Anda di halaman 1dari 20

Om Swastysatu

Hukum dalam Kerangka


Penegakan Keadilan

Anggota Kelompok
Ni Made Ayu Karina Wiraswari (081211633020)
Di isi ya

Pendahuluan
Salah satu Sradha dalam agama Hindu
ialah Widhi Sradha,yaitu kepercayaan
dan keyakinan akan adanya hukum yang
diciptakan oleh Ida Sang Hyang Widhi
Wasa (Tuhan), yang merupakan semacam
sifat dari Kekuasaan Tuhan , serta
diperlihatkaNya dalam bentuk yang
dapat dilihat, dirasakan dan dialami oleh
manusia.

Di dalam ilmu sosial, konsepsi istilah hukum


berkembang dalam bentuk dua istilah yaitu Hukum
Alam dan Hukum Bangsa.
Hukum Alam ini dalam agama Hindu disebut RTA
dan Hukum Bangsa suatu kelompok masyrakat
disebut DHARMA yang bentuknya berbedabeda
menurut keadaan setempat-setempat.
RTA dan DHARMA merupakan landasan daripada
ajaran KARMA PHALA , yaitu RTA mengatur akibat
tingkah laku manusia sebagai suatu kekuatan yang
tidak dapat dilihat oleh manusia. Ia hanya dapat
dirasakan berdasarkan keyakinan akan adanya
kebenaran yang absolute .
dalam agama Hindu, RTA dan DHARMA mempunyai
ruang lingkup yang sangat luas meliputi pengertian
Hukum Abadi sebagai ajaran kesusilaan yang
mengandung
estetika
dan
mencakup
pula

Sumber Hukum Hindu


Menurut Manawadharmasastra,
sumber hukum Hindu berturutturut sesuai urutan adalah
sebagai berikut :
1. Sruti
2. Smerti
3. Sila
4. Sadacara
5. Atmanastuti

Sruti sebgai Sumber Hukum Hindu Pertama


Srutistu wedo wijneyo dharma sastram tu wai smerti, te
sarwatha wam imamsye tabhyam dharmohi nirbhabhau.
Manawadharmasastra 11.10
Sesungguhnya Sruti adalah Weda, Smerti itu Dharmasastra,
keduanya tidak boleh diragukan apapun juga karena keduanya
adalah kitab suci yang menjadi sumber dari pada hukum.

Wedo khilo dharma mulam smerti sile ca tad widam,


acarasca iwa sadhunam atmanas tustirewa ca.
Manawadharmasastra 11.6
Seluruh Weda sumber utama dari pada hukum, kemudian barulah
smerti dan tingkah laku orang-orang baik, kebiasaan dan atmanastuti.

Pengertian Weda sebagai


sumber ilmu menyangkut bidang
yang sangat luas sehingga Sruti
dan Smerti diartikan sebagai
Weda dalam tradisi Hindu.
Sedangakan ilmu hukum Hindu itu
sendiri telah membatasi arti Weda
pada kitab Sruti saja. Kitab-kitab
yang tergolong Sruti menurut
tradisi Hindu adalah : Kitab
Mantra, Brahmana dan Aranyaka.
Kitab Mantra terdiri dari : Rg

Smrti sebagai Sumber Hukum Hindu Kedua


Smrti merupakan kitab-kitab teknis yang
merupakan kodifikasi berbagai masalah yang
terdapat di dalam Sruti. Smrti bersifat
pengkhususan yang memuat penjelasan yang
bersifat authentik, penafsiran dan penjelasan
ini menurut ajaran Hukum Hindu dihimpun
dalam satu buku yang disebut Dharmasastra.
Dari semua jenis kitab Smrti yang terpenting
adalah kitab Dharmasastra, karena kitab
inilah yang merupakan kitab Hukum Hindu.
Ada beberapa penulis kitab Dharmasastra
antara lain:
Manu, Apastambha, Baudhayana, Wasistha,
Sankha Likhita, Yanjawalkya.

Dari ketujuh penulis tersebut, Manu yang


terbanyak menulis buku dan dianggap
sebagai standard dari penulisan Hukum
Hindu itu. Secara tradisional Dharmasastra
telah dikelompokkan manjadi empat
kelompok menurut jamannya masingmasing yaitu:
1. Jaman Satya Yuga, berlaku Dharmasastra
yang ditulis oleh Manu.
2. Jaman Treta Yuga, berlaku Dharmasastra
yang ditulis oleh Yajnawalkya.
3. Jaman Dwapara Yuga, berlaku
Dharmasastra yang ditulis oleh Sankha
Likhita.
4. Jaman Kali Yuga, berlaku Dharmasastra

Sila sebagai Sumber Hukum Hindu Ketiga


Sila di sini berarti tingkah laku. Bila diberi awalan
su maka menjadi susila yang berarti tingkah laku
orang-orang yang baik atau suci. Tingkah laku
tersebut meliputi pikiran, perkataan dan perbuatan
yang suci. Pada umumnya tingkah laku para
maharsi atau nabi dijadikan standar penilaian yang
patut ditauladani. Kaedah-kaedah tingkah laku yang
baik tersebut tidak tertulis di dalam Smerti, sehingga
sila tidak dapat diartikan sebagai hukum dalam
pengertian yang sebenarnya, walaupun nilainilainya dijadikan sebagai dasar dalam hukum
positif.

Sadacara sebagai Sumber Hukum Hindu Keempat


Sadacara dianggap sebagai sumber
hukum Hindu positif. Dalam bahasa Jawa
Kuna Sadacara disebut Drsta yang
berarti kebiasaan. Untuk memahami
pemikiran hukum Sadacara ini, maka
hakekat dasar Sadacara adalah
penerimaan Drsta sebagai hukum yang
telah ada di tempat mana Hindu itu
dikembangkan. Dengan demikian sifat
hukum Hindu adalah fleksibel.

Atmanastuti sebagai Sumber Hukum Hindu Kelima.

Atmanastuti artinya rasa puas pada diri


sendiri. Perasaan ini dijadikan ukuran untuk
suatu hukum, karena setiap keputusan
atau tingkah laku seseorang mempunyai
akibat. Atmanastuti dinilai sangat relatif
dan subyektif, oleh karena itu berdasarkan
Manawadharmasastra109/115, bila
memutuskan kaedah-kaedah hukum yang
masih diragukan kebenarannya, keputusan
diserahkan kepada majelis yang terdiri dari
para ahli dalam bidang kitab suci dan
logika agar keputusan yang dilakukan
dapat menjamin rasa keadilan dan

Sumber Hukum di Indonesia

Saksi - Saksi
Dalam memutuskan perkara, majelis hakim
hendaknya memeriksa saksi-saksi dan bukti-bukti
(Manawadharmasastra, VIII.51). Adapun yang dapat
dijadikan saksi adalah :
a. Orang yang telah berkeluarga
b. Orang yang memiliki keturunan laki-laki
c. Penduduk pribumi
d. Orang profesional, ahli di bidang masing-masing

Kepribadian Seorang Hakim


Kepribadian seorang hakim sangat menentukan dalam
menetapkan suatu keputusan, karena keputusan itu tidak
hanya dipertanggung jawabkan kepada sesama umat
manusia tetapi yang sangat utama adalah
dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, baik
pada masa hidupnya kini maupun diakhirat nanti.
Di dalam kitab suci weda maupun susastra Hindu
dikatakan seorang hakim harus memahami kitab suci weda,
karena weda merupakan sumber hukum hindu
tertinggi.Berdasarkan hal tersebut, kepribadian seorang
hakim harus mencerminkan pengamatan agama secara
murni yang akan nampak dari moralitas, sikap dan
perilakunya yang senantiasa merupakan perwujudan akhlak
mulia. Demikian pula dalam memutuskan suatu perkara,
seorang hakim harus dapat memuasakan para pihak,
bertindak adil, dan tidak boleh menyimpan menyimpang

Dan bila hakim memberikan keputusan yang


menyimpang dari kebenaran, dinyatakan sebagai berikut :
keputusan yang salah karena ketidak adilan oleh hakim,
bagian kesalahan menimpa yang melakukan kejahatan,
bagian kepada yang memberikan kesaksian palsu, bagian
kepada semua hakim, bagian kepada raja (pemerintah
atau kepala negara). Tetapi bila yang layak
dipermasalahkan disalahkan, maka raja bebas darisegala
kesalahan dan hakim selamat dosa-dosanya, serta
kesalahan akan jatuh kepada pelakunya sendiri atas
perbuatan itu (Manavadharmasastra, VIII. 18-19).
Raja selaku pemimpin pemerintahan memiliki hak
prerogatif (hak uji terhadap menteri-menterinya)
(Manavadharmasastra. IX.234). Setiap hakim harus
menghukum pejabat karena korupsi (Manavadharmasastra,
VII. 123, 124, VIII.34, IX.231,259)
Maka kepribadian seorang hakim hendaknya selalu menjadi
teladan dalam kehidupan sehari-hari, mencerminkan
moralitas atau akhlak mulia.

Komitmen Tegaknya Moralitas


Seorang hakim harus berkomitmen untuk melaksanakan
ajaran agamanya dengan baik dan ajaran moralitas pada
umumnya.Bila hukuman yang ditetapkan dengan tidak
bijaksana sesuai kebenaran dan keadilan maka : Hukuman
yang tidak bijaksana menghancurkan nama baik seseorang
ada waktu hidupnya dan bahkan ketika ia meninggal dunia,
tidak mencapai sorga, karena itu hendaklah ia berhati-hati
dalam menjatuhkan hukuman itu (Manavadharmasastra, VIII.
127-128, Yajnavaikya 11.305, dan Visnu Dharmasastra XIX.43)
Demikian pula hakim yang menerima suap akan
senantiasa sengsara dan kelak ketika meninggal dunia dibawa
ke alam neraka ( Yajnavaikya 11.305, dan
Manavadharmasastra, IX. 234)
Demikian seorang hakim berada pada posisi yang
dilematis, bila ia sangat terikat oleh godaan duniawai berupa
materi atau dorongan nafsu untuk kaya, menguasai sesuatu
dan ingin selalu memuaskan indra, ia akan mudah
menyimpang dari kebenaran dan sanksinya bagi umat

Any Question ? ?

Om Santhi,
Santhi, Shanti,
Om

Anda mungkin juga menyukai