Anda di halaman 1dari 21

INSPEKTORAT

KABUPATEN BOJONEGORO

PENGAWASAN ATAS
PENYELENGGARAAN
PEMERINTAHAN DESA

Tujuan Dan Obyek Pengawasan


Tujuan Pengawasan
Mewujudkan akuntabilitas;
Pengawasan dilakukan dalam rangka mempertanggung jawabkan
pencapaian tujuan (ends), proses dan penggunaan dana (means)
sesuai ketentuan Perundang-undangan
Proses belajar dari kesalahan;
Pengawasan di lakukan untuk belajar dari evaluasi penyelenggaraan
yang telah dilaksanakan sehingga dapat memperbaiki perencanaan
dan pelaksanaan program di masa yang akan datang

Obyek Pengawasan
Produk Hukum dan Kebijakan
Pelaksanaan Penyelenggaraan Pemerintahan
Keuangan

Tidak untuk mencaricari kesalahan

Pengawasan

Untuk memastikan bahwa produk


yang dihasilkan oleh Instansi
Pemerintah / Pemerintahan Desa
memenuhi ketentuan kualitas yang
dipersyaratkan atau memenuhi
harapan masyarakat

Pengawas sebagai
konsultan

PROGRAM PENINGKATAN SISTEM PENGAWASAN INTERNAL


DAN PENGENDALIAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN KDH
a)

b)

c)

d)

Pelaksanaan Pengawasan Internal secara Berkala


Kegiatan ini diarahkan pada terlaksananya Pemeriksaan /
Pengawasan Reguler (PKPT) thd Unit Kerja (Obrik) yg
sebelumnya telah ditetapkan dg SK Bupati
Penanganan Kasus Pengaduan di Lingkungan Pemerintahan
Daerah
Untuk Kegiatan ini mengarah pada Pemeriksaan Khusus/Kasus
yang melibatkan PNS/Aparatur Pemerintahan Desa atau Unit
Kerja Pemerintah Daerah di lingkup Badan, Dinas, Kantor,
Bagian, Kecamatan maupun Desa
Tindak Lanjut Hasil Temuan Pengawasan
Kegiatan ini diarahkan pada penyelesaian tindak lanjut temuan
hasil pemeriksaan yg dilaksanakan melalui forum Evaluasi
Tindak Lanjut Hasil Temuan Pengawasan
Koordinasi Pengawasan yang Lebih Komprehensif
Kegiatan ini diarahkan untuk meningkatkan dan menjamin
keberlangsungan dan konsistensi pelaksanaan program dan

Obyek Pemeriksaan Inspektorat


Kabupaten
a)

b)

c)
d)
e)
f)
g)

Semua SKPD dilingkungan Pemerintah Kabupaten


Perusahaan Daerah, apabila kepemilikan /
pengelolaan masih dilakukan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten
Kecamatan
Desa / Kelurahan
Pelaksanaan tugas pembantuan dari APBD Kabupaten
/ Kota di Desa / Kelurahan
UPT/SD/SDLB, SLTP, SLTA
Pelaksanaan tugas pembantuan dengan sumber
anggaran dari APBN dan berdasarkan pelimpahan /
joint audit.

PENANGANAN
PENGADUAN DAN MASALAH
Merupakan bagian dari tindak lanjut hasil

kegiatan pemantauan, pengawasan dan


pemeriksaan.

Setiap pengaduan dan masalah yang muncul

dari masyarakat atau pihak manapun yang


berkompeten melakukan pemantauan,
pengawasan, dan pemeriksaan harus segera
ditanggapi secara serius dan proposional serta
cepat.

Munculnya pengaduan terhadap pelaksanaan

kegiatan merupakan wujud pengawasan oleh

PRINSIP YANG TERKAIT LANGSUNG,


DENGAN FUNGSI PENGAWASAN

Transparansi; masyarakat harus tahu,


memahami dan mengerti adanya
kegiatan ini serta memiliki kebebasan
dalam melakukan pengendalian secara
mandiri.

Akuntabilitas; setiap pengelolaan


kegiatan harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat dan pihak yang berkompeten

MASALAH DINYATAKAN SELESAI


APABILA
Kategori 1

: Telah ada pelurusan atas prosedur atau


prinsip yang menyimpang

Kategori 2

: Dana telah dikembalikan dan / atau


dilakukan proses hukum

Kategori 3

: Telah dilakukan Klarifikasi dan


pelurusan

Kategori 4

: Terbukti bahwa terjadi force majeur

Penanganan Proses Hukum


1. Masalah akan dinyatakan selesai

jika berkas perkara telah


dilimpahkan ke pengadilan

2. Tetap dilakukan pemantauan hingga

putusan dilaksanakan

MENGAPA PERLU PENGAWASAN ?

SEDIKIT PENGETAHUAN TENTANG KORUPSI

KARAKTER KORUPTOR

THE MOST PERFECT INJUSTICE

,
TAMPAK SEBAGAI ORANG YANG BAIK, RAMAH, SANTUN, TETAPI LUAR
BIASA TIDAK ETIS DALAM TINDAKANNYA SEBAGAI KORUPTOR, DAN
TIDAK MERASA BERSALAH, SAMA SEKALI TIDAK TAKUT
(TOTAL IMPUNITY)

Prof, Edward Spence

Devinisi korupsi
* Korupsi merupakan penyalahgunaan wewenang
penyelenggara negara untuk meraih keuntungan pribadi
dan atau kelompoknya
Cikal bakal korupsi berasal dari kewenangan yang
berubah menjadi kesewenang-wenangan
Bentuk korupsi di Indonesia suap menyuap, ekstorsi,
kickback, fee dan penyalahgunaan informasi orang
dalam yang khas di Indonesia dilakukan tidak random,
tidak insedental, tetapi sistemik dan dapat
direkontruksi polanya.
Korupsi terbatas pada lingkaran dalam dengan jaringan
yang sudah tertata rapi. Korupsi hanya terbuka bagi
mereka yg telah mengeksploitasi hubungan jangka
Panjang untuk karir kriminal (Lambsdorff, 2007).

POLA KORUPSI DI INDONESIA


Prinsipal bertanggung jawab
Melaksanakan kontrak
Mendapatkan Kontrak

Rp

Agent
Rp.

CLIENT
Rp.

Agent : Kontrak ke pihak 3


sesuai arahan prinsipal

Middleme
n
Rp
Apabila terjadi korupsi, akibat praktik kolusi pada perusahaan pemenang tender
Sehingga mengganggu keseimbangan antara suplai dan permintaan, rakyatlah yg
Menderita krn harus menanggung dampak dari kenaikan harga komoditas.

RASIONALISASI MORAL DALAM PRAKTIK KORUPSI


ANALISA PSIKOLOGI DAN FILSAFAT TERAPAN MENENGARAI BAHWA KORUPSI DILAKUKAN
DENGAN RASIONALISASI MORAL.

Rasionalisasi moral dijalankan dengan pembenaran atas tindakan yang


salah sembari, secara sadar, menghindari paper trail, bukti di atas
kertas.

Semua perintah dibuat secara lisan supaya tidak ada bukti tertulis.

Ngijon uang kontan dilakukan tdk melalui transfer bank, supaya tdk dapat
dilacak.

Korupsi sarat dengan praktik suap-menyuap, pemenang lelang bergilir,


perijinan, kuota dan lisensi, penggelembungan harga, dan kegiatan
fiktif.

Pernyataan-pernyataan seperti untuk mengamankan atasan, orang kita


sendiri, untungnya berapa, menyiratkan adanya indikasi transaksi korupsi.

Korupsi mewarnai pikiran koruptor dengan meyakinkan dirinya sendiri bahwa


kewenangan itu merupakan haknya.

Seorang koruptor gagal membedakan privat dan public. Mengaburnya


etika dengan mengelabuhi diri sendiri itu melahirkan tindakan tidak etis
(Tenbrunsel dan messick, 2004), terjadi pada praktik korupsi.

Dalam pandangan budaya, tindakan korupsi merupakan perwujudan


(eksternalisasi) nilai yang sudah terhayati (menginternal) menjadi
kebiasaan (habitus) sehingga tidak ragu dan tidak malu untuk
melakukannya.

Korupsi di Indonesia dalam tahap kritis karena dipraktikan begitu


meluas di semua aspek karena dipraktikkan begitu meluas disemua
aspek kehidupan dan semua sector.

Kiranya tak berlebihan jika kita menyebutnya sebagai budaya korup.


Budaya terbentuk dari tindakan yang dipelajari. Budaya menyebar dari
pengetahuan yang terbagikan kepada orang lain. Korupsi ditiru oleh
pelaku satu dan lainnya dengan modus operandi yang beragam.
Koruptor yang tidak terungkap akan terus melakukan korupsi dan
merasa menang karena tindakannya tidak mendapat hukuman.

Korupsi adalah mencuri dan akan dapat terus mengalami peningkatan


(eskalasi). Atau, dalam pandangan seorang jurnalis senior, Maria
Hartiningsih, yang disampaikannya dalam sebuah kesempatan kepada
saya: Mencuri itu ibarat membenamkan diri kelumpur . Makin
lama semakin dalam sampai tak mampu lagi membedakan yang
putih dan yang hitam karena yang hitam itu menjadi putih di
matanya.

Namun, korupsi tak bisa dilakukan seorang diri dan hanya dilakukan
oleh mereka yang memiliki jaringan. Dengan kata lain, koruptor sudah
lama terbiasa mencuri dan memiliki jaringannya sendiri, seperti
diungkapkan Lambsdorff (2007):

Oleh karena itu, benarlah pendapat Celia Moore (2009) bahwa korupsi
adalah proses, bukan luaran. Proses korupsi yang menjangkiti individu
dapat berjalan, karena faktor internal maupun faktor eksternal, seperti
bentuk kepatuhan kepada atasan. Korupsi dapat pula menjangkiti
kelompok dan dapat berproses secara internal maupun eksternal.

Moore (2009:49) menengarai korupsi yang menjadi kebiasaan(babitus)


sebagai berikut: Lama-kelamaan, menuruti harapan orang
disekitarnya (kolega,kelompok kerja), mengerosi standar moral
seseorang, dan pemahaman seseorang mengenai perilaku yang dapat
diterima melebar dengan memasukkan perilaku yang sebelumnya tak
dapat diterimanya.

Tindakan korupsi merupakan proses yang dapat menjangkiti individu


maupun kelompok dalam organisasi atau lembaga. Korupsi terjadi
akibat rasionalisasi moral pelaku korupsi. DeCremer, van Dijk and
Folmer (2009), menguraikan pemimpin-pemimpin merasa berhak
mengambil lebih, karena mereka merasionalisasi moral.

Strategi merasionalisasi moral ini mematikan etika dan kebenaran


menjadi pembenaran atas tindakan yang salah. Akibatnya, benar dan
salah menyatu, dan sulit bagi dirinya untuk membedakan mana yang
benar dan mana yang salah.
Bagi pemimpin yang korup, mengambil sesuatu yang bukan haknya
dianggap benar karena keputusan dan kewenangan ada padanya.
Pembenaran yang salah oleh seorang pemimpin dapat dengan mudah
menular. Kepada bawahannya karena manusia pada hakikatnya
adalah makhluk sosial, yang melakukan proses belajar dan meniru dari
lingkungannya (social learning). Singkatnya, tindakan korupsi dapat
menular karena menyaksikan orang lain melakukan korupsi sebagai
tindakan yang dalam organisasi dianggap hal biasa. Inilah yang oleh Levy
and Nail (1993) disebut sebagai penularan yang tak dapat dicegah
(disinbibitory contagion).
Rasionalisasi moral oleh pelaku korupsi bersifat paradox atau bermata
dua. Di satu sisi, ia membenarkan aksi korupsinya dengan merasa
berhak dan tidak merasa bersalah. Namun disisi lain, ia
menyembunyikan tindakan korupsinya dengan menghindari bukti tertulis
, bukti transfer dan bukti memberi perintah untuk mendapatkan hasil
yang diinginkannya, tanpa diketahui orang lain.

Bila di kemudian hari menjadi skandal, sang koruptor akan


mengingkarinya. Spence (2008) menggambarkan perilaku korup yang
pandai menutupi rasionalisasi moral ini sebagai the most perfect
injustice.., bentuk tidak keadilan yang sangat sempurna ketidakadilannya.
Dalam kesehariannya, pelaku korupsi seolah tampak baik dan santun
dibalik keburukan moralnya.

Spence memakai mitologi Gyges menggambarkan cara koruptor


menyembunyikan tindakan korupsinya dengan sangat pandai dalam sikap
dan perilaku yang baik dan santun, tetapi dibalik itu ia melakukan
tindakan tidak etis dengan penuh kesadaran dan tanpa sedikitpun
khawatir akan terungkap (total impunity).

Dalam literature etika, ketrampilan menyembunyikan tindakan tidak etis


koruptor seolah olah ia bersih diuraikan sebagai authoritative question
of morality (gewirth, 1978). Merasa berhak merasa berkewenangan dan
merasa mempunyai alasan yang benar dan baik untuk mengambil yang
bukan haknya menjadi symptom (gejala) rasionalisasi moral pelaku
korupsi.

Berbagai symptom seperti self-directing, self-regarding, self-gain, aku


berhak,
aku
berkewenangan,
ini
dapat
berkelanjutan
menjadi
keserakahan tidak hanya terhadap harta tetapi juga terhadap kekuasaan.

Pejabat atau pimpinan korup akan berupaya meneruskan (suksesi)


kekuasaanya kepada anggota keluarganya.

CARA PANDANG SESEORANG DAN MASYARAKAT TERHADAP TINDAKAN


KORUPSI
1.

Apakah ketika PNS mendapat SHU dari perusahaan pemenang tender


sesudah program selesai termasuk korupsi ? Apa anda setuju hal ini
termasuk korupsi yang disebut kickback atau sah sah saja karena
pemerintahlah yang memberikan kontrak tender ke perusahaan yang akan
memberikan bagi hasil ?
2. Apakah memotong sekian persen dari anggaran yang dicairkan untuk
anggota parlemen yang menyetujui anggaran termasuk korupsi ? Apakah
ini yang disebut commitment fee dan pemerintah/ birokrasi harus
berani menolak atau justru bekerja sama berbagi hasil ?
3. Apakah memberikan rincian program dan harga kepada beberapa
pegawai perusahaan tertentu sebelum lelang di mulai termasuk korupsi ?
4. Apakah menerima telpon genggam dengan alasan untuk berkomunikasi
dari perusahaan pemenang lelang termasuk termasuk korupsi yang di
sebut gratifikasi ?
5. Apakah mengubah harga perkiraan sendiri sesudah pemenang lelang
ditetapkan termasuk korupsi tanpa sepengetahuan kuasa pengguna
anggaran ?
6. Apakah menanda-tangani dan mengubah perubahan rencana anggaran
biaya tanpa sepengetahuan kuasa pengguna anggaran termasuk korupsi ?
7. Apakah mengubah spesifikasi teknis sesudah pemenang lelang ditentukan
termsuk korupsi ?
8. Apakah memberi diskon sesudah pemenang lelang ditentukan termasuk
korupsi ?
9. Apakah mencantumkan kegiatan yang sebenarnya tidak dijalankan
termasuk korupsi ?
10. Apakah memecah kegiatan dibawah nominal tertentu untuk menghindari
lelang, termasuk korupsi ?

Hal yg diperhatikan dalam penggunaan dana


BOS

Prioritas utama penggunaan dana BOS untuk kegiatan


operasional sekolah.
Maksimum penggunaan dana untuk Pegawai bagi
Sekolah Negeri, 20 % untuk honor guru honorer.
Tidak boleh tumpang tindih dg dana DAK.
Pembelian barang/jas per belanja tidak lebih 10 Juta.
Dana Transportasi hanya untuk kegiatan selain kewajiban
mengajar.
Bila dana yg diterima lebih besar dr yg seharusnya
melapor ke Diknas.
Bila siswa mutasi stl pencairan dana triwulan berjalan
menjadi hak sekolah yg lama.
Bunga Bank/Jasa Giro akibat adanya dana di rekening
menjadi milik sekolah digunakan untuk sekolah.

Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai