DAN KELAINAN-KELAINAN
PADA HIDUNG
OLEH :
BRILLIANTINE C. LIBORANG
DIAH KARUNIAWATI
FRITSKA REPASSY
Hidung
Hidung bagian luar
Hidung bagian dalam (rongga hidung)
ANATOMI
Pneumatisasi tulang kepala
4 pasang sinus paranasal
Sinus maxila
Sinus terbesar
Volume 6-8 mls/d 15 ml
Dasar berdekatan akar gigi rahang
atas (P1 &P2)
Sinus frontal
Asimetris
Ukuran t2,8 cm;l2,4cm;d2cm
Dipisahkan oleh tulang relatif tipis
dari orbita &fosa serebri anterior.
Sinus etmoid
Bentuk piramid
Ukuran p4-5cm;la0,5cm;lp1,5cm;
t2,4cm
Superior :lamina kribosa
Lateral :lamina paparisea
Posterior : sinus sfenoid
Sinus sfenoid
Posterior dari sinus etmoid posterior
Ukuran t2cm;l1,7cm; volume 5-7,5ml
Indental dengan p. darah & nervus
Potongan oblik
Kompleks osteomeatal
Cellah pada dinding lateral hidung
dibatasi oleh konka media & lamina papirasea
Unit fungsional
Tempat ventilasi & drenase dari sinus yang
letaknya di anterior yaitu
sinus maksila, etmoid anterior dan sinus frontal
letak
Pleksus Kiesselbach
Letak superfisial
Anastomose cabang
A, sfenopalatina
A. etmoid anterior
A. labialis superior
A. palatina mayor
PERSARAFAN HIDUNG
Sensoris
Vasomotor atau otonom
Simpatis
Parasimpatis
Penghidu
Mucosa repirasi
Epitel bertingkat semu silindris bersilia & sel goblet
Identitas
Keluhan utama :
1. Nama
1. Sumbatan hidung
2. Umur 2. Sekret hidung
3. Jenis Kelamin 3. Bersin
4. Alamat 4. Nyeri daerah muka dan
5. Pekerjaan kepala
- Deformitas
- Deviasi septum nasi
- Kelainan bentuk hidung
/anomali kongenital
- Udemhidung&sinus
paranasalis
- Produksi sekret
- Tanda tanda trauma
Palpasi Hidung & Sinus Paranasal
Rinoskopi Posterior
merah pudar, lembab, dan -torus tubariur, fossa rossen
mempunyai permukaan muller
halus dan bersih).
Tanda-tanda peradangan,
pembengkakan atau infeksi
Eksudat atau sekret
Massa tumor /polip (
kebanyakan ditemukan
pada meatus media)
Video Pemeriksaan Hidung
Transiluminasi sinus
Sinus Maksilaris
-Dilakukan dalam kamar gelap
-Pasien diminta untuk membuka mulut. Masukkan lampu
dlm rongga mulut lalu pasien diminta menutup mulut.
Sinar lampu akan menembus rongga sinus
maksilaterlihat dipipibandingkan kanan dan
kirisinus yang berisi cairan tampak suram/gelap.
-Bermakna bila ada perbedaan kanan dan kiri
Sinus Frontalis
-Ujung lampu ditekan pada epikantes, di bawah tulang
dahi.
Prosedur :
1. Tes dilakukan pd ruangan tertutup (tidak berAC/kipas angin, tanpa parfum ruangan)
2. Pemeriksa dan pasien duduk berhadapan
3. Alcohol pad dibuka dan pasien di minta u/ mengenali bau
4. Pasien diminta menutup kedua matapad secara perlahan di naikkan sampai dari
posisi setinggi umbilikus hingga hidung dgn inhalasi normal
5. Hitung jarak (cm) dari pertama kali terdeteksi alcohol pad sampai hidung
Interpretasi :
1. Normosmia : terdeteksi pada jarak >10 cm
2. Hiposmia : terdeteksi pada jarak 5-10 cm
3. Hiposmia berat : terdeteksi pada jarak <5 cm
4. Anosmia : tidak terdeteksi sama sekali
Ammonia
Prosedur :
1. Pemeriksa dan pasien duduk saling berhadapan
2. Ammonia secara cepat ditempat di depan hidung pasien
3. Dinilai apakah pasien merasakan efek menyengat dan stimulus lakrimal atau tidak
Interpretasi :
1. Anosmia murni : terdapat efek menyengat dan
stimulus lakrimal
2. Anosmia malingering : menyangkal adanya efek
menyengat dan stimulus lakrimal
KELAINAN-KELAINAN
PADA HIDUNG
POLIP
HIDUNG
POLIP HIDUNG
PATOFISIOLOGI
PEMERIKSAAN
ANAMNESIS PEMERIKSAAN FISIK
PENUNJANG
PEMERIKSAAN
ANAMNESIS PEMERIKSAAN FISIK
PENUNJANG
Tomografi komputer
Penatalaksanaan
Tujuan :
Menghilangkan keluhan
Mencegah komplikasi
DEFINISI :
Penyakit inflamasi yg disebabkan oleh reaksi alergi pd pasien
atopi yg sebelumnya sudah tersensitisasi dgn alergen yg sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi
paparan ulangan dgn alergen spesifik tsb.
ARIA = Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (J Allergy Clin Immunol 2001; 108:
S147-S334)
DIAGNOSIS
Otoskopi
OME
Polip hidung
PEMERIKSAAN PENUNJANG
In vivo :
Tes kulit :
Tes cukit/tusuk (Prick test), Multi test, Intradermal, SET (skin end
point titration)
In vitro :
IgE total, IgE spesifik
Sitologi hidung : eosinofil > 5 sel/LPB
DPL : eosinofil me
Tes Provokasi : tdk sesuai klinis dan hsl tes cukit, tdk rutin, penelitian
Radiologis (Foto SPN, CT-Scan, MRI) :
Tidak untuk diagnosis rinitis alergi
Indikasi : Untuk mencari komplikasi sinusitis/polip, tidak ada respon
terhadap terapi, direncanakan tindakan operatif
PRICK TEST
Banyak dipakai sederhana, mudah,
aman
dan riset
sensitisasi
Edukasi
Medikamentosa/farmakoterapi
Imunoterapi
Kombinasi Antihistamin-Dekongestan
Banyak digunakan
Loratadin/feksofenadin/setirisin + pseudoefedrin 120 mg
Ipratropium Bromida
Topikal, antikolinergik
Efektif mengatasi rinore yang refrakter terhadap kortikosteroid
topikal/antihistamin
ARIA Guidelines: Recommendations for
Management of Allergic Rhinitis
Moderate
Mild severe
Moderate
persistent persistent
severe
intermittent
Mild
intermittent
Intra-nasal steroid
Local cromone
Leukotriene receptor antagonists
Second-generation nonsedating H1 antihistamine
Intranasal decongestant (<10 days) or oral decongestant
Allergen and irritant avoidance
Immunotherapy
ARIA = Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma.
Bousquet et al. J Allergy Clin Immunol. 2001;108 (5 suppl):S147.
TERAPI MEDIKAMENTOSA
Kortikosteroid
Kortikosteroid topikal
Pilihan pertama untuk rinitis alergi persisten sedang-berat efek
antiinflamasi jangka panjang
Budesonide, beklometason, fluticason,mometason furoat,
triamcinolon acetonide
Dosis dws : 1 x II semprot/hr, anak 1 x I semprot /hr
Kortikosteroid oral
Jangan gunakan sebagai pengobatan lini I
Terapi jangka pendek (3 5 hr). Dosis tinggi, tapp off
Pada rinitis alergi berat yang refrakter
TERAPI LAINNYA
Imunoterapi:
Respon (-) terhadap terapi medikamentosa
sublingual, suntikan
GEJALA KLINIK
PENATALAKSANAAN
- Pengobatan simtomatis
- Neurektomi n. vidianus
RINITIS HIPERTROFI
DEFINISI
Perubahan mukosa hidung pd konka inferior yg mengalami
hipertrofi karena proses inflamasi kronis yg disebabkan
olehinfeksi bakteri primer atau sekunder.
GEJALA
Sumbatan hidung, mulut kering, nyeri kepala, gg. Tidur, sekret
banyak & mukopurulen.
RINITIS HIPERTROFI
PEMERIKSAAN FISIK
Konka yg hipertrofi terutama konka inferior, permukaannya
berbenjol-benjol, sekret mukosa purulen.
TERAPI
- Mengatasi faktor-faktor penyebab
- Terapi simtomatis kaustik konka dgn zat kimia (nitras argenti atau
trikloroasetat), elektrokauterisasi
- Bila tidak menolong luksasi konka, frakturisasi konka multipel,
konkoplasti, konkotomi parsial
RINITIS ATROFI
DEFINISI
Infeksi hidung kronik yg ditandai oleh atrofi progresif pd
mukosa an tulang konka.
ETIOLOGI
Infeksi kuman spesifik (klebsiella, stafilokokus, streptokokus,
pseudomonas aeruginosa)
Defisiensi FE
Defisiensi vit. A
Sinusitis kronik
Kelainan hormonal
Peny. kolagen
RINITIS ATROFI
GEJALA & TANDA KLINIS
Napas berbau, ingus kental berwarna hijau, gg. Penghidu, sakit kepala,
hidung tersumbat
Pemeriksaan fisik rongga hidung sgt lapang, konka inferior & media
menjadi hipotrofi atau atrofi, sekret purulen & krusta berwarna hijau
Pemeriksaan penunjang histopatologik, mikrobiologi & uji resistensi, CT
scan sinus paranasal.
PENATALAKSANAAN
Pengobatan konservatif antibiotik spektrum luas atau sesuai dgn uji
resistensi kuman, obat cuci hidung
Pengobatan operatif BSEF
EPISTAKSIS
Epistaksis :
keluarnya darah dari hidung yang penyebabnya bisa lokal atau sistemik.
Perdarahan bisa ringan sampai serius dan bila tidak segera ditolong dapat
berakibat fatal.
ETIOLOGI
FAKTOR LOKAL FAKTOR SISTEMIK
TRAUMA HIPERTENSI
Epistaksis posterior
A. etmoidalis posterior, a.
sfenopalatina
Perdarahan lebih hebat,
jarang berhenti sendiri
ANAMNESIS
Lama perdarahan & perdarahan terakhir
Jumlah & frekuensi perdarahan
Lokasi perdarahan
Kecenderungan perdarahan
Riw. Perdarahan sebelumnya
Riw. Trauma
Riw. Kelainan perdarahan dlm keluarga
Riw. Peny. Lain
Riw. Penggunaan obat-obatan
DIAGNOSIS
Rinoskopi anterior/posterior
Endoskopi hidung
Pemeriksaan laboratorium
Recurrent/berat
Pencitraan
rutin
TATALAKSANA
Prinsip :
Hentikan perdarahan
Posisi pasien
Tenangkan pasien
Tatalaksana perdarahan
Jaga hemodinamik
Pemeriksaan Klinis
RA & RP
Nasoendoskopi jika tersedia
HENTIKAN PERDARAHAN
Kateter foley
Balon isi udara /air
Fiksasi dgn tampon
anterior
Tekanan tdk merata
menutup koana
BAGAN ALIR PENATALAKSANAAN EPISTAKSIS
Epistaksis Aktif
RESUSITASI
(Jika Diperlukan)
Pemeriksaan Klinis
RA & RP
Nasoendoskopi jika tersedia
HENTIKAN PERDARAHAN
Angkat Tampon
Dekongestan Topikal Dgn / Tanpa
Kauterisasi
Bakteri utama
Streptococcus Moraxella
H. influenza
pneumonia catarrhalis
GEJALA
GEJALA MAYOR GEJALA MINOR
DIAGNOSIS
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
Penatalaksanaan :
ETIOLOGI
Jamur paling sering : Aspergillus, Candida
PREDISPOSISI
Diabetes mellitus, neutropenia, peny. AIDS, perawatan lama di
RS
Sinusitis
jamur
Gejala seperti
mukosa biru
sinusitis bakterial,
kehitaman, mukosa
sekret hidung kental
konka atau septum
dgn bercak
nekrotik,
kehitaman
SINUSITIS JAMUR
Terapi :
Jamur invasif :
Etiologi : trauma
Pemeriksaan Penunjang
Faktor predisposisi :
Gejala mata
Gejala leher Diplopia, sindrom
& saraf
Jackson, sindrom
Benjolan di leher unilateral, destruksi
tulang tengkorak
DIAGNOSIS
Rhinoskopi posterior
DPL
Nasofaring direct/indirect
Evaluasi gigi geligi
Biopsi
Audiometri
CT Scan/ MRI
Neurooftalmologi
FNAB KGB
Ro Thorax
Titer IgA anti :
USG Abdomen, Liver
VCA: sangat sensitif, Scinthigraphy
kurang spesifik Bone scan
EA: sangat kurang sensitif,
spesifitas tinggi
HISTOPATOLOGI
Limfoepitelioma, sel
transisional, sel spindle,
sel clear, anaplastik, dll.
Staging
Untuk penentuan stadium dipakai sistem TNM menurut
UICC (2002)
T : tumor primer
T1 : tumor terbatas di nasofaring
T2 : tumor meluas ke jaringan lunak orofaring dan/atau fossa hidung
T2a tanpa perluasan ke parafaring
T2b dengan perluasan ke parafaring
T3 : tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal
T4 : tumor dengan perluasan intracranial dan/atau keterlibatan saraf
cranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbit
M : metastasis jauh
M0 : tidak ada metastasis jauh
M1 : ada metastasis jauh
PENATALAKSANAAN
Stadium I Radioterapi
Mengontrol gejala
Memperpanjang hidup