran tanpa dipecah
oleh berbagai stimulasi dari lingkungan yang dapat mengganggu
perhatian individu. Orang tersebut dapat secara penuh dan jelas
mengalami dan mengenali kebutuhannya dan alternatif potensi
lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya.
2. Individu yang dapat merasakan dan berbagi konflik pribadi dan
frustasi tapi dengan kesadaran dan konsentrasi yang tinggi tanpa
ada pencampuran dengan fantasi-fantasi.
3. Individu yang dapat membedakan konflik dan masalah yang dapat
diselesaikan dan tidak dapat diselesaikan.
4. Individu yang dapat mengambil tanggung jawab atas hidupnya.
5. Individu yang dapat berfokus pada satu kebutuhan (the figure)
pada satu waktu sambil menghubungkannya dengan kebutuhan
yang lain (the ground), sehingga ketika kebutuhan itu terpenuhi
disebut juga Gestalt yang sudah lengkap.
Terapi gestalt juga mengatakan bahwa manusia bertujuan untuk
wholeness (diri yang utuh) dan integrasi diri dari pikiran, perasaan dan
tingkah laku. Manusia memiliki kemampuan untuk mengenali pengaruh
masa lalu terhadap masalah pada saat ini. Penekanan pada here and now
(keadaan di sini dan sekarang), pilihan dan tanggung jawab pribadi.
Menurut Perls, manusia yang sehat adalah mereka yang dapat
bertindak secara produktif dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan
pemeliharaan, dan secara intuitif bergerak menuju pertumbuhan dan
pemeliharaan diri (self-preservation). Setiap manusia dapat menangani
dengan berhasil masalah dalam hidupnya jika mereka tahu siapa dirinya
dan dapat mengorganisasikan (mengintegrasikan) semua kemampuannya
ke dalam suatu rajutan tindakan-tindakan yang efektif. Oleh karena itu,
dalam konseling, konselor perlu perlu mengarahkan konseli untuk
mengembangkan kesadaran (awareness), menemukan dukungan dari
dalam dirinya sendiri (inner support), dan mengembangkan perasaan
mampu (self-sufficiency) sehingga mereka dapat mengakui bahwa
kemampuan yang mereka butuhkan untuk membantu dirinya pada
dasarnya berada di dalam diri mereka sendiri dan bukan di dalam diri
orang lain (konselor).
Manusia dapat melakukan banyak cara untuk mencapai kesadaran,
salah satunya adalah dengan melakukan kontak dengan lingkungan.
Kontak ini dilakukan melalui tujuh fungsi indera, yaitu melihat,
mendengar, menyentuh, berbicara, bergerak, tersenyum, dan merasakan.
Melalui kontak dengan lingkungan seseorang dapat belajar tentang diri
dan lingkungan, dan itu akan membantunya untuk merasa menjadi bagian
dari lingkungan, di samping memperoleh batasan yang lebih jelas tentang
siapa dirinya. Orang yang menghindari kontak dengan lingkungan
mungkin merasa bahwa mereka melindungi dirinya, tetapi sebenarnya
mereka sedang membentuk hambatan pertumbuhan dan aktualisasi diri.
Konseling gestalt juga menekankan pada pentingnya manusia untuk
mengambil tanggung jawab pribadi bagi kehidupannya sendiri, tidak
menyerahkan nasibnya pada orang lain atau lingkungan, dan tidak
menyalahkan orang lain bagi kekecewaan atau kegagalannya.
Tujuan konseling gestalt adalah menciptakan eksperimen dengan
konseli untuk membantu konseli dalam:

a. Mencapai kesadaran atas apa yang mereka lakukan dan bagaimana


mereka melakukannya. Kesadaran itu termasuk di dalamnya,
insight, penerimaan diri, pengetahuan tentang lingkungan,
tanggung jawab terhadap pilihannya.
b. Kemampuan untuk melakukan kontak dengan orang lain
c. Memiliki kemampuan mengenali, menerima mengekspresikan
perasaan, pikiran dan keyakinan dirinya.

C. PROSES TERAPI GESTALT


 Fungsi dan Peran terapis
Konsep terapi gestalt yang menggunakan kesadaran dan fokus pada
masa sekarang (saat ini) yang difokuskan pada perasaan klien. Perls
(1969) menganalogikan orang neurotik sebagai ‘oang yang tidak
mampu melihat bisul di hidungnya sendiri’. Terapis dalam hal ini
berusaha untuk menantang klien untuk menggunakan kesadarannya
secara penuh dan realistis serta menghindari intelektualisasi abstrak,
diagnosis, penafsiran, dan ucapan yang berlebihan dari klien. Klien
berperan sebagai individu yang mampu membangkitkan proses
kesadarannya sendiri dan fokus pada dirinya di masa sekarang. Dalam
terapi gestalt, seorang terapis juga terlibat sebagai partisipan aktif yang
menggunakan pengalamannya sendiri sebagai bahan esensial dalam
menjalankan proses terapi. Dalam hal ini, terapis merupakan perantara
yang juga memiliki peran dalam dua arah yakni keharusan untuk
selaras dengan klien dan dirinya sendiri.
Dalam peran menjalankan terapi, Perls (1969) menyatakan bahwa
terapis harus mampu mengungkap hambatan-hambatan yang menjadi
faktor yang memengaruhi kurangya kemampuan klien untuk berdiri
menopang diri mereka sendiri. Terapi bertugas sebagai media yang
membantu klien dalam bukan hanya memberikan dukungan eksternal
namun juga dukungan internal dengan membantu menentukan letak
jalan buntu yang dialami klien. Dalam istilah ini, jalan buntu yang
dimaksudkan oleh Perls (1969) adalah sumber utama yang
menyebabkan individu mengalami perasaan-perasaan yang
mengancam dan tidak nyaman karena masalah yang dimilikinya. Hal
ini diistilahkan oleh Perls sebagai pengharapan katastrofik yang
menghambat klien. Pada jalan buntu yang dialai klien, mereka akan
menjalani peran palsu pada lingkungannya sebagai orang yang lemah,
tak berdaya dan putus asa. Maka dari contoh diatas, terapis bertugas
membantu klien menembus jalan buntu tersebut agar mereka bisa tetap
bisa bertumbuh.
Klien mengandalkan dirinya sendiri untuk menemukan potensinya
sendiri, sedangkan terapis sebagai ‘layar proyeksi’ yang dapat menjadi
cermin untuk memperlihatkan klien apa yang hilang dari diri mereka.
Asumsi yang diajukan oleh Perls adalah bahwa semua orang memiliki
lubang dalam kepribadian mereka, sehingga karena lubang tersebut
individu seringkali menyerahkan persepsi ke orang lain untuk melihat
dan mendengarkan dirinya. Terapis selanjutnya menciptakan situasi
dimana klien dapat menemukan jalan tersebut dengan ‘frustasi’. Situasi
ini dibuat sehingga klien nantinya mampu menyadari bahwa ‘jalan
buntu; yang mereka maksud tersebut sebenarnya hanya fantasi, bahwa
apa yang diharapkannya dari terapis untuk menyelesaikan masalahnya
bisa dilakukan oleh diri mereka sendiri dengan baik.
Terapis menggunakan metode aktif dan keterlibatan pribadi klien
untuk meningkatkan kesadaran, kebebasan dan arah pribadi mereka,
penemuan diri dan menganggap klien mampu menemukan diri mereka
sendiri dan dimana letak gangguan dari pengalamn mereka yang
difokuskan pada masa sekarang, dibandingkan dengan mengarahkan
klien pada tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam terapi gestalt, postur, gerakan nonverbal, dan bahasa tubuh
klien dapat menjadi sumber informasi dengan asumsi bahwa terkadang
individu mengeluarkan mimic, gerakan yang mencerminkan keraguan
dan sebagainya dapat menceritakan perasaan sesuangguhnya dari klien.
Sehingga dalam terapi, terapis harus waspada dan menyelaraskan
informasi yang diberikan klien secara verbal dan bahasa tubuh yang
mereka perlihatkan. Secara garis besar, para klien dalam terapi adalah
bertindak sebagai partisipan yang aktif yang membuat penafsiran dan
makna sendiri. Selain itu, mereka sendirilah yang menentukan
bagaimana mereka menemukan kesadaran mereka dan apa yang akan
mereka pelajari selama proses terapi.
Selain pada gesture tubuh, para terapis juga menekankan pada
hubungan antara pola bahasa dan kepribadian klien, hal ini mengacu
pada asumsi bahwa pola kebiasaan dalam berbicara dapat
meningkatkan kesadaran klien terhadap diri mereka. terapis akan fokus
pada :
a. ‘it talk’ yaitu klien berbicara dengan menggunakan kata it (kata
ganti objek) dibandingkan dengan kata ‘I’ atau saya. hal tersebut
menandakan klien menggunakan bahasa depersonalisasi.
Misalnya terapis menanyakan “ itu sangat sulit untuk membuat
lingkungan pertemanan’, maka klien akan menjawab ‘ saya
kesulitan dalam menciptakan pertemanan’.
b. ‘you talk’, yaitu terapis menggunakan kata ‘kamu’ untuk
memancing klien menjawab dengan kata ‘saya’.
c. Pernyataan, menjawab pertanyaan kerap kali membuat seseorang
tetap bersembunyi dari jawabannya. Maka dari itu, terapis
seringkali menanyai klien dengan menggunakan pernyataan.
Asumsinya adalah bahwa dengan pernyataan, klien akan sadar
dengan sendirinya bahwa mereka bersembunyi dari fakta yang
mereka miliki dan mulai merasakan adanya tanggung jawab
untuk berbagi dengan terapis atas apa yang terjadi.
d. Bahasa yang menyangkal. Beberapa klien memiliki
kecenderungan untuk menyangkal dengan menambahkan kata-
kata yang menyangkal pernyataan mereka. Terapis harus
berusaha menghilangkan kualifikasi seperti "mungkin,"
"semacam," "saya kira," "mungkin," dan dapat membantu klien
mengubah pesan ambivalen menjadi pernyataan yang jelas dan
langsung. Demikian pula, ketika klien mengatakan "saya tidak
bisa", mereka sebenarnya menyiratkan "saya tidak mau.
"Mendorong klien untuk menggantikan" tidak akan "untuk" tidak
bisa "sering membantu mereka dalam memiliki dan menerima
kekuatan mereka dengan mengambil tanggung jawab atas
keputusan mereka. Terapis harus berhati-hati dalam intervensi
sehingga klien tidak merasa bahwa segala sesuatu yang mereka
katakan adalah subyek untuk pengawasan. Terapis berharap
untuk menumbuhkan kesadaran akan apa yang ada benar-benar
diekspresikan apa adanya lewat kata dan perilaku.
e. Metafora. Sangat penting bagi seorang terapis untuk memahami
metafora atau kiasan yang digunakan oleh klien untuk
mendapatkan informasi yang berusaha disembunyikan oleh klien.
 Contact and Resistance to Contact
Dalam terapi gestalt, kontak terjadi dengan melihat, mendengar,
mencium, dan berpindah. Kontak yang efektif dalam prinsip gestalt
kontak berarti bagaimana individu berinteraksi dengan alam dan
individu lain tanpa kehilangan identitasnya sebagai individu yang
terpisah dari orang lain dan lingkungannya. Kontak yang baik
mencirikan kesadaran diri yang baik, penuh dengan energy, dan
kemampuan dalam mengekspresikan dirinya. Kontak memiliki peran
penting dalam pertumbuhan individu yang membantu mereka
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Terapi gestalt menekankan
dua fungsi yaitu untuk tetapi terhubung dengan lingkungan.
Terapi gestalt juga berfokus pada gangguan dan hambatan
perkembangan yang biasanya diterima diluar kesadaran individu,
ketika hambatan tersebut berkembang menjadi lebih kronis, hal
tersebut dapat berkontribusi pada fungsi perilaku yang maladaptive.
Dalam terapi gestalt, para ahli menyebutnya sebagai ‘contact boundary
phenomena’ yang memiliki 5 bentuk yaitu :
a. Introjection, yaitu kecenderungan untuk secara utuh menerima
kepercayaan dan standar yang dimiliki orang lain tanpa
memikirkan apakah hal tersebut sesuai dengan diri kita. Ketika
individu tetap berada pada tahap ini maka kita akan cenderung
kehilangan otoritas terhadap diri kita sendiri.
b. Projection, yaitu bagaimana individu memproyeksikan hal yang
ada pada diri kita pada lingkungan atau pada orang lain. sifat ini
berdasar pada penyangkalan kita ataus citra diri kita yang
sebenarnya tidak konsisten, dan menyalahkan orang lain atas apa
yang kita alami.
c. Retroflection, yaitu keadaan berbalik pada apa yang ingin kita
atau orang lain lakukan pada diri kita, dan sebaliknya apa yang
kita harapkan orang lain lakukan pada diri kita. Hambatan ini
cenderung menghalangi diri individu karena malu, takut,
bersalah atau merasa kesal. Misalnya individu yang sering
mengarahkan agresi ke diri mereka sendiri dan menyakiti diri
mereka karena takut menagrahkan kekesalan tersebut pada orang
lain. hal ini biasa menyebabkan keluhan psikosomatik pada klien
sehingga tugas terapis yaitu untuk membantu klien untuk
menemukan system pengaturan diri mereka yang perlu
diperbaiki.
d. Deflection, yaitu sebuah gangguan atau menyimpang dimana
individu kesulitan untuk mempertahankan kontak mereka dengan
lingkungan dan orang lain. individu dengan kondisi ini akan
berusaha untuk terlalu bertele-tele, lebih banyak memberi
pertanyaan dibanfding pernyataan, dan sering melakukan
generalisasi abstrak sehingga orang yang terlibat kontak dengan
mereka menganggap mereka tidak konsisten dan tidak jelas, yang
mengakibatkan kemunduran emosi.
e. Confluence, yaitu mengaburkan batasan antara diri kita dengan
lingkungan. dimana individu yang mengalami hal ini cenderung
bergaul dengan lingkungan mereka dan tidak membuat batasan
yang jelas antara pengalaman internal mereka dengan realitas di
lingkungan mereka. gaya seperti ini biasanya dimiliki oleh orang
yang sangat ingin diterima dan disukai sehingga ketika mereka
merasakan situasi nyaman dengan kondisi ini, mereka
mengabaikan realitas mereka sebagai individu yang terpisah.
 Energi dan pemblokiran energy
Ketika energy di blokir, biasanya menghasilkan urusan yang tak
terselesaikan. Dimana dalam terapi gestalt, terapis memfokuskan
atensi terhadap identifikasi dimana energy tersebut bersumber, dan
bagaimana energy tersebut digunakan, serta bagaimana energy tersebut
akhirnya di blokir. Pemblokiran energy merupakan bentuk lain dari
perilaku defensive. Hal tersebut dapat ditandai dengan ketegangan di
beberapa bagian tubuh, postur, dan bagaimana indivdu cenderung
menutup diri serta menghindari kontak dari orang lain.
Klien seringkali tidak menyadari energy yang mereka miliki dan
dimana letaknya dan bagaiman aenergi tersebut berdampak negatif.
Salah satu tugas terapis adalah untuk membantu klien untuk
menemukan fokus energy mereka, mengidentifikasi dimana letak
energyyang di blokir untuk mengubahnya menjadi lebih adaptif. Klien
dapat didorong untuk mengenali bagaimana perlawanan mereka
dinyatakan dalam bentuk kondisi tubuh mereka. Daripada berupaya
membersihkan diri dari gejala-gejala tertentu pada tubuh, para klien
dapat dianjurkan untuk sepenuhnya meneliti kondisi dan gejala fisik
yang menunjukkan ketegangan. Misalnya, dengan membiarkan diri
mereka membesar-besarkan mulut mereka yang rapat dan
menggoyahkan kaki mereka, mereka dapat menemukan bagi diri
mereka sendiri bagaimana mereka mengalihkan energi mereka.
 Pengalaman Klien selama Terapi
Terdapat 3 fase yang akan dialami oleh klien dalam terapi yaitu :
a. Discovery, yaitu klien berusaha mencapai realisasi baru tentang
diri merek atau para klien kemungkinan besar akan mencapai
realisasi baru tentang diri mereka atau memperoleh pandangan
baru tentang situasi lama, atau mereka mungkin akan melihat
kembali beberapa orang penting dalam kehidupan mereka.
Penemuan-penemuan seperti itu sering menjadi kejutan bagi
mereka.
b. Accomodation, fase dimana klien menyadari bahwa mereka
memiliki pilihan. Sehingga disini klien berusaha mencoba
perilaku baru yang lebih suportif terhadap lingkungan mereka.
c. Assimilation, yaitu tahap dimana klien belajar bagaimana mereka
mempengaruhi lingkungannya. Pada fase ini klien merasa
mampu untuk menghadapi kejutan-kejutan yang mereka akan
hadapi setiap hari. Pada fase ini klien telah belajar apa yang
dapat mereka lakukan untuk memaksimalkan peluang mereka
mendapatkan apa yang diperlukan dari lingkungan mereka.
 Hubungan Terapi dan Klien
Menurut Rogers (1980), psikoterapi gestalt adalah terapi dinamis
yang, seperti berbagai terapi psiko-analitik lainnya, dibangun dengan
premis bahwa pikiran yang tidak sadar memiliki pengaruh besar pada
perilaku dan fungsi sadar seseorang dalam psikoterapi.
Psikoterapi dibangun dari pengamatan yang dibuat oleh Freud, di
mana klien dengan gangguan mental atau histeria menunjukkan
pemulihan atau perbaikan segera setelah peristiwa yang tampaknya
tidak penting dan terlupakan dibawa ke pikiran sadar dan ditangani.
Fall, Holder dan Marquis (2003), mencatat bahwa meskipun
psikoterapi gestalt meminjam beberapa konsep dari psikoterapi
Freudian, itu membedakan dirinya dalam arti bahwa itu memfokuskan
perhatian peristiwa saat ini dan kontemporer, yang disebut sebagai
acara 'di sini-dan-sekarang', dibandingkan dengan peristiwa masa kecil
yang difokuskan oleh Freud. Gestalt berarti seluruh konfigurasi dan
psikoterapi gestalt menyangkut dirinya sendiri dengan membantu klien
mencapai rasa keutuhan dalam aspek emosional, mental, spiritual dan
fisik menjadi utuh interaktif. Ia bekerja untuk mencapai keseimbangan
yang sehat di antara beberapa bidang pembangunan. Dengan demikian,
perhatian utama terapi gestalt adalah mengembangkan sistem
kesadaran diri dan dukungan diri individu yang akan membantu
mempertahankan hubungan kreatif, harmonis, dan spontan dengan
orang lain (Joyce & Sills, 2001; Woldt & Toman, 2005). Poin penting
yang perlu diperhatikan adalah bahwa psikoterapi gestalt berorientasi
eksperimental dan berfokus pada apa yang menonjol di sini dan
sekarang (Fall et al., 2003).
Fall, Holder dan Marquis, (2003), berpendapat bahwa sekolah
psikologi gestalt mengemukakan bahwa fungsi otak memiliki korelasi
dengan peristiwa psikologis. Ketidakmampuan seseorang untuk
mendamaikan berbagai konstruksi kepribadiannya untuk membentuk
citra holistik kesehatan mental mengakibatkan ketidakstabilan
psikologis. Oleh karena itu, seorang psikolog yang condong ke disiplin
terapi gestalt akan mendedikasikan lebih banyak upaya untuk
mendorong klien untuk merefleksikan batin, terutama mengenai emosi
klien, tentang cara melepaskan dan mengatasinya untuk apa yang
mereka daripada menggunakan untuk menekan mereka.
Jauh dari sejarah singkat itu dan perkenalan, apa kekhawatiran
utama dalam psikoterapi gestalt? Terapi gestalt berkaitan dengan
pengalaman, pemikiran, perasaan dan perilaku dan kemampuan
seseorang untuk menyadari hal yang sama, sehingga pertanyaan umum
untuk terapi gestalt adalah 'Apa yang Anda rasakan' (O'Leary, Sheedy,
O'Sullivan, & Thoresen, 2003). Hubungan antara terapis dan klien
adalah hubungan dialogis di mana terapis meminta dari tanggapan
klien yang dipicu oleh keadaan dan peristiwa tertentu dan juga sopan
santun di mana klien membayangkan bahwa hal yang sama dapat
diatasi (O'Leary et al., 2003). Dengan demikian, psikoterapi gestalt
berkaitan dengan terapi perbaikan melalui dialog dan tidak hanya
membutuhkan percakapan yang meminta kekhawatiran yang lain,
tetapi dialog yang jujur, terbuka, tidak menghakimi dan komprehensif
di mana tidak ada penghambatan atau aturan yang diatur untuk
membatasi subjek pilihan yang diinginkan klien. Menurut Woldt dan
Toman (2005), tugas penting bagi terapis adalah membantu pasien
dalam menyadari cara tidak sadar bahwa ia mendorong orang lain
menjauh dari dirinya sendiri atau bagaimana klien menempatkan
dirinya jauh dari kontak manusia.
Seperti disebutkan sebelumnya, terapi Gestalt percaya bahwa
kontak manusia adalah apa yang membawa penyembuhan dan dengan
demikian hubungan terapis-klien sangat penting. Ini berarti bahwa
peran terapis pada dasarnya adalah untuk mengeksplorasi dengan klien
keadaan saat ini dalam hidupnya. Penyembuhan keluar lebih baik
ketika otonomi dan pertumbuhan melalui kesadaran diri dibina (Woldt
& Toman, 2005). Hubungan di sini adalah bahwa terapis dan klien
berhubungan dengan cara yang ramah dan terapis mendorong
percakapan dengan nada berenergi. Ini mengatur kecepatan bagi klien
untuk berbicara tentang diri mereka sendiri, bagaimana perasaan
mereka tentang apa pun dan segala sesuatu yang mengelilingi hidup
mereka. Berkenaan dengan aspek kesadaran diri, diduga bahwa terapis
berada di depan klien dalam hal kesadaran diri dan pemahaman diri
sehingga memungkinkan pengawasan masukan klien dalam
percakapan (Rowan, 2000). Selain itu, hubungan dan dialog yang rumit
ini dengan terapis membantu klien dengan mendengar dirinya sendiri
dan bagaimana mereka mengalami diri mereka sendiri, bagaimana
dokter mengalaminya, dan bagaimana mereka mengalami dokter
sebagai individu dan teman. Di sinilah pergeseran dari kesadaran akan
keaslian seseorang terhadap kesadaran akan isolasi diri seseorang
masuk; itu tidak begitu banyak pertanyaan untuk mewujudkan
kebutuhan orang lain, melainkan, itu adalah kesadaran akan keinginan
untuk bersama mereka (Rowan, 2000).
Tak perlu dikatakan terapi semacam ini bisa rumit bagi dokter yang
tidak berpengalaman, terutama dalam kasus dua lawan jenis. Ini dapat
menghasilkan counter transference dan menciptakan jarak terapeutik.
Ini dapat menghambat efektivitas terapi. Perls (1976) akan
menggambarkan peran terapis melalui pernyataan berikut: "tanggung
jawab utama terapis adalah untuk tidak melepaskan pernyataan atau
perilaku apa pun yang tidak mewakili diri sendiri, yang merupakan
bukti kurangnya tanggung jawab diri pasien" (79-80). Rowan (2000)
menyatakan bahwa seorang dokter yang baik menemani klien ke dalam
subjek dan area yang ditempati klien selama sesi dan tidak berusaha
untuk memindahkan klien dari ruang tersebut ke dalam ruangan yang
lebih akrab baginya. Oleh karena itu penting bahwa terapis sangat
menyadari dirinya sendiri dan objektif sepanjang seluruh proses terapi.
Dia juga harus memantau evolusi hubungan dengan klien dan
mewaspadai potensi obstruksi atau penyalahgunaan kekuasaan selama
sesi terapi (Rogers, 1980). Ini, tentu saja, tidak hanya persyaratan
dalam psikoterapi gestalt tetapi persyaratan semua psikoterapi. Ini
karena dalam terapi klien rentan terhadap dokter dan mungkin merasa
tertekan untuk menyenangkan dokter; bertindak atas dorongan ini atau
mengambil keuntungan dari hal yang sama akan menjadi tidak etis dan
tidak tepat.
Dalam terapi gestalt, aspek yang paling penting adalah kesadaran
dan tidak mendikte perilaku apa yang harus atau tidak boleh diambil
klien. Dokter hanyalah sosok yang membawa klien melalui banyak
pilihan perilaku yang ingin dia adopsi dan bantu mereka dalam
menunjukkan reaksi orgasme serta konsekuensi di balik pilihan mereka
dan sesuai dengan kepercayaan dan nilai-nilai mereka (Joyce & Sills,
2001). Ini berarti bahwa itu bukan domain dokter untuk memilih klien
apa yang secara moral benar atau salah karena dasar dasar dasar terapi
gestalt adalah bahwa klien bertanggung jawab dan mampu memetakan
kursus dan perilaku mereka sendiri. Dalam terapi ini, ini bukan tentang
'seharusnya' dan 'tidak boleh' sehingga berbicara karena ini
menghambat spontanitas dan integrasi kesadaran diri yang sehat
(Woldt & Toman, 2005).
Terapi gestalt mengikuti pendekatan humanis terhadap psikoterapi.
Artinya, berurusan dengan masalah yang membentuk kehidupan
manusia, misalnya cinta, ketakutan, kebanggaan, aktualisasi diri, milik,
individualitas, dan kreativitas antara lain (O'Leary & Page, 1990).
Berurusan dengan masalah manusia ini memastikan pemahaman yang
lebih baik tentang manusia (Joyce & Sills, 2001). Ini juga berpusat
pada orang yang berarti bahwa ia meminjamkan dirinya lebih ke
hubungan pribadi dalam interaksi klien-terapis dan tujuan utamanya
adalah untuk mendorong klien ke keadaan realisasi diri seseorang.
Pendekatan gestalt memberi klien basis yang lebih tegas dalam
mengatasi masalah yang diatasi. Dengan penekanannya pada saat ini
dan di sini-dan-sekarang, terapi gestalt mendorong klien untuk
mengintegrasikan berbagai komponen masalah (masa lalu, sekarang
dan bahkan mungkin yang diantisipasi), belum menilai mereka dalam
hal saat ini (Hinksman, 2001). Ini memberikan fondasi yang lebih kuat
untuk perubahan klien karena mereka didorong untuk tidak hidup di
masa lalu tetapi untuk bergerak dalam batas-batas realitas mereka saat
ini (Hinksman, 2001).
D. TEKNIK-TEKNIK DAN PROSEDUR TERAPI GESTALT
● Teknik-Teknik Terapi Gestalt
Levitsky & Perls (1970) menyajikan beberapa permainan yang
dapat digunakan dalam terapi Gestalt yaitu :
1. Permainan-permainan dialog
Salah satu dari tujuan terapi Gestalt sendiri ialah
mengusahakan fungsi yang terpadu dan penerimaan atas
aspek kepribadian yang telah dicoba untuk dibuang atau
diingkari. Para terapis Gestalt menaruh perhatian yang
cukup besar pada pemisahan dalam fungsi kepribadian
yaitu pemisahan antara “top dog” dan “underdog”. Dimana
“top dog” adalah kepribadian yang adil, otoriter, moralistik,
menuntut, sebagai majikan, dan manipulatif dimana ia
adalah “orang tua yang kritis” yang sering mengusik
dengan kata-taka “harus” dan “sewajibnya” dan juga
memanipulasi dengan ancaman-ancaman yang melibatkan
bencana. Sedangkan “underdog” adalah kepribadian yang
suka memanipulasi dengan bermain peran sebagai korban,
defensif, membela diri, tidak berdaya, lemah, dan tidak
memiliki kekuasaan. Selain itu merupakan sebuah sisi
pasif, tidak bertanggung jawab, dan ingin dimaklumi.
Kedua hal ini memiliki keterlibatan dalam sebuah
pertarungan yang tidak berkesudahan untuk mendapatkan
kendali dan pertarungan ini juga dapat membantu untuk
menerangkan, mengapa resolusi dan janji seringkali tidak
terlaksana dan kelambanan justru menetap. “Top dog”
seringkali menuntut individu untuk begini dan begitu,
sedangkan “underdog” memiliki sikap yang menantang
dimana ia memainkan peran sebagai anak yang bandel.
Akibat dari pertarungan untuk mendapatkan kendali
tersebut, individu akan menjadi terpecah belah kedalam
sebuah situasi yang mengendalikan sekaligus yang
dikendalikan.
Selain itu adapula teknik kursi kosong, yang dimana
teknik ini adalah sebuah cara untuk mengajak klien agar
dapat mengeksternalisasi introyeksinya. Teknik ini
merupakan sebuah teknik permainan peran yang semua
perannya akan dimainkan oleh klien. Pada teknik ini akan
diletakkan dua kursi di tengah-tengah ruangan dan terapis
akan meminta klien agar duduk dikursi yang satu dan
memainkan perannya sebagai “top dog”, lalu dipindahkan
ke kursi yang satunya lalu memainkan peran sebagai
“underdog”.
Dengan menggunakan teknik ini akan membantu klien
untuk bisa berhubungan dengan perasaannya atau dari sisi
dirinya sendiri yang telah diingkari. Selain itu teknik ini
juga dapat membantu klien mengenali introyeksi-introyeksi
parental yang tidak menyenangkan. Teknik permainan
dialog ini dapat digunakan dalam konseling individual
maupun kelompok.
2. Membuat lingkaran (berkeliling)
Berkeliling sendiri merupakan sebuah latihan terapi
Gestalt yang dimana klien akan diminta untuk berkeliling
ke anggota kelompoknya lalu berbicara atau melakukan
sesuatu dengan setiap anggota kelompoknya.
3. “Saya bertanggung jawab”
Pada latihan ini terapis akan meminta klien untuk
membuat sebuah pernyataan lalu menambahkan kalimat
“dan saya bertanggung jawab untuk itu” pada kalimat yang
telah dibuat oleh klien, misalnya seperti “Saya merasa
jenuh dan saya bertanggung jawab atas kejenuhan saya itu”.
Teknik ini adalah perluasan kontinum kesadaran yang
dibuat untuk membantu individu untuk mengakui dan
menerima perasaannya, agar tidak memproyeksikan
perasaan tersebut kepada orang lain.
4. “Saya memiliki suatu rahasia”
Teknik ini memiliki tujuan untuk mengeksplorasi
perasaan-perasaan berdosa dan juga rasa malu yang
dirasakan oleh individu dimana terapis akan meminta klien
untuk membayangkan tentang sebuah rahasia pribadi yang
dijaga dengan baik, membayangkan bagaimana yang
mereka rasakan, dan bagaimana reaksi orang lain ketika
mereka mengetahui rahasia tersebut. Teknik ini juga dapat
digunakan sebagai salah satu metode pembentukan
kepercayaan untuk mengeksplorasi kenapa klien tidak ingin
mengungkap rahasia yang dimilikinya dan mengeksplorasi
ketakutan-ketakutan, menyampaikan hal-hal apa saja yang
dianggapnya memalukan atau menimbulkan perasaan
berdosa.
5. Bermain proyeksi
Dalam terapi bermain proyeksi, terapis akan meminta
klien mengatakan “Saya tidak bisa mempercayaimu.” Klien
akan memainkan peran sebagai seseorang yang tidak bisa
menaruh kepercayaan kepada orang lain agar terapis dapat
mengungkap sejauh mana ketidakpercayaan itu menjadi
konflik dalam diri klien. Terapis akan meminta klien untuk
“mencoba” atau “memperagakan” pernyataan-pernyataan
tertentu yang ditujukan kepada orang lain dalam kelompok.
Hal ini didasari karena dinamika proyeksi terdiri atas
seseorang yang melihat hal-hal yang ia tidak ingin lihat
atau tidak ingin ia terima dalam dirinya pada orang lain.
Individu dapat mengingkari perasaan-perasaan pada dirinya
dan mengalihkan motif-motif tersebut kepada orang lain.
Hal ini seringkali terjadi dalam kehidupan sosial, terlebih
dalam setting kelompok, pernyataan seseorang mengenai
orang lain sebenarnya merupakan proyeksi dari atribut-
atribut dirinya sendiri.
6. Teknik pembalikan
Dalam teknik terapi pembalikan, klien akan diminta
untuk memerankan peran yang bertolak belakang dengan
kepribadiannya. Dasar teori daripada teknik ini adalah klien
terjun ke dalam sesuatu yang ia takuti karena ia merasa
bahwa hal tersebut dapat menimbulkan kecemasan, yang
akan membuat mereka menjalin hubungan dengan bagian-
bagian dari diri mereka yang telah ditekan atau diingkari.
Teknik ini dapat membantu klien untuk mulai menerima
atribut-atribut dalam dirinya yang selama ini ia coba ingkari
ada pada dirinya. Misalnya, seseorang yang pemalu diminta
untuk mengekspresikan perasaannya dengan bebas kepada
semua orang.
7. Permainan ulangan
Perls mengemukakan bahwasanya banyak diantara
pemikiran individu merupakan pengulangan. Dalam fantasi,
individu cenderung mengulang peran-peran yang dianggap
diharapkan oleh masyarakat untuk dimainkan olehnya.
Kemudian, ketika menampilkan peran-peran tersebut,
banyak diantara individu akan mengalami demam
panggung atau kecemasan, yakni ia takut tidak mampu
memainkan peran tersebut dengan baik. Pengulang internal
ini akan menghabiskan banyak energi individu, juga
seringkali menghambat spontanitas dan kesediaan individu
dalam bereksperimen dengan tingkah laku baru. dalam
terapi ini, para anggota kelompok terapi akan melakukan
permainan dengan berbagi pengulangan satu sama lain agar
tingkat kesadaran mereka mengenai pengulangan-
pengulangan yang dilakukan untuk memenuhi tuntutan
memainkan peran-peran sosial dapat meningkat. Dari sini,
mereka akan menjadi lebih sadar akan betapa mereka selalu
berusaha untuk memenuhi pengharapan orang lain, sadar
atas seberapa besar derajat keinginan mereka untuk
disetujui, diterima, dan disukai oleh orang lain, serta sejauh
mana mereka berusaha untuk memperoleh penerimaan
dalam masyarakat.
8. Permainan melebih-lebihkan
Permainan melebih-lebihkan berkaitan dengan konsep
peningkatan kesadaran atas tanda-tanda dan isyarat-isyarat
halus yang dikirimkan oleh individu melalui bahasa tubuh.
Bahasa tubuh seperti gerakan-gerakan, sikap badan, mimik
muka, ataupun isyarat-isyarat yang tidak lengkap dapat
mengkomunikasi makna-makna yang penting. Dalam terapi
ini, klien akan diminta untuk melebih-lebihkan gerakan
atau mimik muka secara berulang, yang seringkali
mengintensifkan perasaan yang berkaitan dengan tingkah
laku dan membuat makna bagian dalam menjadi lebih jelas.
Ada begitu banyak tingkah laku yang dapat digunakan
dalam permainan melebih-lebihkan, misalnya klien
melaporkan kepada terapis bahwa kedua kakinya gemetar,
maka terapi dapat meminta klien untuk berdiri dan
melebihkan getaran kakinya, kemudian terapis dapat
meminta klien untuk mengungkapkan arti dari getaran
kakinya dengan kata-kata. Tingkah laku verbal juga dapat
digunakan dalam terapi ini. Terapis dapat meminta klien
untuk mengulangi pernyataan yang telah dicoba dibelokkan
dan mengucapkan setiap pernyataan tersebut dengan suara
yang lebih keras. Hasil dari teknik melalui verbal ialah
klien kerap kali mulai bersungguh-sungguh mendengar dan
didengar oleh dirinya sendiri.
9. Tetap dengan Perasaan
Teknik tetap dengan perasaan dilakukan dengan
memaksa klien untuk tetap dengan atau menahan perasaan
yang ingin ia hindari. Teknik ini dapat digunakan ketika
klien menunjuk perasaan atau suasana hati yang tidak
menyenangkan yang sangat ingin ia hindari. Ada begitu
banyak individu yang seringkali ingin melarikan diri dari
stimulus yang ia anggap menakutkan dan menghindari
perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan. Terapi dalam
hal ini akan meminta klien untuk bertahan dengan
ketakutan atau kesakitan apapun yang sedang dialami oleh
klien dan mendorong klien untuk menyelam lebih dalam ke
dalam perasaan dan tingkah laku yang ingin ia hindari.
Dalam menghadapi, mengkonfrontasi, dan mengalami
perasaan-perasaan, individu tak hanya butuh keberanian
tetapi ia juga perlu kesedian untuk bertahan dalam
kesakitan, agar ia dapat membuka dan membuat jalan
menuju saraf-saraf pertumbuhan yang lebih baru.
10. Pendekatan Gestalt terhadap Kerja Mimpi
Dalam psikoanalisis, makna-makna dalam mimpi yang
tidak disadari dapat dieksplorasi menggunakan metode
penafsiran mimpi, pemahaman intelektual yang ditekan,
dan asosiasi bebas. Tetapi dalam Terapi Gestalt, mimpi
tidak ditafsirkan maupun dianalisis, dibawa kembali pada
kehidupan, diciptakan kembali, dan dihidupkan kembali
seakan-akan mimpi tersebut berlangsung sekarang. Mimpi
adalah kejadian yang terjadi di saat ini, bukan merupakan
kejadian dari masa lalu, dan mereka para pemimpi
merupakan bagian dari mimpi-mimpinya. Dalam
menangani mimpi, individu dianjurkan untuk membuat
daftar rincian mengenai mimpi, mengingat orang-orang,
kejadian, dan suasana hati di dalam mimpi yang
dialaminya. Kemudian setelahnya akan menjadi bagian dari
mimpi dengan cara mentransformasikan diri, bertindak
sepenuhnya, dan menciptakan dialog; karena diyakini
bahwa setiap bagian dalam mimpi merupakan proyeksi dari
diri individu, maka dari itu klien akan membuat skenario
untuk pertemuan-pertemuan antara berbagai karakter atau
bagian dalam mimpinya; setiap bagian mimpi yang berbeda
akan mengungkapkan sisi-sisi kontradiktori dan tidak
konsisten. Sehingga, dengan melibatkan diri individu itu
sendiri dalam dialog antara sisi-sisi yang berlawanan,
individu secara perlahan akan menjadi lebih sadar akan
jangkauan perasaan-perasaannya sendiri.
Konsep mengenai proyeksi merupakan konsep yang
dominan di dalam teori Perls mengenai formasi mimpi.
Perls berpendapat bahwa, setiap orang dan setiap objek
yang ada di dalam mimpi akan merepresentasikan aspek
yang diproyeksikan oleh si pemimpi. Ia melanjutkan, “Kita
bertolak dari asumsi yang mustahil bahwa apapun yang kita
yakini kita lihat dalam diri orang lain atau dalam dunia
adalah tidak lain suatu proyeksi.” Perls juga percaya bahwa
pengakuan akan arti-arti dan pemaham terhadap proyeksi-
proyeksi berjalan beriringan satu sama lain. sehingga, Perls
tidak menafsirkan mimpi-mimpi dalam teorinya, ia juga
tidak memainkan permainan-permainan teka-teki
intelektual, juga tidak menceritakan pada klien makna dari
mimpi-mimpinya. Tetapi, ia akan mendorong klien untuk
bertanggung jawab sendiri atas mimpinya, membawa
kembali mimpi yang ia alami ke dalam kehidupan saat
sekarang, dan menghidupkan kembali mimpi-mimpi
tersebut seakan terjadi pada masa kini. Klien akan menjadi
setiap aspek dari mimpi dengan memperagakan kembali
rincian mimpinya. Karena klien dapat memerankan
perjuangan di antara sisi-sisi yang bertentangan, maka klien
perlahan akan menghargai dan menerima perbedaan-
perbedaan dalam dirinya serta bisa memadukan kekuatan-
kekuatan yang bertentangan. Sementara itu, bagi Freud,
mimpi merupakan “jalan istimewa menuju integrasi.”
Bagi Perls, mimpi merupakan ungkapan yang paling
spontan dari keberadaan manusia. Mimpi ini
menginterpretasikan situasi yang tidak tuntas dalam
kehidupan individu, tetapi mimpi juga lebih dari sekedar
situasi yang tidak tuntas atau hasrat yang tidak terpenuhi;
setiap mimpi yang dialami oleh individu mengandung
pesan eksistensial tentang diri individu tersebut dan
perjuangan yang sedang ia alami. Segala hal dapat
ditemukan dalam mimpi-mimpi individu jika seluruh
bagian dari mimpi-mimpi itu dipahami dan diasimilasi.
Perls juga menegaskan bahwasanya, jika mimpi-mimpi
ditangani dengan layak, maka pesan eksistensial yang
terkandung di dalam mimpi akan menjadi lebih jelas.
Baginya, mimpi-mimpi ini bertindak sebagai jalan yang
sangat baik untuk mengetahui kehampaan kepribadian
dengan membukakan bagian-bagian yang hilang dan
metode-metode yang dilakukan oleh klien untuk
menghindar. Mereka yang tidak bersedia mengingat mimpi-
mimpinya artinya menolak untuk menghadapi apa yang
keliru dalam hidupnya. Terapi Gestalt ini pada dasarnya
meminta klien untuk berbicara mengenai mimpi-mimpinya
sendiri.
Kempler (1973) menyatakan bahwa terapis mengungkapkan segenap
yang dipikirkan atau dirasakannya “yang dianggap bisa mengurangi
kemampuan dalam berpartisipasi”. Kempler menganjurkan agar terapis
menunjukkan tingkah lakunya yang luas selama pertemuan terapi. Terapis
boleh menganjurkan pada klien seperti berteriak, menangis, berbicara
tentang diri sendiri, mengeksplorasi kebingungannya sendiri atau dapat
juga menegur klien. Terapis harus berbuat lebih dari sekedar mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, membuat penafsiran dan memberikan saran-saran
saja. Dalam bentuk kelompok praktek terapi Gestalt bisa mengambil
bentuk murni atau sebagai alternatif, mendorong para anggota untuk
secara spontan terlibat dalam interaksi satu sama lain. Perls menangani
kelompok dengan cara yang murni yakni lebih difokuskan pada klien
tunggal pada suatu saat dan kemudian mengalihkan perhatian klien dari
kelompok kepada reaksi-reaksi internal klien itu sendiri. Pada dasarnya
melalui cara ini terapis dan klien bekerja bersama dan para anggota yang
lain bertindak sebagai pengamat.
Dalam terapi Gestalt kelompok model seperti ini merupakan seorang
anggota kelompok menjadi sukarelawan dan diminta untuk bekerja sama
dengan terapis. Sukarelawan dipersilahkan duduk dan berfokus sebanyak
mungkin pada kesadaran diri disini dan sekarang. Berbagai bentuk teknik
Gestalt yang telah diuraikan di muka mendorong intensifikasi pengalaman
pada klien. Pada waktu tertentu terapis bisa memanggil para anggota lain
meskipun hal itu dilakukan dengan sasaran melanjutkan kerja terapis
dengan si anggota sukarelawan.
Terapi kelompok bisa dipraktekan dalam konteks Gestalt tetapi
hasilnya kurang murni. Beberapa interaksi anggota menyimpang dari
kualitas kerja terapi serta memencarkan energi para anggota kelompok.
Pola kerja “Hot Seat” Perls sesuai dengan gaya dan kebutuhan-
kebutuhannya. Menurut Kempler (1973) pola itu menempatkan Perls pada
posisi top dog. Kempler menyatakan bahwa Perls adalah pribadinya
sendiri dan mengembangkan suatu gaya yang unik yang tidak bisa ditiru
secara mekanis dengan hasil yang efektif.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan penerapan yang pantas dari
teknik-teknik terapi Gestalt adalah sebagai berikut :
1. Waktu
2. Jenis klien yang ditangani
3. Setting yang dihadapi
Menurut Shepherd (1970) teknik-teknik terapi Gestalt terutama pada
teknik konfrontif dan melakonkan kembali, tidak cocok untuk digunakan
dalam penanganan klien yang psikotik. Para klien yang mengalami
gangguan kepribadian yang lebih berat membutuhkan dukungan yang kuat
sebelum mereka bisa menanggung pengalaman menghidupkan kembali
kemarahan, kesakitan dan keputusan yang meluap-luap yang menandai
proses psikotik.
Metodologi Gestalt memiliki penerapan langsung dalam menangani
anak-anak dan para remaja di sekolah. Dalam buku Janet Lederman yang
mengharukan berjudul Anger and the Rocking Chair yang beirisi tentang
uraian yang dramatis tentang adaptasinya mengenai metode-metode
Gestalt bagi yang kerjanya menangani anak-anak yang memiliki masalah
emosional dan tingkah laku di ruangan-ruangan kelas dalam suatu
pendidikan khusus.
Brown (1971) mengembangkan pendekatan humanistic terhadap proses
belajar-mengajar berlandaskan teknik-teknik kesadaran Gestalt yang bisa
diterapkan baik pada siswa sekolah dasar maupun pada para siswa sekolah
menengah. Brown membuat cara-cara belajar yang alternatif yang
memasukan perasaan, ambisi, tujuan, nilai, sikap dan ruang hidup para
siswa ialah fokus pendidikan yang konfluen.
Dalam bukunya yang berjudul Human Teaching for Human Learning
Brown menguraikan berbagai macam teknik afektif Gestalt yang baik
untuk digunakan dalam ruangan kelas yang mencangkup dalam bentuk
kelompok-kelompok yaitu sebagai berikut :
1. Kelompok-kelompok fantasi
2. Latihan-latihan fantasi
3. Latihan-latihan agresi
4. Penyentuhan
5. Teknik teater improvisasional
6. Perjalanan-perjalan tubuh fantasi
7. Peta-peta kehidupan pribadi
8. Perjalanan bersama
9. Pencerminan
10. Permainan proyeksi Gestalt
11. Berkeliling bersama
12. Fantasi hewan
13. Teknik kepercayaan dan kontak Gestalt
14. Teknik guru-siswa Gestalt
15. Permainan imajinasi
16. Teknik kesadaran peran guru Gestalt
17. Teknik tanggung jawab Gestalt
Masih banyak teknik yang terkait dengan kesadaran Gestalt verbal dan
nonverbal lainnya yang bisa diterapkan pada sekolah dasar hingga sekolah
menengah. Brown menguraikan cara-cara yang spesifik dari pelaksanaan
teknik-teknik tersebut pada semua tingkat pendidikan. Kesimpulannya
Brown telah memperlihatkan suatu cara penerapan pendekatan Gestalt
pada situasi belajar-mengajar yang menghasilkan perubahan-perubahan
tingkah laku yang positif pada siswa yang menunjukkan bahwa penerapan
pendekatan Gestalt itu tidak hanya membuat para siswa menjadi lebih
baik, tetapi juga membantu mereka dalam memperluas hubungan antar
manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Corey, G. 2013. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT.
Refika Aditama.

Fall, K.A., Holder, J. M. and Marquis, A. (2003). Theoretical Models of


Counseling and Psychotherapy. New York: Brunner-Routledge.

Gross, S. (2001). On integrity. Psychodanimc Counselling 7.2, 207-216.

Hinksmna, B. (2001). The compatibility of feminist theology and gestalt therapy:


a study of ‘practical-values’. British Journal of Guidance & Counselling
29(4), 391-402.

Joyce, P. and Sills, C. (2001). Skills in Gestalt Counselling & Psychotherapy.


Sage Publications Inc.

O’Leary, E. and Page, R. (1990). An Evaluation of a Person-centered Gestalt


Group Using the Semantic Difference. Counselling Psychology Quarterly
3(1).

O’Leary, E., Sheedy, G., O’Sullivan, K., and Thoresen, K. (2003). Cork Older
Adult Intervention Project: outcomes of a gestalt therapy group with older
adults. Counselling Psychology Quarterly 16(2), 131-143.

Perls, F. (1976). The Gestalt approach. New York: Bantam Books.

Rogers, Carl (1980). A Way of Being. Boston: Houghton Mifflin.

Rowan, J. (2000). The self, the field and the either-or. International Journal of
Psychotherapy 5(3), 219-226.

Woldt, A.L. and Toman, S.M. (2005). Gestalt Therapy: History, Theory, and
Practice. Sage Publications Inc

Anda mungkin juga menyukai