Anda di halaman 1dari 37

REFERAT

POLISITEMIA

Penyusun:
Lu Jordy Luhur
Maria Gabriella Sainlia

2015.04.2.0089
2015.04.2.0094

Maria Stefani Melisa 2015.04.2.0095


Totok Subiyanto

2015.04.2.0138

BAB I

PENDAHULUAN

Polisitemia berasal dari bahasa Yunani: poly (banyak),


cyte (sel), dan hemia (darah).
Polisitemia mengandung arti banyak sel darah, tetapi
biasanya istilah ini dikaitkan dengan peningkatan
produksi eritrosit (Sedana,2015). Orang dengan
polisitemia
memiliki
peningkatan
hematokrit,
hemoglobin, atau jumlah sel darah merah di atas
batas normal.

Polisitemia
biasanya
dilaporkan
dalam
hal
peningkatan hematokrit (hematokrit adalah rasio
volume sel darah merah untuk total volume darah)
atau konsentrasi hemoglobin (Hb adalah protein yang
bertanggung jawab untuk mengangkut oksigen dalam
darah).
Polisitemia
dipertimbangkan
ketika
hematokrit lebih besar dari 48% pada wanita dan 52%
pada pria, sedangkan untuk tingkat hemoglobinnya
lebih besar dari 16.5 g/dL pada wanita atau lebih
besar dari 18.5 g/dL pada pria.

Bila rangsangan untuk peningkatan produksi ini


diketahui maka polisitemia disebut sekunder atau
reaktif, sedangkan bila penyebabnya tidak diketahui
disebut polisitemia vera.
Pada sebagian penderita penyakitnya berlanjut
menjadi leukemia akut, sedang pada sebagian yang
lain sumsum tulang menjadi fibrotik dan timbul
metaplasia mieloid dalam sumsum tulang, limpa, hati,
dan lain-lain (Sedana,2015).

BAB II

HEMATOPOIESIS

Semua sel darah berasal dari satu sel induk di


dalam sum-sum tulang. Karena sel-sel ini dapat
menghasilkan semua tipe sel darah, sel ini
disebut sel induk pluripotent.
Sel-sel ini berploriferasi dari satu turunan sel
yang akan menjadi limfosit (sel-sel limfoid), dan
turunan yang lain akan membentuk sel-sel
myeloid yang berkembang di dalam sum-sum
tulang (granulosit, monosit, eritrosit, dan
megakariosit).

Koloni yang dihasilkan sel induk myeloid dapat


menghasilkan eritrosit, granulosit, monosit dan
megakaryosit (Junquiera, 2007).
Hematopoiesis bergantung pada adanya kondisi
lingkungan mikro yang menguntungkan dan adanya
faktor pertumbuhan
Zat-zat ini disebut faktor pertumbuhan, faktor
perangsang koloni (Colony stimulating factor / CSF)
atau hematopoietin (poietin), yang bekerja terutama
dengan merangsang proliferasi (aktivitas mitogenik)
sel-sel imatur, yang mendukung diferensiasi sel yang
belum matang sewaktu sel tersebut menjadi matang
dan meningkatkan fungsi sel-sel yang matang
(Junquiera, 2007).

DEFINISI

Polisitemia mengandung arti banyak sel darah, tetapi


biasanya istlah ini dikaitkan dengan peningkatan
produksi eritrosit.

o KLASIFIKASI
I. Primer

A. Polisitemia vera
B. Polisitemia familial primer

II. Sekunder
A. Physiologically appropriate (decreased tissue
oxygenation)
1. High altitude erythrocytosis
2. Chronic lung disease
3. Alveolar Hypoventilation.
4. Cardiovascular right-to-left shunt
5. High oxygen affinity Hemoglobinopathy
6. Carboxyhemoglobinemia ( Smokers erythroytosis )
7. Congenital Decreased 2,3 diphosphoglycerate

B. Physiologically inappropriate erythropoietin


1. Tumor producing erythropoietin
a. Renal cell carcinoma
b. Hepatocelular carcinoma
c. Cerebellar hemangioblastoma
d. Uterine leiomyoma
e. Ovarian carcinoma
f. Pheochromocytoma
2. Renal diseases
a. Cysts
b. Hydronephrosis
3. Adrenal cortical hypersecretion
4. Exogenous androgens
5. Unexplained (essential )
(Stuart,2000)

EPIDEMIOLOGI

Polisitemia vera biasanya mengenai pasien


berumur 40-60 tahun, walaupun kadang-kadang
ditemukan + 5% pada mereka yang berusia lebih
muda.
Angka kejadian polisitemia vera ialah 7 per satu
juta penduduk dalam setahun. Penyakit ini
dapat terjadi pada semua ras/bangsa, walaupun
didapatkan angka kejadian yang lebih tinggi di
kalangan bangsa Yahudi. Pada pria didapatkan
dua kali lebih banyak dibandingkan pada wanita.
(Prenggono,2006)

ETIOLOGI
o

Polisitemia terjadi karena sebagian populasi eritrosit


berasal dari satu klon induk darah yang abnormal.
Berbeda dengan keadaan normalnya, sel induk darah
yang abnormal ini tidak membutuhkan eritropoetin
untuk proses pematangannya (eritropoetin serum 4
mU/mL).

Hal ini jelas membedakannya dari eritrositosis atau


polisitemia sekunder dimana eritropoetin tersebut
meningkat secara fisiologis (wajar sebagai kompensasi
atas kebutuhan oksigen yang menigkat), biasanya pada
keadaan dengan saturasi oksigen arterial rendah, atau
eritropoetin tersebut meningkat secara non fisiologis
(tidak wajar) pada sindrom paraneoplastik manifestasi
neoplasma lain yang mensekresi eritropoetin.

Kelainan ini terjadi pada populasi klonal sel


induk darah (sterm cell) sehingga seringkali
terjadi juga produksi leukosit dan trombosit yang
berlebihan (Prenggono,2006)

GEJALA KLINIK

Gejala klinik dari Polisitemia vera terjadi secara


perahan-lahan dan sering diketemukan secara kebetulan
pada pemeriksaan darah rutin (Sedana, 2015)
Gejala yang tidak khas:
a. Akibat gangguan oksigenasi ringan (sakit kepala,
vertigo, tinnitus, gangguan pengelihatan dan angina
pectoris).
b. Terjadi thrombosis vena atau arteritromboemboli
c. Perdarahan berupa petekie, ekimosis, epistaksis,
perdarahan gusi, dan perdarahan saluran cerna.
d. Gatal-gatal terjadi akibat meningkatnya pelepasan
granulosit histamine
e. Neuropati perifer akibat degenerasi axon syaraf

Pemeriksaan fisik:
a. Splenomegali pada 75% penderita
b. Hepatomegali pada 30% penderita
c. Hipertensi sering ditemukan
d. Facial Plethora (mukanya merah abu-abu)

PATOFISIOLOGI
Proliferasi
prekursor eritroid

Hati & limpa


membesar

Pem darah
melebar

Viskositas darah

Bendungan
vaskuler

Thrombosis &
infark

Penyakit polisitemia vera juga berkaitan dengan


proliferasi
berlebihan
precursor
eritroid,
granulositik dan megakariositik. Di sini
eritrositosis merupakan manifestasi primer.
Akibat peningkatan kekentalan dan bendungan
vaskuler, trombosis dan infark sering terjadi
paling sering mengenai jantung, limpa dan
ginjal. Perdarahan terjadi pada kira-kira
sepertiga penderita. Biasanya mengenai saluran
pencernaan, orofaring atau otak. Meskipun
dikatakan perdarahan ini kadang-kadang terjadi
spontan, lebih sering terjadi setelah berbagai
trauma minor ataupun tindakan bedah.

Konsentrasi eritropoetin dalam serum pada


polisitemia vera rendah tetapi tidak menghilang.
Prekursor eritroid pada pasien Polisitemia
berespon terhadap eritropoetin dan mungkin
hipersensitif terhadap kerja hormon ini. Sel
sumsum tulang dari pasien polisitemia vera
membentuk koloni prekursor eritroid dalam
biakan
tanpa
ditambahkan
eritropoetin.
Fenomena ini jarang dijumpai pada penyakit
lain.
Selain itu terdapat peningkatan progenitor
mieloid dan megakariositik di sumsum tulang,
yang mengisyaratkan bahwa panmielosis pada
polisitemia vera ditandai oleh ekspansi cadangan
sel prekursor

Di dalam sirkulasi darah tepi pasien polisitemia


vera didapati peninggian nilai hematokrit yang
menggambarkan
terjadinya
peningkatan
konsentrasi eritrosit terhadap plasma, dapat
mencapai . 49% pada wanita (kadar Hb . 16
mg/dL) dan . 52% pada pria (kadar Hb . 17
mg/dL), serta didapati pula peningkatan jumlah
total eritrosit (hitung eritrosit >6 juta/mL).

PERJALANAN KLINIS PASIEN


POLISITEMIA VERA ADALAH :(UI)
a. Fase eritrositik atau fase polisitemia.
Fase ini merupakan fase permulaan. Pada fase ini di dapatkan
peningkatan
jumlah eritrosit yang dapat berlangsung hingga 5-25 tahun. Pada
fase ini
dibutuhkan
flebotomi secara teratur untuk mengendalikan
viskositas darah
dalam batas normal.
b. Fase burn out ( terbakar habis ) atau spent out ( terpakai habis ).
Dalam fase ini kebutuhan flebotomi menurun sangat jauh atau
pasien
memasuki periode panjang yang tampaknya seperti remisi, kadangkadang
timbul anemia tetapi trombositosis dan leukositosis biasanya
menetap.

c. Fase mielofibrotik
Jika terjadi sitopenia dan splenomegali progresif,
manifestasi klinis dan
perjalanan
klinis menjadi serupa dengan
mielofibrosis dan metaplasi
mieloid.
Kadang-kadang terjadi metaplasia
mieloid pada limpa, hati,
kelenjar getah bening dan ginjal.
d. Fase terminal
Pada kenyataannya kematian pasien dengan
polisitemia vera diakibatkan
oleh
kompilasi trombosis atau perdarahan.
Kematian karena meilofibrosis
terjadi pada kurang dari 15%.

DIAGNOSIS
Kriteria Diagnosis (Askandar, 2015)
Kelompok A:
Massa sel darah merah pria > 36 ml/KgBB dan wanita >
32ml/kgBB
Saturasi oksigen lebih dari 92%
Splenomegali
Kelompok B:
Trombositosis lebih dari 400.000/mm3
Leukositosis lebih dari 12.000/mm3 tanpa tanda tanda infeksi
LAP score tinggi > 100 tanpa tanda tanda infeksi atau
demam
Vitamin
B12 dalam serum lebih dari 900pg/ml atau
unsaturated B12 binding capacity meningkat lebih dari
2200pg/ml

Diagnosis polisitemia vera ditegakkan bila


terdapat:
A1+A2+A3
A1+A2+dua dari kelompok B

DIAGNOSA BANDING

LABORATORIUM

Red Cell Mass meningkat . Volume plasma


biasanya normal atau meningkat ringan.
Hematokrit meningkat (>60%) dan Hemoglobin
meningkat ( Hb>18,5 g/dl pada laki-laki dan
>16,5 g/dl pada perempuan)
Morfologi sel darah merah normal pada mulanya,
bila telah terjadi metaplasia myeloid ditandai
dengan anisositosis, poikilositosis, meningkatnya
sel eritrosit berinti.

Leukositosis ( > 12.000/ml)


Trombositosis (>400.000/ml)

Kelainan agregasi trombosit dengan ADP, dan


kolagen
Sumsum tulang hiperselularitas dan hyperplasia
eritroid, granulositik dan megakariositik.
LAP score meningkat pada 70% penderita
Kadar Vitamin B12 meningkat sampai 900 pg/ml
pada 30% penderita
Hiperurisemia pada 40% penderita
JAK-2 mutation ( ditemukan pada 97% penderita
PV)

TERAPI

Polisitemia vera umumnya bersifat indolent,


pemilihan terapinya sangat tergantung pada
faktor risiko, usia pasien, riwayat thrombosis dan
jumlah trombosit. Pada pasien dengan resiko
rendah, usia < 60 tahun, tanpa riwayat
thrombosis dan jumlah trombosit < 1x106/cm,
maka pilihan terapi adalah flebotomi dan
pemberian aspirin untuk mengurangi resiko
thrombosis. Sedangkan pada pasien dengan
resiko tinggi terapi cytoreductive dengan
Hydroxyurea dapat diberikan.

Beberapa modalitas terapi pada polisitemia vera:


Flebotomi 250-500 cc seminggu sekali sampai Hb dan
PCV mendekati normal. Flebotomi berulang dapat
menimbulkan kekurangan besi. Flebotomi bertujuan
menurunkan hiperviskositas, menurunkan hematokrit
<45%.

Fosfor radioaktif P-32 sebesar 5-10 mci dosis tunggal


IV. Sekali pemberian dapat menekan thrombosis jadi
normal dan terjadi remisi 2-3 tahun. Kalau perlu dosis
dapat diulang asal lewat 6 bulan. Pemberian yang
terlampau sering dapat menimbulkan perubahan ke
leukemia (resiko 10% dalam waktu 10 tahun)

Kemoterapi berupa pemberian Busulfan (Myeleran


2mg/tab) : 2-4 mg/hari, merupakan alkylating agent
yang dapat digunakan bila jumlah leukosit dan atau
trombosit tinggi sekali.
Hydroxyurea
(Hydrea
500mg/tab)
:
10-30
mg/kgBB/hari, diberikan hingga tercapai respon
hematokrit <45%, trombosit 100.000-500.000/cmm,
leukosit > 3000/cmm. Untuk pemeliharaan dapat
diberikan secara intermitten bila target telah
tercapai.

Agen biologis: Interferon diberikan untuk


mengontrol hematokrit dan jumlah trombosit,
serta dapat mengurang kebutuhan untuk
dilakukan flebotomi. Dosis yang dianjurkan 1-3 x
106 U/m2 3 kali per minggu
Pengobatan
suportif
dengan
pemberian
allopurinol 100-300 mg/hari untuk mengatasi
hiperuricemia. Aspirin 1x100 mg/hari dapat
mengurangi resiko thrombosis hingga 60%.
Anegrilide (Agrylin) diberikan untuk mengontrol
trombositosis yang tidak respon dengan
pemberian hygroxyurea. Dosis 2-2,5 mg/hari
dengan dosis maksimum tidak lebih dari
10mg/hari.

KOMPLIKASI
Tromboemboli
Perdarahan
Tukak lambung terjadi 3 5 kali dari populasi
normal
Leukemia akut
Keganasan di luar darah bila mendapatkan
pengobatan Klorambusil atau P-32 mempunyai
insiden yang tinggi untuk terjadinya tumor kulit
atau gastrointestinal dibandingkan bila hanya
dilakukan flebotomi (Sedana, 2015)

PROGNOSIS

Median survival pasien PV dapat mencapai 15


tahun. Resiko berkembang menjadi kelainan
mieloproliferatif yang lain dalam 10 tahun relatif
rendah (4-10% pada Mielofibrosis, 2-6% pada
leukemia). Penyebab utama morbiditas dan
mortalitas adalah trombosis (10-40% penyebab
kematian) dan perdarahan (6-30% penyebab
kematian) (Sedana, 2015).

THE
END

Anda mungkin juga menyukai