Anda di halaman 1dari 7

NAMA MAHASISWA : SALVINUS BALA

NIM : 048262072
JURUSAN : S1-ILMU HUKUM

TUGAS 2 – HKUM4309

Butir Soal
1. Krisno bersahabat dengan Diding. Krisno merupakan pengusaha meubel
di daerah Bandung, namun Diding adalah seorang bandar narkoba. Pada
suatu hari, Diding memberikan uang hasil bisnis narkoba kepada Krisno
sebesar Rp.100.000.000,- sebagai tambahan modal usaha meuble. Krisno
mengetahui bahwa uang tersebut merupakan hasil dari bisnis narkoba
Diding. Dari uang tersebut, Krisno menjadikannya modal usaha dan
memberikan keuntungannya kepada Diding.

Soal:
Pada kasus tersebut apakah Krisno telah melakukan tindak pidana?
Berikan penjelasan Saudara!

2. Hukum acara pidana yang digunakan dalam perkara pelanggaran HAM


yang berat adalah ketentuan Hukum Acara Pidana yang berlaku. Namun,
jika membaca UU Pengadilan HAM, terdapat pengecualian dari ketentuan
Hukum Acara Pidana yang kita pahami dalam tindak pidana
umum. Setelah membaca UU Pengadilan HAM, klasifikasikanlah
pengecualian seperti apa UU Pengadilan HAM terhadap KUHAP! (minimal
7 klasifikasi)

3. CONTOH KASUS
Bu Lela memiliki anak berusia 20 tahun yang bernama Ujang Codet.
Mereka tinggal satu rumah. Ujang Codet merupakan pecandu narkotika.
Setiap harinya ia pasti menggunakan narkotika jenis shabu-shabu. Bu
Lela mengetahui hal tersebut, namun ia enggan melaporkannya kepada
pihak berwajib.
Melihat contoh kasus di atas, apakah Bu Lela dapat dipidana? Berikan
analisis kasus tersebut disertai dasar hukumnya!
JAWABAN :

SOAL 1.
Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaar feit”,
yang di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak menjelaskan apa
sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaar feit tersebut, dan biasanya
disinonimkan dengan delik yang berasal dari bahasa Latin yakni delictum. Di
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, delik didefinisikan sebagai perbuatan
yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap
undang-undang tindak pidana. Sehingga dengan merujuk rumusan tersebut,
delik (strafbaar feit) memuat beberapa unsur sebagai berikut :
1. Suatu perbuatan manusia;
2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-
undang;
3. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung
jawabkan.

Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan istilah yuridis yang


digunakan sebagai terjemahan dari Money Laundering. Istiah Money
Laundering pertama kali digunakan di Amerika Serikat pada tahun 1982 yang
menunjuk kepada pencucian hak milik mafia yang diperoleh secara tidak sah
dengan maksud agar hasil tersebut terlihat seolah-olah berasal dari hasil yang
sah. Kriminalisasi terhadap money laundering pertama kali dilakukan oleh
pemerintah Indonesia pada tahun 2002 melalui Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang kemudian
mengalami perubahan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang, lalu dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang maka Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2003 tersebut dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Untuk
selanjutnya, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang disebut dengan UU PPTPPU.
Pasal 2 ayat (1) UU PPTPPU, menentukan dua puluh enam jenis
tindak pidana asal (predicate crimes) dari Tindak Pidana Pencucian Uang,
yaitu: korupsi; penyuapan; narkotika; psikotropika; penyelundupan tenaga
kerja; penyelundupan migran; di bidang perbankan; di bidang pasar modal; di
bidang perasuransian; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan
senjata gelap; terorisme; penculikan; pencurian; penggelapan; penipuan;
pemalsuan uang; perjudian; prostitusi; di bidang perpajakan; di bidang
kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan;
atau tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara empat tahun
atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana
tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

UU PPTPPU memberikan definisi Tindak Pidana Pencucian Uang di


dalam Pasal 1 angka 1, yaitu Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini. Definisi Tindak Pidana Pencucian Uang di dalam UU
PPTPPU membatasi Tindak Pidana Pencucian Uang dengan unsur-unsur
tindak pidana yang dimuat di dalam undang-undang tersebut. Hal ini berbeda
dengan definisi Tindak Pidana Pencucian Uang yang diatur di dalam Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang yang memberikan definisi Pencucian Uang adalah perbuatan
menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,
menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau
perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga
merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau
menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta
Kekayaan yang sah. Definisi Tindak Pidana Pencucian Uang yang diatur di
dalam UU PPTPPU lebih luas karena meliputi segala perbuatan yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan undang-
undang tersebut, dibandingkan dengan definisi yang diatur di dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Tindak Pidana Pencucian Uang di dalam UU PPTPPU dibedakan atas
tiga jenis yang diatur dalam tiga pasal sebagai berikut:
a. Tindak Pidana Pencucian Uang aktif, terdapat dalam Pasal 3 dan Pasal 4.
Rumusan Pasal 3 yakni “Setiap orang yang menempatkan, mentransfer,
mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan,
menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan
dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan
tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan
dipidana karena tindak pdana Pencucian Uang dengan pidana penjara
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”. Rumusan Pasal 4 yakni
“Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul,
sumber, lokasi, peruntukan,
pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana
karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama
20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah)”.

b. Tindak Pidana Pencucian Uang pasif, terdapat dalam Pasal 5. Rumusan


Pasal 5 ayat (1) yakni “Setiap orang yang menerima atau menguasai
penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan,
penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah)”. Pasal 5 ayat (2) merumuskan “Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang
melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini”.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat saya simpulkan bahwa
perbuatan yang dilakukan oleh krisno masuk kategori tindak pidana yang
diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang disebut
dengan UU PPTPPU.

SOAL 2.
Klasifikasi Pengecualian UU Pengadilan HAM terhadap KUHAP:
1. Pembentukan Pengadilan HAM
2. Kewenangan Penyelidikan
3. Penyelenggaraan Sidang
4. Pembuktian
5. Pemidanaan
6. Peninjauan Kembali Perkara
7. Perlindungan Saksi dan Korban

Pembahasan
Klasifikasi Pengecualian UU Pengadilan HAM terhadap KUHAP
1. Pembentukan Pengadilan HAM: UU Pengadilan HAM membentuk
pengadilan HAM ad hoc dan pengadilan HAM permanen yang berbeda
dari struktur peradilan pidana umum dalam KUHAP.
2. Kewenangan Penyelidikan: Penyidik Komnas HAM dan Jaksa Agung
memiliki kewenangan penyelidikan pelanggaran HAM berat, selain
kewenangan penyidik Polri dalam KUHAP.
3. Penyelenggaraan Sidang: Sidang perkara pelanggaran HAM berat di
Pengadilan HAM menggunakan sistem majelis hakim dengan jumlah
hakim yang lebih banyak dan melibatkan unsur masyarakat sipil.
4. Pembuktian: Ketentuan pembuktian dalam UU Pengadilan HAM lebih
longgar dibandingkan KUHAP, termasuk pengakuan korban dan alat
bukti yang diperoleh dengan cara yang tidak sah dapat diterima.
5. Pemidanaan: Sanksi pidana untuk pelanggaran HAM berat dalam UU
Pengadilan HAM lebih berat dibandingkan KUHAP, termasuk pidana mati.
6. Peninjauan Kembali Perkara: Perkara pelanggaran HAM berat tidak dapat
diajukan peninjauan kembali seperti dalam KUHAP.
7. Perlindungan Saksi dan Korban: UU Pengadilan HAM memberikan
perlindungan yang lebih kuat bagi saksi dan korban pelanggaran HAM
berat, termasuk pemberian restitusi.

SOAL 3.
Mengenai peran masyarakat terkait tindak pidana narkotika telah di
atur secara umum di dalam BAB XIII Mengenai Peran Serta Masyarakat UU
No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, undang- undang ini menentukan
bahwa masyarakat dapat melaporkan tindak pidana narkotika sebagaimana
dalam Pasal 107 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, masyarakat dapat
melaporkan kepada pejabat yang berwenang atau BNN jika mengetahui
adanya penyalahgunaan atau peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika. Ini merupakan salah satu bentuk atau wujud peran serta
masyarakat dalam pemberantasan penyalahgunaan dan tindak pidana
narkotika.
Berdasarkan kasus soal apakah ibu Lela bisa dipidana jika tidak
melaporkan perbuatan pidana?
Perbuatan Ibu Lela dapat dipidana sesuai rumusan Pasal 131 UU No.35
Tahun 2009 Tentang Narkotika yang berbunyi :
“Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114,
Pasal 115,Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121,
Pasal 122, Pasal123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal
128 ayat (1), dan Pasal 129 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah).”
Pasal tersebut menyiratkan bahwa setiap orang yang mengetahui
terjadinya tindak pidana narkotika wajib melaporkannya kepada pihak yang
berwajib. Rumusan Pasal 131 ini menimbulkan beberapa penafsiran di
dalamnya, mengenai apakah seseorang yang diwajibkan melapor ini haruslah
melihat secara langsung ataukah atau cukup hanya dengan menerima
informasi dari orang lain pun ia harus melaporkannya kepada pihak yang
berwajib. Oleh karena itu di butuhkan pengklasifikasian yang jelas tentang
kategori pembiaran tindak pidana di dalam Pasal 131 ini, antara lain seperti
apakah seseorang harus melihat langsung ataukah cukup dengan mengetahui
informasi tentang terjadinya tindak pidana tersebut sehingga seseorang dapat
di kategorikan melakukan perbuatan pembiaran tindak pidana narkotika
terkait dengan Pasal 131 UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ini.
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa seseorang yang dapat
dikatakan melakukan pembiaran tindak pidana dan dapat di jerat dengan
Pasal 131 ini adalah orang yang melihat secara langsung terjadinya sebuah
tindak pidana narkotika namun tidak melaporkannya kepada pihak yang
berwajib. Kondisi demikian yang dapat di katakan melakukan pembiaran
tindak pidana dan dapat di jerat dengan Pasal 131 ini sesuai dengan pendapat
dari R. Soesilo mengatakan bahwa menurut Pasal 45 Herzien Inlandsch
Reglement (H.I.R), maka orang yang kena atau mengetahui peristiwa pidana
berhak untuk memberitahukan hal itu pada yang berwajib. Ini berarti bahwa
hal memberitahukan itu adalah suatu hak, bukan suatu kewajiban yang
apabila diabaikan ada ancaman hukumannya. Akan tetapi, dalam hal-hal
yang tersebutpada Pasal 164 dan Pasal 165 KUHP, orang yang mengetahui
suatu peristiwa pidana yang tidak memberitahukan pada polisi dan justisi
diancam hukuman.

Sumber :
M. Ilham Wira Pratama. Analisis Terhadap Sanksi Pidana Tindak Pidana
Pencucian Uang (Perspektif Economic Analysis of Law). Indonesian
Journal of Criminal Law and Criminology (IJCLC), Volume. 3, Issue. 1,
Maret 2022, 12-27. E-ISSN: 2745-7184, P-ISSN: 2745-7192.
Enzelica Fatricia, dkk. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Yang Tidak Melaporkan
Adanya Penyalahgunaan Narkotika. Humani (Hukum dan Masyarakat
Madani), Volume 13, No. 1, Mei 2023, Halaman 32-39. P-ISSN: 1411-
3066, E-ISSN: 2580-8516.

Anda mungkin juga menyukai