Anda di halaman 1dari 182

KESADARAN HUKUM DAN PERSEPSI MASYARAKAT

TERHADAP PERCERAIAN

(Studi Kasus Perceraian Di Desa Serdang Jaya Kecamatan Betara


Kabupaten Tanjab Barat Jambi)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi


Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

EPI YULIANTI
NIM. 1111044100026

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


(A H W A L S Y A K H S I Y Y A H)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/ 2015 M
q: l
.'

KESADARAN HTIKTJM DAN PERSEPSI MASYARAKAT

TERHADAP PERCERAIAN

(studi Kasus Perceraian Di Desa serdang Jaya Kecamatan Betara


KabuPaten Tanjab Barat Jambi)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Mernenuhi


Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariatr (S'Sy)

Oleh:

Epi Yulianti
NIM. 1111044100026

tu
Di Bawah Bimbingan:

Dr. Umar Al-Iladdad. MA


NrP. I 9680904199401 1001

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


(ArrwAL S YA KIr S rYY A rr)
FAKULTAS SYARIAH DAI\ HUKUM
UNTVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF I{IDAYATULLAH
JAKARTA
,L437 rrl 2015 M

t
It \

i. \.
LEMBARAN PENGESAHAN

Skripsi berjudul *KESADARAN HUKUM DAN PERSEPSI MASYARAKAT

TERHADAP PERCERAIAN (Studi Kasus Perceraian Di Desa Serdang Jaya

Kecamatan Betara Kabupaten Tanjab Barat Jambi)" telah diujikan dalam

sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta pada Senin, 20 Oktober 2015. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

pada Program Studi Hukum Keluarga.

Jakarta, 20 Oktober 201 5

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr.
NIP. 1969

Panitia Sidang:

Ketua : Dr. H. Abdul Halim. M.Ae.


NrP.19670608 199403 1 005

Sekretaris : Arip Purkon. M.A.


NIP. 19790427 200312 I 002
/1
Pembimbing : Dr. Umar Al-Haddad. MA. . ..)
NrP. 19680904 199401 I 001

Penguji I : Dr. H. Abdul Halim. M.Ag. .........)


NIP. 19670608 199403 I 00s

Penguji 2 : Nur Rohim Yunus. LL.M.


NIP. 1979041620n 01 I 004

ilt

.t
t
F
rl

LEMBAR PER}IYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sfrata Satu (S-1) di Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam


Negeri Of$ Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (Uf$ Syarif

Hidayatullah Jakarta.

J akarta, 20 Oktober 20 1 5

Epi Yulianti

IV
ABSTRAK

Epi Yulianti. NIM 1111044100026. Kesadaran Hukum Dan Persepsi


Masyarakat Terhadap Perceraian (Studi Kasus Perceraian Di Desa Serdang
Jaya Kecamatan Betara Kabupaten Tanjab Barat Jambi). Program Studi
Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyyah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/ 2015 M. xi + 101
halaman + 68 halaman lampiran.
Skripsi ini difokuskan pada penelitian dalam mengungkap permasalahan
tentang kesadaran hukum dan persepsi masyarakat desa Serdang Jaya terhadap
Perceraian. Sedangkan tujuan dari pada skripsi ini adalah untuk mengetahui
seberapa jauh tingkat kesadaran hukum dan persepsi masyarakat terhadap
perceraian.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, yang menekankan
pada kualitas dengan pemahaman deskriptif pada kesadaran hukum dan persepsi
masyarakat terhadap perceraian. Pendekatan yang penulis lakukan menggunakan
pedekatan yuridis-sosiologis. Yuridis sosiologis adalah suatu penelitian yang
mempelajari jaringan hubungan antara manusia dalam lingkungan masyarakat
dengan maksud dan tujuan untuk menemukan fakta. Sumber data diperoleh
melalui studi kepustakaan yang didukung dengan wawancara Hakim Pengadilan
Agama Kuala Tungkal, Kepala Desa, RT, Tokoh Agama dan warga Desa Serdang
Jaya yang melakukan perceraian diluar sidang pengadilan. Adapun pengelolaan
bahan hukum dilakukan dengan cara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu
permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan yang kongkret yang
dihadapi.

Dari hasil penelitian dan wawancara yang penulis lakukan, terlihat jelas
bahwa kesadaran hukum masyarakat desa Serdang Jaya terhadap perceraian
dilihat dari perspektif hukum positif yang berlaku di Indonesia, bahwa kesadaran
masyarakat terhadap hukum adalah kurang baik, artinya masyarakat mengetahui
bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan akan tetapi
kesadaran masyarakat untuk melaksanakan aturan tersebutlah yang kurang baik,
sehingga masyarakat masih melakukan perceraian di luar pengadilan. Sedangkan
persepsi atau pemahaman masyarakat sendiri mengenai perlu adanya peraturan
yang mengatur tentang perceraian dan pentingnya UU No. Tahun 1974 tentang
perkawinan adalah baik, pendapat mereka manyatakan peraturan tersebut
sangatlah penting adanya.

Kata Kunci : Kesadaran Hukum dan Persepsi Masyarakat. Studi Kasus


Perceraian Di Desa Serdang Jaya-Jambi
Pembimbing : Dr. Umar Al-Haddad, MA.
Daftar Pustaka : Tahun 1974 sampai Tahun 2014

v
KATA PENGANTAR

Limpahan puji dan syukur senantiasa takkan terhenti kepada Sang Maha

Pencipta dan Maha pemberi rezeki kepada seluruh makhluk-Nya di alam jagat

raya ini. Dengan mengucapkan Alhamdulillah bersyukur karena dengan ridho,

cinta dan kasih sayang-Nya dapat menyelesaiakan skripsi ini. Sholawat serta

salam semoga selalu tersampaikan kepada Rasul yang paling berjasa yaitu Nabi

Muhammad SAW. Semoga dengan bersholawat kepadanya bisa berkumpul

bersamanya di hari kiamat nanti amin.

Manusia tidaklah mungkin hidup tanpa bantuan dari orang lain dan

tidaklah mungkin terwujud semua usaha tanpa bantuan orang lain juga. Dengan

ini mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya atas keterlibatan semua pihak

yang telah membantu menulis dan menyusun skripsi ini dengan baik, oleh karena

itu, ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Abdul Halim, M.Ag., dan Arip Purkon, S.HI., MA. Ketua Program Studi

dan Sekertaris Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah)

Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

vi
3. Dr. Umar Al-Haddad, MA. dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu,

tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis dalam menyelesaikan

skripsi.

4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Program

Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah) Fakultas Syariah Dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan

ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk dibangku perkuliahan

hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah

dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam

pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan.

6. Drs. H. Mhd. Dongan., Wakil Ketua Pengadilan Agama Kuala Tungkal yang

telah membantu dan membimbing penulis selama melakukan wawancara.

Serta Ghozi S.Ag., Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Kuala Tungkal,

beserta seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis

untuk melakukan wawancara dan juga dalam mencari data-data sebagai bahan

rujukan skripsi.

7. Darmayulis S.H., Kepala Desa Serdang Jaya beserta jajarannya, kemudian

segenap Bapak Rt dan Bapak Ustadz selaku Tokoh Agama desa Serdang Jaya

atas kesediaanya membantu, memberi masukan, dorongan dan mendoakan

penulis dalam menyelesaikan penelitian.

8. Tidak lupa pula ucapan banyak terimakasih kepada Ibu Bapak dan seluruh

keluarga khususnya Nadiatul Husna yang telah memberikan semangat, doa

vii
dan membantu saya dalam menyelesaikan penelitian dikampung halaman,

sehingga dapat menyelesaikan skripsi dan menyelesaikan kuliah di UIN

Jakarta.

9. Cinta dan kasih sayang penulis sampaikan untuk sobat tersayang, terheboh

dan terbaikku Lilis Sumiyati dan Safira Maharani yang selalu ada disamping

penulis untuk memberikan semangat, dukungan, tawa canda dan kesetiaannya

menemani penulis dari awal berjumpa hingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi.

10. Kepada sobat seperjuangan penulis alumni 45 Ponpes Wali Songo Ngabar

khususnya Nazir, Ardian, Ridho, dan Faisal, serta kepada Bang Rifki, Bang

Haris, Bang Helmi, Yuyun, dan rekan-rekan forkalis lainnya, saya

mengucapkan banyak terimakasih atas dukungan semangat, dorongan,

motivasi dan bimbingannya selama menyelesaikan skripsi.

11. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis: Hendrawan, Andi Asyraf, Kamelia

Sari, Nadia Nur Syahida, Mujahidah, Triana Apriyanita, Juniarti Harahap,

Gusti Fajrina Fauziati, Ahmad Robian, Vemi Zauhara, serta teman-teman

seatap dan sekosan Nailil Farohah, Yonita Syukra, Aini Yunianingtias, Riska

yang terus memberikan support, hiburan dan semangat kepada penulis selama

penulisan skripsi.

12. Semua teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2011 dan KKN LEBAH

2014 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan

semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, serta kenangan

viii
indah yang kita ukir bersama dan rasakan dalam suka duka, tawa canda

selama dibangku kuliah yang takkan pernah terlupakan oleh penulis.

13. Untuk sahabat-sahabatku Angkatan Lemot yang penulis sayangi: Priska,

konsulku Baiti, Amel, Vina Haifa, Peyeng, Lastri, Ois Mancung, Anis Chan,

Winda, Ropeh, Ambar, Aqila, Ozi, Jamil, Wahyu, Aan Jamblang, Agus,

Pakde, Ocit, Khudori dan Roma, terimakasih atas segala dukungan, semangat

dan doanya untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi, serta kenangan indah

yang kita ukir bersama yang takkan pernah terlupakan.

14. Serta seluruh Keluarga Besar Racana Fatahillah-Nyi Mas Gandasri gugus

depan 07-081- 07-082 Pramuka UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak

dapat penulis sebutkan namanya satu persatu, penulis ucapkan terimakasih

atas dukungan dan doanya.

Tidak ada yang dapat diberikan atas jasa dan pengorbanannya, hanya

lantunan doa semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balas

yang berlipat ganda.

Saya berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi saya

khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan

saran yang membangun senantiasa saya harapkan untuk kesempurnaan skripsi

ini.

Jakarta, 20 Oktober 2015

Penulis

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iv

ABSTRAK ............................................................................................................ v

KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................. 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ....................................................... 7

D. Review Studi Terdahulu ................................................................. 8

E. Kerangka Teori............................................................................... 9

F. Metode Penelitian ........................................................................ 14

G. Sistematika Penulisan ................................................................. 18

BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PERCERAIAN DALAM

HUKUM ISLAM

A. Pengertian Perceraian ................................................................... 20

x
B. Dasar Hukum Perceraian.............................................................. 24

C. Macam-Macam Perceraian........................................................... 31

D. Faktor-Faktor Terjadinya Perceraian ........................................... 39

E. Prosedur dan Akibat Perceraian ................................................... 41

BAB III POTRET MASYARAKAT DESA SERDANG JAYA

A. Sejarah .......................................................................................... 49

B. Letak Demografi .......................................................................... 50

C. Kondisi Sosial dan Kependudukan .............................................. 52

BAB IV KESADARAN HUKUM DAN PERSEPSI MASYARAKAT DI

DESA SERDANG JAYA TENTANG PERCERAIAN

A. Motif Yang Melatarbelakangi Terjadinya Perceraian .................. 58

B. Kesadaran Hukum Dan Persepsi Masyarakat Terhadap Perceraian

Dilihat Dari Perspektif Hukum Positif Yang Berlaku Di Indonesia

68

C. Analisis Penulis ............................................................................ 88

BAB V PENUTUP

D. Kesimpulan ........................................................................... 93

E. Saran ...................................................................................... 94

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 96

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1. Surat Mohon Kesediaan Pembimbing Skripsi

2. Surat Permohonan Data/Wawancara Ke PA Kuala Tungkal

xi
3. Surat Permohonan Data/Wawancara Ke Kantor Kepala Desa Serdang Jaya

4. Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara dari PA Kuala Tungkal

5. Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara dari Kantor Kepala Desa

Serdang Jaya

6. Hasil Wawancara dengan Hakim PA Kuala Tungkal

7. Hasil Wawancara dengan Panitera Muda Hukum PA Kuala Tungkal

8. Hasil Wawancara dengan Ibu Kepala Desa Serdang Jaya

9. Hasil Wawancara dengan Ketua RT.02 Desa Serdang Jaya

10. Hasil Wawancara dengan Ketua RT.12 Desa Serdang Jaya

11. Hasil Wawancara dengan Tokoh Agama Desa Serdang Jaya

12. Hasil Wawancara dengan Masyarakat Desa Serdang Jaya

13. Dokumentasi Gambar Melakukan Wawanca

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Eksistensi hukum dalam proses pembangunan hanya tidak sekedar

berfungsi sebagai alat pengendalian sosial, melainkan lebih dari itu. Hukum

diharapkan mampu menggerakkan masyarakat agar berperilaku sesuai dengan

cara-cara baru dalam rangka mencapai suatu keadaan masyarakat yang dicita-

citakan. Begitu pula dalam sebuah keluarga yang merupakan bagian dari

institusi sosial terkecil di tingkat masyarakat yang ramah nilai, manfaat dan

arti bagi kehidupan yang lebih luas. Untuk membentuk sebuah keluarga yang

bahagia dibutuhkan rasa kasih sayang, terciptanya keharmonisan, ketentraman

dan harus memiliki seperangkat aturan yang dapat menumbuhkan kesadaran

yang tinggi di antara anggota keluarga terhadap hak dan kewajiban masing-

masing.

Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya

sampai matinya salah seorang suami istri. Inilah yang sebenarnya dikehendaki

agama Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang

menghendaki putusnya perkawinan itu dalam arti bila hubungan perkawinan

tetap dilanjutkan, maka kemudharatan akan terjadi. Ikatan perkawinan dapat

1
2

putus dan tata caranya telah diatur baik dalam fikih maupun dalam Undang-

Undang perkawinan (UUP).1

Putusnya perkawinan ialah melepas tali perkawinan dan mengakhiri

hubungan suami istri. Putusnya perkawinan karena kehendak suami atau istri

atau kehendak keduanya, karena adanya ketidak rukunan disebut dengan

istilah “perceraian”, yang bersumber dari tidak dilaksanakannya hak-hak dan

kewajiban-kewajiban sebagai suami atau istri sebagaimana seharusnya

menurut hukum perkawinan yang berlaku. Konkretnya, ketidak rukunan

antara suami dan istri yang menimbulkan kehendak untuk memutuskan

perkawinan dengan cara perceraian antara lain: karena pergaulan suami dan

istri yang tidak saling menghormati, tidak saling menjaga rahasia masing-

masing, keadaan rumah tangga yang tidak aman dan tenteram, serta terjadi

sengketa dan pertentangan pendapat yang sangat prinsip.2 Dalam hal itu Islam

membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha

melanjutkan rumah tangga. Hal ini terdapat dalam hadits dari Ibnu Umar

menurut riwayat Abu Daud, Ibnu Majah dan disahkan oleh Hakim, sabda

1
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Beras Fiqh, (Bogor: Kencana, 2003), h. 124.
2
Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian,
(Jakarta: Sinar Grafik, 2014) Ed. 1, Cet. 2, h. 6.
3

Nabi yang berbunyi: “perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah

talak”.3

Kendatipun perkawinan tersebut sebuah ikatan suci namun tidak boleh

dipandang mutlak atau tidak boleh dianggap tidak dapat diputuskan. Para

ulama klasik juga membahas putusnya perkawinan ini dalam lembaran kitab

al-fiqih al-islami wa‟adillatuh. Menurut menurut mazhab Hanafiyah, sebab-

sebabnya adalah islamnya salah satu dari suami atau istri, murtad, khiyar,

tidak adanya kesetaraan dan suami atau istri hilang dan tidak adanya kabar.

Mazhab Malikiyah sebab-sebab putusnya perkawinan adalah talak, khulu‟,

khiyar/fasakh, „ila, murtad dan perpisahan yang disebabkan tidak adanya

kesetaraan (kafa‟ah) antara suami istri. Adapun menurut mazhab Syafi‟iyah,

sebab-sebabnya adalah talak, khulu‟, fasakh, khiyar, nusyuz, „ila, zihar dan

li‟an. Sedangkan menurut mazhab Hanabilah, yaitu karena khulu‟, murtad,

aib, islamnya salah satu dari suami atau istri, „ila dan li‟an.4

Masalah putusnya perkawinan serta akibatnya, Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 mengaturnya dalam bab VIII Pasal 38 sampai dengan

Pasal 41. Sedangkan tata cara perceraian diatur dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 14 sampai dengan Pasal 36, dan hal-hal teknis

3
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, h. 124.
4
Wahbah Al Zuhaili, Al-Fiqih Al-Islam Wa‟adillatuh, (Damaskus: Darul Fikr, 1989), jilid 7,
h. 349.
4

lainnya dalam Peraturan Menteri Agama (Permenag) Nomor 3 Tahun 1975.

Dalam pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan, bahwa

perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas keputusan

pengadilan.

Sejalan dengan prinsip atau asas Undang-undang perkawinan untuk

mempersulit terjadinya perceraian, maka perceraian hanya dapat dilakukan di

depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan

tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (UUPA Pasal 65, jo. Pasal 115

KHI dan Pasal 39 ayat (1) UUP).5 Jadi perceraian yang terjadi diluar sidang

pengadilan dinyatakan tidak sah secara prosedural hukum yang berlaku. Ini

merupakan salah satu wewenang absolute Peradilan Agama berdasarkan Pasal

49 UU Nomor 7 Tahun 1989, yaitu “Peradilan Agama bertugas dan

berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara

ditingkat pertama antara orang-orang Islam di bidang perkawinan, kewarisan,

wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedakah dan ekonomi syariah.6

Dari ketentuan tersebut, dapat dikatakan bahwa hukum keluarga di

Indonesia memberikan pembatasan bagi suami untuk tidak menceraikan

istrinya secara sewenang-wenang, tetapi melalui prosedur peradilan dan

5
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 53.
6
Erfaniah zuhriah, Peradilan Agama Di Indonesia dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut,
(Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 193.
5

dengan alasan yang dapat diterima.7 Perceraian merupakan perkara yang

mendominasi ruang sidang di Pengadilan Agama di Indonesia.8 Perceraian

merupaka solusi terakhir yang dapat ditempuh oleh suami istri dalam

mengakhiri ikatan perkawinan setelah mengadakan perdamaian atau mediasi

secara maksimal dapat dilakukan atas kehendak suami ataupun permintaan

istri.9

Dalam hal perceraian, hukum keluarga di Negara-negara muslim

menetapkan peraturan yang beragam, karena sejak awal hukum Islam yang

diwariskan oleh para ulama fiqih terdahulu masih menyimpan beberapa

permasalahan untuk diterapkan secara utuh dalam konteks masyarakat

kontemporer. Salah satu hal yang cukup signifikan adalah hak suami secara

eksklusif untuk menceraikan istrinya dan apakah perceraian dianggap sah

ketika tidak dilakukan di hadapan pengadilan.10

Adapun fenomena yang terjadi pada masyarakat Desa Serdang Jaya

Kecamatan Betara Kabupaten Tanjab Barat Jambi yaitu masih ada kasus

perceraian yang dilakukan di luar sidang pengadilan atau perceraian dibawah

7
Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat, Hukum Keluarga Di Dunia Islam
Kontemporer, (Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 277.
8
Arskal Salim dkk, DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN: Dokumentasi Program
Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia, (Ciputat: PUSKUMHAM UIN Jakarta dan The Asia
Foundation, 2009), h. 59.
9
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 172.
10
Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat, Hukum Keluarga Di Dunia Islam
Kontemporer, h. 277.
6

tangan, sehingga tidak memikirkan akibat yang akan terjadi di kemudian hari.

Hal ini menunjukkan adanya perbedaan antara teori dan praktek, serta

kurangnya kesadaran hukum masyarakat terhadap peraturan-peraturan yang

berlaku di Indonesia. Dan belum diketahui apa yang menjadi faktor penyebab

sebagian masyarakat masih melakukan percerian di luar sidang pengadilan.

Berdasarkan uraian diatas, mendorong penulis untuk melakukan survei

di desa Serdang Jaya dan meneliti apakah ada kolerasi antara yang terjadi

dilapangan ataupun dilihat dari segi kepustakaannya. Dan hasil penelitian

yang dilakukan, kemudian diformulasikan oleh penulis dalam sebuah karya

ilmiah yang bertajuk “KESADARAN HUKUM DAN PERSEPSI

MASYARAKAT TERHADAP PERCERAIAN (Studi Kasus Perceraian

Di Desa Serdang Jaya Kecamatan Betara Kabupaten Tanjab Barat

Jambi).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Dalam hal ini penulis akan membatasi masalah penelitian agar

masalah dalam judul skripsi lebih fokus dan spesifik, diantaranya adalah:

a. Kesadaran hukum dan persepsi masyarakat di sini dibatasi dengan

permasalahan mengenai perceraian yang terjadi pada masyarakat

yang dilakukan di luar sidang pengadilan dilihat dari perspektif

hukum positif yang berlaku di Indonesia.


7

b. Adapun objek penelitian dibatasi pada Desa Serdang Jaya.

c. Data perceraian yang diteliti dibatasi dari tahun 2013 sampai 2015.

2. Perumusan Masalah

Sesuai dengan pembahasan masalah di atas, perumusan

masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Apakah motif yang melatarbelakangi terjadinya perceraian pada

masyarakat Desa Serdang Jaya?

2. Bagaimana tingkat kesadaran hukum dan persepsi masyarakat di

Desa Serdang Jaya terhadap perceraian dilihat dari perspektif

hukum positif yang berlaku di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian skripsi ini, adalah

sebagai berikut:

1. Untuk menjelaskan motif yang melatarbelakangi terjadinya perceraian

pada masyarakat Desa Serdang Jaya .

2. Untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum dan persepsi masyarakat

di Desa Serdang Jaya terhadap perceraian dilihat dari perspektif

hukum positif yang berlaku di Indonesia.

2. Manfaat Penelitian
8

Adapun manfaat yang di harapkan dari penelitian ini, agar menjadi

suatu yang berguna bagi kepentingan-kepentingan pihak, yaitu:

1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan

intelektualitas di bidang hukum keluarga, khususnya menyangkut

perceraian.

2. Bagi masyarakat umumnya dan mahasiswa khususnya, penelitian ini

diharapkan dapat menjadi salah satu sumber bacaan kajian hukum

keluarga Islam, serta dapat dijadikan rujukan pada kajian-kajian ilmiah

selanjutnya.

3. Sumbangsih bagi masyarakat untuk meningkatkan kesadaran hukum

khususnya dalam memberikan pemahaman tentang tata cara

melakukan perceraian dan pengenalan terhadap Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

D. Review Studi Terdahulu

Dalam proses penulisan skripsi yang membahas tentang kesadaran

hukum dan persepsi masyarakat terhadap perceraian studi kasus di Desa

Serdang Jaya Kecamatan Betara Kabupaten Tanjab Barat Jambi, maka penulis

telah melakukan studi review diantaranya:

1. Skripsi Ilyas Kartawijaya, Implikasi Perceraian di Luar Pengadilan

Terhadap Hak Asuh Anak (Studi Kasus Masyarakat Babakan Kecamatan

Cisaat Sukabumu),SAS, 2011. Dalam skripsi ini membahas tentang apa


9

saja faktor penyebab terjadinya perceraian di luar pengadilan di Desa

Babakan dan bagaiamana implikasi perceraian di luar pengadilan terhadap

hak asuh anak. Sedangkan perbedaanya dengan penulisan skripsi penulis

adalah membahas tentang kesadaran hukum dan persepsi masyarakat

terhadap perceraian dilihat dari perspektif hukum Islam positif yang

berlaku di Indonesia, dan objek penelitiannya berada di Desa Serdang Jaya

Kecamatan Betara Kabupaten Tanjab Barat jambi.

2. Skripsi Firman Lukmawandani, Kesadaran Masyarakat Tentang Hukum

Perceraian di Pengadilan (Studi pada Masyarakat Desa Sukamandi Jaya

Kecamatan Ciasem Kabupaten subang), SAS, 2013. Pada skripsi ini

membahas tentang bagaimana pengetahuan masyarakat Sukamandi

tentang perceraian di pengadilan dan kesadaran hukum masyarakat

Sukamandi terhadap Perceraian di depan pengadilan. Adapun

perbedaannya dalam penulisan skripsi ini ialah untuk mengetahui apakah

motif yang melatarbelakangi terjadinya perceraian serta bagaimana

persepsi masyarakat terhadap perceraian dilihat dari perspektif hukum

Islam positif yang berlaku di Indonesia yang terjadi di Desa Serdang Jaya

Kecamatan Betara Kabupaten Tanjab Barat jambi.

E. Kerangka Teori

Keberlangsungan hidup manusia tidak terlepas dari problematika

kehidupan yang semakin kompleks dan kontemporer pada saat ini. Hal

tersebut mengarahkan pada permasalahan bagi warga masyarakat tentang


10

untuk siapa hukum itu dibuat, merasakan dan menerima hukum tersebut.

Seperti halnya kesadaran hukum yang harus dipupuk di dalam diri setiap

individu masyarakat, karena pada hakikatnya hukum terlahir untuk

masyarakat dan keberhasilan suatu hukum apabila diterapkan dan berkembang

dalam masyarakat.

Adapun arti hukum menurut Prof. Mr.J. Van Kan, seorang dekan

fakultas hukum pertama di Indonesia (Hindia Belanda) adalah keseluruhan

ketentuan-ketentuan penghidupan yang bersifat memaksa yang diadakan

untuk melindungi kepentingan orang dalam masyarakat. Kemudian hukum itu

mempunyai fungsi: “menertibkan dan mengatur pergaulan dalam masyarakat

serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul”.11

Kata persepsi berasal dari kata perception yang berarti penglihatan,

tanggapan, daya memahami atau menanggapi. Adapun dalam kamus besar

bahasa Indonesia persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari

sesuatau atau proses seseorang mengetahui beberapa hal dari panca

inderanya.12 Definisi lain menyebutkan bahwa persepsi adalah kemampuan

untuk membedakan, mengelompokkan, memfokuskan terhadap satu objek

rangsang. Dalam proses pengelompokan dan membedakan ini persepsi

melibatkan proses interpretasi berdasarkan pengalaman terhadap suatu


11
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafik, 2008), cet. Ke-10, h. 37.
12
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2002), Cet. Ke-2, h. 863
11

peristiwa atau objek. Persepsi merupakan fungsi yang penting dalam

kehidupan. Dengan persepsi, makhluk hidup dapat mengetahui sesuatu yang

akan mengganggunya sehingga ia dapat menjauhinya, juga dapat sesuatu yang

bermanfaat sehingga ia pun dapat mengupayakannya. Persepsi merupakan

fungsi vital yang dimiliki oleh setiap manuasia, contohnya akal.13

Paham kesadaran hukum sebenarnya berkisar pada diri warga

masyarakat yang merupakan suatu faktor menentukan bagi sahnya hukum.14

Kesadaran hukum artinya nilai-nilai yang terdapat dalam diri manusia

mengenai hukum yang ada atau pengetahuan bahwa suatu perilaku tertentu

diatur oleh hukum.15 Kesadaran hukum tersebut mencakup beberapa

indikator, yakni pengetahuan dan pemahaman tentang hukum, sikap hukum,

dan pola perilaku hukum. Dari empat indicator tersebut, masing-masing

merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya.16

Apabila pembentukan hukum menertibkan peraturan-peraturan yang

tidak cocok dengan kesadaran atau perasaan masyarakat, maka akan timbul

reaksi-reaksi yang negatif dari masyarakat. Semakin besar pertentangan antara

13
Muhammad Utsman Nataji, Psikolog Dalam Al-Qur‟an, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2005), h. 195.
14
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1982),
h. 145.
15
Peter Salim, Yenny Salam, Kamus Besar Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern
English Press, 2002), h. 1301.
16
Ahmad Tholabi Kharlie, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Perkawinan,
(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 128.
12

peraturan dengan kesadaran tersebut, semakin sulit menerapkannya.

Sebaliknya, apabila peraturan-peraturan tadi sesuai dengan kesadaran

masyarakat, maka masalah-masalah di dalam penerapannya hampir tidak ada.

Sehingga sebenarnya ada suatu kecenderungan yang sangat kuat, agar terjadi

suatu keserasian atau kesesuaian yang propesional antara hukum yang

terapkan dengan kesadaran hukum dari masyarakat yang bersangkutan.17

Dalam hal penerapan hukum keluarga Islam di Indonesia penting

diperhatikan aspek-aspek yang terkait dengan penegak hukum. Setidaknya,

peran serta dan adil manusia sebagai subyek hukum sangat menentukan

apakah hukum tersebut berjalan secara efektif atau tidak.18 Dalam hal ini,

untuk melihat apakah hukum tersebut berlaku dan berjalan sesuai dengan

tujuannya, terutama terkait dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, maka sangat perlu untuk memperhatikan aspek

masyarakat, terutama terkait dengan kesadaran hukum terhadap perceraian

yang pada saat ini perkara tersebut mendominasi ruang sidang di Pengadilan

Agama.

Agama Islam mewajibkan para penganutnya supaya menjaga dan

memelihara keutuhan dan kelanggengan pernikahan, tetapi ia membolehkan

perceraian jika kehidupan diantara pasangan suami istri tidak harmonis, dan

17
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, h. 147.
18
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafik, 2013), h. 287.
13

jalan damai yang ditempuh selalu menemui kebuntuan. Dalam kondisi

perkawinan yang demikian perceraian menjadi langkah penting yang mesti

ditempuh.19

Perceraian menurut istilah adalah melepas tali perkawinan pada waktu

sekarang atau pada waktu yang akan datang. Sedangkan perceraian dalam

hukum positif ialah suatu keadaan di mana antara seorang suami dan seorang

istri telah terjadi ketidak cocokan batin yang berakibat pada putusnya

perkawinan, melalui putusan pengadilan setelah tidak berhasil didamaikan. 20

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah

pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan

kedua belah pihak dan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan

bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri, Pasal

39 (1) dan (2) Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.21

Adapun tata cara dan prosedur perceraian dapat dibedakan kedalam

dua macam, yaitu cerai talak (permohonan) dan cerai gugat. Pasal 66 Undang-

undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA) menyatakan


19
Butsainah as-Sayyid al-Iraqi, Menyingkap Tabir Perceraian, (Jakarta: Pustaka al-Sofwa,
2005), Cet. 1, h. 12.
20
Yayan Sopyan, ISLAM NEGARA: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Jakarta: RMBooks, 2012), h. 173.
21
Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat, Hukum Keluarga Di Dunia Islam
Kontemporer, h. 277.
14

bahwa: “Seorang suami yang beragama islam yang akan menceraikan istrinya

mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna

menyaksikan ikrar talak. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa cerai talak

adalah permohonan cerai yang diajukan oleh pihak suami. Adapun pada Bab 1

Ketentuan Umum huruf i KHI, jo. Pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989

diterangkan, Khulu‟ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri

dengan memberikan tebusan atau „iwadl kepada dan atas persetujuan

suaminya. Jadi, dengan demikian khulu‟ termasuk dalam kategori cerai

gugat.22

F. Metode Penelitian

Suatu keberhasilan dalam penelitian terlihat dari data yang diperoleh,

serta didukung oleh permasalahan yang diteliti. Dalam skripsi ini penulis

meneliti tentang hukum, maka penelitian yang digunakan adalah penelitian

hukum. Adapun metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini sebagai

berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan penulis berdasarkan pada

penelitian hukum yang dilakukan dengan memakai pendekatan yuridis

sosiologis. Maksud yuridis sosiologis adalah suatu penelitian yang

mempelajari jaringan hubungan antara manusia dalam lingkungan

22
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 233.
15

masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan fakta.23 Dalam

hal ini pengetahuan diperoleh dari hasil pengamatan terhadap fenomena

yang terjadi atas berbagai fakta yang diperoleh dari hasil penelitian dan

observasi.24

2. Jenis Penelitian

Dalam jenis penelitian ini secara lebih spesifik menggunakan

metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Metode deskriptif ini

dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas, dan dapat

memberikan data seteliti mungkin tentang obyek yang diteliti.25

3. Kriteria dan Sumber Data

Adapun jenis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah kualitatif dan terbagi menjadi dua yaitu data primer dan data

skunder:

a. Data Primer

Data yang diperoleh melalui penelitian lapangan dan langsung

dari sumber asal, yaitu melakukan wawancara dengan pihak-pihak

yang terkait.

23
Soerjono Sukanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta:
Grafindo, 2001), h. 26.
24
Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta: Buku Ajar, 2010), h.19.
25
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,1986), h. 43.
16

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah bahan pustaka yang berisikan informasi

tentang bahan primer,26 seprti peraturan perundang-undangan27, buku-

buku, jurnal-jurnal hukum, internet, dan lainnya.

4. Populasi dan Sampel

Populasi adalah kumpulan dari seluruh elemen atau individu-

individu yang merupakan sumber informasi dalam suatu riset28.

Sedangkan sampel adalah sebagian anggota populasi yang diambil

berdasarkan prosedur tertentu sehingga dapat mewakili populasi yang

diteliti.29 Dalam penelitian ini populasi dan sampel yang diteliti adalah

masyarakat Desa Serdang Jaya yang melakukan perceraian diluar sidang

pengadilan.

Adapun teknik yang digunakan untuk pengambilan sampel dalam

penelitian ini yaitu teknik stratified random sampling (pengambilan

sampel acak distratifikasi).30 Teknik sampling ini disebut juga dengan

istilah teknik sampling berlapis, berjenjang dan petala. Teknik ini

26
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008) h. 35.
27
Johny Ibrahim, Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi, Cet 4,
(Malang : Bayumedia Publishing, 2008), h. 302.
28
Sonny Sumarsono, Metode Riset Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004),
h. 49.
29
Sonny Sumarsono, Metode Riset Sumber Daya Manusia, h. 49.
30
Sangaribun dan Effendi, Sofian, Metode Penelitian Survai, (Jakarta: LP3ES, 1989), h. 162.
17

digunakan apabila populasinya heterogen atau terdiri atas kelompok-

kelompok yang bertingkat. Penentuan tingkat berdasarkan karakteristik

tertentu. Misalnya, menurut usia, pendidikan, golongan/pangkat, dan

sebagainya.31

5. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam

penyelesaian penulisan skripsi ini adalah:

a. Observasi

Merupakan pengamatan dan pencatatan yang sistematis

terhadap gejala-gejala yang diteliti.32 Untuk mendapatkan data tentang

penelitian ini, maka dibutuhkan observasi langsung kelapangan tempat

objek yang akan diteliti.

b. Wawancara (Interview)

Yaitu sebuah dialog yang dilakukan pewawancara untuk

memperoleh informasi dari pihak-pihak yang terkait dengan penelitian

ini.33

c. Studi Pustaka (library Research)

31
Husain Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodelogi Penelitian Sosial, (Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2000), h. 44.
32
Husain Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodelogi Penelitian Sosial, h. 57.
33
Suharismi Arikunto, Prosedur Penelitian-Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta:
PT Rhineka Cipta, 1996), h. 144.
18

Penelitian ini yang sumber datanya diambil dari buku-buku

atau tulisan-tulisan yang telah diterbitkan, buku jurnal, majalah, surat

kabar dan lainya, yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

d. Studi Dokumenter

Adalah menelaah bahan-bahan yang diambil dari dokumentasi

dan berkas-berkas data yang berkaitan dengan penelitian.

6. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif

kualitatif, yaitu menganalisis dengan cara menguraikan dan

mendeskripsikan hasil wawancara yang diperoleh. Sehingga mendapatkan

satu kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai

dengan tujuan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini.

G. Sistematika Penulisan

Untuk sistematika penulisan, penulis membagi pembahasan menjadi

lima bab, tiap-tiap bab terdiri dari beberapa sub bagian agar pembahasan

teratur dan terarah pada pokok permasalahan yang sedang dibahas. Adapun

sistematika ini diuraikan sebagai berikut:

BAB I Berisi tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, studi review, kerangka teori, metode penelitian,

metode analisis data, sistematika penulisan.


19

BAB II Penulis menguraikan tentang pengertian perceraian, dasar

hukum perceraian, macam-macam perceraian, faktor-faktor

terjadinya perceraian, serta prosedur dan akibat perceraian.

BAB III Penulis menyajikan tentang Sejarah Desa Serdang Jaya, letak

geografis dan keadaan demografi Desa Serdang Jaya,

kemudian kondisi sosial dan kependudukan Desa Serdang

Jaya.

BAB IV Dalam bab ini penulis akan memaparkan mengenai faktor

penyebab terjadinya perceraian pada masyarakat, serta untuk

mengetahui bagaiamana kesadaran hukum dan persepsi

masyarakat terhadap perceraian dilihat dari perspektif hukum

positif yang berlaku di Indonesia dan analisis penulis.

BAB V Pada bab akhir ini penulis akan memberikan kesimpulan yang

disertai dengan beberapa saran. Demikianlah sistematika

penulisan ini, mudah-mudahan penulisan ini dapat dimengerti

dan bermanfaat.
BAB II

KAJIAN TEORITIS TENTANG PERCERAIAN

DALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian Perceraian

Putusnya perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan dalam

Undang-undang Perkawinan untuk menjelaskan perceraian atau

berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan


1
perempuan yang selama ini hidup sebagai suami istri. Hal ini senada

dengan makna talak menurut Wahbah Al-Zuhaili dalam bukunya Al-Fiqh

Al-Islami Wa‟adillatuh yang mendefinisikan talak ialah:

Artinya: “Talak menurut bahasa adalah melepas ikatan atau


menceraikan”.2
Dalam Kamus Hukum Indonesia kata cerai (gescheider) diartikan

dengan putus hubungan sebagai suami istri, pisah dengan segala

konsekuensi hukumnya.3 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia kata cerai berarti pisah atau putus hubungan sebagai suami istri;

1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fikih Munakahat
Dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), Cet. Ke-1, h. 189.
2
Wahbah Al Zuhaili, Al-Fiqih Al-Islam Wa‟adillatuh, (Damaskus: Darul Fikr, 1989),
jilid 7, h. 356.
3
Marbun, Kamus Hukum Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), Cet. 1, h.
40.

20
21

talak.4 Kata perceraian berasal dari kata “cerai”, yang mendapat awalan

“per” dan “an”, yang secara bahasa berarti melepas ikatan. 5 Dalam istilah

agama talak berarti melepas ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan

perkawinan. Sedangkan dalam Ensiklopedi Islam Indonesia talak menurut

istilah adalah melepaskan tali perkawinan atau mengakhiri hubungan

perkawinan.6

Menurut pendapat Mazhab Hanafi dan Hambali mendefinisikan

talak sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan

ikatan perkawinan dimasa yang akan datang. Adapun yang dimaksud

secara langsung adalah tanpa terkait dengan sesuatu dan hukumnya

langsung berlaku ketika ucapan talak tersebut dinyatakan suami.

Sedangkan yang dimaksud dimasa yang akan datang adalah berlakunya

hukum talak tersebut tertunda oleh suatu hal. Mazhab Syafi‟i

mendifinisikan talak sebagai pelepasan akad nikah dengan lafad talak atau

yang semakna dengan lafad itu. Sedangkan mazhab Maliki mendefinisikan

sebagai suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan

hubungan suami istri.7

4
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1998), Cet. Ke-1, h. 163.
5
Ahmad Warsono Munawir, Al Munawir Kamus Besar Arab-Indonesia, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), Cet. Ke-14, h. 861.
6
Wahbah Al Zuhaili, Fiqih dan Perundangan Islam, Terjemah Ahmad Syeid Husain,
Dewan Pustaka Dan Bahasa, jilid VII (Selanggor, 2001), h. 579.
7
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam Indonesia, “Talak” Ensiklopedia Islam, (Jakarta:
PT. Ichar Baru an Hoeve, 1994), Cet. Ke-3, jilid 5, h. 53.
22

Bagi seorang muslim yang diisyaratkan adalah tidak sering-sering

mengucapkan cerai bila ada pertikaian antara dia dengan istrinya, atau

dalam percakapan dia dengan orang lain, karena Nabi bersabda:

Artinya: “perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak”.(HR.


Abu Dawud, Ibn Majah, dan la-Hakim, dari Ibn Umar)
Talak dibolehkan jika ada kebutuhan. Adapun yang diajarkan oleh

sunnah adalah bila terpaksa maka yang dijatuhkan awalnya talak satu,

sehingga masih memungkinkan bagi keduanya rujuk bila memang

diinginkan selama si istri masih dalam masa „iddah atau dengan akad

nikah yang baru bila masa „iddah telah berakhir. Tidak boleh seorang

suami menceraikan istrinya yang sedang haid, nifas, atau dimasa sucinya

di mana ia telah menggaulinya. Dan tidak boleh pula langsung

menjatuhkan talak tiga pada istri dengan kalimat atau dalam satu

kesempatan.8

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa awalnya talak itu

dilarang karena mengandung pengertian kufur pada nikmat nikah,

merobohkan tujuan pernikahan, serta menyakiti pihak istri, keluarga dan

juga anak-anak. Akan tetapi, Allah Yang Maha bijaksana menakdirkan

8
Tim Baitul Kilmah, Ensiklopedia Pengetahuan Al-Qur‟an dan Hadis, h. 348.
23

bahwa pergaulan antara suami istri kadang-kadang memburuk dan menjadi

demikian buruknya sehingga tidak ada lagi jalan keluarnya.9

Adapun Istilah perceraian terdapat dalam Pasal 38 UU No. 1

Tahun 1974 yang memuat tentang ketentuan fakultatif bahwa ”Perkawinan

dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan”.

Jadi, istilah perceraian secara yuridis berarti putusnya perkawinan, yang

mengakibatkan putusnya hubungan suami istri.10

Di Indonesia dengan berlakunya Undang-undang Perkawinan No.

1 Tahun 1974, penjatuhan talak atau cerai itu tidak lagi sewenang-wenang

dari suami yang menggunakan kesempatan tersebut pada setiap saat, tetapi

talak tersebut mesti dijatuhkan di depan sidang pengadilan setelah

mendapat pertimbangan yang diproses oleh hakim Pengadilan Agama.11

Selain talak yang menjadi wewenang laki-aki (suami), dalam

khazanah Islam juga dikenal istilah khulu‟ yang memberikan hak bagi

perempuan untuk menuntut perceraian kepada suami yang tidak ia

senangi. Di dalam KHI dibedakan antara perceraian yang diakibatkan

karena talak dan perceraian karena gugatan perceraian. Perbedaan ini

memberikan konsekuensi yang berbeda, di antaranya istri tidak punya

9
Mahmud Syalthut dan Ali As-Sayis, Fiqih Tujuh Madzhab, (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2000), h. 148.
10
Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2014), Cet. Ke-2, h. 15.
11
Ahmad Mukri Aji, Maslahat Mursalah: Dalam Dialektika Pemikiran Hukum Islam,
(Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2011) h. 205.
24

hukum apa-apa, sedangkan si suami mempunyai upaya hukum seperti

biasanya dalam perkara perdata, yaitu hak banding dan kasasi.

B. Dasar Hukum Perceraian

Setiap produk hukum pastilah selalu berlandasan dengan hukum

yang mempertimbangkan akan kedudukan produk hukum tersebut, begitu

pula dengan masalah talak (perceraian).

1. Al-Qur’an dan Hadis

Adapun dasar hukum talak yang terdapat dalam Al-Qur‟an diantaranya

sebagai berikut, yaitu firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarh [2]

ayat 229 yang berbunyi:

Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma´ruf atau menceraikan dengan cara yang
baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang
telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir
tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu
khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah
orang-orang yang zalim”. (Qs. Al-Baqarah: 229)
Firman Allah SWT surat al-Baqarah [2] ayat 231
25

Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka


mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang
ma´ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma´ruf (pula).
Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena
dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat
demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya
sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan
ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi
pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan
bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”.(Qs. Al-Baqarah: 231)
Ayat di atas memberikan makna bahwa talak yang disyariatkan

Allah ialah talak yang dijatuhkan oleh suami satu demi satu, tidak

sekaligus, dan bahwa suami boleh memelihara kembali bekas istrinya

setelah talak pertama dengan cara yang baik, demikian pula setelah

talak kedua.12

Juga firman-Nya dalam surat Al-Thalaq [65] ayat 1 dan 2, yang

berbunyi:

12
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h. 197.
26

Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka


hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu
serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan
mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar
kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah
hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum
Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya
sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan
sesudah itu sesuatu hal yang baru”. (Qs. Al-Thalaq: 1)
Maksud ayat di atas adalah jika ingin menceraikan istri-istri

kalian maka ceraikanlah mereka pada saat menghadapi masa iddah.

Hanya saja istri yang dicerai menerima iddah apabila perceraiannya

setelah ia suci dari haid atau nifas dan sebelum digauli.13

Artinya: “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka


rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik
dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu
dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.
Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar”. (Qs. Al-Thalaq:
2)
Ayat diatas menerangkan tentang kehadiran dua orang saksi

dalam pengucapan talak dan juga ayat tersebut secara jelas menyuruh

mengemukakan kesaksian waktu terjadinya rujuk dan perceraian,

13
Ali Yusuf As-Subki, Fiqih Keluarga, (Jakarta: AMZAH, 2010), h. 335.
27

namun ulama Jumhur tidak mewajibkannya, akan tetapi hukumnya

hanyalah sunnat.14

Adapun dasar hukum talak menurut beberapa hadis,

diantaranya sebagai berikut:

Artinya: “Dari ibnu Umar r.a bahwasanya dia menceraikan istrinya


yang dalam keadaan haid pada masa Rasulullah SAW. Maka Umar
bin Khatab bertanya kepada Rasulullah tentang hal tersebut,
Rasulullah menjawab: perintahkan anakmu itu supaya rujuk (kembali)
kepada isterinya itu, kemudian hendaklah ia teruskan pernikahan
tersebut sehingga ia suci dari haid, lalu haid kembali dan kemudian
suci dari haid yang kedua. Maka, jika berkehendak ia boleh
meneruskan sebagaimana yang telah berlalu, dan juga menghendaki,
ia boleh menceraiakannya sebelum ia mencapurinya. Demikianlah
iddah diperintahkan Allah saat wanita itu diceraikan”. (HR.
Muttafaqun „Alaih) 15
Talak juga di dasarkan pada sabda Rasulullah SAW, yang

berbunyi sebagai berikut:

14
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 129.
15
Ahmad Mudjab Mahalli dan Ahmad Rodli Hasbullah, Hadis-Hadis Muttafaq‟alaih
Bagian Munakahat dan Mu‟amalat, (Jakarta: Kencana, 2004), Cet. Ke-1, h. 62.
28

Artinya: “Dari Ibnu Umar, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah


SAW: “Perkara halal yang sangat dibenci oleh Allah ialah thalaq”.
(HR. Abu Daud) 16
Pada prinsipnya, talak merupakan suatu yang dimakruhkan.

Hal ini diketahui dari hadis diatas, terlihat sekali bahwasanya Nabi

sangat tidak senang dengan perbuatan talak ini dan menghukuminya

sebagai perbuatan yang makruh. sedangkan menurut ijma‟, dari Ibnu

Qudamah mengatakan, “Kaum muslimin sepakat secara bulat (ijma‟)

atas kebolehan talak ada berbagai pertimbangan pun menunjukkan

kebolehannya”.17

2. Hukum Positif

Faktor ideal yang determinan dan menjadi sumber hukum

material serta menentukan substansi atau isi hukum perceraian dalam

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya

adalah Pancasila. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, UU No.

1 Tahun 1974 yang merupakan peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang perkawinan termasuk perceraian.

Ketentuan normatif khususnya perceraian terkandung dalam

Bab VIII UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang di dalamnya

mengatur putusnya perkawinan dan akibat hukumnya, yang di uraikan

dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 dilaksanakan, dalam arti

16
Abu Daud Sulaiman al-Asy‟ats al-Sijistani, Sunah Abu Daud, Bab Karahiyah
al=Thalaq, (Riyadh: Maktabah al-Ma‟arif, t.h.,), h. 379.
17
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, penerjemah, Khairul
Amru Harahap dan Faisal Saleh, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), Cet. Ke-2, h. 363.
29

norma-norma hukumnya dijabarkan secara lebih konkret dalam

peraturan pelaksana, yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975

Pasal 14 sampai dengan Pasal 36, dan hal-hal teknis lainnya dalam

Peraturan Menteri Agama (Permenag) Nomor 3 Tahun 1975.18

Perceraian dalam hukum positif, diatur juga dalam Kompilasi

Hukum Islam (KHI) Pasal 113 jo Pasal 38 UUP yang menyatakan

bahwa “Perkawinan dapat putus karena: (a) Kematian, (b) Perceraian,

dan (c) atas putusan Pengadilan. Dan pada Pasal 114 menyebutkan:

“Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi

karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”.19

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dalam Pasal 39 menyebutkan bahwa:

1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan

setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak

berhasil mendamaikan kedua belah pihak.20

2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa

antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai

suami

18
Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, h.
86.
19
Undang-Undang Peradilan Agama: UU Ri Nomor 50 Tahun 2009 Dan Kompilasi
Hukum Islam (KHI), (Graha Pustaka Yogyakarta), h. 171.
20
Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat, Hukum Keluarga Di Dunia
Islam Kontemporer, h. 277.
30

3. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam

Peraturan perundangan tersendiri”.21

Jadi perceraian yang terjadi diluar sidang pengadilan

dinyatakan tidak sah secara prosedural hukum yang berlaku. Ini

merupakan salah satu wewenang absolut Peradilan Agama berdasarkan

Pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989, yaitu “Peradilan Agama bertugas

dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-

perkara ditingkat pertama antara orang-orang Islam di bidang

perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedakah dan

ekonomi syariah.22

Perceraian sebagai satu peristiwa hukum yang secara faktual

banyak terjadi dalam masyarakat tentunya menimbulkan akibat

hukum, baik terhadap kedudukan, hak dan kewajiban suami dan istri,

anak, harta bersama yang telah mereka peroleh dalam perkawinan.

Undang-undang No, 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaanya yang

secara fungsional harus mampu mencegah dan mempersukar

terjadinya perceraian, dan jika terjadinya perceraian itu tidak dapat

dihindari lagi, maka harus dapat melindungi hak dan kewajiban suami

21
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 218.
22
Erfaniah zuhriah, Peradilan Agama Di Indonesia dalam Rentang Sejarah dan Pasang
Surut, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 193.
31

dan istri, anak-anak dan harta bersama yang dihasilkan dalam

perkawinan.23

C. Macam-macam Perceraian

1. Talak

Secara harfiah, talak berarti lepas dan bebas. Dihubungkan

dengan kata talak dalam arti kata putusnya perkawinan, karena antara

suami dan istri sudah lepas hubungannya masing-masing sudah

bebas.24 Talak bisa diklasifikasikan menjadi berbagai jenis sesuai

dengan aspek pandangannya. Dari segi dampak (pengaruh) yang

ditimbulkan, maka talak ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:

a. Talak raj‟i adalah talak yang dijatuhkan satu kali oleh suami, dan

membolehkan suami untuk kembali kepada istrinya selama masih

dalam masa iddahnya tanpa akad baru.25 Apabila dia berkehendak

untuk kembali dalam kehidupan dengan mantan suami atau

istrinya, dalam bentuk talak ini cukup mengucapkan rujuk kepada

mantan suami. 26

23
Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, h.
62.
24
Muhammad Syaifuddin, Sri Trutmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Peceraian, h.
117.
25
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, penerjemah, Khairul
Amru Harahap dan Faisal Saleh, h. 413.
26
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia,(Jakarta: Kencana, 2007), h.
220.
32

b. Talak ba‟in adalah talak yang tidak memberikan kesempatan lagi

bagi suami untuk merujuk kembali istri yang telah ditalaknya.

Talak jenis ini ada dua macam, yaitu:

1. Talak ba‟in shugra adalah talak ba‟in yang tidak memberikan

kesempatan lagi bagi suami untuk merujuk kembali kepada

istrinya kecuali melalui akad baru dan mahar baru.27

2. Talak ba‟in kubra adalah talak yang talak yang menghilangkan

kepemilikan bekas suami terhadap bekas istri serta

menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin kembali

dengan bekas istri, kecuali setelah bekas istri itu kawin dengan

laki-laki lain, telah berkumpul dengan suami kedua itu serta

telah bercerai secara wajar dan telah selesai menjalankan

iddahnya. Sedangkan untuk talak ba‟in kubra terjadi pada talak

ketiga.

2. Syiqaq

Syiqaq berarti perselisihan. Menurut istilah fiqih adalah

perselisishan suami istri yang diselesaikan oleh dua orang hakam yaitu,

seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri.28

Ketentuan tentang syiqaq terdapat dalam Al-Qur‟an surat An-Nisa‟ [4]

ayat 35, yang berbunyi:

27
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, penerjemah, h. 431.
28
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1987), Cet. Ke-1, h. 188.
33

Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara


keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Mengenal”. (Qs. An-Nisa‟: 35)

Kedudukan cerai sebab kasus syiqaq adalah bersifat bain,

artinya antara bekas suami istri hanya dapat kembali sebagai suami

istri dengan akad nikah yang baru.29

3. Khulu’

Khulu‟ yang terdiri dari lafaz kha-la-„a secara etimologi berarti

menanggalkan atau membuka pakaian.30 Dihubungkan kata khulu‟

dengan perkawinan karena dalam Al-Qur‟an disebutkan suami itu

sebagai pakaian bagi istrinya dan istri itu merupakan pakaian bagi

suaminya terdapat dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 187. Adapun

dalam istilah hukum beberapa kitab fiqih, khulu‟ diartikan sebagai

“Putus perkawinan dengan menggunakan uang tebusan,

menggunakan ucapan talak atau khulu‟. 31

Secara terminologi khulu‟ adalah permintaan istri kepada

suaminya untuk menceraikan dirinya dari ikatan perkawinan dengan

29
Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, h. 243.
30
Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian,
h. 130.
31
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawianan Islam Di Indonesia, h. 231.
34

disertai i‟wadh berupa uang atau barang kepada suami dari pihak istri

sebagai imbalan penjatuhan talak cerai gugat dan pemberian hak yang

sama bagi wanita untuk melepaskan diri dari ikatan perkawinan dan

menyadarkan bahwa istri mempunyai hak yang sama untuk mengakhiri

perkawinan.32

Talak tebus itu hukumnya boleh dilakukan, baik sewaktu suci

maupun sewaktu haid, karena biasanya talak tebus ini terjadi dari

kehendak dan kemauan si istri. Adanya kemauan ini menunjukkan

bahwa dia rela, walaupun menyebabkan iddahnya jadi panjang.33

Dengan adanya khulu‟, istri berhak menentukan dirinya sendiri. Suami

tidak dapat meruju‟nya kecuali dengan pernikahan yang baru, akan

tetapi wanita yang mengajukan khulu‟ tidak bisa ditalak lagi.

Khulu‟ yang disebut juga dengan Cerai gugat adalah ikatan

perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yang diajukan oleh

istri ke Pengadilan Agama, yang kemudian termohon (suami)

menyetujuinya, sehingga Pengadilan Agama mengabulkan

permohonan tersebut.34

Khulu‟ sebagai salah satu bentuk putusnya perkawinan tidak

diatur sama sekali dalam UU Perkawinan, namun KHI mengaturnya

32
Arskal Salim dkk, DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN: Dokumentasi Program
Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia, (Ciputat: PUSKUMHAM UIN Jakarta dan The
Asia Foundation, 2009), h. 59
33
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2010), h. 189.
34
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2011), h. 78.
35

dalam Pasal 132 KHI dinyatakan bahwa: “Gugatan perceraian diajukan

oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama yang daerah

hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri

meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami. Perceraian

dapat diajukan oleh suami atau istri secara seimbang. Sebab, pada

dasarnya suami dan istri ini memiliki kesempatan yang sama untuk

mengajukan perceraian.35

4. Fasakh

Fasakh berasal dari bahasa Arab dari akar kata fa-sa-kha yang

secara etimologi berarti membatalkan . Dalam arti

terminologis ditemukan beberapa rumusan yang hampir bersamaan

maksudnya, diantaranya yang terdapat dalam KBBI, yaitu:

“Pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan

atas tuntutan istri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan

Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum

pernikahan”.36 Adapun yang dimaksud fasakh ialah perceraian yang

berlaku diantara suami dan istri disebabkan timbul sesuatu yang boleh

membatalkan akad nikah.37

35
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: El-Kahfi,
2008), h. 234.
36
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawianan Islam Di Indonesia, h. 242.
37
Kasmuri Selamet, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga Panduan Perkawinan,
(Jakarta: Kalam Mulia, 1998), Cet. Ke-1, h. 28.
36

Pada dasarnya hukum fasakh itu adalah mubah atau boleh,

tidak disuruh dan tidak pula dilarang, namun bila melihat kepada

keadaan dan bentuk tertentu itu, yang akan dijelaskan kemudian.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur

batalnya perkawianan dalam 7 pasal, diataranya pada Pasal 22 yang

berbunyi: “Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak

memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.

Kemudian diatur pula dalam PP No. 9 Tahun 1975 sebagai aturan

pelaksana bagi UU No. 1 Tahun 1974 dan juga dijelaskan dalam KHI

Pasal 70. 38

5. Ila’

Ila‟ menurut bahasa berarti sumpah. Ila‟ adalah mazdar dari

kata ala, ya‟li, ila‟an yang berarti sumpah. Sedangkan menurut istilah,

ila‟ berarti suami bersumpah untuk tidak lagi mencampuri istri baik

menyebut waktu atau tidak menyebut waktu. Adapun dasar hukum

yang digunakan, terdapat dalam Al-Qur‟an surat Al-Baqarah [2] ayat

226, yang berbunyi:

Artinya: “Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi


tangguh empat bulan (lamanya). kemudian jika mereka kembali

38
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawianan Islam Di Indonesia, h. 244.
37

(kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi


Maha Penyayang”. (Qs, Al-Baqarah: 226)39
Apabila suami telah bersumpah tidak akan menggauli istrinya,

maka suami diberi kesempatan dalam jangka empat bulan untuk

memikirkan dua pilihan alternatif bagi suami untuk rujuk dengan istri

atau mentalak istrinya.40

6. Zhihar

Menurut bahasa Arab, kata zhihar terambil dari kata zhahrun

yang bermakna punggung. Dalam kaitannya dengan hubungan suami

istri, zhihar adalah ucapan suami kepada istrinya yang berisi

menyerupakan punggung istri dengan punggung ibu suami, seperti

ucapan suami kepada istrinya: “Engkau bagiku adalah seperti

punggung ibuku”.41 Setelah kata-kata ini diucapkan, dengan seketika

juga hubungan suami istri itu berakhir seperti halnya perceraian.

Zhihar merupakan kebiasaan orang jahiliyah yang tidak lagi

memfungsikan istrinya sebagai istri walau masih tetap terikat.42

Ulama sudah sepakat menyatakan bahwa hukum zhihar itu

adalah haram. Adapun dasar hukum adanya pengaturan zhihar ialah

surat Al-Mujadilah [58] ayat 2:

39
Tim Baitul Kilmah, Ensiklopedia Pengetahuan Al-Qur‟an dan Hadis, h. 358.
40
Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian,
h.149.
41
Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, h. 228.
42
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1995), Cet. Ke-
1, h. 143.
38

Artinya: “Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu,


(menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri
mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita
yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh
mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya
Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”. (Qs. Al-Mujadilah: 2) 43
7. Li’an

Menurut istilah li‟an adalah tuduhan yang dilakukan dengan

sumpah oleh suami kepada istrinya atau istri kepada suaminya bahwa

tertuduh telah berbuat zina, sementara tuduhan itu dibantah oleh

tertuduh dengan sumpah juga.44

Li‟an secara bahasa berarti “kutukan” atau “menjatuhkan”.

Fuqoha sepakat bahwa pelaksanaan li‟an harus di depan hakim atau

orang yang dikuasakan olehnya. Sebab apabila salah satu dari pihak

suami istri tersebut menolak untuk bersumpah li‟an, maka harus

dihukum (dera atau rajam), sedangkan melaksanakan hukuman adalah

khusus menjadi wewenang hakim. Mengenai li‟an terdapat dalam Al-

Qur‟an surat An-Nur [24] ayat 6:

43
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawianan Islam Di Indonesia, h.261.
44
Muhammad Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis, (Jakarta:
Graha Cipta, 2005), h. 58.
39

Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina),


Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka
sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah
dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang
yang benar.” (Qs. An-Nur: 6)
Soemiyati menjelaskan bahwa dalam hukum perkawinan Islam,

sumpah li‟an ini dapat mengakibatkan putusnya perkawianan antara

suami istri untuk selama-lamanya.45

D. Faktor-Faktor Terjadinya Perceraian

Di mata hukum, perceraian tentu tidak dapat terjadi begitu saja.

Artinya harus ada alasan yang dibenarkan oleh hukum untuk melakukan

perceraian. Itu sangat mendasar, terutama bagi pengadilan yang

notabenenya berwenang memutuskan, apakah suatu perceraian layak atau

tidak untuk dilaksanakan. Dalam PP No. 9 Tahun 1975 tentang

pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974, tepatnya Pasal 19 dijelaskan bahwa

perceraian boleh dilakukan bila terdapat sejumlah alasan penting yang

mendasarinya.46

Menurut hukum islam ada empat kemungkinan yang terjadi dalam

kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadi perceraian atau

memutus/terputusnya perkawinan, yaitu sebagai berikut:

1. Terjadinaya nusyuz dari pihak istri

45
Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian,
h.159.
46
Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian,
h. 175.
40

2. Terjadinya nusyuz dari pihak suami

3. Terjadinya syiqaq

4. Terjadinya salah satu pihak melakukan perbuatan zina atau fakhisyah,

yang menimbulkan saling tuduh menuduh antara keduanya.

Perceraian harus disertai dengan alasan-alasan hukum sebagaimana

dijelaskan dalam Pasal 39 [2] UU No.1 Tahun 1974, kemudian dijelasakan

dalam Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 Kompilasi:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi

dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun

berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau

karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat

tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.

f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam

rumah tangga.
41

Dalam kompilasi terdapat tambahan alasan terjadinya perceraian

yang khusus, berlaku bagi pasangan perkawinan yang memeluk agama

islam, yaitu:

a. Suami melanggar taklik talak.

b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak

rukunan dalam rumah tangga.

Tambahan dari Pasal 116 KHI ini relatif penting karena

sebelumnya tidak ada. Taklik talak adalah janji atau pernyataan yang

biasanya dibacakan suami setelah akad nikah. Jika suami melanggar

“janji” yang telah diucapkan dan istrinya tidak rela lantas mengadu ke

Pengadilan, maka pengadilan atas nama istri akan menjatuhkan talak satu

khuluk kepada istri.47

E. Prosedur dan Akibat Perceraian

1. Prosedur

Sejalan dengan prinsip atau asas Undang-undang Perkawinan

untuk mempersulit terjadinya perceraian, maka perceraian hanya dapat

dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah pengadilan yang

bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak

(UUPA, Pasal 56, jo. Pasal 115 KHI).48

47
Alyasa Abubakar, Ihwal Perceraian Di Indonesia: Perkembangan Pemikiran dari
Undang-Undang Perkawinan sampai Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Al-Hikmah dan
DITBINBAPERA Islam, 1999), h. 72.
48
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 233.
42

Perceraian dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu yang

dibolehkan oleh ajaran Islam. Apabila sudah ditempuh berbagai cara untuk

mewujudkan kerukunan, kedamaian, dan kebahagiaan, namun harapan

dalam tujuan perkawinan tidak akan terwujud atau tercapai sehingga yang

terjadi adalah perceraian. Perceraian diatur dalam Undang-undang Nomor

7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan pasal 115 Kompilasi Hukum

Islam (KHI). 49

a. Cerai Talak (Permohonan)

Apabila suami yang mengajukan permohonan ke pengadilan untuk

menceraikan istrinya, kemudian istri menyetujuinya disebut cerai talak.

Hal ini diatur dalam Pasal 66 UUPA, yaitu:

1. Seorang suami beragama islam yang akan menceraiakan istrinya

mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadaka sidang

guna menyaksikan ikrar talak.

2. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada

pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman

termohon kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan

tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.

3. Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan

diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat

kediaman pemohon.

49
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafik, 2006), Cet,
Ke-1, h. 80.
43

4. Dalam pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri,

maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya

meliputi tempat perkawinan mereka melangsungkan atau Pengadilan

Agama Jakarta Pusat.

5. Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta

bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan

cerai talak ataupun sesudah ikrar talak.

Setelah permohonan cerai talak diajukan kepada Pengadilan

Agama, Pengadilan Agama melakukan pemeriksaan mengenai alasan-

alasan yang menjadi dasar dijadikannya permohonan tersebut. Hal ini

diatur dalam Pasal 68 UUPA, yaitu sebagai berikut:.

1. Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh Majelis Hakim

selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat

permohonan cerai talak didaftarkan di kepaniteraan.

2. Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang

tertutup.50

b. Cerai Gugat

Khulu‟ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan

memberikan tebusan atau „iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya.

Jadi, dengan demikian khulu‟ termasuk kategori cerai gugat. Adapun

prosedur cerai gugat menurut Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang

50
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 233
44

Peradilan Agama yang sudah diamandemenkan dengan Undang-undang

No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989

menyatakan sebagai berikut:

1. Gugatan cerai diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan

yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali

apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman

bersama tanpa izin penggugat.

2. Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan

perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya

meliputi tempat kediaman tergugat.

3. Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri,

maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya

meliputi perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada pengadilan

agama Jakarta Pusat.

Sedangkan mengenai masalah tempat mengajukan gugatan

kaitannya dengan alasan-alasannya diatur dalam pasal 21 PP Nomor 9

Tahun 1975.51

2. Akibat

Perkawinan dalam Islam adalah ibadah dan mitsaqan ghalidhan

(perjanjian pokok). Oleh katena itu, apabila perkawinan putus atau terjadi

perceraian tidak begitu saja selesai urusannya, akan tetapi ada akibat-

51
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 237.
45

akibat hukum yang perlu diperhatikan oleh pihak-pihak yang bercerai.

Demikian juga, perkawinan yang terputus karena kematian salah satu

pihak, juga menimbulkan konsekuensi hukum tersendiri.

Dalam Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa

perkawinan dapat putus karena: (a) kematian, (b) perceraian, dan (c) atas

keputusan pengadilan. Selanjutnya dalam menurut ketentuan Pasal 41

UUP:

1. Akibat putusnya perkawinan karena ditinggal mati suami, yaitu:

Apabila suami meninggal, maka istri selain menjalin masa

tunggun, maka ia berhak mewarisi harta si suami, dan sekaligus

berkewajiban memelihara anak-anaknya. Pasal 157 Kompilasi

menyatakan: “Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana

tersebut dalam pasal 96 dan 97”. Adapun dalam pasal 96 disebutkan,

bahwa:

a. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi

hak pasangan yang hidup lebih lama.

b. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri

atau suaminya hilang, harus ditangguhkan sampai adanya kepastian

matinya yang hakikinya atau mati secara hukum atas dasar putusan

Pengadilan Agama. 52

2. Akibat putusnya perkawinan karena percerian, yaitu:

52
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 229.
46

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik

anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak,

bilamana terjadi perselisihan mengenai pengasuhan anak-anak

pengadilan memberi keputusannya.

b. Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan

pendidikan yang diperlukan anak itu bilamana bapak dalam

kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan

dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi

biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi

bekas istrinya.

Ketentuan Pasal 41 UUP tersebut memang masih bersifat global,

dan kompilasi merincinya dalam empat kategori yaitu, akibat cerai talak,

cerai gugat, akibat khulu‟, dan akibat li‟an.53

1. Akibat talak

Menurut ketentuan Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam (KHI)

dinyatakan, bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas

suami wajib:

a. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa

uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al-dukhul.

53
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 223.
47

b. Memberikan nafkah, maskawin dan kiswah (tempat tinggal dan

pakaian) kepada bekas istri selam dalam „iddah, kecuali bekas istri

telah dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak

hamil.

c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya atau separuhh

apabila qabla al-dukhul.

d. Memberikan biaya hadlanah (pemeliharan, termasuk di dalamnya

biaya pendidikan) untuk anak yang belum mencapai umur 21

tahun.

2. Akibat cerai gugat

Akibat perceraian karena cerai gugat diatur dalam Pasal 156

Kompilasi, yaitu:54

a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadlanah dari

ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka

kedudukannya digantikan oleh: Wanita-wanita dalam garis lurus ke

atas dari ibu dan seterusnya.

b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan

hadlanah dari ayah atau ibunya.

c. Apabila pemegang hadlanah ternyata tidak dapat menjamin

keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan

hadlanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang

54
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, h. 149.
48

bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadlanah kepada

kerabat lain yang mempunyai hak hadlanah pula.

d. Semua biaya hadlanah dan nafkah anak akan menjadi tanggungan

ayah menurut kemampuanya, sekurang-kurangnya sampai anak

tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).

e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadlanah dan nafkah anak,

Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a),

(b), (c), dan (d).

f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya

mendapatkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan

anak-anak yang tidak turut padanya.

3. Akibat Li‟an

Pasal 162 kompilasi menjelaskan,“Bilamana li‟an terjadi maka

perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung

dinasabkan kepada ibunya, sedangkan suaminya terbebas dari

kewajiban memberi nafkah”. Karena terputusnya hubungan nasab

tersebut dengan bapaknya, maka hubungan pewarisannya pun dapat

terjalin dengan ibu dan keluarga ibunya saja. Riwayat Abu Dawud:

“Rasulullah SAW. Menjadikan hak waris anak li‟an (mula‟anah)

kepada ibunya dan ahli waris ibunya”. (Riwayat Abu Dawud)55

55
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 229.
BAB III

POTRET MASYARAKAT DESA SERDANG JAYA

A. Sejarah Desa

Pada berdirinya pemukiman baru Dusun Serdang Jaya Desa

Pematang Lumut adalah gagasan dari Dandin 0419 Kab Tanjung Jabung

yang pada waktu itu di jabat oleh Bapak Mayor Syahrofi (Alm) yang

kemudian dijadikan pemukiman baru, serta diberikan satu lembar sketsa

(peta) wilayah pemukiman Dusun Serdang Jaya Desa Pematang Lumut,

dan rencana pembangunan desa baru yaitu Desa Serdang Jaya pada hari

senin 26 Februari 1984.

Gagasan tersebut di atas, ditindak lanjuti dan mendapat keabsahan

dari pemerintah Tanjung Jabung pada tanggal 27 April 1984 melalui

rekomendasi dari Bapak Sudirman, yang pada saat itu menjabat sebagai

Kepala Desa Pematang Lumut, yang diteruskan kepada Bapak Gafar

Masdar, BA selaku Camat Tungkal Ilir.1

Kemudian pada tanggal 30 Mei 1984 Kepala Desa Pematang

Lumut menyampaikan sketsa (peta) dan izin pembangunan desa baru

yakni Desa Serdang Jaya pada tanggal 26 Februari 1984 yang

ditandatangani oleh Letkol Drs. Toegino melalui kabag pembangunan

Desa Bapak A. Bakar Marsita. Pada tanggal 5 Juni 1984 kepala desa

menyerahkan sketsa (peta) dan izin pemukiman baru, yang masih dalam

1
Data diambil dari Laporan Data Monografi Desa Serdang Jaya Kecamatan Betara
Kabupaten Tanjab Barat Jambi Tahun 2015.

49
50

wilayah Desa Pematang Lumut yaitu Desa Pematanng Lumut I, dan Bapak

Darham ditunjuk sebagai penanggung jawab pelaksanaan lapangan

pembukaan pemukiman baru Serdang Jaya. Seiring dengan perkembangan

dan pertumbuhan daerah, akhirnya Desa Serdang Jaya resmi di mekarkan

menjadi Desa Depinitif pada tanggal 29 April 2006 sebagai penanggung

jawab sementara adalah Bapak Khairudin, Sos., yang pada saat itu

menjabat sebagai Kaur Pemerintahan Desa Pematang Lumut.2

Dalam setahun di mekarkan masyarakat Desa Serdang Jaya melalui

Pilkades pada Tanggal 25 April 2007 yang diketahui oleh saudara Zakaria,

S.Hi., dan terpilihlah Bapak Ismail Hanafi sebagai Kepala Desa Depinitif

dan dilantik Oleh Bapak Bupati Tanjung Jabung Barat, pada tanggal 30

Mei 2007, dan bapak Sofwana sebagai ketua BPD Desa Serdang Jaya

Kecamatan Betara.

Penduduk Serdang Jaya lebih kurang 1554 KK, Kepala Desa

pertama kali di Serdang Jaya adalah Bapak Ismail Hanafi yang menjabat

dari tahun 2007 sampai tahun sekarang. Desa Serdang Jaya adalah desa

asli /trasmigrasi, terdiri dari 6 dusun, dan 31 RT dengan jumlah penduduk

sekarang sebanyak 5898 jiwa.3

B. Letak Demografi

Desa Serdang Jaya merupakan salah satu desa yang berada di

Kecamatan Betara Kabupaten Tanjab Barat-Jambi, luas wilayah desa ini

2
Data Monografi Desa Serdang Jaya Tahun 2015.
3
Data Monografi Desa Serdang Jaya Tahun 2015.
51

adalah 27,65 km2. Adapun batas-batas wilayah desa Serdang dapat dilihat

pada table dibawah ini, yaitu:

Tabel 1.1
Batas-Batas Wilayah Desa Serdang Jaya4

No Batas Wilayah Keterangan

1. Sebelah Utara Berbatasan Dengan Desa Mandala Jaya

2. Sebelah Selatan Berbatasan dengan Desa Desa Muntialo

3. Sebelah Timur Berbatasan Dengan Desa Teluk Kulbi

4. Sebelah Barat Berbatasan Dengan Kecamatan Bram Itam

Desa Serdang Jaya dipimpin oleh seorang Kepala Desa dan dibantu

beberapa staf desa, kemudian desa Serdang Jaya terdiri dari 12 RT.

Sedangkan jumlah penduduk desa Serdang Jaya 2. 623 Jiwa dan 688

Kepala Keluarga (KK).

Tabel 1.3

Jumlah Penduduk Menurut Umur/Usia5

No. Umur/Usia Jumlah


Laki-Laki dan Perempuan
1. 00-05 Tahun 177 Jiwa

2. 06-12 Tahun 435 Jiwa

3. 13-16 Tahun 274 Jiwa

4
Data Monografi Desa Serdang Jaya Tahun 2015.
5
Data Monografi Desa Serdang Jaya Tahun 2015.
52

4. 17-60 Tahun 1.572 Jiwa

5. 60 Tahun Keatas 67 Jiwa

C. Kondisi Sosial dan Kependudukan

a. Bidang Keagamaan

Dalam bidang keagamaan mayoritas warga desa Serdang Jaya

adalah beragama Islam atau bisa dikatakan 99,9% penduduknya beragama

Islam, adapun 5 warga lainnya beragama kristen. Untuk mendukung

pelaksanaan ibadah di desa Serdang Jaya tersedia fasilitas- fasilitas ibadah

yaitu 2 unit masjid dan 4 unit surau/langgar.

Selain digunakan sebagai sarana ibadah dalam hal shalat lima

waktu, tempat ibadah tersebut juga digunakan oleh warga desa Serdang

Jaya sebagai tempat mengadakan pengajian dan peringatan-peringatan hari

besar Islam, seperti Isra’Miraj, Maulid Nabi dan lainnya. Hal ini terbukti

dengan adanya kelompok-kelompok pengajian yang terdiri dari 15

kelompok Majlis Ta’lim dan 2 kelompok Remaja Masjid.6

b. Bidang Pendidikan

Dalam bidang pendidikan desa Serdang Jaya merupakan salah satu

desa yang memiliki fasilitas pendidikan yang belum lengkap, hal ini dapat

dilihat dengan hanya adanya beberapa fasilitas pendidikan mulai dari 2

sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), 1 sekolah Taman Kanak-

6
Data Monografi Desa Serdang Jaya Tahun 2015.
53

Kanak (TK), 2 Madrasatul Ibtidaiyah (MI) dan 2 Sekolah Dasar (SD) saja,

sedangkan untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP/MTS) dan Sekolah

Menengah Atas (SMA/MA) belum ada di desa ini.

Meskipun ada beberapa fasilitas pendidikan yang belum ada di

desa Serdang Jaya ini, namun masalah pendidikan tidak terlalu

terbelakang. Hal ini terbukti dengan sudah adanya warga desa Serdang

Jaya yang bisa melanjutkan pendidikannya kejenjang Perguaruan Tinggi

atau bisa dikatakan sudah ada warga yang menyelesaikan Sarjana Strata

Satu (S1) dan ada juga yang menyelesaikan sampai tingkat D3.

c. Bidang Kesehatan

Untuk meningkatkan derajat hidup masyarakat melalui upaya

peningkatan pelayanan kesehatan di desa Serdang Jaya, maka telah

dilakukan beberapa cara dengan tersedianya 1 unit Pusat Kesehatan Desa

(Puskedes), 1 unit POSTU, 2 unit tempat praktek bidan, dan 2 unit

Posyandu.7

d. Bidang Ekonomi

Desa Serdang Jaya ini merupakan daerah perbukitan dan dataran

tinggi. Adapun penggunaan tanah di desa Serdang Jaya sebagian besar di

peruntukan untuk tanah pertanian dan perkebunan sedangkan sisanya

untuk bangunan dan fasilitas–fasilitas lainnya. Oleh karena itu mayoritas

7
Data Monografi Desa Serdang Jaya Tahun 2015.
54

mata pencaharian penduduk desa ini adalah pertanian dan perkebunan,

Seperti tabel di bawah ini :

Tabel 1.6

Mata Pencaharian Warga Desa Serdang Jaya8

No Mata Pencaharian Jumlah

1. Petani 443 KK

2. Buruh 81 KK

3. Dagang 83 KK

4. PNS/TNI/POLRI 31 KK

a. Tingkat Perceraian

Seiring dengan perubahan zaman dan perubahan nilai-nilai sosial

pada masyarakat saat ini, kasus perceraian terus meningkat pada setiap

tahunnya. Bahkan perceraian merupakan perkara yang mendominasi ruang

sidang di Pengadilan Agama di Indonesia.

Adapun dari kantor desa Serdang Jaya sendiri memang belum ada

pendataan dan laporan khusus untuk jumlah perkara perceraian yang

terjadi pada warga desa, sehingga penulis tidak mendapatkan data jumlah

warga desa Serdang Jaya yang sudah bercerai. Akan tetapi menurut

informasi yang penulis dapat dari ketua RT. 01-12, jumlah kasus

perceraian yang terjadi di desa Serdang Jaya berkisar 21 orang yang sudah
8
Data Monografi Desa Serdang Jaya Tahun 2015.
55

diselesaikan di pengadilan dan 13 orang yang belum menyelesaikan ke

pengadilan, itu yang diketahui oleh ketua Rt setempat.

Tabel 1.7

Jumlah Perceraian Masyarakat Desa Serdang Jaya9

No RT Sudah Bercerai di Belum Bercerai di


Pengadilan Agama Pengadilan Agama

1. 01 4 Orang 1 Orang

2. 02 3 Orang 2 Orang

3. 03 1 Orang -

4. 04 1 Orang -

5. 05 5 Orang 2 Orang

6. 06 2 Orang 2 Orang

7. 07 2 Orang 1 Orang

8. 08 - -

9. 09 - 1 Orang

10. 10 - 1 Orang

11. 11 - -

12. 12 3 Orang 3 Orang

Jumlah 21 Orang 13 Orang

9
Wawancara pribadi dengan Ketua RT. 01-12 Desa Serdang Jaya Kecamatan. Betara
Kabupaten. Tanjab Barat, Jambi.
56

Berdasarkan data dan informasi yang penulis dapatkan dari

Pengadilan Agama Kuala Tungkal, perkara perceraian yang terjadi di

Kabupaten Tanjab Barat dari tahun 2013-2015 sd. September sebanyak

953 perkara perceraian, dan telah terjadi peningkatan pada setiap

tahunnya. Seperti tabel dibawah ini:

Tabel 1.8 10

Jumlah Data Perceraian di Pengadilan Agama Kuala Tungkal

No Tahun Jumlah

1. 2013 343

2. 2014 344

3. 2015 sd. September 266

Jumlah 953

Adapun faktor ekonomi merupakan penyebab pertama yang

mendominasi alasan perceraian pada masyarakat, kemudian juga faktor

yang banyak dijadikan alasan oleh masyarakat adalah tidak tanggung

jawab dan tidak ada keharmonisan, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1.9

Data Faktor Penyebab Terjadi Perceraian di Pengadilan Agama 11

10
Data perkara perceraian tahun 2013-2014, Pengadilan Agama Kuala Tungkal.
11
Data perkara perceraian tahun 2013-2014, Pengadilan Agama Kuala Tungkal.
57

No Faktor Penyebab Tahun Tahun Tahun


Perceraian 2013 2014 2015

1. Cemburu 1 - 1

2. Ekonomi 106 156 105

3. Tidak Tanggung Jawab 83 81 72

4. Gangguan Pihak Ketiga 11 9 5

5. Tidak ada Keharmonisan 79 80 80

6. Dihukum 2 3 2

7. Kawin Paksa - - 1

Jumlah 281 329 266


BAB IV

KESADARAN HUKUM DAN PERSEPSI MASYARAKAT

DI DESA SERDANG JAYA TENTANG PERCERAIAN

A. Motif Yang Melatarbelakangi Terjadinya Perceraian

Di mata hukum, perceraian tentu tidak dapat terjadi begitu saja.

Artinya, harus ada yang dibenarkan oleh hukum untuk melakukan suatu

perceraian. Itu sangat mendasar, terutama bagi pengadilan yang

notabenenya berwenang memutuskan apakah suatu perceraian layak atau

tidak untuk dilaksanakan. Termasuk segala keputusan yang menyangkut

segala konsekuensi terjadinya perceraian, juga sangat ditentukan oleh

alasan melakukan perceraian.

Adapun alasan-alasan terjadinya perceraian, terdapat dalam Pasal

39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam Pasal 19

PP No. 9 Tahun 1975, yaitu:1

1. Salah satu berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan

lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-

turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal

lain diluar kemampuannya.

1
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 218.

58
59

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman

yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat

tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.

6. Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam

rumah tangga.

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 166 terdapat tambahan

alasan terjadinya perceraian yang khusus, berlaku bagi pasangan

perkawinan yang memeluk agama Islam, yaitu:

1. Suami melanggar Taklik Talak.

2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak

rukunan dalam rumah tangga.

Adapun pengertian dari Taklik Talak adalah perjanjian yang

diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan

dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu

keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Bagi

warga negara Republik Indonesia yang melaksanakan perkawinan


60

menurut agama Islam, terdapat kemungkinan cara perceraian atas

pengaduan pihak istri karena suami melanggar Sighat Taklik yang

dinyatakan oleh suami segera setelah terjadi akad perkawinan, yaitu

pernyataan suami bahwa sewaktu-waktu suami:

1. Meninggalkan pergi istrinya dua tahun berturut-turut.

2. Atau suami tidak memenuhi kewajibannya sebagai suami memberi

nafkah kepada istrinya dalam masa tiga bulan berturut-turut.

3. Atau suami menyakiti istrinya dengan memukul.

4. Atau suami membiarkan istrinya dalam masa enam bulan berturut-

turut.2

Putusnya perkawinan itu terdapat beberapa bentuk tergantung

dari segi siapa yang berkehendak untuk putusnya perkawianan itu, antara

lain:

1. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui matinya

salah seorang suami istri. Dengan kematian itu, dengan sendirinya

berakhir pula hubungan perkawinan.

2. Putusnya perkawinan atas kehendak suami oleh alasan tertentu dan

dinyatakan kehendak itu dengan ucapan atau yang disebut dengan

talak.

2
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h. 249.
61

3. Putusnya perkawinan atas kehendak istri karena si istri melihat

sesuatu yang menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami

tidak berkehendak untuk itu. Putusnya perkawinan dengan cara ini

disebut khulu’.

4. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga

setelah melihat adanya sesuatu pada suami dan/atau atau istri yang

menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan

atau putusnya perkawinan ini disebut fasakh.3

Adapun fenomena yang terjadi pada masyarakat desa Serdang

Jaya adalah masih terdapat masyarakat yang melakukan perceraian diluar

sidang pengadilan atau perceraian di bawah tangan dengan berbagai

macam penyebab, alasan dan belum menyelesaikannya di pengadilan.

Sehingga berdampak pada tidak terpenuhinya hak-hak istri dan anak. Hal

ini menunjukkan bahwa perlu adanya penelitian tentang kesadaran

hukum pada masyarakat terhadap aturan yang ada, sehingga ini berakibat

adanya perbedaan antara teori dan praktek dilapangan pada masyarakat.

Berdasarka hasil penelitian, terdapat beberapa alasan yang

berbeda, yang mendasari terjadinya perceraian antara satu narasumber

dengan narasumber lainnya, sebagaimana diketemukan sebagai berikut:

3
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 197.
62

Sugiyanto: alasanan saya bercerai dengan mantan istri saya,

karena sudah tidak ada kecocokan antara kami berdua.4 Perceraian yang

terjadi pada bapak Sugiyanto dilakukan atas dasar kerena sudah tidak ada

kecocokan lagi antara suami istri, sehingga dapat mengakibatkan

terjadinya perselisihan dan pertengkaran terus menerus dan sudah tidak

ada harapan lagi untuk dapat hidup rukun dalam rumah tangga.

Perceraian ini dinamakan cerai talak karena putusnya perkawinan atas

kehendak suami oleh alasan tertentu dan dinyatakan kehendak itu dengan

ucapan. Ini berdasarkan dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 angka (6).

Fatonah: penyebab saya ingin bercerai dengan suami adalah

karena sering bertengkar dengan suami, selain itu juga karena suami

sering melakukan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) kepada saya.

Dan juga tidak diberikan nafkah lahir maupun batin kepada saya.5

Nuryani: saat berpisah itu suami langsung pergi dari rumah

meninggalkan saya dengan membawa surat nikah saya, dan

penyebabnya karena suami saya itu sering memukuli saya terus menerus

atau KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Dan keluarga saya tidak

terima, sehingga ingin menuntut atas perbuatannya terhadap saya ke

4
Wawancara Pribadi dengan warga Desa Sedang Jaya Sugiyanto, di kediamannya, 3 Juni
2015.

5
Wawancara Pribadi dengan warga Desa Serdang Jaya Fatonah, di kediamannya 11 Juni
2015.
63

kantor polisi, sehingga dia pergi dari rumah saya dan tidak berani lagi

datang kerumah saya. 6

Perceraian yang terjadi pada ibu Nuryani dan ibu Fatonah disebut

dengan cerai gugat (khulu’) yaitu perceraian yang terjadi atas permintaan

istri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan

suaminya. Karena di sini yang menjadi penyebab perceraian antara ibu

Nuryani dan ibu Fatonah adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)

yang dilakukan oleh suaminya, maka alasan perceraian ibu Fatonah dan

ibu Nuryani ini dibenarkan dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 jo.

Pasal 116 Kompilasi tentang alasan yang dapat digunakan menjadi dasar

untuk perceraian, sebagaimana terdapat dalam angka (4) yaitu “Salah

satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain. Adapun alasan perceraian lainnya yang

diutarakan oleh ibu Fatonah adalah karena suami tidak memberikan

nafkah lahir maupun batin dan terjadinya pertengkaran, alasan ini

dibenarkan dalam Pasal 19 angka (6) PP No. 9 Tahun 1975, yaitu

“Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”.

6
Wawancara Pribadi dengan warga Desa Sedang Jaya Nuryani, di kediamannya, 30 Juli
2015.
64

Janatun: penyebab perceraian saya dengan suami ini karena

sudah tidak ada keharmonisan dalam rumah tangga dan juga karena

sudah tidak sepaham antara kami berdua dalam hal urusan rumah

tangga.7 Perceraian yang terjadi pada ibu janatun dengan alasan karena

sudah tidak ada keharmonisan dalam rumah tangga dan tidak sepaham

antara suami istri dapat menyebabkan terjadinya perselisihan dan

pertengkaran, sehingga sudah tidak ada harapan hidup rukun lagi dalam

rumah tangga. Alasan ini dibenarkan dengan mengacu pada PP No. 9

Tahun 1975 pada Pasal 19 angka (6), dan perceraian ini dinamakan

dengan cerai gugat (Khulu’).

Paula Agustina: saya ingin bercerai dengan suami itu, ya karena

sudah tidak cocok lagi dan juga sering terjadi pertengkaran antara kami

berdua dan sudah 2 tahun tidak tahu keberadaannya dan tidak ada

kabar dari mantan suami saya.8 Perceraian yang dialami oleh ibu Paula

dengan alasan ketidak cocokan dan terus menerus terjadi pertengkaran di

antara suami istri, sehingga tidak ada harapan lagi untuk rukun dalam

membina rumah tangga, maka perceraiannya dibolehkan sebagaimana

yang terdapat dalam PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 angka (6). Dan juga

7
Wawancara Pribadi dengan warga Desa Sedang Jaya Janatun, di kediamannya, 11 Juni
2015.

8
Wawancara Pribadi dengan warga Desa Sedang Jaya Paula Agustina, di kediamannya, 27
Juli 2015.
65

karena sudah 2 tahun tidak ada kabar berita tentang suami dan tidak tahu

keberadaanya, alasan ini berdasarkan PP No. 9 Tahun 1975 pada Pasal

19 angka (2) yaitu “Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2

tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau

karena hal lain diluar kemampuannnya”.

Jemikan: penyebab perceraian saya dengan istri, karena istri

saya selingkuh dengan laki-laki lain dan karena perselingkuhannya itu

melalui komunikasi hp saja tanpa pernah bertemu dan tatap muka

dengan orang tersebut, sehingga terjadi kesalahan yaitu salah orang.

Karena sudah sangat cinta dengan orang tersebut dan tidak bisa terima

dengan kesalah pahaman orang tersebut, maka yang terjadi pada istri

saya adalah mengalami States berat dan saya sudah berusaha

membawanya berobat ke sana ke sini namun tidak ada hasilnya. Ya

sudah saya akhiri saja atau lebih baik berpisah dari pada dia

membahayakan orang-orang sekitar dan malu-maluin saya, toh itu

kesalahan dia bukan saya. Kemudian saya langsung antarkan saja

kerumah orang tuannya untuk mengurusi anaknya.9

Perceraian yang dialami oleh bapak Jemikan dinamakan dengan

cerai talak yaitu putusnya perkawinan atas kehendak suami dengan

9
Wawancara Pribadi dengan warga Desa Sedang Jaya Jemikan, di kediamannya, 30 Juli
2015.
66

alasan tertentu dan dinyatakan kehendak itu dengan ucapan talak.

Adapun alasan perceraianya adalah karena perselingkuhan yang

dilakukan istri dan penyakit stres istri yang tidak sembuh-sembuh.

Alasan ini dibenarkan dengan mengacu dalam PP No. 9 Tahun 1975

Pasal 19 angka (5), yaitu “Salah satu pihak mendapat cacat badan atau

penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai

suami istri”, dan angka (1), yaitu “Salah satu berbuat zina atau menjadi

pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar

disembuhkan”.

Yulis Indrawani: alasan saya ingin bercerai dengan suami saya,

karena suami kurang tanggung jawab terhadap istri dan anaknya,

kemudian tidak ada keterbukaan dari suami mengenai masalah apapun

dalam rumah tangga dan tidak mau menghargai perempuan, karena

suami saya sering menuduh saya yang macam-macam (selingkuh)

karena saya bekerja di kantor desa. Dan pada waktu itu saya diusir oleh

suami dari rumah kami. Karena tidak ada niat baik dari suami dan

keluarganya untuk membicarakan hal ini, maka saya putuskan untuk

berpisah saja.10

10
Wawancara Pribadi dengan warga Desa Sedang Jaya Yulis Indrawani, di kediamannya, 30
Juli 2015.
67

Perceraian yang dialami oleh ibu Yulis dinamakan dengan cerai

gugat (khulu’), adapun alasan yang dikemukakan oleh ibu Yulis ini

adalah karena suami kurang tanggung jawab, tidak ada keterbukaan dan

tidak menghargai perempuan serta sering menuduh istrinya selingkuh,

alasan ini dibenarkan berdasarkan sighat taklik talak sebagai salah satu

perjanjian yang diucapkan suami setelah akad nikah, karena suami telah

melanggar salah satu dari sighat taklik talak tersebut, yaitu tidak

bertanggung jawab atau dengan tidak memberikan nafkah sebagai

kewajiban dari seorang suami terhadap istrinya.

Perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama Kuala Tungkal

terus meningkat pada setiap tahunnya, hal ini terbukti dengan adanya

data jumlah keseluruhan perkara yang diterima pada tahun 2013-2015 sd.

September dengan jumlah 953 perkara. Sedangkan yang menjadi faktor

penyebab terjadinya perceraian di Pengadilan Agama Kuala Tungkal,

terdapat tiga faktor penyebab perceraian dilihat dari 2 tahun terakhir

yaitu pada tahun 2013 dan 2014 menyebutkan bahwa faktor pertama

adalah faktor ekonomi yang mendominasi penyebab terjadinya

perceraian pada tahun 2013-215 dengan jumlah keseluruhan 367. Faktor

kedua penyebab terjadinya perceraian yaitu disebabkan karena tidak

adanya keharmonisan dalam rumah tangga pada tahun 2013-2015 dengan

jumlah keseluruhan 239, sedangkan faktor ketiga penyebab terjadinya


68

perceraian adalah tidak adanya tanggung jawab dari suami pada tahun

2013-2015 dengan jumlah keseluruhan 236.11

B. Kesadaran Hukum dan Persepsi Masyarakat Terhadap Perceraian

Dilihat Dari Perspektif Hukum Positif Yang Berlaku Di Indonesia

Kesadaran hukum serta merta berasosiasi kepada aspek yang

efektif dalam maknanya sebagai „keinsyafan yang menjadi dasar dari

suatu tekad‟. Bertolak dengan konsep yang baru ini, program-program

penegak hukum tidak hanya bertujuan menyuluh para subjek agar

„mengetahui apa saja hukumnya‟, akan tetapi juga ditunjuk untuk para

subjek agar bersedia untuk ikut mematuhi undang-undang. Akan tetapi,

dewasa ini dengan bertambahnya kemajemukan masyarakat nasional,

tuntutan hukum tidaklah mungkin lagi dicukupkan pada pengetahuan dari

isi undang-undang saja. Tuntutan akan berlanjut pada persoalan bersedia

tidaknya seseorang itu membangun komitmen untuk menaatinya.12

Sebagaimana uraian di atas, kesadaran hukum timbul dan ada pada

diri setiap manusia. Hukum dapat ditentukan tergantung praktik sehari-

hari dari pada pejabat hukum, seperti hukum dan ketertiban hukum, kedua

kesadaran hukum tersebut sejalan, akan tetapi dalam kenyataanya tidak

11
Data perkara perceraian tahun 2013-2015, Pengadilan Agama Kuala Tungkal.
12
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Dalam Masyarakat, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013),
Ed. Kedua, Cet. 1, h. 103.
69

selalu demikian prosesnya. Padahal, kepastian hukum dan ketertiban

umum selalu menuntut agar ketentuan-ketentuan hukum tertulis ditaati.13

Apabila pembentukan hukum menertibkan peraturan-peraturan

yang tidak cocok dengan kesadaran atau perasaan masyarakat, maka akan

timbul reaksi-reaksi yang negatif dari masyarakat. Semakin besar

pertentangan antara peraturan dengan kesadaran tersebut, semakin sulit

menerapkannya.14 Sehingga kesadaran hukum akan sulit atau bahkan tidak

mungkin terealisasi dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, untuk

melihat apakah hukum tersebut berlaku dan berjalan sesuai dengan

tujuannya, terutama terkait dengan Undang-Undang Perkawinan, maka

sangat perlu untuk memperhatikan aspek masyarakat, terutama terkait

dengan kesadaran hukum masyarakat.

1. Pengetahuan Masyarakat Tentang Peraturan Perudang-undangan

Dari hasil wawancara pribadi penulis dengan masyarakat tentang

pengetahuan masyarakat terhadap peraturan hukum dapat dilihat dibawah

ini, yaitu jawaban masyarakat atas pertanyaan “Apakah bapak/ibu

mengetahui atau pernah mendengar Undang-undang No.1 Tahun 1974

13
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 167.

14
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, h. 147.
70

tentang perkawinan dan bagaimana proses melakukan perceraian di

Pengadilan?” sebagai berikut:

Sugiyanto: iya saya pernah dengar saja tentang peraturan

perundang-undangan tersebut. Untuk prosesnya yang saya ketahui sangat

rumit itu saja. Fatonah: pernah mendengar, namun secara rinci tentang

undang-undang tersebut saya kurang mengetahuinya. Untuk proses

perceraiannya, yang saya tahu yaitu mengajukan perkara tersebut ke

pengadilan kemudian mengikuti proses persidangan dan ada juga

mediasi.15

Janatun: saya tidak pernah mendengar peraturan perundang-

undangan tersebut dan saya belum tahu tentang bagaimana proses

perceraian di pengadilan. Paula Agustina: tidak, saya tidak pernah tahu

tentang undang-undang tersebut dan saya juga belum tahu bagaimana

prosesnya karena saya belum pernah ke sana. Nuryani: saya tidak pernah

tahu tentang peraturan tersebut, sedangkan bagaimana proses perceraian

di pengadilan, itu saya tahu karena saya sudah pernah mengalaminya atau

bercerai di pengadilan dengan suami saya yang pertama.16

15
Wawancara Pribadi dengan warga Desa Serdang Jaya Sugiyanto dan Fatonah, di
kediamannya, 3 dan 11 Juni 2015.

16
Wawancara Pribadi dengan warga Desa Serdang Jaya Janatun dan Nuryani, di
kediamannya, 11 Juni dan 27 Juli 2015.
71

Jemikan: tidak, saya tidak pernah mendengarnya, dan untuk proses

perceraian di pengadilan juga saya tidak mengetahuinya karena saya

belum pernah mengalaminya. Yulis Indrawani: untuk peraturan undang-

undang itu saya tidak pernah mendengarnya, sedangkan untuk proses

perceraianya di pengadilan saya belum tahu jelas prosesnya, akan tetapi

yang saya tahu ada mediasinya.17

Berdasarkan jawaban hasil wawancara dengan para narasumber di

atas mengenai pengetahuan masyarakat tentang isi peraturan undang-

undang perkawinan No.1 Tahun 1974, dapat kita simpulkan bahwa

sebagian warga ada yang sama sekali tidak mengetahui bahkan

mendengar tentang undang-undang tersebut begitupula isinya berjumlah 5

orang, sedangkan adapula warga yang hanya sekedar tahu saja, akan

tetapi tidak mengetahui apa isi dari undang-undang tersebut berjumlah 2

orang.

Adapun tata cara bagaimana proses melakukan perceraian di depan

sidang pengadilan telah diatur dalam Pasal 66 dan 68 UUPA jo. Pasal 131

KHI, Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang

sudah diamandemenkan dengan Undang-undang No.3 Tahun 2006,

kemudian diamandemen kembali dengan Undang-undang No. 50 Tahun

17
Wawancara Pribadi dengan warga Desa Serdang Jaya Jemikan dan Yulis Indrawani, di
kediamannya, 30 Juli 2015.
72

2009 tentang perubahan atas Undang-undang No 7 Tahun 1989.

Sedangkan asumsi warga masyarakat kebanyakan mengatakan bahwa

melakukan perceraian di Pengadilan Agama itu membutuhkan biaya yang

banyak dan prosedurnya sangatlah rumit, selain itu juga membutuhkan

waktu lama dan hal inilah yang menyebabkan masyarakat enggan

menyelesaikan perkaranya di pengadilan.

2. Alasan Penyebab Terjadinya Perceraian Di Luar Pengadilan

Berdasarkan hasil penelitian penulis, adapun yang menjadi alasan

penyebab masyarakat melakukan perceraian di luar pengadilan adalah

sebagai berikut:

a. Faktor Ekonomi

Salah satu pemicu perceraian di luar pengadilan di dominasi oleh

faktor ekonomi atau biaya, karena untuk menyelesaikan perkara di

Pengadilan Agama juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Adapun

besar kecilnya biaya yang dibutuhkan tergantung pada jauh dekatnya

jarak tempat tinggal. Kemudian mengenai biaya perkara di pengadilan

telah diatur dalam Pasal 89 sampai dengan Pasal 91 Undang-Undang

Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 dan lebih rincinya dijelaskan dalam

Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II

Edisi Revisi 2013. Sedangkan mayoritas masyarakat di Kecamatan Betara


73

khususnya Desa Serdang Jaya mempunyai perekonomian pas-pasan, yaitu

cukup untuk menghidupi keluarga dan kebutuhan sehari-hari, karena

mayoritas mata pencaharian penduduk desa ini adalah pertanian dan

perkebunan.

Menurut Ketua RT.02 juga mempunyai pendapat yang sama

dengan Sudarsono “karena menurut informasi yang didapat dari warganya

yang sudah pernah bercerai di pengadilan, biaya yang dibutuhkan berkisar

700-750 ribu baka juga ada yang sampai 4 juta”.18 Hal inilah yang

dialami oleh Nuryani, dia melakukan cerai di luar Pengadilan Agama

karena tidak ada biaya, Nuryani mengatakan bahwa “karena saya tidak

ada biaya, jadi saya belum bisa mengurus perceraian ini ke pengadilan”.19

b. Kurangnya Kesadaran Hukum

Kesadaran hukum masyarakat merupakan suatu hal penting adanya

guna untuk keberhasilan terlaksananya sebuah peraturan hukum di

Indonesia yang dibuat oleh pemerintah untuk masyarakat, akan tetapi

apabila tidak melaksanakan perceraiannya di pengadilan sesuai dengan

aturan yang ada, maka dapat dikatakan bahwa dalam masyarakat tersebut

kurang sadar terhadap peraturan hukum yang ada. Hal ini diungkapkan

18
Wawancara Pribadi dengan Ketua RT.12, 02 dan Lukman, 27-28 Juli 2015.

19
Wawancara Pribadi dengan warga Desa Serdang Jaya Nuryani.
74

oleh Darmayulis selaku Kepala Desa Serdang Jaya, yang mengatakan

bahwa “kurangnya pemahaman masyarakat terhadap peraturan yang ada”

sehingga menyebabkan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap hukum

yang berlaku.20

c. Jauhnya Jarak Tempuh

Jauhnya jarak tempuh ke pengadilan juga menjadi salah satu

hambatan bagi masyarakat Kabupaten Tanjab Barat, karena letak

pengadilan yang tidak strategis yaitu di daerah Tungkal Ilir yang

berbatasan dengan Riau dan juga karena luasnya daerah Tanjab Barat,

sehingga menyulitkan bagi masyarakat untuk dapat sampai ke pengadilan.

Akan tetapi jarak tempuh pengadilan dengan desa Serdang Jaya tidak

begitu jauh yaitu kurang lebih 40 menit.

Hal ini diungkapkan oleh H. Dongan, salah satu Hakim Pengadilan

Agama Kuala Tungkal, yaitu “jauhnya jarak tempuh Pengadilan Agama

dari beberapa daerah, seperti daerah Muarapapale yang mempunyai jarak

ampuh kurang lebuh 4-5 jam perjalanan untuk sampai ke Pengadilan

20
Wawancara Pribadi dengan Kepala Desa Serdang Jaya Darmayulis, di Kantor Desa, 1 Juli
2015.
75

Agama”. Dengan jauhnya jarak inilah membuat masyarakat enggan untuk

pergi menyelesaikan perkaranya di Pengadilan Agama.21

d. Pola Pikir Masyarakat Terhadap Pengadilan Agama

Dengan pengetahuan dan pemahaman masyarakat yang kurang

terhadap lembaga Pengadilan Agama dan hanya mendengarnya dari cerita

orang dan dari mulut kemulut, sehingga mempengaruhi masyarakat yang

menimbulkan anggapan bahwa Pengadilan Agama merupakan sebuah

lembaga yang menakutkan dan mempersulit perkara perceraian. Sehingga

ini sangat mempengaruhi pola pikir masyarakat terhadap Pengadilan

Agama.

Hal ini disampaikan oleh Ghozi, salah satu Panitera Muda Hukum

Pengadilan Agama Kuala Tungkal, yaitu “sebagian masyarakat ingin

memudahkan perceraian, karena pola pikir masyarakat terhadap

pengadilan sebagai suatu lembaga yang menakutkan dan mempersulit bagi

mereka. Sebenarnya pengadilan itu tidak mempersulit, namun memang

harus ada proses persidangan yang dilakukan dalam menyelesaikan

perkara di pengadilan. Dengan adanya proses hukum yang berjalan itulah

menyebabkan masyarakat semakin fobia atau merasa takut terlebih dahulu

21
Wawancara Pribadi dengan Wakil Ketua Pengadilan Agama Kuala Tungkal H. Dongan, di
Pengadilan Agama Kuala Tungkal, 16 Juni 2015.
76

sebelum mengurus ke pengadilan”.22 Inilah salah satu faktor yang sangat

berpengaruh pada pola pikir masyarakat, sehingga masyarakat merasa

takut untuk menyelesaikan perkara perceraiannya di pengadilan.

e. Waktu Persidangan dan Rasa Malas

Selain dari pada faktor-faktor diatas, ada juga faktor penting

lainnya yang mempengaruhi masyarakat melakukan perceraian di luar

pengadilan yaitu masalah proses persidangan di pengadilan yang begitu

lama, sedangkan kemauan dari masyarakat sendiri adalah supaya masalah

perceraiannya cepat terselesaikan. Pendapat ini diungkapkan oleh

Sugiyanto, yaitu “adapun proses melakukan perceraian di pengadilan,

yang saya ketahui prosesnya sangat rumit dan lama”.23

Prosedur yang rumit dan proses perceraian yang membutuhkan

waktu lama menjadi inilah salah satu hambatan bagi warga, sehingga

menimbulkan rasa malas untuk menyelsaikan masalah perceraianya di

pengadilan dan membiarkan permasalahannya berlarut bertahun-tahun

lamanya tanpa ada kejelasan status.

22
Wawancara Pribadi dengan Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Kuala Tungkal
Ghozi, di Pengadilan Agama Kuala Tungkal, 8 Juni 2015.

23
Wawancara Pribadi dengan warga Desa Serdang Jaya Sugiyanto.
77

3. Kesadaran Hukum Masyarakat Tentang Perceraian di Pengadilan

Sebagaimana diuraikan sebelumnya tentang pengertian kesadaran

hukum yang berarti keinsyafan yang menjadi dasar dari suatu tekad terdapat

dalam diri manusia tentang hukum yang berlaku dan ada. Dari keterangan

terbut di atas, menunjukan bahwa pemahaman dan pengetahuan masyarakat

tentang hukum yang berlaku sebagai pengatur dalam setiap tindakan sangat

berpengaruh terhadap kesadaran hukum. Ketika jarak antara hukum dan

kondisi masyarakat sangat jauh, bukan tidak mungkin yang terjadi adalah

ketimpangan. Hukum yang seharusnya mengatur dan menjadi kontrol social

masyarakat, justru sebaliknya malah menjadi bumerang bagi masyarakat itu

sendiri.

Berdasarkan pengetahuan masyarakat tentang tempat yang benar

untuk melakukan proses perkara perceraian yaitu di depan sidang pengadilan

adalah baik, hal ini terlihat dari jawaban-jawaban masyarakat atas

pertanyaan: Menurut bapak/ibu, di manakah melakukan proses perceraian

yang benar? Alasannya!

Jawaban masyarakat atas pertanyaan di atas adalah, Sugiyanto: “Di

Pengadilan Agama, karena memang biasanya untuk mengurus masalah

perceraian di sana”. Fatonah: “Di Pengadilan Agama, karena memang

tempat berceraia diurus disana”. Janatun: “Di Pengadilan Agama, karena


78

Pengadilan merupakan suatu lembaga yang ditugaskan Negara untuk

menangani masalah perceraian. Jika perceraian yang dilakukan di rumah

saja, mungkin menurut agama sah, akan tetapi tidak diakui oleh Negara”.

Paula Agustina: “Mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama, karena

sepengetahuan saya memang di sana orang mengurus cerai”. Nuryani: “Di

Pengadilan Agama, karena sepengetahuan saya disitu tempatnya karena

saya sudah pernah mengurus perceraian saya disana dengan suami saya

yang pertama”. Jemikan: “Setahu saya di Pengadilan Agama, memang

tempat menyelesaikan masalah cerai disana”. Yulis Indrawani: “Di

Pengadilan Agama, karena memang tempat orang menyelasaikan masalah

cerai disitu dan mungkin ada solusi yang didapat di pengadilan, siapa tahu

saja kami bisa kembali lagi dengan adanya mediasi, jika tidak ada jalan

keluar jalan terakhir yang ditempuh adalah dengan perceraian”.

Kemudian juga terlihat dari jawaban masyarakat atas pertanyaan:

Apakah bapak/ibu tahu bahwa sebenarnya perceraian hanya dapat dilakukan

di depan sidang pengadilan?. Adapun jawaban-jawaban yang diutarakan atas

pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut: Sugiyanto: “iya, saya sudah

tahu”, Fatonah: “iya, saya tahu bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di

pengadilan”, Janatun: “iya, saya tahu bahwa perceraian hanya dapat

dilakukan di pengadilan”, Paula Agustina: “iya, saya tahu hal itu”, Nuryani:

“iya saya tahu”, Jemikan: “kalau itu saya kurang paham”, Yulis Indrawani:
79

“iya saya tahu itu”. Dari semua jawaban di atas, menunjukkan bahwa

pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai tempat yang benar dalam

menyelesaikan masalah perceraian dan bahwa sebenarnya perceraian hanya

dapat dilakukan di depan sidang pengadilan adalah cukup baik.

Hal ini ditegaskan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan Pasal 39 ayat (1) jo. Pasal 115 KHI yang menyatakan bahwa

“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama

setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan

kedua belah pihak”. Setelah peraturan ini disahkan oleh Negara, maka

masyarakat Indonesia wajib untuk mengikuti peraturan tersebut khususnya

bagi umat beragama Islam dan apabila tidak mengikutinya sama artinya

bahwa mereka telah melanggar aturan atau ketentuan undang-undang yang

telah ada.

Masalah perceraian di luar pengadilan, memang masih banyak terjadi

di Kabupaten Tanjab Barat termasuk desa Serdang Jaya, hal ini disampaikan

oleh wakil ketua Pengadilan Agama Kuala Tungkal tentang pertanyaan:

“Menurut bapak, apakah masih ada masyarakat yang melakukan perceraian di

luar sidang pengadilan?”. Kemudian jawaban atas pertanyaan tersebut adalah

“Prediksi saya, masih banyak masyarakat yang melakukan perceraian di luar

pengadilan. Hal ini dapat dilihat dari data perkecamatan, untuk daerah

Tungkal Ilir merupakan daerah yang terbanyak melakukan perceraian yaitu


80

sebanyak 52 orang, sementara di Tungkal Ulu yang banyak penduduknya

hanya ada 3 orang, kemudian di daerah Batang Asam hanya ada 2 orang saja

yang bercerai. Hal ini tidaklah mungkin jika tidak ada perceraian disana,

mengingat banyaknya jumlah penduduk yang ada dan kemungkinan besar

masyarakat belum mendaftarkan perceraiannya di pengadilan”.24

4. Upaya Pembinaan Hukum Pada Masyarakat

Hukum adalah suatu pola kehidupan dalam masyarakat, oleh karena

masyarakat itu sendiri menghendaki proses pergaulan hidup yang normal,

yang berarti adanya suatu keserasian antara kepentingan-kepentingan hidup

berkelompok dengan kepentingan-kepentingan hidup perorangan atau

pribadi. Dengan adanya masa transisi yang terjadi pada masyarakat Indonesia

pada saat ini adalah suatu pergaulan hidup yang sedang mengalami

perubahan-perubahan dalam sistem nilai-nilainya, termasuk di dalamnya

sikap dan pola prilaku masyarakat. Sehingga pembinaan dalam bidang hukum

harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum

rakyat yang berkembang kearah modernisasi menurut tingkat kemajuan

pembangunan di segala bidang sehingga tercapainya ketertiban dan kepastian

hukum.25

24
Wawancara Pribadi dengan Wakil Ketua Pengadilan Agama Kuala Tungkal H. Dongan, di
Pengadilan Agama Kuala Tungkal.
25
Soejono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, (Bandung: Penerbit
Alumni, 1979), h. 37.
81

Berdasarkan uraian sebelumnya berkaitan dengan kesadaran hukum

masyarakat tentang perceraian di depan pengadilan, dapat disimpulkan bahwa

pengetahuan masyarakat tentang hal tersebut adalah baik, akan tetapi disisi

lain kurangnya pengetahuan masyarakat tentang isi dari pada peraturan

hukum perceraian dan kurangnya kesadaran hukum pada masyarakat untuk

melaksanakan perceraian di pengadilanlah yang kurang baik. Adapun unsur-

unsur yang meliputi dalam pembinaan hukum yaitu:

a. Hukum tidak merupakan aturan-aturan yang bersifat ad doc, akan

tetapi merupakan aturan-aturan umum dan tetap.

b. Hukum harus diketahui dan jelas bagi warga masyarakat yang

kepentingan-kepentinagannya diatur oleh hukum tersebut.

c. Dihindari penerapan peraturan yang bersifat troaktif (berlaku

surut).

d. Hukum tersebut harus dimengerti oleh umum.

e. Tidak ada peraturan yang saling bertentangan, baik mengenai satu

bidang kehidupan tertentu, maupun untuk berbagai bidang

kehidupan.

f. Pembentukan hukum harus memperhatikan kemampuan warga

masyarakat untuk mematuhi hukum tersebut.


82

g. Perlu dihindarkan terlalu banyaknya dan seringnya frekuensi

perubahan-perubahan pada hukum, oleh karena warga masyarakat

dapat kehilangan ukuran dan pedoman bagi kegiatan-kegiatannya.

h. Adanya korelasi antara hukum dengan pelaksanaan atau penerapan

hukum tersebut.

i. Hukum mempunyai landasan yuridis, filosofis maupun sosiologis.

j. Perlu diusahakan agar hukum tersebut diberi bentuk tertulis.26

Dari hasil wawancara pribadi dengan masyarakat desa Serdang Jaya,

menunjukan bahwa ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya pembinaan

hukum belum berjalan dengan baik di desa ini, sehingga kesadaran

masyarakat terhadap hukum itu sendiri sangatlah kurang. Seperti pada poin b

diatas yang menyebutkan bahwa “Hukum harus diketahui dan jelas bagi

warga masyarakat yang kepentingan-kepentinagannya diatur oleh hukum

tersebut”. Sedangkan dari hasil wawancara dengan masyarakat dapat di ambil

kesimpulan bahwa masyarakat hanya sekedar mengetahui saja tentang tata

cara bercerai di Pengadilan Agama, tanpa memahami apa maksud tujuan,

manfaat dan akibat yang akan terjadi padanya dengan adanya aturan tersebut.

Dan mengakibatkan masyarakat menjadi acuh tak acuh terhadap peraturan

yang ada dan memilih bercerai di luar pengadilan. Hal ini berdasarkan

pernyataan dari Kepala Desa Serdang Jaya, yaitu “kurang pahamnya

26
Soejono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, h. 27.
83

masyarakat terhadap peraturan yang ada, sehingga masyarakat bercerai di luar

pengadilan”.27

Adapun pada poin d yang menyebutkan bahwa “hukum tersebut harus

dimengerti oleh umum”. Adanya pernyataan poin d diatas berarti menuntut

agar masyarakat patuh dan taat terhadap hukum yang berlaku, maka hal yang

harus dilakukan oleh lembaga instansi pemerintahan adalah memberikan

pembinaan dan penyuluhan yang baik agar masyarakat paham dan mengerti

tentang hukum tersebut. Akan tetapi upaya-upaya pemerintah untuk

membinan masyarakat terhadap hukum itu sendiri sangatlah kurang,

walaupun pernah dilakukan upaya tersebut namun tidak maksimal dan hanya

sesekali saja.

Hal ini disampaikan oleh Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama

Kuala Tungkal, yaitu “Pada tahun 2008 memang pernah ada dilakukan upaya

penyuluhan hukum, namun untuk saat ini sudah tidak ada lagi. Adapun hal

tersebut berkaitan dengan aspek kegiatan, sedangkan Pengadilan Agama ini

tidak ada kegiatan eksekutif seperti itu, karena Pengadilan Agama mempunyai

tugas dan wewenang menerima, memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan

perkara tertentu bagi orang yang beragama Islam. Adapun upaya yang

dilakukan saat ini adalah upaya secara pribadi saja yaitu dengan bersosialisasi

27
Wawancara Pribadi dengan Kepala Desa Serdang Jaya Darmayulis, di Kator Desa.
84

dan berbincang-bincang pada masyarakat”,28 sedangkan hasil wawancara

dengan Ketua Rt.12, yaitu “sepengetahuan saya belum ada sosialisasi

pemerintah pada masyarakat di sini mengenai permasalahan perceraian”,29

sehingga upaya yang bisa dilakukan hanya memberikan himbauan dan

memingatkan saja pada masyarakat.

Kemudian pada poin f disebutkan “Pembentukan hukum harus

memperhatikan kemampuan warga masyarakat untuk mematuhi hukum

tersebut”, yang berarti bahwa segala hal yang berkaitan dengan hukum harus

sesuai dengan kadar kemampuan masyarakat, misalnya dalam hal biaya

perkara percerain yang mahal, sehingga menjadi hambatan dan menyebabkan

masyarakat enggan untuk menyelesaikan perkaranya di pengadilan, karena

tidak mempunyai cukup biaya.

Hal ini berkaitan dengan fungsi hukum yang berkaitan dengan faktor

ekonomi dan sosial. Walaupun bagi masyarakat kurang mampu dapat

mengajukan prodeo, akan tetapi dengan pemahaman dan pengetahuan

masyarakat yang kurang sehingga masyarakat tidak banyak tahu hal tersebut.

Permaslahan biaya inilah yang banyak dan sering menjadi kendala bagi

28
Wawancara Pribadi dengan Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Kuala Tungkal
Ghozi, di Pengadilan Agama Kuala Tungkal.

29
Wawancara Pribadi dengan Ketua RT.12 Sudarsono, di Desa Serdang Jaya.
85

masyarakat, karena memang perekonomian masyarakat di desa ini pas-pasan

dengan rata-rata bekerja sebagai petani kopi, pinang dan lainnya.

Pembahasan selanjutnya mengenai persepsi masyarakat, adapun

persepsi itu sendiri berarti kemampuan untuk membedakan,

mengelompokkan, memfokuskan terhadap satu objek rangsang. Dalam proses

pengelompokan dan membedakan ini persepsi melibatkan proses interpretasi

berdasarkan pengalaman terhadap suatu peristiwa atau objek.30 Persepsi

merupakan fungsi yang penting dalam kehidupan. Dengan persepsi, makhluk

hidup dapat mengetahui sesuatu yang akan mengganggunya sehingga ia dapat

menjauhinya, juga dapat sesuatu yang bermanfaat sehingga ia pun dapat

mengupayakannya.

Dengan demikian yang dimaksud dengan persepsi dalam penelitian ini

adalah pemahaman masyarakat Desa Serdang Jaya mengenai perceraian, dan

ini dapat dilihat dari tanggapan masyarakat atas pertanyaan: Pada ketentuan

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan khususnya pada Pasal

39 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Perceraian hanya dapat dilakukan di

depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan

tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”, menurut pendapat bapak/ibu,

30
Abdul Rahman Shaleh, Psikologi: Suatu Pengantar Dalam Perspektif Islam, (Jakarta:
Kencana, 2004), Cet. Ke-3, h. 110.
86

apakah perlu adanya peraturan yang mengatur mengenai perceraian?

Alasannya!

Adapun jawaban atas pertanyaan di atas adalah, Sugiyanto: Menurut

saya itu perlu, karena untuk memperjelas tentang kewajiban dan hak-hak

yang harus dipenuhi terutama untuk masalah anak. Fatonah “Perlu, agar

dapat menertibkan masalah perkawinan dan supaya tidak sembarangan

bercerai. Janatun “Kalau menurut saya, mungkin dari peraturan tersebut ada

beberapa pasal yang diperlukan dan ada juga yang tidak diperlukan, namun

saya tidak tahu juga seperti apa. Mungkin untuk pembelajaran dan nasihat

yang baik. Paula Agustina “Perlulah, karena untuk mengatur dan

menertibkan masyarakat. Nuryani “Iya memang peraturan seperti itu

diperlukan, supaya ada kejelasan status kami sebagai istri yang sudah pisah

dengan suami dan tidak digantung, dan juga jika ingin menikah lagi mudah

jika sudah ada akta cerai. Tetapi karena saya tidak ada biaya, jadi saya

belum mengurus perceraian ini ke pengadilan. Jemikan “Perlu, karena untuk

ketertiban dan juga supaya ada kejelasan saat hubungan suami istri yang

sudah bercerai. Yulis Indrawani “Ya peraturan itu diperlukan, karena jika

salah satu suami istri ingin menikah lagi, maka harus ada bukti akta

perceraiannya. Dan juga untuk ketertiban, agar tidak asal bercerai dan

meninggalkan perempuan begitu saja. Karena akibat yang timbul jika tidak
87

diselesaikan di pengadilan adalah akan mempersulit ketika akan membuat

akta kelahiran anak.

Perceraian di luar sidang pengadilan merupakan pelanggaran Undang-

undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan? Bagaimana pendapat

bapak/ibu tentang pernyataan tersebut?. Jawaban dari warga adalah sebagai

berikut: Sugiyanto “Iya, saya sependapat dengan hal tersebut. Fatonah

“Tidak, saya kurang sependapat dengan pernyataan tersebut. Janatun “Wah

saya tidak paham juga mengenai hal itu. Paula Agustina” Iya, saya

sependapat sajalah. Nurani “Karena saya tidak tahu, jadi saya setuju sajalah.

Jemikan “Ya saya ikut sajalah dengan peraturan yang dibuat oleh

pemerintah. Yulis Indrawani “Memang benar pernyataan tersebut, karena

manusia hidup itu mempunyai aturan dan begitu juga dengan perkawianan

sudah ada aturan yang mengatur termasuk peraturan undang-undang itu.

Dari jawaban pertanyaan pertama hasil wawancara diatas, dapat

disimpulkan bahwa warga menyadari akan sangat diperlukannya peraturan

perundang-undangan untuk mengatur segala hal tentang kehidupan berumah

tangga seperti perkawinan, perceraian, harta bersama dan hal lainnya. Hal ini

demi terciptanya ketertiban administrasi masyarakat dalam menangani

permaslahan yang terjadi dalam rumah tangga dan juga demi terpenuhinya

hak-hak yang harusnya diberikan dan diterima dari kedua belah pihak suami

istri agar memudahkan urusan dimasa yang akan datang. Walaupun warga

menyadari bahwa peraturan tersebut sangatlah diperlukan, akan tetapi pada


88

kenyataanya hal tersebut tidaklah dilaksanakan, sehingga warga masih

melakukan perceraian di luar pengadilan.

Adapun hasil wawancara atas pertanyaan kedua di atas, dan jawaban

yang di dapat dari pertanyaa tersebut dapat dipahami bahwa pengetahuan dan

pemahaman warga tentang petuturan perundang-undangan khususnya

Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sangatlah

kurang, sehingga warga hanya mengikuti dan sepaham saja dengan

pernyataan bahwa “perceraian di luar sidang pengadilan merupakan

pelanggaran Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan”.

C. Analisis

Dari keseluruhan penjelasan dari hasil penelitian di atas, dapat diambil

kesimpulan bahwa motif yang melatarbelakangi terjadinya perceraian pada

masyarakat desa Serdang Jaya terdapat beberapa alasan, di antaranya adalah

tidak adanya keharmonisan dalam rumah tangga, terjadinya kekerasan jasmani

atau KDRT, tidak adanya tanggung jawab dan adanya gangguan dari pihak

ketiga atau perselingkuhan.

Adapun menurut data dari Pengadilan Agama Kuala Tungkal

mengenai faktor penyebab terjadinya perceraian yang sering dijadikan alasan

oleh masyarakat Kabupaten Tanjab Barat termasuk Desa Serdang Jaya

didominasi oleh faktor ekonomi, tidak ada keharmonisan dan tidak tanggung

jawab. Dari beberapa faktor di atas, terdapat satu faktor tertinggi alasan

perceraian yaitu karena faktor ekonomi yang jumlah perkaranya sebanyak 367
89

pada 2013-2105.31 Karena faktor ekonomi menjadi faktor utama yang sangat

dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari dalam berumah tangga, dan apabila

tidak terpenuhi, maka terjadilah percekcokan yang dapat memicu terjadinya

perceraian.

Berdasarkan pada analisis penulis terhadap kesadaran hukum dan

persepsi masyarakat mengenai perceraian yang terjadi di desa Serdang Jaya

adalah masih minimnya pemahaman hukum yang menyebabkan kurangnya

kesadaran hukum pada masyarakat. Sebagaimana yang penulis temukan di

desa Serdang jaya masih banyaknya persepsi masyarakat yang beragam

mengenai pemahaman perceraian, tidak hanya itu juga mereka sedikit banyak

masih beranggapan bahwa suatu perceraian dikatakan sah hanya dilihat dari

perspektif agama saja, dan menganggap bahwa payung hukum (Undang-

undang) belum mempunyai peranan pemahaman hukum dalam pola pikir

masyarakat.

Hal tersebut tidak dapat dipungkiri, bahwa masyarakat masih

berpegang teguh terhadap aturan hukum Islam dan berpandangan bahwa

hukum Islam adalah sistem yang mereka gunakan dalam mengatur dan

menyelesaikan masalah perkawinan khususnya perceraian pada masyarakat.

Hal ini wajar karena dalam Islam memang terdapat aturan yang mengatur

tentang perceraian yang dapat diikuti oleh umat Islam. Akan tetapi jika saat

31
Data perkara perceraian tahun 2013-2015, Pengadilan Agama Kuala Tungkal.
90

ini materi itu telah dipositifkan menjadi peraturan Perundang-undangan oleh

negara, sepertinya hal tersebut di luar pengetahuan mereka.

Dari hasil wawancara penulis dengan masyarakat tentang hukum

perkawinan khususnya masalah perceraian yang berlaku di Indonesia yaitu

dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, adalah baik.

Hal ini dapat diamati dari pengetahuan masyarakat tentang hukum perceraian

di depan sidang pengadilan yang baik, akan tetapi kesadaran masyarakat

terhadap hukum untuk melaksanakan dan mentaati undang-undang tersebutlah

yang sangat kurang, sehingga mereka masih melakukan perceraian di luar

pengadilan. Padahal sudah tertera dengan jelas dalam Undang-unadang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan khususnya pada Pasal 39 ayat (1) mengenai

perceraian di hadapan sidang pengadilan.

Dari sisi yang lainnya menyangkut isi perundang-undangan, seperti

pengetahuan masyarakat tentang hak dan kewajiban suami istri yang harus

dipenuhi setelah bercerai, bahwa mereka paham dan sadar atas hak dan

kewajiban yang harus dipenuhi setelah bercerai, seperti memberikan nafkah

untuk biaya pemeliharaan dan pendidikan. Adapun kesulitan yang dirasakan

mereka setelah bercerai dan belum menyelesaikannya di Pengadilan Agama

adalah tidak ada kejelasan status (tergantung) dan tidak ada pemberian nafkah

untuk pemeliharaan anak, sehingga istri harus mencari nafkah untuk

memenuhi kebutuhannya dan anaknya.


91

Mengenai persepsi masyarakat tentang perlu atau tidaknya aturan yang

mengatur tentang perkawinan khususnya perceraian pada masyarakat, hampir

semua narasumber menjawab bahwa peraturan tersebut diperlukan. Jadi

secara perseptif, masyarakat mengakui nilai manfaat dan maksud tujuan dari

diadakannya undang-undang tersebut. Artinya, dengan adanya UU No. 1

Tahun 1974 Tentang perkawinan khusunya perceraian adalah merupakan

suatu gagasan yang positif bagi masyarakat guna untuk mencapai ketertiban

secara administrasi dan keteraturan masyarakat.

Pada realita yang terjadi di desa Serdang Jaya ditemukan kurangnya

sosialisasi penyuluhan hukum tentang perceraian, sehingga membuat

masyarakat menjadi tidak terarah dikarenakan kurang pahamnya masyarakat

terhadap prosedur perceraian yang ada, sehingga mengakibatkan masyarakat

semena-mena dalam bercerai. Hal ini disebabkan karena rendahnya

pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang diadakannya peraturan

perundang-undangan baik dari segi maksud, manfaat dan tujuan terutama

undang-undang perkawinan.

Oleh karena itu proses adanya pembinaan hukum dan sosialisasi

penyuluhan hukum sangatlah diperlukan bagi masyarakat untuk

meminimalisir terjadinya perceraian diluar pengadilan dan diharapkan dapat

memperbaiki kesadaran hukum serta persepsi masyarakat terhadap perceraian

yang harusnya dilakukan di depan sidang pengadilan, khususnya masyarakat


92

desa Serdang Jaya. Karena suatu peraturan hukum harus diketahui dengan

jelas bagi warga masyarakat yang kepentingannya diatur oleh hukum dan

hukum juga harus dapat dimengerti oleh umum serta pembentukan sebuah

hukum harus memperhatikan kemampuan warga masyarakat untuk mematuhi

hukum tersebut. Poin tersebut sangat berkaitan erat satu dengan yang lainnya

dan apabila poin tersebut berjalan dengan baik maka pada akhirnya akan

mengarahkan masyarakat agar sadar dan mau mentari peraturan perundang-

undangan yang ada.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dari permasalahan yang penulis teliti,

pada akhirnya penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Dari kasus perceraian di Desa Serdang Jaya yang diteliti, ditemukan

bahwa motif yang melatarbelakangi terjadinya perceraian adalah

karena faktor tidak adanya keharmonisan dalam rumah tangga yang

terdiri dari 4 orang, faktor terjadinya kekerasan jasmani atau KDRT

yang dilakukan oleh suami terdapat 2 orang, tidak adanya tanggung

jawab suami terhadap istri terdiri dari 2 orang dan adanya gangguan

pihak ketiga (perselingkuhan) terjadi hanya 1 orang.

2. Adapun mengenai kesadaran hukum dan persepsi masyarakat di Desa

Serdang Jaya tentang perceraian dalam perspektif hukum positif dari

perolehan data secara umum, masyarakat mengetahui dengan baik

bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan,

akan tetapi kesadaran hukum untuk melaksanakan aturan tersebutlah

yang kurang baik, sehingga masyarakat masih melakukan perceraian

di luar pengadilan. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan

dan pemahaman masyarakat terhadap maksud, manfaat dan tujuan di

bentuknya peraturan perundang-undangan tersebut. Sedangkan

persepsi atau pemahaman masyarakat sendiri mengenai perlu adanya

93
94

peraturan yang mengatur tentang perceraian dan pentingnya UU No.

Tahun 1974 tentang perkawinan adalah baik, pendapat mereka

menyatakan peraturan tersebut sangatlah penting adanya. Akan tetapi

persepsi tersebut menjadi sia-sia adanya, jika masyarakat tidak mau

melaksanakan dan mentaati aturan tersebut. Dapat disimpulkam

bahwa ini menunjukkan akan kelemahan sosialisasi dan edukasi pada

masyarakat tentang peraturan-peraturan hukum yang ada khususnya

mengenai perceraian dihadapan sidang pengadilan, sehingga ini

menyebabkan kurang baiknya kesadaran hukum pada masyarakat.

B. Saran

Bagi lembaga pemerintahan yang mempunyai wewenang dalam

menangani masalah perkawinan khususnya perceraian seperti Pengadilan

Agama, Kementerian Agama, KUA, BP4 dan lainnya yang dapat saling

bekerja sama antara satu lembaga dengan lembaga lainnya untuk dapat

menyelenggarakan dan mensosialisasikan undang-undang perkawinan.

Untuk mengadakan program-program yang lebih efektif dan efisien untuk

masyarakat yang berkaitan dengan perceraian, seperti mengadakan

penyuluhan hukum. Karena dengan adanya penyuluhan hukum tersebut

dapat membantu masyarakat untuk memahami maksud, manfaat dan

tujuan dibentuknya peraturan perundang-undangan tersebut, sehingga

dapat meminimalisir terjadinya perceraian di luar sidang pengadilan pada

masyarakat.
95

Dan bagi Pengadilan Agama Kuala Tungkal, agar dapat

mengadakan program sidang keliling dan bekerjasama dengan KUA,

PEMDA dan PPN, ini berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2015 tentang

Pelayanan Terpadu Sidang Keliling Pengadilan Negeri dan Pengadilan

Agama/Mahkamah Syar’iyah Dalam Rangka Penerbitan Akta Perkawinan,

Buku Nikah, dan Akta Kelahiran. Karena program sidang keliling ini

sangat diperlukan dan juga sangat membantu memudahkan bagi

masyarakat yang bertempat tinggal jauh guna menyelesaikan perkara

perceraiannya yang belum didaftarkan di pengadilan.

Adapun secara administratif, diperlukannya suatu rumusan tentang

implementasi perundang-undangan yang lebih efisien dan tidak

menyulitkan masyarakat untuk mentaatinya. Hal ini berkaitan dengan

biaya administrasi perkara di pengadilan yang memberatkan sebagian

masyarakat bila dibandingkan dengan keadaan ekonomi masyarakat yang

berpenghasilan pas-pasan. Maka perlu dipikirkan lagi oleh pemerintah

bagaimana solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan biaya yang

selama ini menjadi beban dan kendala di masyarakat.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah menyangkut materi dalam

perundang-undangan, karena materi perundang-undangan yang berlaku

harus bisa menyesuaikan dengan perkembangan dan dinamika masyarakat.

Bahkan untuk menegakkan suatu hukum (Law Enfeorcement) perlu

adanya sanksi bagi yang melanggar undang-undang tersebut, sehingga

akan terwujud kepatuhan hukum pada masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, Alyasa. Ihwal Perceraian Di Indonesia: Perkembangan Pemikiran


dari Undang-Undang Perkawinan sampai Kompilasi Hukum Islam,
Jakarta: Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam, 1999.

Aji, Ahmad Mukri. Maslahat Mursalah: Dalam Dialektika Pemikiran Hukum


Islam, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2011.

Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafik, 2006.

Arikunto, Suharismi. Prosedur Penelitian-Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek,


Jakarta: PT Rhineka Cipta, 1996.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,


Jakarta: Balai Pustaka, 1988, Cet. Ke-1.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai


Pustaka, 2002, Cet. Ke-2.

Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam Indonesia, “Talak” Ensiklopedia Islam,


Jakarta: PT. Ichar Baru an Hoeve, 1994, Cet. Ke-3.

Ghazali, Rahman Abdul. Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana, Cet 4, Oktober


2010.

Hakim, Rahmat. Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Ibrahim, Johny. Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif. Edisi Revisi,
Cet-4, Malang : Bayu Media Publishing, 2008.

Iraqi, Butsainah as-Sayyid al, Menyingkap Tabir Perceraian, Jakarta: Pustaka al-
Sofwa, 2005.

96
97

Kamal, Abu Malik bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, penerjemah,
Khairul Amru Harahap dan Faisal Saleh, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.

Kharlie, Ahmad Tholabi dan Asep Syarifuddin Hidayat. Hukum Keluarga Di


Dunia Islam Kontemporer, Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2011.

Kharlie, Ahmad Tholabi. Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum


Perkawinan, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009.

Kharlie, Ahmad Tholabi. Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta: Sinar Grafik, 2013.

Khuzari, Ahmad. Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1995.

Mahalli, Ahmad Mudjab dan Ahmad Rodli Hasbullah. Hadis-Hadis


Muttafaq’alaih Bagian Munakahat dan Mu’amalat, Jakarta: Kencana,
2004.

Marbun, Kamus Hukum Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Cet. 1, 2006.

Mardani. Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, Yogyakarta: Graha


Ilmu, 2011.

Mukhtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan


Bintang, 1987.

Munawir, Ahmad Warsono. Al Munawir Kamus Besar Arab-Indonesia, Surabaya:


Pustaka Progressif, 1997, Cet. Ke-14.

Nataji, Muhammad Utsman. Psikolog Dalam Al-Qur’an, Bandung: CV Pustaka


Setia, 2005.

Rofiq, Ahmad. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
98

Salim, Arskal dkk. DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN: Dokumentasi


Program Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia. Ciputat:
PUSKUMHAM UIN Jakarta dan The Asia Foundation, 2009.

Salim, Peter dan Yenny Salam. Kamus Besar Indonesia Kontemporer, Jakarta:
Modern English Press.

Sangaribun dan Effendi, Sofian. Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1989.

Selamet, Kasmuri. Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga Panduan


Perkawinan, Jakarta: Kalam Mulia, 1998.

Shaleh, Abdul Rahman. Psikologi: Suatu Pengantar Dalam Perspektif Islam,


Jakarta: Kencana, 2004.

Sijistani, Abu Daud Sulaiman al-Asy’ats al. Sunah Abu Daud, Bab Karahiyah
al=Thalaq, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, t.h.

Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafik, 2008.

Soekanto, Soejono. Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum,


Bandung: Penerbit Alumni, 1979.

Soekanto, Soerjono. Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, Jakarta:


Rajawali, 1982.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press,1986.

Soekanto, Soerjono. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

Sopyan, Yayan. ISLAM NEGARA: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam


Hukum Nasional. Jakarta, RMBooks, Cet 2, 2012.
99

Sopyan, Yayan. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: Buku Ajar, 2010.

Subhan, Zaitunah. Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, Jakarta: El-


Kahfi, 2008.

Subki, Ali Yusuf As. Fiqih Keluarga, Jakarta: AMZAH, 2010.

Sukanto, Soerjono. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta:


Grafindo, 2001.

Sumarsono, Sonny. Metode Riset Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Graha


Ilmu, 2004.

Syaifuddin, Muhammad, Sri Turatmiyah dan Annalisa Yahanan, Hukum


Perceraian, Jakarta: Sinar Grafik, 2014 Ed. 1, Cet. 2.

Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Beras Fiqh, Bogor: Kencana, 2003.

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fikih


Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media,
2006.

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana,


2007.

Tim Baitul Kilmah, Ensiklopedia Pengetahuan Al-Qur’an dan Hadis.

Usman, Husain dan Purnomo Setiady Akbar. Metodelogi Penelitian Sosial,


Jakarta: PT Bumi Aksara, 2000.

Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika,


2008.
100

Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum Dalam Masyarakat, Yogyakarta: Graha


Ilmu, 2013.

Yanggo, Huzaemah Tahido. Fikih Perempuan Kontemporer, Jakarta: Ghalia


Indonesia, 2010.

Zuhaili, Wahbah, Fiqih dan Perundangan Islam, Terjemah Ahmad Syeid Husain,
Dewan Pustaka Dan Bahasa, jilid VII, Selanggor, 2001.

Zuhaili, Wahbah Al. Al-Fiqih Al-Islam Wa’adillatuh, Damaskus: Darul Fikr,


1989, jilid 7.

Zain, Muhammad dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis,


Jakarta: Graha Cipta, 2005.

Zuhriah, Erfaniah. Peradilan Agama Di Indonesia dalam Rentang Sejarah dan


Pasang Surut, Malang: UIN Malang Press, 2008.

Perundang-Undangan

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang sudah

diamandemen menjadi Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, kemudian

Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009.

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Tata Cara Perceraian.

Hasil Penelitian
101

Wawancara pribadi dengan Bapak Wakil Ketua Pengadilan Agama Kuala


Tungkal Drs. H. Mhd. Dongan., di Pengadilan Agama Kuala Tungkal, 16
Juni 2015.

Wawancara pribadi dengan Bapak Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama


Kuala Tungkal Ghazi S.Ag., MA., di Pengadilan Agama Kuala Tungkal, 8
Juni 2015.
Wawancara pribadi dengan Kepala Desa Serdang Jaya Ibu Darmayulis, SH., di
kediaman ibu kepala desa, 1 Juli 2015.

Wawancara pribadi dengan Ketua RT.02 dan RT.12 Desa Serdang Jaya Bapak
Ahmad Shoib dan Bapak Sudarsono, di kediamannya, 27-28 Juli 2015.

Wawancara pribadi dengan Tokoh Agama Desa Serdang Jaya Ustad Lukman dan
Ustad Lani di kediamannya, 28 Juli 2015.

Wawancara pribadi dengan beberapa Masyarakat Desa Serdang Jaya di kediaman


masing-masing, 3 Juni-30 Juli 2015.

Dokumentasi Data Perkara Perceraian pada tahun 2013-2015.


-
KEMENTERIAN AGAMA
UNTVERSITAS rSLAM NEGERT (UIN)
SYARTF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
Telp. (62-21) 747 '11537,7401925 Fax. G2-24)7491821
Jln. lr. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta 1il,t2,lndonesia Wobsite : www.uinJkt.ac.id E-mail : syar_hukuin@yahoo.com

Nomor Un,0 1 /F4IPP .00.9 I sze 12fr1 5


:
Jiila*a, 02 Maret 2015
Lampiran
Perihal : Mohon Kesediaan [liileniadi
Pembimbinq SkripFi

Kepada Yang Terhormat,


Dr. Umar Al-Hadad, IVIA
(Dosen Fakultas Syariah dan HukuRi UIN Syarif Hidaryatullah, Jakarta)
Di-
JAKARTA

Assalamu' alaikum Wr. Wb.

Pimpinan Fakultas syariah dan Hukum ulN syarif Hidayatullah Jakarta


mengharapkan kesediaan saudara untuk menjadi pembimbing skripsi mahasiswa :

Nama : Epiyulianti
NIM :1111044100026
Prodi/Konsentrasi : Peradilan Agama
JudulSkripsi : Penilaian Perilaku Perceratan Masyarakat di Kecamatan
Betara Kabupaten Tanjab Barat, Jambi

Beberapa hal yang dapat dipertimbangkan adalah sebagai berikut :

1. Topik bahasan dan outline bila dianggap perlu dapat dilakukan perubahan dan
penyempurnaan.
2. T_ehnik p_enulisan agar merujuk kepada buku "pedoman Karya llmiah di UIN syarif
Hidayatullah Jakarta"

Demikian atas kesediaan saudara kami ucapkan terirna kasih

Wassalamu'alaikum W, W.

An. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

rodi

241998031003

Tembusa n :

1 Kasubag Akademik &kernahasiriwaan Fakultas Syariah dan Hukum


2 Sekretaris Program StudiAhwal al Syakhshiyah
3. Arsip
-
KEMENTERIAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UTN)
r TIL. SYARIF HIDAYATULLAH JAKAiTTa.
TIT T FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
Jh. lr. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta 15412 lndonesia Telp. (62-21) 747 11537,1401925 Fax. (62_21) 74g1BZ1
Website : wranry. uinjkt.ac. id E-ma ii : ;y;
ah u kuinOiiiroo. *.

Nomor : UN.01/F4 /KM.01 .OZhOtZtzOts


Jakarta, 04 Mei 2015
Lampiran :

Hal Permohonan DataA/r/awanca ra

Kepada
Yth. Ketua
Pengadilan Agama Kuala Tungkal
di
Tempat
Assalammu'alaikum, Wr. Wb.
Fakurtas syariah dan Hukum UrN syarif
Hidayatuuah Jakarta menerangkan
orn??nl^
Nama : Ept yULIANT1
Tempat/Tanggal : Serdang Jaya t25 Desemb er 19gZ
NIM :1111044100026
Semester :8
Program Studi .Akhwat Syakhsiyyah (Hukum Keluarga
tslam)
Alamat Serdang Jaya, Kec..Betara Kab. TanJung
Jabung Barat
Kuala Tungkal, Jambi
Telp/Hp 085714679029

t99.l.uh benar yang bersangkutan mahasiswa Fakuttas syariah dan Hukum UtN
syarif Hidayatuilah Jakarta yarig seoang menyusun
skripsi dengan judur:

Kesadaran Hukum Dan Persepsi Masyarakat


Terhadap perceraian (studi Kasus perceraian Di
Desa Serdang Java Kecamatan Betara
iiiipiiiiirirb Barat Jambi)

Untuk melengkapi bahan.penulisan skripli,.dimohon


kiranya Bapaulbu dapat menerima
untuk wawancara serra mempuroruriort, grnu
Iil:-:::rlgkutan penurisan skripsi
Atas kerjasama dan bantuannya. kami ucapkan
terima kasih.

Akademik

M.AG
\
32002

I
I

Tembusan :

E]i-:EI
I 9"9" Fakultas Syariah dan Hukum UtN Syarif Hidayatuilah Jaka(a
2 Ka/Sekprodi Akhwar syakhsiyyah (Hukum Keruarga
lslam) peradiran
/ Agama
Eirffi I

d,
l'
.-
I

KEME,NTERIAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
r IIL, SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
TIII T FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
Telp. (62-21 ) 747 11537 ,7401925 Fax. (62-21) 7491921
Jln. lr. H . Juanda No. 95 Ciputat Jakafta 15412lndonesia Website : www.uinjkt.ac.id E-mail : syalhukuin@yahoo.cor

Nomor : UN.01/F4lKM.01.03/'1086/2015 Jakarta, 04 Mei 2015


Lampiran :

Hal : Permohonan DataMawancara


Kepada
Yth. Kepala Desa
Desa Serdang Jaya
di
Tempat
Assalammu'alaikum, Wr. Wb.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menerangkan
bahwa :
Nama : EPI YULIANTI
Tempat/Tanggal : Serdang Jaya I 25 Desember 1992
NIM 11110441 00026
Semester :B
Program Studi : Akhwal Syakhsiyyah (Hukum Keluarga lslam)
Alamat : Serdang Jaya, Kec. Betara Kab. Tanjung Jabung Baral
Kuala Tungkal, Jambi
Telp/Hp : 085714679029

Adalah benar yang bersangkutan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang sedang menyusun skripsi dengan judul:

Kesadaran Hukum Dan Persepsi Masyarakat Terhadap Perceraian (Sfudi Kasus Perceraian Di
Desa Serdang Jaya Kecamatan Betara Kabupaten Tanjab Barat Jambi)

Untuk melengkapi bahan penulisan skripsi, dimohon kiranya Bapak/lbu dapat menerima
yang bersangkutan untuk wawancara serta memperoleh data guna penulisan skripsi
dimaksud.
Atas kerjasama dan bantuannya, kami ucapkan terima kasih.
Wassalam

Akademik

M.AG q
199803 2002

Tembusan :

'1
. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. KalSekprodi Akhwal Syakhsiyyah (Hukum Keluarga lslam) / Peradilan Agama

**
,.
i
PIINGAT}II,AN AGAilA f, UAI,A I'IINGtrAI,
JArrr PBO]. Dn. SBI SOBDBm il8, 8.tr TII./IAX. tt4;r2lm2
ruiu.a TuilGril. - JtrilBI - 8065r
E-mail: pa-kualatungM@yahoo.co.id Home Page: htto://www.pa-kualatungkal.net

Nomor ws-A3.lc,, /HK.05A/V2015 KuataTung[<a[,


ry Juni 2015
Sifat Biasa
Lampiran
Perihal Permohonan Data./Wawancara

Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (Unf)
Syarif Hidayatullah Jakartra
Di
Tempat

Assalamu'alaikum Wr. Wb.


Sehubungan dengan surat Dekan Fakultas Syariatr dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor LlN.0l/T4lKM.01.03/107312015
tanggal04 Mei 2015 tentang Permohonan Data/Wawancara, maka dengan ini Wakil
Ketua Pengadilan Agama Kuala Tungkal me,nerangkan bahwa :

Naura EPI YULIANTI


Tempat/Tanggal Lahir Serdang Jaya/Z5 Desember 1992
NIM I I I 1044100026
Semester 8
Program Studi Akhwal Syakhsiyyah (Hukum Keluarga Islam)
Alamat Serdang Jaya, Kecamatan Betara Kabupaten
Tanjung Jabung Barat, Kuala Tungkal, Jambi
Telp/flp 085714679029

Telah melaksanakan penelitian berupa an data dan wawancara di


kantor Pengadilan Agama Kuala Tungkal sejak tanggal 08 - 19 Juni 2015 dalart
rangka menyusun skripsi dengan judul "Kesadatan Hukum dan Persepsi Masyarakat
Terhadap Perceraian (Studi Kasus Perceraian di Desa Serdang Jaya Kecamatan
Betara Kabupaten Tanjab Barat Jambi)".

Demikian surat ini dibuat agar sebagaimana mestinya.

ffi
';''/A
ikum Wr. Wb.

ooog* y'
9640606 199403 I 006
Tembusan:
l. Yth. Ketua Pengadilan Tinggi Agama Jrirmbi;
a2. Saudari EPI YULIANTI.

-..1
T:

PEMERINTAH KABUPATEN TANJTING JABUNG BARAT


KECAMATAN BETARA
DESA SERDANGJAYA
j!!.Drs.Letkot Toegino Lorong 2 Ujung RT.02 Dusun II Pasar Serdang Desa Serdang Jaya 36574

:474lSJl aES lYu I 2015

Yang bertanda tangan dibawah ini Kepala Desa SerdangJaya Kecamatan Betara
Kabupaten Tanjung Jabung Barat Profinsi Jambi. Dengan ini menerangkan bahwa

Nama EPI YULIANTI

Jenis Kelamin Perempuan

Tempat/Tgl. Latrir Serdang Jaya,25 Desember 1992

Pekerjaan Mawasiswi

Alamat :Rt. Dusun Pasar Serdang Desa Serdang Jaya Kec. Betara

Asal Kuliah : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Fakultas : Syariah dan Hukum

Nomor Siswa :1111044100026

Benar nama tersebut diatas telah melakukan wawancara dengan kepala Desa Serdang
Jaya Kecamatan Betara Kab. Tar$ung Jabung Barat Jambi Pada Hari Rabu Tanggal0l Juli
2015 di Kantor Desa Serdang Jaya Kecamatan Betara.

Demikiantah Surat keterangan ini di buat dengan yang sebenarnya untuk dapat di
pergunakan sebagaimana mestinya. Atas kerjasamanya di ucapkan terima kasih.

DIKELUARI(A}.{ DI : SERDANG JAYA

-*
t
lJ1
Fl
()
(\
qElunf o'
-o
E
(l,
*t
CL
o
a
o
(r1
(!
.y
f!
L \t E
bo oi
c
,J)
F=

z t(! 4'r}------
o {r0y)Noa
L
o
C'
o
Ess o-
EZi
!i3:
E:i<(\
Q4.ad
<5(?rd
r?MOPq
F

ESEE
3E3A
F??}
nnfrl
2*a*
iaHx
{aO
lz,^a
d<il
oAp
ti/

tv

g
6F
gE
(l,
9-o.!i
s.E
_o:o
3go
3e
e'E
.c,
6u
E.g
Gta
qE
J
tr$
..9O fltC
=
3 c cI,
.? s+E
E
0,^0
id
6+
}Z

I"-.!
r,,ft
Fl
C)
GI
or o 0 o G' a C'
.?
= 6 (la
{qt
(r' G) o, al) a?
GT rO
$ (p
JI
E
vo
,fI 6
rti { 60 ci, a tt (Y) ro
!o
o.
(u
j 0
o
c,
@
I
co @ @ o
o) (\l rct (o r()
(\t o
(Y,
(,,
c,
fr
(Yt

J
(o r\t*
(t EO
c
(., a-,1 g,
ll .F @ (o F $
c,
N f{ tt
6
ra:
F
o
(, u E
t z -J 3
(9 p
z F z 0 J J
a E J
= E = o o
F
a I! l- t- 3
4
u,
J (L
&
6 v fi
2
z
l-
l lJ za 5 },*--.--
IU o
o
2 s = z z o vo o
UJ
to ul o.
UJ
$ F
- z .? {(rvomaa
F
0l
to 5 = s fr = lr! Z 2
r trul o oUJ 3F 23 o =
2
(J :)
tu 6 t f 2 o F F
x UI lrl E t v,
o 11 (r, !+ rat {o N o o, o (\t fi' rf
2

rO
5
o @
.D rF EF 6
6t o o$
2 -
Y
E
o
2
c o
UJ

.A
oI
TL
F F o N
j
o o o
tr
J (n u,
o o .?
=
2

ri'
:
FAKTOR PENVEBAB TERIADI PERCERAIAN
KEADMN JANUARI S/D DESEMBER 2014

K)RAL nEilllt|GALKAX IERUSreTERUS NEI{YAXIN LAtN-t-Artl


KEWA'IBAI{ BERSEL}SIH JAS[Atll
qt
6 tt 03 EO
.E
o xG *6 (9
c,
1r,
6 c o
o
o E, :? .ia
c o
x6 G 3 a o! & a 6 E
b E a!
p x ct 0 C' E qt
E tr
=
.o & o
e a! g
q' =a, q,
s' & o
Jumlah
o 6 It a,
a o
.*
EO
e{ x
tl) E ,lt t)
E
G !2 (,o 6
' H .F
ct €
q0
GI
E
q,
a)
ct
o E H

Y M E ra
.9 BO 6'
x o o
o
!t
E q,
(, c Y gc'
o. ?
156 8{ I 80 3 329
(Jumlah Faktor Penyebab sesuai dengan Akta ceral yang diterbitkan)

PERKARA YANG D|TERIMA JANUARI S/D OESEMBER 2014

.Il TINGKAT PENDIDIKAN


d a 6t
L 6 e0 bo
o 3
EI BI'LAIY tr DO ql
L Non€D 11
o 6 6 E 0)
z {, rf .) SD 148
rt)
(J U v SLTP 88
SLTA 72
I 2 3 1 5 6
Diol. 11
1 Januai 8 18 26
S1 13
2 Pebruad 8 16 21
52 1
3
4
Maret
Apnl
5
I
24

n
20

37
JUiILAH w
5 Mei I 24 t2
Juni I 26 34
7 Juli 2 10 l2 TINGKAT USIA
I Agustus 6 n 33
15-20 25
I September 11 31 12
21-30 141
10 Okiober 3 26 n 31{0 120
11 Nopember 5 28 33
41-50 45
12 Deeember 3 10 t3 51{0 11
Jumhh 75 269 w 61-70 2
71.DST
JUiILA}I w

ffi ungkal, 08 Juni 2015


Muda Hukum,
.--

FA]TOR PENYEBAB TERJADI PIRCERAIAN


KEADMN JANUARI 5/D DESEMBER 2013

ilORAL NEilNGALKA}I TERUS HENERUS rEilYAruN l-fir&Lsil


KEWA'IBA}{ BERSEIISIH JASf,ATI
5l
6
cU
6 a
ho
o
.ct 'l ct 6
o ! 'c0 &
(D
o
G 6 al
ih c 0 {) & tr
T(U .c ra .ra
qt 6 ql E
E .1
L

It3 gCI o
a L - =6 B ql
(.,
fi o
ta
an o a el
6)
qt €c' Cl
I Jumlah
d E .lt .4
o c, e{ 6t qt cl E'
E
6 !2 o c
X'
frl Fr a0
q,
c, G)' tD' CI
ID Y #qt EO q, .a(
q,
o E qt ,L C) g 6
u'
o. Ll (, E M

I 106 rtE 1l 79 2 281


(Jumlah Faktor Penyebab sesuaidengan Akta ceraiyang diterbitkan)

PERKARA YANG DITERIMA JANUARI S/D DESEMBER 2013

&€
6! cl
h
o cl EO a0
EI
TINGKAT PENDIDIKAN
tr t0 Jbl 6
o B{'LAII c! 2,
L
z € ID
e 6) Non€D 16
Q)
a (J Fi
v
SD 137
1 2 I I 31 32 SLTP 74
1 Jauari 7 n 2t SLTA 88
2 Pebruari 6 N 35 Diol. 10
3 Maret I 21 N S1 18
4 AErl 4 16 N S2
5 Mei I 28 30
JirlL. 34il
6 Juni 3 18 21
TINGKAT USIA
7 Juli 7 g t8
8 Agustus 3 n 25 15-20 24
I Septanber 4 30 u 2{40 125
10 Oktober 4 28 t2 3t{o 144
11 Nooember 9 31 {0
'tl€0 36
12 Desember 5 n 28 5,1s0 10
Jumlah 68 275 343
I 6t-70 4
71-x}ST
JUTf,LAH 34:!

08 Juni 2015
Hukum,

M.A.
WAWANCARA

Hasil wawancara penulis dengan salah satu Hakim Pengadilan Agama

Kuala Tungkal yaitu Bapak Wakil Ketua Drs. H. Mhd. Dongan., pada hari

Selasa, tanggal 16 Juni 2015 adalah sebagai berikut:

1. Apakah masyarakat di daerah ini banyak yang bercerai?

Istilah banyak harus ada perbandingannya. Adapun wilayah Tanjab Barat

termasuk wilayah terluas dari kota Jambi dan juga terbanyak untuk

perkara perceraiannya. Menurut data, jumlah penduduk Tanjab Barat

adalah 339.669 jiwa, adapun setiap tahunnya perkara perceraian

berjumlah lebih dari 300 perkara yang diputus. Dapat dikatakan bahwa

perbandingan antara jumlah perkara dengan jumlah penduduk adalah

1:1000 jiwa. Dibandingkan dengan jumlah penduduk muslim yaitu

259.000 jiwa, angka perceraian cukuplah tinggi, karena jumlah perkara

yang ditangani sebanyak 330 perkara. Dengan perbandingan d atas,

Kabupaten Tanjab Barat dapat ditempatkan pada peringkat 10 di

Indonesia dengan angka perceraian yang cukup tinggi.

2. Sudah berapa banyak perkara perceraian yang bapak tangani selama

bertugas di Pengadilan Agama Kuala Tunggal?

Selama di sini sudah banyak perkara yang saya tangani, untuk berapa

jumlahnya saya sudah tidak ingat. Jika dilihat dari data statistik, untuk

tahun 2015 sampai dengan bulan Juni, perkara yang saya tangani dan

sudah diputus berjumlah 47 perkara, sedangkan pada tahun 2014 perkara

yang belum terselesaikan berjumlah 12 perkara, berarti sudah sebanyak


59 perkara perceraian yang saya tangani dan sudah diputus, adapun

jumlah keseluruhan perkara perceraian sampai dengan Juni 2015

sebanyak 309 perkara.

3. Menurut bapak, apakah masih ada masyarakat yang melakukan perceraian

di luar sidang pengadilan?

Prediksi saya, masih banyak masyarakat yang melakukan perceraian di

luar pengadilan. Hal ini dapat dilihat dari data perkecamatan, untuk

daerah Tungkal Ilir merupakan daerah yang terbanyak melakukan

perceraian yaitu sebanyak 52 orang, sementara di Tungkal Ulu yang

banyak penduduknya hanya ada 3 orang, kemudian di daerah Batang

Asam hanya ada 2 orang saja yang bercerai. Hal ini tidaklah mungkin

jika tidak ada perceraian disana, mengingat banyaknya jumlah penduduk

yang ada dan kemungkinan besar masyarakat belum mendaftarkan

perceraiannya di pengadilan. Sedangkan di Kecamatan Ranahmandalo

sama sekali tidak ada perceraian, ini tidaklah mungkin. Jadi saya kira

masih banyak perceraian yang belum didaftarkan di pengadilan, yang

berarti perceraiannya hanya dilakukan dibawah tangan.

4. Menurut pendapat bapak, apa penyebab masyarakat melakukan perceraian

di luar sidang pengadilan?

Adapun beberapa penyebab masyarakat masih melakukan perceraian di

luar pengadilan, yaitu:


1. Jauhnya jarak tempuh Pengadilan Agama dari beberapa daerah,

seperti daerah Muarapapale yang mempunyai jarak tempuh berkisar

4-5 jam untuk sampai di Pengadilan Agama.

2. Masalah biaya, karena semakin jauh tempatnya semakin besar

biayanya.

3. Dan kurangnya kesadaran hukum masyarakat.

Adapun kemungkinan terbesar penyebabnya adalah karena jarak tempat

Pengadilan Agama yang jauh disebabkan karena luasnya daerah Tanjab

Barat, sehingga masyarakat tidak bisa mencapai tempat tersebut.

5. Apakah akibat hukum yang timbul dari perceraian di luar sidang

pengadilan?

Mengenai akibat hukum dari perceraian di bawah tangan ini, belum ada

aturan hukum yang mengaturnya. Adapun kerugian yang terjadi yaitu oleh

hukum dianggap belum bercerai, misalnya mereka melakukan perceraian

di bawah tangan, sedangkan salah satu pihak menikah lagi dengan

perempuan lain ataupun meninggal dunia, kemudian datanglah istri

pertama untuk meminta harta atau hak warisan dan tidak ada bukti

perceraiannya di pengadilan, hal ini dapat merugikannya dari segi

materi. Dan juga masalah anak, ketika hendak menikah ataupun membuat

akta kelahiran akan sulit, karena membutuhkan akta nikah untuk

membuatnya sehingga merugikan anak. Kemudian akan mempersulit bagi

pasangan suami istri yang akan melaksanakan ibadah haji karena harus

ada akta nikah.


6. Apa tindakan bapak, apabila menemukan kasus perceraian pada

masyarakat yang dilakukan di luar sidang pengadilan?

Pada dasarnya Pengadilan Agama adalah pengadilan yang menangani

perkara perdata bukan pidana. Untuk mengambil tindakan Pengadilan

tidak mempunyai wewenang, karena Pengadila Agama bersifat menerima

laporan perkara saja, jika tidak ada tidak boleh menjemput perkara

tersebut. Hal yang bisa kami lakukan adalah hanya menyarankan

masyarakat agar perkara perceraiannya dapat diselesaikan secara hukum

di Pengadilan Agama, supaya hak-haknya dapat terpenuhi nantinya.

7. Apa alasan yang sering dikemukakan oleh penggugat untuk melakukan

perceraian di Pengadilan Agama Kuala Tungkal?

Dilihat dari data tentang faktor penyebab perceraian, untuk wilayah

Kuala Tungkal Kabupaten Tajab Barat, banyak yang berasalan adanya

pertengkaran. Jika diteliti ini karena tidak adanya tanggung jawab suami,

kemudian meninggalkan istri dan suami tidak mempunyai pekerjaan.

Sehingga tidak terpenuhinya kebutuhan rumah tangga, sedangkan istri

mempunyai kebutuhan pokok untuk keperluan sekolah anak-anaknya,

rumah dan juga pakaian. Jadi, dapat disimpulkan bahwa masalah

ekonomi yang banyak mendominasi faktor penyebab perceraian. Dan hal

yang sangat mengejutkan di daerah ini yaitu perkawinan dengan cara

dijodohkan. Bahkan kedua belah pihak keluarga tidak

mempertimbangkan tentang kesiapan anaknya. Yang dipikirkan hanya

kesenangan dan kecocockan kedua keluarga tanpa memikirkan bahwa


usia anaknya masih di bawah umur. Menurut peraturan perundang-

undangan, usia dibawah umur bagi perempuan adalah kurang dari 16

tahun dan untuk laki-laki kurang dari 18 tahun. Jika hal ini terjadi, maka

orang tua diharuskan mengajukan dispensasi nikah ke pengadilan terlebih

dahulu sebelum pernikahan dilangsungkan. Dari data yang ada, untuk

perkara dispensasi nikah pada tahun ini yang mengajukan sebanyak 11

orang, adapun orang-orang yang mengajukan adalah yang sadar dengan

hukum yang telah ditetapkan dan mungkin masih banyak masyarakat

lainnya yang belum mengajukan.

8. Apakah bapak mempunyai pertimbangan khusus dalam memutus perkara

perceraian?

Dalam memutuskan perkara perceraian, pengadilan diberikan

kewenangan tertentu oleh negara. Adapun alasan perceraian telah diatur

dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dari huruf a sampai g,

inilah alasan-alasan yang dibolehkan dalam memutuskan perkara

perceraian, diluar ketentuan tersebut tidaklah boleh.

9. Pada ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

khususnya pada pasal 39 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Perceraian

hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang

bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah

pihak”, bagaimana pendapat bapak mengenai ketentuan UU tersebut, yang

nyatanya bertentangan dengan realita keseharian beberapa masyarakat?


Dalam hal ini Pengadilan Agama tidak dapat mengambil tindakan

apapun, karena Pengadilan Agama adalah pengadilan perdata. Oleh

kerena itu perlu diadakannya penyuluhan hukum pada masyarakat, bahwa

perceraian di luar pengadilan hanya akan merugikan mereka. Adapun

tindakan kami ketika ada kesempatan, maka kami memberikan penjelasan

pada masyarakat mengenai hal tersebut. Lebih dari itu, kami tidak

mempunyai kewenangan. Jika dalam PP No. 9 Tahun 1975 dikatakan

bahwa salah satu alasan bercerai berkaitan dengan hukuman pidana, itu

bukan kewenangan Pengadilan Agama, kecuali dikhususkan untuk

wilayah Aceh.

10. Menurut bapak apa manfaat dan tujuan diharuskannya pasal 39 UUP

dalam ranah Pengadilan Agama?

Tujuannya adalah agar perceraian pada masyarakat tidak sewenang-

wenang. Dahulu sebelum adanya peraturan perundang-undangan ini,

dengan mudahnya suami menceraiakan istrinya. Jika hal ini masih terjadi

pada masyarakat tidaklah kami benarkan, karena hak dan kewajiban istri

yang sudah bercerai di bawah tangan ini tidak dapat dilindungi nantinya.

11. Apakah menurut bapak perceraian di luar sidang pengadilan dapat

dikatakan sah? Alasannya?

Berbicara sah atau tidak sah, itu diluar peraturan perundang-undangan

karena negara tidak mengatur hal tersebut. Dalam peraturan undang-

undang disebutkan “hanya dapat dilakukan”, ini berarti sifatnya adalah

pengaturan, apabila tidak diikuti petuturan tersebut maka tidak diakui


perceraiannya bukan tidak sah. Berbicara sah atau tidak sah itu kembali

pada keyakinan dan agama masing-masing. Dan satu hal dapat dikatakan

sah jika rukun dan syaratnya terpenuhi.

12. Upaya apa saja yang telah dilakukan untuk meminimalisir terjadinya

perceraian di luar sidang pengadilan?

Upaya yang dilakukan adalah mengadakan penyuluhan hukum. Dalam hal

ini kami bekerjasama dengan Majelis Ulama dan para da’i untuk

mencarikan solusi agar dapat meminimalisir terjadinya perceraian.

Kemudian sebelum persidangan dimulai, terlebih dahulu dilakukan

mediasi semaksimal mungkin, jika perlu hal ini kita kembalikan pada KUA

atau Departemen Agama untuk dinasehati oleh BP4. Adapun upaya yang

dilakukan hakim selama persidangan adalah selalu memberikan mediasi

kepada penggugat dan tergugat, mungkin saja perceraiannya hanya emosi

sesaat. Sehingga sebelum diputus, diperbolehkan untuk mencabut

permohonan tersebut. Bahkan setelah diputus juga masih diperbolehkan

mencabut permohonan tersebut dengan prosedur yang telah ditentukan

oleh undang-undang. Akan tetapi, untuk beberapa tahun belakangan ini,

kami tidak melakukan penyuluhan hukum lagi, karena hal tersebut sudah

dialihkan ke Departemen Agama dan di tangani oleh Kementrian Agama

dan pemerintah setempat.


Jambi, 16 Juni 2015

Wakil Ketua PA Kuala Tungkal Pewawancara

Bpk Drs. H. Mhd. Dongan Epi Yulianti


WAWANCARA

Hasil wawancara penulis dengan salah satu Panitera Muda Hukum

Pengadilan Agama Kuala Tungkal yaitu Bapak Ghozi S.Ag., MA., pada hari

Senin, tanggal 8 Juni 2015 adalah sebagai berikut:

1. Apakah masyarakat di daerah ini banyak yang bercerai?

Sampai dengan hari ini, yaitu tanggal 8 Juni 2015 yang sudah

mendaftarkan ke pengadilan sebanyak 210 untuk perkara gugatan

perceraian. Adapun kemungkinan perkara perceraian yang akan

ditangani untuk satu tahun ini diperkirakan sebanyak 400 perkara.

Dibandingkan dengan tahun 2014 telah terjadi peningkatan cukup

signifikan, karena dalam satu tahun pada tahun 2014 perkara yang

ditangani di pengadilan kurang lebih sebanyak 350 perkara perceraian.

2. Sudah berapa banyak perkara perceraian yang bapak tangani selama

bertugas di Pengadilan Agama Kuala Tunggal?

Adapun perkara perceraian yang saya tangani secara pribadi sebagai

panitera pengganti dari tahun 2010 mencapai sekitar 250-300 perkara,

karena setiap tahunnya terdapat 60-75 perkara yang saya tangani.

3. Menurut bapak, apakah masih ada masyarakat yang melakukan perceraian

di luar sidang pengadilan?

Saya tidak pernah melihat secara langsung, akan tetapi menurut informasi

yang saya dapatkan dari KUA, masih terdapat cerai liar (cerai di luar

sidang Pengadilan) yang perceraiannya hanya sebatas menggunakan

kertas perjanjian antara suami istri, misalnya suami mengucapkan:


kuceraikan kau, kemudian dituliskan diatas kertas dengan memakai materi

dan ditanda tangani oleh suami istri kemudian diketahui oleh Kepala

Desa atau RT setempat. Dan kertas perjanjian ini biasanya digunakan

masyarakat sebagai syarat perceraian di Pengadilan, padahal itu

bukanlah syarat untuk dijadikan bukti saat mengajukan gugatan. Pada

dasarnya cerai liar ini masih ada dijumpai pada masyarakat.

4. Menurut pendapat bapak, apa penyebab masyarakat melakukan perceraian

di luar sidang pengadilan?

Menurut analisa dan bertanya dengan masyarakat, terdapat beberapa

penyebab masyarakat melakukan perceraian di luar sidang pengadilan

yaitu:

1. Sebagian masyarakat ingin memudahkan perceraiannya, karena pola

pikir masyarakat terhadap pengadilan sebagai suatu lembaga yang

menakutkan dan mempersulit bagi mereka, sebenarnya pengadilan itu

tidak mempersulit, namun memang harus ada proses persidangan

yang dilakukan dalam menyelesaikan perkara. Dengan adanya proses

hukum yang berjalan itulah menyebabkan masyarakat semakin fobia

atau merasa takut terlebih dahulu sebelum mengurus ke pengadilan.

2. Kemungkinan juga kerena ingin cepat dalam bercerai, sehingga ketika

mau bercerai ya cerai saja itu lebih cepat. Padahal ini sangat

merugikan, karena secara hukum negara belum resmi bercerai, dan

ini juga menimbulkan dampak ketika perempuan tersebut melahirkan


atau memiliki anak dari perkawinan tersebut. Dan yang pada akhirnya

akan berurusan dan mengajukan istbat nikah juga ke Pengadilan.

3. Ada pula mengenai masalah biaya, karena untuk mengurus perceraian

di Pengadilan juga memerlukan biaya, akan tetapi seberapa besar

biaya yang dibutuhkan itu tergantung pada tempat, ketika tempatnya

jauh memang biaya panggilannya tinggi.

5. Apa tindakan bapak, apabila menemukan kasus perceraian pada

masyarakat yang dilakukan di luar sidang pengadilan?

Ya saya menyarankan masyarakat untuk mengurus ke Pengadilan.

6. Apa alasan yang sering dikemukakan oleh penggugat untuk melakukan

perceraian di Pengadilan Agama Kuala Tungkal?

1. Faktor ekonomi, karena dengan keadaan ekonomi yang tidak stabil

dalam rumah tangga, sehingga menggoyahkan mereka. Sebab faktor

ekonomi ini sangat penting bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan

pokok kehidupan sehari-hari. Dan juga rasa cinta dan kasih sayang

yang kurang kuat antara suami istri.

2. Meninggalkan istri, tidak memberikan nafkah dan tidak bertanggung

jawab.

7. Pada ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

khususnya pada pasal 39 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Perceraian

hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang

bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah


pihak”, bagaimana pendapat bapak mengenai ketentuan UU tersebut, yang

nyatanya bertentangan dengan realita keseharian beberapa masyarakat?

Pada intinya memang kesadaran hukum pada masyarakat Indonesia ini

perlu ditingkatkan lagi, karena mereka tidak membaca tentang ketentuan

undang-undang tersebut. Hal ini disebabkan karena kurangnya

penyampaian dan penyuluhan hukum pada masyarakat, kemudian tingkat

pendidikan yang rendah juga berpengaruh serta informasi hukum yang

tidak sampai pada masyarakat, sehingga mereka tidak mengetahui bahwa

perceraian di luar sidang pengadilan itu tidaklah boleh. Adanya

peraturan tersebut mungkin hanya diketahui oleh sebagian masyarakat

saja, seperti masyarakat yang berada di dunia akademisi, misalnya

mahasiswa yang berada di fakultas syariah dan hukum, adapun

mahasiswa selain fakultas tersebut belum tentu tahu akan ketentuan

tersebut. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan lagi kesadaran hukum pada

masyarakat, karena itu sangatlah penting.

8. Menurut bapak apa manfaat dan tujuan diharuskannya pasal 39 UUP

dalam ranah Pengadilan Agama?

Adapun tujuannya adalah penertiban dan terlaksananya proses hukum

yang baik dan benar di Indonesia, kemudian juga menjaga agar

masyarakat tidak menyepelekan dalam kehidupan berumah tangga, seperti

tidak asal bercerai dan menikah. Dengan nikahnya yang sah di KUA dan

adanya buku nikah, kemudian cerainya yang sah di Pengadilan Agama itu

mencerminkan adanya penertiban administrasi yang baik. Adapun akibat


hukum yang terjadi jika tidak melakukan perceraian di Pengadilan Agama

adalah tidak adanya pencatatan administrasi bahwa mereka telah

bercerai dan tidak sah secara negara.

9. Apakah menurut bapak perceraian di luar sidang pengadilan dapat

dikatakan sah? Alasannya?

Untuk mengatakan sah atau tidaknya secara agama itu kajiannya kembali
kepada fiqih, adapun secara negara dapat dinyatakan tidak sah, ini
berdasarkan firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 59 yang berbunyi:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah


Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”.

Dan alasannya karena suami istri hidup berdua dan ketika hendak

bercerai, suami hanya dengan mengatakan “aku ceraikan kau” kemudian

berpisah dan suaminya menikah lagi dengan perempuan lain, jika

perceraian semudah itu kan enak. Akan tetapi tidak sembarangan seperti

itu, dalam hal bercerai juga mempunyai aturan-aturan yang harus

dipatuhi, dan juga untuk perempuan agar menjaga pernikahannya dan

tidak semudah itu mau diceraiakan oleh suami.

10. Upaya apa saja yang telah dilakukan untuk meminimalisir terjadinya

perceraian di luar sidang pengadilan?

Pada tahun 2008 memang pernah ada dilakukan upaya penyuluhan

hukum, namun untuk saat ini sudah tidak ada lagi. Adapun hal tersebut

berkaitan dengan aspek kegiatan, sedangkan Pengadilan Agama ini tidak

ada kegiatan eksekutif seperti itu, karena Pengadilan Agama mempunyai


tugas dan wewenang menerima, memeriksa, memutuskan dan

menyelesaikan perkara tertentu bagi orang yang beragama Islam. Adapun

upaya yang dilakukan saat ini adalah upaya secara pribadi saja yaitu

dengan bersosialisasi dan berbincang-bincang pada masyarakat.

Jambi, 8 Juni 2015

Panitera Hukum PA Kuala Tungkal Pewawancara

Bpk Ghozi, S.Ag., MA. Epi Yulianti


WAWANCARA

Hasil wawancara penulis dengan Ibu Kepala Desa Serdang Jaya yaitu

Ibu Darmayulis SH., pada hari Rabu, tanggal 1 Juli 2015 adalah sebagai

berikut:

1. Apakah masyaraka di Desa Serdang Jaya ini banyak yang bercerai?

Untuk perceraian di desa ini tidaklah banyak, akan tetapi memang ada

beberapa masyarakat yang bercerai. Hal ini dikarenakan pemahaman

pada masyarakat di sini tentang perceraian sudah lebih baik untuk saat

ini.

2. Menurut pendapat ibu, apakah masih ada masyarakat yang melakukan

perceraian di luar pengadilan?

Iya, masih ada beberapa masyarakat yang melakukan perceraian di luar

pengadilan. Seperti hal yang terjadi pada salah satu masyarakat desa ini

yang menikah, lalu bercerai dengan suami dari pernikahan pertamanya

dan belum diselesaikan di penngadilan, kemudian menikah sirri dengan

laki-laki lain dan mempunyai anak satu dari pernikahan tersebut, namun

pada pernikahan keduanya terjadi perceraian lagi. Setelah bercerai

dengan suami keduanya kemudian menikah sirri lagi dengan suami

ketiganya. Terjadilah sebuah kejadian dimana anak dari suami kedua

tersebut ingin dibuatkan akta dan dimasukan dalam kartu keluarga (KK),

dikarenakan pernikahannya dengan suami keduanya tidak dapat

dibuktikan dokumentasinya, sehingga anak tersebut tidak dapat

dinasabkan sebagai anak dari suami kedua. Pada akhirnya kami


menyarankan agar ibu tersebut mengurus perceraiannya dengan suami

pertamanya terlebih dahulu di Pengadilan Agama dan setelah itu

mengurus istbat nikah dengan suami keduanya, barulah bisa membuat

akta untuk anak tersebut.

Selain itu juga terdapat kasus dimana suami istri menikah dan sudah

bercerai cukup lama, namun ketika diminta bukti administrasi dari

percerainnya, tidak ada bukti autentik (akta cerai) yang membuktikan

bahwa pasangan suami istri tersebut benar sudah bercerai. Hal ini

dikarenakan percerainnya belum diselesaikan di Pengadilan Agama atau

perceraiannya hanya dilakukan di luar pengadilan (dibawah tangan).

Ada pula kasus dimana sepasang suami istri menikah sirri dan telah

mempunyai 3 anak, kemudian pasangan tersebut bercerai. Pada suatu

hari si suami ingin menikah lagi dengan perempuan lain, namun hal itu

terhambat dikarenakan pernikahan pertamanya yang secara Negara

belum tercatat administrasinya dan juga tidak adanya akta cerai.

Sehingga kami menyarankan pada orang tersebut agar melakukan istbat

nikah terlebih dahulu di Pengadilan Agama dan setelah selesai istbat

nikah, lalu menyelesaikan perkara percerainnya di Pengadilan Agama

pula. Barulah suami tersebut dapat menikah lagi, namun orang tersebut

tidak mau melakukan apa yang telah kami sarankan. Inilah beberapa

contoh kasus perceraian yang telah terjadi di Desa Serdang Jaya.

3. Apa faktor yang melatarbelakangi masyarakat di desa Serdang jaya ini

masih melakukan perceraian diluar pengadilan?


Ada beberapa faktor yang melatar belakangi terjadinya perceraian di luar

pengadilan pada masyarakat diantaranya, yaitu:

1. Kurang pahamnya masyarakat terhadap peraturan yang ada.

2. Rasa malas pada masyarakat untuk mengurus perceraiannya di

Pengadilan Agama, karena menurut mereka mengurus hal tersebut

sangatlah rumit.

3. Adanya fikiran dan anggapan pada masyarakat terhadap Pengadilan

Agama, bahwa pengadilan adalah suatu lembaga yang menakutkan,

sehingga timbulah rasa takut pada masyarakat sebelum menguruskan

perkaranya di pengadilan.

4. Apakah sudah ada sosialisasi pemerintah pada masyarakat Serdang jaya

mengenai masalah perceraian?

Pada tahun lalu, memang ada sosialisasi masalah perkawianan dan

perceraian oleh Pemerintah Kabupaten Tanjab Barat, Pengadilan Agama

dan Kementrian Agama, bertempat di salah satu desa yang telah

ditentukan di Kecamatan Betara ini dan dengan mengundang beberapa

utusan dari setiap desa yang berada di Kecamatan Betara. Untuk tahun

2015 belum ada lagi sosialisasi yang serupa dengan tahun lalu yang

diadakan oleh pemerintahanan untuk Kecamatan Betara ini.

5. Pada ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

khususnya pada Pasal 39 ayat (1) yang menyatakan bahwa “perceraian

hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang


bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah

pihak”, apakah menurut ibu peraturan dari undang-undang ini diperlukan?

Iya, tentu peraturan ini sangat diperlukan, karena dengan adanya

peraturan ini akan memudahkan kami dalam penertiban administrasi

pada masyarakat ketika akan mengurus KTP, KK, Akta Kelahiran dan hal

lainnya yang berkaitan dengan administrasi pada masyarakat di kantor

kepala desa ini.

6. Bagaimana tanggapan ibu ketika melihat atau mendengar ada masyarakat

yang melakukan perceraian di luar pengadilan?

Kami hanya bisa memberikan himbauan dan saran pada masyarakat agar

secepatnya diselesaikan masalah perceraiannya di Pengadilan Agama,

karena ketika masalah perceraiannya tidak segera diselesaikan di

dipengadilan, nantinya akan mempersulit dirinya sendiri dalam

penyelesainya. Lebih rumit lagi apabila dia sudah menikah lagi dengan

nikah siri dan mempunyai anak.

7. Adakah upaya yang dilakukan dalam meminimalisir angka perceraian di

luar pengadilan pada desa ini?

Adapun upaya yang kami lakukan selain bekerjasama dengan beberapa

lembaga pemerintahan untuk mengadakan sosialisasi pada masyarakat

tentang perceraian, kami juga selalu menghimbau pada masing-masing

ketua Rt, agar selalu mengingatkan warganya supaya menyelesaikan

segala sesuatu permasalah yang terjadi dalam rumah tangganya sesuai

dengan aturan dan prosedur yang telah diatur dan ditetapkan oleh
Negara, sehingga akan memudahkan mereka pada masa mendatang

dalam menyelesaikan berbagai administrasi kependudukan, pembuatan

akta anak dan lain sebagainya.

Serdang Jaya, 1 Juli 2015

Kepala Desa Serdang Jaya Pewawancara

Ibu Darmayulis, S.H. Epi Yulianti


WAWANCARA

Nama : Ahmad Shoib Hari/Tgl : Senin, 27 Juli 2015

Jabatan : Ketua Rt. 02 Waktu : 19.30 WIB

1. Apakah warga di Rt. 02 ini ada yang bercerai? Berapakah jumlahnya!

Iya, memang ada beberapa warga Rt. 02 ini yang bercerai, hanya ada 3

orang saja yang saya tahu.

2. Adakah data dan laporan dari warga ketika bercerai?

Tidak ada data dan laporan warga yang bercerai, namun saya pernah

diminta untuk menjadi saksi perceraian dari salah satu warga di Rt. 02

yang dilakukan dirumah warga tersebut, bahwa anak perempuannya telah

dijatuhkan talak oleh suaminya.

3. Menurut pendapat bapak, apakah masih ada masyarakat yang melakukan

perceraian diluar pengadilan?

Mungkin ada, namun saya kurang mengetahui informasi warga yang

bercerai di luar sidang pengadilan.

4. Apa faktor yang melatarbelakangi masyarakat di desa Serdang jaya ini

masih melakukan perceraian diluar pengadilan?

Faktor pertama mungkin karena pengalaman, maksudnya pengalaman di

sini adalah pengalaman orang lain yang bercerai di pengadilan kemudian

dia menceritakan kepada yang ingin bercerai bahwa bercerai di

pengadilan itu prosesnya lama dan rumit, sehingga membuat warga lain

malas untuk mengurusnya. Adapun faktor kedua, yaitu karena biaya.


Menurut informasi yang saya dengar dari warga yang sudah pernah

bercerai di pengadilan, biayanya berkisar 700-750 ribu, namun juga ada

yang sampai 4 juta itu katanya, namun secara jelasnya saya kurang

mengetahui hal tersebut.

5. Apakah sudah ada sosialisasi pemerintah pada masyarakat Serdang jaya

mengenai masalah perceraian?

Setahu saya belum ada sosialisasi dari pemerintah, namun jika ada warga

kami yang bercerai dan belum mengurusnya di pengadilan, maka kami

sebagai ketua Rt selalu mengingatkan dan menghimbau agar segera

menyelesaikannya di pengadilan.

6. Pada ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

khususnya pada Pasal 39 ayat (1) yang menyatakan bahwa “perceraian

hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang

bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah

pihak”, apakah menurut bapak peraturan perundang-undangan ini

diperlukan?

Iya peraturan perudang-undangan ini sangat diperlukan, karena

pemerintah membuat peraturan ini untuk menertibkan dan memudahkan

masyarakat dalam menyelesaikan masalah yang dihadapai. Karena untuk

pernikahan yang kedua kalinya atau bukti akta perceraian itu jika tidak

ada, akan mempersulit dan merepotkan orang tersebut. Karena akta cerai

itu sangat dibutuhkan agar kedepannya mudah, seperti contohnya ketika

akan menikah lagi, membuat KK, akta anak dan KTP seperti itu.
7. Bagaimana tanggapan bapak ketika melihat atau mendengar ada

masyarakat yang melakukan perceraian di luar pengadilan?

Ya saya hanya bisa menyarankan dan menasehati agar permasalahan

tersebut segera diselesaikan di pengadilan untuk memudahkan ketika

ingin mengurus data kependudukan nantinya.

Serdang Jaya, 27 Juli 2015

Ketua RT. 02

Ahmad Shoib
WAWANCARA

Nama : Sudarso Hari/Tgl : Selasa, 28 Juli 2015

Jabatan : Ketua Rt.12 Waktu : 19.30 WIB

1. Apakah warga di Rt. 12 ini ada yang bercerai? Berapakah jumlahnya!

Iya ada, untuk jumlah warga yang bercerai ada 3 orang saja.

2. Adakah data dan laporan dari warga ketika bercerai?

Kebetulan ketika ada warga di sini cerai, saya belum menjadi ketua Rt di

sini, karena mereka sudah bercerai lebih dari 3 tahun yang lalu,

sedangkan saya ini baru beberapa bulan diangkat menjadi Rt disini.

Memang seharusnya ada laporan dari warga keketua Rt, namun

kesadaran masyarakat mengenai hal tersebut sangatlah kurang.

3. Menurut pendapat bapak, apakah masih ada masyarakat yang melakukan

perceraian diluar pengadilan?

Sepengetahuan saya masih banyak masyarakat yang bercerai dan belum

diselesaikan di Pengadilan, karena mungkin sebagian masyarakat itu

tidak tahu dan malu untuk mengurus ke Pengadilan. Mungkin jika suami

istri bercerai dan salah satunya mengajukan gugatan ke pengadilan, maka

masalah perceraian dapat selesai sesuai dengan peraturan. Namun jika

salah satu suami istri tidak ada yang berinisiatif untuk mengajukan

gugatan ke pengadilan, maka pada akhirnya cerai-cerai saja, yang

penting adalah berpisah seperti itu.


4. Apa faktor yang melatarbelakangi masyarakat di desa Serdang jaya ini

masih melakukan perceraian diluar pengadilan?

Rata-rata karena faktor ekonomi atau biaya, karena untuk mengurus

perceraian di Pengadilan Agama itu membutuhkan biaya, sedangkan tidak

semua masyarakat mempunyai ekonomi yang cukup.

5. Apakah sudah ada sosialisasi pemerintah pada masyarakat Serdang jaya

mengenai masalah perceraian?

Sepengetahuan saya belum ada sosialisasi pemerintah pada masyarakat di

sini mengenai permasalahan cerai ataupun perkawinan.

6. Pada ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

khususnya pada Pasal 39 ayat (1) yang menyatakan bahwa “perceraian

hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang

bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah

pihak”, apakah menurut bapak peraturan perundang-undangan ini

diperlukan?

Adapun dilihat dari sudut pandang agama, memang tidak ada peraturan

yang mengatur secara rinci tentang bagaimana perceraian itu harus

dilakukan. Namun dilihat dari sudut pandang hukum di Negara kita,

apabila orang bercerai dan mau menikah lagi, maka harus ada akta cerai

sebagai bukti bahwa dia sudah bercerai, jika tidak ada akta cerai maka

tidak bisa diangsungkannya nikah, kecuali jika dia menikah secara sirri.

Jadi peraturan seperti itu sangatlah diperlukan dan diharuskan, agar

supaya masyarakat tidak sewenang-wenang untuk melakukan pernikahan


dan perceraian. Adapun masyarakat di desa ini sekitar 60 persen yang

mempunyai akta nikah, sedangkan 40 persennya ngambang atau tidak

jelas akta nikahnya, mungkin ada yang hilang ataupun nikah secara sirri.

Jika ini terjadi akan mempersulit masyarakat nantinya ketika akan

membuat akta untuk anaknya.

7. Bagaimana tanggapan bapak ketika melihat atau mendengar ada

masyarakat yang melakukan perceraian di luar pengadilan?

Apabila warga ada yang melapor pada saya, yang pertama saya lakukan

adalah menghimbau dan menasehatinya supaya tidak bercerai, karena

dampak yang ditimbulkan dari percerain itu akan mempengaruhi

anaknya, jika mereka sudah mempunyai anak. Kemudian jika memang

sudah tidak bisa dinasehati dan sudah tekad bulat untuk bercerai, maka

bercerailah secara hukum, yaitu dengan diselesaikannya di Pengadilan

Agama.

Serdang Jaya, 28 Juli 2015

Ketua RT. 12

Darso
WAWANCARA

Nama : Ustad Lukman Hari/Tgl : Selasa, 28 Juli 2015

Jabatan : Tokoh Agama Waktu : 15.30 WIB

1. Apakah pengertian cerai (talak) dilihat dari sudut pandang Agama Islam?
Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan suami istri dengan
menggunakan kata-kata tertentu yang berkaitan dengan kata talak.
2. Apa hukum menjatuhkan talak dalam Agama Islam?
Hukum menjatuhkan talak itu sendiri adalah suatu perkara halal yang
paling dibenci Allah, artinya dalam kehidupan berumah tangga kalau bisa
jangan sampai talak ini terjadi. Apalagi jika cerai itu digantung,
maksudnya ketika terjadi pertengkaran dan suami sudah menjatuhkan
talak, namun belum di selesaikan di Pengadilan Agama. Ini membuat
status seorang perempuan menjadi tergantung, dan hal ini akan
mempersulit keduanya apabila ingin menikah lagi, maka sebaikanya
suami istri jika sudah tidak cocok lagi segeralah menyelasaikan
permasalahan ini di Pengadilan. Ini bagi yang mau, yang tidak mau
melakukan hal tersebut ya kita tidak dapat berbuat apa-apa, karena ini
hak mereka masing-masing. Untuk penyampaian berkaitan dengan
masalah perceraian yang terjadi dalam masyarakat, ini dengan
penyampaian secara umum namun bisa dimengerti oleh berbagai
kalangan dalam masyarakat. Karena dimasyarakat sendiri permasalahan
perceraian ini tidak sedikit tapi banyak. Terkadang sudah bercerai
bertahun-tahun lamanya, tidak diberikan nafkah, tidak digauli dan
lainnya, maka yang berdosa adalah suaminya.
3. Apakah akibat yang ditimbulkan dari perceraian (talak)?
Adapun akibatnya adalah suami wajib memberikan biaya pemeliharaan
anaknya, memberikan nafkah tempat tinggal dan pakaiana selama bekas
istri dalam masa iddah dan memberikan mut’ah kepada istri baik berupa
uang atau benda.
4. Menurut pendapat ustad, apakah masih ada masyarakat di sini yang
melakukan perceraian di luar pengadilan?
Menurut sepengetahuan saya, masih banyak masyarakat di desa ini yang
bercerai dan belum mengurusnya di Pengadilan Agama.
5. Apa faktor yang melatarbelakangi masyarakat di desa Serdang jaya ini
masih melakukan perceraian diluar pengadilan?
Faktor yang mendominasi rata-rata karena masalah ekonomi atau biaya.
6. Adakah kejadian yang pernah ustad alami berkaitan dengan perceraian
yang terjadi dimasyarakat, misalnya diminta untuk menjadi saksi dalam
perceraian?
Untuk masalah perceraian yang terjadi pada masyarakat, saya sendiri
belum pernah diminta untuk menjadi saksi dan hal yang lainnya, namun
memang ada beberapa masyarakat yang datang kepada saya untuk
berkonsultasi atau meminta solusi dengan saya berkaitan dengan
permasalahan yang dihadapinya dalam berumah tangga. Dan yang saya
bisa lakukan adalah sebatas memberikan nasihat dan masukan saja,
selebihnya warga tersebut mau mengikuti nasihat saya atau tidak itu
terserah pada mereka. Karena efek dari perceraian yang terjadi adalah
menyebabkan silaturahmi kedua belah pihak keluarga terputus.
7. Pada ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
khususnya pada Pasal 39 ayat (1) yang menyatakan bahwa “perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak”, apakah menurut ustadz peraturan perundang-undangan ini
diperlukan?
Sangat diperlukan, supaya ketetapan hukum itu tidak terombang ambing
atau digantungkannya status. Dan petuturan perundang-undangan ini
dibuat juga untuk ketertiban dan kabaikan pada masyarakat dalam
menyelesaikan permaslahan perkawinan. Peraturan ini dibuat juga bukan
sembarangan dan asal, maksudnya peraturan ini di kaji dari kitab-kitab
hukum islam oleh para petinggi dan ulama Indonesia.
8. Perceraian di luar sidang pengadilan merupakan pelanggaran Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan? Bagaimana pendapat
ustadz tentang pernyataan tersebut?
Ya saya setuju dengan pernyataan tersebut, supaya masalah perceraian
ini dapat di tangani dengan benar, tertib dan masyarakat tidak semen-
mena dalam perihal pernikahan dan perceraian.
9. Bagaimana tanggapan ustadz ketika melihat atau mendengar ada
masyarakat yang melakukan perceraian di luar pengadilan?
Yang saya lakukan adalah sebatas menasehati, memberi saran dan
masukan agar dipikirkan matang-matang permasalahan yang terjadi,
namun jika memang sudah tidak dapat disatukan lagi, maka segeralah
diselesaikan maslah percerainnya di Pengadilan Agama.
10. Apakah upaya yang dilakukan para ustad atau tokoh agama di sini
berkaitan dengan permasalahan perceraian dalam bentuk tausiah atau
sosialisasi kepada masyarakat di desa ini?
Untuk penyampaian permasalahan perkawinan ataupun perceraian,
memang hingga saat ini belum ada upaya yang dilakukan, karena perihal
ini sangat tabuh bagi masyarakat di sini. Tetapi memang hal ini perlu
disampaikan pada masyarakat, insyallah nanti apabila ada kesempatan
saya bisa menyampaikan dan memberi himbauan kepada masyarakat
yang berkaitan dengan perceraian.

Serdang Jaya, 28 Juli 2015

Tokoh Agama

Ustad Lukman
WAWANCARA

Nama : Ustad Lani Hari/Tgl : Selasa, 28 Juli 2015

Jabatan : Tokoh Agama Waktu : 20.00 WIB

1. Apakah pengertian cerai (talak) dilihat dari sudut pandang Agama Islam?
Talak itu sendiri berarti melepas tali perkawinan dan mengakhiri
hubungan suami istri.
2. Apa hukum menjatuhkan talak dalam Agama Islam?
Adapun hukum talak itu sendiri adalah suatu perbuatan yang halal atau
dibolehkan, akan tetapi dibenci oleh Allah. Seperti sabda Rasulullah SAW
yang berbunyi:

Inilah hadis yang dijadikan dalil dalam hukum menjatuhkan talak, maka
menjatuhkan talak itu bukanlah sebagai perbuatan ibadah, bahkan sama
sekali tidak ada pahalanya.

3. Apakah akibat yang ditimbulkan dari perceraian (talak)?


Akibat yang timbul adalah apabila pasangan tersebut sudah mempunyai
anak, maka suami wajib memberikan biaya pemeliharaan atau nafkah
untuk anaknya tersebut. Kemudian ada juga masa iddah bagi perempuan
dan juga memberikan mut’ah kepada mantan istri boleh berupa uang
ataupun benda.
4. Menurut pendapat ustad, apakah masih ada masyarakat di sini yang
melakukan perceraian di luar pengadilan?
Menurut saya masih ada, karena informasi seperti ini belum tentu sampai
kepada mereka dan juga kurangnya pengetahuan dan kesadaran hukum
masyarakat tentang perceraian yang harusnya diselesaikan di Pengadilan
Agama. Menurut sebagian masyarakat juga ada yang berpendapat bahwa
perceraian dengan mengucapkan talak itu sudah cukup dan sah menurut
agama, sehingga mereka tidak peduli dengan peraturan yang ada.
5. Apa faktor yang melatarbelakangi masyarakat di desa Serdang jaya ini
masih melakukan perceraian diluar pengadilan?
Sepengetahuan saya, kebanyakan karena rasa malas pada warga untuk
mengurusnya di Pengadilan, karena selain membutuhkan biaya juga
proses perceraian yang lama. Selain dari pada itu juga faktor biaya,
karena tidak semua warga mempunyai ekonomi yang cukup.
6. Adakah kejadian yang pernah ustad alami berkaitan dengan perceraian
yang terjadi pada masyarakat, misalnya diminta untuk menjadi saksi
dalam perceraian?
Selama saya di sini belum ada warga yang melibatkan saya menjadi saksi
permasalahan perceraian. Sepengetahuan saya yang biasa dilibatkan
adalah ketua Rt dan pak Lurah. Akan tetapi, memang ada beberapa
masyarakat yang berkonsultasi untuk meminta pendapat, nasihat dan
arahan dari saya tentang permaslahan yang dialaminya dalam rumah
tangga.
7. Pada ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
khususnya pada Pasal 39 ayat (1) yang menyatakan bahwa “perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak”, apakah menurut ustadz peraturan perundang-undangan ini
diperlukan?
Peraturan seperti ini wajib,karena perkara ini adalah perkara ibadah.
Perkara ibadah ini tidak bisa menggunakan pendapat yang tidak
berdasarkan hukum agama. Dan harus diselesaikan di Pengadilan
Agama, kenapa? Karena untuk menjelaskan posisi hukum secara
tertulisnya, bahwa perceraianya sudah berkekuatan hukum dan diakui
oleh negara, dengan mengikuti aturan yang sudah dibuat oleh
pemerintahan negara, karena pemerintah itu sebagai ulil amri kita.
Dengan adanya aturan ini untuk mempersulit perceraian dan supaya
masyarakat tidak menganggap remeh.
8. Perceraian di luar sidang pengadilan merupakan pelanggaran Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan? Bagaimana pendapat
ustadz tentang pernyataan tersebut?
Iya saya setuju dengan pernyataan tersebut, supaya ketertiban
administrasi masyarakat dalam hal urusan rumah tangga lebih teratur
dan juga di masa yang akan datang apabila salah satunya ingin menikah,
tidak akan rumit urusannya dan jelas statusnya kalau sudah bercerai di
pengadilan.
9. Bagaimana tanggapan ustadz ketika melihat atau mendengar ada
masyarakat yang melakukan perceraian di luar pengadilan?
Yang saya bisa lakukan adalah memberikan nasihat, masukan dan saran
pada masyarakat untuk segera menyelesaikan masalah rumah tangganya
segera ke Pengadilan, apabila masih bisa di perbaiki, lebih baik
dipertahankan rumah tangganya.
10. Apakah upaya yang dilakukan para ustad atau tokoh agama di sini
berkaitan dengan permasalahan perceraian dalam bentuk tausiah atau
sosialisasi kepada masyarakat di desa ini?
Kalau secara pribadi, saya memberikan himbauan, nasihat dan saran
kepada warga yang bermasalah dalam rumah tangga, agar segera
menyelesaikannya secara baik-baik, karena memang ada beberapa warga
yang berkonsultasi kepada saya perihal masalah dalam rumah tangga.
Namun untuk upaya sosialis secara keseluruhan, saya belum pernah,
karena ini menyangkut permasalah pribadi, mudah-mudah suatu saat
nanti saya bisa melakukan upaya tersebut kepada masyarakat.

Serdang Jaya, 28 Juli 2015

Tokoh Agama

Ustad Lani
WAWANCARA

Nama : Sugiyanto Hari/Tgl : Rabu, 3 Juni 2015

Umur/Peker: 35/Wiraswasta waktu : 15.00 WIB

1. Tahun berapakah bapak/ibu menikah?


Saya menikah pada tahun 2001.
2. Kapan bapak/ibu bercerai dengan suami/istri anda?
Saya bercerai pada tahun 2013.
3. Menurut bapak/ibu apa perceraian itu?
Perceraian itu adalah berpisah antara suami dengan istri.
4. Di mana bapak/ibu melakukan perceraian dan apa penyebabnya?
Kemudian bagaimana proses perceraiannya?
Saya melakukan perceraian di rumah. Adapun penyebab perceraian saya
adalah ketidakcocokan saja. Sedangkan proses perceraiannya saya
langsung antarkan saja kerumah orang tua istri saya.
5. Siapa saja yang hadir waktu proses perceraian bapak/ibu dan berapa lama
proses perceraiannya?
Yang hadir pada waktu proses perceraian saya adalah orang tua dan
paman saya, sedangkan proses perceraiannya hanya satu hari.
6. Apakah ada proses perdamaian sebelum bapak/ibu bercerai?
Tidak, tidak ada proses perdamaian.
7. Apakah bapak/ibu mendapatkan kesulitan setelah melakukan perceraian di
luar sidang pengadilan?
Belum ada kesulitan yang saya alami hingga saat ini.
8. Menurut bapak/ibu, dimanakah melakukan proses perceraian yang benar?
Alasannya!
Di Pengadilan Agama, karena memang biasanya untuk mengurus masalah
perceraian di sana.
9. Apakah bapak/ibu tahu bahwa sebenarnya perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang pengadilan?
Iya, saya sudah tahu.
10. Apakah bapak/ibu mengetahui atau pernah mendengar tentang Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan?
Iya, saya pernah mendengar.
11. Pada ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
khususnya pada Pasal 39 ayat (1) yang menyatakan bahwa “perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak”, menurut bapak/ibu, apakah perlu adanya peraturan yang mengatur
mengenai perceraian? Alasannya!
Menurut saya itu perlu, karena untuk memperjelas tentang kewajiban dan
hak-hak yang harus dipenuhi terutama untuk masalah anak.
12. Perceraian di luar sidang pengadilan merupakan pelanggaran Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, bagaimana pendapat
bapak/ibu tentang pernyataan diatas?
Iya, saya sependapat dengan hal tersebut.
13. Menurut bapak/ibu, apakah akibat perceraian yang dilakukan di luar
sidang pengadilan?
Akibatnya ketika nanti mau menikah lagi dan juga mengenai masalah
anak.
14. Apakah bapak/ibu tahu hak dan kewajiban bapak/ibu setelah perceraian?
Yang saya tahu yaitu membiayai dan menafkahi anak saja.
15. Apakah bapak/ibu tahu bagaimana proses melakukan perceraian di
pengadilan?
Yang saya ketahui itu prosesnya sangat rumit itu saja.

Jambi, 3 Juni 2015

Narasumber

Sugiyanto
WAWANCARA

Nama : Fatonah Hari/Tgl : Sabtu, 11 Juni 2015

Umur/Pkrj: 22/Ibu Rumah Tangga Waktu : 11.00 WIB

1. Tahun berapakah bapak/ibu menikah?

Saya menikah pada tahun 2011.

2. Kapan bapak/ibu bercerai dengan suami/istri anda?

Saya berpisah pada tahun 2013.

3. Menurut bapak/ibu apa perceraian itu?

Perceraian adalah berpisahnya suami dengan istri.

4. Di mana bapak/ibu melakukan perceraian dan apa penyebabnya?

Kemudian bagaimana proses perceraiannya?

Di rumah, sedangkan penyebabnya adalah karena pertengkaran, KDRT

(kekerasan dalam rumah tangga) dan tidak diberikan nafkah lahir

maupun batin. Sedangkan proses percerainnya, saya langsung pulang

kerumah.

5. Siapa saja yang hadir waktu proses perceraian bapak/ibu dan berapa lama

proses perceraiannya?

Orang tua kedua belah pihak, yaitu orang tua istri dan suami. Dan proses

perceraiannya berlangsung selama 1 minggu.

6. Apakah ada proses perdamaian sebelum bapak/ibu bercerai?

Ada proses perdamaian sebelum bercerai yang dilakukan oleh kedua

belah pihak keluarga.


7. Apakah bapak/ibu mendapatkan kesulitan setelah melakukan perceraian

diluar pengadilan?

Kesulitan yang saya alami setelah bercerai adalah tidak diberikannya

nafkah untuk biaya pemeliharaan anak saya.

8. Menurut bapak/ibu dimanakah melakukan proses perceraian yang benar?

Alasannya!

Di Pengadilan Agama, karena memang tempat berceraia diurus disana.

9. Apakah bapak/ibu tahu bahwa sebenarnya perceraian hanya dapat

dilakukan di depan sidang pengadilan?

Iya, saya tahu bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di pengadilan.

10. Apakah bapak/ibu mengetahui atau pernah mendengar tentang Undang-

undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan?

Pernah mendengar saja, namun secara rinci tentang UU tersebut saya

kurang mengetahuinya.

11. Pada ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

khususnya pada Pasal 39 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Perceraian

hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang

bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah

pihak”, menurut pendapat bapak/ibu, apakah perlu adanya peraturan yang

mengatur mengenai perceraian? Alasannya!

Perlu, agar dapat menertibkan masalah perkawinan dan supaya tidak

sembarangan bercerai.
12. Perceraian di luar sidang pengadilan merupakan pelanggaran Undang-

undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan? Bagaimana pendapat

bapak/ibu tentang pernyataan tersebut?

Tidak, saya kurang sependapat dengan pernyataan tersebut.

13. Menurut bapak/ibu apakah akibat apabila perceraian dilakukan diluar

pengadilan?

Tidak mendapatkan kejelasan tentang nafkah anak.

14. Apakah bapak/ibu tahu bagaimana proses melakukan perceraian di

pengadilan?

Yang saya tahu yaitu mengadukan perkara tersebut ke Pengadilan,

kemudian mengikuti proses persidangan dan ada juga proses mediasi.

15. Apakah bapak/ibu tahu hak dan kewajiban bapak/ibu setelah perceraian?

Mengurus dan menafkahi anak saya.

16. Apakah ibu mendapat hak-hak yang seharusnya ibu terima dari mantan

suami ibu setelah bercerai?

Tidak, saya tidak mendapatkan hak-hak yang seharusnya saya terima dari

mantan suami saya, seperti nafkah untuk pemeliharaan anak.

Serdang Jaya, 11 Juni 2015

Narasumber

Fatonah
WAWANCARA

Nama : Janatun Hari/Tgl : Sabtu, 11 Juni 2015

Umur/Pkrj : 29/wiraswasta Waktu : 11.50 WIB

1. Tahun berapakah bapak/ibu menikah?


Saya menikah tahun 2013.
2. Kapan bapak/ibu bercerai dengan suami/istri anda?
Saya bercerai pada tahun 2015.
3. Menurut bapak/ibu apa perceraian itu?
Perceraian yaitu berpisah, kemudian suatu hal yang tidak bagus dan
menyakitkan, bahkan tidak ada orang yang menginginkan hal tersebut
terjadi pada dirinya.
4. Di mana bapak/ibu melakukan perceraian dan apa penyebabnya?
Kemudian bagaimana proses perceraiannya?
Di rumah, adapun penyabab perceraian saya yaitu ketidak harmonisasi
dalam rumah tangga dan tidak sepaham. Proses perceraiannya itu suami
menjatuhkan talak pada saya. .
5. Siapa saja yang hadir waktu proses perceraian bapak/ibu dan berapa lama
proses perceraiannya?
Yang hadir pada waktu itu yaitu orang tua, bapak Rt, dan bapak Kadus
sebagai saksi dalam penjatuhan talak. Adapun proses perceraiannya
hanya 1 hari.
6. Apakah ada proses perdamaian sebelum bapak/ibu bercerai?
Adapun dari pihak kami ada ingin melakukan perdamaian dan
membicaran hal tersebut dengan baik-baik, akan tetapi dari pihak suami
tidak menginginkan hal tersebut dan juga orang tuanya tidak melakukan
dan berkata apa-apa mengenai masalah ini.
7. Apakah bapak/ibu mendapatkan kesulitan setelah melakukan perceraian
diluar pengadilan?
Adapun kesulitan yang saya alami adalah berbagai macam cercaan
(omongan) orang-orang disekitar, namanya orang berceraikan dipandang
orang merupakan suatu hal tidak baik.
8. Menurut bapak/ibu dimanakah melakukan proses perceraian yang benar?
Alasannya!
Di Pengadilan Agama, karena Pengadilan merupakan suatu lembaga
yang ditugaskan Negara untuk menangani masalah perceraian. Jika
perceraian yang dilakukan di rumah saja, mungkin menurut agama sah,
akan tetapi tidak diakui oleh Negara.
9. Apakah bapak/ibu tahu bahwa sebenarnya perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang pengadilan?
Iya, saya tahu jika perceraian hanya dapat dilakukan di pengadilan.
10. Apakah bapak/ibu mengetahui atau pernah mendengar tentang Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan?
Tidak, saya tidak pernah mendengarnya.
11. Pada ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
khususnya pada Pasal 39 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak”, menurut pendapat bapak/ibu, apakah perlu adanya peraturan yang
mengatur mengenai perceraian? Alasannya!
Kalau menurut saya, mungkin dari peraturan tersebut ada beberapa pasal
yang diperlukan dan ada juga yang tidak diperlukan, namun saya tidak
tahu juga seperti apa. Mungkin untuk pembelajaran dan nasihat yang
baik.
12. Perceraian di luar sidang pengadilan merupakan pelanggaran Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan? Bagaimana pendapat
bapak/ibu tentang pernyataan tersebut?
Wah saya tidak paham juga mengenai hal itu.
13. Menurut bapak/ibu apakah akibat apabila perceraian dilakukan diluar
pengadilan?
Akibatnya adalah tidak ada kejelasan status pernikahan atau
menggantungkan hidup seseorang dan juga itu merugikan bagi saya.
14. Apakah bapak/ibu tahu bagaimana proses melakukan perceraian di
pengadilan?
Saya belum tahu tentang prosesnya.
15. Apakah bapak/ibu tahu hak dan kewajiban bapak/ibu setelah perceraian?
Ya mungkin semuanya serba sendiri, karena saya belum mempunyai anak
dari pernikahan ini.
16. Apakah ibu mendapat hak-hak yang seharusnya ibu terima dari mantan
suami ibu setelah bercerai?
Tidak, saya tidak mendapatkan hak apa-apa dari mantan suami saya,
yang saya dapatkan malah teror dari mantan suami saya.

Serdang Jaya, 11 Juni 2015

Narasumber

Janatun
WAWANCARA

Nama : Paula Agustina Hari/Tgl : Sabtu, 27 Juli 2015

Umur/Pkrj: 22/Ibu Rumah Tangga Waktu : 20.00 WIB

1. Tahun berapakah bapak/ibu menikah?

Menikah pada tahun 2010.

2. Kapan bapak/ibu bercerai dengan suami/istri anda?

Bercerai pada tahun 2013.

3. Menurut bapak/ibu apa perceraian itu?

Perceraian adalah berpisah.

4. Di mana bapak/ibu melakukan perceraian dan apa penyebabnya?

Kemudian bagaimana proses perceraiannya?

Di rumah, penyebabnya adalah karena sudah tidak cocok lagi dan sering

bertengkar. Proses percerainnya hanya disaksikan oleh kedua orang tua

lalu suami langsung pergi dari rumah.

5. Siapa saja yang hadir waktu proses perceraian bapak/ibu dan berapa lama

proses perceraiannya?

Orang tua saya saja, kemudian proses percerainnya hanya 1 hari.

6. Apakah ada proses perdamaian sebelum bapak/ibu bercerai?

Tidak ada proses perdamaian yang kami lakukan.

7. Apakah bapak/ibu mendapatkan kesulitan setelah melakukan perceraian

diluar pengadilan?
Adapun kesulitannya adalah tidak adanya nafkah untuk anak, sehingga

saya harus mencari uang untuk membiayai anak saya sendiri. Karena

memang mantan suami saya sudah tidak ada kabarnya.

8. Menurut bapak/ibu dimanakah melakukan proses perceraian yang benar?

Alasannya!

Mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama, karena sepengetahuan saya

memang di sana orang mengurus cerai.

9. Apakah bapak/ibu tahu bahwa sebenarnya perceraian hanya dapat

dilakukan di depan sidang pengadilan?

Iya, saya tahu hal itu.

10. Apakah bapak/ibu mengetahui atau pernah mendengar tentang Undang-

undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan?

Tidak, saya tidak pernah tahu Undang-undang tersebut.

11. Pada ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

khususnya pada Pasal 39 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Perceraian

hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang

bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah

pihak”, menurut pendapat bapak/ibu, apakah perlu adanya peraturan yang

mengatur mengenai perceraian? Alasannya!

Perlulah, karena untuk mengatur dan menertibkan masyarakat.

12. Perceraian di luar sidang pengadilan merupakan pelanggaran Undang-

undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan? Bagaimana pendapat

bapak/ibu tentang pernyataan tersebut?


Iya, saya sependapat sajalah.

13. Menurut bapak/ibu apakah akibat apabila perceraian dilakukan diluar

pengadilan?

Akibatnya akan susah nantinya jika ingin menikah lagi dan saya harus

mencari uang untuk membiayai anak saya.

14. Apakah bapak/ibu tahu bagaimana proses melakukan perceraian di

pengadilan?

Wah saya belum tahu tentang hal itu, karena belum pernah ke sana.

15. Apakah bapak/ibu tahu hak dan kewajiban bapak/ibu setelah perceraian?

Yang saya tahu mengurus dan menafkahi anak saya, karena anak tinggal

bersama saya.

16. Apakah ibu mendapat hak-hak yang seharusnya ibu terima dari mantan

suami ibu setelah bercerai?

Tidak, saya tidak mendapatkan hak-hak tersebut, karena sudah 2 tahun

saya tidak tahu keberadaannya dan tidak ada kabar dari mantan suami

saya, sehingga tidak ada nafkah yang diberiakan untuk anak saya.

Serdang Jaya, 27 Juli 2015

Narasumber

Paula Agustina
WAWANCARA

Nama :Nuryani Hari/Tgl : Kamis, 30 Juli 2015

Umur/Pkrj: 30/Penyanyi Dangdut Waktu : 10.00 WIB

1. Tahun berapakah bapak/ibu menikah?


Menikah pada tahun 2008.
2. Kapan bapak/ibu berpisah dengan suami/istri anda?
Berpisah dengan suami pada tahun 2013.
3. Menurut bapak/ibu apa perceraian itu?
Cerai itu ya apabila suami istri sudah tidak serumah dan pergi dari rumah
dengan adanya masalah dalam rumah tangga tersebut atau berpisah
antara suami dan istri.
4. Di mana bapak/ibu melakukan perceraian dan apa penyebabnya?
Kemudian bagaimana proses perceraiannya?
Saat berpisah itu dirumah dan suami langsung saja pergi dari rumah dan
membawa surat nikah kami. Penyebabnya karena suami saya sering
memukuli saya terus menerus atau KDRT. Prosesnya suami langsung
pergi saja dari rumah.
5. Siapa saja yang hadir waktu proses perceraian bapak/ibu dan berapa lama
proses perceraiannya?
Yang hadir atau tahu saya ditinggalkan suami saya adalah saya dan
orang tua saya saja, terjadi hanya 1 hari.
6. Apakah ada proses perdamaian sebelum bapak/ibu bercerai?
Tidak ada proses perdamaian, karena dia (suami) tidak berani untuk
datang lagi kerumah saya, soalnya dia sudah melakukan KDRT kepada
saya dan keluarga saya juga ingin menuntut atas perbuatannya ke polisi.
7. Apakah bapak/ibu mendapatkan kesulitan setelah melakukan perceraian
diluar pengadilan?
Iya ada, seperti status saya yang digantungkan dan saya juga bingung
karena surat nikah saya dibawa sama suami saya, sehingga jika ingin
mengurus masalah ini ke pengadilan akan sulit, karena surat nikah saya
tidak ada.
8. Menurut bapak/ibu dimanakah melakukan proses perceraian yang benar?
Alasannya!
Di Pengadilan Agama, karena sepengetahuan saya disitu tempatnya
karena saya sudah pernah mengurus perceraian saya disana dengan
suami saya yang pertama.
9. Apakah bapak/ibu tahu bahwa sebenarnya perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang pengadilan?
Iya saya tahu.
10. Apakah bapak/ibu mengetahui atau pernah mendengar tentang Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan?
Tidak, saya tidak pernah tahu tentang peraturan tersebut.
11. Pada ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
khususnya pada Pasal 39 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak”, menurut pendapat bapak/ibu, apakah perlu adanya peraturan yang
mengatur mengenai perceraian? Alasannya!
Iya memang peraturan seperti itu diperlukan, supaya ada kejelasan status
kami sebagai istri yang sudah pisah dengan suami dan tidak digantung,
dan juga jika ingin menikah lagi mudah jika sudah ada akta cerai. Tetapi
karena saya tidak ada biaya, jadi saya belum mengurus perceraian ini ke
pengadilan.
12. Perceraian di luar sidang pengadilan merupakan pelanggaran Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan? Bagaimana pendapat
bapak/ibu tentang pernyataan tersebut?
Karena saya tidak tahu, jadi saya setuju sajalah.
13. Menurut bapak/ibu apakah akibat apabila perceraian dilakukan diluar
pengadilan?
Akibatnya status saya yang tergantung dan saya tidak dapat hak asuh
anak saya.
14. Apakah bapak/ibu tahu bagaimana proses melakukan perceraian di
pengadilan?
Iya saya tahu prosesnya, karena saya sudah pernah bercerai di
pengadilan dengan suami saya yang pertama.
15. Apakah bapak/ibu tahu hak dan kewajiban bapak/ibu setelah perceraian?

Karena anak saya dibawa dengan manta suami dan saya tidak tahu
bagaimana kabar mantan suami, jadi ya kewajiban saya membiayai diri
saya dan anak saya dari pernikahan saya yang pertama.

16. Apakah ibu mendapat hak-hak yang seharusnya ibu terima dari mantan
suami ibu setelah bercerai?
Karena kabar pun sudah tidak ada dari suami, jadi saya tidak
mendapatkan apa-apa.

Serdang Jaya, 30 Juli 2015

Narasumber

Nuryani
WAWANCARA

Nama :Jemikan Hari/Tgl : Kamis, 30 Juli 2015

Umur/Pkrj:38/Petani Waktu : 12.30 WIB

1. Tahun berapakah bapak/ibu menikah?


Menikah pada tahun 2009.
2. Kapan bapak/ibu berpisah dengan suami/istri anda?
Berpisah dari tahun 2014.
3. Menurut bapak/ibu apa perceraian itu?
Perceraian adalah apabila suami istri sudah tidak bisa bersatu.
4. Di mana bapak/ibu melakukan perceraian dan apa penyebabnya?
Kemudian bagaimana proses perceraiannya?
Dirumah saya inilah, karena istri saya itu selingkuh dengan laki-laki lain
dan karena perselingkuhannya itu melalui hp tanpa pernah tatap muka
dan ternyata terjadi kesalahan, yaitu salah orang. Karena terlanjur
sangat cinta dengan orang tersebut dan tidak bisa terima dengan kesalah
pahaman tersebut, maka yang terjadi adalah istri saya stres berat dan
sudah saya coba bawa berobat ke sana ke sini, tetapi tidak ada hasilnya,
ya sudah lebih baik saya berpisah, karena itu juga bukan kesalahan saya.
Prosesnya saya langsung antar dia kerumah orang tuanya.
5. Siapa saja yang hadir waktu proses perceraian bapak/ibu dan berapa lama
proses perceraiannya?
Yang tahu dan hadir pada waktu hanya saya dan istri saya, karena itu
terjadi dirumah kami.
6. Apakah ada proses perdamaian sebelum bapak/ibu bercerai?
Iya memang ada omongan dengan orang tua istri, kalau bisa diperbaiki ya
saya perbaiki rumah tangga ini. Namun jika memang sudah tidak bisa,
maka saya serahkan masalah dan urusan ini kepada pihak istri untuk
mengurusnya, karena permasalahan ini timbul bukan karena kesalahan
saya, tetapi kesalahan yang dibuat oleh istri saya.
7. Apakah bapak/ibu mendapatkan kesulitan setelah melakukan perceraian
diluar pengadilan?
Sejauh ini belum ada kesulitan yang saya alami setelah berpisah dari istri.
8. Menurut bapak/ibu dimanakah melakukan proses perceraian yang benar?
Alasannya!
Setahu saya di Pengadilan Agama, memang tempat menyelesaikan
masalah cerai disana.
9. Apakah bapak/ibu tahu bahwa sebenarnya perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang pengadilan?
Kalau itu saya karang paham juga.
10. Apakah bapak/ibu mengetahui atau pernah mendengar tentang Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan?
Tidak, saya tidak pernah mendengarnya.
11. Pada ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
khususnya pada Pasal 39 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak”, menurut pendapat bapak/ibu, apakah perlu adanya peraturan yang
mengatur mengenai perceraian? Alasannya!
Perlu, karena untuk ketertiban dan juga supaya ada kejelasan saat
hubungan suami istri yang sudah bercerai.
12. Perceraian di luar sidang pengadilan merupakan pelanggaran Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan? Bagaimana pendapat
bapak/ibu tentang pernyataan tersebut?
Ya saya ikut sajalah dengan peraturan yang dibuat oleh pemerintah.
13. Menurut bapak/ibu apakah akibat apabila perceraian dilakukan diluar
pengadilan?
Ketidak jelasan status.
14. Apakah bapak/ibu tahu bagaimana proses melakukan perceraian di
pengadilan?
Saya tidak tahu itu bagaimana prosesnya, karena saya belum pernah.
15. Apakah bapak/ibu tahu hak dan kewajiban bapak/ibu setelah perceraian?

Yang saya tahu memelihara anak dan menafkahi anak, karena anak
tinggal bersama dengan saya.

Serdang Jaya, 30 Juli 2015

Narasumber

Jemikan
WAWANCARA

Nama :Yulis Indrawani Hari/Tgl : Kamis, 30 Juli 2015

Umur/Pkrj: 28/Wiraswasta Waktu : 19.30 WIB

1. Tahun berapakah bapak/ibu menikah?

Saya menikah pada tahun 2009.

2. Kapan bapak/ibu berpisah dengan suami/istri anda?

Berpisah dengan suami pada tahun 2014.

3. Menurut bapak/ibu apa perceraian itu?

Cerai itu berarti pisah, memang cerai itu merupakan hal yang tidak baik,

namun jika dengan bercerai itu bisa menjadi lebih baikkan tidak apa-apa,

dari pada dirumah sering terjadi pertengkaran.

4. Di mana bapak/ibu melakukan perceraian dan apa penyebabnya?

Kemudian bagaimana proses perceraiannya?

Dirumah kami, karena pada saat itu saya diusir oleh suami dari rumah.

Adapun penyebabnya adalah suami kurang tanggung jawab, tidak ada

keterbukaan dari suami dan tidak mau menghargai perempuan, karena

suami sering menuduh saya yang macam-macam, karena saya ini bekerja

disalah satu kantor desa. Proses percerainnya itu dengan sindiran yaitu

mengusir saya dari rumah.

5. Siapa saja yang hadir waktu proses perceraian bapak/ibu dan berapa lama

proses perceraiannya?
Yang menyaksikan perceraian hanya kami (suami dan istri) saja, terjadi

hanya 1 hari.

6. Apakah ada proses perdamaian sebelum bapak/ibu bercerai?

Kami dari pihak istri memang menunggu kedatangan keluarga dari pihak

suami untuk membicarakan permasalahan ini, agar menemukan solusi

terbaik untuk rumah tangga kami, namun dari pihak suami sudah tidak

ada niat baik lagi untuk datang kerumah kami, dan memperbaiki

kesalahannya serta membicarakan permasalahan yang kami hadapi.

7. Apakah bapak/ibu mendapatkan kesulitan setelah melakukan perceraian

diluar pengadilan?

Iya ada, kesulitannya adalah tidak ada kejelasan status atau digantungnya

status saya, kemudian juga suami kekeh untuk tidak mau bercerai, namun

dia tidak mau memperbaiki kesalahannya.

8. Menurut bapak/ibu dimanakah melakukan proses perceraian yang benar?

Alasannya!

Di Pengadilan Agama, karena memang tempat orang menyelasaikan

masalah cerai disitu dan mungkin ada solusi yang didapat di pengadilan,

siapa tahu saja kami bisa kembali lagi dengan adanya mediasi, jika tidak

ada jalan keluar jalan terakhir yang ditempuh adalah dengan perceraian.

9. Apakah bapak/ibu tahu bahwa sebenarnya perceraian hanya dapat

dilakukan di depan sidang pengadilan?

Iya saya tahu itu.


10. Apakah bapak/ibu mengetahui atau pernah mendengar tentang Undang-

undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan?

Tidak, saya tidak pernah mendengarnya.

11. Pada ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

khususnya pada Pasal 39 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Perceraian

hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang

bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah

pihak”, menurut pendapat bapak/ibu, apakah perlu adanya peraturan yang

mengatur mengenai perceraian? Alasannya!

Ya peraturan itu diperlukan, karena jika salah satu suami istri ingin

menikah lagi, maka harus ada bukti akta perceraiannya. Dan juga untuk

ketertiban, agar tidak asal bercerai dan meninggalkan perempuan begitu

saja. Karena akibat yang timbul jika tidak diselesaikan di pengadilan

adalah akan mempersulit ketika akan membuat akta kelahiran anak.

12. Perceraian di luar sidang pengadilan merupakan pelanggaran Undang-

undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan? Bagaimana pendapat

bapak/ibu tentang pernyataan tersebut?

Memang benar pernyataan tersebut, karena manusia hidup itu mempunyai

aturan dan begitu juga dengan perkawianan sudah ada aturan yang

mengatur termasuk peraturan undang-undang itu.

13. Menurut bapak/ibu apakah akibat apabila perceraian dilakukan diluar

pengadilan?
Tidak mendapatkan nafkah dari suami, sedangkan untuk anak saya itu

masih diberikan nafkah oleh suami, namun jarang.

14. Apakah bapak/ibu tahu bagaimana proses melakukan perceraian di

pengadilan?

Saya belum tahu jelasnya seperti apa prosesnya, yang saya tahu ada

mediasi.

15. Apakah bapak/ibu tahu hak dan kewajiban bapak/ibu setelah perceraian?

Yang saya tahu memlihara anak, membiayain anak dan juga mencari

nafkah untuk kebutuhan saya dan anak saya.

16. Apakah ibu mendapat hak-hak yang seharusnya ibu terima dari mantan

suami ibu setelah bercerai?

Setelah berpisah saya tidak mendapatkan apa-apa dari suami.

Serdang Jaya, 30 Juli 2015

Narasumber

Yulis Indrawani
Foto ketika melakukan wawancara dengan Drs. H. Mhd. Dongan., selaku Hakim Pengadilan
Agama Kuala Tungkal, tanggal 16 Juni 2015.
Foto ketika melakukan wawancara dengan Ghozi S.Ag., MA., selaku Panitera Muda Hukum
Pengadilan Agama Kuala Tungkal, tanggal 8 Juni 2015.
Foto ketika melakukan wawancara dengan Darmayulis SH., selaku Kepala Desa Serdang
Jaya, tanggal 1 Juli 2015.

Foto ketika melakukan wawancara dengan Ahmad Shoib, selaku Ketua RT. 02 Desa Serdang
Jaya, tanggal 27 Juli 2015.
Foto ketika melakukan wawancara dengan Sudarsono, selaku Ketua RT.12 Desa Serdang
Jaya, tanggal 28 Juli 2015.

Foto ketika melakukan wawancara dengan Lukman, selaku tokoh agama Desa Serdang Jaya,
tanggal 28 Juli 2015.
Foto ketika melakukan wawancara dengan Lani, selaku tokoh agama Desa Serdang Jaya,
tanggal 28 Juli 2015.

Foto ketika melakukan wawancara dengan Sugiyanto dan Janatun, salah satu warga Desa
Serdang Jaya yang sudah berpisah dengan pasangannya, tanggal 3 Juni & 11 Juni 2015.
Foto ketika melakukan wawancara dengan Fatonah, salah satu warga Desa Serdang Jaya
yang sudah berpisah dengan pasangannya, tanggal 11 Juni 2015.

Foto ketika melakukan wawancara dengan Paula Agustina dan Jemikan, salah satu warga
Desa Serdang Jaya yang sudah berpisah dengan pasangannya, tanggal 27 & 30 Juli 2015.
Foto ketika melakukan wawancara dengan Nuryani dan Yulis Indrawani, salah satu warga
Desa Serdang Jaya yang sudah berpisah dengan pasangannya, tanggal 30 Juli 2015.

Anda mungkin juga menyukai