Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI KONTEKS


OTONOMI DAERAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Pancasila
Dengan Dosen Pembimbing Muhammad Hasib, S.H.I., M.H.

Disusun oleh :
Kelompok 7

1. Aliffa Mauliana Dewi (1860101221005)

2. Amelia Kusuma Wardani (1860101221020)

3. Fahmi Ahibb'sil Mubarok (1860101221016)

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH
TULUNGAGUNG

2022/2023

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Pancasila Sebagai Ideologi Konteks Otonomi Daerah"
ini tepat pada waktunya.Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
pada mata kuliah Pancasila. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan
makalah ini. Ucapan terimakasih tidak lupa kami sampaikan kepada:
1.Bapak Prof. Dr. Hj. Maftuhin M.Ag selaku Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
2.Bapak Dr. Ahmad Muhtadi Ansor,M.Ag selaku Dekan FASIH UIN Sayyid Ali Rahmatullah
Tulungagung
3.Bapak Abdul Khoir Waatimenaa,M.H selaku Ketua Jurusan Hukum Ekonomi Syariah
4.Bapak Muhammad Hasib, S.H.I., M.H. selaku Dosen Mata Kuliah Pancasila
5.Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Tulungagung, 31 Agustus 2022

Kelompok 7

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................................................3
BAB I...............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN..........................................................................................................................4
A. Latar Belakang........................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................4
C. Tujuan......................................................................................................................................4
BAB II.............................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.............................................................................................................................5
2.1 Pengertian Otonomi Daerah...................................................................................................5
2.2 Permasalahan yang ada dalam Otonomi Daerah....................................................................6
2.3 Kelebihan dan kekurangan dalam penerapan otonomi daerah...............................................9
BAB III.........................................................................................................................................11
PENUTUP....................................................................................................................................11
Kesimpulan................................................................................................................................11
Daftar Rujukan............................................................................................................................12

3
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia diyakini dapat mendekatkan
pelayanan publik, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan memajukan demokrasi lokal.
Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia, terdiri dari ribuan pulau dengan ratusan budaya dan subkultur
yang tersebar di nusantara. Karena lokasi yang sangat beragam, pelaksanaan otonomi daerah
sangat tepat. Hal ini akan memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi setiap daerah untuk
berkembang sesuai dengan potensi alam dan sumber daya manusia yang ada di masing-masing
daerah, sehingga tercipta suasana persaingan antar daerah untuk kemakmuran rakyat.
Karena semua kebijakan keuangan, administrasi dan politik diatur dari pusat Jakarta,
persaingan dan suasana persaingan antar daerah sebagian besar tidak diketahui di masa lalu. Ada
sedikit ruang bagi para pemimpin lokal untuk menetapkan kebijakan mereka sendiri. Bupati atau
walikota yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) ditolak oleh pemerintah
pusat jika tidak sejalan dengan kepentingan politik elit penguasa Jakarta. Pada saat itu, eksekutif
lokal dan parlemen hanyalah ujung jari dari otoritas pusat lokal. Sebuah sistem yang dirancang
untuk mempertahankan status quo otoriter di bawah rezim Orde Baru menghancurkan harapan
normatif yang ditempatkan pada DPRD sebagai perwakilan nasional, deputi dan parlemen
direkrut.
Perjuangan reformasi yang kemudian berujung pada tumbangnya rezim Orde Baru pada
tahun 1997 membuka peluang untuk merombak pemerintahan yang terpusat. Salah satu pilar
reformasi adalah pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Meskipun pemerintah pusat
melaksanakan desentralisasi sebagai hasil reformasi politik, desentralisasi dan otonomi daerah
dipandang sebagai pemberian (kedermawanan) dari pemerintah pusat dalam pembagian
kekuasaan kepada daerah. Indonesia yang paling heterogen dalam hal perbedaan daerah dan
keragaman budaya daerah sebagai keniscayaan dan pilihan kebijakan yang paling tepat bagi
Indonesia, bukan sebaliknya sebagai satu keharusan dan menjadi pilihan kebijakan paling tepat
bagi Indonesia yang paling heterogen dari segi variasi wilayah dan keanekaragaman kultur local.

B.Rumusan Masalah
1.Apa pengertian otonomi daerah?
2.Apa saja permasalahan yang ada di otonomi daerah?
3.Apa saja kelebihan dan kekurangan penerapan otonomi daerah?

4
C.Tujuan
1.Untuk memahami pengertian otonomi daerah
2.Untuk memahami apa saja permasalahan yang ada di otonomi daerah
3.Untuk memehami apa saja kelebihan dan kekurangan dalam penerapan otonomi daerah

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Otonomi Daerah


Otonomi daerah merupakan hak, wewenang,dan kewajiban daerah untuk mengatur dan
mengurus ekonomi rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan
nomor 22 tahun 1999. Dari pengertian tersebut tampak bahwa daerah di beri hak otonom oleh
pemerintah pusat untuk mengatur dan mengurus kepentingna sendiri. Dalam hal ini hak dan
wewenang yang diberikan terutama mngeola kekayaan alam dan ekonomi rumah tangganya
sendiri. Menurut suparmoko (2002:61), mengartikan otonomi daerah adalah kewenangan daerah
otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Implementasi otonomi daerah telah memasuki era baru setelah pemerintah dan DPR
sepakat unuk mengesahkan UU nomer 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU
nomer 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Sejalan dengan di berlakukanya undang-undang otonomi tersebut memberikan
kewenangan penyelenggaraan pemerintah daerah yang lebih luas, nyata,dan bertanggung jawab.
Adanya perimbangan tugas fungsi dan peran antar pemerintah pusat dan pemerintah
daerahtersebut menyebabkan masing-masing daerah harus memiliki penghasilan yang cukup,
daerah harus memiliki sumber pembiayaan yang memadai untuk memikul tanggung jawab
penyelenggaraan pemerintah daerah. Dengan demikian di harapkan masing masing daerah akan
dapat lebih maju,mandiri sejahtera dan kompetetif di dalam pelaksanaan pemerintahan maupun
pembangunan daerahnya masing-masing.
Memang harapan dan kenyataaan tidak akan selau sejalan. Tujuan atau harapan tentu
akan berakhir baik biloa pelaksanaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan juga berjalan baik.
Namun ktidaktercapain harapan itu tampak nya mulai terlihat dalam otonomi daerah yang ada di
Indonesia. Masih banyak permasalahan yang mengiring berjalanya otonomi daerah di Indonesia.

2.2 Permasalahan yang ada dalam Otonomi Daerah


Permasalahan Dalam Otonomi Daerah Di Indonesia Sejak diberlakukannya paket UU
mengenai Otonomi Daerah, banyak orang sering membicarakan aspek positifnya. Memang tidak
disangkal lagi, bahwa otonomi daerah membawa perubahan positif di daerah dalam hal
kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena
sistem pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku
pembangunan yang tidak begitu penting atau pinggiran. Pada masa lalu, pengerukan potensi
daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan
manfaat dari pembangunan, daerah justru mengalami proses pemiskinan yang luar biasa. Dengan

6
kewenangan tersebut tampaknya banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang
tidak menguntungkan tersebut.

Akan tetapi apakah di tengah-tengah optimisme itu tidak terbersit kekhawatiran bahwa
otonomi daerah juga akan menimbulkan beberapa persoalan yang jika tidak segera dicari
pemecahannya, akan menyulitkan upaya daerah untuk memajukan rakyatnya? Jika jawabannya
tidak, tentu akan sangat naif. Mengapa? Karena, tanpa disadari, beberapa dampak yang tidak
menguntungkan bagi pelaksanaan otonomi daerah telah terjadi. Ada beberapa permasalahan
yang dikhawatirkan bila dibiarkan berkepanjangan akan berdampak sangat buruk pada susunan
ketatanegaraan Indonesia. Adapun masalah-masalah tersebut antara lain:

1. Adanya Eksploitasi Pendapatan Daerah


Salah satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih besar dalam
pengelolaan keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai pada alokasi
pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam ini sebenarnya sudah
muncul inherent risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan melakukan upaya maksimalisasi, bukan
optimalisasi, perolehan pendapatan daerah. Upaya ini didorong oleh kenyataan bahwa daerah
harus mempunyai dana yang cukup untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun
pembangunan.
Dengan skenario semacam ini, banyak daerah akan terjebak dalam pola tradisional dalam
pemerolehan pendapatan daerah, yaitu mengintensifkan pemungutan pajak dan retribusi. Bagi
pemerintah daerah, pola ini tentu akan sangat gampang diterapkan karena kekuatan kohersif
yang dimiliki oleh institusi pemerintahan; sebuah kekuatan yang tidak applicable dalam negara
demokratis modern. Pola peninggalan kolonial ini menjadi sebuah pilihan utama karena
ketidakmampuan pemerintah dalam (enterpreneurship). mengembangkan sifat wirausaha
Bila dikaji secara matang, instensifikasi perolehan pendapatan yang cenderung
eksploitatif semacam itu justru akan banyak mendatangkan persoalan baru dalam jangka
panjang, dari pada manfaat ekonomis jangka pendek bagi daerah. Persoalan pertama adalah
beratnya beban yang harus ditanggung warga masyarakat. Meskipun satu item pajak atau
retribusi yang dipungut dari rakyat hanya berkisar seratus rupiah, akan tetapi jika dihitung secara
agregat jumlah uang yang harus dikeluarkan rakyat perbulan tidaklah kecil, terutama jika
pembayar pajak atau retribusi adalah orang yang tidak mempunyai penghasilan memadai.
Persoalan kedua terletak pada adanya kontradiksi dengan upaya pemerintah daerah dalam
menggerakkan perekonomian di daerah. Bukankah secara empiris tidak terbantahkan lagi bahwa
banyaknya pungutan hanya akan menambah biaya ekonomi yang ujung-ujungnya hanya akan
merugikan perkembangan ekonomi daerah setempat. Kalau pemerintah daerah ingin menarik
minat investor sebanyak banyaknya, mengapa pada saat yang sama justru mengurangi minat
investor untuk berinvestasi?

7
2. Korupsi di Daerah.
Fenomena lain yang sejak lama menjadi kekhawatiran banyak kalangan berkaitan dengan
implementasi otonomi daerah adalah bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah.
Sinyalemen ini menjadi semakin beralasan ketika terbukti bahwa banyak pejabat publik yang
masih mempunyai kebiasaan menghambur hamburkan uang rakyat untuk piknik ke luar negeri
dengan alasan studi banding. Juga, mulai terdengar bagaimana anggota legislatif mulai
menggunakan kekuasaannya atas eksekutif untuk menyetujui anggaran rutin DPRD yang jauh
lebih besar dari pada sebelumnya. Belum lama diberitakan di Harian Kompas bagaimana
legislatif Kota Yogya membagi dana 700 juta untuk 40 anggotanya atau 17,5 juta per orang
dengan alasan menutup biaya operasional dan kegiatan kesekretariatan. Mengapa harus ada bagi-
bagi sisa anggaran? Tidakkah jelas aturannya bahwa sisa anggaran seharusnya tidak dihabiskan
dengan acara bagi bagi, melainkan harus disetorkan kembali ke Kas Daerah? Dipandang dari
kacamata apapun perilaku pejabat publik yang cenderung menyukai menerima uang yang bukan
haknya adalah tidak etis dan tidak bermoral, terlebih jika hal itu dilakukan dengan sangat
terbuka.
Sumber praktik korupsi lain yang masih berlangsung terjadi pada proses pengadaan
barang-barang dan jasa daerah (procurement). Seringkali terjadi harga sebuah item barang
dianggarkan jauh lebih besar dari harga pasar. Kolusi antara bagian pengadaan dan rekanan
sudah menjadi hal yang jamak. Pemberian fasilitas yang berlebihan kepada pejabat daerah juga
merupakan bukti ketidakarifan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah. Hibah dari
pihak ketiga kepada pejabat daerah sudah menjadi hal biasa yang tidak pernah diributkan dari
dulu. Kalau dicermati dan dinalar, berapa kenaikan kekayaan pejabat daerah setelah mereka
menjabat posisi tertentu? Seberapa drastis perubahan gaya hidup para pejabat publik itu?

3. Adanya Potensi Munculnya Konflik Antar Daerah


Ada gejala cukup kuat dalam pelaksanaan otonomi daerah, yaitu konflik horizontal yang
terjadi antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota, sebagai akibat dari
penekanan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang menekankan bahwa tidak ada hubungan
hierarkhis antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota,sehingga pemerintah
kabupaten/kota menganggap kedudukannya sama dan tidak taat kepada pemerintah provinsi.
Dengan pelaksanaan otonomi daerah muncul gejala etno-sentrisme atau fenomena
primordial kedaerahan semakin kuat. Indikasi etno-sentrisme ini terlihat dalam beberapa
kebijakan di daearah yang menyangkut pemekaran daerah,pemilihan kepala daerah,rekruitmen
birokrasi lokal dan pembuatan kebijakan lainnya.
Selain itu, ancaman disintegrasi juga dapat memicu sebuah konflik. Paham pelimpahan
wewenang yang luas kepada daerah merupakan politik belah bambu yang telah lama dipupuk
sejak zaman penjajahan. Otonomi daerah telah mengkotak-kotakan wilayah menjadi daerah
basah dan daerah kering. Pengkavlingan ini semakin mencuatkan ketimpangan pembangunan
antara daerah kaya dan daerah miskin. Adanya potensi sumber daya alam di suatu wilayah, juga
rawan menimbulkan perebutan dalam menentukan batas wilayah masing-masing. Konflik
horizontal sangat mudah tersulut. Di era otonomi darah tuntutan pemekaran wilayah juga

8
semakin kencang dimana-mana. Pemekaran ini telah menjadikan NKRI terkerat-kerat menjadi
wilayah yang berkeping-keping. Satu provinsi pecah menjadi dua-tiga provinsi, satu kabupaten
pecah menjadi dua-tiga kabupaten, dan seterusnya. Semakin berkeping-keping NKRI semakin
mudah separatisme dan perpecahan terjadi. Dari sinilah bahaya disintegrasi bangsa sangat
mungkin terjadi, bahkan peluangnya semakin besar karena melalui otonomi daerah campur
tangan asing semakin mudah menelusup hingga ke desa-desa.
Pemaknaan otonomi secara kultural memandang politik lokal sebagai kesatuan nilai,
kultur, kustom, adat istiadat dan bukan sebagai konsep politik. Perspektif ini juga mengakui
kemajemukan masyarakat namun dalam arti sosio kultural, di mana setiap masyarakat dan
lokalitas adalah unik sehingga setiap masyarakat dan lokalitas memiliki hak-hak sosial, ekonomi,
budaya, dan identitas diri yang berbeda dengan identitas nasional. Pemahaman inilah yang
kemudian memunculkan berbagai kebijakan daerah yang bernuansa etnisitas. Sedikit banyak
karakteristik masyarakat Indonesia yang pluralistik dan terfragmentasi, turut mempengaruhi
tumbuh dan berkembangnya etnonasionalisme. Pola hubungan antar etnis dilakukan dalam
proses yang linear tanpa adanya potensi bagi terjadinya cross-cutting afiliation. Akibatnya, tidak
ada ruang bagi bertemunya berbagai etnis secara sosial. Secara politik, berlakunya politik aliran
menyebabkan sudah dapat dipastikan bahwa ia akan memilih partai Islam. Dengan demikian,
jelaslah bahwa pola interaksi antar etnis menjadi sulit dilakukan karena tidak ada ruang baginya
untuk mengenal etnis lain, apalagi memahami etnis lain di luar stereotip yang selama ini
mengemuka. Maka yang kemudian timbul dan menguat adalah identitas etnisnya dan bukan
identitas kebangsaan yang inheren dalam nasionalisme.

2.3 Kelebihan dan kekurangan dalam penerapan otonomi daerah


Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan
kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam
proses desentralisasi ini, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke
pemerintahan daerah sebagaimana mestinya sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat
ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan
pemerintahan bergerak dari daerah tingkat pusat maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya
kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari
pusat ke daerah.
Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini di lihat sangat penting. terutama
untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya. Karena
dalam sistem yang belaku sebelumnya sangat dirasakan oleh daerah-daerah besamya jurang
ketidakadilan struktural yang tercipta dalam hubungan antara pusat dan daerah-daerah. Untuk
menjamin perasaan diberlakukan tidak adil yang muncul di berbagai daerah Indonesia tidak
makin meluas dan terus meningkat pada gilirannya akan sangat membahayakan integrasi
nasional, maka kebijakan otonomi daerah ini dinilah mutlak harus diterapkan dalam waktu yang
secepat-cepatnya sesuai dengan tingkat kesiapan da-erah sendiri.

9
Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan tidak hanya
menyangkut pengalihan kewenangan dan atas ke bawah, tetapi perlu juga diwujudkan atas dasar
prakarsa dari bawah untuk mendorong tumbuhnya kemandiriaan pemerintahan daerah sendiri
sebagai faktor yang menentukan keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu. Dalam kultur
masyarakat Indonesia yang paternalistik, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah itu tidak
akan berhasil apabila tidak diimbangi dengan upaya sadar untuk membangun keprakarsaan dan
kemandirian daerah sendiri.
Beberapa keuntungan dengan menerapkan otonomi daerah dapat dikemukakan sebagai berikut
ini:
a). Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan.
b). Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak yang membutuhkan tindakan yang
cepat, sehingga daerah tidak perlu menunggu intruksi dari Pemerintah pusat.
c). Dalam sistem desentralisasi, dpat diadakan pembedaan (diferensial) dan
pengkhususan (spesialisasi) yang berguna bagi kepentingan tertentu. Khususnya
desentralisasi teretorial, dapat lebih muda menyesuaikan diri pada kebutuhan atau
keperluan khusu daerah.
d). Dengan adanya desentralisasi territorial, daerah otonomi dapat merupakan
semacam laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, yang
dapat bermanfaat bagi seluruh negara. Hal-hal yang ternyata baik, dapat diterapkan
diseluruh wilayah negara, sedangkan yang kurang baik dapat dibatasi pada suatu daerah
tertentu saja dan oleh karena itu dapat lebih muda untuk diadakan.
e). Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari Pemerintah Pusat.
f).Dari segi psikolagis, desentralisasi dapat lebih memberikan kewenangan memutuskan
yang lebuh beser kepada daerah.
g). Akan memperbaiki kualitas pelayanan karena dia lebih dekat dengan masyarakat yang
dilayani.

Di samping kebaikan tersebut di atas, otonomi daerah juga mengandung kelemahan antara lain
sebagai berikut ini.
a). Karena besamya organ-organ pemerintahan maka struktur pemerintahan bertambah
kompleks, yang mempersulit koordinasi
b). Keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan dan daerah dapat
lebih mudah terganggu.
c). Khusus mengenai desentralisasi teritorial, dapat mendorong timbulnya apa yang
disebut daerahisme atau provinsialisme.
d. Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama, karena memerlukan
perundingan yang bertele-tele.
e). Dalam penyelenggaraan desentralisasi, diperlukan biaya yang lebih banyak dan sulit
untuk memperoleh keseragaman atau uniformitas dan kesederhanaan.

10
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Otonomi daerah merupakan hak, wewenang,dan kewajiban daerah untuk mengatur dan
mengurus ekonomi rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan
nomor 22 tahun 1999. Menurut suparmoko (2002:61), mengartikan otonomi daerah adalah
kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Dari pengertiam tersebut tampak bahwa daerah diberi hak otonom oleh pemerintah pusat
untuk mengatur dan mengurus kepentingna sendiri. Dalam hal ini hak dan wewenang yang
diberikan terutama mngeola kekayaan alam dan ekonomi rumah tangganya sendiri .
Permasalahan Dalam Otonomi Daerah Di Indonesia Sejak diberlakukannya paket UU mengenai
Otonomi Daerah, banyak orang sering membicarakan aspek positifnya. Ada beberapa
permasalahan yang dikhawatirkan bila dibiarkan berkepanjangan akan berdampak sangat buruk
pada susunan ketatanegaraan Indonesia. Adapun masalah-masalah tersebut antara lain:
1. Adanya Eksploitasi Pendapatan Daerah
2. Korupsi di Daerah.
3. Adanya Potensi Munculnya Konflik Antar Daerah
Adapun kekurangan dari otonomi daerah adalah munculnya kesempatan bagi oknum-oknum di tingkat
daerah untuk melakukan berbagai pelanggaran, munculnya pertentangan antara pemerintah daerah dengan
pusat, serta timbulnya kesenjangan antara daerah yang pendapatannya tinggi dangan daerah yang masih
berkembang.

11
DAFTAR RUJUKAN

Iwan. 2014. Latar Belakang Otonomi Daerah.http://iwan09file.wordpress.com/kaum-muda dan-


korupsi/latar-belakang-otonomi-daerah/
Suparmoko, 2002, Ekonomi Publik, Andi, Yogyakarta.
https://ja.ejournal.unri.ac.id/index.php/JA/article/download/3370/3287

12

Anda mungkin juga menyukai